Elisa Sutanudjaja1
ABSTRAKSI
Tiap megapolitan memiliki ketergantungan terhadap kendaraan bermotor dalam derajat yang
berbeda. Tak jarang, perencanaan dan desain kota menyesuaikan dengan kebutuhan akan kendaraan
bermotor, dalam hal ini mengenai ketersediaan mobilitas dan ruang.
Disinilah perencanaan kota dan wilayah diuj (RTRW Jakarta 2010 dan Perpres no.54 tahun 2008:
Penataan Ruang Kawasan Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi Puncak dan Cianjur), setelah
harus berkompromi dengan kondisi Jakarta sekarang dan yang sedang berjalan, rencana transportasi
dan infrastruktur oleh Dinas Pekerjaan Umum maupun Bappenas. Dan apakah korelasi tumpang
tindih dari kebijakan tersebut akan membawa Jakarta kepada kehancuran kota atau Jakarta yang
berkelanjutan.
PENDAHULUAN
Jumlah penduduk Jakarta berdasarkan survei terakhir Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
di bulan Januari 2008 mencapai hampir 8,5 juta orang. Sementara populasi Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi (Bodetabek) berkisar pada angka 15 juta orang, menjadikan jumlah
populasi megapolitan berkisar pada angka 23,5 juta orang. Sementara tingkat urbanisasi ke
daerah Bodetabek dalam periode 1990 – 2000 mencapai 3.7% per tahun seperti pada gambar
1 dan 2 berikut.
1
Penulis adalah staff pengajar tidak tetap di Departemen Arsitektur, FDTP Universitas Pelita Harapan. Penulis
kerap menerbitkan artikel dan jurnal nasional. Dan penulis dapat dihubungi melalui email di:
elisa_3da@cbn.net.id
Gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa suburbanisasi terjadi dengan cepat dan populasi
penduduk Jakarta melebar ke area Bodetabek dengan berbagai macam alasan: harga tanah di
dalam kota Jakarta yang semakin mahal, mencari kualitas hidup yang lebih baik atau masalah
penyediaan rumah. Penyebaran dan pertambahan penduduk tersebut diikuti pula dengan
kenaikan jumlah kendaraan bermotor seperti yang ditunjukkan pada diagram 3.
Diagram 3. Tabel kepemilikan mobil di Jakarta per 1000 orang
Menurut angka dari Polda Jakarta, jumlah sepeda motor yang teregistrasi di tahun 2002
menjadi 2.4 juta meningkat 60% dari jumlah sepeda motor di tahun 1998 (1.5 juta).
Sedangkan jumlah mobil pribadi meningkat dari 1 juta di tahun 1998 menjadi 1.4 juta di
tahun 2002 (SITRAMP, 2004). Sementara di tahun 2003 mencapai 6.506.244 unit. Dari
jumlah itu 1.464.626 di antaranya merupakan jenis mobil berpenumpang,,449.169 mobil
beban (truk), 315.559 bus, dan 3.276.890 sepeda motor.
Perbandingan antara kendaraan pribadi dengan kendaraan umum adalah 98%:2%, padahal
jumlah orang yang diangkut oleh 2% kendaraan umum jauh lebih besar dibandingkan 98%
kendaraan pribadi. Dari total 17 juta orang yang melakukan perjalanan setiap hari, kendaraan
pribadi hanya mengangkut sekitar 49,7% penumpang. Sedangkan 2% kendaraan umum harus
mengangkut sekitar 50,3% penumpang.
Peningkatan kendaraan pribadi bakal terus terjadi mengingat menurut data Polda Metro Jaya
jumlah STNK mobil baru yang dikeluarkan tiap harinya mencapai 300 buah. Sementara luas
total jalan Jakarta hanya 6% dari total luasan wilayah Jakarta menyebabkan daya tampung
jalan mencapai titik jenuh, yaitu 150.000 kendaraan/jam, jauh diatas kondisi ideal yaitu
90.000 – 100.000 kendaraan/jam.
Alienisasi
SIKLUS
Tersedianya KETERGANTUNGAN Kendaraan
lahan parkir KENDARAAN masal
dalam jumlah BERMOTOR
besar
Terbatasnya
Pilihan
Moda
Perencanaan tata kota Transportasi
berbasis kendaraan
bermotor SUBURBANISASI/URBAN
SPRAWL
dan
Degradasi kualias hidup pusat kota
Suburbanisasi atau Urban Sprawl adalah suatu kondisi penyebaran kota dan penduduknya
secara sporadis hingga menyentuh batas terluar suatu kota (Bruegmann, 2005).
Pengembangan dan kegiatan yang menyebabkan suburbanisasi adalah membangun lahan rural
menjadi perumahan, zoning tunggal, pengembangan ruko (strip malls), keberadaan pusat
perbelanjaan besar maupun outlet rumah makan (Schlosser, 2002).
HASIL STUDI
Mengukur Derajat Ketergantungan terhadap Kendaraan Bermotor
Setiap kota dan bahkan bagian kota memiliki derajat ketergantungan terhadap kendaraan
bermotor. Untuk melihat seberapa jauh ketergantungan tersebut, tidak dapat dilihat dari satu
sisi saja, seperti misalnya mitos yang menyatakan bahwa ketergantungan kendaraan bermotor
merupakan konsekuensi otomatis dari meningkatnya kemakmuran suatu kota: kondisi dimana
masyarakat di kota makmur tersebut selalu membeli mobil dan tanah yang besar (Newman &
Kenworthy, 2000). Mitos-mitos lain meliputi: iklim, luasan kota, umur kota, masalah sosial
dan kesehatan, gaya hidup rural, pelobi proyek jalan, spekulasi tanah dan developer,
perencanaan lalu lintas, perencanaan kota. Seberapa benarnya sembilan mitos pertama,
tergantung pada mitos ke sepuluh yaitu perencanaan kota (Newman & Kenworthy, 2000).
Karenanya sangatlah penting untuk menelaah secara holistik, Namun gambaran umum dan
ilustrasi ketergantungan terhadap kendaraan bermotor dapat dilihat dari tabel perbandingan
dibawah ini (Tabel 5).
Tabel 5. Tabel pembanding faktor-faktor yang muncul dari kebijakan yang berdasar pada ketergantungan
kendaraan bermotor (Automobile Dependency) dan transportasi berimbang (Balanced Transportation)
Faktor Ketergantungan Kendaraan Bermotor Trasportasi Berimbang
Kepemilikan Kendaraan Tinggi Sedang
Bermotor / per kapita
Jarak Tempuh Kendaraan Tinggi per jarak tempuh Sedang per jarak tempuh
Kepadatan Rendah dengan area tertentu cenderung Sedang cenderung tinggi/padat.
kosong.
Guna lahan Single-use development patterns. Mixed-use development.
Lahan untuk sarana Sebagian besar lahan untuk jalan dan area Rasio antara area pejalan kaki dan
prasarana transportasi parkir. jalan+parkir yang proporsional.
Desain jalan Desain jalan mengutamakan kenyamanan Desain jalan mendukung
berkendaraan bermotor keseimbangan antaran moda
transportasi dan pengguna
Skala jalan Jalan dan blok bangunan berskala besar. Jarak dan bangunan berskala kecil
atau sedang
Kecepatan kendaraan Memungkinkan kecepatan maksimun Cenderung lebih rendah
Area Pejalan Kaki Hanya terdapat pada pusat perbelanjaan Terdapat pada jalan umum
Rambu Jalan Dalam bentuk dan skala besar Dalam bentuk dan skala menengah
Parkir Berjumlah banyak dengan tarif parkir Berjumlah terbatas, dengan tarif
murah bahkan terkadang gratis parkir menengah hingga mahal.
Desain tapak Parade parkir didepan bangunan Lokasi parkir berada dibalik bangunan
Paradigma perencanaan Penjalan kaki dan pengguna sepeda Kebutuhan dan kepentingan pejalan
dipandang sebagai kaum minoritas. kaki dan pengguna sepeda terwakili
dalam setiap keputusan
Apabila pada sebuah komunitas sebagian besar menggunakan kendaraan pribadi sebagai
sarana transportasi, maka akan memarjinalisasi pengguna moda transportasi lain seperti
sepeda dan transportasi massal. Dan pada akhirnya, birokrat dan pembuat keputusan melihat
moda transportasi lain sebagai minoritas dan akhirnya perencanaan dan peraturan semakin
menguntungkan bagi pengguna kendaraan bermotor.
Konsolidasi Kota dengan Smart Growth (Pengembangan Bijak)
Konsolidasi kota (Urban Consolidation) adalah strategi pengembangan kota yang kompak dan
berdensitas tinggi yang ditujukan pada bagian kota yang mengalami kemunduran. Sasaran
konsolidasi kota adalah area bekas lahan industri, pergudangan hingga pelabuhan. Biasanya
lokasi terpilih memiliki integrasi yang baik dengan sistem transportasi publik, kesempatan
akan lapangan pekerjaan baru hingga infrastruktur sosial baru.
Sedangkan Smart Growth merupakan perencanaan yang berwawasan lingkungan dan
mengintegrasikan antara perencanaan kota dan transportasi. Termasuk diantaranya adalah
kebijakan Transit Oriented Development, pembatasan pengembangan wilayah (Urban
Boundary Growth) dengan pengetatan aturan tata ruang hingga pengembangan lingkungan
kompak, beragam (mixed-use) dan hidup (livable).
Smart Growth membatasi bahkan menolak bentuk desain yang kerap ditemui pada daerah
suburban seperti ruko, rumah tunggal, dan persediaan lahan parkir yang berlebihan.
Sementara itu berdasarkan Peraturan Presiden tahun 54 tahun 2008 mengenai Penataan Ruang
Kawasan Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi Puncak dan Cianjur (Jabodetabekpunjur),
disitu ditetapkan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) baru (gambar 6) yang berupa sub pusat
perkotaan antara lain Serpong/Kota Mandiri Bumi Serpong Damai, Cinere, Cimanggis,
Cileungsi, Setu, dan Tambun/Cikarang.
Gambar 6. Peta Struktur dan Pola Ruang Penataan Ruang Kawasan
Jakarta Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur
Uniknya, ada lima sub pusat perkotaan yang terbentuk dari persinggungan antar jalan tol atau
jalan tol – arteri serta minim (tanpa) jalur transportasi publik, antara lain: Bumi Serpong
Damai (Serpong), Cinere, Cimanggis, Cileungsi (dekat rencana rel kereta), dan Setu. Dua
yang pertama, Serpong dan Cinere adalah sub pusat perkotaan berbasis hunian.
Semula dalam Jakarta 2010 merupakan wilayah yang harus dipertahakan kondisi resapan
airnya, dalam Perpress ini sebagian berubah menjadi kategori W1: Perumahan Hunian Padat,
seperti pada area Cinere, Ciputat dan Cileungsi.
Sama halnya dengan Jakarta 2010, Perpres ini pun tidak menyinggung transportasi massal
dari dan ke Bandara – namun menggarisbawahi pentingnya Jalan Tol Lingkar Luar 2 (JORR2
– gambar 7) yang akan menghubungkan bandara ke 8 PKN/sub pusat perkotaan hingga ke
Pelabuhan Tanjung Priok.
Gambar 7. Jalan Tol Jabodetabek
Sedangkan strategi untuk menuju transportasi berkelanjutan, dapat dibagi menjadi 3 hal
dibawah ini (tabel 8)
Tabel 8. Prinsip Transportation Demand Management menuju transportasi berkelanjutan
Prinsip Pasar Penggunaan Lahan Efisien Transportasi Efisien
Pasar Komprehensif Holistik Smart Growth Peningkatan sarana pejalan kaki dan
Kenaikan tarif parkir Konsolidasi Urban sepeda
Reformasi institusi New Urbanism Peningkatan sarana transit
Tinjau Ulang Subsidi BBM Transit Oriented Development Prioritas terhadap Transportasi Massal
Tinjau Ulang pajak kendaraan High Occupancy Vehicle
bermotor
PENUTUP
Mengingat pertumbuhan dan perkembangan megapolitan Jakarta yang cepat, maka perlu
adanya peninjauan ulang dan revisi terhadap kebijakan perencanaan, baik itu perencanaan
kota maupun transportasi. Perlu adanya paradigma baru dan pandangan kreatif yang
independen dan lepas dari berbagai macam kepentingan dan hanya perlu memperhatikan
kepentingan publik saja.
DAFTAR PUSTAKA
Albrechts L 2008, ‘Enhancing creativity in planning: dynamic visioning as catalyst for
change’ in Artepolis 2: creative communities and the making of place, Track F, ITB,
Bandung, pp.12-21
Bruegmann, R 2005, Sprawl: a compact history, University of Chicago Press, Chicago.
Damardono, H 2007, Enam ruas tol bisa atasi kemacetan?, Kompas, 31 Desember, hal.33
Jacobs, J 1961, The death and life of great american cities, Random House, New York.
Newman, PWG & Kenworthy, JR 1989, Cities and automobile dependence: An International
Sourcebook, Gower, Aldershot.
Newman, PWG & Kenworthy, JR 1999, Sustainability and cities: overcoming automobile
dependence, Island Press, Washington DC.
Newman, PWG & Kenworthy, JR 2000, ’The ten myths of automobile dependence’, World
Transport Policy & Practice, vol. 6, no. 1, pp. 15-25.
Newman, PWG & Kenworthy, JR 2006, ’Urban design to reduce automobile dependence’,
Opolis:An International Journal of Suburban and Metropolitan Studies , vol. 2, issue 1,
article 3, pp. 1-9, Available from: http://repositories.cdlib.org/cssd/opolis/vol2/iss1/art3.
Pemda DKI Jakarta 1999, Jakarta 2010: Peraturan DKI Jakarta no. 6 th. 1999 tentang Rencana
Tata Umum Wilayah (RTRW) DKI Jakarta.
Peraturan Presiden no. 54 th.2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur.
Riddell R 2004, Sustainable urban planning: tipping the balance, Blackwell Publishing Ltd.,
Oxford.
Schlosser, E 2002, Fast food nation: the dark side of the all-american meal. Houghton Mifflin
Company, Boston.