Anda di halaman 1dari 12

Proposal Penelitian Sastra

Sufisme Jawa dalam Serat Wirid Hidayat Jati


BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Ada pengetahuan perihal tingkatan dalam kehidupan manusia, yang diceritakan dengan ajalollah dan dikenal dengan sebutan martabat tujuh, diawali dengan kegaiban. Zat yang membawa pengetahuan tentang dirinya, dan tanpa membeberkan tentang kenyataan (fisik), keadaanya kosong namun dasarnya ada. Tapi dalam martabat ini belum berkehendak. Martabat Ahadiyah disebut juga dengan Sarikul Adham. Awal dari segala awal. Dalam alam ahadiyah dimulia dengan aksara La dan bersemayam ila. Itulah kekosongan pertama dari empat bentuk kekosongan. Kedua bernama Maslub. Ketiga bernama Tahlil, dan keempat Tasbih. Maslub bermakna belum adanya bentuk atau wujud roh atau jiwa. Tak berbentuk badan atau wujud lainnya. Tahlil berarti tak bermula dan tak berakhir. Sedangkan Tasbih bermakna Tuhan Yng Maha Suci dan Tunggal. Tuhan tak mendua dan tak bertiga. Tak ada pangeran lain kecuali Allah yang disembah dan dipuja, yang asih pada makhluknya. Sajaratul yakin tumbuh dalam ala madam makdum yang suci senyal azali abadi, artinya pohon kehidupan yang berada dalam ruang hampa yang sunyi senyap selamanya, belum ada sesuatupun , adalah hakikat zat mutlak yang qadim. Zat yang pasti terdahulu, yaitu zat atma, yang menjadi wahana alam Ahadiyah. Alam Ahadiyah terbagi dalam empat tingkatan. Tahap pertama dikenal dengan kata La yang bersemanyam dalam kata Ila. La dan ila adalah dua kata yang manunggal, karena sifat realitas-realitas hanya merupakan refleksi dari realitasrealitas Allah. La dan ila menunjukan pada asal segala sesuatu yaitu dalam ketiadaanya, dirinya ada. Sedangkan pengertian ila juga menunjukan pada kembali sesuatu dalam kesatuannya yang bersifat keabadian. Jika memperhatikan tatanan ontologis, bila diterapkan La dan ila akan mengisyaratkan pemisahan antara ada Ilahi dan para makhluknya. Dengan demikian, Ada-nya pertama menjadi tabu bagi adanya yang kedua. Pengertian La dan ila dalam

masyarakat sufi memiliki tiga makna. Pertama, adalah tiada Tuhan melainkan Allah. Kedua adalah tiada Mabud melainkan Allah dan ketiga tiada maujud melainkan Allah. Pengertian pertama mengacu pada keberadaan pada kekuasaannya. Yaitu penegasan tiada Tuhan yang pantas menjadi penguasa selain Allah yang Esa. Pengertian kedua, Allah adalah zat yang wajib disembah Allah bersifat disembah. Tiada penguasa yang wajib disembah selain Allah, Zat yang Maha Suci. Sedangkan pengertian ketiga, Allah adalah awal segala yang berwujud. Sebab Zatnya adalah wujud yang pertama dan tak berakhir. Ketiga pengertian tersebut di atas adalah suatu kesatuan yang tak dapat dikaji secara terpisah. Sebab, segala bentuk yang maujud ini pada hakikatnya sama sekali tidak ada. Yang ada hanyalah Allah. Jadi, kalau yang ada ini semuanya dikatakan ada, artinya ada dalam Allah. Inilah konsep dasar dari Widhatul Al-wujud. Sementara, tingkatan kedua dari alam Ahadiyah adalah Nafi Uslub, yaitu tingkat ketiadaannya yang ada, dalam ketiadaannya Allah tak dapat digambarkan atau dilukiskan oleh siapapun. Allah dalam keadaan Al-Ama, yaitu tingkatan yang tak dapat diketahui. Allah dalam tingkatan ini hanya mempunyai hubungan murni dalam hakikat dan tanpa bentuk. Sedangkan tingkatan yang ketiga dalam alam Ahadiyah adalah Tahlil. Pengertian Tahlil berarti kondisi Tuhan yang bermakna L ila illaha. Tahlil pun bermakna suatu kondisi pemujaan Allah dengan pengucapan syahadat tentang persaksian akan keberadaannya. Dalam kalimat syahadah yang diucapkan dengan niat bulat dan mengakui bahwa Allah berkyasa sendirian, tidak menghendaki pertolongan dari siapapun, ia suci dan kaya. Kalimah syahadah adalah kalimat yang wajib bagi pemeluk Isalam, dimana intinya adalah pengakuan akan adanya Allah yang menjadi pemimpin kehidupan, disamping itu, adanya pengakuan rasul Allah yaitu Nabi Muhammad sebagai utusannya. Selanjutnya, tingkat empat adalah Ahadiyah Tasbih, yang bermakna kemahaluasan Allah. Tingkatan ini berintikan kalimat Subhanallah, artinya maha suci Allah dan mengingatkan serta menunujukan seluruh keyakinan untuk selalu mempersucikannya. Menurut Behrend (1990 : x-xiii) membagi naskah tersebut menjadi empat belas kategori, yaitu: (1) sejarah, (2) silsilah, (3) hukum, (4) wayang, (5) sastra wayang, (6) sastra, (7) piwulang, (8) agama Islam, (9) primbon dan pakuwon, (10)

bahasa,

(11)

musik,

(12)

tari-tarian,

(13)

adat-istiadat

dan

lain-lain.

Beberapa alasan yang menjadi pilihan bagi panelists dalam mengkaji naskah Serat Padanyangan sebagai objek penelitian, yaitu: 1. naskah Serat Wirid Hidayat Jati mempunyai konsep yang penting bagi masyarakat Jawa, 2. naskah Serat Wirid Hidayat Jati bila ditinjau dari isinya sangat menarik, 3. naskah Serat Wirid Hidayat Jati belum pernah dikaji dalam kajian sufisme jawa. Sebagai sebuah agama Jawa, tentu saja mistik kejawen akan mengatur hubungan manusia secara horisontal dan vertikal. Hubungan horisontal memayu hayuning bawana dan secara vertikal dinamakan manunggaling kawula-Gusti. Hubungan tersebut memiliki dimensi spiritual yang dikenal dengan sebutan panembah. Artinya, manusia Jawa akan berbakti kepada Tuhan melalui ritual mistik kejawen.

B. Permasalahan 1. Batasan Masalah Naskah Serat Wirid Hidayat Jati dapat diteliti dari berbagai kajian lain, tidak hanya terbatas pada kajian sufisme Jawa, oleh karena naskah Serat Wirid Hidayat Jati ditulis dengan aksara Jawa maka memiliki struktur kalimat yang berbeda dengan aksara bahasa daerah lain. Mengingat ruang lingkup penelitian yang sangat luas, maka yang menjadi batasan dalam penelitian aspek kajian adalah sufisme Jawa terhadap naskah Serat Padanyangan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa naskah Serat Padanyangan ditulis pengarang sesuai dengan hakikat, tujuan dan gambaran kehidupan masyarakat Jawa.

2. Rumusan Masalah Ditinjau dari batasan masalah di atas maka rumusan masalah dari kajian naskah Serat Wirid Hidayat Jati adalah sebagai berikut : 1. Adakah aspek sufisme dalam naskah Serat Wirid Hidayat Jati? 2. Bagaimana aspek-aspek sufisme Jawa terdeskripsikan dari aspek tematik, isi, dan amanat dalam naskah Serat Wirid Hidayat Jati?

3.Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian memiliki dua macam tujuan yaitu: 1) untuk memperoleh deskripsi tentang nilai-nilai sufisme Jawa dalam naskah Serat Serat Wirid Hidayat Jati 2) mendeskripsikan ada tidaknya aspek sufisme Jawa dalam naskah Serat Wirid Hidayat Jati. 3) mendeskripsikan sejauh mana aspek-aspek sufisme Jawa dalam naskah Serat Wirid Hidayat Jati. 4.Manfaat Penelitian 1) Menambah khasanah keilmuan dalam mengkaji naskah Serat Wirid Hidayat Jati. 2) Memberikan deskripsi sufisme Jawa dalam naskah Serat Wirid Hidayat Jati. 3) Mengembangkan nilai-nilai (kepercayaan) masyarakat Jawa terhadap keyakinannya. 4) Mampu mengembangkan ilmu kesusastraan khususnya dalam fungsi sastra pada masyarakat pendukungnya. 5) Memberikan sumbangan informasi kepada pembaca agar mampu memahami makna dan isi teks dalam naskah Serat Wirid Hidayat Jati. . 6) Sebagai refleksi diri dalam menyikapi persoalan yang berkembang dewasa ini, khususnya bidang aspek sufi Jawa. 7) Sebagai referensi guru dalam pembelajaran apresiasi karya sastra. 5.Definisi Penelitian Agar tidak terjadi kesalahan pengertian pada penggunaan istilah dalam kajian ini yang berakibat salah paham, maka perlu penjelasan pada penggunaan istilah dalam kajian ini. Istilah yang perlu dijelaskan adalah:

1. Naskah Lama adalah sebuah karya sastra yang lahir lebih dari lima puluh tahun terdahulu yang mempunyai nilai sejarah masyarakat itu dan isinya antara lain adalah tentang nasehat, sejarah, obat-obatan, kebudayaan, agama, dll (Baroroh Baried, 1944:17) 2. Serat Wirid Hidayat Jati adalah sebuah karya sastra lama yang menceritakan tentang tingkatan dalam kehidupan manusia, yang diceritakan dengan ajalollah dan dikenal dengan sebutan martabat tujuh, diawali dengan kegaiban

BAB II LANDASAN TEORI

1. Hubungan Sastra dan Sufisme Jawa Kehidupan sastra berbahasa Jawa, walaupun hidup di bawah bayang-bayang sastra Indonesia, tetap memperlihatkan geliatnya. Secara internal kesastraan, dalam tema kajian terdapat aroma sufistik yang menguat. Hal ini disebabkan hegemoni Jawa yang terus bergerak dan berubah dan jaring-jaring wacana dan konstruksi sosial didukung oleh masyarakat mayoritas yang berbau agamis. Kepercayaan agama pra-Islam bagi orang Jawa meliputi empat hal. Pertama, halhal yang berkaitan dengan metafisika, yaitu ajaran tentang sangkan paraning dumadi, asal penciptaan, segala sesuatu yang bersifat Ilahiah. Konsekuensi ajaran ini adalah bahwa Tuhan ada dimana-mana (omnipresent), atau disebut panteisme. Tuhan yang di mana-mana Ada itulah Ruh Suci yang ada dalam diri tiap manusia, sekaligus Tuhan yang menampakkan wajahnya dalam wujud alam yang bersifat kodrati. Kedua, berkaitan dengan mistisme, yaitu ajaran tentang manunggaling kawula gusti, menyatunya hamba dengan Tuhan. Konsep ajaran ini adalah untuk manunggal dengan cara membebaskan diri dari nafsu-nafsu duniawi, yang kesemuanya dianggap semu karena yang abadi hanyalah Gusti.

Ketiga, ajaran tentang etika yang memuat ajaran tentang kepatutan dan ketidakpatutan, kecocokan atau ketidakcocokan. Keempat, ajaran tentang okultisme adalah ajaran tentang ilmu kedigdayaan, jaya kewijayaan, kesaktian. Ajaran ini berguna dalam pergaulan sesama manusia. keempat hal ini saling mengait dan tidak dapat dipisahkan, seperti persoalan mertafisika dan mistisme adalah ibarat dua sisi mata uang yang sama.

2. Karakteristik Sufisme Jawa Menurut Dawami (2002:12) sistem pola pikir Jawa suka akan mitos. Segala prilaku orang Jawa seringkali sulit lepas dari kepercayaan pada hal-hal tertentu. Hal itu yang menyebabkan sistem berpikir mistis mendominasi prilaku hidup orang Jawa. Percaya akan hal-hal yang sakral secara turun-menurun sehingga mempengaruhi pola hidup yang bersandar kepada nasib (kabegjan). Pola pikir tersebut dinamakan homologi antropokosmik (langkah kehidupan yang

disesuaikan

dengan

tatanan

manusia

dan

dunia

sekelilingnya).

Sistem berpikir mistis terpantul dalam tindakan nyata yang disebut dengan laku. Laku juga senada dengan tirakat (ngurang-ngurangi) atau disebut dengan istilah tapa brata. Oleh karena itu, orang Jawa sering menjalankan tapa ngrowot (makan tidak berbiji), tapa ngidang (hanya makan sayuran), mutih (hanya makan nasi). Bentuk laku ini dilakukan dengan tujuan membersihkan batin. Karakteristik yang paling menonjol adalah slametan (sebuah ritual yang dimaksudkan untuk memohon keselamatan hidup). Ajaran-ajaran kejawen disebarkan melalui tuturan (lisan) yang dibukukan di dalam primbon. Menurut Soedjito Sosrodiharjo (1972:7) menyatakan bahwa pandangan dunia orang Jawa dipengaruhi dan dikuasai oleh konsep partisipasi. Yakni paham yang mempengaruhi bahwa manusia sebagai jagad cilik (mikrokosmos) merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan alam semesta sebagai jagad gedhe (makrokosmos) dan bahkan dengan dunia yang serba gaib (alam roh-roh halus). Kehidupan manusia wajib membangun keselarasan dengan alam sekelilingnya dan alam gaib. Sistem religi yang bersendi pada kepercayaan animisme dan dinamisme memuncak dengan adanya mitos tentang dhanyang, yang bahureksa (roh pengawal daerah-daerah tertentu) dan sebagainya. Hal ini selaras dengan keterangan Sutan Takdir Alisyahbana (1977: 13) sebagai berikut:

Pikiran dan perbuatan tertuju bagaimana mendapat bantuan dari roh-roh baik, dan bagaimana menjauhkan pengaruh roh-roh yang mengganggu atau menghalang. Atau kalau tenaga-tenaga yang gaib itu tidak dianggap berpribadi, bagaimana memperkuat diri dengan tenaga-tenaga yang gaib itu, atau bagaimana menguasainya untuk dapat memakainya buat kepentingan diri dan masyarakat. Dan untuk mencapai maksud-maksud itu ada bermacam-macam ritus, mantra, larangan, dan suruhan yang memenuhi kehidupan masyarakat bersahaja. Karakteristik unsur-unsur kejawen sangat kompleks dan penuh misteri. Kejawen adalah jati diri Jawa. Seperangkat kejawen selalu hadir adalah dunia mistik, didalamnya banyak tradisi ritual dan sejumlah petungan (perhitungan) yang mengatur kehidupan masyarakat Jawa (sufisme Jawa).

3. Aspek-aspek Sufisme Jawa Menurut Dawami (2002) aspek-aspek kehidupan kejawen tercermin dalam prilaku budaya Jawa, diantaranya adalah (1) idealisme, (2) kebatinan, (3) kosmologi, (4) panteisme dan monisme, dan (5) tantularisme sinkretisme.

Idealisme masyarakat tercermin dalam sembilan bidang budaya spiritual Jawa, yaitu: (1) kapribadhen, menghendaki orang Jawa sebagai satriya pandhita; (2) sosial, menghendaki watak manjing ajur ajer, bisa rumangsa dan bukan rumangsa bisa. Maksudnya dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain sehingga dapat bertindak hati-hati; (3) ekonomi, menghendaki roda ekonomi ganggsar, artinya berjalan terus; (4) politik, menghendaki terciptanya kekuasaan yang mangku-mengku-hamang-koni. Maksudnya menjalankan tugas, mengayomi, dan, menyelaraskan dengan keadaan yang dipimpin; (5) kagunan, yaitu seni yang adiluhung; (6) ngelmu, menghendaki sikap mumpuni sampai menjadi nimpuna, artinya tahu berbagai hal; (7) ketuhanan, menghendaki kesampurnan atau kesempurnaan; (8) filsafat, menghendaki idealisme bener pener, artinya benar dan tepat; (9) mistik, menghendaki sampai tingkat ngraga suksma. Jiak sembilan bidang dapat dicapai maka hidup mereka mampu mbabar jati dhiri. Maksudnya hidup yang benar-benar mampu menguasai diri sendiri lahir batin. Orang Jawa yang memiliki kemampuan tersebut dinamakan pana (cerdas). Kebatinan menurut Mulder (1986: 12-15) seringkali disebut gaya hidup yang memupuk batin (javanisme). Sedangkan sifat-sifat kebatinan menurut Subagya (1976: 13-24) mengandalkan pada hal-hal berikut: a. Batin, berasal dari lafal bahasa Arab yang bermakna rasa mendalam, tersembunyi, rohani, dan asasi. b. Rasa, yaitu sebuah pengalaman rohani subyektif. c. Keaslian, yaitu bangkitnya hasrat untuk mengembangkan kepribadian asli. d. Hubungan antarwarga, bersatu karena terikat sebuah paguyuban yang memiliki kesamaan pandangan hidup yaitu ke arah manunggaling kawulaGusti. e. Akhlak sosial, menyerukan kesuailaan dengan semboyan budi luhur dan sepi ing pamrih. f. Gaib yang suprarasional. Kosmologi Jawa adalah wawasan manusia Jawa terhadap alam semesta (makrokosmos) dan mikrokosmos.Personifikasi dokterin kosmologi Jawa membagi menjadi empat jenis nafsu, yaitu:

 Amarah  Aluamah (lawwamah)  Sufiah, dan  Muthmainnah Selain itu kosmologi Jawa juga menggambarkan anasir hidup manusia, yaitu: (1) angin, (2) air, (3) tanah, dan (4) api. Anasir-anasir tersebut membentuk struktur nafsu yang mempresentasikan dorongan dalam diri manusia untuk memenuhi kebutuhan badaniah dan rohaniah. Menurut Rudolf Eisler (Zutmulder, 1992:2) monisme adalah kecenderungan untuk mengembalikan kejamakan dalam suatu bidang kepada suatu kesatuan atau menerangkan keanekaan dengan berpangkal pada suatu prinsip tunggal. Sedangkan panteisme adalah ajaran Tuhan dan dunia tak merupakan dua hakikat yang sungguh terpisah dan yang di luar itu yang lain, melainkan Tuhan sendiri merupakan segalagalanya; Tuhan adalah imanent dalam segalanya. Tuhan bersifat Illahi. Bagi aliran Brataksiwa, aliran ini berprinsip : waman arafa nafsahu faqad arafa rabbahu, artinya barang siapa mencapai inti dirinya (purasa) maka ia akan merasa menyatu dengan tuhan (iswara). Yang kelima adalah tantularisme dan sinkretisme. Tantularisme adalah kultur yang berasal dari konsep Empu Tantular yang disebut dengan pemersatu atau kerukunan. Konsep tersebut berbunyi: sarva sastra prayojanam atma darsanam atau sarva sastra proyojanam tatwa darsanam, kalimat lain dari bhineka tunggal ika tan hana dharma magrwa, artinya berbeda tetapi tetap satu jua, tak ada perbedaan antara satu sama lain. Batas-batas tantularisme dan sinkretisme harus dipahami secara menyeluruh karena kedua-duanya merupakan paham religiuitas kejawen yang mengarah pada Ketuhanan.

4. Mistik Kejawen Mistik kejawen merupakan representasi upaya berpikir filosofis manusia Jawa. Melalui mistik kejawen dapat diketahui bagaimana manusia berpikir tentang hidup, manusia, dunia, dan Tuhan. Menurut Zoetmulder pola pikir masyarakat barat berbeda dengan masyarakat Jawa karena jika di Barat seseorang dalam berfilsafat dikaitkan dengan mempelajari ilmu pengetahuan, sedangkan di Jawa berfilsafat merupakan langkah untuk mencari kesempurnaan, yaitu menekankan laku untuk mencapai hidup yang sempurna.

Pesan tentang asal usul tujuan hidup dipegang teguh oleh penganut mistik kejawen. Dalam ilmu kejawen menurut Sastroamidjoyo (1972: 101) terdapat istilah sangkan paraning dumadi yang terbagi menjadi beberapa hal yaitu: 1) Asaling dumadi berarti asal mula suatu wujud; 2) Sangkaning dumadi berarti darimana datangnya dan bagaimana atau akan kemana arah perkembangan wujud; 3) Purwaning dumadi bararti permulaan suatu wujud; 4) Tataraning dumadi berarti derajat atau martabat suatu wujud; 5) Paraning dumadi berarti cara dan arah perkembangan suatu wujud. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa ngelmu sangkan paraning dumadi merupakan cara atau langkah agar manusia selamat. Manusia yang selamat yaitu mampu mencapai kesempurnaan. Kesempurnaan diperoleh dengan cara mengekang hawa nafsu yang dilakukan melalui ritual mistik kejawen.

Dalam memilih seorang guru mistik yang teguh maka harus berpegang pada Sapta Guna Karya (delapan tindakan penting), sebagai berikut: 1) Nastiti, artinya tidak simpang siur dalam memberikan wejangan, 2) Nastapa, artinya berani menjalankan laku prihatin, 3) Kulin, artinya membiasakan berbuat baik, 4) Diwasa, artinya benar-benar matang dan dewasa dalam menguasai ilmu, 5) Esantosa, artinya lurus tabiatnya, 6) Engetan, artinya selalu ingat dan tidak ragu-ragu dalam ajaran, 7) Santika, artinya menempatkan diri dengan cakap dan tegas, 8) Lana, artinya tak berganti-ganti ucapan. Budaya saling asah-asih-asuh selalu dibangun dalam rangka menyampaikan ajaran mistik agar mencapai kematangan dalam ngelmu.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian Metode merupakan cara utama yang digunakan untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji fakta atau data yang diteliti. Selain itu metode juga dapat digunakan mendapatkan kebenaran yang disusun berdasarkan sistematika ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Ratna (2004: 34) menyatakan secara etimologis, metode berasal dari kata metodhos dan logos, yaitu filsafat atau ilmu mengenai metode. Jadi metodologi adalah membahas prosedur intelektual dalam komunitas ilmiah.

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yaitu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dan hendak dicapai dalam penelitian ini. Penelitian kualitatif selalu bersifat deskriptif, artinya data yang dianalisis dan hasilnya berbentuk deskripsi fenomena baik berupa angka atau koefisien tentang hubungan antar variabel. Data yang terkumpul berbentuk kata-kata bukan angka-angka. (Aminuddin, 1990:23).

Dijelaskan oleh Surakhmad (1985 :139) bahwa dalam pelaksanaannya, metode deskriptif tidak terbatas sampai pada pengumpulan dan penyusunan data. Akan tetapi meliputi analisa dan interpretasi tentang arti data. Oleh karena itu, dalam penelitian ini data-data yang terkumpul akan terbentuk kata-kata dan bukan berupa angka-angka. Dengan demikian, tulisan hasil penelitian ini kutipan-kutipan dari kumpulan data, ilustrasi dan materi pelaporan. Dari uraian tentang pendekatan tersebut dapat dipakai sebagai pijakan bahwa penelitian ini untuk menggambarkan secara faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat dan hubungan antara data yang diteliti dengan cara mencuplik kata-kata atau kalimat dalam naskah Serat Wirid Hidayat Jati. Menurut Semi (1993:23) penelitian kualitatif dalam kajian sastra antara lain: (1) peneliti merupakan instrumen kunci yang membaca secara cermat sebuah karya sastra, (2) penelitian dilakukan secara deskriptif, artinya terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar jika diperlukan, bukan bentuk angka, (3) lebih mengutamakan proses dibandingkan hasil, karena kartya sastra merupakan fenomena yang banyak mengundang penafsiran, (4) analisis secara induktif, dan (5) makna merupakan andalan utama.

3.2.Sumber

Data

dan

Data

Penelitian

Sumber data adalah sesuatu yang menjadi sumber untuk memperoleh sebuah data. Sumber data penelitian dalam kajian ini adalah berupa naskah Serat Padanyangan, tulisannya menggunakan aksara Jawa, keadaan naskah baik, namun kertas berwarna kecoklat-coklatan, tulisannya jelas terbaca, ditulis dengan tinta coklat, jilidan kokoh dengan menggunakan karton tebal berwarna coklat. Naskah ini merupakan salinan dari naskah kropak nomor 226 yang tersimpan di PNRI. Sumber data lain yang menunjang penelitian ini berupa buku referensi serta pengetahuan penulis.

Data dapat diartikan sebagai bahan mentah yang diperoleh peneliti dari penelitiannya, bisa berupa fakta maupun keterangan yang dapat digunakan sebagai dasar analisis. Data dapat berfungsi sebagai bukti penunjuk tentang adanya sesuatu. Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah berupa kutipan-kutipan naskah yang dijadikan sebagai ukuran dalam mengembangkan pengertian atau analisis jejak sufisme Jawa yang termaktub dalam naskah Serat Padanyangan.

3.3 Langkah kerja

Langkah dalam penelitian

Kerja ini adalah sebagai

Penelitian berikut:

1.Penterjemahan naskah Serat Padanyangan sekaligus pembacaan terhadap naskah secara cermat disesuaikan dengan aturan tata bahasa yang tepat. 2.Menganalisis data yang sudah terkumpul dan mengkorelasikan dengan kajian dan teori-teori yang disusun dalam landasan teori. Pengkorelasian tersebut dilaksanakan dengan membahas atau memberikan jawaban atas pertanyaan dari rumusan masalah.

3.Merumuskan hasil penelitian secara sistematis sesuai dengan kriteria penulisan ilmiah dengan memberikan simpulan, kemudian tahap akhir adalah penyajian dari hasil penelitian.

3.4.

Teknik

Pengumpulan

Data

Dalam penelitian ilmiah, pengumpulan data sangat penting karena hasil penelitian bergantung pada teknik pengumpulan data. Untuk memperoleh data, peneliti menggunakan beberapa macam metode, yaitu:

a.Metode

Observasi

Observasi atau pengamatan dilakukan dalam rangka mengumpulkan data dalam suatu penelitian dan merupakan hasil perbuatan jiwa yang aktif dan penuh perhatian untuk menyadari suatu rancangan atau studi yang dilakukan.

b.Metode

Studi

Pustaka

Metode yang digunakan untuk mencari dan menelaah berbagai buku sebagai bahan c.Metode rujukan yang dijadikan sebagai sumber penelitian. Batat

Metode yang digunakan untuk memperoleh data dengan jalan membaca secara keseluruhan teks atau literatur yang menjadi objek penelitian lalu mencatat data yang ditemukan. Metode ini dipergunakan untuk memperoleh kutipankutipan data kemudian dikembangkan dalam pengolahan data dan

pembahasan. d. Metode Deskripsi

Metode yang digunakan untuk mendeskripsikan data yang telah diperoleh, data-data yang berguna dicatat dalam kartu data. Dalam penelitian ini metode deskripsi digunakan untuk mendeskripsikan data-data dalam naskah Serat Padanyangan.

Anda mungkin juga menyukai