Somatoform Disorder
Somatoform Disorder
GANGGUAN SOMATOFORM
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA RUMAH SAKIT BHAYANGKARA I KRAMAT JATI JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
Maret 2011
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Gangguan Somatoform. Referat ini disusun untuk memenuhi syarat dalam kepaniteraan di bagian Ilmu Kedokteran Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih sebesarbesarnya kepada: 1) dr. Soehendro, Sp.KJ selaku pembimbing dalam penulisan referat ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2) dr. Henny Riana, Sp.KJ sebagai dosen pembimbing. 3) Rekan-rekan Co Assisten yang turut memberikan saran dan kritik dalam penyelesaian makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini ada banyak kekurangan, karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan dan memperluas wawasan penulis. Semoga referat ini dapat member tambahan pengetahuan bagi penulis khususnya, dan manfaat bagi pembaca umumnya.
Penulis
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. i DAFTAR ISI............................................................................................................................................... ii BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang.............................................................................................................................. 1 1.2. Tujuan .......................................................................................................................................... 1 1.2.1. Tujuan Umum: ...................................................................................................................... 1 1.2.2. Tujuan Khusus: ...................................................................................................................... 2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................................... 3 2.1. Definisi ......................................................................................................................................... 3 2.2. Epidemiologi ................................................................................................................................ 3 2.3. Etiologi ......................................................................................................................................... 4 2.4. Patofisiologi.................................................................................................................................. 5 2.5. Klasifikasi ..................................................................................................................................... 5 2.5.1. Gangguan Somatisasi ............................................................................................................ 8 2.5.2. Gangguan Konversi ............................................................................................................. 12 2.5.3. Hipokondriasis..................................................................................................................... 16 2.5.4. Gangguan Tubuh Dismorfik ................................................................................................ 18 2.5.5. Gangguan Nyeri................................................................................................................... 20 2.5.6. Gangguan Somatoform yang tidak terdiferensiasi ............................................................. 22 2.5.7. Gangguan Somatoform yang tidak terperinci..................................................................... 23 BAB 3 KESIMPULAN............................................................................................................................... 25 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 27
ii
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum:
Untuk memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti program studi kepaniteraan klinik kesehatan jiwa di RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta.
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
Untuk mengetahui dan memahami dengan baik penjelasan mengenai gangguan somatoform berikut dengan subtipenya.
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
2.1. Definisi
Gangguan somatoform (somatoform disorder) adalah suatu kelompok gangguan yang ditandai oleh keluhan tentang masalah atau simptom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab kerusakan fisik (Nevid, dkk, 2005). Gangguan somatoform berasal dari kata soma yang berarti tubuh dalam bahasa Yunani. Pada gangguan somatoform, penderita hadir dengan berbagai gejala yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan sebagai penyebab gangguan tersebut1. Gejala-gejala fisik pada gangguan somatoform ini cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala3. Gangguan somatoform berbeda dengan gangguan-gangguan lain yang disebabkan oleh kepura-puraan yang disadari ataupun gangguan buatan. Sebagai contoh, gangguan somatoform berbeda dengan malingering, atau kepura-puraan simtom yang bertujuan untuk mendapatkan hasil yang jelas. Gangguan ini juga berbeda dengan gangguan factitious yaitu suatu gangguan yang ditandai oleh pemalsuan simtom psikologis atau fisik yang disengaja tanpa keuntungan yang jelas. Selain itu gangguan ini juga berbeda dengan sindrom Muchausen yaitu suatu tipe gangguan factitious yang ditandai oleh kepura-puraan mengenai keluhan-keluhan medis1.
2.2. Epidemiologi
Epidemiologi dari gangguan somatoform bervariasi menurut jenis gangguannya. Prevalensi gangguan somatisasi sepanjang hidup adalah 0.2-2% pada perempuan dan 0.2% pada laki-laki. Perempuan lebih banyak menderita gangguan somatisasi dibandingkan lakilaki dengan rasio 5 berbanding 1. Onset dari gangguan somatisasi adalah sebelum usia 30
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
2.3. Etiologi
Etiologi dari gangguan somatoform melibatkan faktor-faktor psikososial berupa konflik psikis di bawah sadar yang mempunyai tujuan tertentu. Faktor genetik juga dapat ditemukan pada transmisi gangguan ini. Selain itu, gangguan somatoform juga dapat
dihubungkan dengan adanya penurunan metabolisme (hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer non-dominan dari otak manusia5. Secara umum, faktor-faktor penyebab gangguan somatoform dapat dikelompokkan sebagai berikut (Nevid, dkk, 2005): 1. Faktor-faktor Biologis Faktor ini berhubungan dengan kemungkinan adanya pengaruh genetik (biasanya pada gangguan somatisasi) 2. Faktor Lingkungan Sosial Sosialisasi terhadap wanita pada peran yang lebih bergantung, seperti peran sakit yang dapat diekspresikan dalam bentuk gangguan somatoform. 3. Faktor Perilaku Pada faktor perilaku ini, penyebab ganda yang terlibat adalah: Terbebas dari tanggung jawab yang biasa atau lari atau menghindar dari situasi yang tidak nyaman atau menyebabkan kecemasan (keuntungan sekunder). Adanya perhatian untuk menampilkan peran sakit
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
2.4. Patofisiologi
Sebenarnya, patofisiologi dari gangguan somatoform masih belum diketahui dengan jelas hingga saat ini. Namun, gangguan somatoform primer dapat diasosiasikan dengan peningkatan rasa awas terhadap sensasi-sensasi tubuh yang normal. Peningkatan ini dapat diikuti dengan bias kognitif dalam menginterpretasikan berbagai gejala fisik sebagai indikasi penyakit medis. Pada penderita gangguan somatoform biasanya ditemukan juga gejala-gejala otonom yang meningkat seperti takikardia dan hipermotilitas gaster. Peningkatan gejala otonom tersebut adalah sebagai efek-efek fisiologis dari komponen-komponen noradrenergik endogen. Sebagai tambahan, peningkatan gejala otonom dapat pula berujung pada rasa nyeri akibat hiperaktivitas otot dan ketegangan otot seperti pada pasien dengan muscle tension headache6.
2.5. Klasifikasi
Dalam membedakan keluhan-keluhan pasien, secara garis besar gangguan somatoform diklasifikasikan menjadi lima subtipe sebagai berikut:
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
Gangguan somatisasi atau yang juga dikenal sebagai Briquets Syndrome dicirikan dengan berbagai gejala somatik yang bermacam-macam (multipel), berulang dan sering berubah-ubah yang tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Gejala-gejala fisik tersebut umumnya telah berlangsung beberapa tahun sebelum pasien datang ke psikiater. Keluhan yang diutarakan pasien dapat meliputi berbagai sistem organ seperti gastrointestinal, seksual, saraf, dan bercampur dengan keluhan nyeri4. Gangguan ini bersifat kronis dan berkaitan dengan stressor psikologis yang bermakna, sehingga menimbulkan hendaya di bidang sosial dan okupasi serta adanya perilaku mencari pertolongan medis yang berlebihan.
2.5.1.1. Etiologi
Faktor Psikososial Secara psikososial, gejala-gejala pada gangguan somatisasi adalah bentuk komunikasi sosial yang bertujuan menghindarkan diri dari kewajiban, mengekspresikan emosi, atau menyimbolkan perasaan.
Faktor Biologis Data genetik mengindikasikan adanya transmisi genetik pada gangguan somatisasi dengan prevalensi 10-20% pada perempuan turunan pertama, sedangkan saudara laki-lakinya cenderung terlibat pada penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial. Prevalensi pada kembar monozigot adalah 29% dan pada kembar dizigot 10%7.
Pasien dengan gangguan somatisasi umumnya hadir dengan riwayat medik yang panjang dan rumit. Gejala-gejala somatik yang sering dikeluhkan antara lain4: Mual Muntah Sulit menelan Sakit pada lengan dan tungkai Nafas pendek (tidak disebabkan oleh olah raga) Amnesia Komplikasi kehamilan dan menstruasi
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
Berdasarkan DSM-IV-TR, diagnosis gangguan somatisasi terpenuhi apabila gejala diawali sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan, keluhan pasien harus
memenuhi minimal 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1 gejala pseudoneurologik, serta tidak satu pun yang dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan laboratorium. Berikut kriteria gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR4: A. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama periode beberapa tahun dan membutuhkan terapi, yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain. B. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual yang terjadi pada sembarang waktu selama perjalanan gangguan: 1. Empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan sekurangnya empat tempat atau fungsi yang berlainan (misalnya kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, atau selama miksi) 2. Dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala gastrointestinal selain nyeri (misalnya mual, kembung, muntah selain dari selama kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap beberapa jenis makanan) 3. Satu gejala seksual: riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau reproduktif selain dari nyeri (misalnya indiferensi seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi,
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
10
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
Pada umumnya, perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik dengan diagnosis ditegakkan sebelum usia 25 tahun. Namun, gejala-gejala awal dari gangguan ini terlah berlangsung sejak masa remaja seperti masalah menstruasi pada remaja perempuan. Keluhan-keluhan seksual yang terdapat pada gangguan ini biasanya disebabkan oleh masalah yang terjadi di dalam hubungan rumah tangga pasangan suami istri. Periode keluhan yang ringan berlangsung 9 hingga 12 bulan lamanya, sedangkan gejala yang berat dan pengembangan dari keluhan-keluhan baru berlangsung selama 6 sampai 9 bulan. Kebanyakan pasien akan mulai mencari pertolongan medis sebelum gejala Eksaserbasi dari gejala-gejala somatik pada gangguan
Penanganan gangguan somatisasi sebaiknya dilakukan oleh seorang dokter saja. Hal ini dipertimbangkan sebagai cara yang terbaik untuk menangani pasien dengan gangguan somatisasi karena dengan demikian, pasien akan mendapatkan lebih sedikit kesempatan untuk mengungkapkan keluhan somatiknya. Pertemuan sebaiknya dilaksanakan dengan
reguler yaitu sekali sebulan dan dilakukan secara singkat. Pada saat pertemuan, walaupun akan selalu ada kemungkinan bagi dokter untuk melakukan pemeriksaan fisik terhadap keluhan somatik baru pasien, dokter disarankan untuk mendengarkan keluhan somatik sebagai ekspresi emosional dan bukan sebagai keluhan medis. Oleh karena itu, dokter
pemeriksa harus memiliki kemampuan untuk menilai antara keluhan yang harus ditanggapi secara medis dengan keluhan yang tidak. Pemeriksaan penunjang dan laboratorium sebaiknya dihindari pada pasien dengan gangguan somatisasi. Psikoterapi individual dan psikoterapi kelompok adalah jenis terapi yang disarankan agar pasien dapat mengatasi gejala-gejala yang dialaminya,
mengekspresikan emosi yang mendasari, dan mengembangkan strategi alternative untuk mengungkapkan perasaannya. Terapi psikofarmaka dapat diberikan apabila terdapat gangguan lain (komorbid) seperti gangguan cemas dan depresi. Namun, pemberian psikofarmaka harus disertai dengan pengawasan ketat terhadap pemberian obat sebab pasien dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan obat-obatan secara irrasional dan berganti-ganti7.
11
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
Gangguan konversi mencakup gejala-gejala yang menandakan adanya gangguan ataupun defisit pada fungsi sensorik dan fungsi motorik voluntary yang dinilai telah diakibatkan oleh faktor-faktor psikologis karena telah didahului dengan konflik ataupun stressor-stresor kehidupan lainnya. Kumpulan gejala ini dikenal dengan sebutan hysteria, reaksi konversi atau reaksi disosiatif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rasio perempuan dibandingkan dengan lakilaki dapat bervariasi dari 2:1 hingga 10:1 pada gangguan konversi. Gangguan ini banyak terjadi pada populasi pedesaan, individu dengan pendidikan rendah, kelompok sosioekonomi rendah, dan anggota militer yang pernah terpapar dengan situasi peperangan. Gangguan ini juga sering disertai dengan gangguan depresi, cemas, skizofrenia, dan frekuensi gangguannya meningkat pada seseorang dengan anggota keluarga yang memiliki gangguan konversi juga4.
2.5.2.1. Etiologi
Faktor Psikoanalitik Menurut teori ini, gangguan konversi disebabkan oleh represi konflik-konflik intrapsikik yang tidak disadari dan konversi dari kecemasan ke dalam gejala fisik. Gejala-gejala pada gangguan konversi memiliki hubungan simbolik dengan konflik yang tidak disadari oleh pasien. Berbagai gejala ini juga memberikan peluang bagi pasien untuk menunjukkan bahwa mereka membutuhkan perhatian dan penanganan yang khusus. Dengan begitu, gejala-gejala tersebut telah berfungsi sebagai pemberitahuan secara nonverbal bahwa pasien memiliki control dan manipulasi terhadap orang lain.
Teori Pembelajaran Di dalam teori ini, gejala-gejala pada gangguan konversi diyakini berasal dari perilaku yang dipelajari sejak kecil. Sebagai contoh, gejala fisik dari penyakit yang dialami pasien sewaktu kecil dapat digunakan sebagai coping mechanism dalam situasi-situasi sulit yang dihadapinya ketika sudah dewasa.
Faktor Biologis Pemeriksaan pencitraan otak menunjukkan adanya hipometabolisme pada daerah hemisfer otak yang dominan dan hipermetabolisme pada daerah hemisfer yang non-
12
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
Pada gangguan konversi, gejala yang paling sering terlihat adalah paralisis, buta, dan mutisme. Gejala-gejala ini juga tidak jarang disertai dengan gejala depresi dan cemas, dengan resiko tinggi pasien mengalami bunuh diri. Gangguan konversi umumnya berkaitan dengan gangguan kepribadian pasif-agressif, dependen, antisocial, dan histrionik. a. Gejala Sensorik Contoh dari gejala ini adalah anastesi dan parestesi terutama bagian ekstrimitas. Gejala-gejala ini tidak sesuai dengan penyakit saraf pusat maupun tepi. Gejala yang melibatkan organ sensorik khusus dapat menimbulkan ketulian, kebutaan, dan tunnel vision walaupun evaluasi neurologis menunjukkan jaras sensorik yang intact ataupun pupil yang bereaksi terhadap cahaya. b. Gejala Motorik Gejala ini terdiri dari gerakan abnormal, gangguan gaya berjalan (cth: astasia abasia), kelemahan dan paralisis. Dapat juga ditemukan tremor ritmik kasar, gerak koreoform, tik, dan menghentak-hentak yang memburuk bila pasien mendapat perhatian. c. Gejala Bangkitan Pseudo-seizures merupakan gejala yang dapat terlihat pada gangguan konversi. Namun, hanya sekitar 1/3 pasien dengan gejala tersebut yang disertai dengan gangguan epilepsy. d. Gambaran klinis lainnya: Keuntungan primer : pasien memperoleh keuntungan primer dengan mempertahankan konflik internal di luar kesadarannya.
13
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
Pedoman diagnosis gangguan konversi menurut DSM IV-TR adalah sebagai berikut: A. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik volunter atau sensorik yang mengarahkan pada kondisi neurologis atau kondisi medis lain. B. Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau defisit karena awal atau eksaserbasi gejala atau defisit adalah didahului oleh konflik atau stresor lain. C. Gejala atau defisit tidak ditimbulkkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura). D. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penelitian yang diperlukan, dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis umum, atau oleh efek langsung suatu zat, atau sebagai perilaku atau pengalaman yang diterima secara kultural. E. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain atau memerlukan pemeriksaan medis. F. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan tidak dapat diterangkan dengan lebih baik oleh gangguan mental lain. Sebutkan tipe gejala atau defisit:
14
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
Sementara menurut PPDGJ III, pedoman diagnostik pasti dari gangguan konversi adalah sebagai berikut: A. Ciri-ciri klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan yang tercantum pada F44. B. Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut. C. Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan waktu yang jelas dengan masalah dan peristiwa yang stressful atau hubungan interpersonal yang terganggu (meskipun hal tersebut disangkal oleh pasien)2.
2.5.2.4. Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Lebih dari 90% gejala awal pada pasien dengan gangguan konversi membaik dalam waktu beberapa hari hingga hampir satu bulan. Sebanyak 75% pasien tidak pernah
mengalami gangguan ini lagi, namun 25% mengalami episode tambahan pada saat mengalami tekanan. Semakin lama gejala gangguan konversi ini berjalan, maka semakin buruk juga prognosisnya. Sebanyak 25-50% pasien akan mempunyai gangguan neurologis ataupun kondisi non-psikiatrik lain yang akan mempengaruhi sistem persarafan di kemudian harinya. Oleh karena itu, pasien dengan gangguan tersebut harus segera dievaluasi secara neurologis pada saat diagnosis ditegakkan.
2.5.2.5. Terapi
Resolusi gejala gangguan konversi biasanya berlangsung spontan. Pasien dengan gangguan ini dapat diberikan psikoterapi suportif berorientasi tilikan atau terapi perilaku. Terapi hypnosis, anticemas, dan relaksasi sangat efektif dalam beberapa kasus. Pemberian amobarbital atau lorazepam parenteral dapat membantu memperoleh riwayat penyakit, terutama ketika pasien baru saja mengalami peristiwa yang traumatis. Pendekatan psikoanalisis dan psikoterapi berorientasi tilikan dapat menuntun pasien menahami konflik intrapsikik dan symbol dari gejala-gejala yang dimilikinya. Semakin lama
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
15
2.5.3. Hipokondriasis
Hipokondriasis didefinisikan sebagai seseorang yang ter preokupasi dengan ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang serius. Pasien memiliki interpretasi yang tidak realistis ataupun akurat terhadap gejala atau sensasi fisik, meskipun tidak ditemukan penyebab medis. Ketakutan dan keyakinannya menimbulkan penderitaan bagi dirinya sendiri dan menganggu kemampuannya untuk berfungsi secara baik di bidan sosial, interpersonal dan pekerjaan. Prevalensi pasien dengan hipokondriasis adalah 4-6% dari populasi pasien medik umum. Gejala-gejala dapat timbul di usia berapapun, namun paling sering di antara usia 20-30 tahun.
2.5.3.1. Etiologi
Pasien hipokondriasis memiliki skema kognitif yang salah yang menyebabkan mereka salah menginterpretasikan sensasi fisik. Pasien menambah dan memperbesar sensasi somatik yang dialaminya karena rasa tidak nyaman secara fisik dan memiliki ambang toleransi yang rendah. Selain itu, gejala-gejala hipokondriasis dapat dipandang sebagai permintaan untuk mendapatkan peran sakit pada seseorang yang mengahadapi masalah berat yang tak dapat diselesaikannya. Teori lain juga memandang gangguan ini sebagai bentuk varian dari
gangguan mental lainnya seperti depresi dan cemas. Sedangkan menurut teori psikodinamik, dorongan agresivitas dan permusuhan yang ditujukan kepada orang lain dipindahkan ke dalam gangguan-gangguan somatik, seperti kemarahan, ketidakpuasan, atau penolakan dan kehilangan di masa lalu. Hipokondriasis juga dipandang sebagai pertahanan terhadap rasa bersalah, tanda dari kepedulian berlebihan terhadap diri sendiri, ataupun sebagai hukuman di masa lalu dari perasaaan bahwa dirinya jahat serta berdosa4.
2.5.3.2. Gambaran Klinis
Pasien dengan hipokondriasis yakin bahwa mereka menderita penyakit serius yang belum dapat terdeteksi dan sangat sulit diyakinkan sebaliknya. Dengan berjalannya waktu, keyakinannya pun akan beralih ke penyakit lain.
16
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
Berdasarkan DSM IV-TR kriteria hipokondriasis adalah sbb: A. Preokupasi dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa ia menderita, suatu penyakit serius didasarkan pada interpretasi keliru orang tersebut terhadap gejala-gejala tubuh. B. Preokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang tepat dan penentraman. C. Keyakinan dalam criteria A tidak memiliki intensitas waham (seperti gangguan delusional, tipe somatic) dan tidak terbatas pada kekawatiran tentang penampilan (seperti pada gangguan dismorfik tubuh). D. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi social, pekerjaan atau fungsi penting lain. E. Lama gangguan sekurangnya 6 bulan. F. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan kecemasan umum, gangguan obsesif kompulsif, gangguan panic, gangguan depresi berat, cemas perpisahan, atau gangguan somatoform lain4. Sedangkan berdasarkan PPDGJ III, untuk menentukan diagnosis pasti kedua hal dibawah ini harus ada : A. Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius yang melandasi keluhan-keluhan nya, meskipun pemeriksaan yang berulang-ulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi yang menetap kemungkinan deformitas atau perubahan penampakan fisik nya (tidak sampai waham);
17
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
Penyakit hipokondriasis memiliki perjalanan penyakit yang episodik, dimana setiap episode dapat berlangsung berbulan-bulan hingga tahunan dan dipisahkan oleh periode tenang yang sama lamanya. Kurang lebih sepertiga hingga setengah dari pasien
Pasien hipokondriasis biasanya menolak terapi psikiatrik. Psikoterapi kelompok bermanfaat bagi pasien hipokondriasis karena menyediakan dukungan sosial dan interaksi sosial sehingga menurunkan kecemasan. Psikoterapi individual berorientasi tilikan, terapi perilaku, terapi kognitif, dan hypnosis juga dapat bermanfaat. Pemeriksaan fisik yang
terjadwal juga akan membuat pasien merasa tenang dan tahu bahwa dokternya tak meninggalkannya dan menangani keluhannyaa dengan serius. apabila pasien juga memiliki gangguan cemas atau depresi7. Farmakoterapi diberikan
Pasien dengan gangguan ini memiliki perasaan subyektif yang meliputi dirinya bahwa beberapa aspek dari penampilannya buruk padahal pada kenyataannya normal atau nyaris baik. Inti dari gangguan ini adalah pasien berkeyakinan kuat atau takt apabila dirinya tidak menarik atau bahkan menjijikan. Pasien dengan gangguan tubuh dismorfik umumnya tidak mengunjungi psikiater melainkan dermatologis atau dokter bedah plastik. Pasien biasanya berumur 15-30 tahun dan tidak menikah.
2.5.4.1. Etiologi
Etiologi dari gangguan ini tidak dikterhui, tapi diyakini berasosiasi dengan gangguan depresi. Selain itu, konsep stereotipik tentang kecantikan atau keindahan yang dianut dalam keluarga atau budaya tertentu akan berpengaruh besar pada pasien dengan gangguan tubuh dismorfik.
18
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
Biasanya, bagian tubuh yang menjadi keprihatinan adalah kekurangan pada wajah khususnya pada bagian-bagian tertentu seperti hidung atau mata. Selain itu, rambut, buah dada, dan genitalia juga merupakan bagian tubuh lain yang sering diprihatinkan. Pada pria biasanya yang menjadi pusat pikirannya adalah otot-ototnya. Pasien dengan gangguan ini sering merasa orang lain memperhatikan bagian cacat/kekurangan di tubuhnya, sering bercermin, atau bahkan menghindari benda yang dapat memantulkan seperti cermin dan adanya usaha untuk menyembunikan bagian tubuh yang dianggap mempunayi deformitas dengan pakaian atau riasan. Gangguan ini berpengaruh apada kehidupan pasien, seperti penghindaran kontak sosial dan pekerjaan. Pasien juga memiliki cirri kepribadian obsesifkompulsif, schizoid, dan narsisistik.
2.5.4.3. Pedoman Diagnostik
Berdasarkan DSM IV-TR, adalah sebagai berikut: A. Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit anomaly tubuh, kekhawatiran orang tersebut adalah berlebihan dengan nyata. B. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya. C. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya, ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa)7 Sementara, berdasarkan PPDGJ III, untuk diagnostik pasti harus dipenuhi kedua hal berikut ini: A. Keyakinan yang menetap perihal adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius yang melandasi keluhan atau keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang berulang tidak menujnang adanya alas an fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi yang menetap terhadap adanya deformitas atau perubahan
bentuk/penampakan. B. Penolakan yang menetap dan tidak mau menerima nasihat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhannya2.
19
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
Kepedulian penderita
gangguan tubuh dismorfik terhadap bagian tubuh tertentu akan semakin menjadi-jadi sehingga berujung pada permintaan untuk operasi atau bantuan medis lainnya. Gangguan ini bersifat kronik.
2.5.4.5. Terapi
Pada pasien dengan gangguan tubuh dismorfik, terapi dengan prosedur medic pembedahan, dermatologis, kedokteran gigi, dan yang lainnya biasanya tidak berhasil mengatasi keluhannya. Obat-obat SSRI seperti fluoxetine dan klomipramin dapat
mengurangi gejala yang dikeluhkan minimal 50%. Bila terdapat gangguan mental lain yang menyertai maka pemberian psikoterapi dan farmakoterapi yang adekuat sebaiknya diberikan7.
Pada gangguan ini, nyeri merupakan keluhan utama yang menjadi focus perhatian klinis. Nyeri dapat terjadi pada lebih dari satu tempat dan tidak dapat dimasukkan secara penuh sebagai kondisi medic nonpsikiatrik maupun neurologic. Gangguan ini berkaitan dengan penderitaan emosional dan hambatan dalam fungsi kehidupan. dibandingkan dengan laki-laki4.
2.5.5.1. Etiologi
Gangguan nyeri
merupakan keluhan tersering dalam praktek kedokteran, lebih banyak pada perempuan
1. Faktor psikodinamik Pasien mungkin mengekspresikan konflik intrapsikik secara simbolik lewat tubuh. Pasien lain secara tak sadar menganggap luka emosional sebagai suatu kelemahan dan tak diperbolehkan secara sosial sehingga memindahkan masalah pada tubuhnya. Nyeri dapat berfungsi sebagai cara untuk memperoleh cinta, hukuman terhadap kesalahan, dan menebus rasa bersalah atau perasaan bahwa dirinya jahat. 2. Faktor perilaku Perilaku nyeri diperkuat apabila dihargai dan dihambat apabila diabaikan atau diberi hukuman. 3. Faktor Interpersonal
20
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
Pasien biasanya sekumpulan orang yang bersifat heterogen dengan nyeri pinggang bawah, sakit kepala, nyeri fasial atipikal, nyeri pelvic kronik, dan nyeri lainnya yang dapat terjadi setelah trauma,, neuropatik, neurologik, iatrogenic atau muskulaoskeletal. Pasien biasanya meimiliki riwayat prawatan medis dan pembedahan yang panjang. Gejala depresi berat terjadi pada 25-50% dari pasien gangguan nyeri.
2.5.5.3. Pedoman Diagnostik
Berdasarkan DSM-IV-TR: A. Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis merupakan pusat gambaran klinis dan cukup parah untuk memerlukan perhatian klinis. B. Nyeri menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lain. C. Factor psikologis dianggap memiliki peranan penting dalam onset, kemarahan, eksaserbasi atau bertahannya nyeri. D. Gejala atau deficit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura). E. Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood, kecemasan, atau gangguan psikotik dan tidak memenuhi criteria dipareunia. Berdasarkan PPDGJ III, kriteria diagnosisnya adalah sebagai berikut: A. Keluhan utama adalah nyeri berat menyiksa dan menetap, yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun gangguan fisik.
21
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
Nyeri umumnya muncul secara tiba-tiba dengan derajat keparahan meningkat dalam hitungan minggu atau bulan. Prognosis bervariasi, akan tetapi biasanya akan menjadi gangguan kronik dan menimbulkan penderitaaan dan ketidak-berdayaan yang parah.
2.5.5.5. Terapi
Rehabilitasi harus disertakan ke dalam terapi pasien dengan gangguan ini. Farmakoterapi yang digunakan antara lain SSRI, antidepresan trisiklik, dan amfetamin. Sedangkan psikoterapi yang dipilih adalah terapi kognitif untuk mengubah pikiran negative dan mengembangkan sikap positif.
2.5.6. Gangguan Somatoform yang tidak terdiferensiasi
Gangguan somatoform yang tidak terdiferensiasi diciri-cirikan dengan satu atau lebih gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan yang berlangsung selama paling sedikit 6 bulan. Terdapat dua pola gejala yang dapat terlihat pada pasien golongan ini yaitu gangguan yang terkait dengan sistem saraf otonom dan gangguan yang terkait dengan sensasi rasa fatigue ataupun kelemahan. Pada Autonomic arousal disorder, pasien terpengaruh dengan gejalagejala gangguan somatoform yang terbatas pada gangguan fungsi saraf otonom saja. Gejalagejala yang sering dikeluhkan oleh pasien-pasien tersebut antara lain keluhan sistem kardiovaskular, respiratori, gastrointestinal, urogenital, dan dermatologikal. Beberapa pasien lainnya mengeluh akan kelemahan dan ketidak berdayaan melakukan pekerjaan sehari-hari oleh karenanya7. Keriteria Diagnosis untuk Gangguan Somatoform yang Tidak Digolongkan : Satu atau lebih keluhan fisik (misalnya kelelahan, hilangnya nafsu makan, keluhan gastrointestinal atau saluran kemih) A. Salah satu (1)atau (2)
22
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
Diagnosis ini digunakan apabila keluhan fisik bersifat multiple, bervariasi dan menetap, tetapi tidak disertai dengan gambaran klinis yang khas dan lengkap dari gangguan somatisasi. Sebagai contoh, pasien mengemukakan keluhan-keluhan tidak dramatis dan tidak kuat, keluhan yang diutarakan tidak terlalu banyak, atau tidak ada gangguan pada fungsi sosial dan keluarga. Pada diagnosa ini, belum dapat diketahui pasti ada tidaknya faktor psikologis yang mendasari, namun tidak boleh ditemukan adanya faktor fisik yang mendasari keluhan-keluhan pasien2. Pedoman diagnosis untuk gangguan somatoform yang tidak terperinci adalah sebagai berikut: A. Pseudokiesis : keyakinan palsu sedang hamil, yang disertai dengan tanda objektif kehamilan, yang dapat berupa pembesaran perut (walaupun umbilicus tidak menjadi menonjol), penurunan aliran menstruasi, amenorea, sensasi subjektif gerakan janin, dan nyeri persalinan pada tanggal yang diperkirakan terjadinya persalinan. Perubahan endokrin mungkin ditemukan tetapi sindroma tidak dapat dijelaskan oleh
23
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
24
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan dengan karakteristik gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) yang tidak dapat ditemukan penjelasannya secara medis. Gejala dan keluhan somatik diyakini cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform adalah gangguan psikik yang tidak disebabkan oleh kepura-puraan yang disadari atau gangguan buatan. Gangguan ini diklasifikan sebagai berikut: 1) Gangguan somatisasi; ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak sistem organ. 2) Gangguan konversi; ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis. 3) Hipokondriasis; ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada kepercayaan pasien bahwa ia menderita penyakit tertentu. 4) Gangguan dismorfik tubuh; ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang berlebih-lebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami cacat. 5) Gangguan nyeri; ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata berhubungan dengan faktor psikologis atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis. Selain itu, DSM IV juga memiliki dua kategori residual untuk diagnostik gangguan somatoform, yaitu: 6) Undiferrentiated somatoform; gangguan somatoform yang tidak tidak termasuk pada salah satu penggolongan diatas, yang ada selama enam bulan atau lebih.
25
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
gangguan nyeri juga meliputi penggunaan antidepresan trisiklik dan golongan SSRI.
26
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
http://www.psikologimania.co.cc/2010/04/gangguan-somatoform-dan-disosiatif.html pada tanggal : 25 Maret 2011 2. Departemen Kesehatan RI. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Cetakan pertama. Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Jakarta 3. Pardamean Engelberta, Simposium Sehari Kesehatan Jiwa Dalam Rangka Menyambut Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Diunduh dari :
pertama. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 5. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I, Media Aeusculapicus : FAkultas kedokteran UI. Jakarta. Hal : 216 217 6. Yates William R,etc. Somatoform Disorder. Jul 15th 2010. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/294908 . Pada tanggal : 25 Maret 2011 7. Kaplan, B.J., Sadock, V.A. 2007, Kaplan & Sadocks Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 10th Edition.
27
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta
28
Andi Diyanti Y.S. (FK UPH) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS Bhayangkara I Kramat Jati Jakarta