Anda di halaman 1dari 7

Pernah dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 13 Pebruari 2006

PARTISIPASI MASYARAKAT, OTONOMI DAERAH


DAN PENATAAN RUANG

Oleh: Sutaryono *

Dalam konstelasi otonomi daerah, penataan ruang sering dimaknai secara

beragam, mulai dari pemahaman bahwa penataan ruang merupakan arahan

l
pola pemanfaatan ruang, instrumen pengendali dalam alih fungsi lahan, sampai

ia
pemahaman minor bahwa penataan ruang dipandang sebagai ‘alat’ bargaining

Tr
antara birokrat dan pihak swasta/investor yang akan menanamkan investasinya

atau terkadang malah dianggap sebagai ‘penghambat’ pembangunan. Tulisan ini

3
mencoba mengedepankan peluang otonomi daerah dalam penataan ruang,

m
o !
co
termasuk di dalamnya adalah partisipasi masyarakatnya, mengingat otonomi
e
ft.
ca t

daerah mengharuskan setiap pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya


a
ns

dengan baik, khususnya sumberdaya wilayah/ruang yang merupakan basis


w e

dalam proses pembangunan.


r
.s
C

Peluang Otonomi Daerah


w

Era desentralisasi, keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam


w
F

pembangunan mengiringi kemunculan dan perkembangan otonomi. Lahirnya


PD

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang

kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 semakin

mengukuhkan peran Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan

pemerintahan dan pembangunan di daerah otonom. UU Nomor 32 Tahun 2004

memberikan legitimasi kepada Pemerintah Daerah untuk melakukan

*
Kepala Pusat Penelitian & Pengabdian pada Masyarakat (PPPM), Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
(STPN) Yogyakarta

1
penyelenggaraan penataan ruang di wilayah masing-masing, mengingat UU ini

secara tegas menyebutkan bahwa salah satu kewajiban daerah otonom adalah

menyusun perencanaan dan tata ruang daerah. Hal ini menunjukkan bahwa

pemerintah daerah mempunyai kewenangan lebih luas untuk melakukan upaya

penataan ruang di wilayah territorial-nya. Kelahiran UU Nomor 32 Tahun 2004

sejalan dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan

l
ia
Nasional Di Bidang Pertanahan yang lahir pada era UU Nomor 22 Tahun 1999.

Tr
Dalam Keppres tersebut meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan tentang

kewenangan dalam penataan ruang tetapi kewenangan dalam pemberian ijin

3
lokasi, penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan

m
dan perencanaan penggunaan tanah di wilayah Kabupaten/Kota memberikan
o !
co
e
peluang bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan upaya-upaya penataan ruang
ft.
ca t
a
secara otonom. Namun demikian, peluang tersebut seringkali memunculkan
ns
w e

berbagai kemungkinan sikap egosentrisme dan primordialisme daerah otonom.


r
.s

Ada kecenderungan masing-masing daerah otonom melakukan penataan ruang


C
w

berdasarkan kepentingan masing-masing tanpa melakukan sinergi dan


w
F

koordinasi dengan pemerintah daerah pada wilayah-wilayah yang berbatasan.


PD

Hal ini menjadi satu ancaman bagi terwujudnya penataan ruang yang menjamin

adanya kelestarian lingkungan. Dengan demikian, penataan ruang yang

dilakukan oleh daerah otonom harus tetap mengacu pada kerangka keterpaduan

antar wilayah dalam Negara kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu,

pendekatan kewilayahan dan kelingkungan menjadi syarat utama dalam

penataan ruang bagi pemerintah daerah tanpa harus mengabaikan wilayah

2
administrasinya. Hal ini penting dilakukan, agar kegiatan penataan ruang bagi

daerah otonom tidak menimbulkan dampak negatif dan kemungkinan munculnya

konflik dengan daerah lain. Dalam konteks penataan ruang di daerah otonom,

perencanaan ruang yang dilakukan harus bersifat alokatif, inovatif dengan

pendekatan multifungsional dan interdisipliner. Alokatif, artinya dalam

perencanaan ruang betul-betul diarahkan pada alokasi keruangan sesuai fungsi

l
ia
ruang itu sendiri. Dalam hal ini karakteristik wilayah dan kemampuan tanah harus

Tr
sungguh-sungguh diperhatikan, agar rekomendasi yang dihasilkan dalam

penataan ruang dapat sesuai dengan peruntukannya. Sifat inovatif diperlukan

3
agar perencanaan itu mampu mengakomodasikan semua komponen yang ada.

m
Terobosan-terobosan perlu dilakukan dan segala kemungkinan perlu dijajaki
o !
co
e
agar perkembangan wilayah yang berdasarkan pada perencanaan ruang dapat
ft.
ca t
a
memberikan keuntungan maksimal namun tetap terkontrol dalam bingkai
ns
w e

kebijaksanaan penataan ruang wilayah. Pendekatan multifungsional dan


r
.s

Interdisipliner mutlak diperlukan dalam perencanaan ruang. Artinya penggunaan


C
w

ruang yang direkomendasikan dapat berdaya guna bagi berbagai kepentingan


w
F

masyarakat penghuninya. Pendekatan ini sekaligus mengupayakan terwujudnya


PD

desain penataan ruang yang aspiratif dan akomodatif. Dalam perencanaan ini

harus melibatkan berbagai komponen kelembagaan, ahli-ahli di berbagai bidang

ilmu serta partisipasi masyarakat dan swasta, baik secara langsung maupun

perwakilan.

Partisipasi Masyarakat Dalam Penataan Ruang

3
Proses penataan ruang yang termanifestasi dalam penyusunan rencana

tata ruang, selama ini masih bersifat general pada wilayah nasional, wilayah

propinsi dan kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan bahwa rencana tata ruang

masih bersifat ‘elitis’ dan kurang ‘membumi’. Artinya rencana tata ruang yang

sudah ada kurang melibatkan masyarakat dalam penyusunannya, kuran

tersosialisasi kepada khalayak luas dalam operasionalisasinya dan masih

l
ia
terkesan ‘hanya’ sebagai dokumen pelengkap.

Tr
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak

dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam

3
Penataan Ruang sebagai salah satu aturan pelaksana dari UU Nomor 24 Tahun

m
1992 telah menjamin adanya keterlibatan masyarakat dalam penataan ruang.
o !
co
e
Hal tersebut sudah sejalan dengan yang telah digariskan oleh pemerintah bahwa
ft.
ca t
a
penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Pertanyaan yang
ns
w e

kemudian muncul adalah apakah keterlibatan masyarakat dalam penataan ruang


r
.s

betul-betul sebagai media dalam mengakomodasi kepentingan masyarakat


C

ataukah ‘hanya sekedar’ formalitas mengikuti trend dan aturan yang berlaku? Hal
w
w
F

ini perlu dicermati mengingat banyak kasus yang menunjukkan bahwa partisipasi
PD

masyarakat sering dijadikan formalitas untuk sekedar mendapatkan legitimasi

dari berbagai pihak terhadap suatu kegiatan yang dilaksanakan.

Peraturan perundang-undangan tersebut telah memberikan peluang

kepada pemerintah daerah untuk memposisikan masyarakat sebagai subyek

dalam penataan ruang. Artinya, potensi besar yang dimiliki masyarakat luas

dapat dikelola dan diakomodasikan dalam berbagai kegiatan penataan ruang

4
baik pada tahapan perencanaan, pemanfaatan ruang sampai tahapan

pengendalian pemanfaatan ruang secara partisipatif. Hal ini sejalan dengan

pergeseran paradigma pembangunan ke arah partisipatoris berbasiskan

masyarakat yang mengutamakan pelibatan masyarakat dalam berbagai tahapan

pembangunan.

Secara operasional partisipasi masyarakat dalam penataan ruang dapat

l
ia
dimulai dari wilayah desa sebagai basis pembangunan masyarakat. Pemerintah

Tr
Desa dan Badan Perwakilan Desa (berdasarkan UU 32/2004, BPD adalah

Badan Permusyawaratan Desa) sebagai lembaga pemerintahan yang paling

3
banyak bersentuhan dengan masyarakat harus diberikan peran yang cukup

m
dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan ruang sampai tahapan pengendalian
o !
co
e
pemanfaatan ruang. Pemerintahan Desa (Lurah Desa dan BPD) dapat berperan
ft.
ca t
a
sebagai fasilitator dalam kegiatan penataan ruang bagi masyarakat. Lembaga
ns
w e

Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) sebagai wadah munculnya gagasan-


r
.s

gagasan pembangunan di tingkat desa perlu dilibatkan dalam proses ini. Model
C
w

Rakorbang perlu lebih dikembangkan di tingkat pedukuhan untuk mengetahui


w
F

kebutuhan masyarakat terhadap ruang. Berbagai hasil rakorbang pada tingkat


PD

pedukuhan dieksplorasi pada rakorbang pada tingkat desa. Pada tahapan inilah

akan dihasilkan- meskipun masih sangat sederhana- disain tata untuk wilayah

desa. Apabila disain tata ruang desa ini dijadikan embrio dalam kegiatan

penataan ruang pada tingkat Kabupaten/Kota, maka partisipasi masyarakat

dalam penataan ruang sudah mulai terwujud. Di samping itu, masyarakat akan

ikut bertanggungjawab dalam mengamankan disain tata ruang yang sudah

5
dihasilkan melalui kegiatan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan

ruang.

Beberapa hal yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam

mendorong partisipasi masyarakat dalam penataan ruang antara lain: (a)

memberikan ruang interaksi yang lebih luas kepada pemerintahan desa dan

masyarakat untuk mengembangkan inisiasi dan daya kreasinya; (b) memfasilitasi

l
ia
berbagai agenda masyarakat yang berhubungan dengan penataan ruang,

Tr
termasuk meningkatkan kapasitas (capacity building) kelembagaan desa dalam

hal penataan ruang; (c) secara berkelanjutan mensosialisasikan pentingnya

3
penataan ruang yang berorientasi pada fungsi wilayah dan kelestarian

m
lingkungan. o !
co
e
Penutup
ft.
ca t
a
Beberapa upaya perubahan dalam penyusunan disain tata ruang di
ns
w e

daerah sebagaimana disebutkan di atas mengharuskan pada semua stake


r
.s

holder yang terlibat dalam pemanfaatan ruang untuk saling berkolaborasi dan
C
w

menjalin sinergi dalam memanfaatkan peluang otonomi daerah. Dalam konteks


w
F

ini penataan ruang dalam kerangka otonomi daerah merupakan peluang yang
PD

harus dapat diimplementasikan oleh pemerintah daerah dalam menata,

mengelola dan menjaga kelestarian ruang dan wilayah yang menjadi

kewenangannya.

Partisipasi masyarakat menjadi suatu keharusan, agar proses

penyusunan dan pelaksanaan rencana tata ruang yang sudah ditetapkan secara

formal dapat mengakomodasi aspirasi masyarakat luas. Di samping itu

6
keterlibatan masyarakat tersebut akan mendorong tingkat partisipasi dalam

mematuhi dan mengawasi segala bentuk kegiatan yang terjadi di atas ruang

sesuai dengan kapasitas dan kompetensinya. Dengan demikian tanggungjawab

terhadap keberadaan ruang dan kelestariannya dapat dipikul bersama antara

pemerintah daerah dan masyarakat. Semoga.

l
ia
Tr
o !
m
3 co
e
ft.
ca t
a
ns
w e
r
.s
C
w
w
F
PD

Anda mungkin juga menyukai