Shareholder Value Creation & BSC
Shareholder Value Creation & BSC
By John R Alwi
Disarikan dari Buku Beyond Book Value by Goei Siauw Hong, John R Alwi & K
Rajendran
GOAL OF MANAGEMENT
Selama 200 tahun terakhir, perngaruh perusahaan pada masyarakat bertumbuh pesat. Tidak
mengherankan bahwa diskusi mengenai tujuan perusahaan dilakukan oleh orang dengan
berbagai latar belakang, termasuk :
- Ahli teori dalam bidang ekonomi, hukum, ilmu politik, dan sosiologi
- Ahli etika bisnis dan ilmu filosofi
- Partai politik, serikat buruh, berbagai komunitas, pendukung lingkungan hidup, dan
- Media dan masyarakat umum
Dalam negara dengan ekonomi pasar, biasanya disetujui bahwa perusahaan seharusnya
mengejar profitabilitas ekonomi (economic profit). Namun, banyak juga orang yang setuju
bahwa perusahaan harus memiliki tanggungjawab sosial (social responsibilities). Profitabilitas
dan tanggungjawab sosial tersebut seharusnya digabungkan dalam dunia yang ideal, meskipun
jelas bahwa mereka paling tidak agak bertentangan.
Pada satu sisi, bisnis harus mendapatkan keuntungan untuk bertahan dan perusahaan harus
memperoleh return yang lebih tinggi untuk pemegang sahamnya daripada bila uang tersebut
didepositokan di bank tanpa resiko. Profit yang diciptakan menciptakan kepercayaan dari
investor dan biasanya terefleksi dari harga saham yang lebih tinggi, yang membuat lebih mudah
bagi perusahaan untuk tumbuh mencapai tujuannya. Laba bukan hanya hasil, namun
merupaakn sumber bagi perusahaan untuk bertumbuh secara sehat dan kaya.
Pada sisi lain, perusahaan adalah jejaring dari berbagai pihak dan orang-orang yang
bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama dan bukan hanya “mesin ekonomi”. Karyawan
saat ini merupakan bagian penting dari nilai perusahaan (intellectual capital). Untuk
memotivasi karyawan bekerja keras sesuai dengan kepentingan perusahaan, suatu level
kepercayaan harus dibentuk dengan mereka. Hubungan saling percaya antara perusahaan
dengan lingkungan eksternalnya (pelanggan, supplier, pemerintah, dan kelompok kepentingan
khusus) juga perlu dibina. Kepercayaan tersebut baru bisa tumbuh bila ada kepentingan dari
seluruh individu dan stakeholder diperhitungkan.
Untuk membandingkan keduanya, kita akan meninjau kembali tiga karakteristik tujuan
perusahaan yang baik, yaitu : 1) jelas dan tidak membingungkan, 2) memiliki ukuran yang jelas
dan tepat waktu, dan 3) tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat atau grup lainnya.
Perbandingan karakteristik tersebut mungkin bisa diikuti dengan bukti empiris kinerja ekonomi
yang menganut kedua aliran tersebut.
Namun, tidak demikian bagi seorang manajer yang mengikuti filosofi stakeholder value
perspective. Karena stakeholder value perspective menyatakan bahwa stakeholder dari
perusahaan adalah pihak-pihak yang bisa mempengaruhi hasil perusahaan. Di sini tidak jelas
siapa yang harus diutamakan oleh si manajer. Di antara stakeholder terdapat pemegang klaim
finansial, karyawan, pelanggan, komunitas, dan pejabat pemerintah. Malahan Jensen (2001)
menyatakan bahwa teroris-pun bisa dimasukkan sebagai stakeholder perusahaan karena ia bisa
mempengaruhi keberhasilan perusahaan.
Dalam kondisi yang penuh konflik antara kepentingan berbagai stakeholder perusahaan,
manajer akan menghadapi dilema. Karena berbagai dilema yang dihadapi, keputusan yang
diambil oleh seorang manajer mungkin akan berbeda dengan manajer lainnya. Demikian juga,
dari waktu ke waktu keputusan yang dibuat bisa berbeda-beda.
Stakeholder maximization menghasilkan ukuran kinerja yang tidak jelas. Dengan berbagai
majikan yang harus dilayani oleh manajer, ukuran keberhasilan manajer menjadi rancu.
Keberhasilan manajer sulit diukur karena tidak jelas pengukuran dalam memaksimalkan
berbagai kepentingan stakeholder tersebut.
Namun, sebenarnya tugas untuk menyeimbangkan ini seharusnya dilakukan oleh pemerintah
atau regulator. Pemerintah atau regulator seharusnya mengatur keadaan sehingga perusahaan
tidak beroperasi dalam lingkungan monopoli yang bisa menyebabkan maksimalisasi nilai
perusahaan dengan kerugian pada masyarakat luas. Untuk itulah dibuat undang-undang
antimonopoli. Demikian juga perusahaan yang mencemari lingkungan, seharusnya ditindak oleh
pemerintah.
Bila fungsi kontrol dari pemerintah berjalan dengan baik, perusahaan tidak akan mampu
memaksimalkan nilai perusahaan (firm value) dengan mengorbankan kepentingan grup lainnya
atau masyarakat luas. Tindakan perusahaan yang menyebabkan kerugian kepada grup lainnya
harus dibayar perusahaan dengan membayar ganti rugi ke pihak yang dirugikan maupun melalui
denda yang diterapkan pemerintah.
Selain kontrol dari pemerintah, perusahaan juga harus menjaga kepentingan dari stakeholder
lainnya demi kelangsungan bisnisnya dalam jangka panjang. Bila perusahaan tidak
memperhatikan kepentingan karyawan, mungkin karyawan tidak akan bekerja dengan sepenuh
hati sehingga produktivitas perusahaan berkurang. Begitu juga pelanggan yang diperlakukan
tidak adil mungkin tidak akan membeli produk perusahaan tersebut lagi. Perusahaan yang
mencemari lingkungan mungkin akan menghadapi boikot terhadap produk mereka, selain
tindakan dari pemerintah.
Bukti empiris
Untuk menilai ideologi mana yang lebih unggul, mungkin kita juga harus membandingkan
kinerja ekonomi dari negara-negara penganut shareholder value perspective terhadap negara-
negara penganut stakeholder maximization. Berbagai bukti empiris membuktikan bahwa
ekonomi negara penganut shareholder value perspective lebih unggul bila dibandingkan dengan
stakeholder value perspective. Sebagai contoh, ekonomi AS ternyata memiliki produktivitas
yang lebih bagus daripada ekonomi Eropa yang banyak menggunakan ideologi stakeholder
maximization.
Keunggulan shareholder value perspective adalah terfokusnya tujuan perusahaan ke satu arah,
yaitu memaksimalkan nilai bagi pemegang klaim finansial. Ini membuat manajemen tidak
kebingungan tentang siapa yang seharusnya lebih diutamakan dalam pencapaian tujuan. Bagi
pemilik modal (pemegang saham dan pemberi hutang) juga terdapat kejelasan bahwa mereka
adalah pihak yang paling diutamakan dalam hukum. Ini akan mendorong iklim investasi yang
lebih menguntungkan bagi negara penganut paham shareholder value perspective.
Tindakan manajemen yang merugikan stakeholder lainnya tentunya tidak akan memaksimalkan
nilai perusahaan karena akan mengancam arus kas di masa yang akan datang (meskipun
memaksimalkan arus kas saat ini). Karyawan yang tidak bekerja dengan senang hati, tentunya
tidak akan menghasilkan produktivitas yang tinggi. Demikian juga, pelanggan yang merasa
diperlakukan tidak adil, mungkin tidak akan membeli produk perusahaan lagi. Terakhir, bila
perusahaan menjadi pencemar lingkungan, mungkin ia akan menjadi sumber pemberitaan yang
akan menurunkan reputasinya (mungkin mengundang boikot), atau mungkin malah harus
ditutup operasinya sebelum dilakukan perbaikan.
Jika kita mensurvei investor dengan menanyakan apa saja kebutuhan dan perhatian mereka
dari suatu organisasi, hasilnya kemungkinan tidak akan terlalu melenceng dari tiga hal
mendasar berikut ini:
Imbal hasil (return) atas investasi mereka
Kinerja (angka-angka)
Keyakinan akan kinerja mendatang (going concern issues)
Investor, atau lebih spesifik lagi, pemegang saham tentu mengharapkan imbalan atas investasi
mereka di perusahaan dalam bentuk capital gain. Namun, sampai pada saat mereka menjual
sahamnya, keuntungan tersebut hanyalah keuntungan di atas kertas semata. Oleh karena itu,
mereka juga mengharapkan reward atas kesetiaan dan kesabaran mereka dalam bentuk
pembayaran dividen. Lebih jauh lagi mereka akan sangat tertarik pada angka-angka
perusahaan baik finansial maupun non-finansial yang secara akurat mencerminkan kinerja masa
lalu dan prospek usaha ke depannya. Terakhir, investor tentu ingin memiliki keyakinan yang
cukup bahwa manajemen akan memenuhi janji-janjinya secara konsisten. Dengan kata lain,
kredibilitas manajemen merupakan faktor yang penting bagi investor.
Sebaliknya, apa yang diinginkan organisasi dari investornya? Seandainya kita melakukan survei
yang kurang lebih serupa, jawaban yang akan diperoleh akan terpusat pada tiga hal berikut:
Modal
Kredit
Dukungan & Keyakinan
Perusahaan perlu modal untuk tumbuh, mendanai investasi agar roda produksi barang maupun
jasa bisa berputar, atau mungkin kebutuhan untuk melakukan akuisisi penting. Untuk
mendapatkan daya ungkit (leverage) yang lebih besar, perusahaan juga memerlukan kredit,
baik itu dalam bentuk pinjaman ataupun obligasi. Perusahaan juga membutuhkan keyakinan
dan dukungan penuh investor dalam bentuk komitmen jangka panjangnya pada perusahaan.
Terkadang perusahaan juga mengharapkan kesabaran dari bank-bank kreditor agar memberikan
sedikit kelonggaran. Dalam kondisi tertentu, tidak tertutup kemungkinan perusahaan
membutuhkan pandangan investor apakah suatu akuisisi perlu dilaksanakan atau tidak. Di
sinilah perusahaan butuh serangkaian strategi untuk menciptakan nilai yang diinginkan. Apa
sebenarnya inti sari dari strategi dan bagaimana hubungannya dengan penciptaan nilai?
Inti sari strategi adalah BERTAHAN HIDUP, MENJADI BERBEDA, MEMIMPIN dan MEMENANGKAN
PERSAINGAN, seperti yang dinyatakan Jack Trout dalam buku terbarunya. Treacy & Wiersema
menyimpulkan, para pemenang sedikitnya pasti memiliki salah satu keunggulan, baik berupa
keunggulan operasional, menawarkan produk terhebat, atau memiliki kedekatan yang tak
tertandingi dengan pelanggan. Masing-masing pilihan menuntut adanya kompetensi, proses
bisnis, struktur organisasi, sistem manajemen dan budaya kerja yang berbeda. Dalam bukunya
Jack Trout memaparkan selama 30 tahun terakhir ini telah ditulis setidaknya 21.955 buku
tentang strategi. Dari data ini setidaknya bisa disimpulkan bahwa strategi adalah pusat
perhatian yang utama bagi sebuah organisasi khususnya yang berorientasi keuntungan.
Strategi, pada prinspinya adalah gambaran upaya unik suatu organisasi untuk menciptakan nilai
bagi stakeholdernya. Karenanya, strategy is about creating value. Salah satu nilai yang perlu
dihasilkan oleh manajemen tidak akan lepas dari tiga hal yang diinginkan pemegang saham
seperti di atas yaitu imbalan, kinerja dan kepercayaan.
Bila kita amati dalam konteks yang lebih sempit, strategi untuk menciptakan shareholder value
akan berkisar pada 6 strategi utama yang popular diadopsi manajemen (Andy Neely & Mike K,
2001) :
Dalam praktiknya, masing-masing strategi tersebut tidak dipahami sebagai “mutually exclusive”
namun seringkali dikombinasikan beberapa strategi sekaligus. Indofood dan Astra misalnya,
mengkombinasikan hampir keseluruhan strategi di atas.
Perusahaan memerlukan strategi sebagai alat navigasi untuk mencapai tujuan. Investor tentu
sangat tertarik untuk mengetahui lebih jauh ke mana kapten pilot mengarahkan
perusahaannya. Namun perlu diingat pula, sehebat apapun strategi telah diformulasikan, hal
itu tak lebih dari sekedar konsep, rencana, dan hipotesa. Strategi tidak akan menghasilkan
nilai apapun kecuali suatu harapan. Sebab, yang menciptakan nilai adalah program, inisiatif,
serta proyek. Di mana kesemuanya dimulai dan diselesaikan oleh perusahaan.
Hanya melalui eksekusi strategi yang hebat, nilai yang ditawarkan bisa diterima oleh semua
pihak yang berkepentingan. Terkait dengan hal inilah kiranya perlu diperhatikan pernyataan
“dimulai dan diselesaikan.” Barangkali sudah tak terhitung banyaknya program atau proyek
yang melewati kick-off meeting, namun seringkali hanya sedikit benar-benar selesai dan
menciptakan nilai tambah. Sebagian dari program tersebut bahkan seringkali tidak sampai
setengah jalan.
Belakangan malah muncul anggapan, kemampuan organisasi untuk mengeksekusi strategi justru
jauh lebih penting dari strategi itu sendiri. Namun tentunya lebih arif bila beranggapan bahwa
formulasi strategi maupun eksekusinya memiliki derajat kepentingan yang sama.
Pentingnya eksekusi atau implementasi strategi inilah yang mendorong Kaplan & Norton untuk
melakukan riset tentang bagaimana mengubah strategi menjadi action (turning strategy into
action). Dalam bukunya yang terkenal, The Balanced Scorecard, dikatakan bahwa kemampuan
organisasi dalam mengeksekusi strategi adalah faktor non financial paling penting yang
mempengaruhi penilaian nilai saham (shareholder valuation).
Hal yang mendasari lahirnya BSC
BSC sendiri lahir dari kenyataan bahwa kurang dari 10 persen strategi yang terformulasikan
secara efektif dapat diimplementasikan secara efektif pula. Sebagian besar kegagalan – sekitar
70 persen – bukan karena strategi yang buruk, namun karena eksekusi yang buruk (Why CEO
Fail, Fortune Magazine 199x).
Perubahan yang tajam antara era industri dan era ekonomi pengetahuan (knowledge economy)
menyatakan dengan jelas lansekap bisnis telah berubah secara drastis. Perubahan itu terlihat
dari production driven ke customer driven, dari proses ke integrasi, dari aset berwujud ke aset
tidak berwujud (intangible). Selain itu sistem manajemen konvensional yang dirancang untuk
lansekap bisnis yang relatif stabil dan perubahan yang sekedar tambahan alias incremental saja
saat ini dianggap tidak lagi memadai. Perubahan yang drastis dan mendasar menuntut adanya
pendekatan dan sistem manajemen baru untuk bisa mencakup dengan perubahan yang
direncanakan.
Dalam hal inilah BSC menawarkan framework (kerangka kerja) bagi organisasi untuk bisa
berhasil mengimplementasikan strategi. Kaplan & Nortor beranggapan bahwa ada gap atau
kesenjangan antara strategi dengan operasional action. BSC dipercaya dapat menjembatani
gap tersebut. Seperti yang tergambar dalam building block of strategi implementation berikut.
BSC adalah alat (tools) manajemen strategi dan sekaligus implementasi strategi yang terdiri
atas peta strategi (strategy map) dan terjemahan strategi dalam bentuk scorecard sasaran
strategis, metrik, target serta inisiatif untuk mencapai target. Ada sejumlah premis dasar yang
digunakan dalam BSC ini.
Motif Pengukuran :
Penciptaan nilai, konsisten dengan misi, adalah overarching purpose of organizations.
Strategi mendefinisikan pendekatan unik organisasi dalam menciptakan nilai.
Diperlukan alat bantu untuk dapat mendeskripsikan strategi
Penerapan BSC secara baik akan menggambarkan strategi yang dipilih sebuah organisasi (A
good BSC describes organization strategy)
BSC menerjemahkan strategi ke dalam sistem terpadu yang terdiri dari obyektif, ukuran
keberhasilan, target dan inisiatif yang didefinisikan ke vdalam empat dimensi atau perspektif
bisnis. Seperti yang disarankan Kaplan & Norton, keberhasilan yang dimaksud bukan hanya
menyangkut dimensi financial. Akan tetapi organisasi juga perlu mengukur dimensi-dimensi
non-finansial seperti pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan.
Dengan konsep tersebut, tanpa mengurangi fokus pada kinerja saat ini, Balanced Scorecard
memungkinkan kita menangkap sinyal-sinyal informasi tentang keberhasilan perusahaan di
masa depan. Indikasi keberhasilan masa depan adalah sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh
ilmu akunting maupun keuangan paling hebat sekalipun. Sebab, teknik-teknik peramalan sangat
bergantung pada model dan asumsi, sedangkan situasi bisnis di masa depan sangatlah tidak
mungkin untuk diprediksi. Ditambah lagi dengan dinamika sangat cepat yang mengakibatkan
model dan asumsi menjadi usang dan tidak relevan lagi.
Balanced Scorecard menawarkan informasi yang sangat diperlukan investor, yaitu indikasi
peluang keberhasilan di masa depan. Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya klaim yang
dinyatakan oleh para ‘scorecardist’, bahwa BSC adalah satu-satunya alat untuk mengelola
kinerja saat ini dan masa depan sekaligus. Investor adalah pihak yang sangat senang
mengetahui hal tersebut sehingga mereka tidak seakan-akan membeli kucing dalam karung jika
membeli saham suatu perusahaan. Ilustrasi di bawah ini menggambarkan bagaimana BSC
mencoba menerjemahkan atau memilah strategi ke dalam empat perspektif.
Struktur BSC
Sebuah program BSC yang sukses harus dipahami sebagai proses perubahan dan bukan sebatas
rencana proyek. A successful BSC program start with recognition that it is not a ‘metrics’
project, it is a ‘change’ process. Karena itulah ada sejumlah kaidah yang perlu diingat dalam
penerapannya, yaitu:
Jika melihat empat perspektif BSC, Strategy Map (cause effect) maka terlihat hanya ada satu
perspektif yang mewakili shareholder value. Sementara tiga yang lainnya mewakili stakeholder
value. Premisnya adalah shareholder value is a result of effect. Untuk menciptakan
shareholder value maka terlebih dahulu harus menciptakan stateholder value, yaitu bagi
karyawan, supplier dan tentunya customer. Tanpa stakeholder value, maka mustahil organisasi
dapat menciptakan shareholder value. Dari sinilah bisa dipahami there should be more focus on
stakeholder value creation.
Ada sebuah adagium yang berkembang di kalangan praktisi manajemen: formulating strateyi is
much much easier that executing or implementing strategy. Atau secara sederhana bisa
diterjemahkan ngomong teori itu gampang, yang susah justru melaksanakannya.
Strategy Map
Strategi adalah hipotesa manajemen. Strategy Map merupakan diagram yang menggambarkan
hipotesa manajemen tentang bagaimana organisasinya dapat mencapai sasaran strategis yang
ditetapkan. Premis penting filosofi BSC adalah implementasi strategi yang berhasil disebabkan
oleh hubungan kausal antara tiga aspek non-finansial dan satu aspek finansial.
Z Theory
Jika kita kita memiliki staf yang kompeten dan bermotivasi tinggi, melakukan proses
bisnis yang efisien dan efektif, maka pelanggan akan terpuaskan dan memberikan
lebih banyak bisnis bagi perusahaan sehingga akan memberikan keuntungan dan
pertumbuhan. Yang terakhir pada prinsipnya adalah shareholder value.
Argumen dasar BSC: bila berhasil memenuhi sasaran learning and growth maka akan
menimbulkan efek kausal pada aspek internal process dan pelanggan yang menghasilkan
keberhasilan pencapaian sasaran secara financial.
BSC yang konvensional secara tipikal terdiri dari empat perspektif, namun tidak sedikit
organisasi yang menggunakan tiga atau lima bahkan enam perspektif dalam scorecard-nya.
Pilihan ini sepenuhnya tergantung pada jenis organisasi dan strategi yang dipilih. Strategy Map
dan scorecard yang melengkapinya adalah suatu hipotesa yang merupakan asumsi dan logika
terbaik manajemen tentang bagaimana mekanisme dan hubungan sebab-akibat antara suatu
variable dengan variable lainnya.