Anda di halaman 1dari 3

Apa Itu Mandar?

Apa itu Mandar? Jika mau berpikir pendek, spontan kita akan mengatakan bahwa Mandar adalah sebuah suku, yang terdiri dari Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga atau biasa disebut PUS-PBB pada perjanjian Allumungan Batu di Luyo. Berdasarkan nama PUS-PBB maka suku Mandar terdiri dari kedua nama di atas. Jika hilang salah satu dari kedua nama yang disebutkan maka musnahlah Mandar, karena itu tidak ada sesuatu pun yang boleh memisahkan antara keduanya. Hal ini rupanya yang mendasari kericuhan di Aralle, Tabulahan dan Mambi (daerah PUS) ketika pemekaran Mamasa dari kabupaten induk Polewali-Mamasa. Adapun dasar pemikirannya adalah, jika bergabung dengan Mamasa akan mengancam keutuhan Mandar. Hal ini seakan-akan menunjukkan bahwa Mamasa adalah faktor pemisah kesatuan suku Mandar. Belum lagi ada pemberitaan yang menyebutkan bahwa kericuhan di Aralle, Tabulahan dan Mambi adalah bentrok antar dua suku yaitu suku Mandar untuk yang pro Polewali dan suku Toraja untuk yang pro Mamasa. Benarkah seperti itu? Mari kita bahas dulu lebih terinci mengenai apa itu Mandar. Pada masa dulu sebelum masuknya Kolonial Belanda, di wilayah daratan Sulawesi bagian barat terdiri dari beberapa kerajaan kecil dan kesatuan adat yang tersebar di pegunungan maupun pesisir. Mereka terdiri dari beragam bahasa, adat dan budaya. Pada mulanya mereka berdiri sendiri-sendiri. Tidak jarang pula terjadi benturan hingga terjadi peperangan untuk mengklaim kedaulatan masing-masing wilayah. Baik itu antar kerajaan di pesisir maupun dengan wilayah adat di pegunungan. Sampai pada puncaknya muncul kerajaan Passokoran yang memanfaatkan situasi ini untuk mengadu domba dan mencoba menghancurkan kerajaan-kerajaan kecil di wilayah pesisir. Hal ini membuat kerajaan-kerajaan kecil di pesisir sadar akan pentingnya persatuan, juga untuk tidak saling berperang antar wilayah. Karena mereka tahu hal seperti ini akan merugikan mereka sendiri. Sejak saat itulah terbentuk ikatan persatuan antar kerajaan, dan muncullah pertama kalinya konsep Mandar, yang pada waktu itu masih terdiri dari tiga kerajaan di pesisir, yang dikenal sebagai Assitaliang Bocco Tallu atau persekutuan tiga kerajaan. Mandar sendiri artinya adalah erat atau kuat, kalau diterjemahkan pada masa itu, berarti mempererat tiga kerajaan.

Hingga pada beberapa abad kemudian, persekutuan Mandar lebih luas lagi, tepatnya pada masa pemerintahan Kerajaan Balanipa di bawah I Manyambungi Todilaling dan diteruskan putranya Tomepayung. Atas inisiatif kedua tokoh Balanipa tersebut terbentuk Perjanjian Tamejarra, yang membentuk persekutuan tujuh kerajaan di pesisir atau lebih dikenal Pitu Baqbana Binanga (PBB). Pitu Ulunna Salu adalah wilayah terakhir yang masuk dalam persekutuan Mandar, bersama-sama dengan Karua Tiparittina Uai yang kala itu menjadi daerah sengketa (rebutan) antara PUS dan PBB. Pada saat itu barulah Perjanjian PUS-PBB berlangsung sebagai final di Allumungan Batu Luyo, setelah melewati beberapa perjanjian sebelumnya. Perjanjian PUS-PBB ini sekaligus mengakhiri sengketa antar PUS dan PBB, termasuk masalah klaim kekuasaan atas wilayah Karua Tiparittina Wai. Dengan begitu tidak perlu lagi mempermasalahkan Karua Tiparittina Wai sebagai wilayah teritorial PUS atau PBB. Karena baik PUS, PBB dan Karua Tiparittina Wai sudah tergabung dalam persekutuan Mandar. Perlu diketahui wilayah Karua Tiparittina Wai terdiri atas 8 wilayah, yakni MESSAWA, Ulu Manda, Sondoan, Panetean, MAMASA, OSANGO, OROBUA dan TAWALIAN. Dari sejarah di atas kita bisa menarik kesimpulan, bahwa MANDAR adalah suatu wacana persatuan antar beberapa kerajaan dan kesatuan adat yang saling menghormati. Bukanlah sebuah suku, melainkan sebuah Negeri, Negeri Mandar. Orang di dalamnya secara otomatis disebut orang Mandar. Sama halnya seperti Sumpah Pemuda yang mengikrarkan satu bangsa dan tanah air Indonesia, MANDAR pun punya wawasan seperti itu. Tidak peduli apakah Anda orang Mambi, atau orang Mamuju, atau Mamasa, semua adalah orang Mandar. Bisa dikatakan, MANDAR adalah wawasan persatuan yang sudah ada pertama kali sebelum Sumpah Pemuda, walaupun itu dalam skala regional. Kalau mau dikatakan suku, sebenarnya masyarakat di daerah pesisir yang disebut orang Mandar pun sebenarnya terdiri dari beberapa suku. Jadi mau bicara suku di tanah Mandar, Anda akan menemui banyak sekali suku. Jika Anda menanyakan, mengapa masyarakat pesisir menyebut diri mereka sebagai suku Mandar? Itu bukan untuk mengkotak-kotakan atau memisahkan mereka dari kelompok masyarakat yang lain. Justru mereka berwawasan NASIONALIS walau dalam skala regional Sulawesi Barat. Mereka tidak pernah menyebutkan diri mereka sebagai suku Balanipa, suku Pamboang atau suku yang lain, hanya menyebut diri sebagai orang Mandar. Karena tidak ingin dipecah belah sekaligus menjaga keutuhan kesatuan Mandar sesuai dalam sejarah. Perlu diketahui bukan hanya masyarakat pesisir yang mereka akui sebagai orang Mandar, tapi juga masyarakat di pegunungan, termasuk Mambi, Tabulahan, MAMASA, MESSAWA, OSANGO, dan sebagainya. Inilah keistimewaan dari sifat Nasionalisme masyarakat pesisir. Setelah uraian saya diatas, kembali saya ingin menanyakan. Benarkah Mamasa mengancam keutuhan Mandar? Benarkah Mamasa adalah faktor pemisah kesatuan suku Mandar? Benarkah

pemberitaan yang menyebutkan bahwa kericuhan di Aralle, Tabulahan dan Mambi, adalah bentrok antar dua suku, yaitu suku Mandar (pro Polewali) dan Toraja (pro Mamasa)? Buat saya, betapa menggelikan dan menyedihkannya orang yang beranggapan seperti itu. Selebihnya silakan Anda menilai sendiri. Ditulis oleh, Ali Badri (Referensi : putra-mandar.web.id, mustarimula.blogspot.com, tabulahankondosapatatasya.blogspot.com)

Anda mungkin juga menyukai