Anda di halaman 1dari 7

Di Kaki Hariara Dua Puluh Tahun Kemudian

dengan 23 komentar

Sudah enam puluh tahun hariara itu tegak di pekarangan belakang sekolah itu. Walau usia sudah mengelupas kulit batangnya, namun dia tetaplah yang paling menjulang di antara pepohonan yang ada di sekeliling. Di ujung akarnya yang menjentang di permukaan tanah, dengan bersila beralaskan tikar pandan, duduklah Kartika Suryani sejak beberapa saat yang lalu.

16 suara

Mantan guru itu duduk dengan tegak. Usia tidak membuat punggungnya condong. Binar bola matanya di waktu muda masih disisakan oleh usia. Hanya pojok-pojok mata itu yang berkerut dilukis waktu. Rambutnya yang memutih tidak membuat wajahnya renta. Sinar matahari pagi mendatangkan kecerahan pada penampilannya. Di bawah pohon tua itu dia menanti murid-muridnya. Tentu bukan untuk memberikan pelajaran lagi, tetapi guna menepati janji yang sama-sama mereka sepakati dua puluh tahun yang silam. Janji yang lahir dari pedihnya kebebasan dan kejujuran. Kartika memang cuma seorang guru bantu, tetapi dia telah membawa suasana baru ke sekolah itu. Dia selalu menyelipkan kelakar untuk menyingkirkan suasana bengis yang selama ini merajai ruang belajar. Kedudukannya sebagai guru tidak mengungkungnya untuk menjaga jarak dari murid. Dia memperlakukan mereka layaknya anak sendiri. Teman malah. Terkadang dia memberikan tanda mata berupa manisan atau alat tulis kepada murid, yang menurutnya, pada hari itu telah menunjukkan upaya yang lebih besar dibandingkan kemarin. Dengan begitu, penghargaan itu tidak hanya monopoli murid yang paling pandai, tetapi juga menjadi sumber kepercayaan diri bagi mereka yang telah berusaha untuk menyayangi diri sendiri dengan berbuat lebih baik. Untuk menghidupkan suasana kebebasan, tak jarang dia mengajak murid-murid keluar kelas dan belajar dengan bergerombol mengelilingi hariara di pekarangan belakang. Ke kelas mana pun dia menampakkan diri, simpati dan sukacita tumpah padanya. Matanya yang berbinar dan senyumnya yang murah acapkali memancing murid-murid pria, yang suka iseng, diam-diam menyambut kedatangannya dengan suitan. Dia tidak hanya menjadi buah bibir di sekolah, tetapi juga bahan pujian di meja makan ketika murid-muridnya menceritakan kepada orangtua mereka tentang seorang guru yang cara mengajarnya membuat mereka betah di kelas. Begitu masuk kelas, dia bukannya langsung memerintahkan murid-murid untuk membuka buku pelajaran, tetapi memulainya dengan percakapan enteng tentang apa saja. Dia menyemangati murid-murid supaya berani mengemukakan pendapat tentang pelajaran yang mereka peroleh kemarin dan mimpi apa yang mereka ingin gapai hari ini. Muridnya memanfaatkan kesempatan di menit-menit awal menjelang pelajaran itu untuk menyampaikan kritik maupun pujian. Kuping Kartika tak pernah tipis. Dia selalu mendengar dengan sabar dan penuh minat. Semangat untuk menyatakan pendapat itu rupanya sudah tidak memperoleh ruang yang cukup kalau hanya diutarakan dalam beberapa menit menjelang pelajaran dimulai. Kartika kemudian menyediakan buku harian yang dia bentangkan di dekat pintu. Ke dalam halaman buku itu dia persilakan murid-murid untuk menuliskan apa saja yang mereka rasakan, atau pikirkan, tentang sekolah dan dunia mereka sendiri.

Banyak yang bilang masa di sekolah menengah merupakan penggal kehidupan yang paling membahagiakan.
Masa keemasan itu akan terampas ketika kita sudah duduk di perguruan tinggi, lantaran kehidupan senyatanya

sudah di depan mata. Benarkah itu? Tolong beri aku jawaban. Tapi, jangan klise, ya! begitu kata seseorang di buku harian itu.

Tidakkah bisa dipikirkan bagaimana mengajarkan matematika supaya menarik, bukannya seperti menyuapkan
simbol-simbol yang menyebalkan, mati, dan diajarkan dengan sikap yang sukar dibedakan apakah guru atau monster?! tulis yang lain menumpahkan kedongkolan. Ada pula yang menulis dengan awal yang manis, tetapi ditutup dengan sikap seperti mau bunuh diri karena tak ingin kehilangan: Sumpah, swear! Kesemarakan hidup hanya kutemukan di sekolah ini, pada guru yang begitu besar cinta mereka kepadaku. Dan teman- teman hebat semua. Baik-baik bangat! Kalau boleh memilih, gue kepingin mati di sini aja. Di sebelahnya, ada pula yang menanggapi dengan berseloroh: Enjoy aja neng, napa sih, he-he. Buku harian itu menjadi bahan pembicaraan ketika muncul sebuah kritik yang terlalu berterus terang dan tajam di situ. Ini adalah sekolah. Kata-kata guru di sini harus menjadi kenyataan tanpa tawar-menawar. Mereka berbicara mengenai lingkungan yang sedang terancam. Gak usah ngomong pake kaka-kata segede gajah, deh. Bicaralah tentang kamar kecil, kawan! Bak airnya kumal. Tali air di lantai mirip najis yang belepetan mencari jalan keluar. Tidakkah sekolah ini bisa memberikan contoh yang baik bagaimana hidup yang beriman? Kandang kuda tak sepesing ini. Kabar tentang keberadaan buku harian itu menyebar ke mana-mana. Murid dari kelas lain turut menikmati keterusterangan yang mekar di halamannya. Mereka seperti menemukan pintu masuk menuju sebuah lekuk kehidupan yang menenteramkan di situ. Banyak yang cemburu mengapa di kelas mereka tak terbentang buku tempat mencurahkan perasaan. Sementara guru yang merasa tersindir di halaman buku itu jadi kepanasan dibuatnya. Terutama kepala sekolah. Untuk beberapa guru, kritik dan kecaman yang ditulis di situ terasa seperti duri yang benar-benar mengusik ketenangan mereka.

Siapa lagi yang bikin demokrasi edan ini kalau bukan si ganjen itu. Guru bantu saja sok selangit! Guru-guru
yang kegerahan terkena sentilan di buku harian itu menebarkan kebencian dari kelas yang satu ke kelas yang lain, dari satu kolega ke kolega yang lain. Hasut-menghasut membanjir supaya buku itu diberangus, disingkirkan. Puncaknya bukan pada kritik yang dilancarkan para murid, tetapi pada Kartika Suryani, yang sudah tak tahan membendung banjir perasaannya. Untuk pertama kali dia mencurahkan kata hatinya: Aku tak pernah menyangka bahwa suatu ketika, dalam hidup ini, aku akan menemukan kepelikan yang muncul dari sikap korup seseorang yang semestinya menjunjung tinggi kejujuran. Karena kata inilah yang justru sering dikumandangkannya di depan murid-murid, pada setiap upacara seninan. Dan inilah yang menyakitkan. Dia menyuruh aku untuk menjadi penghubung, menemui seseorang yang akan memberikan kunci jawaban ujian nasional di suatu tempat. Mimpi buruk macam apa yang kudapatkan ini? Penghinaan seperti apa yang sedang dia rekayasa untuk merendahkan derajat anak-anakku? Aku tak mau dan tak bisa terlibat dalam kejahatan ini Aku telah memilih untuk meninggalkan sekolah ini. Zaman sudah berkelok dan jauh meninggalkan kodratnya. Seorang kepala sekolah sudah bukan lambang di mana kejujuran menemukan bentuknya. Kartika harus menutup buku yang menjadi jangkar bagi para muridnya untuk melabuhkan kata hati yang sering datang meronta-ronta. Dia hanya seorang guru bantu. Dia tidak dilahirkan dan tidak dikirimkan ke sekolah itu untuk menjadi dewi penyelamat. Bakat sebagai pembangkang juga dia tak punya. Hanya saja, dia tak punya nyali untuk menipu dan membungkam keyakinannya sendiri. Sebagaimana yang disumpahkannya di dalam buku harian itu, maka dia memilih berhenti. Dia mengajak seisi kelas untuk mengadakan semacam upacara perpisahan dengannya di sekolah itu juga, pada satu pagi di hari Minggu. Murid-murid membawa tanda cinta dan air mata mereka yang penghabisan dalam bentuk kado kecil-kecil yang mereka bungkus sendiri. Kartika membalas semua itu dengan terima kasih dan peluk cium.

Mari kita tanam buku ini di sini, sebagai tanda terima kasih kepada lembar-lembar halamannya kepada siapa kita
telah belajar tentang keberanian dan memercayakan perasaan kita. Lembar-lembar kertas yang telah ikut membesarkan kita semua. Kebebasan berpikir dan mengungkapkan kata hati takkan pernah bisa dibungkam. Dan itulah yang telah kita lakukan dengan catatan harian ini, katanya seraya menahan perasaan dan titik air mata. Seperti sedang meratapi peruntungannya sendiri, katanya pahit: Saya tahu mencari pekerjaan buat saya tidaklah mudah. Tetapi, saya tak pernah takut jadi miskin. Saya hanya gentar pada kejujuran. Dengan kesepakatan murid-murid yang tegak menahan emosi, buku itu diputuskan supaya ditanam. Kita yang setia kepada kejujuran diharap datang lagi ke sini, tepat di sini, di bawah pohon ini, pada hari ini juga, Minggu, persis dua puluh tahun mendatang. Kita akan lihat bagaimana kejujuran akan menunjukkan wajahnya. Apakah dia pernah menjadi tua? Kata-kata itu membuat upacara di bawah pohon itu terdiam oleh haru. Dengan setangkai cangkul yang dia bawa sendiri, Kartika memulai galian pertama, diikuti semua muridnya, satudemi-satu. Buku harian itu dimasukkan ke dalam kantong plastik dan dikuburkan di bawah pohon hariara di pekarangan belakang sekolah itu. Persis dua puluh tahun kemudian, pada hari ini, hari Minggu, sebagaimana yang sudah disepakati, Kartika sudah duduk menanti di antara akar-akar hariara yang menjalar melilit-lilit memperkokoh cengkeramannya di tanah. Punggung Kartika Suryani tetap tegak. Juga lehernya yang jenjang menadah sapuan angin pagi. Matanya menatap ke pintu gerbang. Dan dia ingat, gerbang itu dulu terbuat dari kayu, yang kalau dikuakkan akan berderik. Kini, pintu masuk itu adalah besi kempa berukir. Waktu masih mengajar dulu, dia selalu datang lebih awal dari murid- muridnya. Menjadi orang pertama yang melintas di gerbang itu, dia selalu disambut tukang kebun yang kini sudah tiada. Dan, sebagaimana dulu, pada hari ini, dua puluh tahun kemudian, mantan guru bantu itu mendahului kedatangan murid-muridnya guna menepati sebuah janji untuk menyaksikan kejujuran yang tak bisa dibengkokkan. Mereka akan bersama-sama menggali tanah di kaki pohon tua yang berkeriput itu, mengeluarkan sebuah buku harian, di mana kebebasan dan kejujuran mereka telah menemukan bentuknya yang paling awal.

Titipan Seorang Pelaut

21 MARET 2010 6.440 VIEWS ONE COMMENT


AYAHMU adalah seorang pelaut. Ia telah mengarungi tujuh samudera di dunia. Laut adalah kehidupannya. Sebelum Ayahmu bertemu dengan ibu, dia hanya mengisi kehidupannya di laut. Katanya lautlah yang telah membesarkan dia. Dari sebelum Bandar Melaka menjadi bandar yang ramai dikunjungi oleh para pelaut-pelaut dunia, dia telah biasa hidup di laut. Bahkan laut telah menjadi sahabatnya. Itulah sedikit sketsa sekilas cerita tentang Ayahku yang tidak pernah aku temui itu. Tapi, Mak, mengapa Mak tidak pernah mengajari aku sedikitpun tentang laut? Sedangkan darah dagingku adalah seorang pelaut ulung? Hal itulah yang tidak aku inginkan. Karena jika kau menjadi seorang pelaut, maka Mak akan sulit untuk bertemu dengan kau. Pasti kehidupan kau hanya ada di laut. Apalagi di pelabuhan Malaka ini telah ramai sekali Pedagang-pedagang dunia yang singgah, jalur untuk kau menjadi seorang pelaut akan sangat mudah, Lalu bagaimana Mak bertemu dengan ayah, sedangkan hidup ayah hanya ada di laut? Itulah keajaiban cinta, nak. tidak ada seorangpun yang bisa menduga, takdir cinta itu sudah ditentukan oleh yang maha kuasa, siapa menduga kalau Mak bisa menikah dengan seorang pelaut, sedangkan Mak kau sendiri berasal bukan dari keluarga pelaut. Cerita itu yang selalu Ibu ceritakan kepadaku. Pada akhir hikayatnya, ia pasti akan mengatakan kalau cintanya kepada ayahku karena keajaiban semata. Dan ia akan mengatakan kalau itu sudah takdir yang tidak mampu diubah oleh manusia manapun, termasuk dirinya sendiri.

Aku memang tidak pernah melihat wajah ayahku. Tapi kata Ibuku, wajahku mirip sekali dengan wajah ayahku. Sifat dan karekternya pun sangat mirip denganku. Jika kau penasaran dengan ayahmu, maka segeralah kau pergi ke Kubangan, maka cerminan wajah ayah kau ada pada dirimu. Bandar Malaka sebelum jatuh ke tangan Portugis adalah Bandar yang sangat maju. Semua pedagang-pedagang dari Asia dan Eropa selalu singgah untuk membeli rempah-rempah yang didatangkan dari Nusantara. Rempah-rempah yang diperdagangkan adalah berupa pala dan lada. Pedagang-pedagang yang datang adalah dari Arab, China, India dan beberapa negara Eropa seperti Inggris, Spanyol dan Prancis. Para pedagang itu memiliki kapal-kapal layar yang sangat besar. Apalagi kalau kapal dagang itu milik Inggris. Dari kejauhan sudah sangat kelihatan megahnya. Mungkinkah Ayahku bekerja di salah satu kapal-kapal itu? Tapi ibuku tidak pernah menjawabnya. Dia hanya diam seribu bahasa. Ketika pertanyaan itu kulontarkan pada ibu. Entah mengapa ia pasti akan berlalu. Ayahku hidup atau mati pun aku tidak pernah tahu. Dan akhirnya pada suatu malam itu ketika aku desak, ibuku akhirnya menceritakan tentang ayahku dan ke mana sekarang ia pergi sehungga tidak pernah kembali. ***** Aku akan kembali Dinda, tunggulah aku di Dermaga ini hingga peperangan ini selesai. Sudah tidak ada cara lain lagi untuk memerangi mereka, Pantang melayu hilang di Bumi! Selama ini Malaka adalah negeri yang damai, tidak ada satupun peperangan yang terjadi. Meski aku hanya seorang Lanun, tapi aku tetap tidak rela jika Malaka bisa dikuasai oleh bangsa lain. Perempuan yang dipanggil Dinda hanya diam. Tapi air matanya tidak bisa ditahan lagi. Bulir-bulir air mata itu menandakan kepedihan yang sangat dalam. Sementara sekarang ia sedang hamil tua. Laki-laki itu pergi ke Pantai. Beberapa orang temannya sudah me-nunggu. Ia masih menatap kepergian suaminya. Dengan hanya menggunakan sampan biasa, ia dan rakan-rakannya terus pergi. Di tengah laut, Kapal milik raja sudah ada yang berlabuh. Para angkatan laut Kerajaan Melaka telah menyiapkan segala perlengkapan perang untuk memerangi angkatan laut Portugis. Di Perairan selat Malaka Ratusan Kapal Portugis telah berlabuh di tengah lautan. Mereka tinggal menunggu arahan untuk menakluki kota Melaka. Pada awalnya sang raja tidak mempercayai jika Portugis akan menyerang kota Malaka. Tapi setelah mendengar berita bahwa Pelabuhanpelabuhan penting di Nusantara telah berhasil dikuasai oleh Portugis. Menanggapi itulah sang Raja memilih untuk mencegah pasukan Portugis memasuki kota Malaka. Raja mengumpulkan semua angkatan laut Malaka agar segera bersiap. Perang akan terjadi. Ternyata berita itu sampai di telinga rakyat jelata. Sehingga rakyatpun membuat inisiatif untuk ikut berperang melawan Portugis meski dengan hanya menggunakan sampan biasa. Mereka tidak gentar. Mereka tidak rela jika bumi Melayu jatuh ke tangan Portugis. Maka berita itu juga sampai ke telinga Awang. Ia adalah seorang lanun. Biasa membajak kapal-kapal pedagang dari Arab, China juga dari Nusantara. Mendengar berita penyerangan Portugis, naluri cinta tanah airnya menggebu. Ia dan beberapa rekan Pembajaknya pun merencanakan untuk ikut dalam peperangan ini. Merasa laut adalah rumahnya, maka hanya ada satu kata yang harus mereka pegang, Perang. Dan laut akan memberi kemenangan pada mereka. Alhasil merekapun ikut dalam kumpulan rakyat jelata dengan menggunakan sampan biasa, di tengah laut itu dipenuhi oleh sampan-sampan rakyat biasa. Mereka semua satu hati untuk memerangi Portugis. Hati mereka sedikitpun tidak gentar ketika melihat kapal-kapal perang Portugis yang telah menyambut mereka dengan mengarahkan moncong-moncong meriam ke arah mereka. Seraaaang!!!! seru Laksamana. Maka dengan semangat menggebu mereka mengayuhkan sampan menuju kapal-kapal Portugis yang juga mengeluarkan tembakan meriam ke arah mereka. Letusan peperangan angkatan laut itupun pecah dengan masing-masing pihak saling serang. Awang pun menyerang membabi buta. Dengan sebilah keris ia bisa membunuh satu persatu pasukan Portugis ketika sampan-sampan mereka berhasil merapat ke salah satu kapal Portugis dan menyerang seluruh awak yang ada dalam kapal itu. Dan akhirnya satu buah kapal Portugis berhasil mereka takluki. Mereka tidak memberi ampun kepada tentara-tentara Portugis yang ada dalam kapal itu. Semuanya mati mereka bunuh. Horeeeeeeee!!! mereka berseru beramai-ramai. Awang pun ikut dalam euforia itu. Dari kejauhan laksamana hanya tersenyum melihat kapal itu berhasil ditakluki. Ketika semua larut dalam euforia itu, tiba-tiba sebuah tembakan Meriam menuju ke arah mereka. Dan tanpa sepengetahuan mereka dua kapal Portugis telah merapat ke arah mereka langsung melepaskan tembakan betubi-tubi menggunakan meriam-meriam yang ada di sekelilingi kapal-kapal itu ke arah mereka. Akhirnya Awang dan rekan-rekannya hanya memberi perlawanan tidak berarti. Mereka kocar-kacir dalam kapal tersebut. Sementara tembakan terus saja di lepaskan oleh tentara-tentara Portugis. Laksmana yang melihat hal itu mencoba membantu, tapi mereka pun ditubikan dengan tembakan-tembakan dari kapal Portugis yang lain. Kapal yang dinaiki Awang semakin mendekati masa yang kritis. Para awak di dalamnya banyak yang menjadi Korban tembakan dari meriam-meriam Portugis. Awang yang melihat keadaan yang tidak berimbang itu semakin panik. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Dan lambat laun kapal yang dinaikinya itu tenggelam dan akhirnya hilang di atas permukaan laut bersama Awang. Sementara angkatan laut kerajaan terus berperang sampai titik penghabisan. Terus berusaha melawan tentara Portugis dengan segala upaya.

***** Kekalahan angkatan laut Kerajaan Malaka membuat Potrugis berhasil memasuki kota Malaka dan menaklukkan seluruh kerajaan Malaka. Sejak itu Bandar Malaka tidak ramai dikunjungi pedagang-pedagang negeri lain, karena Portugis telah menguasai pelabuhan Malaka dan meminta upeti begitu tinggi. Mak hanya mendengar berita dari orang-orang yang berhasil lari dari peperangan itu dan mengatakan mungkin Ayahmu ikut mati dalam peperangan tersebut. Tapi keyakinan Mak mengatakan bahwa Ayahmu tidak mati. Dia pernah mengatakan kalau laut adalah sahabatnya, tidak mungkin sahabat tega membunuh sahabatnya sendiri. Lagi pun Mak tidak pernah menemui jenazah ayahku hingga sekarang. Ibuku mengakhiri ceritanya dengan air mata. Aku sendiri merasa bangga mendengar cerita ibuku, walaupun pada awalnya ayahku adalah seorang Lanun, tapi ia telah mengorbankan raganya untuk membela Bandar Malaka jangan sampai jatuh ke tangan Bangsa lain. Sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis, kerajaan-kerajaan Nusantara semuanya mengumumkan perang kepada Portugis. Tapi aku sendiri setelah mendengar cerita ibuku, semangat menggebu untuk menjadi Pelaut merasuki seluruh ragaku. Keinginan itu belum aku utarakan pada ibu karena aku tahu ia pasti melarang aku menjadi seorang Pelaut. Tapi aku akan berusaha membujuknya. Karena aku adalah anak seorang pelaut, pembajak sekaligus pahlawan yang tidak di kenal di Bandar Malaka.***

CERPEN : kenangan
| Print Cerpen Posting cerpen by: bulan adinda Total cerpen di baca: 2343 Total kata dlm cerpen: 606 Tanggal cerpen diinput: Sat, 24 Oct 2009 Jam cerpen diinput: 5:47 PM 3 Komentar cerpen
Hatiku kembali bergemuruh saat tak sengaja kupandang wajahnya di faceb.Dia tulis komentar di dinding temanku,kenapa harus ada dia Tuhan,kenapa hati ini kau ingatkan kempali padanya.Mas Dim,yach nama itulah yang 10 tahun lalu pernah menemaniku dalam suka dan duka,pemberi semangatku dalam belajar, penghiburku dalam dukaku, waktu yang bukan terbilang singkat karena kebersamaan kami sampai 4 tahun lamanya.Ku add namanya, dan tanpa kuduga dia langsung merespon bahkan menelponku, karena di profile facebook ku kutulis no hpku. "Hallo bisa bicara dengan Aya" Degg..aku hapal suaranya dan yang memanggilku Aya hanyalah dia Mas Dim, karena panggilanku sebenarnya Cahya.Ya Tuhan mimpi apakah aku hingga aku bisa mendengar suaranya yang sudah 10 tahun tak pernah kudengar."Ya,saya sendiri, bagaimana kabarnya mas?" tanyaku"Kamu masih ingat dan hapal suaraku Ya,hingga kamu tak perlu menanyakan siapa aku."Iya mas, siapa yang bisa lupa orang yang pernah menghiasi hatiku mas, yang selalu memberi warna2 indah dalam hidupku dulu."Dalam hati aku ingin berkata lebih banyak tapi tiba2 saja hp ku low batt.Hingga pada keesokan harinya mas Dim kembali telp cukup lama,kami saling bercerita tentang diri kami masing2 yang sudah 10 tahun tak bertemu. Ternyata mas Dim dah berkeluarga dan mempunyai seorang putra, dia menyusulku,karena aku 5 tahun lebih dulu telah berkeluarga.Aku ingat dulu betapa aku menyakitinya, aku bukan sengaja menyakitinya.Pada waktu itu aku bekerja di Batam,setelah 3 tahun bekerja di Batam,aku di telp ibuku bahwa adikku akan dilamar oleh pacarnya,aku g bisa terima, aku pikir setelah dilamar pasti tak lama kemudian akan menikah, aku g mau kalau dilangkah, aku ingin aku duluan yang menikah, jadi kutanya mas Dim,siapkah dia melamarku waktu itu, aku sangat berharap dia siap, tapi jawaban apa yang kudapat, dia belum siap, dia ingin selesaikan dulu S1 nya, lalu kuberjanji dalam hati,aku akan terima siapa aja yang mau jadi suamiku asalkan dia baik.Dan ternyata lak lama setelah kuberjanji dalam hati, datang seorang laki2 yang baik yang bersedia jadi suamiku, dan terbukti dia menjadi suami yang baik hingga sekarang. Otomotis aku meninggalkan mas Dim, dan menikah dengan suamiku sekarang, malahan mas Dim datang waktu pernikahanku.Aku waktu itu tak merasa menyakitinya, aku tau kalau telah menyakitinya dari adikku yang sering jadi tempat curhat mas Dim sejak aku menikah.Adikku cerita kalau mas Dim tak mengira kalau aku begitu cepat mengambil keputusan tuk menikah, dan tak menunggunya hingga selesai kuliah.yach nasi sudah menjadi bubur walau kusesali meninggalkan mas Dim waktu itu tapi aku bahagia karena suamiku adalah seorang yang baik dan aku tak salah pilih. Dan kini kenanganku tetang mas Dim kembali oleh fotonya juga suaranya yang sengaja menelponku, mas Dim masih selalu mengingatku dalam hatinya,karena namaku ada dalam nama putranya walau hanya sebagian kecil, juga alamat emailnya,ada angka yang jadi kenangan kami yaitu tanggal kami jadian, tentu tanpa setau istrinya.Mas Dim semua itu membuat aku ingin bertemu langsung denganmu, sekedar melihatnya secara langsung karena mas Dim berjanji tuk main bersama istri dan anaknya waktu dia telp yang pertama juga yang terakhir, karena sejak itu tak ada telp juga tepati janji tuk mengenalkan istrinya padaku.Kucoba telp ke no yang mas Dim buat telp ke aku tapi no itu sudah tak aktif, sering kucoba tapi sama hasilnya, ku ,lihat emailpun tak ada kiriman email dari mas Dim. Mungkin memang benar kata mas Dim, masa lalu memang boleh dikenang hanya sebagai cermin tanpa kita harus kembali. Aku berharap menghilangnya mas Dim tanpa telp jg kirim email bukan karena ketahuan istri,tapi karena mas Dim sadar jika kami tetap melanjutkan contact maka bukan tak mungkin masa lalu itu kembali

First Love Never Die (Kisah Guruku)

28 FEBRUARI 2010 12.529 VIEWS 17 COMMENTS


Embun pagi masih merayapi batang daun yang hijau, matahari bersembunyi di balik awan. Namun aku sudah berdiri menatap langit yang masih putih. Hari ini terasa aneh bagiku, biasanya saat ini aku masih terlelap di atas kasur. Tapi karena mata tak bisa terpejam, memaksaku untuk mencari udara segar, menghilangkan rasa gelisah yang selalu menderaku. Aku gelisah karena rindu. Rindu akan rumah, rindu pada keluarga di kampung, terutama rindu padanya. Aku kuliah di kota dan meninggalkan mereka di sana. Ingin sekali aku berjumpa dengannya. Dia yang telah mengisi relung hatiku selama tujuh tahun. Di bawah pohon depan kost aku duduk santai sambil menikmati cuaca dingin di pagi hari. Di mana orang-orang masih enggan melepas mimpi indah, apalagi ini kan baru pukul empat, mana ada yang terjaga sepertiku. Dengan ditemani cappuccino hangat aku terhanyut dalam khayalan yang berisi kenanganku bersamanya. Orang yang pertama kali singgah di hatiku dan mungkin akan menjadi yang terakhir. Dia dua tahun lebih tua dariku. Kami bertemu saat aku masih duduk di bangku SMP. Kami selalu pulang bareng karena rumah kami berdekatan. Awalnya aku tak ada rasa dengannya, tapi karena kami sering berjumpa di rumah maupun di sekolah membuat rasa ini muncul. Kedekatan kami pun juga karena ayahnya adalah orang bawahan ayahku. Waktu itu aku masuk ke SMA yang berbeda dengannya, namun setelah tiga bulan, aku tak betah. Kemudian ayahku menyuruh memasukkanku ke sekolah yang sama dengannya. Ia menjadi senang karena kami bisa satu sekolah lagi. Dan kami pun menjadi tambah dekat. Lalu lama-kelamaan hubunganku ini diketahui oleh ayahku. Dia sangat marah. Memang ayah tidak setuju kalau sampai aku menyukainya. Ketika mendengar kabar dari sekolah bahwa kami sering berduaan, ayah lalu menyuruh orang bayaran untuk memberi pelajaran padanya. Tapi hal itu tak membuat ia berhenti menemuiku. Kami pun bertemu secara diam-diam. Suara gema adzan membawaku kembali ke alam nyata. Huuh Aku ingin sekali bertemu dengannya. Tapi kenapa ia tidak datang, padahal ia sudah janji akan datang Sabtu kemarin. Apa yang terjadi dengannya? ***

Lyza Lyza! aku mendengar orang memanggilku.


Yolaada apa? ternyata cewek tambun yang se-kost denganku datang dengan nafas terengah-engah. Lyzengitu aku mau bilang..ituIbumu sakit! Apa? Masak iya, tahu dari mana? aku langsung terkejut mendengar Ibuku sakit. Dari kampung, ada yang menelponku. Ngkita ke kampung sekarang! perintahnya. Aneh, kok gak ada yang beritahu aku? Udahlah, pokoknya kita ke kampung sekarang. Tanpa menunggu jawabanku, Yola langsung menarikku pulang. Lalu kami pun bergegas ke kampung. *** Setibanya di kampung, aku merasakan suatu keganjilan di rumah pacarku. Kenapa berdiri sebuah tenda biru? Kebetulan aku dan Yola lewat depan rumah pacarku dan melihatnya di depan teras. Sewaktu ia melihatku, ia langsung lari masuk ke dalam rumah. Hatiku bertanya-tanya kenapa ia aneh begitu. Sebelum tiba di rumah aku bertemu dengan Ibu pacarku di jalan. Aku pun langsung bertanya padanya, ada acara apa di rumahnya. Ibunya langsung menceritakan semuanya dan tanpa disadari aku menangis. Tiba-tiba pacarku datang dari arah belakang. Dia meminta maaf kepadaku, dia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia juga bilang kalau ia sangat mencintaiku. Kemudian di depan kedua orang tuanya kami berpelukan dan sama-sama menangisi akhir dari kisah kami. Sesampainya di rumah aku langsung marah-marah tak karuan. Kedua orang-tuaku heran melihatku bertingkah aneh seperti itu. Yola lalu memberitahu mereka kejadian yang memang sudah ia ketahui sebelumnya. Orang-tuaku pun menasehatiku untuk mencari pasangan yang lebih sepadan dan lebih setia. Aku sangat tidak bisa menerima keputusannya itu.

Aku kembali lagi ke kota setelah mengetahui ternyata Ibuku baik-baik saja. Semenjak itu aku menjadi bertambah aneh, emosiku sering tak terkendali, setiap melihat sesuatu yang tajam, durian misalnya, ingin sekali kutancapkan ke kepalaku. Teman-temanku pun merasa risih atas sikapku, karena setiap teman laki-laki mereka ke kost aku selalu memarah-marahi mereka tanpa sebab. Pernah teman-temanku mengikatku dengan selimut di kursi karna aku mengamuk dan ingin bunuh diri. Suatu ketika ada seorang pria yang bekerja di rumah sakit jiwa di sekitar kost, dia teman dari salah satu temanku. Dia melihatku membentak-bentak temanku tanpa alasan, sikapku itu sudah dimaklumi teman-temanku yang lain. Dan ketika aku membanting pintu, ia terkejut dan bertanya ada apa dengan gadis yang menarik perhatiannya. Setelah mengetahui apa masalahku, ia pun menemuiku. Aku marah dengan kehadirannya yang tanpa izin. Lalu pria itu menyembur mukaku dengan air, dia kira aku kesurupan. Tapi ketika ia salah paham, lantas ia tertawa. Kemudian ia menarik tanganku, mengajakku duduk di teras. Tiba-tiba saja aku mengeluarkan semua masalah yang membebani hatiku dan aku menangis sejadi-jadinya di depan orang yang baru kukenal. Setelah selesai bercerita, ia menyuruhku mandi bersihkan diri lalu mengajakku makan bakso di sekitar situ. Entah mengapa kalau berada di sampingnya hatiku tenang sekali dan kehadirannya itu membuatku melupakan segala masalahku. Seminggu kemudian di mana aku sudah kembali normal, aku mendapat kabar kalau mantan pacarku akan segera menikah.

Lho, Lyza kok gak dapat undangannya, tanyaku pada Yola.


Dia gak mau ngasih tahu kamu, Lyz. Takutnya kamu ngedrop lagi. Namun Randi, pria yang minggu lalu menenangkanku malah mengajakku ke sana. Gak ah mas, malas bolak-balik ke sana. Kenapa, takut? Katanya gak ada rasa lagi. Karena itu aku terpaksa pergi pada esoknya ke pesta pernikahannya Dicky. *** Di pesta pernikahannya itu, aku sudah bisa membiasakan hatiku untuk melepasnya. Saat aku bersalaman dengannya, ia menangis. Lalu ia melihat mas Randi dan menyuruhnya untuk menjagaku serta jangan pernah menyakitiku. Sebenarnya aku masih sangat mencintainya. Tapi kami tidak ditakdirkan untuk bersama selamanya. Karena sesuatu yang membuatnya terpaksa menikah dengan orang yang tidak dicintainya sama sekali. Ayahku-lah yang sangat tidak menyukai hubungan kami. Waktu kak Dicky tak bisa menemuiku pada hari Sabtu, ayah menjumpainya dan keluarganya tanpa sepengetahuanku. Ayah memaki-makinya dan memarahi ayahnya. Ayah mengatakan kalau mereka tak pantas. Ayah sangat menghargai statusnya yang lebih tinggi dari ayahnya. Karena sakit hati orangtuanya lalu mencarikan jodoh yang lain untuknya. Aku pun mengerti keadaan yang harus kuterima. Dan untuk melupakannya ku serahkan kembali semua yang pernah ia berikan padaku termasuk puisi-puisinya. Itulah mengapa istrinya heran dan bertanya kepadaku hadiah apa yang telah kuberikan kepadanya sehingga istrinya tidak boleh membukanya. Lalu masalah itu kuselesaikan dengan segera. Kutemui ia lalu menyuruhnya untuk memperlihatkan hadiah dariku pada istrinya.

Untuk apa disembunyikan, lihatkanlah hadiah itu pada istri kakak biar dia tenang, adek gak mau ada masalah lagi di antara kita. Dengan
berat hati ia perlihatkan sebuah kotak musik, kalung dan sebagainya pada istrinya. Semenjak itu aku jarang bertemu dengannya, tapi kami masih berkomunikasi seperti biasa dalam jarak jauh, hingga sekarang.

Anda mungkin juga menyukai