Anda di halaman 1dari 40

BAB II HUKUM YANG MENGATUR KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL

A. Pengaturan Hukum Mengenai Kontrak Dagang Internasional Dalam Berbagai Konvensi Berkenaan dengan kontrak dagang yang bersifat internasional, maka setidaknya jika diteliti secara umum dapat ditemukan paling sedikit ada 5 (lima) jenis konvensi internasional yang berhubungan dengan kontrak dagang. Kontrak dagang yang demikian itu, berkaitan dengan transaksi jual beli benda. Keenam konvensi tersebut akan dipaparkan dalam penelitian ini. 1. Convention on The Law Applicable to International Sales of Goods (Konvensi atas Hukum yang Berlaku Dalam Penjualan Barang Internasional) Convention on the Law Applicable to International Sales of Goods ini adalah konvensi yang telah diterima pada tahun 1951 di Den Haag, namun baru mulai ditandatangani pada tahun 1955 dengan Belgia sebagai Negara pertama yang menandatangani konvensi ini pada tanggal 15 Juni 1955. Perbedaan pada waktu penerimaan dan penandatanganan kovensi inilah yang menyebabkan konvensi ini seringkali disebut dengan Kovensi Jual Beli 1951 (1955). Konvensi Jual Beli 1951 (1955) menyatakan dirinya hanya berlaku untuk perjanjian-perjanjian jual beli yang bersifat internasional, namun demikian Konvensi ini tidak memberikan suatu rumusan atau pengertian mengenai maksud yang bersifat internasional tersebut. Dari pembahasan selama berlangsungnya konferensi tersebut di Den Haag dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan makna yang bersifat internasional adalah adanya unsur asing dalam kontrak dagang internasional jual beli yang dibuat. Dengan demikian berarti harus suatu unsur yang benar-benar

Universitas Sumatera Utara

menyebabkan berlakunya suatu sistem hukum asing dalam transaksi jual beli yang sedang dilakukan dalam Pasal 1 paragraf 4 Konvensi 1951 (1955). Suatu pernyataan dari para pihak saja mengenai hukum yang berlaku dalam kontrak dagang internasional tidak cukup untuk menjadikan jual beli tersebut sebagai jual beli internasional. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 7 Konvensi Jual Beli 1951 (1955) ini, ketentuan-ketentuan pokok yang diatur dalam Konvensi ini wajib untuk dimasukkan ke dalam hukum nasional dari seluruh Negara yang telah meratifikasi dan memberlakukan Konvensi ini. Konvensi ini secara tegas mengatur mengenai benda yang diperjualbelikan yang menjadikannya sebagai jual beli internasional yang tunduk pada Konvensi ini. Jual beli benda tidak bergerak tidaklah masuk ke dalam yurisdiksi Konvensi ini, oleh karena dalam jual beli benda tidak bergerak sudah diterima secara umum suatu adagium bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dari Negara dimana benda yang tidak bergerak tersebut terletak (lex rei sitae). Selanjutnya Konvensi ini juga tidak berlaku bagi jual beli benda bergerak, termasuk di dalamnya piutang-piutang, hakhak kebendaan dan surat-surat berharga. 23 Terkait dengan hukum yang berlaku, dikatakan bahwa jika ada pilihan hukum, maka yang diberlakukan adalah hukum yang telah dipilih oleh para pihak. Dalam hal ini para pihak dibebaskan untuk memilih hukum dari negara mana saja yang mereka anggap cocok, dan tidak perlu semata-mata merupakan pilihan dari dua sistem hukum yang memiliki hubungan dalam transaksi jual beli internasional

Sudargo Gautama (II)., Indonesia dan Konvensi-Konvensi Hukum Perdata Internasional, (Bandung: Alumni, 1978), hal. 146-148.

23

Universitas Sumatera Utara

tersebut, selama pilihan tersebut tidak menyebabkan terjadinya pertentangan dengan asas ketertiban umum, yang merupakan penyelundupan hukum 24. Pilihan hukum ini harus dilakukan dengan jelas dan tegas. Dalam Pasal 3 KOnvensi Jual Beli 1951 (1955), disebutkan bahwa jika tidak dilakukan pilihan hukum, maka yang diberlakukan adalah hukum dari negara dimana penjual secara de facto berkediaman atau berkedudukan hukum. Demikian Sudargo Gautama menyatakan bahwa pilihan hukum dari negara penjual didasarkan pada kenyataan bahwa penjual mempunyai karakteristik yang lebih unik dibandingkan dengan pembeli, yang hanya sekedar melakukan pembayaran sejumlah uang saja, manakala penjual diwajibkan untuk melakukan penyerahan barang dan hal-hal lain dalam bentuk penjaminan, yang pada pokoknya merupakan esensi dari pelaksanaan suatu jual beli. 25 Satu hal perlu diberikan catatan di sini adalah bahwa jika transaksi jual-beli dilakukan atau ditutup oleh penjual yang memiliki kantor perwakilan atau cabang pada suatu negara lain daripada kantor pusatnya, maka yang diberlakukan adalah hukum dan negara dimana perwakilan atau cabang penjual berada. Hal ini ternyata diterima baik oleh negara-negara Eropa yang melakukan transaksi jual beli bahanbahan baku dengan negara berkembang, dengan mengadakan kontrak dagang internasional jual beli dengan perwakilan dan atau cabang dari perusahan-perusahan penjual yang ada di Eropa 26. Jika diperhatikan, jelas tampak bahwa perusahaan dari negara-negara maju ini tidak ingin terhadap mereka diberlakukan hukum dari negaranegara Asia dan Afrika yang dianggap terbelakang. Jadi masalah hukum negara

24 25

Ibid, hal. 149-151. Sudargo Gautama (II)., Op. cit, hal. 157-158. 26 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

tertentu yang berlaku dalam suatu transaksi perdagangan internasional, ternyata masih menyisakan berbagai persoalan, tidak hanya pesoalan hukum, tetapi juga persoalan humanisme, alter ego dan chauvinisme, yang menganggap bahwa suatu tatanan atau sistem hukumm tertentu lebih beradab dibandingkan dengan tatanan atau sistem hukum yang lainnya. Selanjutnya oleh karena Konvensi ini hanya mengatur mengenai hukum yang berlaku bagi suatu transaksi jual beli internasional, segala sesuatu yang terbit dari kontrak dagang internasional jual beli tersebut dikembalikan pada hukum yang berlaku. Dengan demikian Konvensi ini tidak mempersyaratkan apakah suatu kontrak dagang internasional jual beli wajib untuk dibuat secara tertulis. Hal ini diatur sepenuhnya hukum yang dipilih atau ditentukan sebagai hukum yang berlaku. 2. Convention on The Law Governing Transfer of Title in International Sales of Goods (Konvensi atas Hukum yang Mengatur Pengalihan Hak Dalam Penjualan Barang Internasional) Jika pada Konvensi ini Jual Beli 1951 (1955) diatur soal hukum yang berlaku dalam suatu transaksi jual beli internasional tanpa mengatur mengenai materi atau isi kontrak dagang internasional, dengan menyerahkan pengaturannya sepenuhnya pada hukum dari negara yang dipilih atau ditentukan; maka Konvensi ini mengatur secara khusus, hanya mengenai saat terjadinya peralihan pemilikan (hak milik) dari barang yang diperjualbelikan dari penjual kepada pembeli. Secara historis, Konvensi ini merupakan tambahan atau aksesoris terhadap Konvensi Jual Beli 1951 (1955). Selanjutnya oleh karena Konvensi hanya merupakan tambahan dan ikutan terhadap Konvensi Jual Beli 1951 (1955), maka semua konsepsi dan aturan yang ada dalam Konvensi Jual Beli 1951 (1955) juga diatur dan disalin ulang dalam Konvensi ini. Hal ini memberikan kesimpulan

Universitas Sumatera Utara

sederhana bahwa dalam Konvensi ini, peralihan hak milik dari barang yang diperjualbelikan dari penjual kepada pembeli diatur sepenuhnya oleh hukum yang berlaku sebagaimana ditentukan berdasarkan Konvensi Jual Beli 1951 (1955). Hal ini jugalah yang pada hakekatnya membuat Konvensi ini menjadi tidak populer, dan sampai saat ini baru dua Negara yang menandatangani konvensi ini. 27 3. Convention on The Jurisdiction of The Selected Forum in The Case of International Sales Of Goods (Konvensi atas Jurisdiksi Pilihan Forum Dalam Kasus Penjualan Barang Internasional) Konvensi ini, seperti halnya Convention on The Law Governing Transfer of Title in International Sales of Goods, juga tidak dapat dilihat atau dibaca terlepas dari Konvensi Jual Beli 1951 (1955). Jika dalam Konvensi Jual Beli 1951 (1955) yang diatur adalah hukum yang dipilih dan atau diberlakukan dalam suatu kontrak dagang internasional jual beli internasional, maka dalam Konvensi ini yang diatur adalah masalah pilihan forum oleh para pihak dalam kontrak dagang internasional jual beli internasional tersebut. Konvensi ini disebut juga Konvensi Jual Beli 1958. Jika ada pilihan forum secara tegas, maka pengadilan dari negara-negara peserta Konvensi ini wajib untuk menolak menangani penyelesaian sengketa jual beli internasional ini. Jika jual beli dilakukan secara lisan, maka perlu dibuat suatu klausula tersendiri yang mengatur mengenai pilihan forum ini. Pengaturan ini dapat dilakukan dalam bentuk suatu pernyataan tertulis yang disetujui dan dikonfirmasikan oleh salah satu pihak, dan tidak ditentang atau ditolak oleh pihak lainnya 28. Jadi dalam hal ini pada hakekatnya kesepakatan atau persetujuan dari kedua belah pihak yang bersengketa dalam transaksi jual beli tersebut tetap diperlukan, agar forum yang

27 28

Ibid, hal 163-168. Ibid, hal. 169-170.

Universitas Sumatera Utara

dipilih (di luar pengadilan) berwenang untuk menangani penyelesaian perselisihan yang telah terjadi. Jika salah satu pihak, meskipun para pihak telah menentukan pilihan forum, memasukkan gugatan pada pengadilan di salah satu negara peserta Konvensi dan ternyata pihak yang digugat (tergugat) tidak berkeberatan, maka perkara tersebut akan terus dilanjutkan sesuai dengan Pasal 3 KOnvensi JualBeli 1958. Eksekusi terhadap putusan dari forum di luar pengadilan yang dipilih tersebut dilaksanakan berdasarkan pada New York Convention, yaitu Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, dan dilaksanakan oleh pengadilan yang berwenang berdasarkan pada New York Convention tersebut. Sampai sejauh ini dapat dilihat bahwa Konvensi Jual Beli 1951 (1955) dan Konvensi Jual Beli 1958 ini ternyata saling melengkapi dan dibuat dengan tujuan untuk menghilangkan perdebatan mengenai hukum yang berlaku dan siapa yang berhak menyelesaikan sengketa yang terkait dengan jual beli internasional. 4. Convention Relating to A Uniform Law on The International Sales of Goods dan Convention Relating to a Uniform Law on The Formation of Contracts for The International Sales of Goods (Konvensi yang Berkaitan Dengan Hukum Uniform atas Penjualan Barang Internasional dan Konvensi yang Berkaitan Dengan Hukum Uniform atas Pembentukan Kontrak Bagi Penjualan Barang Internasional) Konvensi selanjutnya yang dibicarakan di sini adalah dua Konvensi yang mengatur mengenai hukum yang uniform atau seragam dalam rangka jual beli internasional dan pembentukkan kontrak dagang internasional jual beli internasional. Convention Relating to a Uniform Law on The International Sales of Goods dikenal dengan nama Konvensi Jual Beli 1964. Disebut dengan nama Konvensi Jual Beli 1964 adalah karena Konvensi ini disetujui pada tahun 1964 di Den Haag.

Universitas Sumatera Utara

Jika Konvensi Jual Beli 1951 (1955) mengatur mengenai hukum yang berlaku. Maka dalam Pasal 1 Konvensi Jual Beli 1964 yang diatur adalah hukum materilnya, yang wajib dimasukkan sebagai bagian dari hukum positif masingmasing negara peserta Konvensi. Selengkapnya Pasal 1 menurut Konvensi 1964 ini, yang dinamakan jual beli internasional adalah jual beli yang: a. Pada saat kontrak dagang internasional ditutup, barang yang diperjualbelikan akan diserahkan melintasi negara, yaitu dari wilayah suatu negara tertentu peserta Konvensi ke wilayah negara lain yang juga peserta Konvensi ini; b. Penawaran dan penerimaan dilakukan di dua negara peserta Konvensi yang berbeda; c. Penyerahan dari benda dilaksanakan berbeda dari negara dimana penawaran dan penerimaan dilakukan. Dengan demikian jelaslah bahwa dalam Konvensi 1964 ini, pengertian jual beli internasional dipersempit. Ketentuan ini jelas menunjukkan bahwa terhadap isi atau materi Konvensi Jual Beli 1964 ini, tidak berlaku ketentuan hukum perdata internasional mengenai pilihan hukum negara tertentu, namun demikian isi dari Konvensi Jual Beli 1964 ini dapat disimpangi oleh para pihak dalam kontrak dagang internasional, baik untuk keseluruhan maupun untuk sebagian. Hal yang menarik dari Konvensi Jual beli 1964 ini adalah adanya kebebasan dari setiap pihak dalam kontrak dagang internasional, yang meskipun merupakan warga negara dari negara yang bukan peserta Konvensi ini, berhak untuk memilih dan karenanya menundukkan diri secara sukarela kepada berlakunya Konvensi Jual Beli 1964 ini untuk mengatur hubungan atau transaksi jual beli internasional yang

Universitas Sumatera Utara

mereka buat sesuai dengan Pasal 4. Namun demikian pemberlakuan yang demikian tunduk pada persyaratan berlakunya hukum memaksa dari sistem hukum yang seharusnya diberlakukan, seandainya para pihak tidak memilih Konvensi Jual Beli 1964 ini sebagai hukum yang berlaku bagi mereka. Disebutkan dalam Pasal 8 Konvensi Jual Beli 1964 ini tidak mengatur

mengenai pembentukan kontrak dagang internasional, akibat kontrak dagang internasional jual beli terhadap benda yang diperjualbelikan dan juga terhadap keabsahan dari kontrak dagang internasional jual belinya. 5. Vienna Convention on Contracts for The International Sales of Goods/CISG (Konvensi Vienna Tentang Kontrak Penjualan Barang Internasional) Vienna Convention adalah Konvensi yang dihasilkan dari suatu konferensi yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nation) yang diprakarasi oleh UNCITRAL. Konferensi ini sendiri, yang diselenggarakan mulai tanggal 10 Maret hingga 11 April 1980 telah berhasil menghasilkan kesepakatan mengenai hukum materil yang mengatur kontrak dagang internasional jual beli (barang) internasional (Contract for the International Sales of Goods) yang sering juga disebut dengan singkatan CISG. Selain itu Konvensi ini juga sering disebut dengan Konvensi Jual Beli 1980. Pemberlakuan Konvensi Jual Beli 1980 ini memberikan pengaruh besar bagi Konvensi Jual Beli 1964. Oleh karena peserta Konvensi Jual Beli 1980 ini adalah juga peserta Konvensi Jual Beli 1964, maka berdasarkan pada ketentuan Pasal 99 khususnya paragraph 3 dari Konvensi Jual Beli 1980 yang mewajibkan negara yang menyatakan diri tunduk pada Konvensi Jual Beli 1980 ini wajib untuk menyatakan penarikan diri dari Konvensi Jual Beli 1964 dengan segala macam bentuk penyimpangan yang diperbolehkan, maka secara

Universitas Sumatera Utara

praktis Konvensi Jual Beli 1964 menjadi hampir tidak memiliki anggota lagi dan karenanya menjadi tidak berarti lagi, kecuali untuk bagian-bagian dari ketentuanketentuan tertentu masih di reserved oleh negara-negara tertentu, dengan tidak memberlakukan ketentuan yang sama, yang diatur dalam Konvensi Jual Beli 1980. Inipun relatif sangat kecil jumlahnya. Convention on Contracts for the International Sales Goods (CISG) adalah Konvensi yang mengatur aturan hukum materil yang akan diberlakukan pada setiap transaksi perdagangan internasional. Dalam pandangan ini, konvensi yang berkaitan dengan pilihan hukum, bukanlah konvensi yang mengatur mengenai aturan hukum dalam transaksi perdagangan internasional, melainkan hanya memberlakukan ketentuan hukum domestik pada suatu transaksi perdagangan internasional. 29 Dengan demikian jelaslah mengapa Konvensi Jual Beli 1980 ini diperlukan dan dibutuhkan. Sifat dan karekteristik yang berbeda antara international trade dan domestic trade telah membawa akibat bahwa hukum domestik tidak dengan begitu saja dapat diberlakukan dalam setiap transaksi perdagangan internasional. Belum lagi chauvenistic character yang senantiasa melekat pada diri individu atau pihak-pihak tertentu mengenai keberlakuan hukum domestik dari suatu negara tertentu terhadap negara yang lain. Pada Pasal 1 paragraf 1 CISG berlaku untuk kontrak dagang internasional jual beli antara pihak-pihak dengan domisili usaha yang berada pada negara yang berbeda yang merupakan anggota Konvensi Jual Beli 1980 ini atau ketentuan hukum perdata internasional yang berlaku menunjuk pada berlakunya hukum dari negara yang merupakan anggota Konvensi Jual Beli 1980 tersebut.
29

Gunawan Widjaja (I)., Op. cit, hal. 30.

Universitas Sumatera Utara

Pasal 4 CISG hanya mengatur mengenai pembentukan kontrak dagang internasional jual beli, hak dan kewajiban dari penjual dan pembeli yang terbit dari kontrak dagang internasional jual beli tersebut, dan tidak mengatur mengenai keabsahan kontrak dagang internasional dan atau setiap pasal dari padanya atau penerapannya, dan akibat dari kontrak dagang internasional terhadap kepemilikan dari benda yang diperdagangkan. Pasal 5 CISG juga tidak berlaku terhadap kewajiban penjual untuk kematian atau luka pribadi dari setiap orang yang disebabkan oleh benda yang diperdagangkan. Para pihak dalam Konvensi ini bebas untuk mengesampingkan pemberlakuan CISG, ataupun mengatur secara berbeda ketentuan-ketentuan yang diatur dalam CISG, atas kehendak mereka hal tersebut terdapat pada Pasal 6 CISG. Dalam Pasal 11 CISG ditentukan keberadaan kontrak dagang internasional jual beli tidak perlu dibuat ataupun dibuktikan secara tertulis, dan tidak memerlukan formalitas tertentu. Keberadaan jual beli dapat dibuktikan dengan segala macam alat bukti termasuk saksi-saksi. Dikatakan lebih lanjut dalam Pasal 18 CISG, bahwa suatu pernyataan yang dibuat atau suatu tindakan yang dilakukan oleh pihak yang menerima penawaran (tidak mutlak harus pembeli) yang mengindikasikan persetujuan terhadap suatu penawaran yang diajukan oleh pihak lainnya diperlukan sebagai suatu bentuk penerimaan. Jadi, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kontrak dagang internasional jual beli baru ada manakala ada penawaran yang disampaikan, dan penerimaan yang harus terwujud dalam bentuk tindakan atau perbuatan atau suatu pernyataan yang dilakukan oleh pihak yang menerima penawaran. Sementara itu, saat efektifnya suatu penerimaan adalah pada saat penerimaan ini diterima oleh pihak yang mengajukan penawaran, dengan ketentuan bahwa penerimaan penawaran

Universitas Sumatera Utara

tersebut haruslah sampai dalam suatu jangka waktu yang telah ditentukan oleh pemberi penawaran atau dalam suatu jangka waktu yang secara umum dianggap patut untuk melakukan penerimaan suatu penawaran untuk jual beli. Ketentuan Pasal 4 CISG, seperti yang telah disinggung di atas, tidak mengatur mengenai keabsahan kontrak dagang internasional jual beli yang bentuk oleh para pihak. Ketentuan ini jelas menerbitkan kesulitan bagi penyelesaian beli

sengketa, dimana salah satu pihak dalam kontrak dagang internasinal jual

tersebut mendalilkan ketidakabsahan kontrak dagang internasional jual beli yang dibuat. Secara konseptual, sebagai hukum materil yang berlaku mengatur seluruh isi kontrak dagang internasional jual beli, jelas tidak mungkin diadakan pilihan hukum negara tertentu untuk menentukan keabsahan kontrak dagang internasional jual beli yang dibuat. Di samping itu, perlu untuk diperhatikan dan dipertimbangkan dengan seksama, bukankah tujuan para pihak untuk memilih CISG dan karenanya tunduk pada ketentuan CISG adalah untuk mengecualikan pemberlakuan hukum nasional dari negara tertentu, termasuk hukum dari negara para pihak dalam kontrak dagang internasional tersebut. Persoalan akan menjadi semakin rumit jika ternyata ketentuan dalam CISG ini bertentangan dengan hukum nasional (hukum domestik) dari salah satu atau para pihak yang membuat kontrak dagang internasional jual beli ini, khususnya yang meyangkut keabsahan kontrak dagang internasional. Terkait dengan hal keabsahan dari suatu kontrak dagang internasional, ada dua hal yang dapat dikemukakan di sini. Pertama terkait dengan masalah subjeknya, yang berhubungan dengan pihak-pihak yang melakukan kontrak dagang

internasional, yaitu masalah kecakapan dan ada tidaknya kewenangan dari pihak yang masuk dalam kontrak dagang internasional jual beli ini, dan masalah ada

Universitas Sumatera Utara

tidaknya persetujuan bebas dari para pihak untuk mengakibatkan diri dalam kontrak dagang internasional jual beli ini. Kedua berkaitan dengan masalah objeknya, yaitu yang terkait dengan masalah pelaksanaan kontrak dagang internasional jual beli itu sendiri. Dalam permasalahan kedua ini, perlu diperhatikan bahwa dalam hal ketentuan hukum materil mengenai pelaksanaan kontrak dagang internasional jual beli yang diatur dalam CISG bertentangan dengan ketentuan hukum domestik yang berlaku di suatu negara tertentu yang merupakan negara dari salah satu pihak dalam kontrak dagang internasional jual beli, maka hal ini dapat dijadikan sebagai alasan untuk menyatakan kontrak dagang internasional jual beli menjadi tidak sah dan harus dibatalkan. Dalam hal ini penulis berpandangan, bahwa untuk hal-hal yang berkaitan dengan subjek kontrak dagang internasional jual beli, yang meliputi kecakapan dan ada tidaknya kewenangan dari pihak yang masuk dalam kontrak dagang intenasional jual beli ini, dan masalah ada tidaknya persetujuan bebas dari para pihak untuk mengikat diri dalam kontrak dagang internasional jual beli; hal ini dpat dikembalikan keabsahannya pada dari negara masing-masing pihak yang membuat jual beli. Jika menurut ketentuan hukum dari negara masing-masing pihak yang membuat jual beli, seseorang dinyatakan tidak cakap, atau secara konseptual ditemukan alasan yang menyebabkan tidak adanya kesepakatan bebas, maka jelaslah eksistensi dari salah satu dari kedua hal tersebut sudah merupakan dan menjadikan alasan cukup untuk menyatakan kontrak dagang internasional jual beli tersebut tidak sah. Selanjutnya terkait dengan hal-hal yang meliputi objek kontrak dagang internasional, khususnya pelaksanaan kontrak dagang internasional, maka selain benda yang diperjualbelikan haruslah benda yang diperbolehkan untuk

Universitas Sumatera Utara

diperjualbelikan di negara dimana benda tersebut ditransportasikan, maka seluruh ketentuan CISG harus dinyatakan berlaku dan sah, manakala terdapat pertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan hukum domestik yang berlaku di suatu negara tertentu yang merupakan negara dari salah satu pihak dalam kontrak dagang internasional jual beli. Dalam konteks ini ketentuan hukum domestik yang berlaku di negara tertentu yang merupakan negara dari salah satu pihak dalam kontrak dagang internasional jual beli yang bertentangan atau berbeda dari ketentuan CISG harus dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian berarti untuk menghindari terjadinya permasalahan yang berkait dengan keabsahan kontrak dagang internasional jual beli yang dibuat berdasarkan CISG dan karenanya tunduk pada ketentuan CISG ini, perlu dikatakan bahwa terhadap masalah kecakapan dan kewenangan subjektif dari para pihak untuk masuk dalam kontrak dagang internasional jual beli ini dan kesepakatan bebas dalam pembentukan kontrak dagang internasional jual beli, kedua hal ini tunduk sepenuhnya pada aturan hukum domestik dari negara dimana para pihak berkedudukan hukum dan atau menjalankan kegiatan usahanya. Dengan demikian persoalan terkait dapat diselesaikan. Selanjutnya untuk menentukan berlakunya CISG, ada empat hal berikut yang perlu diperhatikan. 30 a. Mengenai para pihak dalam kontrak dagang internasional jual beli 1) Para pihak haruslah pihak-pihak yang memiliki tempat usaha yang berada pada negara yang berbeda, yang keduanya telah ikut serta memberlakukan CISG; 2) Para pihak dalam kontrak dagang internasional jual beli haruslah pihakpihak yang memiliki tempat usaha yang berada pada negara yang berbeda, dan hanya salah satu pihak yang negaranya telah ikut serta
30

Gunawan Widjaja, Op. cit, hal. 31.

Universitas Sumatera Utara

memberlakukan CISG, tetapi kaedah hukum internasional menunjuk hukum dari negara ini (peserta CISG) sebagai hukum yang berlaku bagi transaksi jual beli tersebut; b. Mengenai isi kontrak dagang internasional 1) Kontrak dagang internasional jual beli yang diatur dalam CISG adalah kontrak dagang internasional komersial dan tidak meliputi penjualan kepada konsumen atau pengguna akhir; dan 2) Tidak semua benda-benda yang diperdagangkan dapat tunduk pada ketentuan CISG. Dalam hal ini dapat diperhatikan ketentuan Pasal 2 CISG yakni: 31 a. CISG mengecualikan penjualan barang dimana pembeli memasok sejumlah besar dari barang tersebut untuk keperluan produksi. CISG juga tidak berlaku bagi penjualan di mana kewajiban pokok dari jual belinya adalah pemberian jasa tenaga kerja atau sejenisnya; b. CISG mengecualikan: 1) Keabsahan kontrak dagang internasional; 2) Akibat terhadap benda yang diperjualbelikan, termasuk hak pihak ketiga atas benda tersebut; 3) Tanggung jawab terhadap cidera atau kematian yang disebabkan oleh benda yang diperjualbelikan tersebut. Untuk hal-hal tersebut, penunjukan pilihan hukum tetap disarankan untuk mengisi kekosongan hukum.

B. Asas-Asas Hukum Kontrak Dagang Internasional Berikut ini, peneliti paparkan beberapa asas-asas hukum kontrak yang digunakan dalam kontrak dagang internasional. 1. Hukum kontrak bersifat mengatur Hukum dilihat dari daya mengikatnya, umumnya dibagi atas dua kelompok, yaitu hukum memaksa dan hukum mengatur. Hukum bersifat memaksa adalah kaedah-kaedah hukum yang dalam keadaan konkrit tidak dapat dikesampingkan. Hukum memaksa ini wajib diikuti oleh setiap warga negara dan tidak memungkinkan

31

Ibid, hal. 32.

Universitas Sumatera Utara

membuat aturan yang menyimpang dari aturan-aturan yang ditetapkan dalam hukum bersifat memaksa. Hukum memaksa ini umumnya termasuk dalam bidang hukum publik. Sedangkan hukum yang bersifat mengatur maksudnya hukum yang dalam keadaan konkrit dapat dikesampingkan oleh para pihak dengan membuat pengaturan tersendiri yang disepakati oleh para pihak tersebut. Hukum bersifat mengatur ini umumnya terdapat dalam lapangan hukum perjanjian/hukum kontrak (Buku III KUH Perdata). Jadi, dalam hal ini, jika para pihak mengatur lain, maka aturan yang dibuat oleh para pihaklah yang berlaku. 2. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) Salah satu asas kontrak yang paling utama dan pokok dan yang paling populer dalam hukum kontrak adalah asas kebebasan berkontrak atau dalam bahasa lain dikenal sebagai freedom of contract. Prinsip ini berlaku tidak saja dalam tradisi hukum civil law, namun juga dalam tradisi anglo saxon. Basis utamanya adalah ajaran hukum alam yang mengajarkan bahwa setiap individu memiliki kebebasan dalam menentukan kehendaknya sendiri. Dengan kata lain, kehendak bebas manusia dalam hubungannya dengan harta kekayaan, antara lain diwujudkan dalam bentuk kontrak. Persetujuan atau kesepakatan adalah bentuk (perwujudan) dari asas kebebasan para pihak dalam mewujudkan niatnya mengadakan hubungan bisnis. Dikatakan ada persetujuan atau kesepakatan apabila para pihak yang hendak mengadakan hubungan bisnis terlebih dahulu menyetujui (berdasarkan kehendak bebasnya) tentang hal-hal yang telah dibicarakan sebelumnya dalam proses negosiasi.

Universitas Sumatera Utara

Pada tahap acceptance, para pihak menyatakan persetujuannya, baik secara tegas (expressed) maupun secara tidak langsung dalam bentuk tindakan (implied) tentang hal-hal yang ditawarkan pada tahap negosiasi. Secara normatif dalam sistem hukum perdata Indonesia, yang diadopsi dari hukum perdata Belanda, dikatakan ada kesepakatan berdasarkan kehendak bebas, apabila terpenuhi 3 (tiga) persyaratan, yaitu: (1) kesepakatan itu dibuat tanpa ada unsur kekhilafan; (2) kesepakatan dibuat tanpa unsur paksaan; (3) kesepakatan dibuat tanpa unsur penipuan. Artinya, walaupun mungkin kedua belah pihak sudah menyatakan persetujuannya atas hal-hal yang diperjanjikan, tetapi bilamana persetujuan itu diberikan karena ada informasi yang tidak benar tentang objek kontrak dagang internasional, atau ada tindakan paksaan (baik fisik ataupun mental) dari salah satu pihak untuk membuat persetujuan, maka pesetujuan itu harus dianggap cacat. Artinya, walaupun ada pernyataan setuju, tetapi sesungguhnya tidak ada kehendak bebas untuk menyetujui. Jika salah satu pihak mengetahui bahwa mereka sedang ditipu, maka niscaya mereka tidak akan memberikan persetujuan. Dalam hal ada unsur paksaan, maka bila mereka tidak dipaksa sesungguhnya mereka tidak akan memberikan persetujuan.

Simpulannya, kehendak bebas dianggap tidak ada jika ada ketiga unsur tersebut di atas. Dalam sistem Anglo Saxon juga dikenal ketiga unsur tersebut, yaitu: duress, mistake, dan fraud. Jika ketiga unsur tersebut terjadi dalam sebuah pembentukkan kontrak, maka dapat dikatakan tidak ada freedom to contract. 32 Persoalannya adalah, bahwa dalam aspek praksis, seringkali paksaan yang dimaksud tidak sepenuhnya cocok dengan doktrin tentang makna paksaan itu

Agus Sardjono., Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak Dalam Cross Border Transaction: Antara Norma dan Fakta, Jurnal Hukum Bisnis, Kajian Hukum Kontrak Dagang Internasional, Vol. 27, No. 4, Tahun 2008, hal. 6.

32

Universitas Sumatera Utara

sendiri. Sebagai contoh, dalam dunia praksis, keterpaksaan dapat muncul karena adanya faktor dominasi dari salah satu pihak, atau sebaliknya ada unsur inferioritas dari pihak lainnya. Celakanya, dalam konteks normatif, unsur dominasi atau inferioritas itu tidak menjadi persoalan. Doktrin normatif membuat asumsi bahwa orang yang mengadakan kontrak dagang internasional berada dalam posisi seimbang. Orang dalam posisi dominan cenderung memaksakan kehendaknya. Apabila itu terjadi dalam konteks kontrak bisnis, maka akibatnya adalah munculnya klausula yang timpang dalam hak dan kewajiban di anatara para pihak. Orang hukum dengan enteng akan menyatakan take it or leave it (kalau anda tidak setuju, ya jangan disetujui). Namun sesungguhnya persoalannya lebih kompleks dari sekedar ungkapan tak bertanggung jawab itu. Seorang calon debitor yang sedang sangat membutuhkan kredit, cenderung menerima apa saja yang ditetapkan oleh calon kreditor. Seorang pencipta lagu baru yang sedang membutukan popularitas cenderung menerima apa saja yang dikehendaki produser atau artis. Seorang pembeli rumah yang sedang sangat membutuhkan tempat tinggal akan menerima saja yang dikehendaki Bank yang membiayai pembelian rumah tersebut. Salah satu persoalan berkenaan dengan implementasi doktrin kebebasan berkontrak adalah berkenaan dengan posisi bisnis kecil-kecilan ketika harus berhadapan dengan bisnis yang besar. Pada umumnya, posisi bisnis kecil-kecilan kurang menguntungkan bilamana harus berhadapan dengan perusahaan besar. Dalam kajian Blake D. Morant terungkap bahwa banyak hambatan yang dihadapi perusahaan kecil ketika harus berhadapan dengan perusahaan besar. Walaupun dalam doktrin freedom of contract keduanya mempunyai hak dan kebebasan yang sama untuk masuk ke dalam hubungan kontraktual, tapi perbedaan posisi justru akan

Universitas Sumatera Utara

sangat menentukan hasil dari proses berkenaan dengan hak dan kewajiban yang akan diperjanjikan. 33 Persoalan tentang implementasi doktrin freedom of contract juga muncul dalam konteks kontrak baku, atau juga sering disebut sebagai kontrak standart. Dalam model ini, klausula yang akan diperjanjikan sudah ditulis terlebih dahulu dalam bentuk standart atau baku. Contoh yang paling konkrit adalah kontrak yang tertuang dalam polis asuransi. Mo Zhang menyatakan bahwa kontrak baku semacam ini sebenarnya bukanlah kontrak yang dihasilkan dari suatu proses tawar menawar. Dengan demikian, secara faktual tidak ada freedom to contract dari salah satu pihak yang mengadakan kontrak dagang internasional yang bersangkutan. Seorang calon yang tertanggung dalam asuransi hanya memiliki satu posisi terhadap polis, yaitu take it or leave it.34 Tidak salah lagi bahwa munculnya fenomena kontrak baku memang brhubungan dengan faktor non-hukum, bernama kepraktisan dan dominasi. Atas nama kepraktisan, berbagai perusahaan yang melayani jasa tertentu, seperti asuransi dan bank atau lembaga pembiayaan lainnya cenderung menciptakan draft kontrak berisi semua klausula yang aman bagi dirinya sendiri. Draft kontrak itu yang dikemudian ditawarkan kepada calon klien untuk disetujui. Hampir tidak ada kemungkinan untuk menghapus dan mengubah apa yang sudah dituliskan di dalam draft tersebut. Perubahan biasanya hanya dilakukan dalam kolom yang memang disediakan kosong untuk diisi pihak-pihak tertentu.

33 34

Ibid, hal. 7. Ibid.

Universitas Sumatera Utara

3. Asas facta sunt servanda Asas facta sunt servanda adalah berarti perjanjian yang bersifat mengikat secara penuh karenanya harus ditepati. Hukum kontrak di Indonesia menganut asas ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yang berbunyi, semua persetujuan yang dibuat secara sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Berdasarkan pasal ini, daya mengikat kontrak sama dengan undang-undang bagi para pihak yang menyepakatinya. 4. Asas Konsensual Asas ini mempunyai pengertian bahwa suatu kontrak sudah sah dan mengikat pada saat tercapai kata sepakat para pihak, tentunya sepanjang kontrak tersebut memenuhi syarat sah yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Perlu diingat bahwa asas konsensual tidak berlaku pada perjanjian formal. Perjanjian formal maksudnya adalah perjanjian yang memerlukan tindakan-tindakan formal tertentu, misalnya Perjanjian Jual Beli Tanah, formalitas yang diperlukan adalah pembuatannya dalam Akta PPAT. Dalam perjanjian formal, suatu perjanjian akan mengikat setelah terpenuhi tindakan-tindakan formal dimaksud. 5. Asas Obligatoir Maksud asas ini adalah bahwa suatu kontrak sudah mengikat para pihak seketika setelah tercapainya kata sepakat, akan tetapi daya ikat ini hanya sebatas timbulnya hak dan kewajiban para pihak. Pada tahap tersebut hak milik atas suatu benda yang diperjanjikan (misalnya perjanjian jual beli)belum berpindah. Untuk dapat memindahkan hak milik diperlukan satu tahap lagi, yaitu kontrak kebendaan (zakelijke overeenkomst). Wujud konkrit kontrak kebendaan ini adalah tindakan penyerahan (levering) atas benda yang bersangkutan dari tangan penjual ke

Universitas Sumatera Utara

tangan pembeli. Tahapan penyerahan ini penting untuk diperhatikan karena menimbulkan konsenkuensi hukum tertentu. Misalnya dalam suatu perjanjian jual beli barang belum diserahkan kepada pembeli, jika barang tersebut hilang atau musnah, maka pembeli hanya berhak menuntut pengembalian harga saja, akan tetapi tidak berhak menuntut ganti rugi, karena secara hukum hak milik atas benda tersebut belum berpindah kepada pembeli. Hal ini dikarenakan belum terjadi kontrak kebendaan berupa penyerahan benda tersebut kepada pembeli. Berbeda jika benda tersebut sudah diserahkan kepada pembeli dan selanjutnya dipinjam oleh penjual, maka jika barang tersebut rusak atau musnah maka pembeli berhak menuntut pengembalian harga dan ganti rugi. Sifat obligatoir ini berada dengan asas hukum kontrak yang diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata Perancis yaitu hak kepemilikan turut berpindah ketika kontrak telah disepakati. 6. Asas Keseimbangan Maksud asas ini adalah bahwa kedudukan para pihak dalam merumuskan kontrak harus dalam keadaan seimbang. Pasal 1321 KUH Perdata menyebutkan bahwa tiada kata sepakat dianggap sah apabila diberikan karena kekhilafan, keterpaksaan atau penipuan. Sedangkan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Badan Pengkajian Hukum Nasional (BPHN), disepakati sejumlah asas dalam kontrak secara garis besar asas-asas tersebut adalah: 35 1) Asas konsensualisme, asas ini ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata; 2) Asas kepercayaan;
Badan Pengkajian Hukum Nasional (BPHN), Asas Hukum Kontrak Nasional, Departement Kehakiman, Januari 1989, hal. 31.
35

Universitas Sumatera Utara

3) 4) 5) 6) 7) 8)

Asas kekuatan mengikat; Asas persamaan hak; Asas keseimbangan; Asas moral, asas ini ditemukan dalam Pasal 1339 KUH Perdata; Asas kepatutan, asas ini ditemukan dalam Pasal 1339 KUH Perdata; Asas kebiasaan, asas ini ditemukan dalam Pasal 1339 jo Pasal 1347 KUH Perdata; dan 9) Asas keastian hukum.

C. Peraturan Hukum Kontrak Dagang Indonesia yang Berhubungan Dengan Kontrak Dagang Internasional Berikut ini, peneliti paparkan berbagai peraturan hukum di Indonesia yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa jika terjadi perselisihan mengenai kontrak dagang Indonesia yang bersifat internasional. 1. Peraturan Hukum Peninggalan Kolonial Peraturan hukum yang berkenaan dengan kontrak dagang Internasional bagi negara Indonesia merujuk kepada Het Herziene Indonesich Reglement (HIR), Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg), Reglement op de Burgerlijke

Rechtsvordering (Rv), dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Landasan hukum Indonesia berdasarkan hukum peninggalan Belanda yang masih berlaku sekarang tentang arbitrase dalam Het Herziene Indonesich Reglement (HIR), Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg), Rechtverordering (Rv) 36, dimana landasan hukum tersebut terdapat pada Pasal 317 HIR yang berbunyi, Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan yang mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa.

36

M. Yahya Harahap., Arbitrase, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 1.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan pasal tersebut, maka peneliti memberikan batasan-batasannya bahwa: 1. Menyelesaikan sengketa melalui juru pisah atau dikenal dengan lembaga arbitrase; 2. Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikannya dalam bentuk keputusan; dan 3. Para pihak arbiter wajib tunduk menurut peraturan hukum acara yang berlaku bagi bangsa atau golongan Eropa. Landasan Rv terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) disingkat dengan Rv. S 1847-52 jo 1849-63. hal tersebut dapat dibaca dalam kalimat, wajib menurut peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa. Penunjukan pada pasal-pasal Rv pada prinsipnya adalah untuk mengisi kekosongan hukum tentang aturan arbitrase, karena pada HIR dan Rbg tidak membuat aturan lebih lanjut tentang arbitrase. Sebagai pedoman aturan umum arbitrase yang wajib ditaati golongan Bumiputra, Timur Asing, dan Eropa yang diatur dalam buku ketiga Reglement Acara Perdata, terbagi atas lima bagian pokok yaitu: 37 1. Bagian Pertama (Pasal 615-Pasal 623) mengenai, persetujuan arbitrase dan pengangkatan arbitrator atau arbiter; 2. Bagian Kedua (Pasal 631-Pasal 640) mengenai, putusan arbitrase; 3. Bagian Ketiga (Pasal 631-Pasal 640) mengenai, upaya-upaya terhadap keputusan arbitrase; dan 4. Bagian Kelima (Pasal 648-Pasal 651) mengenai, berakhirnya acara-acara arbitrase. Reglemen Acara Perdata yang dibuat tahun 1849, mungkin sudah memenuhi kebutuhan praktek pada jamannya. Namun belum dapat menjangkau permasalahan
37

Ibid, hal. 2.

Universitas Sumatera Utara

arbitrase untuk saat ini yang semakin komplek seperti arbitrase yang diputus di luar negeri, karena dalam Reglemen Acara Perdata belum mengatur tentang pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing. Padahal, maslaah putusan arbitrase asing pada saat sekarang merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindari terutama dalam era globalisasi dan interdepensi kehidupan masyarakat Indonesia, baik dalam kegiatan penanaman modal asing maupun dalam lalulintas perdagangan dunia. Putusan hakim asing pada umumnya tidak dapat dilaksanakan di Indonesia, karena dalam hal tertentu ada putusan asing yang dapat dilaksanakan di Indonesia. Pasal 346 Rv. menyebutkan, bahwa kecuali dalam hal-hal yang ditentukan oleh Pasal 724 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan undang-undang lain, putusan-putusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Putusan asing di Indonesia hanya akan dihormati dan tidak akan dilaksanakan. Sengketa yang diputus di luar negeri harus diperiksa ulang kembali dari poses awalnya. Putusan asing hanya sekedar suatu fakta, berupa putusan yang sifatnya tidak mengikuti hakim di Indonesia, karena Rv masih menjadi pedoman di Indonesia, dalam Pasal 436 Rv antara lain menyatakan bahwa ...keputusankeputusan yang diberikan oleh badan-badan peradilan di luar negeri tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan di Indonesia. Umumnya ketentuan putusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Dikatakan pada umumnya, karena dalam hal tertentu ada putusan asing yang dapat dilaksanakan di Indonesia. Pasal 346 R.V. menyebutkan, bahwa kecuali dalam hal-hal yang ditentukan oleh Pasal 724 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan undang-undang lain, putusanputusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Jadi, putusan Hakim asing mengenai perhitungan umum terhadap kapal atau pemilik kargo yang diangkut

Universitas Sumatera Utara

oleh kapal yang bersangkutan dan berdomisili di Indonesia, berdasarkan ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia dan juga pengaturannya terdapat pada Het Herziene Indonesich Reglement (HIR) dan Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg) tidak terdapat ketentuan khusus mengenai kompetensi pengadilan (yurisdiksi) di Indonesia dalam mengadili perkara-perkara perdata yang mengandung elemen asing. Pasal 118 ayat (1) HIR, tuntutan atau gugatan perdata diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat tergugat bertempat tinggal (woonplaats) atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya, maka di tempat sebenarnya ia berada (werkelijk verbliff). Tergugat lebih dari satu orang dan mereka tidak tinggal dalam satu wilayah suatu Pengadilan Negeri, menurut Pasal 118 HIR, gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat salah seorang bertempat tinggal. Yurisdiksi menurut Sudargo Gautama, merupakan ketentuan penting yang ada hubungannya dengan perkara yang bersifat HPI terdapat dala Pasal 118 ayat (3) HIR. 38 Jika tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal dan juga tempat tinggal sebenarnya tidak dikenal, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri ditempat penggugat (Forum Actoris). Kemudian apabila gugatan tersebut berkaitan dengan benda tidak bergerak (benda tetap), gugatan diajukan kepada pengadilan negeri dimana benda tetap itu terletak (Forum Rei Sitae). Pasal 118 ayat (4) HIR, terdapat ketentuan yang menegaskan, bahwa jika terdapat pilihan domisili, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri yang

Sudargo Gautama (III), Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian II (Buku 8), (Bandung: Alumni, 1979). hal. 210.

38

Universitas Sumatera Utara

telah dipilih tersebut (Chice of Forum). Yurisprudensi Indonesia sering ditemukan perkara-perkara diamana tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia, sehingga prosedur khusus telah dilakukan. 39 Pengkajian di dalam ketentuan yang terdapat pada Pasal 6 sub 8 Reglement of de Burgerlijk Rechtsvorerdering (Rv) 40 mengenai Dagvaarding yang harus disampaikan kepada pihak tergugat kepada yang bertempat tinggal di luar Indonesia sepanjang mereka tidak mempunyai tempat kediaman yang dikenal di Indonesia. Tuntutan diserahkan kepada pejabat kejaksaan kepada tempat pengadilan dimana seharusnya perkara diajukan. Pejabat ini membubuhkan kata-kata gezien dan menandatanganinya serta menyerahkan salinan eksploit untuk yang bersangkutan kepada pemerintah Indonesia untuk dikirim. 41 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Kontrak dagang Internasional mengandung elemen-elemen asing, maka dalam pelaksanaannya menimbulkan persoalan, hukum manakah yang berlaku atas perjanjian atau kontrak tersebut. Prinsip hukum yang berlaku dalam kontrak yang mengandung unsur HPI tersebut adalah hukum yang dipilih sendiri oleh para pihak (pilihan hukum).jika pilihan hukum tersebut tidak ditemukan dalam kontrak yang bersangkutan, dapat digunakan bantuan titik-titik taut sekunder. Asas kebebasan berkontrak menekankan kepada para pihak dalam suatu perjanjian atau kontrak, bebas menentukan bentuk dan isi perjanjian termasuk untuk

Ibid, hal. 211. Ketentuan ini merupakan reglemen hukum acara perdata yang berlaku untuk golongan Eropa. Kemudian dengan dihapuskannya Raad van Justitie dan Hooggerechtshof, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi. Namun apabila di dalam HIR atau Rbg tidak terdapat pengaturan tertentu mengenai hukum acara perdata, misalnya mengenai arbitrase, maka ketentuan RV dapat dijadikan sebagai pedoman. 41 Ibid, hal. 211.
40

39

Universitas Sumatera Utara

menentukan pilihan hukum. 42 Kemudian apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak tadi berlaku sebagai undang-undang bagi mereka kedua belah pihak yang berkontrak. 43 Pilihan hukum merupakan masalah sentral dalam HPI berbagai sistem hukum. Pilihan hukum ini telah diterima baik dikalangan akademisi maupun dalam praktik di pengadilan. Yansen Derwanto Latif menyatakan bahwa pilihan hukum dihormati dengan beberapa alasan: 44 1. Pilihan hukum sebagaimana yang dimaksud para pihak dianggap sangat memuaskan bagi mereka yang menganggap kebebasan akhir individu adalah dasar murni dari hukum. Prinsip ini berlaku di banyak negara. Hal ini merupakan fakta yang menarik, karena hal itu terjadi tanpa ada perjanjian antara pengadilan di berbagai negara; 2. Pilihan hukum dalam kontrak internasional memberikan kepastian, yakni memungkinkan para pihak dengan mudah menentukan hukum yang mengatur tentang kontrak tersebut; 3. Memberikan efisiensi, manfaat dan keuntungan. Pilihan hukum para pihak dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi.alasan tersebut memberikan keuntungan untuk menghindari hukum memaksa yang tidak efisien, meningkatkan persaingan hukum, dan mengurangi ketidakpastian tentang hukum yang dipergunakan. Pemuatan pilihan hukum dalam hukum kontrak adalah hanya satu cara dari pengurangan biaya. Suatu alternatif mungkin adalah suatu peraturan bersifat memaksa yang relatif sederhana, seperti menentukan hukum tempat kontrak itu dibuat. Hal ini akan menghemat bagi para pihak dari biaya penentuan hukum yang berlaku, jika tidak terdapat klausul pilihan hukum; dan 4. Pilihan hukum akan memberikan kepada negara insentif bersaing. Kebebasan para pihak untuk memilih dan menentukan hukum yang berlaku bagi kontrak yang mereka buat, yang berarti tidak semata-mata hak mereka untuk menggantikan atau memindahkan peraturan yang tidak pasti dan setiap sistem hukum.

Sutan Remy Sjahdeini., Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 47. 43 Ridwan Khairandy (II)., Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 29. 44 Yansen Derwanto Latif., Pilihaan Hukum dan Pilihan Forum dalam Kontrak Internasional, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal. 2021.

42

Universitas Sumatera Utara

Pilihan hukum para pihak didasarkan pada pertimbangan bahwa pada prinsipnya seluruh sistem hukum nasional adalah sama dan oleh karenanya dapat saling dipindahkan. Dalam kontrak internasional, hukum private nasional akan diterapkan apabila tidak ada pilihan hukum kepada hukum nasional lainnya. 45 Pilihan hukum ini sudah umum. Kini orang sudah tidak meragukan lagi, bahwa para pihak dalam membuat sebuah kontrak dapat menentukan sendiri hukum bagi kontrak yang mereka buat itu. 46 Pihak-pihak dalam berkontrak, bebas untuk menentukan pilihan hukum dengan mengingat beberapa pembatasan; Pertama, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, Kedua, pilihan hukum itu tidak mengenai hukum yang bersifat memaksa. Pilihan hukum diperkenankan berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Kebebasan tidak berarti tidak ada batasnya. Kebebasan tersebut dibatasi oleh ketentuan ketertiban umum. Hukum yang memaksa juga membatasi kebebasan para pihak dalam menentukan pilihan hukum. Pembatasan-pembatasan tersebut dientukan oleh keadaan sosial ekonomi kehidupan modern, seperti perlindungan konsumen, pencegahan penyalahgunaan wewenang dari penguasa ekonomi serta menjaga iklim persaingan yang adil dalam ekonomi pasar. 47 Pilihan hukum harus secara tegas di dalam kontrak yang bersangkutan. Para pihak secara tegas dan jelas menentukan hukum mana yang merreka pilih. Hal tersebut biasanya muncul dalam klausul governing law. Keabsahan suatu kontrak didasarkan pada hukum yang dipilih para pihak tersebut. Demikian juga apabila terjadi perselisihan maupun pelaksanaan perjanjian, maka Hakim atau Arbiter yang

45 46

Ibid. Sudargo Gautama (III)., Op. cit, hal. 169. 47 Ibid, hal. 24.

Universitas Sumatera Utara

mengadili perkara tersebut juga harus merujuk kepada hukum yang telah dipilih para pihak tersebut. Permasalahan yang timbul adalah jika pilihan hukum itu tidak ada dalam menentukan hukum yang diberlakukan. Hakim atau Arbiter harus menggunakan teori yang lazim dikenal di dalam HPI. Teori-teori tersebut antara lain sebagai berikut; (1). Lex Loci Contractus, (2). Mail Box Theory of Declaration, (3). Lex Loci Solutions, (4). The Proper Law of a Contract, (5). Theory Most Characteristic Connection. Penentuan tentang teori mana yang akan diberlakukan menimbulkan permasalahan tersendiri. Penggunaan titik pertalian atas teori tersebut sangat beragam, tergantung pada titik pertalian mana yang dianut oleh masing-masing kaidah HPI setiap negara. Kaidah HPI Indonesia yang terdapat dalam Pasal 18 AB menentukan, jika tidak ada pilihan hukum, maka hukum yang berlaku harus merujuk kepada hukum negara dimana tempat diadakannya kontrak tersebut. Pilihan hukum merupakan cara yang terbaik untuk menentukan hukum yang berlaku terhadap kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul dalam menentukan hukum yang akan diberlakukan dalam terjadinya sengketa bisnis yang mengandung unsur HPI, dan untuk menghindari berbagai kesulitan yang mungkin timbul, serta untuk menghindari hukum yang tidak relevan dengan permasalahan yang dihadapi serta menghindari hukum yang tidak dikehendaki oleh negara dimana trnasaksi tersebut dilakukan. 3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif dan Penyelesaian Sengketa (APS) Salah satu ketentuan yang merupakan sumber pokok dapat dilaksanakannya arbitrase atau ketentuan hukum yang mengatur arbitrase atas perselisihan atau

Universitas Sumatera Utara

sengketa kontrak dagang Internasional, di Indonesia sebelumnya diberlakukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang APS adalah ketentuan yang dalam Pasal 337 Reglemen Indonesia yang diperbaharui Het Herziene Reglement, Staasblad; 44 (HIR) untuk Jawa dan Madura, atau Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927;227 (Rbg). Kedua ketentuan dasar tersebut, dianggap menjadi sumber dari berlakunya ketentuan arbitrase yang diatur pratanya secara cukup lengkap dalam ketentuan Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata atau Reglement op de Rechtsvordering Staatsblad 1847;52) bagi seluruh golongan penduduk Hindia Belanda pada waktu itu. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang APS, maka seluruh ketentuan tersebut di atas, yaitu Pasal 337 Reglemen Indonesia yang diperbaharui Het Herziene Reglement, Staasblad; 44 (HIR), Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927;227 (Rbg), dan Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata atau Reglement op de Rechtsvordering Staatsblad 1847;52), dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada Bab I Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang APS, menyatakan mengenai penyelesaian sengketa dimana para pihak telah memutus dari sejak awal bahwa dalam kesepakatan perjanjian mereka apabila terjadi sengketa, maka akan diselesaikan dengan cara arbitrase. Klausula perjanjian arbitrase tersebut menjadi bagian yang sah dari perikatan tersebut. Tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase dapat dipilih sesudah terjadinya

Universitas Sumatera Utara

sengketa di belakangan. Hal penting lainnya adalah pengakuan akan eksistensi dari akan dibentuknya suatu lembaga alternatif penyelesaian sengketa selain dari lembaga arbitrase yang sudah ada di Indonesia yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). 48 Berdasarkan defenisi yang diberikan dalam Pasal 1 Angka (1) UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang APS, dapat dipahami bahwa penyelesaian perselisihan atau sengketa melalui pranata arbitrase memiliki kompetensi absolut terhadap penyelesaian atau sengketa melalui pengadilan. Hal ini berarti, setiap perjanjian yang telah mencantumkan klausula arbitrase tersebut atau yang telah timbul sebelum ditandatanganinya perjanjian arbitrase oleh para pihak. Secara umum Undang-Undang mengenai APS mengatur tentang syarat arbitrase, hak ingkar, dan lain-lain. Pada Bab III mengatur mengenai acara yang berlaku di hadapan Majelis Arbitrase, Bab V mengatur mengenai pendapat dan keputusan arbitrase, Bab VI mengatur mengenai putusan untuk arbitrase Nasional maupun arbitrase Internasional, Bab VII mengatur mengenai pembatalan putusan arbitrase serta Bab VIII mengenai berakhirnya tugas arbiter, dan Bab IX mengenai biaya arbitrase. Berdasarkan pengamatan di atas, terlihat bahwa pengaturan Undang-Undang APS ini, masih terfokus pada penyelesaian sengketa non litigasi melalui arbitrase tanpa menyinggung substansi pengaturan yang lebih jelas pada metode penyelesaian sengketa lain melalui Alternative Disputes Resolution (ADR) non litigasi. 49

Ningrum Natasya Sirait., Hukum Kontrak Internasional, Bab Alternative Dispute Resolution, bahan Kuliah Program Pascasarjana Fakultas Hukum MHB UMA, 2004, hal. 21. 49 Ibid.

48

Universitas Sumatera Utara

Melihat pada substansi Bab VI tentang putusan arbitrase Internasional yang secara substansial sesuai prediksi banyak sengketa dagang Internasional ADR dalam upaya penyelesaian sengketa, perincian lebih jelas untuk pembahasan arbitrase Internasional terkandung pada bagian kedua Pasal 65 sampai dengan Pasal 69. 50 Namun tentunya permasalahan dalam arbitrase Internasional tidak terlepas dari proses adanya sengketa dan pembatalan putusan, hal ini juga diatur pada Bab VII perihal pembatalan putusan arbitrase, dari Pasal 70 sampai dengan Pasal 72. 51 4. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award (Konvensi New York 1958) Peraturan lain yang menjadi kekuatan hukum dalam arbitrase asing atas sengketa kontrak dagang internasional di Indonesia adalah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1981. Dimana dalam Keppres ini Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award (Konvensi New York 1958). Prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam isi Keppres Nomor 34 Tahun 1981 tersebut adalah: 52 1) Pengakuan atau recognition atas putusan arbitrase asing, putusan arbitrase asing dengan sendirinya memiliki daya self execution di negara Indonesia; dan 2) Namun demikian, sifat self execution yang terkandung dalam putusan arbitrase asing didasarkan atas asas resiprositas atau reciprocity, yang berarti penerapan pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif dan Penyelesaian Sengketa, Pasal 65 sampai dengan Pasal 69, menjelaskan tentang wewenang penanganan masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, diamana putusan yang diakui serta dapat dilaksanakan di Indonesia adalah yang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam Pasal 66 Undang-Undang APS, juga mengatur mengenai permohonan pelaksanaan putusan, penolakan putusan, dan eksekusi putusan. 51 Ibid, Pasal 70 sampai dengan Pasal 72, menjelaskan proses pembatalan putusan arbitrase meliputi; pengajuan permohonan pembatalan, jangka waktu permohonan pembatalan (30 hari), penetapan permohonan pembatalan oleh Pengadilan Negri Jakarta Pusat, dan pertimbangan permohonan banding oleh Mahkamah Agung. 52 M. Yahya Harahap., Ibid, hal. 18-19.

50

Universitas Sumatera Utara

asing dalam suatu negara yang bersangkutan telah lebih dahulu mengikat hubungan bilateral dan multilateral. Keppres Nomor 34 Tahun 1968 bertujuan untuk memasukkan Konvensi New York 1958 ke dalam tata hukum intern Indonesia, dengan adanya Konvensi New York 1958 tersebut, diharapkan setiap warga negara supaya dapat mengakui dan melaksanakan setiap putusan yang dijatuhkan di luar negeri. Jika dihubungkan dengan masalah pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 dengan Keppres Nomor 34 Tahun 1981, jika dilihat dari segi jangkauannya. Pada UndangUndang Nomor 5 Tahun 1968, yang diatur di dalamnya, baru meliputi putusan arbitrase yang dijatuhkan ICSID, sepanjang mengenai perselisihan yang menyangkut PMA atau joint venture. Lain halnya dengan Keppres Nomor 34 Tahun 1981, yaitu pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing, pada prinsipnya meliputi segala putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar wilayah hukum negara Republik Indonesia, artinya kesediaan negara Indonesia mengakui dan mengeksekusi putusan arbitrase asing. Sejak tanggal diberlakukannya Keppres Nomor 34 Tahun 1981 tersebut, negara Indonesia telah mengikat diri dengan kewajiban hukum, untuk mengakui dan mematuhi pelaksanaan eksekusi atas setiap putusan arbitrase asing. Namun pada kenyataannya, pengakuan dan kewajiban hukum tersebut, tidak terlepas

penerapannya dari asas resiprositas yakni asas timbal balik antara negara yang bersangkutan dengan Indonesia. Dengan penjelasan bahwa kesediaan negara Indonesia mengakui dan mengeksekusi putsan arbitrase asing, harus berlaku timbal

Universitas Sumatera Utara

balik dengan pengakuan dan kerelaan negara lain mengeksekusi putusan arbitrase yang diminta oleh pihak Indonesia. Sikap pengakuan dan kerelaan pihak Indonesia di sisi lain, Indonesia mengeksekusi putusan arbitrase asing atas permintaan yang datang dari suatu negara lain, harus didasari dengan asas ikatan bilateral dan multilateral, dan tidak dapat dipaksakan secara unilateral. Sekurang-kurangnya antara negara yang meminta pengakuan dan mengeksekusi putusan, sudah lebih dahulu memiliki ikatan perjanjian dengan Indonesia, baik secara bilateral maupun multilateral. Pihak Indonesia dalam hal ini, tidak terikat untuk mengakui dan mengeksekusi putusan arbitrase asing , jika pihak negara lain meminta tidak terikat secara bilateral atau multilateral dengan Pemerintah Republik Indonesia. 5. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Asing Landasan lainnya yang melengkapi peraturan tentang arbitrase atas sengketa kontrak dagang internasional di Indonesia adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Asing (disingkat dengan Perma Nomor 1 Tahun 1990), yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Maret 1990. Perma Nomor 1 Tahun 1999 merupakan jawaban terhadap Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Asing. Sebab secara nyata, meskipun Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 telah mensahkan dan bergabung dalam ICSID, kenyataannya eksekusi putusan arbitrase asing masih tetap mengalami kegagalan. Begitu juga dengan

dikeluarkannya Keppres Nomor 34 Tahun 1981, pemerintah Republik Indonesia

Universitas Sumatera Utara

telah mengesahkan dan bergabung ke dalam Konvensi New York 1958. Pengesahan untuk bergabung ke Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award, secara de facto dan yuridis telah menempatkan Indonesia sebagai negara yang terikat dan patuh serta rela mengikuti dan melaksanakan eksekusi setiap putusan arbitrase asing. Namun pada kenyataannya, setiap putusan arbitrase asing masih selalu kandas di depan pengadilan. Berbagai keluhan disampaikan dan ditujukan kepada pengadilan, akan tetapi tetap saja tidak mengubah sikap, dan tetap menolak pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing tersebut. Motivasi lahirnya Perma Nomor 1 Tahun 1990, ditujukan untuk mengantisipasi permasalahan pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Dikeluarkannya Perma ini, maka berakhir masa kekosongan hukum tentang pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Jangkauan kekuatan Perma ini tidak hanya meliputi arbitrase asing yang telah ada sebelum Perma dikeluarkan, baik terhadap putusan yang belum pernah diajukan, maupun yang sudah pernah ditolak eksekusinya. Penolakan atau pernyataan eksekusi putusan arbitrase asing tidak dapat diterima atas alasan peraturan pelaksana belum ada seperti yang terjadi di masa sebelum Perma Nomor 1 Tahun 1990 berlaku. Perlu diperhatikan bahwa di antara persyaratan yang harus semestinya diperhatikan dalam pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing ialah bahwa putusan arbitrase asing ini tidak boleh bertentangan dengan apa yang dinamakan

Universitas Sumatera Utara

dengan ketertiban umum di Negara Indonesia. 53 Dalam ketentuan termuat di dalam Pasal 3 Ayat (3) Perma Nomor 1 Tahun 1990. 54 6. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Pada bagian konsideran huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional ini salah satu pertimbangan diundangkannya undang-undang ini bahwa pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional, dan subjek hukum internasional lain adalan suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara pada bidang-bidang tertentu, dan oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional harus dilakukan dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen peraturan perundang-undangan yang jelas pula. Pada Pasal 1 angka 1 disebutkan dalam undang-undang tersebut yang dimaksud dengan perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Sementara dalam pejelasan undang-undang tersebut lebih lengkap disebutkan mengenai bentuk-bentuk perjanjian Internasional yaitu setiap perjanjian di bidang hukum publik, diatur oleh hukum Internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan negara, organisasi Internasional, atau subjek hukum internasional lain.

Sudargo Gautama (IV)., Hukum Dagang & Arbitrase Internasional, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 7. 54 PERMA Nomor 1 Tahun 1990, Pasal 3 Ayat (3) yaitu Putusan-putusan arbitrase asing tersebut dalam Ayat (1) di atas hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan-putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

53

Universitas Sumatera Utara

Pada umumnya bentuk dan nama perjanjian menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tersebut menunjukkan bahwa materi yang diatur oleh perjanjian tersebut memiliki bobot kerja sama yang berbeda tingkatannya. Namun demikian, secara hukum, perbedaan tersebut tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang di dalam suatu perjanjian internasional. Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu bagi perjanjian internasional, pada dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud para pihak terkait serta dampak politiknya bagi para pihak tersebut. Dalam Pasal 15 ayat (2) ditentukan mengenai mulai berlakunya perjanjian Internasional yaitu, Suatu perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut. Kemudian dalam Pasal 18 diatur mengenai berakhirnya Perjanjian internasional berakhir apabila: a. Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian; b. Tujuan perjanjian tersebut telah tercapai; c. Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian; d. Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian; e. Dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama; f. Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional; g. Objek perjanjian hilang; h. Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional. Pasal 19 ditentukan pula bahwa perjanjian internasional yang berakhir sebelum waktunya berdasarkan kesepakatan para pihak, tidak mempengaruhi penyelesaian setiap pengaturan yang menjadi bagian perjanjian dan belum dilaksanakan secara penuh pada saat berakhirnya perjanjian tersebut. Tetapi dalam Pasal 20 dinyatakan bahwa perjanjian internasional tidak berakhir karena suksesi

Universitas Sumatera Utara

negara, tetapi tetap berlaku selama negara pengganti menyatakan terikat pada perjanjian tersebut. Menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tersebut mengenai pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan sesuai dengan undang-undang ini apabila berkenaan dengan: a. b. c. d. e. f. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; Kedaulatan atau hak berdaulat negara; Hak asasi manusia dan lingkungan hidup; Pembentukan kaidah hukum baru; Pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Berdasarkan kajian terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tersebut, mengenai subjek perjanjian Internasional menurut undang-undang ini lebih cenderung adalah negara Republik Indonesia sebagai subjek bukan privat karena pasal-pasal di dalamnya banyak mengatur tentang negara sebagai subjek hukum perjanjian internasional. sedangkan objek perjanjian internasional sesuai dengan Pasal 10 sebagaimana telah disebutkan di atas, yang mengenai kontrak dagang Internasional secara khusus tidak ada disebutkan hanya saja jika ditelaah lebih lanjut dalam Pasal 10 itu terdapat penyebutan daam huruf f tentang pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

D. Peraturan Hukum yang Otonom di Indonesia Arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa bisnis maupun kontrak dagang internasional dalam proses litigasi di pengadilan bergantung kepada sifat dasar jurisdiksi dan otonomi hukum badan peradilan. Lembaga-lembaga judisial

Universitas Sumatera Utara

termasuk arbirase di Australia, Malaysia dan Singapura cenderung menggunakan sistem otonomi dari kekuasaan badan legislatif dan eksekutif. Pemerintah Indonesia menggunakan sistem distribusi kekuasaan, bukan pemisahaan kekuasaan secara mutlak. Meskipun secara teoritis pemisahan itu ada, tetapi dalam praktik pihak eksekutif selalu ingin mendominasi. Akibatnya Presiden sebagai kepala eksekutif dapat turut campur dalam bidang-bidang yang berada di bawah kekuasaan legislatif dan judikatif terjadi terutama masa rezim Soeharto terutama dalam kasus-kasus politik. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) 55 sebagai lembaga arbitrase nasional memiliki otonomi penuh dalam mengatur lembaga arbitrase termasuk memutus perkara yang mereka tangani. Hanya saja tidak memiliki otonomi penuh dalam menjalankan kekuasaannya melaksanakan putusan karena harus melalui pengadilan. Badan-badan arbitrase di Indonesia memiliki peraturan yang sedikit jumlahnya berbeda dengan di Australia, Malaysia dan Singapura. Sejak tahun 1981, Indonesia telah ikut ambil bagian dalam Konvensi New York tahun 1958 melalui Keputusan Presiden Nomor 34 pada tanggal 5 Agustus 1981, maka Indonesia telah dinyatakan mengesahkan Konvensi New York. Namun dalam eadaan tertentu, putusan arbitrase yang dibuat oleh badan arbitrase domestik atau internasional tidak dapat selalu dilaksanakan secara langsung. Hal ini disebabkan karena peran Pengadilan Negeri yang sangat kuat dalam mengatur lembaga hukum lainnya.

Badan Arbitrase Nasional ini didirikan oleh IKADIN dan disponsori oleh pengacarapengacara Indonesia, serta mendapat dukungan dan persetujuan dari Menteri Kehakiman, Menteri Koordinasi Ekonomi, Menteri Keuangan dan Industri (Menko Ekuin), Ketua Mahkamah Agung dan Presiden Republik Indonesia.

55

Universitas Sumatera Utara

Pelaksanaan putusan arbitrase asing diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung Indonesia Nomor 1 Tahun 1990 sebelum adanya Undang-Undang tentang arbitrase tahun 1999, bahwa yang menetapkan pelaksanaan putusan arbitrase asing hanya terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Peraturan tersebut juga mengatakan bahwa kepentingan umum adalah sebuah norma yang jelas tidak bertentangan dengan seluruh prinsip sistem hukum dan masyarakat Indonesia. Tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing itu diatur dalam Bab III Pasal 5 Peraturan Mahkamah Agung sebagai berikut: (1) Permohonan untuk eksekusi putusan arbitrase asing hanya hanya dapat dilakukan setelah didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sesuai dengan tata cara yang berlaku menurut Pasal 705 Reglemen di Daeah-daerah Luar Jawa dan Madura. (2) Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut dalam ayat (1) mengirimkan berkas permohonan eksekusi arbitrase asing tersebut kepada Panitera/Sekretaris Jenderal Mahakamah Agung untuk memperoleh Exequator. (3) Pengiriman berkas permohonan ke Mahkamah Agung dilaksanakan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan tersebut. (4) Pengiriman berkas permohonan itu harus disertai dengan: a. Putusan arbitrase asing asli atau salinannya yang telah dilegalisir sesuai dengan ketentuan otentikasi dokumen-dokumen asing, serta naskah terjemahan resminya, sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. b. Surat Perjanjian asli atau salinannya yang menjadi dasar putusan arbitrase asing yang telah dilegalisir sesuai dengan ketentuan otentikasi dokumendokumen asing serta naskah terjemahan resminya sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. c. Keterangan dari perwakilan diplomatik Indonesia di negara diaman putusan arbitrase asing tersebut diberikan yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat secara bilateral dengan Indonesia atau terikat secara bersama-sama dengan Indonesia dalam suatu konvensi internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing. Putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia dengan mengisi surat permohonan eksekutor kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Eksekutor akan diberikan melalui Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Agung atau Ketua Muda

Universitas Sumatera Utara

Bidang Hukum Perdata Tertulis Mahkamah Agung, yang dalam hal ini diberikan kuasa atau wewenang oleh Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Agung. Pelaksanaan putusan arbitrase di Indonesia diatur dalam Pasal 634 Reglemen Acara Perdata atau Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) dimana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat merupakan lembaga yang diberi wewenang melaksanakan putusan BANI atau putusan arbitrase asing.putusan arbitrase BANI biasanya akan dilaksanakan menurut prosedur yang berlaku dalam pelaksanaan putusan pengadilan. Bila salah satu pihak tidak patuh terhadap putusan BANI, pihak lainnya akan mengajukan permohonan sesuai dengan Pasal 435 Rv yakni diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jika hal demikian terjadi, maka seluruh rangkaian proses itu mulai dari peneguran,penyitaan dan lelang dapat dilakukan di hadapan kantor lelang. Dengan adanya bantuan ini, maka proses pelaksanaan putusan menjadi tidak sederhana lagi. Akan tetapi sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 6, putusan arbitrase yang tidak dapat dilaksanakan secara sukarela, maka putusan arbitrase tersebut akan dilaksanakan sesuai dengan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan dari salah satu pihak.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai