Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN INDIVIDU BLOK IX NEOPLASMA SKENARIO 1 PERTUMBUHAN SEL DAN NEOPLASMA

Disusun leh : Wuryan Dewi Miftahtyas Arum G0011212 Kelompok 15

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta 2012/2013

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sel adalah unit fungsional terkecil dari makhluk hidup yang terdiri atas membran plasma, sitoplasma yang mengandung organel sel dan inti sel yang megandung informasi genetik. Sel dapat berfungsi dengan baik apabila terdapat keseimbangan atau homeostasis. Namun, apabila ada agen, baik endogen maupun eksogen yang mengganggu keseimbangan tersebut, akan berakibat pada perubahan fungsi sel yang selanjutnya menimbulkan jejas. Sel dan jaringan memiliki mekanisme sendiri utuk beradaptasi terhadap jejas, tergantung penyebab jejas dan jenis selnya. Apabila jejas hanya berlangsung dalam batas waktu tertentu, maka bersifat reversibel dan sel akan kembali ke keadaan normal. Namun, jika pengaruhnya cukup hebat atau berlangsung terlalu lama, di mana sel tidak dapat mengompensasi, akan berdampak pada jejas ireversibel yang dapat menyebabkan kematian sel. Pada skenario ini mahasiswa diharapkan mampu memahami topik mengenai pertumbuhan sel dan neoplasma sebagai bekal dalam diskusi-diskusi selanjutnya. Berikut skenario yang diberikan: Pertumbuhan sel normal dapat diperngaruhi oleh berbagai stimulus dan injuri, baik internal maupun eksternal, non lethal maupun lethal, yang direspons secara beragam oleh individu. Respon individu dapat berupa adaptasi sel, perubahan sel yang reversible ataupun irreversible, sampai dengan terjadinya kematian sel, bergantung kepada seberapa berat stimulusnya dan juga kondisi individu itu sendiri. Beberapa faktor risiko dan kondisi genetik individu tertentu dapat menimbulkan respons patologis terhadap stimulus dan injuri, berupa lesi perubahan non neoplastik maupun neoplasma.

B. Rumusan Masalah 1. Apa saja bagian-bagian sel dan bagaimana pertumbuhan sel normal?

2. Bagaimana perubahan sel akibat adanya stimulus dan injuri yang non lethal maupun lethal dan patofisiologinya? 3. Bagaimana proses adaptasi sel dan bagaimana patofisiologinya? 4. Bagaimana patofisologi dari macam-macam kematian? 5. Bagaimana patofisiologi berbagai non neoplastik? 6. Bagaimana mekanisme terjadinya neoplasma, bagaimana nomenklaturnya serta apa saja faktor risikonya? 7. Bagaimana tanda dan gejala neoplasma serta cara mengevaluasinya?

C. Tujuan 1. Mampu menjelaskan bagian-bagian sel dan bagaimana pertumbuhan sel normal, 2. Mampu menjelaskan perubahan sel akibat adanya stimulus dan injuri yang non lethal maupun lethal dan patofisiologinya. 3. Mampu menjelaskan macam dari proses adaptasi sel dan patofisiologinya. 4. Mampu menjelaskan macam-macam kematian sel dan patofisiologinya. 5. Mampu menjelaskan macam-macam pertumbuhan nonneoplastik dan patofisiologinya. 6. Mampu menjelaskan mekanisme terjadinya neoplasma dan nomenklaturnya serta faktor risikonya. 7. Mampu menjelaskan tanda dan gejala neoplasma, baik gejala lokal, sistemik maupun metatasisnya, dan cara mengevaluasinya.

D. Manfaat 1. Mengetahui bagaimana struktur sel normal dan pertumbuhannya, serta perubahan sel akibat adanya stimulus dan injuri 2. Mengetahui proses adaptasi sel, kematian sel, dan patofisiologinya 3. Menetahui macam pertumbuhan nonneoplastik dan patofisiologinya 4. Mengetahui mekanisme terjadinya neoplasma, tata nama, tanda dan gejala, metastase, faktor risikonya, serta cara mengevaluasinya.

BAB II PEMBAHASAN

A. Sel 1. Struktur sel normal a. Membran sel (membran plasma) Membran sel memiliki struktur yang elastis, fleksibel, tipis dengan ketebalan hanya 7.5 sampai 10 nm. Membran sel hampir seluruhnya tersusun dari protein dan lipid. Perkiraan komposisinya adalah: protein 55%, fosfolipid 25%, kolesterol 13%, lipid lain 4%, dan karbohidrat 3%. Struktur dasar membran sel adalah sebuah lapisan lipid ganda, terdiri dari dua buah lapisan fosfolipid. Gugus fosfat dari fosfolipid tersebut bersifat larut dalam air (hidrofilik), dan gugus asam lemaknya bersifat larut dalam lemak (hidrofobik). (Guyton, 2007) Terdapat dua jenis protein membran yaitu protein integral yang menembus membran sepenuhnya dan protein perifer yang hanya melekat pada permukaan membran dan tidak menembus membran seutuhnya. Karbohidrat membran hampir selalu terdapat dalam bentuk kombinasi dengan lipid (glikolipid) atau protein (glikoprotein). (Guyton, 2007) b. Sitoplasma dan organelanya Bagian cair yang bening dari sitoplasma dimana organel-organel sel tersebar disebut sitosol. Dalam sitoplasma terdapat lemak netral berbentuk globulus, granula glikogen, ribosom, vesikel sekretoris, dan lima macam organel penting: retikulum endoplasma, asparatus Golgi, lisosom, mitokondria, dan peroksisom. (Guyton, 2007) Retikulum Endoplasma (RE), adalah suatu jaringan berbentuk tubulus dan struktur vesikel yang gepeng, yang saling berhubungan satu sama lain. Dinding retikulum juga terbentuk dari membran berlapis lipid ganda yang terdiri dari sejumlah besar protein mirip membran sel. Ruang yang terdapat di dalam tubulus dan vesikel terisi dengan matriks endoplasma,

suatu media cair yang berbeda dengan cairan dalam sitosol. (Guyton, 2007) Terdapat dua jenis RE, yaitu yang bergranula dan agranula. Pada RE bergranula, permukaan luarnya dilekati partikel granula kecil yang disebut ribosom. Ribosom terdiri atas campuran RNA dan protein, yang berfungsi untuk menyintesis molekul protein di dalam sel. RE agranula, adalah RE yang tidak dilekati ribosom, berfungsi dalam sintesis zat lipid dan berperan dalam proses sel lain yang diperantarai enzim yang berada di dalam retikulum. (Guyton, 2007) Aparatus Golgi, memiliki membran yang mirip dengan membran RE agranula. Aparatus Golgi biasanya terdiri dari empat atau lebih lapisan vesikel yang tertutup, gepeng, dan tipis yang tersusun menumpuk serta terletak dengan salah satu sisi nukleus. Aparatus ini penting pada sel sekretoris karena terletak di sisi sel tempat zat sekretoril akan dikeluarkan. (Guyton, 2007) Lisosom, adalah organel berbentuk vesikel yang terbentuk dari bebrapa aparatus Golgi yang lepas dan kemudian menyebar ke seluruh sitoplasma. Lisosom membentuk sistem pencernaan intrasel yang memungkinkan sel untuk mencerna struktur sel yang rusak, partikel makanan yang telah dicerna sel, dan zat yang tidak diinginkan. Lisosom dikelilingi oleh membran lipid ganda yang khusus dan terisi dengan sejumlah besar granula berukuran kecil, yang merupakan agregat protein yang terdiri dari 40 jenis enzim hidrolase (pencernaan). Enzim hidrolitik mampu memecah senyawa organik menjadi dua bagian atau labih dengan cara menggabungkan ion hidrogen yang berasal dari molekul air dengan satu bagian senyawa tersebut dan menggabungkan gugus hidroksi dari molekul air dengan bagian lain senyawa tadi. (Guyton, 2007) Peroksisom, mirip dengan lisosom. Bedanya, peroksisom diyakini terbentuk dengan cara replikasi, bukan dari aparatus Golgi. Selain itu, peroksisom mengandung oksidase bukan hidrolase. Beberapa oksidase

mampu menggabungkan oksigen dengan ion hidrogen yang berasal dari beberapa zat kimia intrasel untuk membentuk hidrogen peroksida, yang sangat mudah mengoksidasi zat lain, dan dapat bekerjasama dengan katalase untuk mengoksidasi banyak zat yang bila tidak dioksidasi akan menjadi racun bagi sel. (Guyton, 2007) Vesikel Sekretoris. Salah satu fungsi penting dari banyak sel adalah sekresi zat-zat kimia khusus. Hampir semua zat sekretoris dibentuk oleh sistem retikulum endoplasma-aparatus Golgi dan kemudian dilepaskan aparatus Golgi ke dalam sitoplasma dalam bentuk vesikel penyimpanan, yang disebut vesikel sekretoris atau granula sekretoris. (Guyton, 2007) Mitokondria, disebut juga gudang energi. Mitokondria terdapat di semua bagian dari setiap sitoplasma sel, tetapi jumlah total per sel sangat bervariasi tergantung jumlah energi yang dibutuhkan. Struktur dasar mitokondria terutama terdiri atas dua lapis membran lipid ganda-protein: sebuah membran luar dan membran dalam. Banyak lipatan membran dalam yang membentuk rak-rak, yang merupakan tempat perlekatan enzim oksidatif. Mitokondria digunakan untuk pembentukan ATP. (Guyton, 2007) Struktur Filamen dan Tubulus Sel. Protein berfibril dari sel biasanya tersusun sebagai filamen atau tubulus. Protein tersebut merupakan molekul protein prekusor yang disintesis oleh ribosom dalam sitoplasma. Molekul prekusor tersebut selanjutnya berpolimerisasi membentu filamen. Suatu jenis khusus dari filamen kaku yang tersusun molekul tubulin yang berpolimen berguna di semua sel untuk membentuk struktur tubulus yang sangat kuat yaitu mikrotubulus. (Guyton, 2007) c. Nukleus Nukleus merupakan pusat pengaturan sel. Secara singkat, nukleus mengandung sejumlah besar DNA, yang merupakan gen. Gen tersebut menentukan karakteristik protein sel, termasuk protein struktural, dan enzin intrasel yang mengontrol aktivitas sitoplasma dan nukleus. Gen juga

mengatur dan memulai proses reproduksi sel itu sendiri. Gen tersebut pertama-tama akan bereproduksi untuk membentuk dua unit gen yang identik, kemudian sel akan membelah diri melalui proses khusus yang disebut mitosis untuk membentuk dua sel anak yang masing-masing menerima satu dari dua unit gen DNA yang terbentuk tadi. (Guyton, 2007) 2. Pertumbuhan sel normal Pada keadaan fisiologik, proliferasi sel terdiri dari: (1) terikatnya suatu faktor pertumbuhan ke reseptor spesifiknya di membrane sel. Sel normal memerlukan faktor pertumbuhan agar dapat berproliferasi; (2) Aktivasi reseptor faktor pertumbuhan secara transien dan terbatas, yang kemudian mengaktifkan beberapa protein transduksi-sinyal di lembar dalam membran plasma; (3) Transmisi sinyal ditransduksi melintasi sitosol menuju inti sel melalui perantara kedua; (4) Induksi dan aktivasi faktor regulotarik inti sel yang memicu transkripsi DNA; (5) Sel masuk ke dalam dan mengikuti siklus sel lalu akhirnya membelah. Proses perjalanan siklus sel dikendalikan oleh CDK. Apabila suatu sel menemukan sinyal yang mendorong pertumbuhan, kadar famili siklin D meningkat, dan CDK4 serta CDK6 aktif. Tahap ini dijaga pRB (protein Retinoblastoma). Fosforilasi pRB oleh CDK

mengalahkan hambatan G1 ke fase S, sehingga sel masuk ke fase sintesis DNA. Saat dari fase S menuju G2, terjadi peningkatan siklin A yang berikatan dengan CDK 1 dan CDK 2. Awal fase G2, dikendalikan oleh siklin B dan dengan membentuk komplkes dengan CDK1, akan mendorong masuk ke fase M. Dalam siklus ini, terdapat inhibitor siklin yang akan menekan CDK dan menghasilkan control negatif.

B. Cell injury (jejas sel) Sel dapat berfungsi dengan baik bila terdapat keseimbangan atau homeostasis. Apabila keseimbangan tersebut terganggu, maka akan berakibat pada perubahan fungsi sel, yang selanjutnya menjadi jejas sel.

Sel dan jaringan mempunyai mekanisme tersendiri untuk beradaptasi terhadap jejas, yang berbeda tergantung penyebab jejas dan jenis sel. Apabila sel gagal beradaptasi, terjadilah jejas sel reversibel. Kematian sel terjadi apabila kerusakan sel tersebut bersifat ireversibel sehingga akan teraktivasi program kematian sel. Berdasarkan penyebabnya, jejas sel dapat dibedakan menjadi endogen dan jejas eksogen. Jejas endogen meliputi: Defek genetik, dapat menyebabkan perubahan patologis yang menyolok (misal, malformasi kongential pada sindrom down) atau yang tidak menyolok (misal, substitusi asam amino tunggal pada hb S anemia sel sabit). Faktor imun, contohnya pada Anafilaksis terhadap protein asing atau suatu obat. Produksi hormonal tidak adekuat, Hasil metabolisme tidak sempurna. Penuaan, enyembuhan jaringan tidak selalu menghasilkan perbaikan struktur atau fungsi yang sempurna. Trauma berulang juga dapat menyebabkan degenerasi jaringan, meskipun tanpa kematian sel sama sekali. Proses penuaan sel intrinsic menimbulkan perubahan kemampuan perbaikan dan replikasi sel dan jaringan. Sedangkan jejas eksogen, meliputi: Agen kimiawi, misal obat-obatan. Agen fisik, trauma, radiasi, suhu, listrik, temperature yang ekstrem, radiasi, dan perubahan mendadak pada tekanan atmosfer. Agen biologik, infeksi mikroorganisme, virus, Kekurangan oksigen, hipoksia, anoksia. Hipokisa atau defisiensi oksigen, mengganggu respirasi oksidatif aerobic merupakan penyebab jejas sel yang paling sering dan terpenting, serta menyebabkan kematian. Iskemia merupakan penyebab tersering dari hipoksia. Selain itu, disebabkan oleh oksigenasi darah yang tidak adekuat (seperti pada pneumonia), berkurangnya kemampuan pengangkutan oksigen darah (seperti pada anemia atau keracunan CO Sehingga menghalau pengikatan oksigen) Ketidak seimbangan nutrisi.

Mekanisme jejas sel Secara jelas, terdapat banyak cara berbeda untuk menginduksi jejas sel. Selain itu, mekanisme biokimiawi yang menghubungkan setiap cedera tertentu dan manifestasi seluler dan jaringan yang terjadi bersifat kompleks dan saling terjalin erat dengan jalur intrasel lain. Berikut beberapa prinsip umum yang relevan dengan sebagian bentuk ceera sel. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) 1. Respon sel terhadap jejas dapat berbeda, bergantung pada tipe jejas, waktu lamanya jejas dan keparahannya. 2. Akibat suatu jejas bergantung pada tipe, status, kemampuan adaptasi dan susunan genetik sel. Misal : jejas yang sama berdampak sangat berbeda, bergantung tipe sel, sel otot polos beda dengan sel otot kerangka atau sel otot jantung. 3. Sistem intraseluler: (1)keutuhan sel membrane, (2) Pembentukan adenosine trifosfat (ATP), (3) sintesis protein, (4) keutuhan perlengkapan genetik 4. Komponen struktural dan biokimi suatu sel 5. Fungsi sel dan perubahan morfologi jejas sel 6. Deprivasi oksigen atau pembentukan spesies reaktif 7. Hilangnya homeostasis kalsium 8. Defek pada permeabilitas membrane plasma Membrane plasma langsung dirusak oleh toksin bakteri tertentu 9. Kerusakan mitokondria. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) Penyebab jejas yang banyak / sering ditemukan: 1. Jejas iskemi, hipoksi, anoksi 2. Jejas radikal bebas termasuk oksigen teraktifasi 3. Jejas zat toksik termasuk obat-obatan Penyebab jejas yang sukar diprediksi : 1. Reaksi imonologik bersifat individual , 2 jenis reaksi imonologik yang dikenal merugikan :

a. reaksi anafilaktik atas alergen / obat b. timbulnya penyakit autoimune 2. Defek genetik : biasanya berhubungan dengan adanya : - defek enzim metabolisme - kelainan kongenital Jejas sel oleh radikal bebas Radikal bebas merupakan senyawa kimiawi dengan satu elektron tak berpasangan diorbital luar. Senyawa kimiawi sangat tidak stabil dan mudah bereaksi dengan zat kimia anorgonik atau organik. Dalam bahasa latin radikal adalah sekelompok atom yang masuk kedalam dan dari senyawa kimia tanpa perubahan dan membentuk salah satu unsur pokok molekul. Etiologi : Bentuk radikal bebas yang penting dalam jejas sel in vivo: superoksida (O2-), hidrogen peroksidase (H2O2), ionhidroksil (OH-). Ketiga radikal bebas ini dapat terbentuk pada aktifasi berbagai enzim oksidatif dalam : mitokondria, lisosom, peroksisom, sitosol, membrane sel. Rekasi yang terjadi : Peroksidasi lipid-membrane, Ikatan ganda pada lemak tak jenuh membrane mudah terkena serangan radikal bebas asal dari oksigen. Fragmentasi DNA terjadi kematian sel atau mutasi DNA yang menimbulkan transformasi sel menjadi sel ganas. Ikatan silang protein, radikal bebas membentuk ikatan silang protein dengan bantuan sulhidril terjadi peningkatan kecepatan degradasi/hilangnya aktifitas enzimatik. Sel membentuk beberapa sistim enzimatik dan nonenzimatik untuk

menonaktifkan radikal bebas :

1. Superoksida dismutase = SOD yang ditemukan pada banyak tipe sel (mengkatalisis reaksi 2O2, +2HH2O2+O2 2. Glutation (GSH) peroksidase melindungi sel agar tidak mengalami jejas dengan mengkatalisis perusakan radikal bebas. 3. Katalase pada peroksisom, langsung mendegradasi hidrogen peroksidase. 4. Antioksidan endogen atau eksogen misal : Vit. E, A, C dan beta karoten Jejas sel oleh zat toksik Zat toksik adalah zat yang secara langsung bersifat toksik atas sel jaringan, etiologi : 1. Zat toksik endogen: merupakan akibat kegagalan metabolisme dalam tubuh 2. Zat toksik eksogen : dapat melalui saluran napas, sistem pencernaan, suntikan, kontak langsung pada permukaan tubuh Proses adaptasi sel Meskipun dalam kondisi normal, sel harus secara konstan beradaptasi terhadap perubahan di lingkungannya. Adaptasi fisiologis ini biasanya mewakili respons sel terhadap perangsangan normal oleh hormon atau mediator kimiawi endogen (misalnya, pembesaran payudara dan induksi laktasi oleh kehamilan). Adaptasi patologik sering berbagi mekanisme dasar yang sama, tetapi memungkinkan sel untuk mengatur lingkungannya, dan idealnya melepaskan diri dari cedera. Jadi, adaptasi selular merupakan keadaan yang berada di antara kondisi normal, sel yang tidak stres, dan sel cedera yang stres berlebihan.(Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) 1. Atrofi Pengerutan ukuran sel dengan hilangnya sebstansi sel disebut atrofi. Apabila mengenai sel dalam jumlah yang cukup banyak, seluruh jaringan atau organ berkurang massanya, menjadi atrofi. Harus ditegaskan bahwa walaupun dapat menurun fungsinya, sel atrofi tidak mati.

Penyebab atrofi, antara lain berkurangnya beban kerja (misal, imobilisasi anggota gerak yang memungkinkan proses penyembuhan fraktur), hilangnya persarafan, berkurangnya suplai darah, nutrisi yang tidak adekuat, hilangnya rangsang endokrin, dan penuaan. Walaupun beberapa rangsang ini bersifat fisiologis (misal, hilangnya rangsangan hormon pada menopause) dan patologi lain (misal, denervasi), perubahan selular yang mendasar bersifat identik. Perubahan itu menggambarkan kemunduran sel menjadi berukuran lebih kecil dan masih memungkinkan bertahan hidup; suatu keseimbangan varu dicapai antara ukuran sel dan berkurangnya suplai darah, nutrisi, atau stimulasi trofik. Atrofi menggambarkan pengurangan komponen struktural sel; mekanisme biokimiawi yang mendasari proses tersebut bervariasi, tetapi akhirnya memengaruhi keseimbangan antara sintesis dan degradasi. Sintesis yang berkurang, peningkatan katabolisme, atau keduanya, akan menyebabkan atrofi. Pada sel normal, sintesis dan degradasi isi sel dipengaruhi sejumlah hormon, termasuk insulin, TSH (hormon perangsang tiroid), dan

glukokortikoid.(Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) 2. Hipertrofi Hipertrofi merupakan penambahan ukuran sel dan menyebabkan penambahan ukuran organ. Sebaliknya, hiperplasia ditandai dengan penambahan jumlah sel. Atau dengan kata lain, pada hipertrofi murni, tidak ada sel baru, hanya sel yang menjadi lebih besar, pembesarannya akibat peningkatan sintesis organela dan protein struktural. Hipertrofi dapat fisiologik atau patologik dan disebabkan juga oleh peningkatan kebutuhan fungsional dan disebabkan juga oleh peningkatan fungsional atau rangsangan hormon spesifik.Karena hipertrofi bisa terjadi akibat rangsangan, sehingga cenderung mengalami regresi paling sedikit sampai taraf tertentu, hingga beban kerja yang abnormal hilang.(Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) 3. Hiperplasia Hiperplasia adalah kenaikan jumlah sel yang nyata dalam jaringan yang

mengakibatkan pembesaran jaringan atau organ tersebut.Hiperplasia hanya dapat terjadi pada jaringan yang mampu melakukan pembelahan sel. Dalam jaringan semacam ini hiperplasia dapat juga disertai oleh hipertrofi sel. Hiperplasia terjadi pada berbagai jaringan dalam berbagai keadaan, beberapa di antaranya benar-benar bersifat fisiologis. Hiperplasia fisiologis dibagi menjadi (1) hiperplasia hormonal, ditunjukkan dengan rangsangan hormon pada kehamilan dan laktasi menimbulkan proliferasi yang luas pada unsurunsur epitel kelenjar mammae; dan (2) hiperplasia kompensatoris, yaitu hiperplasia yang terjadi saat sebagian jaringan dibuang atau sakit. Sebagian besar bentuk hiperplasia patologi adalah contoh stimulasi faktor pertumbuhan dan hormonal yang berlebih. Contoh hiperplasia nonfisiologis adalah pembesaran kelenjar prostat pada pria lanjut usia. Banyak contoh hiperplasia menggambarkan respons yang "rasional" dari tubuh terhadap beberapa permintaan yang ditanggungnya. Seperti pada hipertrofi, jika keadaan yang abnormal hilang maka sinyal agar sel berproliferasi akan berhenti, dan terjadi regresi sehingga kembali ke kondisi yang lebih normal. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) 4. Metaplasia Metaplasia adalah perubahan reversibel; pada perubahan tersebut satu jenis sel dewasa (epitelial atau mesenkimal) digantikan oleh jenis sel dewasa lain. Metaplasia merupakan adaptasi selular, yang selnya sensitif terhadap stres tertentu, digantikan oleh jenis sel lain yang lebih mampu bertahan pada lingkungan kebalikan. Metaplasia diperkirakan berasal dari "pemrogaman kembali" genetik sel epitalial atau sel mesenkimal jaringan ikat yang tidak berdiferensiasi. Metaplasia kemungkinan besar reversibel, sehingga jika penyebab perubahan dapat dihilangkan, maka sel induk dalam populasi itu sekali lagi akan mengadakan diferensiasi membentuk sel tertentu yang biasanya tidak terdapat di tempat itu. Metaplasia epitelial ditunjukkan dengan perubahan epitel gepeng yang terjadi pada epitel saluran napas perokok kretek (kebiasaan).Sel epitel silindris

bersilia normal pada trakea dan bronkus, secara fokal atau luas, diganti dengan sel epitel gepeng bertingkat.Walaupun epitel metaplastik adaptif mungkin mempunyai keuntungan dalam daya tahan hidup, mekanisme perlindungan yang penting hilang seperti sekresi mukus dan pembersihan silia material berukuran partikel.Oleh karena itu, metaplasia epitel merupakan pedang bermata dua; selain itu, pengaruh yang menginduksi transformasi metaplastik, jika menetap, dapat menginduksi transformasi kanker pada epitel yang metaplastik.Metaplasia juga dapat terjadi pada sel mesenkemial, tetapi kurang jelas seperti suatu respons adaptif.(Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) C. Kematian sel
Kematian sel atau nekrosis adalah perubahan morfologi yang terjadi pada

kematian sel di dalam jaringan hidup. 2 proses penting yang terjadi bersamaan yang menyebabkan perubahan nekrosis: 1. Digesti enzimatik, enzim hidrolitik dapat berasal dari sel yang matiproses autolisis atau dari lisosome sel radangheterolisis 2. Denaturasi protein Morfologi, Sel yang nekrotik menunjukan warna lebih eosinofil disebabkan : a. meningkatnya pengikatan eosin terhadap protein intrasitoplasma yang mengalami denaturasi. b. Hilangnya warna basofil yang dihasilkan RNA pada sitoplasma. Perubahan pada nukleus : a. kariolisis: Basofilia dan kromatin yang menghilang kemungkinan karena aktivitas DNA b. kariopiknosis: mengecilnya nukleus dan peningkatan warna basofilia, DNA lebih padat dan menjadi masa basofil yang solid dan mengecil. c. kariorrheksis: Nukleus yang piknotik dan sebagian mengalami

fragmentasi/ pecah

Jenis jenis Nekrosis : a. Nekrosis koagulasi, disebabkan karena hipoksia, bisa terjadi pada semua sel/jaringan kecuali otak. Contoh: infark myocard, infark ginjal. b. Nekrosis liquefaktif (=kulikwativa), terjadi karena autolisis atau heterolisis. Contoh: hipoksia otak, infeksi bakteri c. Nekrosis kaseosa, bentuk khas yang didapatkan pada infeksi kuman TBC. Secara makroskopik: warna putih kuning dan menyerupai keju (perkejuan). d. Nekrosis enzimatik lemak, terjadi akibat trauma langsung pada jaringan lemak. Sering ditemukan pada: payudara, pankreatitis akut hemoragik terjadi pelepasan enzim lipase pankreas e. Nekrosis gangrenosa, latin : gangreana, yunani : gangraina = luka yang berakhir dengan kematian saraf. Kematian jaringan dalam jumlah besar yang disertai infeksi bakteri dan pembusukan kuman saprofit. Bersifat, sakarolitik dan proteolitik. Apoptosis kematian sel terprogram Yaitu kematian sel terprogram disertai pembentukan badan apoptotik terjadi pada satu sel (folling-leaves). Dapat bersifat fisiologik atau patologik yang berupa proses : 1. kerusakan sel terprogram selama embriogenesis seperti pada implantasi, organogenesis dan terjadinya inpolesi. 2. inpolesi fisiologik bergantung hormon seperti: inpolusi endometrium selama siklus menstruasi, payudara di waktu laktasi sesudah penyapihan, atropi patologi pada prostat setelah kastrasi 3. delesi sel pada populasi yang berproliperasi seperti: epitel kripta usus, kematian sel pada tumor 4. delesi set T autoreaktif di timus (95% timosit mati dalam timus selama proses maturasi), kematian sel dari limfosit yang kekurangan sitoksin, kematian sel yang di induksi oleh sel T sitotoksik. 5. berbagai rangsang jejas ringan.

(panas, radiasi, bahan sitotosik) menyebabkan kerusakan DNA yang tidak dapat diperbaiki. D. Pertumbuhan non neoplastik dan patofisiologinya 1. Hipertrofi Hipertrofi merupakan penambahan ukuran sel dan menyebabkan penambahan ukuran organ. Pada hipertrofi murni, tidak ada sel baru, hanya sel yang menjadi lebih besar, pembesarannya akibat peningkatan sintesis organela dan protein struktural. Hipertrofi dapat fisiologik atau patologik dan disebabkan juga oleh peningkatan kebutuhan fungsional dan disebabkan juga oleh peningkatan fungsional atau rangsangan hormon spesifik.Karena hipertrofi bisa terjadi akibat rangsangan, sehingga cenderung mengalami regresi paling sedikit sampai taraf tertentu, hingga beban kerja yang abnormal hilang. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) 2. Hiperplasia Hiperplasia adalah kenaikan jumlah sel yang nyata dalam jaringan yang mengakibatkan pembesaran jaringan atau organ tersebut.Hiperplasia hanya dapat terjadi pada jaringan yang mampu melakukan pembelahan sel. Dalam jaringan semacam ini hiperplasia dapat juga disertai oleh hipertrofi sel. Hiperplasia terjadi pada berbagai jaringan dalam berbagai keadaan, beberapa di antaranya benar-benar bersifat fisiologis.Contoh hiperplasia fisiologis adalah rangsangan hormon pada kehamilan dan laktasi menimbulkan proliferasi yang luas pada unsur-unsur epitel kelenjar mammae. Contoh hiperplasia nonfisiologis adalah pembesaran kelenjar prostat pada pria lanjut usia. Seperti pada hipertrofi, jika keadaan yang abnormal hilang maka sinyal agar sel berproliferasi akan berhenti, dan terjadi regresi sehingga kembali ke kondisi yang lebih normal. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) 3. Metaplasia Metaplasia adalah perubahan reversibel; pada perubahan tersebut satu jenis sel dewasa (epitelial atau mesenkimal) digantikan oleh jenis sel dewasa lain. Metaplasia merupakan adaptasi selular, yang selnya sensitif terhadap stres

tertentu, digantikan oleh jenis sel lain yang lebih mampu bertahan pada lingkungan kebalikan. Metaplasia diperkirakan berasal dari "pemrogaman kembali" genetik sel epitalial atau sel mesenkimal jaringan ikat yang tidak berdiferensiasi. Metaplasia kemungkinan besar reversibel, sehingga jika penyebab perubahan dapat dihilangkan, maka sel induk dalam populasi itu sekali lagi akan mengadakan diferensiasi membentuk sel tertentu yang biasanya tidak terdapat di tempat itu. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) 4. Displasia Displasia adalah kelainan diferensiasi sel-sel yang sedang berproliferasi, sehingga ukuran, bentuk, dan penampilan sel menjadi abnormal disertai gangguan pengaturan dalam sel. Pada displasia terdapat kehilangan pengawasan pada populasi sel yang terserang.Displasia ringan kemungkinan besar reversibel jika rangsang iritasi dapat dihilangkan.Namun pada beberapa keadaan, rangsang yang mengakibatkan displasia itu tidak dapat ditemukan, dan perubahan menjadi lebih parah secara progresif, yang akhirnya berkembang menjadi penyakit ganas. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) 5. Regenerasi Pada saat sel dan jaringan sedang mengalami cedera, terjadi peristiwa perusakan sekaligus penyiapan sel yang bertahan hidup untuk melakukan replikasi.Berbagai rangsang yang menginduksikematian beberapa sel dapat memicu pengaktifan jalur replikasi pada sel lainnya. Pemulihan jaringan (penyembuhan) umumnya melibatkan kombinasi kedua proses. Yang menarik adalah bahwa regenerasi dan pembentukan jaringan parut sesungguhnya melibatkan mekanisme yang serupa, yaitu migrasi, proliferasi, dan diferensiasi sel, serta sintesis matriks. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007)

E. Neoplasma 1. Definisi Neoplasma secara harfiah berarti pertumbuhan baru. Suatu neoplasma, sesuai definisi Willis adalah massa abnormal jaringan yang pertumbuhannya

berlebihan dan tidak terkoordinasikan dengan pertumbuhan jaringan normal serta terus demikian meskipun rangsang yang memicu perubahan telah berhenti. Hal yang mendasar tentang asala neoplasma adalah hilangnya responsivitas terhadap faktor pengendali pertumbuhan yang normal. Sel neoplastik disebut mengalami transformasi karena terus membelah diri, tampaknya tidak peduli terhadap pengaruh regulatorik yang mengendalikan pertumbuhan sel normal. Selain itum neoplasma berperilaku seperti parasit dan bersaing dengan sel dan jaringan normal untuk memenuhi kebutuhan metaboliknya. Tumor mungkin tumbuh subur pada pasien yang kurus kering. Sampai tahap tertentu, neoplasma memiliki otonomi dan sedikit banyak terus membesar tanpa bergantung pada lingkungan lokal dan status gizi penjamu. Namun, otonomi tersebut tidak sempurna. Beberapa neoplasma membutuhkan dukungan endokrinm dan ketergantungan semacam ini kadang dapat dieksploitasi untuk merugikan neoplasma tersebut. Semua neoplasma bergantung pada penjamu untuk memenuhi kebutuhan gizi dan aliran darah. Dalam penggunaan istilah kedokteran yang umum, neoplasma sering disebut dengan tumor, dan ilmu tentang tumor disebut onkologi (dari kata oncos, tumor dan logos,ilmu). Dalam oncologi, pembagian neoplasma menjadi jinak dan ganas merupakan hal penting. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) 2. Epidemiologi Kanker adalah suatu gangguan pertumbuhan dan perilaku sel, kausa utamanya perlu didefinsikan pada tingkat seluler dan molekuler. Epidemiologi kanker dapat sangat membantu dalam memahami asal kanker. Pada konsep yang sekarang ini sudah dapat dipastikan bahwa merokok menyebabkan kanker paru terutama berasal dari studi epidemiologik. Pemahaman tentang kausa kanker dapat diperoleh melalu studi epidemiologik yang menghubungkan pengaruh lingkungan, ras (mungkin herediter) dan budaya tertentu terhadap timbulnya neoplasma tertentu. Penyakit tertentu yang dikaitkan dengan peningkatan risiko timbulnya kanker (gangguan praneoplastik) juga

memberikan petunjuk tentang patogenesis kanker. Faktor-faktor penting yang mempengaruhi kejadian neoplasma antara lain: a. Faktor geografik dan lingkungan Faktor lingkungan merupakan penentu utama bagi sebagian besar kasus kanker sporadik. Dalam suatu penelitian besar, proporsi risiko akibat kausa lingkungan adalah 65%, sedangkan faktor herediter 26%-42% risiko kanker. Perkiraan ini ditunjang oleh perbedaan geografik dalam kematian akibat kanker tertentu. Contohnya, angka kematian akibat kanker payudara adalah sekitar empat hingga lima kali lebih tinggi di Amerika dan Eropa dibanding di Jepang. Sebaliknya angka kematian akibat karsinoma lambung pada lelaki dan perempuan sekitar tujuh kali lebih tinggi di Jepang daripada di di Amerika Serikat. Hampir semua bukti menunjukkan bahwa perbedaan genetik ini berasal dari faktor geografik, (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) Karsinogen lingkungan banyak ditemukan. Zat ini dapat bersifat universal seperti sinar matahari, dapat ditemukan di perkotaan (misal abses), atau terbatas pada pekerjaan tertentu. Di antara beberapa kemungkinan faktor lingkungan, yang paling mencemaskan adalah yang ditemukan di kehidupan sehari-hari, terutama merokok dan konsumsi alkohol kronik. Risiko kanker servik berkaitan dengan usia pertama kali berhubungan kelamin dan jumlah pasangan seksual (yang menunjukkan kemungkinan peran kausal suatu virus onkogenik yang ditularkan melalu hubungan kelamin). (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) b. Usia Secara umum, frekuensi kanker meningkat seiring pertambahan usia. Sebagian besar mortalitas akibat kanker terjadi pada usia antara 55 sampai 75 tahun. Peningkatan insiden seiring usia mungkin dapat dijelaskan dengan terjadinya akumulasi mutasi somatik yang disebabkan oleh berkembangnya neoplasma ganas, atau karena menurunnya kompetensi imunitas yang menyertai penuaan. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007)

Kanker menyebabkan lebih dari 10% kematian pada anak berusia 15 tahun atau kurang. Kanker mematikan pada anak-anak terutama adalah leukimia, tumor sistem saraf pusat, limfoma, sarkoma jaringan lunak, dan sarkoma tulang. (Robbins,2007) c. Hereditas Kanker paru umumnya berkaitan dengan merokok, tapi dibuktikan bahwa kematian akibat kanker paru terjadi empat kali lipat lebih sering pada anggota keluarga yang tidak merokok dari penderita kanker paru dibandingkan dengan anggota keluarga perokok yang tidak merokok. Bentuk herediter kanker dapat dibagi menjadi tiga kategori: Sindrom kanker herediter, contohnya retinoblastoma. Mencakup beberapa kanker yang pewarisan satu gen mutannya sangat meningkatkan faktor resiko terjangkitnya kanker yang bersangkutan. Predisposisi terhadap tumor semacam ini memperlihatkan pola pewarisan dominan autosomal. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) Kanker familial. Hampir semua kanker yang umum ditemukan dan terjadi secara sporadis pernah dilaporkan dalam bentuk familial. Contohnya, karsinoma kolon, payudara, ovarium, dan otak. Gambaran yang menandai kanker familial adalah usia onset yang dini, tumor yang timbul pada dua atau lebih keluarga dekat dari kasus indeks, dan kadang-kadang tumor multipel atau bilateral. Kanker familial tidak disertai fenotipe penanda tertentu. Pola transmisi kanker familial tidak jelas. Secara umum, saudara kandung memiliki risiko relatif antara 2 dan 3. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) Sindrom resesif autosomal gangguan perbaikan DNA. Selain kelainan prakanker yang diwariskan secara dominan, sekelompok kecil gangguan resesif autosomal secara kolektif memperlihatkan ciri instabilitas kromosom dan DNA. Salah satu contoh yang paling baik dipelajari adalah xeroderma pigmentosum yang perbaikan DNA-nya mengalami gangguan. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007)

d. Gangguan praneoplastik Selain pengaruh genetik yang diuraikan, keadaan klinis tertentu merupakan predisposisi terjadinya neoplasma ganas dan disebut sebagai gangguan praneoplastik. Walaupun keadaan klinis tersebut mungkin meningkatkan kemungkinan kanker, pada sebagian besar kasus tidak terbentuk kanker. Berikut beberapa keadaan tersebut: Replikasi sel regeneratif presisten (misal, karsinoma sel skuamosa di tepi suatu fistula kulit kronik atau luka kulit yang tidak sembuhsembuh: karsinoma hepatoseluler pada sirosi hati), Proliferasi hiperplastik dan displastik (misal, karsinoma endometrium pada hiperplasia endometrium atipikal, karsinoma bronkogenik pada mukosa bronkus displastik akibat kebiasaan merokok, Gastritis atrofik kronik (misal, karsinoma lambung pada anemia pernisiosa), dll (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) e. Imunitas Secara teoritis, dalam tubuh manusia setiap hari terdapat banyak sel yang mungkin bermutasi dan menghasilkan sel kanker, tapi pada umumnya tidak timbul tumor. Untuk menjelaskan hubungan antara daya imunitas dan timbulnya tumor, Burnet mengemukakan teori surveilans imunitas. Yaitu pada awal timbulnya sel kanker, sistem imun tubuh dapat mengenal sel bukan diri itu, dan melalui sel aktif imunitas (sel T, sel NK dan makrofag) dan imunitas humoral spesifik mengidentifikasi sel kanker, pada fase dini membasmi sel abnormal itu, mempengaruhi timbul dan berkembangnya sel tumor. Namun ketika fungsi imun tubuh rendah atau terhambat, insiden tumor meningkat. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007)

3. Mekanisme karsinogenesis

Gambar 1. Alur Sederhana Dasar Molekuler Kanker

Pada umumnya, kanker timbul karena paparan terhadap suatu karsinogen secara berkali-kali dan aditif pada dosis tertentu,tetapi pada keadaan tertentu dapat juga timbuldari dosis tunggal karsinogen. Penyebab kanker dapat satu karsinogen yang sama misalnya asap rokok (kanker paru), dapat dua karsinogen yang berlainan misalnya asap rokok dan debu asbes (kanker paru), asap rokok dan radiasi sinar X (kanker paru). Untuk beberapa macam kanker terdapat satu faktor yang dominan misalnya sinar ultraviolet yang menimbulkan kanker kulit. (Elna, 2001) Karsinogenesis yang diinduksi karsinogen kimia atau fisik maupun biologik memerlukan waktu yang disebut periode laten yaitu waktu dari pertama kali terpapar suatu karsinogen sampai terlihat kanker secara klinis. Periode laten dari kebanyakan kanker seringkali 20 tahun atau lebih. Efek karsinogen yang lemah dapat tidak terlihat, sebab periode latennya melampaui masa hidup seseorang. Karsinogenesis dapat dibagi dalam tiga fase utama yaitu fase inisiasi, promosi dan progresi. (Elna, 2001)

Fase inisiasi Fase ini berlangsung cepat. Karsinogen kimia misalnya golongan alkylating dapat langsung menyerang tempat dalam molekul yang banyak elektronnya, disebut karsinogen nukleofilik. Karsinogen golongan lain misalnya golongan polycyclic aromatic hydrocarbon sebelum menyerang dikonversikan

(diaktifkan) dulu secara metabolik (kimiawi) menjadi bentuk defisit elektron yang disebut karsinogen elektrofilik reaktif. Tempat yang diserang adalah asam nukleat (DNA/ RNA) atau protein dalam sel terutama di atom nitrogen, oksigen dan sulfur. Air dan glutation juga diserang, dalam beberapa kasus reaksi ini dikatalisasi oleh enzim seperti glutathione-S-transferase. Ikatan karsinogen dengan DNA menghasilkan lesi di materi genetik. RNA yang berikatan dengan karsinogen bermodifikasi menjadi DNA yang dimutasi. Karsinogen kimia yang berikatan dengan DNA disebut genotoksik dan yang tidak berikatan dengan DNA disebut epigenetik. Karsinogen genotoksik dapat juga mempunyai efek epigenetik. Kokarsinogen dan promotor termasuk dalam karsinogen epigenetik yang menyebabkan kerusakan jaringan kronis, perubahan sistem imun tubuh, perubahan hormon atau berikatan dengan protein yang represif terhadap gen tertentu. Jadi karsinogen epigenetik dapat mengubah kondisi lingkungan sehingga fungsi sebuah gen berubah, bukan strukturnya. Waktu yang dibutuhkan dari pertama kali sel diserang karsinogen sampai terbentuk lesi di materi genetik adalah beberapa menit. Sel berusaha mengoreksi lesi ini dengan detoksifikasi kemudian diekskresi atau dapat terjadi kematian sel atau terjadi reparasi DNA yang rusak tersebut oleh enzim sel menjadi sel normal kembali. Karsinogen kimia dapat didetoksifikasi/ dinon-aktifkan kemudian diekskresi atau dapat langsung diekskresi. Tetapi dari proses pengnon-aktifan ini dapat terbentuk metabolit yang karsinogenik. Sebelum terjadi reparasi DNA dapat terjadi replikasi DNA yaitu satu siklus proliferasi sel yang menyebabkan lesi DNA tersebut menjadi permanen disebut fiksasi lesi. Waktu yang dibutuhkan dari pertama kali sel diserang karsinogen sampai terjadi fiksasi lesi (terbentuk sel terinisiasi) adalah

beberapa hari (1-2 hari). Replikasi DNA terjadi karena terdapatnya sel nekrotik sebagai akibat karsinogen. Replikasi ini dapat diinduksi oleh lain bahan kimia toksik, bakteri, virus, parasit, defisiensi diet tertentu, hormon dan prosedur percobaan seperti hepatektomi parsial. Pada jaringan yang mengalami peradangan atau sedang berproliferasi (misalnya luka yang menyembuh) atau jaringan yang berproliferasi terus menerus (misalnya sumsum tulang, epitel saluran pencernaan) tanpa terangsang dari luarpun dapat terjadi replikasi DNA. Pada peradangan belum diketahui apakah terjadi akibat peradangan membantu pertumbuhan sel atau melemahnya daya tahan tubuh. Sel terinisiasi dapat mengalami kematian, bila tidak, maka sel dapat masuk ke fase promosi. Pada akhir fase inisiasi belum terlihat perubahan histologis dan biokimiawi hanya terlihat nekrosis sel dengan meningkatnya proliferasi sel. (Elna, 2001) Fase promosi Sel terinisiasi dapat tetap tenang bila tidak dihidupkan oleh zat yang disebut promotor. Promotor sendiri tidak dapat menginduksi perubahan kearah neoplasma sebelum bekerja pada sel terinisiasi, hal ini telah dibuktikan pada percobaan binatang. Bila promotor ditambahkan pada sel terinisiasi dalam kultur jaringan, sel ini akan berproliferasi. Jadi promotor adalah zat proliferatif. Promosi adalah proses yang menyebabkan sel terinisiasi berkembang menjadi sel preneoplasma oleh stimulus zat lain (promotor). Pada percobaan binatang dibuktikan terdapat karsinogen kimia yang bekerja sendiri sebagai inisiator dan promotor disebut karsinogen komplit. (Elna, 2001) Dari penyelidikan diketahui fase ini berlangsung bertahun-tahun (10 tahun atau lebih) dan reversibel sebelum terbentuknya sel tumor yang otonom. Sel
preneoplasma dapat tumbuh terus pada kultur jaringan sedangkan sel normal akan berhenti tumbuh. Sel preneoplasma lebih tahan terhadap lingkungan yang tidak mendukung dan kemampuan kloningnya lebih besar. Kebanyakan sel-sel preneoplasma beregresi menjadi sel berdiferensiasi normal tetapi sebagian kecil mengalami perkembangan progresif menjadi sel-sel neoplasma yang ireversibel.

Pada akhir fase promosi terdapat gambaran histologis dan biokomiawi yang abnormal. (Elna, 2001)

Fase progresi Fase ini berlangsung berbulan-bulan. Pada awal fase ini, sel preneoplasma dalam stadium metaplasia berkembang progresif menjadi stadium displasia sebelum menjadi neoplasma. Terjadi ekspansi populasi selsel ini secara spontan dan ireversibel. Sel-sel menjadi kurang responsif terhadap sistem imunitas tubuh dan regulasi sel. Pada esofagus epitel berlapis gepeng berubah atau metaplasia menjadi epitel selapis torak yang kemudian berkembang menjadi jaringan dalam keadaan displasia yang kemudian berkembang menjadi neoplasma. Pada kolon, polip adalah bentuk metaplasia. Pada tingkat metaplasia dan permulaan displasia (ringan sampai sedang) masih bisa terjadi regresi atau remisi yang pontan ke tingkat lebih awal yang frekwensinya makin menurun dengan bertambahnya progresivitas lesi tersebut. (Elna, 2001) Belum banyak diketahui perubahan yang terjadi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Batas yang pasti perubahan lesi preneoplasma menjadi neoplasma sulit ditentukan. Pada akhir fase ini gambaran histologis dan klinis menunjukkan keganasan. Penyelidikan terakhir memperlihatkan terjadi aglutinasi pada permukaan sel kanker sehingga sel kanker tumbuh terus meskipun terjadi kontak antar sel. (Elna, 2001) Permukaan sel kanker mempunyai lebih sedikit neksus (daerah kontak antar sel). Ini menunjukkan kurangnya metabolisme dan pertukaran ion-ion antar sel yang juga menyebabkan sel kanker bertambah otonom. Hal ini lebih nyata pada keadaan displasia yang progresif ke arah neoplasma. Semua perubahan struktur, metabolik dan kelakuan sel ini terjadi karena mutasi yang mengenai inti, mitokondria dan membran endoplasma sel. Kebanyakan sel kanker mensekresi enzim fibrinolitik yang melarutkan jaringan ikat di sekitarnya dan faktor angiogenesis yang menginduksi pembentukan kapilar darah baru di antara pembuluh darah yang berdekatan dengan sel kanker untuk nutrisinya. Pada permukaan sel kanker terbentuk antigen yang menimbulkan respons

imun selular dan humoral untuk melawan sel kanker. Antigen permukaan ini sering ditemukan di jaringan fetus, mempunyai hubungan dengan derajat diferensiasi sel dan kekhasannya dipakai sebagai tambahan pada diagnostik kanker. (Elna, 2001) 4. Tata nama neoplasma Semua tumor, jinak dan ganas, memiliki dua komponen dasar: (1) parenkim, yang terdiri atas sel yang telah mengalami transformasi atau neoplastik, dan (2) stroma penunjang nonneoplastik yang berasal dari penjamu dan terdiri atas jaringan ikat dan pembuluh darah. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) Tumor Jinak. Secara umum, tumor jinak diberi nama dengan tambahan akhiran -oma ke jenis sel asal tumor tersebut. Suatu tumor jinak yang berasal dari jaringan fibrosa adalah fibroma, tumor tulang rawan yang junak disebut kondroma. Tata nama untuk tumor epitel junak lebih rumit. Tumor ini kadang-kadang diklasifikasikan berdasarkan pola mikroskopik. Yang lain diklasifikasikan berdasarkan asal sel. Kata adenoma diterapkan untuk neoplasma epitel jinak yang menghasilkan pola kelenjar dan untuk neoplasma yang berasal dari kelenjar, tetapi tidak harus memperlihatkan pola kelenjar. Papiloma adalah neoplasma epitel jinak, yang tumbuh di suatu permukaan, dan menghasilkan tonjolan mirip jari, baik secara mikroskopis maupun makroskopis. Polip adalah suatu massa yang menonjol di atas permukaan suatu mukosa, seperti pada usus, untuk membentuk struktur yang dapat terlihat dengan mata telanjang. Kistadenoma adalah masa kistik berongga; yang khas ditemukan di ovarium. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) Tumor Ganas. Neoplasma ganas yang berasal dari jaringan mesenkim atau turunannya disebut sarkoma. Kanker yang berasal dari jaringan fibrosa disebut fibrosarkoma. Neoplasma ganas yang terdiri atas kondrosit disebut kondrosarkoma. Sarkoma diberi nama berdasarkan histogenesisnya (yaitu jenis sel yang membentuknya). Neoplasma ganas yang berasal dari sle epitel disebut karsinoma. Perlu diingat bahwa epitel tubuh berasal dari ketiga lapisan sel germinativum; neoplasma ganas yang muncul di epitel tubulus

ginjal (mesoderm) adalah karsinoma, demikian pada kanker di kulit (ektoderm) dan usus (endoderm). Jelaslah bahwa mesoderm dapat menyebabkan karsinoma (epitel) dan sarkoma (mesenkim). Karsinoma dapat dibagi-bagi lebih lanjut. Karsinoma sel skuamosa menandakan suatu kanker yang sel tumornya mirip dnegan epitel skuamosa berlapis, dan

adenokarsinoma berarti lesi yang sel epitel neoplastiknya tumbuh dalam pola kelenjar. Kadang-kadang tumor tumbuh dalam pola tidak terdiferensiasi dan harus disebut karsinoma berdiferensiasi buruk. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) Sel parenkim pada neoplasma, baik jinak maupun ganas, pada beberapa kasus, mungkin mengalami diferensiasi divergen, menghasilkan tumor campuran. Contoh terbaik dari tumor campuran berasal dari kelenjar air liur. Semua elemen beragamnya diperkirakan berasal dari sel epitel, sel mioepitel, atau keduanya di kelenjar liur, dan nama yang dianjurkan untuk neoplasma ini adalah adenoma pleomorfik. Contoh lainnya adalah fibroadenoma pada payudara perempuan. Tumor jinak ini mengandung campuran elemen duktus yang berproliferasi (adenoma) yang terbenam di dalam jaringan ikat longgar (fibroma). (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) Tumor campuran multifaset jangan dikacaukan dengan teratoma, yang mengandung sel atau jaringan matur atau imatur yang mewakili lebih dari satu lapisan germinativum dan kadang-kadang ketiga lapisan tersebut. Teratoma berasal dari sel totipotensial yang memiliki kapasitas untuk berdiferensiasi menjadi semua jenis sel yang terdapat dalam tubuh manusia. Apabila semua bagian komponen berdiferensiasi baik, tumor disebut teratoma jinak (matur); apabila berdiferensiasi kurang baik, disebut teratoma imatur, yang berpotensi atau nyata ganas. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) Terdapat kebingungan terminologi lain. Hamartoma adalah suatu malformasi yang bermanifestasi sebagai massa jaringan (tersusun acak) yang memang terdapat disuatu bagian tubuh tertentu. Kita mungkin menjumpai nodus hamartomatosa di paru yang mengandung pulau tulang rawan, bronkus, dan

pembuluh darah. Salah-nama lainnya adalah koristoma. Kata koristoma mengisyaratkan suatu neoplasma, yang menyebabkan heterotopic rest memiliki makna yang jauh lebih berat daripada makna klinis yang sebenarnya ringan. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) 5. Gambaran klinik neoplasma Neoplasma merupakan massa abnormal jaringan yang pertumbuhannya berlebihan dan tidak terkoordinasi, hal utama neoplasma terletak pada efeknya pada manusia. Tumor jinak maupun ganas dapat menimbulkan masalah karena lokasi dan penekanan pada struktur lain, efek pada aktivitas fungsional seperti sintesis hormon, dan timbul perdarahan atau infeksi sekunder apabila lesi mengalami ulserasi melalui permukaan alami di dekatnya. Banyak pasien kanker menderita penyusutan progresif lemak tubuh dan massa tubuh nonlemak disertai melemahnya tubuh secara mencolok, anoreksia, dan anemia. Sindrom mengurusnya tubuh ini disebut dengan kakeksia. (Jianchuan, 2011) Gajala-gejala lokal yang terjadi pada tumor biasanya meliputi gejala obstruksi, gejala desakan akibat tumor, serta adanya desakan struktur dan fungsi organ tempat tumor berada. Nyeri juga merupakan keluhan utama yang sering dikemukakan pasien. Pada mulanya tumor tidak menimbulkan nyeri, namun tumor pada saraf atau mendesak saraf di dekatnya, atau bila tumor di dalam organ padat dan tulang rangka tumbuh terlalu cepat menyebabkan kapsul organ atau periosteum teregang, timbul nyeri tumpul dan nyeri samar. Gejala lokal lainnya yaitu adanya sekret patologis dan ulserasi.(Jianchuan, 2011) Benjolan (tumor): ini merupakan keluhan utama yang sering dikemukakan pasien, sering kali pasien meraba atau merasakan benjolan di bagian tertentu, tubuhnya maka datang berobat. Benjolan dapat tumbuh di segala bagian tubuh, yang lokasinya dekat atau di permukaan tubuh seperti kulit, jaringan lunak, mamae, skrotum, anggota badan, rongga mulut dan lain sebagainya. (Jianchuan, 2011)

Gejala obstruksi akibat tumor : kebanyakan terjadi pada saluran pernapasan, pencernaan, misal kanker laring, kanker pangkal lidah menimbulkan kesulitan bernapas, kanker esofagus menimbulkan rasa terganjal waktu menelan, nyeri menelan, sulit menelan.(Jianchuan, 2011) Gejala desakan akibat tumor : tumor mediastinum seperti limfoma, timoma, teratoma atau kanker metastatik mediastinum bila mendesak vena kava timul udem di kepala, wajah, leher, dada atas, vena dinding toraks melebar, sulit bernapas, sianosis, dan gejala lain; karsinoma prostat bila mendesak uretra timbul polakisuria, disuria, sulit urinasi dan retensi uri.(Jianchuan, 2011) Destruksi struktur dan fungsi organ tempat tumor berada : osteosarkoma merusak tulang, mempengaruhi fusngsi persendian di dekatnya bahkan sampai fraktur, hingga fungsi tungkai tersebut hilang; karsinoma paru, gastrointestinal, vesika urinaria dan lain lain merusak organnya, pasien mengalami, hemoptisis, muntah darah, hematokezia, hematouria. (Jianchuan, 2011) Nyeri : ini juga keluhan utama yang sering dikemukakan pasien. Pada awalnya tumor biasanya tidak nyeri, namun tumor pada saraf atau mendesak saraf di dekatnya atau bila tumor di dalam organ padat dan tulang rangka tumbuh terlalu cepat menyebabkan kapsul organ tau periosteum teregang, timbul nyeri tumpul atau nyeri samar; metastasis tumor ke tulang dapat menimbulkan nyeri tulang. (Jianchuan, 2011) Sekret patologis : tumor di rongga mulut, hidung, nasofaring saluran pencernaan, pernapasan, urinaria, reproduktif dan lain lain bila terjadi ulserasi ke dalam lumen atau komplikasi infeksi, sering timbul sekret sanguineus, purulen, musinosa atau nekrotik mengalir ke luar lumen rongga. (Jianchuan, 2011) Ulserasi : tumor yang timbul di kulit, mukosa, rongga mulut, nasofaring, saluran pernapasan, pencernaan, serviks uteri, vagina, vulva dan lain lain, mudah mengalami ulserasi dan infeksi ikutan, timbul sekret berbau amis atau

hemoragik. Pasien kanker kulit sering datang dengan kelihan utama ulkus. (Jianchuan, 2011) Tumor stadium awal tidak menunjukkan gejala sistemik yang jelas, dengan berkembangnya tumor dapat timbul gejala: 1. Demam 2. Penurunan berat badan, anemia, astenia progresif: merupakan gejala yang umum pada kanker stadium lanjut. 3. Ikterus (Jianchuan, 2011) Dibandingkan dengan ciri-ciri neoplastik lainnya, kemampuan melakukan invasi dan metastasis menunjukkan secara pasti bahwa suatu neoplasma bersifat ganas. Metastasis menunjukkan terbentuknya implant sekunder yang terpisah dari tumor primer biasanya di jaringan yang jauh. Sekitar 30% pasien tumor padat yang baru terdiagnosis sudah memperlihatkan metastasis secara klinis. Secara umum, semakin anaplastik dan besar neoplasma primernya semakin besar kemungkinan metastasis. Terjadinya penyebaran merupakan isyarat kuat kecilnya kemungkinan kesembuhan, tidak ada kemajuan yang lebih bermanfaat selain mencegah adanya metastasis.(Jianchuan, 2011) 6. Penentuan Derajat dan Stadium Kanker Untuk membandingkan hasil akhir berbagai bentuk pengobatan diperlukan metode yang dapat menguantifikasi tingkat agresivitas suatu neoplasma serta menyatakan laus dan penyebarannya pada tiap tiap pasien. Sebagai contoh, hasil pengobatan terhadap adenokarsinoma yang sangat kecil, berdiferensiasi baik, dan terbatas di kelenjar tiroid kemungkinan besar berbeda dengan pengobatan terhadap kanker tiroid yang sangat anaplastik dan telah menginvasi organ di leher. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) Penentuan derajat suatu kankr merupakan upaya untuk memperkirakan agresivitas atau tingkat keganasan berdasarkan diferensiasi sitologik sel tumor dan jumlah mitosis di dalam tumor. Kanker dapat diklasifikasikan sebagai derajat I, II, III, atau IV, berdasarkan peningkatan anaplasia.(Kumar, Cotran dan Robbins, 2007)

Penentuan stadium kanker didasarkan pada ukuran lesi primer, luas penyebaran ke kelenjar getah bening regional, dan ada tidaknya metastasis. Penilaian ini didasarka pada pemeriksaan klinis dan radiografik dan pada beberapa kasus eksplorasi bedah. Saat ini digunakan dua metode penentuan stadium : sistem TNM (T, tumor primer; N, keterlibatan kelenjar getah bening regional; M, metastasis) dan sistem AJC (American Joint Committee). Pada sistem TNM, T1, T2, T3 dan T4 menjelaskan ukuran lesi primer yang makin besar; N0, N1, N2 dan N3 menunjukkan keterlibatan progresifkelenjar getah bening; serta M0 dan M1 menunjukkan ada atau tidaknya metastasis jauh. Pada metode AJC, kanker dibagi menjadi stadium 0 sampai IV, menggabungkan ukuran lesi primer dan adanya penyebaran kelenjar dan metastasis jauh. Perlu dicatat, bahwa dibandingkan dengan penentuan derajat, penentuan stadium terbukti lebih bermanfaat secara klinis.(Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) 7. Diagnosis kanker secara laboratoris a. Metode morfologik Evaluasi laboratorik terhadap suatu lesi sesuai dengan spesimen yang diserahkan untuk diperiksa. Oleh karena itu, spesimen harus adekuat, representatif dan diawetkan dengan benar. Terdapat beberapa cara mengambil sampel, termasuk eksisi, biopsi, aspirasi jarum halus, dan apusan sitologik. Apabila lesi tidak dapat dieksisi, pada pemilihan tempat untuk biopsi pada lesi yang besar perlu diperhatikan bahwa lesi mungkin tidak representatif, sedangkan bagian tengah mungkin umumnya nekrotik. Kadang-kadang diperlukan diagnosis potong-beku untuk, misalnya, menentukan sifat suatu lesi di payudara atau mengevaluasi tepi suatu kanker yang diangkat untuk memastikan agar seluruh neoplasma sudah terangkat. Metode tersebut menggunakan sampel yang sudah dibekukan dengan cepat dipotong, memungkinkan evaluasi histologik dalam hitungan menit. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007)

Aspirasi jarum halus terhadap tumor adalah tidakan berupa aspirasi sel dari suatu masa diikuti oleh pemeriksaan sitologik apusan. Prosedur ini paling sering dipakai pada lesi yang teraba di payudara, tiroid, kelenjar getah bening, dan kelenjar liur. Teknin pencitraan modern memungkinkan metode ini diperluas ke struktur yang lebih dalam seperti hati, pankreas, dan kelenjar getah bening panggul. Teknik ini menghilangkan kebutuhan terhadap pembedahan dan segala resiko terkaitnya. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) Apusan sitologik (Papanicolau) digunakan secara luas untuk menemukan karsinoma serviks, sering pada stadium in situ, serta banyak bentuk lain keganasan, seperti karsinoma endometrium, karsinoma bronkogenik, tumor kandung kemih dan prostat, dan karsinoma lambung. Sel neoplastik kurang kohesif dalam cairan atau sekresi. Sel yang rontok tersebut dievaluasi untuk mencari gambaran anaplasia yang menunjukkan asalnya. Imunohistokimia merupakan pemeriksaan tambahan yang sangat

bermanfaat dalam histologi rutin. Deteksi sitokeratin oleh antibodi monoklonal spesifik dilabel oleh peroksidase lebih menunjukkan diagnosis karsinoma tidak berdiferensiasi bukan limfoma besar. Demikian juga deteksi antigen spesifik prostat (PSA) pada endapan metastatik oleh imuhistokimia memungkinkan untuk diagnosis pasti tumor primer di prostat. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) Flow cytometry sekarang digunakan secara rutin dalam klasifikasi leukimia dan limfoma. Pada metode ini, digunakan antibodi flouresen terhadap molekul permukaan sel dan antigen diferensiasi untuk memperoleh fenotip sel ganas. Flow cytometry juga bermanfaat untuk menilai kandungan DNA sel tumor. Pada banyak sel tumor, kandungan DNA (poliploidi) berefek prognosis. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) b. Pemeriksaan biokimiawi Pemeriksaan biokimia untuk berbagai tuor, enzim terkait tumor, dan penanda tumor lainnya dalam darah tidak dapat dipahami sebahai

modalitas untuk diagnosis kanker, namun pemeriksaan ini berperan dalam menemukan kasus dan pada sebagian kasus, menentukan efektivitas terapi. Radioimmunoassay untuk hormon dalam darah mungkin dapat

menunjukkan adanya tumor pada sistem endokrin dan, pada sebagian kasus, adanya produksi ektopuk hormon oleh tumor non endokrin. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) Telah ditemukan sejumlaj penanda tumor dalam darah, dua diantaranya adalah CEA dan -fetoprotein. CEA, yang secara normal dihasilkan dalam jaringan embionik usus, pankreas, dan hati, merupakan glikoprotein kompleks yang dihasilkan oleh banyak neoplasma. Peningkatan CEA juga dilaporkan ditemukan pada banyak gangguan jinak, seperti sirosi alkohol, hepatitis, kolitis ulseratica, dan penyakit Crohn. Oleh karena iti, sensitvitas dan spesifitas CEA tidak memadai untuk deteksi kanker secara dini.

(Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) Peningkatan kadar -fetoprotein dalam darah ditemukan pada orang

dewasa dengan kanker yang terutama berasal dari sisa hati dan sisa yolk sac di gonad. Penanda ini meningkat, walaupun tidak selalu, pada teratokarsinoma dan karsinoma sel embrionik di testis, ovarium, dan tempat di luar gonad dan kadang-kadang pada kanker lambung dan pankreas. Seperti pada CEA, penyakit jinak juga dapat menyebabkan peningkatan -fetoprotein. Oleh karena itu timbul masalah spesifitas dan sensitivitas, tetapi penanda ini, masih bermanfaat sebagai bukti awal. Misal karsinoma hepatoselular dan berguna untuk tindak lanjut intervensi terapi. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) c. Diagnosis molekular Karena setiap sel T dan sel B memiliki sususnan gen reseptor antigen yang unik, deteksi gen reseptor sel T atau immunoglobulin dengan reaksi rantai plimerase (PCR) memungkinkan kita untuk membedakan antara proliferasi monoklonal (neoplastik) dan poliklonal (reaktif). Transkrip BCR-ABL dengan PCR dapat menjadi tanda molekular pada leukimia

mieloid kronik. Teknik flourescent in situ hybridization (FISH) bermanfaat untuk mendeteksi karakteristik translokasi pada banyak tumor, termasuk sarkoma Ewing serta beberapa leukimia dan lifoma. Metode FISH dan PCR juga dapat digunakan untuk memperlihatkan amplifikasi berbagai onkogen, seperti HER-2 dan N-MYC. Diagnosis molekuler juga dapat mendeteksi penyakit residual minimal setelah pengobatan. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007) d. Penentuan profil molekular tumor salah satu kemajuan paling menarik dalam analisis molekular tumor adalah DNA-microarray analusis. Teknik ini memungkinkan kita mengukur secara bersamaan kadar beberapa ribu gen. Prinsipnya, proses dumulai dengan ekstraksi mRNA daru dua sel (misal, normal dan ganas). Salinan cDNA pada mRNA disintesis in vitro dengan nukleotida berlabel flouresen. Untai cDNA berlabel flouresen dihibridisasi ke probe DNA spesifik-sekuens yang direkatkan ke suatu bahan padat, misalnya chip silikon. Setelah hibridisasi, digunakan pemindai laser beresolusi tinggi untuk mendeteksi sinyal flouresen dari masing-masing titik. Intensitas flouresen dari setiap titik setara dengan tingkat ekspresi mRNA semula yang digunakan untuk mensintesi cDNA yang terhibridisasi ke titik tersebut. Oleh karena itu, untuk setiap sampel dapat diperoleh ekspresi ribuan ge, dan dengan alat bioinformatikan ini, kadar relatif ekspresi gen di berbagai sampel dapat dibandingkan. Pada dasarnya, dihasilkan suatu profil molekuler untuk jaringan yang dihasilkan. (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Dari pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa:


1. Sel

adalah unit fungsional terkecil dari makhluk hidup. Sel terdiri atas

membran plasma,sitoplasma yang mengandung organel sel, dan inti sel yang megandung informasi genetik.
2. Apabila keseimbangan homeostatis sel terganggu, baik oleh agen eksogen

maupun endogen, akan berakibat pada perubahan fungsi sel yang selanjutnya menjadi jejas sel. Perubahan sel akibat adanya stimulus dan injuri bisa bersifat reversibel dan irreversibel.
3. Respons adaptasi utama sel adalah atrofi, hipertrofi, hiperplasia, dan

metaplasia.
4. Neoplasma ialah kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel-sel yang

tumbuh terus menerus secara tidak terbatas, tidak berkoordinasi dengan jaringan sekitarnya, dan tidak berguna bagi tubuh.

B. Saran
1. Sebisa mungkin menghindari pemicu kanker/karsinogen untuk mengurangi

risiko terkena neoplasma.


2. Melakukan pemeriksaan dini untuk sangat dianjurkan untuk mencegah

terjadinya neoplasma stadium lanjut dan menghindari metastasis.

DAFTAR PUSTAKA

Guyton, Arthur C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Jianchuan, Xia. 2011. Etiologi Tumor dalam Desen, Wan. Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Kartawiguna, Elna. 2001. Faktor-Faktor yang Berperan pada Karsinogenesis. Jakarta: Trisakti. J Kedokter Trisakti, Januari-April 2001-Vol.20, No.1 Stanley L, Robbins, et al. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta: EGC Sarmoko, Larasati. Regulasi Siklus Sel. Cancer Chemoprevention Research Center diakses dari http://www.ccrc.farmasi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/hand-outcell-cycle-ccrc-new.pdf (2 September 2012) Usman, Dellery Mela. 2012. Patologi Anatomi Jejas Sel dan Adaptasi. Padang: FKG
Universitas Baiturrahmah

Anda mungkin juga menyukai