USULAN PENELITIAN
APLIKASI BEBERAPA DOSIS KOMPOS LEGUMINOSA DENGAN
PENGGUNAAN BIO-AKTIVATOR Trichoderma sp. TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN CABAI (Capsicum annuum
L)
Oleh :
REFLI JUNAIDI
NIM : 1006121470
USULAN PENELITIAN
APLIKASI BEBERAPA DOSIS KOMPOS LEGUMINOSA DENGAN
PENGGUNAAN BIO-AKTIVATOR Trichoderma sp. TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN CABAI (Capsicum annuum
L)
Oleh :
REFLI JUNAIDI
NIM : 1006121470
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan dan
keselamatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan usulan penelitian dengan judul
Aplikasi Beberapa Dosis Kompos Leguminosa dengan Penggunaan Bio-Aktivator
Trichoderma sp. Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Cabai (Capsicum
Annuum L).
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Fifi Puspita, MP sebagai dosen
pembimbing I dan Ir. Armaini, M.Si sebagai dosen pembimbing II yang telah banyak
memberikan bimbingan, petunjuk dan motivasi sampai selesainya usulan penelitian ini.
Tidak lupa pula buat seluruh rekan-rekan yang telah banyak membantu penulis di dalam
penyelesaian usulan penelitian ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Tidak ada
yang pantas diberikan, selain balasan dari Tuhan Yang Maha Esa untuk kemajuan kita semua
dalam menghadapi masa depan nanti.
Akhirnya penulis sangat mengharapkan agar usulan penelitian ini bermanfaat bagi kita
semua dan dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan penelitian.
Refli Junaidi
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR....................................................................................... iii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... v
I....... PENDAHULUAN..................................................................................... 1
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
BAB.I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Cabai (Capsicum annuum L) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki
nilai ekonomi penting di Indonesia dan dibutuhkan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat,
sehingga volume peredarannya di pasaran sangat besar. Secara umum cabai memiliki banyak
kandungan gizi dan vitamin, diantaranya Kalori, Protein, Lemak, Kabohidrat, Kalsium, Vitamin
A, B1 dan Vitamin C (Rukmana, 1995).
Menurut Badan Pusat Statistik (2012) produksi cabai merah di Provinsi Riau pada tahun
2011 adalah 15.909 ton dengan luas areal panen 3.488 hektar dan produktivitas rata-rata 4,56
ton/hektar. Produktivitas cabai di Riau ini masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan
provinsi-provinsi yang ada di Indonesia pada umumnya seperti Sumatera Barat yang mencapai
65.108 ton dengan luas areal panen 8.196 hektar dengan produktivitas rata-rata 7,94 ton/hektar,
sedangkan Sumatera Utara 245.773 ton dengan luas areal panen 22.129 hektar dan produktivitas
rata-rata 11,11 ton/hektar.
Rendahnya produktivitas cabai di Riau salah satunya disebabkan petani cabai yang belum
menggunakan benih cabai varietas unggul, padahal dengan penggunaan varietas unggul tanaman
cabai produksinya bisa mencapai 15-20 ton/ha (Suseno, 2002). Varietas cabai SSP IPB yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan salah satu varietas cabai yang dikeluarkan oleh
Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB yang memiliki rasa pedas (kandungan kapsaicin
967 ppm) dengan panjang buah 12-15 cm, bobot per buah 8-10 gram, produktivitas 700-800
gram/tanaman dan umur panen 72-78 hari setelah tanam, dimana untuk umur panen varietas ini
lebih cepat dibandingkan dengan varietas cabai pada umumnya.
Selain itu, rendahnya produktivitas cabai di Riau juga disebabkan penggunaan pupuk
anorganik ( Urea, TSP, KCL ) secara terus menerus yang tidak di imbangi dengan pupuk organik,
sehingga dapat merusak tanah (Suseno, 2002). Pupuk anorganik sangat sedikit ataupun hampir
tidak mengandung unsur hara mikro, oleh sebab itu perlu di imbangi dengan penggunaan pupuk
organik atau kompos yang banyak mengandung hara mikro terutama kompos yang berasal dari
daun-daunan seperti kompos leguminosa (Pracaya, 2001)
Kompos leguminosa ialah kompos yang paling praktis yang dapat digunakan oleh petani
cabai, karna bahan dasar kompos ini mudah didapatkan serta tidak banyak mengeluarkan biaya,
sehingga kompos leguminosa dapat menjadi salah satu sumber hara organik alternatif yang dapat
digunakan oleh petani cabai secara langsung (Krishnawati, 2003).
Kompos Leguminosa adalah peruraian bahan organik dari tanaman leguminosa oleh jasad
renik (mikrobia) yang dalam penelitian ini menggunakan Bio-Aktivator Trichoderma sp.
Pemberian kompos leguminosa ini tidak hanya memperkaya unsur hara bagi tanaman, namun
juga berperan dalam memperbaiki struktur tanah, tata udara dan air dalam tanah, mengikat unsur
hara dan memberikan makanan bagi jasad renik yang ada dalam tanah, sehingga meningkatkan
peran mikrobia dalam menjaga kesuburan tanah. Selain itu, pembuatan kompos leguminosa ini
juga relatif mudah. Keunggulan lainnya adalah mudah terurai di dalam tanah sehingga
mempercepat penyiapan unsur hara bagi tanaman. Oleh sebab itu penggunaan kompos
leguminosa diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman cabai (Kartini,
2007).
Tanaman cabai merupakan tanaman perdu dari famili terong-terongan (solanaceae) yang
memiliki nama ilmiah Capsicum sp. Cabai berasal dari benua Amerika tepatnya daerah Peru dan
menyebar ke negara-negara benua Amerika, Eropa dan Asia termasuk Negara Indonesia, mereka
memanfaatkan tanaman berbuah pedas tersebut sebagai bumbu penyedap masakan (Prajnanta,
1999).
Dari masa ke masa, tanaman cabai mengalami perkembangan. Perkembangan ini bisa
dikatakan sejalan dengan perkembangan penduduk, kemajuan teknologi dan kemampuan
berevolusi dan beradaptasi dari tanaman itu sendiri. Perkembangan penduduk antara lain
menyebabkan peningkatan permintaan akan cabai. Kemajuan teknologi yang ditopang oleh
kemajuan berevolusi dan beradaptasi, antara lain berhasil memurnikan varietas cabai yang ada
(Pracaya, 2001).
Di Indonesia sendiri, penanaman cabai bermacam-macam tergantung daerahnya. Cabai
sering disebut dengan berbagai nama lain, misalnya, lombok, cengis, cengek, dan masih banyak
lagi sebutan lainnya (Prajnanta, 1999). Dalam tata nama ilmiah, menurut Suseno (2002)
tanaman cabai termasuk dalam genus Capsicum, dengan klasifikasi lengkap sebagai berikut :
Kingdom : Plantae, Divisi : Magnolioyt, Kelas : Magnoliopsida, Sub kelas : Asteridae,
Ordo : Solanales, Famili : Solanaceae, Genus : Capsicum.
Tanaman cabai mempunyai akar tunggang yang terdiri atas akar utama dan akar lateral,
akar lateral mengeluarkan serabut, mampu menembus kedalaman tanah sampai 50 cm dan
melebar sampai 45 cm (Prihmantoro, 2001). Tanaman cabai merupakan tanaman perdu dengan
batang berkayu, batang akan tumbuh sampai ketinggian 120 cm, kemudian membentuk banyak
percabangan, dengan lebar tajuk tanam sampai 90 cm (Suseno, 2002).
Batang tanaman cabai berwarna hijau, hijau tua, atau hijau muda. Pada batang-batang
yang telah tua (biasanya batang paling bawah), akan muncul warna coklat seperti kayu, ini
merupakan kayu semu, yang diperoleh dari pengerasan jaringan parenkim (Prajnanta, 1999).
Daun tanaman cabai bervariasi menurut spesies dan varietasnya. Ada daun yang
berbentuk oval dan ada juga yang berbentuk lonjong. Warna permukaan daun bagian atas
biasanya hijau muda, hijau, hijau tua, bahkan hijau kebiruan (Prihmantoro, 2001).
Permukaan daun pada bagian bawah umumnya berwarna hijau muda, hijau pucat atau
hijau. Permukaan daun cabai ada yang halus dan ada pula yang berkerut-kerut. Ukuran panjang
daun cabai antara 3-11 cm, dengan lebar antara 1-5 cm berbentuk lonjong (Pracaya, 2001).
Bunga tanaman cabai juga bervariasi, namun memiliki bentuk yang sama, yaitu
berbentuk bintang. Ini menunjukkan tanaman cabai termasuk dalam sub kelas Asteridae
(berbunga bintang). Bunga biasanya tumbuh pada ketiak daun, dalam keadaan tunggal atau
bergerombol dalam tandan. Dalam satu tandan biasanya terdapat 2-3 bunga saja. Mahkota bunga
tanaman cabai warnanya bermacam-macam, ada yang putih, putih kehijauan dan ungu. Diameter
bunga antara 5-20 mm (Panah Merah, 1999).
Bunga tanaman cabai merupakan bunga sempurna, artinya dalam satu tanaman terdapat
bunga jantan dan bunga betina. Pemasakan bunga jantan dan bunga betina dalam waktu yang
sama (atau hampir sama), sehingga tanaman dapat melakukan penyerbukan sendiri. Namun
untuk mendapatkan hasil buah yang lebih baik, penyerbukan silang lebih diutamakan. Karena
itu, tanaman cabai yang ditanam dalam jumlah yang banyak, hasilnya lebih baik dibandingkan
tanaman cabai yang ditanam sendirian (Prajnanta, 1999).
Buah cabai merupakan bagian tanaman cabai yang paling banyak dikenal dan memiliki
banyak variasi. Menurut Sutedjo (2002) varietas dengan tipe elongate memiliki rasa yang sangat
pedas, serta memiliki ukuran buah 12x0,8 cm, dan memiliki berat 5-6 gram.
2.2. Syarat Tumbuh
Cabai dapat tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 200 m dpl. Tetapi bila udara
sangat dingin sampai embun membeku (frost) mungkin tanaman akan mati (Prihmantoro, 2001).
Penanaman cabai pada waktu musim kemarau dapat tumbuh dengan baik, asal mendapat
penyiraman yang cukup, temperatur yang baik untuk cabai adalah sekitar 20 0-250C. Bila
temperatur sampai 350C maka pertumbuhan kurang baik, sebaliknya bila temperatur di bawah
100C, pertumbuhan kurang baik bahkan dapat mematikan (Suseno, 2002).
Curah hujan pada waktu pertumbuhan tanaman sampai akhir pertumbuhan yang baik
sekitar 600-1250 mm/tahun. Bila curah hujan berlebihan dapat menimbulkan penyakit,
terbentuknya buah kurang dan banyak buah yang rontok (Prihmantoro, 2001). Tanah yang
tergenang air walaupun dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat menyebabkan rontoknya
buah. Kekurangan hujan dan tidak ada pengairan juga dapat membuat tanaman cabai menjadi
kerdil. Kelembaban yang rendah dan temperatur yang tinggi menyebabkan penguapan tinggi,
sehingga tanaman akan kekurangan air. Akibatnya kuncup bunga dan buah yang masih kecil
banyak yang rontok (Suseno, 2002). Tanah yang asam kurang baik untuk pertumbuhan cabai,
maka perlu ditaburi kapur dan pupuk organik, tanah yang baik bila mempunyai (pH) sekitar 6,5
(Wirakusumah, 1999).
2.3. Trichoderma sp.
Trichoderma sp. merupakan dekomposer yang mengandung enzim selulase, enzim (Glukanase), proteinase dan enzim kitinase yang dapat bekerja secara sinergis sehingga
mempercepat dalam proses pelapukan bahan organik. Jamur Trichoderma sp. dapat mengurangi
bahan organik seperti karbohidrat terutama selulosa ( Dinas Tanaman Pangan Provinsi Riau,
2003).
Trichoderma sp. merupakan salah satu jamur antagonis terhadap patogen tular tanah dan
merupakan salah satu jamur tanah yang termasuk Divisi:
Trichoderma sp. ini dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kompos, karna jamur ini dapat
mempercepat proses dekomposisi bahan-bahan organik yang akan digunakan sebagai pembuatan
kompos juga menjadikan kompos yang kaya unsur hara baik makro maupun mikro (Yulensri,
Lucida dan Henny, 2007).
Hasil penelitian Puspita, Elfina dan Imelda (2007) menunjukan bahwa perlakuan Trichokompos pada dosis 30 gram/polybag bibit kelapa sawit dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman kelapa sawit dan mengendalikan penyakit G.Boninense. Menurut Puspita dkk (2009)
menyatakan bahwa aplikasi Trichoderma sp. pada dosis 50 gram/polybag ukuran 5 kg dapat
menghambat intensitas serangan G.Boninense sebesar 77,19 % dan dapat meningkatkan
pertumbuhan bibit kelapa sawit.
mengikat unsur hara dan memberikan makanan bagi jasad renik yang ada dalam tanah sehingga
meningkatkan peran mikrobia dalam menjaga kesuburan tanah. Selain itu, pembuatan kompos
leguminosa ini juga relatif mudah (Kartini, 2007).
Kompos leguminosa mengandung nitrogen lebih tinggi dibandingkan dengan kompos
non leguminosa karna tanaman leguminosa mempunyai bintil akar, dimana di dalam bintil akar
ini hidup bakteri yang mampu menambat N2 dari udara. Karenanya bintil akar pada tanaman
leguminosa dapat dipandang sebagai sumber hara nitrogen alami (Krishnawati, 2003).
Dengan kemampuannya menambat nitrogen dari udara tersebut, kompos leguminosa
menjadi sumber unsur hara nitrogen bagi ekosistem tanah. Keunggulan lainnya adalah mudah
terurai di dalam tanah sehingga mempercepat penyiapan unsur hara bagi tanaman (Kartini,
2007).
perlakuan :
= Tanpa pemberian tricho-kompos leguminosa.
K1
= Pemberian tricho-kompos leguminosa dengan dosis 20 ton/ha setara dengan 100 gram/10 kg
tanah (1 polybag).
K2
= Pemberian tricho-kompos leguminosa dengan dosis 30 ton/ha setara dengan 150 gram/10 kg
tanah (1 polybag).
K3
= Pemberian tricho-kompos leguminosa dengan dosis 40 ton/ha setara dengan 200 gram/10 kg
tanah (1 polybag).
K4
= Pemberian tricho-kompos leguminosa dengan dosis 50 ton/ha setara dengan 250 gram/10 kg
tanah (1 polybag).
Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan analisis ragam dengan model
linear sebagai berikut :
Yij = + i + ij
Keterangan :
Yij = Hasil pengamatan perlakuan ke -i pada ulangan ke -j
= Pengaruh nilai tengah
i = Pengaruh tricho-kompos leguminosa pada perlakuan ke -i
ij = Pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke -i pada ulangan ke j
Hasil data yang diperoleh setelah dianalisis secara statistik menggunakan analisis ragam
dilanjutkan dengan uji Duncans New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf 5% (Steel and
Torrie,1994).
pemeliharaan dengan melakukan penyiraman pada pagi dan sore hari secara rutin. Pemindahan
bibit ke polybag berukuran 50 cm x 40 cm dilakukan setelah bibit tanaman cabai berumur 38 hari
setelah semai dan ditandai dengan jumlah daun dewasa sebanyak 4-6 lembar.
3.4.2. Persiapan Tempat Penelitian
Persiapan tempat penelitian dilakukan setelah penyemaian benih, tempat penelitian ini
menggunakan Rumah Kassa Fakultas Pertanian Universitas Riau, sebelum digunakan terlebih
dahulu rumah kassa dibersihkan.
3.4.3. Persiapan Medium Tanam
Medium yang digunakan adalah tanah inceptisol yang diambil dari tanah kebun
percobaan Fakultas Pertanian Universitas Riau pada kedalaman 20 cm dari permukaan tanah,
tanah yang diambil dimasukan kedalam polybag berukuran 50 cm x 40 cm, setelah itu polybag
disusun di rumah kassa sesuai rancangan penelitian.
3.4.4. Pemberian Perlakuan
Pemberian perlakuan kompos leguminosa dalam medium tanam diberikan 7 hari sebelum
tanam sebanyak 40% dari dosis perlakuan, 7 hari setelah tanam sebanyak 30% dari dosis
perlakuan dan 35 hari setelah tanam sebanyak 30% dari dosis perlakuan. Pemberian dilakukan
dengan mencampur ke lubang tanam pada medium tanam dalam polybag pada aplikasi pertama,
untuk aplikasi selanjutnya diberikan dengan membuat lubang disekitar tanaman.
3.4.5. Penanaman
Penanaman dilakukan pada sore hari agar bibit tidak mengalami stres akibat suhu yang tinggi.
Setiap satu lubang tanam pada polybag ditanami satu bibit cabai. Penanaman dilakukan dengan
melepaskan medium dalam polybag pembibitan, bibit beserta tanah dalam polybag dimasukan
kedalam lubang tanam diameter 6 cm dengan kedalaman 10 cm pada polybag berukuran 50 cm x
40 cm. Setelah dilakukan penanaman, selanjutnya dilakukan penyiraman dengan dosis
penyiraman yang sama per polybag nya.
3.4.6. Pemeliharaan
3.4.6.1. Penyiraman
Tanaman cabai membutuhkan pengairan yang cukup terutama pada saat fase
pertumbuhan vegetatif dan pembesaran buah, oleh sebab itu dilakukan penyiraman secara rutin
pada pagi dan sore hari dengan dosis penyiraman yang sama per polybag nya.
3.4.6.2. Penyulaman
Penyulaman dilakukan pada tanaman cabai apabila ada bibit yang mengalami pertumbuhan
abnormal, layu dan terserang hama atau penyakit. Kegiatan ini dilakukan dengan cara mengganti
tanaman tersebut dengan tanaman yang berumur sama serta memiliki perlakuan yang sama yang
telah dipersiapkan sebelumnya. Waktu penyulaman adalah minggu pertama setelah pindah tanam
dan dilakukan pada sore hari agar bibit tidak mengalami stres akibat suhu yang tinggi.
3.4.6.3. Pemupukan
Pada percobaan ini pupuk anorganik diberikan 14 hari setelah tanam yaitu sebanyak 50%
dari rekomendasi yang dianjurkan, dimana pupuk Urea diberikan 2 gram/tanaman, SP36 5
gram/tanaman dan KCL 5 gram/tanaman (Pracaya, 2001).
3.4.6.4. Penyiangan
Pelaksanaan penyiangan disesuaikan dengan kondisi pertumbuhan gulma yang ada
disekitar medium dalam Polybag. Penyiangan dilakukan dengan cara manual dengan mencabut
gulma yang tumbuh di dalam polybag, dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak perakaran
tanaman cabai.
3.4.6.5. Perempelan
Perempelan merupakan kegiatan pemeliharaan dengan membuang beberapa bagian
tanaman muda. Apabila tidak dilakukan perempelan, tanaman akan mempunyai bentuk yang
kurang baik dan mengurangi kemampuan produksi tanaman. Perempelan dilakukan terhadap
tunas samping yang muncul sebelum pembungaan agar tanaman tumbuh besar terlebih dahulu.
Perempelan dilakukan pada daun-daun tua, bunga pertama dan seluruh tunas yang keluar dari
ketiak daun di bawah percabangan pertama. Perempelan dilakukan pada pagi hari karena tunas
tersebut masih mudah dipotong.
3.4.6.6. Pemasangan turus
Pemasangan turus dilakukan setelah tanaman cabai berumur 30 hari setelah tanam,
dengan jarak kira-kira 10 cm dari batang tanaman. Tanaman cabai memerlukan turus supaya
tidak rebah karena tiupan angin.
3.4.6.7. Pengendalian Hama
Pengendalian hama dilakukan pada pagi hari dengan cara penyemprotan Insektisida
nabati berbahan dasar daun tanaman nimba, dilakukan antara pukul 07001000.
3.4.7. Panen
Panen dilakukan pada pagi hari terhadap buah cabai yang telah memenuhi kriteria panen.
Adapun kriteria panen meliputi warna cabai sudah merah merata dengan bentuk buah padat atau
tidak lunak. Pemanenan dilakukan dengan cara mendorong tangkai buah keatas atau kearah
berlawanan dari tangkai buah. Pemanenan dilakukan 3 hari sekali sampai 6 kali panen.
3.5. Pengamatan
Pengamatan dilakukan menggunakan standar Descriptors for Capsicum (IPGRI, 1995),
parameter yang diamati sebagai berikut :
3.5.1. Umur berbunga (HSS)
Umur berbunga diamati dengan cara menghitung jumlah hari yang di butuhkan tanaman
untuk berbunga, mulai dari persemaian hingga muncul nya bunga pertama. Tanaman cabai
dikatakan sudah mencapai umur berbunga bila 50% dari seluruh sampel telah berbunga.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 1997. Ilmu Penyakit Tumbuhan (Terjemahan). Gadjah Mada Universitas Press.
Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik. 2012. Data Produksi Cabai Nasional. Jakarta
Damayanti, 1993. Manfaat dan Analisis Hara Pupuk Organik. Purwakarta Jakarta.
Dinas Tanaman Pangan Provinsi Riau. 2003. Sekilas Tentang Pengembangan Pupuk Hijau dengan
Peggunaan Trichoderma sp. dalam Meningkatkan Produktivitas Tanaman Pangan.
Pekanbaru.
Hardar, Y.G.E. Harman and A.G. Taylor. 1984. Evaluation Of Trichoderma Koningi and Trichoderma
Harzianum From New York Soil Biological.
IPGRI. 1995. Descriptors for Capsicum (Capsicum spp.). International Plant Genetic Resources Institute
1995. Italia. 51 hal.
Krishnawati, D. 2003. Leguminosa Untuk Kesuburan Tanaman. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Kartini, N.L 2007. Pengaruh Pemberian Pupuk Kompos Terhadap Pertumbuhan Vegetative Tanaman
Cabai Rawit. Skripsi. Fakultas pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Kalie, F. 1995. Bertanam Cabai Pada Musim Hujan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Mardhiansyah, M dan S.M. Widyastuti. 2007. Potensi Trichoderma Spp. Pada Pengomposan Sampah
Organik Sebagai Media Tumbuh dalam Mendukung Daya Hidup Semai Tusam (Pinus Merkusii
Jung. Et de Vries). Sagu 1 (6):29-23.
Mulat, T. 2003. Membuat dan Memanfaatkan
Pustaka. Jakarta.
2010.
Pupuk
Kompos
Mencegah
Pencemaran.
www.
pupukkompos
mencegahpencemaran.or.id/komposleguminosa.htm. Diakses pada tanggal 7 Desember 2013.
Novizan. 2002. Petunjuk Penggunaan Pupuk yang Efektif. Agro Media Pustaka. Jakarta
Prajnanta, F. 1999. Agribisnis Cabai Merah. Penebar Swadaya. Jakarta.
Prajnanta, F, 1999. Budidaya Cabai Rawit Hibrida. Panah Merah.
Prihmantoro, H. 2001. Hidroponik Tanaman Semusim untuk Bisnis dan Hoby. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Puspita,
Puspita, F.,Elfina Y. dan Imelda, R. 2007. Aplikasi Dregs dan Trichoderma Psiodokoningi. Untuk
mengendalikan Ganoderma Boninense Penyebab Penyakit Busuk Pangkal Batang Pada
Kelapa Sawit di Pembibitan Awal. Artikel Ilmiah sudah di Seminarkan ditingkat Nasional,
Yogyakarta, 2008.
Rifai. M.A. 1969. A Revision Of The Ganus Trichoderma. Mycological Paper, No.16. Common Wealth
Mycological Institute Kew, Surrew, England.56 Hal.
Rukmana, R. 1995. Budidaya Cabai Merah Hibrida. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suseno, S. 2002. Cabai dan tingkat Produktivitas nya, Trubus No.319 Th XXVII. Jakarta.
Sutedjo, M,M. 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rina Cipta. Jakarta.
Soepandji, 2002. Teknik Perawatan serta Pengendalian Hama dan Penyakit Cabai. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Steel, R.G.D., dan Torrie,J.H. 1994. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometik.
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Tarmuzi, 1998. Tata Cara Pengolahan Lahan, Penyiapan Bibit, dan Pemanenan Cabai Hibrida.
Penebar Swadaya. Jakarta
Wudianto, 2003. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya. Jakarta.
Wirakusumah, 1999. Teknik Budidaya Tanaman Cabai Beserta Pemeliharaanya. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Yulensri, lucida dan henny. 2007. Kesuburan Tanah. Tim Penulis BKPM Budidaya Tanaman Pangan.
Politeknik Pertanian Payakumbuh. Payakumbuh.
Penelitian
Persiapan Medium
Tanam
Pemberian
Perlakuan
Penanaman ke
polybag
Penyisipan
Pemasangan turus
Pemupukan
anorganik setengah
dosis anjuran
Penyiraman
v
Penyiangan gulma
Pengendalian hama
Panen
Pengamatan
tanaman
Pengolahan data
Maret
2 3 4
April
1 2 3
Lampiran 2. Deskripsi Tanaman Cabai Varietas SSP IPB (Terdaftar No. 65/PVHP/2012)
Asal Tanaman
Produktivitas
Rasa
Panjang buah
Bobot per buah
Waktu tanam
Jarak tanam
Umur pindah tanam
Umur panen
% tumbuh
Umur berkecambah
Kebutuhan benih
Jumlah tanam/ha
U
K4bII
K4aII
K2bIII
K1aII
K1bII
K2aIII
K1bIII
K1aIII
K4bIII
K4aIII
K3bI
K3aI
60 cm
K3bIII
K3aIII
K1aI
K0bIII
K1bI
K0aIII
50 cm
K0bII
K0aII
K4aI
K3bII
K4bI
K3aII
60 cm
Keterangan :
K0, K1, K2, K3, K4
: Perlakuan
I, II, III
: Ulangan
: 50 cm
: 60 cm
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)
Lampiran 6. Cara pembuatan pestisida nabati berbahan dasar daun tanaman nimba
Bahan dan Alat yang digunakan :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
a) Daun nimba sebanyak 50 g ditumbuk halus dan diaduk dengan alcohol 70 % sebanyak 1 cc,
b)
c)
d)
e)
Setelah ditumbuk dan diaduk selanjutnya diencerkan dengan 1 liter air aquades,
Endapkan larutan selama 12 jam dan lakukan penyaringan,
Setelah dilakukan penyaringan, pestisida nabati telah siap di aplikasikan pada tanaman,
Aplikasi mulai terlihat atau bekerja setelah 2 3 hari setelah aplikasi.