Khutbah Jumat ›
Jumat, 5 Maret 2010
Seperti apakah ditahannya? Pahala kebaikan dari salat, zakat, puasa, haji, dan pahala-
pahala lainnya dibagi-bagikan kepada orang yang pernah disakitinya, sampai habis
pahala yang dimilikinya. Setelah habis pahala kebaikan ibadahnya itu, tinggallah
keburukan orang-orang yang dizaliminya yang kemudian ditimpakan kepadanya. Maka
kemudian dia dilemparkan ke dalam api neraka.
Ibadah yang kita lakukan itu harus berdimensi sosial. Kalau dikaitkan lebih jauh lagi,
ternyata masalah sosial itu menjadi prioritas. Misalkan jika kita puasa, yang puasa
tersebut kita laksanakan sambil melakukan perjalanan. Perjalanan itu bisa meletihkan.
Alquran menyatakan, bahwa kita yang berada di dalam perjalanan diperbolehkan untuk
berbuka. Atau juga ketika kita dalam keadaan sakit, yang menurut penelitian para dokter,
bahwa jika puasanya diteruskan, maka sakitnya akan bertambah parah. Karena itulah,
menurut yang termaktub di Alquran, kita diperbolehkan berbuka jika dalam keadaan
sakit. Ini artinya, bahwa ibadah di dalam Islam pun memperhatikan keselamatan manusia.
Dimensi sosial inilah yang kita inginkan, yang bermula dari aspek fiqh, aspek tasawwuf,
yang kemudian meningkat kepada aspek sosial. Dari sini kemudian naik tingkat lagi ke
tingkat ke empat, yaitu pendekatan logikal, kita perkuat argumentasi kita. Kita perkaya
keagamaan kita dengan berbagai bahan bacaan, sehingga keberagamaan kita itu menjadi
kokoh.
Dalam keadaan seperti ini, maka agama yang harus menjadi pegangan, karena agama
memberikan pedoman bagi manusia dalam seluruh keadaan. Antara lain kini semakin
diyakini, bahwa Sistem Ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi yang paling kuat.
Menurut Islam, mata uang itu adalah emas dan perak. Karena mata uang yang paling kuat
adalah mata uang emas, yang ternyata hampir tak terkena goncangan.
Menurut ajaran Islam, juga dilarang untuk melakukan monopoli. Islam sudah
menawarkan satu prinsip ekonomi yang balance (seimbang). Di dalam Islam dipersilakan
untuk kaya. Tetapi bersamaan dengan kekayaan, dia bersedekah, dia berinfak, dia
berzakat, dan dia berwakaf. Maka ketika dia makmur, yang lain pun juga ikut makmur.
Namun, orang yang diberi zakat dan infak pun jangan ketergantungan terus-menerus.
Sebaiknya, ketika diberi zakat, maka harus ada perubahan ke depannya. Jika tahun ini dia
diberi zakat, maka tahun yang akan datang dialah yang memberi zakat.
Di dalam krisis ini, mental spiritual Islam sudah memberikan petunjuk, dan itu cukup
banyak. Antara lain, misalnya ketika orang menghadapi keadaan pailit (bangkrut),
keadaan kekurangan, maka Islam memberikan tuntunan untuk bersabar. Di dalam
psikologi modern, sabar diartikan sebagai regresi, yaitu menurunkan kadar ambisi kita.
Rasulullah pernah mengatakan (dan juga di dalam ajaran agama lain), bahwa sebab
manusia stress itu karena terlalu tinggi obsesinya. Dengan bersikap sabar, maka jika dia
menginginkan 100, maka kemudian kadarnya diturunkan menjadi 60. Selain sabar, yaitu
sabar untuk menerima kenyataan dari standar 100 diturunkan menjadi 60, juga pada saat
yang bersamaan dia juga bersyukur kepada Allah.
Dengan bersyukur, sekecil apapun yang didapatkan, maka di hadapan orang yang
bersyukur menjadi bermakna. Tetapi bagi orang yang tidak pernah bersyukur, maka
berapapun menjadi tidak ada artinya. Misalkan dia mendapatkan untung sejuta, lalu dia
berkata, “Ya…, hanya sejuta. Kemarin untungnya 3 juta.” Besoknya lagi dia mendapat
700 ribu, lalu dia berkata, “Ya…, cuma 700 ribu. Kemarin untungnya sejuta.” Sehingga
tak pernah ada habisnya ia mengeluh.
Bagi orang yang bersyukur, ketika ia berada dalam keadaan yang sulit, maka ia akan
bertawakkal kepada Allah.
Agama sudah memberikan petunjuk-petunjuk yang lengkap untuk menghadapi semua ini.
Maka pada Q.S. Ar-Ruum ayat 30 dikatakan: fa aqim wajhaka. Ternyata kalimat ini luas
sekali artinya, baik itu dimensi fiqh, tasawwuf, sosial, ideologi, dan dimensi kognitifnya.
Fa aqim wajhaka liddiini. Menurut para ahli ilmu nahwu, kata “ad-diin” di sini bentuknya
ma’rifat. Di dalam Ilmu Nahwu, ada nakirah dan ada ma’rifat. Jika nakirah adalah umum,
misalkan kata “diinun”, maka ma’rifat adalah khusus, misalkan kata “ad-diin”. Dalam hal
ini, agama yang dimaksud adalah agama yang diturunkan oleh Allah, bukan agama yang
dihasilkan dari seminar, bukan pula agama hasil penelitian, tetapi agama yang “that is the
revelation from God in The Holy Quran”, yaitu agama yang diwahyukan oleh Tuhan di
dalam kitab suci Alquran.
Mengenai orisinalitas Alquran, maka hal ini sudah terbukti. Hal ini sudah bisa
dibuktikan, misalkan melalui pendekatan sejarah. Bahwa Alquran ditulis pada zaman
Rasulullah masih hidup, dan beliau yang langsung mengedit Alquran tersebut, yang ini
menurut istilah pada Ilmu Ulumul Qur’an disebut tauqif (penetapan Rasulullah). Jadi,
ketika turun ayat Alquran, maka Rasulullah langsung memerintahkan para sahabat ketika
itu untuk menyusun urutan surah dan ayat Alquran seperti yang bisa kita baca hingga saat
ini (kini mungkin seperti menyusun dan menyimpan berkas-berkas di dalam file-file).
Di samping itu, penyusunan Alquran ini juga dibantu oleh para penghafal Alquran ketika
itu. Jadi, kalau ada lembaran-lembaran Alquran itu yang hilang, maka masih ada back-
upnya (sesuai dengan yang dihafal oleh para penghafal). Dan memang pada masa itu,
tradisi di Arab adalah tradisi menghafal, sedangkan tradisi baca-tulis mungkin tidak ada,
dan kalaupun ada, maka tidak sepenting tradisi menghafal. Oleh karena itulah, tradisi
menghafal tersebut hingga saat ini masih ada di Arab. Menghafal Alquran bahkan
menjadi persyaratan untuk masuk ke perguruan tinggi. Setelah seseorang masuk ke
perguruan tinggi, barulah orang tersebut bertahassus dia mau menjadi apa. Misalkan mau
menjadi dokter, silakan, tetapi dokter yang hapal Alquran. Mau menjadi ahli pertanian,
silakan, tetapi ahli pertanian yang hapal Alquran. Mau menjadi insinyur, silakan, tetapi
insinyur yang hapal Alquran. Mau menjadi tentara, silakan, tetapi tentara yang hapal
Alquran. Sehingga agama itu betul-betul menjiwai seluruh aspek kehidupan.
Ada masa yang disebut sebagai Golden Age (Masa Emas). Masa ini pada setiap anak
yaitu dari berumur 4 hingga 12 tahun (masa anak ketika TK hingga lulus SD). Inilah
masa keemasan, di mana memori anak dengan mudah bisa menghapal. Menurut Ilmu
Neurologi (ilmu tentang syaraf), bahwa pada otak manusia itu ada 200 milyar sel
otaknya. Pertumbuhannya mulai dari dalam rahim (ketika terjadi ‘alaq). Pembentukan sel
tersebut dalam setiap detik sekitar 25 ribu sel yang berkembang, hingga terus
berkembang sekitar 200 milyar sel otak manusia tersebut. Sel-sel ini ada Golden Age-
nya, di mana ada masa memorizing.
Suatu saat saya berkunjung ke Iran (tepatnya di Kota Teheran). Di sana saya menemukan
200 anak di bawah umur 10 tahun yang sudah hapal Alquran. Anak-anak ini juga pernah
dites di London. Kecepatan mereka untuk mencari ayat Alquran dibandingkan dengan
kecepatan komputer, ternyata anak-anak ini lebih cepat dibandingkan komputer.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Ternyata sistem komputer belum bisa menyaingi otak
manusia. Diprediksi, bahwa baru pada tahun 2030 akan ada komputer yang servernya itu
bisa menyimpan seperti halnya sel otak manusia. Tapi, sepertinya saya tak terlalu yakin
akan prediksi ini. Otak manusia yang diciptakan oleh Allah memorizingnya begitu kuat.
Hai orang-orang yang beriman, ta‘atilah Allah dan ta‘atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-Nisaa: 59)
Menurut Imam Al-Maraghi dalam Kitabnya Tafsir Al-Maraghi, bahwa Ulil Amri itu ada
dua macam: Al-Amru fiddiin (yaitu ulama) dan Al-Amru fiddaulah atau Al-Amru
fiddunya (yaitu umara’). Jadi menurut Imam Al-Maraghi, bahwa ulama dan umara’ itu
sama-sama ulil amri. Maka berdasarkan ayat ini, bahwa kawin di bawah tangan itu
sebenarnya tidak sah, karena tidak mentaati ulil amri. Apalagi dalam hal ini kaidahnya
adalah maslahatul mursalah (kemaslahatan umat).
Liddiini haniifa (beragama itu dengan tulus). Metode beragama memang berbeda dengan
metode yang lainnya. Misalkan di dalam metode ilmu pengetahuan, bahwa sebelum kita
menerima dan mempercayai sesuatu, maka kita skeptis dahulu terhadap hal tersebut. Kita
harus ragu dan memverifikasi dahulu hal tersebut. Setelah teruji benar, barulah kita
menerima dan mempercayai hal tersebut. Tetapi agama tidak boleh begitu. Agama
diterima dahulu, karena agama adalah dari Allah yang sudah pasti benar. Kita meyakini
bahwa agama adalah dari Allah dan sudah pasti benar.
Dengan agama, hidup jadi mempunyai tujuan jangka panjang. Dengan agama, hidup kita
menjadi semakin tenang, karena dimiliki oleh Allah. Mudah-mudahan keberagamaan kita
semakin mantap, semakin mempunyai nilai resonansi, semakin memiliki vibrasi, getaran
di dalam kehidupan, sehingga akan membawa manfaat di dunia dan akhirat, (*) (selesai)
Disarikan dari Ceramah Ahad yang disampaikan oleh : Prof Dr H Abudin Nata MA
PENYIMPANGAN SIKAP (PERILAKU)
KEAGAMAAN
Oleh H.Munadi Sutera Ali
A. Pendahuluan
Dr. Mar’at mengemukakan ada 13 pengertian sikap, yang dirangkum menjadi 4 rumusan berikut :
Pertama sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus
menerus dengan lingkungan (di rumah, sekolah, dll) dan senantiasa berhubungan dengan obyek seperti
manusia, wawasan, peristiwa atau pun ide, sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara
tertentu terhadap obyek. Kedua, Bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan dan afektif seperti yang
tampak dalam menentukan pilihan apakah positif, negatif atau ragu, dengan memiliki kadar intensitas yang
tidak tentu sama terhadap obyek tertentu, tergantung pada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan
saat tertentu mungkin sesuai sedangkan di saat dan situasi berbeda belum tentu cocok. Ketiga, sikap dapat
bersifat relatif consistent dalam sejarah hidup individu, karena ia merupakan bagian dari konteks persepsi
atau pun kognisi individu. Keempat sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai
konsekuensi tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan, karenanya sikap merupakan penafsiran dan
tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna, atau bahkan tidak memadai.
Dari rumusan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap merupakan predisposisi untuk bertindak
senang atau tidak senang terhadap obyek tertentu yang mencakup komponen kognisi, afeksi dan konasi.
Dengan demikian sikap merupakan interaksi dari komponen-komponen tersebut secara komplek.
Komponen kognisi akan menjawab apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang obyek. Komponen
afeksi dikaitkan dengan apa yang dirasakan terhadap obyek. Komponen konasi berhubungan dengan
kesediaan atau kesiapan untuk bertindak terhadap obyek.
Faktor penentu sikap, baik sikap positif atau pun sikap negatif, adalah motif, yang berdasarkan kajian
psikologis dihasilkan oleh penilaian dan reaksi afektif yang terkandung dari sebuah sikap. Motif
menentukan tingkah laku nyata (overt behavior) sedangkan reaksi afektif bersifat tertutup (covert
behavior).
Dengan demikian, sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berfikir, merasa dan
pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap sesuatu obyek. Dengan demikian sikap terbentuk
dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan bukan pengaruh bawaan (factor intern) seseorang, serta
tergantung kepada obyek tertentu. Karena Sikap dipandang sebagai perangkat reaksi-reaksi afektif terhadap
obyek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individu
Pemberian dasar jiwa keagamaan pada anak, tidaklah dapat dilepaskan dari peran orang tua sebagai
pendidik di lingkungan rumah tangga. Pengenalan agama sejak usia dini, akan sangat besar pengaruhnya
dalam pembentukan kesadaran dan pengalaman beragama pada anak tersebut. Karenanya adalah sangat
tepat, Rasul SAW menempatkan orang tua sebagai penentu bagi pembentukan sikap dan pola tingkah laku
keagamaan seorang anak, sebagaimana sabdanya : “setiap anak dilahirkan atas fithrah, dan tanggung jawab
kedua orang tuannyalah untuk menjadikan anak itu nashrani, Yahudi atau Majusi. Dimana fithrah yang
dapat diartikan sebagai potensi untuk bertauhid (dapat disebut sebagai jiwa keagamaan), merupakan potensi
physikis pada manusia, yang diakui adanya oleh para ahli psikologi transpersonal. Aliran psikologi ini juga
mencoba melakukan kajian ilmiah terhadap demensi yang selama ini merupakan kajian dari kaum
kebathinan, rohaniawan, agamawan dan mistikus. Jadi, keluarga sebagai lingkungan yang pertama ditemui
anak, sangat berperan dalam pembentukan pola perilaku/ sikap anak. Adanya perbedaan individu, pada
dasarnya disebabkan oleh perbedaan situasi lingkungan yang dihadapi oleh masing-masing.
Karena itu, pembinaan dan pengembangan fithrah sebagai potensi psikis manusia, untuk melahirkan sikap
dan pola tingkah laku keagamaan, dapat dibentuk dengan mengkondisikan lingkungan sesuai dengan
ketentuan norma-norma agama. Dan norma-norma tersebut akhirnya terintegrasi dalam kepribadian
individu yang bersangkutan.
Walau norma-norma agama telah menjadi bagian dari kepribadian seseorang, pada kenyataannya sering
ditemukan adanya penyimpangan-penyimpangan, yang disebabkan oleh sikap yang bersangkutan (baik
perseorangan atau kelompok) terhadap keyakinan agamanya mengalami perubahan.
Penyimpangan sikap keagamaan dapat menimbulkan tindakan yang negatif, apalagi penyimpangan itu
dalam bentuk kelompok. Memang, penyimpangan dalam bentuk kelompok ini, sering diawali oleh
penyimpangan individual, tapi individual tersebut mempunyai pengaruh besar. Seseorang yang mempunyai
pengaruh terhadap kepercayaan dan keyakinan orang lain, sebagai bagian dari tingkat pikir transenden.
Akan sangat berpengaruh terhadap penyimpangan kelompok.
Sikap keagamaan sangat erat hubungannya dengan keyakinan/ kepercayaan. Dan keyakinan merupakan hal
yang abstrak dan susah dibuktikan secara empirik, karenanya pengaruh yang ditimbulkannya pun lebih
bersifat pengaruh psikologis.
Keyakinan itu sendiri merupakan suatu tingkat fikir yang dalam proses berfikir manusia telah
menggunakan kepercayaan dan keyakinan ajaran agama sebagai penyempurna proses dan pencapaian
kebenaran dan kenyataan yang terdapat di luar jangkauan fikir manusia. Karenanya penyimpangan sikap
keagamaan cenderung di dasarkan pada motif yang bersifat emosional yang lebih kuat dan menonjol
ketimbang aspek rasional.
Penyimpangan sikap keagamaan, ditentukan oleh terjadinya penyimpangan pada tingkat fikir seseorang
( tingkat fikir materialistik dan tingkat fikir transendental relegius ), sehingga akan mendatangkan
kepercayaan/ keyakinan baru kepada yang bersangkutan (baik indivual maupun kelompok). Jika keyakinan
itu bertentangan atau tidak sejalan dengan keyakinan ajaran agama tertentu, maka akan terjadi sikap
keagamaan yang menyimpang.
Penyimpangan sikap keagamaan ini, disamping menimbulkan masalah pada agama tersebut, juga sering
mendatangkan gejolak dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat.
Sikap keagamaan akan tidak mengalami distorsi, manakala norma/nilai yang melandasi keyakinan yang
melahirkan sikap itu mampu menjawab berbagai hal yang menyebabkan terjadinya perubahan/ pergeseran
sikap tadi.
Suatu sikap akan tidak bergeser, walau adanya lingkungan merekayasa obyek, untuk menarik perhatian,
kalau norma/ nilai yang mendasari keyakinan untuk lahirnya sebuah sikap keagamaan, dapat menampilkan
daya tarik lebih besar dari apa yang ditampilkan oleh lingkungan.
Kemampuan penyampai informasi dan komunikator nilai/ norma agama untuk meyakinkan kebenaran
agama, dengan dapatnya teruji pada kehidupan, akan menghindarkan terjadinya proses konversi agama
pada seseorang.
Pentingnya memperhatikan masalah status social dalam kehidupan beragama , adalah hal yang mutlak
dilakukan, jika tidak diinginkan adanya mereka yang merubah sikap keagamaan ke arah penyimpangan dari
nilai dan norma sebelumnya, karena melihat kemungkinan perbaikan pada status sosialnya. Hal ini juga
telah disampaikan Rasul SAW., bahwa ‘kefakiran dekat dengan kekufuran’ (al Hadits). Dan kekufuran
berarti penyimpangan dari sikap sebelumnya. Karenanyanya, juga kehidupan keagamaan juga harus
mengedepankan kemaslahatan kehidupan masyarakat,
E. Penutup
1. Penyimpangan sikap keagamaan, ditentukan oleh terjadinya penyimpangan pada tingkat fikir seseorang ,
sehingga akan mendatangkan kepercayaan/ keyakinan baru kepada yang bersangkutan (baik indivual
maupun kelompok).
2. Diantara penyebab terjadinya penyimpangan sikap keagamaan, antara lain :
3. Untuk menghindari terjadinya penyimpangan sikap keagamaan, ada beberapa solusi alternatif, antara
lain :
a. Menyajikan agama dengan performa yang senantiasa menarik
b. Menyajikan agama dalam bentuk sesuatu kebenaran yang tidak pernah bergeser dan
senantiasa teruji dan dapat diuji.
d. Menampilkan nilai/ norma agama dengan mengedepankan apa yang dinilai sangat
positif bagi kemaslahatan kehidupan masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam : Menuju Psikologi Islami, Pustaka
Pelajar, Jogjakarta, 1995
Philip G.Zimbardo, 1979, Essentials of Psychology and life, Foresman & Company, London
Prof. Dr. Mar’at, Sikap Manusia : Perubahan serta pengukurannya, Balai Aksara-Yudhistira dan
Sa’adiyah, Jakarta
SIKAP KEAGAMAAN
5 02 2007
Sikap merupakan predisposisi untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap obyek
tertentu yang mencakup komponen kognisi, afeksi, dan konasi. Jadi, sikap merupakan
interaksi dari tiga komponen psikologis tersebut secara kompleks. Komponen kognisi
akan menjawab tentang apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang obyek.
Komponen afeksi dikaitkan dengan apa yang dirasakan terhadap obyek. Sedangkan
komponen konasi berhubungan dengan kesediaan atau kesiapan untuk bertindak terhadap
obyek. Tegasnya, sikap adalah hasil dari proses berfikir, merasa, dan pemilihan motif-
motif tertentu sebagai reaksi terhadap suatu obyek, baik yang konkret maupun abstrak.
Psikologi memandang bahwa sikap mengandung unsur penilaian dan reaksi afektif
sehingga menimbulkan motif. Motif menentukan tingkah laku nyata, sedangkan reaksi
afektif bersifat tertutup. Jadi, motif menjadi faktor penjalin sekaligus menentukan
hubungan antara sikap dan tingkah laku. Motiflah yang menjadi tenaga pendorong kearah
sikap positif atau negatif yang hal itu kemudian tampak dalam tingkah laku nyata. Motif
yang didasari pertimbangan-pertimbangan tertentu biasanya menjadi lebih stabil jika
diperkuat dengan komponen afeksi. Dalam hubungan ini tergambar bagaimana jalinan
pembentukan sikap keagamaan sehingga dapat menghasilkan bentuk pola tingkah laku
keagamaan dengan jiwa keagamaan.
Predisposisi tersebut menurut Prof. Dr. Mar’at adalah sesuatu yang telah dimiliki
seseorang semenjak kecil sebagai hasil pembentukan dirinya sendiri. Pada konteks ini,
peran orang tua menjadi sangat dominant dalam membentuk kesadaran dan pengalaman
agama pada diri seorang anak sejak dini. Kajian psikologi transpersonal meneguhkan
kenyataan bahwa manusia memang memiliki potensi dan daya psikis yang dikenal
sebagai jiwa keagamaan. Setiap manusia terlahir dengan memiliki potensi-potensi luhur
(the highest potentials) dan fenomena kesadaran (states of consciousness) yang penting
dalam kehidupannya. Konsep tersebut kiranya dapat ditautkan dengan “fitrah” dalam
khazanah pengetahuan Islam.
Psikologi agama melihat bahwa ajaran agama memuat norma-norma yang dijadikan
pedoman oleh pemeluknya dalam bersikap dan bertingkah laku. Norma-norma tersebut
mengacu kepada pencapaian nilai-nilai luhur guna pembentukan kepribadian dan
keserasian hubungan sosial dalam upaya memenuhi ketaatan kepada Tuhan. Tetapi dalam
kehidupan nyata banyak dijumpai penyimpangan atau perubahan dari konstatasi di atas,
baik secara individual maupun kolektif. Perubahan sikap keagamaan memiliki tingkat
kualitas dan intensitas yang beragam dan bergerak antara titik positif hingga negatif. Jadi,
sikap keagamaan yang menyimpang dalam kaitan dengan perubahan sikap tidak selalu
berkonotasi negatif sehingga gerakan pembaharuan keagamaan yang berusaha merombak
tradisi keagamaan yang keliru juga masih dapat dimasukkan dalam kategori ini.
Terjadinya sikap keagamaan yang menyimpang berkaitan erat dengan perubahan sikap.
Sebagaimana telah dijelaskan dimuka, sikap berfungsi menggugah motif untuk
bertingkah laku baik dalam bentuk nyata (overt behavior) maupun tertutup (cover
behavior). Sikap tersebut merupakan hasil belajar atau pengaruh lingkungan terhadap
kompleksitas proses komponen psikologi seseorang, sehingga sikap memungkinkan
untuk berubah atau diubah sekalipun tidak mudah. Beberapa teori psikologi dapat
menyajikan argumentasi kuat untuk mendukung pernyataan di atas, diantaranya: teori
stimulus-respon, teori pertimbangan sosial, dan teori konsistensi.
Teori stimulus dan respon beranjak dari lokus pengaruh stimulus yang relevan bagi
pembentukan respon tertentu terhadap suatu obyek. Sedangkan teori pertimbangan sosial
menegaskan faktor internal dan eksternal sebagai pemicu keputusan-keputusan perubahan
sikap. Pada tingkatan internal, sikap seseorang dipengaruhi oleh persepsi sosial, posisi
sosial, dan proses belajar sosial. Pada tingkatan eksternal, pengaruh terjadi melalui proses
penguatan (reinforcement), komunikasi persuasif, dan harapan yang diinginkan. Adapun
teori konsistensi lebih melihat faktor internal sebagai pemicu perubahan, yang pada
dasarnya bertujuan untuk menyeimbangkan antara sikap dan perbuatan. Teori ketiga ini
ada yang menyebutnya sebagai balance theory (Fitz Heider), congruity theory (Osgood &
Tannenbaum), cognitive dissonance theory (Festinger), dan reactance theory (Brohm)
dengan intisari pemikiran yang serupa, yaitu pilihan sikap terbaik biasanya adalah yang
paling cocok dan dapat memberikan kestabilan pada diri seseorang. Kestabilan inilah
yang melahirkan keharmonisan, keseimbangan dan ketenangan batin pada diri seseorang.
Pada konteks ini patut pula diulas tentang teori fungsi yang menyebutkan bahwa
perubahan sikap seseorang dipengaruhi oleh kebutuhan seseorang. Prinsipnya, sikap
berfungsi untuk membantu seseorang untuk senantiasa mampu menyesuaikan dengan
lingkungan menurut kebutuhannya. Katz berpendapat bahwa sikap memiliki 4 fungsi
pokok: (1) fungsi instrumental, dimana manusia dapat membentuk sikap positif/negatif
terhadap obyek yang dihadapinya; (2) fungsi pertahanan diri, yang berperan melindungi
diri dari ancaman luar; (3) fungsi penerima dan pemberi arti, yang dengannya seseorang
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya; dan (4) fungsi nilai ekspresif, yakni
pernyataan sikap seseorang atas suatu obyek, baik secara verbal maupun non-verbal.
Melalui teori ini dapat dipahami bahwa perubahan sikap terjadi tidak dengan serta-merta,
melainkan melalui suatu proses penyeimbangan diri dengan lingkungannya atau
penyesuaian diri dengan kebutuhannya.
Source:
H. Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
Bahaya aksi terorisme demikian jelas, bukan hanya pada masyarakat sekitar dan
kerusakan fisik, tapi juga trauma psikis terhadap korban dan keluarganya. Ancaman
inipun harus disikapi secara bijak, dengan terus mengoptimalkan upaya pencegahan dan
pemberantasannya. Upaya itu salah satunya melalui pendekatan agama.
Senada dengan Din, rektor baru UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat,
mengatakan, radikalisme umat beragama dapat dikurangi dengan mengintensifkan dialog
antar-agama dan pendidikan. “Harus ada upaya menyadarkan masyarakat bahwa kita
hidup dalam rumah tangga besar yang anggotanya memiliki perbedaan,” katanya.
Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Tarmizi Taher menambahkan, teror atau
membunuh orang tidak berdosa tidak ada kaitannya dengan agama apapun termasuk
dengan agama Islam. “Terorisme adalah gerakan anti kemanusiaan, gerakan politik yang
menyalahgunakan agama untuk mencederai umat itu sendiri. Korban dari aksi teror telah
menimpa berbagai negara dan masyarakat,” ujarnya.
Tarmizi mengakui, Umat Islam saat ini diuji dengan tuduhan terorisme. Namun
demikian, kata dia, umat Islam patut bersyukur dengan munculnya gerakan Islam
Moderat dalam masyarakat yang menunjukkan adanya revivalisasi nilai-nilai agama yang
santun dan ramah.
Nilai-nilai agama tersebut berhadapan dengan arogansi dan kekerasan. “Umat beragama
di Indonesia harus bangkit bersama melawan kekerasan yang mengatas-namakan agama,
jika tidak mau tenggelam dalam stereotip yang tidak menguntungkan semacam teroris,”
ingatnya.
Imam Feisal Abdul Rauf, pendiri Masyarakat Amerika bagi Kemajuan Muslim (Asma)
membenarkan telah terjadi pemahaman yang salah mengenai Islam bahwa agama Islam
dikaitkan dengan terorisme. “Kita berusaha menghapuskan praduga ini. Kita harus
mengubah pemahaman mengenai Islam di Barat dan ini tak dapat dicapai tanpa
keterlibatan kaum Muslim sendiri, misalnya melalui pemimpin agama, pegiat hak asasi
manusia, cendekiawan, dan politisi muslim,” jelasnya.
Maemunah Sa’diyah, dosen UIKA Bogor menyatakan ada tiga asumsi mengapa
terorisme terjadi dan dikaitkan dengan Islam. Pertama, terdapat konspirasi besar yang
ingin menghancurkan Islam dari dalam. Kedua, terdapat teks-teks dalam Al-Quran dan
hadis yang interpretasikan sebagai anjuran umat Islam untuk melakukan kekerasan. Dan
ketiga, ada yang salah dalam proses pendidikan sehingga berpeluang melahirkan agen-
agen teroris.
Metodologi yang dilakukan selama ini, menurut Maemunah, lebih kepada kognitif
minded, bukan implementatif minded, sehingga aspek afeksi dari nilai-nilai agama nyaris
tidak tersentuh ditambah lagi dengan waktu belajar agama yang sangat singkat. “Hal
inilah yang mungkin menjadi celah bagi masuknya pengaruh-pengaruh yang
mengatasnamakan Islam tanpa mengalami proses filterisasi terlebih dahulu,” ingatnya.
1 Votes
Para tokoh agama lain juga menegaskan, “Pokoknya, terorisme tidak terkait dengan
agama”. Agama adalah sakral suci dengan misi membawa damai sehingga tidak
sepantasnya dijadikan tertuduh atau dikait-kaitkan dengan tindak terorisme. Jadi,
persoalan terorisme harus di-exclude dari agama. Agama adalah entitas tersendiri,
sedangkan terorisme merupakan entitas yang lain.
Apalagi dari kajian kritis itu, kini juga banyak ditemukan fakta bahwa ada cukup banyak
kelompok teroris yang memang sengaja membawa-bawa bendera agama.
Dari agama Shinto, misalnya, kita masih ingat akan tragedi gas sarin yang ditaburkan
oleh kelompok Aum Shinrikyo di subway di Tokyo, Maret 1995, yang menewaskan 12
orang dan melukai lebih dari 5.000 orang.
Lalu, dari bendera Kristen, Morehead menampilkan kelompok teroris yang sangat
terkenal di AS dengan sebutan Christian Identity Movement. Gerakan itu membawa misi
superioritas orang kulit putih (Arya dan Anglo Saxon) sebagai bangsa terpilih, dan AS
merupakan tanah yang dijanjikan Tuhan bagi mereka.
Akibatnya, mereka sangat anti-Yahudi dan pendatang selain kulit putih. Bahkan, mereka
punya kristologi konyol bahwa Yesus itu bukan orang Yahudi, tetapi berdarah Arya.
Gerakan tersebut juga yakin akan masa depan yang rasialis bahwa akan terjadi perang
suci antara kelompok mereka dengan Yahudi dan bangsa-bangsa lain. Tentu, dengan
kemenangan akhir diraih kelompok mereka.
Pada 1987, gerakan itu dituding menebar racun pada suplai air untuk dua kota besar di
AS, tetapi bisa digagalkan. Salah satu nama terkenal dari gerakan itu adalah Timothy
McVeigh, tertuduh pengeboman Gedung Federal di Oklahoma 1995.
Menarik dicermati bahwa meskipun berasal dari berbagai latar belakang agama berbeda,
gerakan-gerakan atau kelompok itu ternyata memiliki karakteristik atau pola yang sama.
Pertama, karena mereka sudah melibatkan agama, tentu saja setiap gerakannya menjadi
defender of the faith -pembela agama, bahkan merasa sebagai pembela Tuhan. Tidak
heran jika tiap gerakan merasa memiliki kebenaran sehingga mereka bersikap sangat
arogan atau otoriter dalam hal iman.
“Hanya kelompokku yang paling selamat. Semua kafir”. Jangankan kelompok dari luar
agama yang berbeda, kelompok dari latar belakang agama yang sama pun bisa dinilai
kafir dan akan masuk neraka. “Hanya kelompokku pemilik kavling surga yang sah!”.
Dari keyakinan itu, rata-rata kaum radikal tersebut sama sekali tidak takut mati. Karena
begitu mati, mereka yakin akan otomatis masuk surga. Jadi, ada garansi dan rasa percaya
diri yang kuat.
Karakteristik dan pola lain yang menonjol, menurut James Barr -guru besar Universitas
Oxford penulis buku Fundamentalism- adalah penekanan yang amat kuat akan
ketidaksalahan (inerrancy) kitab suci yang mereka anut sehingga mereka punya
penafsiran yang sangat skriptural dan literer.
Mereka menerima mentah-mentah setiap kalimat kitab suci, khususnya guna mencari
dukungan atau legitimasi untuk setiap tindak kekerasan atau teror yang hendak dilakukan.
Mereka hanya mengambil sepotong, tidak memahami makna kitab suci secara holistik.
Pola atau karakteristik lain adalah rata-rata gerakan atau kelompok itu sangat anti
klerikalisme atau anti pada pejabat keagamaan dari mainstream. Misalnya, yang di AS
anti pada hierarki gereja. Kalau di negara muslim, mereka anti kepada ulama-ulama yang
jadi pegangan dari umat kebanyakan.
Akhirnya yang paling penting, agama apa pun memang baik, tetapi jangan lupa yang
menghayati agama itu adalah manusia. Manusia itu bisa menjadi sangat jahat
sebagaimana teroris yang tidak peduli pada nyawa sesama manusia, bahkan nyawanya
sendiri. (*)
*Made Ayu Nita Trisna Dewi (Ay Yauwk Nio), aktivis perdamaian, bekerja di Taipei,
Taiwan
c. Pergaulan
Kebutuhan yang mendorong manusia untuk hidup dan bergaul sebagai homo-socius
(makhluk bermasyarakat) dan Zon-Politicon (makhluk yang berorganisasi.
e. Perhatian
Kebutuhan akan perhatian merupakan salah satu kebutuhan social yang terdapat pada
setiap individu. Besar kecilnya perhatian masyarakat terhadap seseorang akan
mempengaruhi sikapnya.
Selanjutnya Dr. Zakiah Daradjat dalam bukunya Pernan Agama Dalam Kesehatan
Mental membagi kebutuhan manusia atas dua kebutuhan pokok, yaitu:
a. Kebutuhan primer, yaitu kebutuhan jasmaniah : makan,minum,seks,dan sebagainya
(kebutuhan ini didapat manusia secara fitrah tanpa dipelajari).
b. Kebutuhan skunder atau kebutuhan rohaniah : jiwa dan social. Kebutuhan ini hanya
terdapat pada manusia dan sudah dirasakan sejak manusia masih kecil.
Dr. Zakiah Daradjat membagi kebutuhan skunder yang pokok menjadi enam macam
yaitu:
a. Kebutuhan akan rasa kasih saying.
Kebutuhan akan rasa kasih saying berperanan penting dalam menentukan sikap dan
tingkah laku kejiwaan seseorang.