13 April 2009
BAB 1 SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI
Kompetensi :
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa dapat memahami sejarah kelahiran dan perkembangan
sosiologi baik di luar negeri maupun di Indonesia.
1.1. Sejarah Perkembangan Sosiologi
Sebagai suatu disiplin akademis yang mandiri, sosiologi masih berumur relatif muda yaitu
kurang dari 200 tahun. Istilah sosiologi untuk pertama kali diciptakan oleh Auguste Comte dan
oleh karenanya Comte sering disebut sebagai bapak sosiologi. Istilah sosiologi ia tuliskan dalam
karya utamanya yang pertama, berjudul The Course of Positive Philosophy, yang diterbitkan
dalam tahun 1838. Karyanya mencerminkan suatu komitmen yang kuat terhadap metode ilmiah.
Menurut Comte ilmu sosiologi harus didasarkan pada observasi dan klasifikasi yang sistematis
bukan pada kekuasaan dan spekulasi. Hal ini merupakan pandangan baru pada saat itu.
Di Inggris Herbert Spencer menerbitkan bukunya Principle of Sociology dalam tahun 1876. Ia
menerapkan teeori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar
tentang evolusi sosial yang diterima secara luas beberapa puluh tahun kemudian.
Seorang Amerika Lester F. Ward yang menerbitkan bukunya Dynamic Sociology dalam tahun
1883, menghimbau kemajuan sosial melalui tindakan-tindakan sosial yang cerdik yang harus
diarahkan oleh para sosiolog.
Seorang Perancis, Emile Durkheim menunjukkan pentingnya metodologi ilmiah dalam sosiologi.
Dalam bukunya Rules of Sociological Method yang diterbitkan tahun 1895, menggambarkan
metodologi yang kemudian ia teruskan penelaahannya dalam bukunya berjudul Suicide yang
diterbitkan pada tahun 1897. Buku itu memuat tentang sebab-sebab bunuh diri, pertama-tama ia
merencanakan disain risetnya dan kemudian mengumpulkan sejumlah besar data tentang ciri-ciri
orang yang melakukan bunuh diri dan dari data tersebut ia menarik suatu teori tentang bunuh
diri.
Kuliah-kuliah sosiologi muncul di berbagai universitas sekitar tahun 1890-an. The American
Journal of Sociology memulai publikasinya pada thun 1895 dan The American Sociological
Society (sekarang bernama American Sociological Association) diorganisasikan dalam tahun
1905.
Sosiolog Amerika kebanyakan berasal dari pedesaan dan mereka kebanyakan pula berasal dari
para pekerja sosial; sosiolog Eropa sebagian besar berasal dari bidang-bidang sejarah, ekonomi
politik atau filsafat.
Urbanisasi dan industrialisasi di Amerika pada tahun 1900-an telah menciptakan masalah sosial.
Hal ini mendorong para sosiolog Amerika untuk mencari solusinya. Mereka melihat sosiologi
sebagai pedoman ilmiah untuk kemajuan sosial. Sehingga kemudian ketika terbitnya edisi awal
American Journal of Sociology isinya hanya sedikit yang mengandung artikel atau riset ilmiah,
tetapi banyak berisi tentang peringatan dan nasihat akibat urbanisasi dan industrialisasi. Sebagai
contoh suatu artikel yang terbit di tahun 1903 berjudul The Social Effect of The Eight Hour
Day tidak mengandung data faktual atau eksperimental. Tetapi lebih berisi pada manfaat sosial
Pembagian tersebut dijumapai pula di bidang perniagaan dan pertanian. Lalu melebar pula pada
bidang-bdang kehidupan yg lainnya : hokum, politik, kesenian, dan bahkan keluarga. Tujuan
kajian durkheim ialah untuk memahami fungsi pembagian kerja tersebut, serta untuk mengetahui
factor penyebabnya.
1.4. Perkembangan Sosiologi di Indonesia
Sejak jaman kerajaan di Indonesia sebenarnya para raja dan pemimpin di Indonesia sudah
mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam kebijakannya begitu pula para pujangga Indonesia.
Misalnya saja Ajaran Wulang Reh yang diciptakan oleh Sri PAduka Mangkunegoro dari
Surakarta, mengajarkan tata hubungan antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari
golongan-golongan yang berbeda, banyak mengandung aspek-aspek Sosiologi, terutama dalam
bidang hubungan antar golongan (intergroup relations).
Ko Hajar Dewantoro, pelopor utama pendidikan nasional di Indonesia, memberikan sumbangan
di bidang sosiologi terutama mengenai konsep-konsep kepemimpinan dan kekeluargaan di
Indonesia yang dengan nyata di praktikkan dalam organisasi pendidikan Taman Siswa.
Pada masa penjajahan Belanda ada beberapa karya tulis orang berkebangsaan belanda yang
mengambil masyarakat Indonesai sebagai perhatiannya seperti Snouck Hurgronje, C. Van
Vollenhoven, Ter Haar, Duyvendak dll. Dalam karya mereka tampak unsur-unsur Sosiologi di
dalamnya yang dikupas secara ilmiah tetapi kesemuanya hanya dikupas dalam kerangka non
sosiologis dan tidak sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Sosiologi pada waktu itu
dianggap sebagai Ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain
Sosiologi ketika itu belum dianggap cukup penting dan cukup dewasa untuk dipelajari dan
dipergunakan sebagai ilmu pengetahuan, terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Kuliah-kuliah Sosiologi mulai diberikan sebelum Pernag Dunia ke dua diselenggarakan oleh
Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta. Inipun kuliah Sosiologi masih sebagai
pelengkap bagi pelajaran Ilmu Hukum. Sosiologi yang dikuliahkan sebagin besar bersifat filsafat
Sosial dan Teoritis, berdasarkan hasil karya Alfred Vierkandt, Leopold Von Wiese, Bierens de
Haan, Steinmetz dan sebagainya.
Pada tahun 1934/1935 kuliah-kuliah Sosiologi pada sekolah Tinggi Hukum tersebut malah
ditiadakan. Para Guru Besar yang bertaggung jawab menyusun daftar kuliah berpendapat bahwa
pengetahuan dan bentuk susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya
tidak diperlukan dalam pelajaran hukum.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, seorang sarjana Indonesia
yaitu Soenario Kolopaking, untuk pertama kalinya member kuliah sosiologi (1948) pada
Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta (kemudia menjadi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UGM .
Beliau memberika kuliah dalam bahasa Indonesai ini merupakan suatu yang baru, karena
sebelum perang dunia ke dua semua perguruan tinggi diberikan da;am bahasa Belanda. Pada
Akademi Ilmu Politik tersebut, sosiologi juga dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan dalam
Jurusan Pemerintahan dalam Negeri, hubungan luar negeri dan publisistik. Kemudian
pendidkikan mulai di buka dengan memberikan kesempatan kepara para mahasiswa dan sarjana
untuk belajar di luar negeri sejak tahun 1950, mulailah ada beberapa orang Indonesia yang
memperdalam pengetahuan tentang sosiologi.
Buku Sosiologi mulai diterbitkan sejak satu tahun pecahnya revolus fisik. Buku tersebut berjudul
Sosiologi Indonesai oleh Djody Gondokusumo, memuat tentang beberapa pengertian elementer
dari Sosiologi yang teoritis dan bersifat sebagai Filsafat.
Selanjutnya buku karangan Hassan Shadily dengan judul Sosilogi Untuk Masyarakat Indonesia
yang merupakan merupakan buku pelajaran pertama yang berbahasa Indonesia yang memuat
bahan-bahan sosiologi yang modern.
Para pengajar sosiologi teoritis filosofis lebih banyak mempergunakan terjemahan buku-bukunya
P.J. Bouman, yaitu Algemene Maatschapppijleer dan Sociologie, bergrippen en problemen serta
buku Lysen yang berjudul Individu en Maatschapppij.
Buku-buku Sosiologi lainnya adalah Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas karya Mayor Polak,
seorang warga Negara Indonesia bekas anggota Pangreh Praja Belanda, yang telah mendapat
pelajaran sosiologi sebelum perang dunia kedua pada universitas Leiden di Belanda. Beliau juga
menulis buku berjudul Pengantar Sosiologi Pengetahuan, Hukum dan politik terbit pada tahun
1967. Penulis lainnya Selo Soemardjan menulis buku Social Changes in Yogyakarta pada tahun
1962. Selo Soemardjan bersama Soelaeman Soemardi, menghimpun bagian-bagian terpenting
dari beberapa text book ilmu sosiologi dalam bahasa Inggris yang disertai dengan pengantar
ringkas dalam bahasa Indonesia dirangkum dalam buku Setangkai Bunga Sosiologi terbit tahun
1964.
Dewasa ini telah ada sejumlah Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas Sosial dan politik
atau Fakultas Ilmu Sosial. Sampai saat ini belum ada Universitas yang mngkhususkan sosiologi
dalam suatu fakultas sendiri, namun telah ada Jurusan Sosiologi pada beberapa fakultas Sosial
dan Politik UGM, UI dan UNPAD.
Penelitian-penelitian sosiologi di Indonesai belum mendapat tempat yang sewajarnya, oleh
karena masyarakat masih percaya pada angka-angka yang relative mutlak, sementara sosiologi
tidak akan mungkin melakukan hal-hal yang berlaku mutlak disebkan masing-masing manusia
memiliki kekhususan. Apalagi masyarakat Indonesai merupakan masyarakat majemuk yang
mencakup berates suku.
Pertanyaan :
1. Tesis Weber yang terkenal adalah ada keterkaitan antara Etika Protestan dan Semangat
Kapitalisme. Jelaskan tesis Weber tersebut!
2. Apa sumbangan pemikiran Karl Marx yang penting bagi perkembangan sosiologi? Jelaskan!
13 April 2009
BAB 2 PENGERTIAN DAN OBYEK STUDI SOSIOLOGI
Kompetensi :
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa dapat memahami pengertian, obyek studi, dan
pembagian sosiologi.
2.1. Pengertian Sosiologi
Istilah sosiologi barangkali sudah sering dibicarakan dan didengar orang. Akhir-akhir inipun
ketika terjadi kerusuhan dan konflik di beberapa daerah di Indonesia, banyak analisis di media
yang mengatakan secara sosiologis. Namun demikian tidak banyak orang yang memaknai
istilah sosiologi secara tepat. Akibatnya sedikit pula yang bisa memberi penjelasan istilah
sosiologi dengan benar. Jadi apa sebenarnya penjelasan mengenai hal tersebut?
Kata sosiologi berasal dari kata socius dan logos. Socius berasal dari kata Latin yang berarti
kawan atau berkumpul; dan logos berasal dari kata Yunani yang berarti ilmu atau pelajaraan. Jadi
berdasar asal katanya sosiologi diartikan ilmu tentang hidup bersama atau ilmu tentang
masyarakat. Pengertian yang demikian apakah sudah bisa memberikan penjelasan mengenai
sosiologi? Tentunya pengertian ini belum menjelaskan mengenai apa sosiologi itu.
Dalam banyak literatur istilah sosiologi seringkali diberikan batasan pengertiannya hanya dengan
suatu rumusan yang singkat dan pendek. Akibatnya rumusan pendek dan singkat ini kurang dapat
dimengerti dan kurang memberikan penjelasan sebagaimana yang diharapakan.
Beberapa contoh definisi sosiologi yang bisa dikemukakan yaitu :
1. Roucek dan Warren :
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.
2. William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff :
Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi
sosial.
3. JAA Van Doorn dan CJ Lamners :
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan
yang bersifat stabil.
4. Mac Iver :
Sociologi is about social relationship, a network of relationship we call society
5. Gillin dan Gillin :
Sociology is the study of interaction arising from the association of living beings.
6. Ogburn :
Sociology is a body of learning about society
7. Bogardus :
Sociology is definied as study of the ways in which social experiences function in developing,
maturiting, repressing human beings through inter-personal stimulation.
8. Cuber :
Sociology is defined as a body of scientifict knowledge about human relationships.
9. Kimball Young :
Sociology deals with behavior of men
10. Ginsberg :
Sociology is the study of human interaction, interactions, their interactions and consequences.
11. Giddings :
Sociology is a science of social phenomena.
Definisi di atas merupakan beberapa dari banyak definisi yang diberikan oleh para ahli sosiologi.
Hal yang pasti dari definisi yang umumnya pendek dan singkat kadang-kadang tidak banyak
kejelasan yang diperoleh. Selain tidak jelas, definisi tersebut kadang-kadang pula belum
menunjukkan batasan-batasan antara sosiologi dengan ilmu-ilmu sosial lain yang juga melihat
masyarakat sebagai obyek studinya.
Definisi yang cukup memadai dan bisa dijadikan acuan antara lain yang dikemukakan oleh
Waters dan Crook (1990), yang menyatakan :Sociology is the systematic analysis of the structure
of social behavior.
Dari definisi Waters dan Crook di atas setidaknya terdapat empat elemen penting, yang
memberikan bukan saja penjelasan mengenai apa sosiologi itu, tetapi juga batas-batas yang
membedakannya dari ilmu-ilmu sosial lain.
Pertama, sosiologi mempelajari perilaku, tetapi perilaku yang dikaji adalah perilaku dalam
karakter sosial, bukan individual. Perilaku berkarakter sosial merupakan perilaku yang ditujukan
bagi orang lain dan bukan bagi dirinya sendiri, serta memiliki konsekuensi bagi orang lain, atau
perilaku itu merupakan konsekuensi dari orang lain. Jadi di sini ada hubungan timbal balik antara
satu orang dengan orang lainnya.
Kedua : perilaku sosial yang dipelajari oleh sosiologi itu adalah perilaku yang berstruktur.
Struktur menunjuk pada adanya pola (pattern) atau menunjuk aadaanya keteraturan tertentu.
Suatu perilaku itu berstruktur jika terdapat pola atau keteraturan tertentu. Suatu perilaku sosial
yang hanya terjadi sekali saja dan kemduian tidak terjadi lagi, bukanlah merupakan bidang
kajians sosiologi. Sosiologi tidaklah semata-mata hanya menjelaskan secara deskriptif suatu
perilaku sosial, tetapi lebih dari itu, sosiologi berupaya menjelaskan dan berusahaa memahami
kaitan antara elemen-elemen perilaku sosial.
Ketiga : penjelasan sosiologi itu bersifat analitis. Setiap ilmu pengetahuan senantiasa terdiri dari
(1) content / the body of knowledge atau substansi dari ilmu pengetahuan itu dan (2) methods /
procedures atau tata cara bagaimana substansi pengetahuan itu diperoleh secara sistematis. Ini
berarti bahwa dalam sosiologi terdapat pula prinsip-prinsip metodologis yang diterapkan dalam
menjelaskan perilaku sosial tersebut, dan bukan berdasarkan pada konsensus atau kesepakatan
yang berlaku khusus. Terdapat kaidah atau prinsip metodologi penelitian tertentu yang digunakan
untuk menjelaskan perilaku sosial dalam sosiologi.
Keempat : penjelasan sosiologi bersifat sistematis. Ini berarti bahwa dalam memahami perilaku
sosial sosiologi merupakan suatu disiplin ilmu yang mengikuti tatanan atau aturan-aturan yang
dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
13 April 2009
BAB 3 PERSPEKTIF /TEORI UTAMA DALAM SOSIOLOGI
Kompetensi :
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa dapat memahami beberapa teori/perspektif utama dalam
soiologi.
Untuk menelaah sesuatu kita harus mulai dengan membuat beberapa asumsi tentang sifat-sifat
yang akan kita pelajari. Misalnya menurut orang-orang Yunani Kuno alam semesta
beroperasi/berjalan sesuai dengan perilaku para dewa. Sebaliknya para ilmuwan berasumsi
bahwa alam semesta bersifat tertib dan berjalan menurut cara-cara yang teratur. Oleh karena itu
Newton mengembangkan hukum gaya berat setelah mengamati bahwa apel selalu jatuh ke
bawah, tidak pernah ke atas. Seperangkat asumsi kerja disebut suatu perspektif atau suatu
pendekatan atau teori. Perspektif-perspektif apa yang dipakai dalam sosiologi ?
3.1. Perspektif Teori Evolusi
Perspektif teori evolusi merupakan perspektif teoritis yang paling awal dalam sosiologi.
Perspkektif evolusi pada umumnya dihubungkan dengan konsep biologi dan memusatkan
perhatiannya pada perubahan-perubahan jangka panjang. Perspektif teori evolusi melihat
masyarakat, seperti organisme hidup, mengalami perkembangan melalui tahap-tahap menuju
suatu kondisi yang kompleks.
Banyak para ahli sosiologi pada awal perkembangan ilmu ini dan juga sesudahnya,
menggunakan perspketif teori evolusi dalam memahami masyarakat. Para ahli sosiologi seperti
Auguste Comte dan Herbert Spencer serta beberapa ahli lain pada awal perkembangan sosiologi,
menggunakan perspektif ini dalam melihat masyarakat, yang melihat evolusi sama dengan
perkembangan dan langkah menuju kondisi yang lebih baik. Para ahli ini meyakini bahwa seleksi
alam akan dengan sendirinya menggeser untuk kemudian merusak masyarakat yang lemah
karena tidak mampu beradaptasi, dan sebaliknya, suatu masyarakat yang kuat akan tetap hidup
karena mampu melakukan adaptasi. Masyarakat yang kuat akan tetap lestari karena masyarakat
yang demikian lebih baik dari pada masyarakat yang lemah. Ini menjadi alasan bagi para ahli
sosiologi dari perspektif ini seperti Spencer untuk menolak adanya campur tangan untuk
melindungi masyarakat yang lemah maupun menolak untuk mempengaruhi proses evolusi yang
berlangsung secara alamiah.
Dalam beberapa dasawarsa perspektif ini kurang mendapat perhatian, namun akhir-akhir ini
perspektif evolusi ini kembali berperan. Para ahli sosiologi penganut evolusi dewasa ini pada
umumnya berpandangan bahwa evolusi merupakan proses yang menghasilkan suatu perubahan,
tetapi mereka tidak beranggapan bahwa perubahan itu akan menghasilkan sesuatu yang lebih
baik. Meskipun mereka bersepakat bahwa masyarakat senantaiasa berkembang menjadi lebih
kompleks, tetapi mereka tidak menyatakan bahwa kompleksitas suatu masyarakat yang tinggi
akan menghasilkan sesuatu yang baik, atau sebaliknya menghasilkan sesuatu yang buruk.
Misalnya masuknya telepon dalam suatu masyarakat dapat dipandang sebagai suatu bentuk
teknologi yang maju dan membuat masyarakat kian kompleks. Hadirnya kotak ajaib (televisi)
dapat dipandang sebagai hal yang baik, misalnya dengan mudah orang dapat mengetahui
informasi atau berita dari tempat yang dengan cepat dan dapat pula menyaksikan gambar, tetapi
televisi dapat juga dipandang sebagai gangguan, misalnya bisa mengganggu konsentrasi dalam
bekerja dan juga dapat melihat datangnya bahaya. Dalam masyarakat, lembaga pemerintahan
memiliki fungsi utama menegakkan peraturan, sedangkan fungsi lanjutannya adalah
menggerakkan roda perekonomian, menarik pajak, menyediakan berbagai fasilitas sosial dan
sebagainya.
Menurut pandangan Robert Merton salah satu tokoh perspektif ini, suatu sistem sosial dapat
memiliki dua fungsi yaitu fungsi manifest, yaitu fungsi yang diharapkan dan diakui, serta fungsi
laten, yaitu fungsi yang tidak diharapkan dan tidak diakui. Lembaga pendidikan sekolah taman
kanak-kanak misalnya memiliki fungsi manifes untuk memberikan dasar-dasar pendidikan bagi
anak sebelum ke jenjang sekolah dasar. Fungsi latennya, memberi pekerjaan bagi guru TK,
membantu orang tua mengasuh anak selagi orang tuanya bekerja dan sebagainya.
Dalam pandangan Robert Merton, tidak semua hal dalam sistem selalu fungsional, artinya tidak
semua hal selalu memelihara kelangsungan sistem. Beberapa hal telah menyebabkan terjadinya
ketidakstabilan dalam sistem, bahkan dapat saja menyebabkan rusaknya sistem. Ini oleh Merton
disebut dengan disfungsi. Misalnya tingkat interaksi yang tinggi dan kaku dalam keluarga dapat
menghasilkan disfungsi, antara lain dalam bentuk kekerasan dan perlakuan kasar atau penyiksaan
pada anak.
Para penganut perspektif struktural fungsional ini berusaha untuk mengetahui bagian-bagian atau
komponen-komponen dari suatu sistem dan berusaha memahami bagaimana bagian-bagian ini
saling berhubungan satu sama lain suatu susunan dari bagian-bagian tersebut dengan melihat
fungsi manifes maupun fungsi latennya. Kemudian mereka melakukan analisis mengenai
manakah yang memberiu sumbangan bagi terciptanya kelestarian sistem dan manakah yang
justru menyebabkan kerusakan pada sistem. Dalam hal ini dapat saja suatu komponen menjadi
fungsional dalam suatu sistem, tetapi menjadi tidak fungsional bagi sistem yang lain. Misalnya
ketaatan pada suatu agama merupakan sesuatu yang fungsional dalam pembinaan umat
beragama, tetapi tidak fungsional bagi pengembangan persatuan berbagai etnik yang beragam
agamanya.
Dalam pandangan perspektif struktural fungsional ini, suatu sistem sosial eksis karena sistem
sosial itu menjalankan fungsinya yang berguna bagi masyarakat. Pusat perhatian perspektif ini
juga tertuju pada masalah tatanan (order) dan stabilitas, yang karena perhatiannya pada hal ini
mereka dikritik mempertahankan status-quo. Karena perhatiannya tertuju pada keseimbangan
dan kelsetarian sistem, perspektif ini juga sering dikritik mengabaikan proses perubahan yang
terjadi dalam sistem sosial.
3.3. Perspkektif Teori Konflik
Perspektif teori konflik juga memiliki akar pemikiraan pada pemikiran beberapa ahli sosiologi
klasik terutama pada Karl Marx. Meskipun demikian, para ahli dari perspektif teori konflik
modern juga banyak memberi sumbangan pemikiran, terutama dari John Stuart Mill, Ralph
Dahrendorf, Lewis Coser dan sebagainya. Dalam pandangan para ahli dari perspektif teori
konflik ini masyarakat akan dapat dengan tepat dianalisis jika menggunakan konsep kekuasaan
(power) dan konflik.
Karl Marx memulainya dengan suatu asumsi dasar yang sederhana, yaitu struktur dari
masyarakat ditentukan oleh organisasi ekonomi, terutama pada pemilikan barang produksi
(ownership of poverty). Dogma agama, nilai-nilai budaya, kepercayaan individual, susunan dan
struktur lembaga-lembaga dalam masyarakat, semuanya secara mendasar merupakan refleksi
dari organisasi ekonomi yang ada dalam masyarakat. Menyatu dalam sistem ekonomi,
kesenjangan dalam pemilikan barang produksi telah mendorong mendorong terjadinya konflik
antar kelas secara revolusioner. Kelas yang tidak menguasai alat produksi telah menjadi kelas
yang dieksploitasi, senantaiasa berjuang memperbaiki posisi mereka yang rendah dan tertindas
dan secara revolusi mereka melawan kelas yang dominan dalam penguasaaan faktor produksi.
Dalam pandangan Marx, cerita sejarah tentang manusia tidak lain adalah cerita tentang
perjuangan kelas antara para pemilik alat produksi dengan para buruh yang tidak menguasai alat
produksi, antara yang didominasi melawan yang mendiminasi atau antara yang memiliki
kekuasaan dengan yang tidak memiliki kekuasaan.
Para ahli perspektif teori konflik masa kini melihat bahwa konflik merupakan fenomena yang
senantiasa ada dalam kehidupan sosial dan sebagai hasilnya, masyarakat senantiasa berada dalam
perubahan yang terus menerus. Berbeda dengan Marx, para ahli sosiologi perspektif konflik
masa kini jarang yang melihat konflik senantaiasa merupakan refleksi dari organisasi ekonomi
maupun kepemilikan (ownership). Konflik dalam pandaangan para ahli perspektif konflik masa
kini , meliputi bidang yang luas di mana terjadi pertentangan dari berbagai kepentingan dan
kelompok dalam masyarakat. Jadi konflik bukan hanya antara pemilik modal dengan para buruh
seperti dikemukakan oleh Marx, tetapi juga meliputi pertentangan antara orang muda dengan
orang tua, antara pria dan wanita, antara satu etnis atau ras tertentu dengan etnis atau ras tertentu
sebagaimana antara pemilik modal dengan para buruh. Konflik ini disebabkan karena sesuatu
yang dihargai dalam masyarakat (kekuasaan, ilmu pengetahuan, tanah, uang dan sebagainya)
tidak terdistribusi merata dan tidak semua orang dapat memperolehnya secara sama. Sesuatu
yang bernilai itu merupakan komoditas yang terbatas, sedangkan permintaan (demand) akan hal
itu lebih besar dari penawaran (supply) yang ada dalam masyarakat. Oleh sebab itu barang siapa
dapat memiliki atau mengontrol barang dan jasa yang bernilai dalam masyarakat, akan
cenderung mempertahankan dan melindungi kepentingannyaa terhadap usaha pihak lain untuk
merebutnya.
Dalam pandangan yang demikian, konflik tidak selalu berarti perang, kekerasan dan sejenisnya.
Konflik menunjuk pada perjuangan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang dilakukan
setiap anggota masyarakat untuk berusaha mempertahankan, meningkatkan dan menjaga posisi
sosial mereka dalam kehidupan sehari-hari. Konflik juga tidak dilihat sebagai proses yang
destruktif (merusak) yang akan embawa paada kondisi ketidak-terauran (disorder) dan pecahnya
masyarakat. Beberapa ahli perspektif teori konflik modern misalnya Dahrendorf dan Lewis
Coser bahkan melihat adanya peranan konflik dalam menciptakan integrasi, yang ditandai oleh
adanya kekuatan yang menyumbang terjadinya keteraturan dan stabilitas. Bagaimana konflik
memeiliki peran integratif dapat dipahami dengan melihat bahwa semua orang memiliki
kepentingan yang sama akan bekerja sama untuk berusaha mencapainya agar keuntungan dapat
diraih bersama. Konflik antar ras misalnyaa dapat menjadi pengikat kebrsamaan dalam suatu ras
tertentu, mengabaikan perbedaan-perbedaan diantara mereka sendiri.
Teori ini berbeda dengan dari struktural fungsional. Jika teori struktural fungsional melihat
masyarakat sebagai suatu sistem yang senantiasa dalam keadaan ekulibrium atau kesimbangan,
teeori konflik sebaliknya, melihat masyarakat sebagai arena bagi terjadinya pertentangan yang
terus menerus dan terjadi perubahan-perubahan. Teori struktural fungsional melihat proses sosial
merupakan proses yang terus menerus dengan mengembangkan keselarasan (harmony),
sebaliknya teori konflik melihat proses sosial sebagi proses perjuangan yang terus menerus
menuju sasarannya. Teeori struktural fungsional melihat masyarakat pada adsarnya berlandaskan
pada konsensus, terintegrasi dan statis, di lain pihak teori konflik melihat masyarakat itu pada
dasarnya ditandai oleh adanya paksaan, pertentangan dan perubahan yang terus menerus. Jika
teori struktural fungsional dikritik karena terlalu menekankan pada stabilitas dan status quo serta
mengabaikan perubahan, sebaliknya teori konflik dikritik karena terlalu kontroversial dan terlalu
berlebihan dalam melihat keteraturan atas dasar paksaan.
3.4. Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik
Tokoh utama perspketif ini diabngun oleh George Herbert Mead, William Issac Thomas, dan
John Dewey, TH. Cooley. Perbedaan utama perspektif ini dengan perspektif terdahulu terletak
pada ukuran dari unit yang dipakai dalam analisis dan penelitian. Jika teori evolusi, struktural
fungsional, maupun konflik terletak pada ukuran dari unit yang dipakai dalam analisis dan
penelitian. Jika teori evolusi, strukturaal fungsional maupun konflik berada pada tataran
sosiologi makro, yang melihat masyarakat sebagai suatu susunan yang besar : organisasinya,
lembaga-lembaganya, kelas-kelas sosial dans ebagainya, maka perspektif teori interaksionisme
simbolik berada pada tataran mikro sosiologi, yang mremusatkan perhatiannya pada individu
dalam masyarakat dan definisi situasi, makna, peran, pola interaksi yang dibuat individu. Meski
antar berbagai perspektif kedua tataran ini kadang terjadi tumpang tindih (overlap), tetpai
padaadsarnya terdapat perbedaan asumsi dan teori yang mendasar diantara keduanya.
Bagi perspektif interaksionisme simbolik yang penting bagi sosiologi adalah memahami
bagaimana individu mempengaruhi dan sebaliknya mempengaruhi juga dipengaruhi oleh
masyarakat. Perspektif ini berasumsi bahwa masyarakat itu terdiri dari individu-individu yang
telah mengalami proses sosialisasi dan eksistensi serta strukturnya nampak dan terbentuk melalui
interaksi sosial yang berlangsung diantara individu dalam masyarakat tersebut dalam tingkatan
simbolik
Dalam perspektif ini sesuatu yang penting pada penggunaan simbol. Untuk memperjelas makna
simbol dapat dijelaskan dengan contoh, misalnya seseorang yang mengendarai mobil di
perempatan yang ada lampu pengatur lalu lintas yang menyala adalah MERAH, maka iapun
berhenti, padahal yang ada di hadapannya bukanlah obyek fisik yang dapat menghalanginya.
Berhentinya seseorang di lampu merah jelas karena ia telah belajar, telah tahu bahwa lampu
merah adalah pertanda atau simbol bahwa ia harus berhenti. Contoh lain adalah, seorang laki-laki
yang mengulurkan tangannya merupakan tanda bersahabat, akan tetapi kalau ia mengepalkan
tangannya tentu bermakna sebaliknya. Dalam kehidupan yang nyata kegagalan merumuskan
situasi perilaku secara benar dapat menimbulkan akibat-akibat yang kurang menyenangkan atau
malah bisa berakibat fatal.
Sebagaimana dituangkapkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam buku mereka
Social Construction of Reality (1966) yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia Tafsir Sosial
Atas Kenyataan (1990). Masyarakat merupakan kenyataan obyektif dalam arti orang, kelompok,
dan lembaga-lembaga adalah nyata. Akan tetapi, masyarakat adalah juga suatu kenyataan
subyektif dalam arti bagi setiap orang, atau lembaga-lembaga lain tergantung pada pandangan
subyektif orang tersebut. Apakah sebagain orang sangat baik atau jahat, apakah polisi pelindung
atau penindas masyarakat, apakah perusahaan swasta melayani kepentingan umum atau pribadiini adalah persepsi yang mereka bentuk dari pengalaman-pengalaman mereka sendiri dan
persepsi ini merupakan kenyataan bagi mereka yang memberikan penilaian tersebut. Dalam
hal ini perspektif interaksionisme simbolik memulainya dengan konsep diri (self), diri dalam
hubungannya dengan orang lain dan diri dan orang lain itu dalam konteks sosial yang lebih luas.
Dalam konteks sosial inilah dapat dipahami mengapa seseorang memiliki anggapan negatif
terhadap lainnya, mengapa lebih mudah bergaul dengan seseorang dari pada lainnya maupun
mengapa lebih enak berada diantara orang-orang yang sudah dikenal dari pada diantara orangorang yang belum dikenal. Jadi dalam hal ini perspektif interasionisme simbolik memahami
individu dalam konteks sosialnya, melalui pemahaman lingkungan sosial (social setting), dari
sinilah kemudian dapat dipahami interaksinya, nilai-nilainya, misalnya pantas-tidak pantas, baikburuk dan sebagainya.
3.5. Perspektif Teori Pertukaran
Perspektif teori pertukaran pada dasarnya memiliki akar pemikiran yang beerbeda dari perspektif
yang lain, di mana perspektif ini bersumber dari pemikiran ekonomi, antropologi, psikologi,
maupun sosiologi. Perspektif ini berdasarkan pada anggapan bahwa kehidupan pada dasarnya
adalah serangkaian pertukaran yang di dalamnya terdapat keuntungan dan kerugian. Dalam
lapangan ekonomi, orang saling mempertukarkn uang, barang, jasa untuk mendapatkan
keuntungan, setidaknya tidak mengalami kerugian dalam pertukaran itu. Secara antropologis,
psikologis maupun sosiologis, hal yang dipertukarkan meliputi pula baik faktor fisik maupun
faktor sosial. Misalnya agar dapat mempererat persahabatan, orang mengundang orang lain
makan malam dan sebagainya. Pekerjaan, pemberian, gagasan, uang, perhatian adalah sesuatu
yang dimiliki orang untuk dipertukarkan dengan orang lain.
Teori pertukaran sosial berupaya memhami mengapa suatu tingkah laku terjadi dalam suatu
situasi struktural tertentu dan dalam situasi dimana kemungkinan untuk berinteraksi terjadi.
Misalnya mengapa perempuan cenderung menikah dengan laki-laki dengan status sosial yang
lebih tinggi, bukan sebaliknya laki-laki dengan status sosial yang rendah dengan perempuan
berstatus sosial lebih tinggi. Perspektif teori pertukaran berupaya memahami hal ini dengan
melihat kualitas yang diinginkan oleh laki-laki dan oleh perempuan yang dapat saling
dipertukarkan. Dalam suatu masyarakat, mungkin pekerjaan yang baik dan memiliki kekayaan
melimpah merupakan hal yang diinginkan oleh perempuan dari seorang laki-laki, sedangkan bagi
laki-laki barangkali kecantikan dan kondisi fisik yang sempurna yang diinginkan. Jadi dalam
situasi sosial yang demikian dapat dipahami mengapa perempuan yang cantik dari status sosial
yang rendah akan mempertukarkan kecantikan yang dimilikinya itu dengan harta dan
masa depan yang dimiliki oleh laki-laki dari staatus sosial ekonomi lebih tinggi, demikian pula
sebaliknya bagi laki-laki, mungkin baginya akan membanggakan dirinya menggandeng istri yang
cantik.
Perspektif teori pertukaran ini berasumsi bahwa orang selalu berupaya mendapatkan status,
berusaha mendapatkan ganjaran (reward), menjalin hubungan yang lebih baik dan berupaya
untuk menghindari atau mengurangi seminimal mungkin biaya atau kerugian, hukuman uyang
diperolehnya. Menghadapi serangkain alternatif yang ada, setiap orang akan memilih pilihan
yang memberi keuntungan terbesar, ganjaran terbesar, keamanan tertinggi dan pada saay yang
sama menghindari resiko, mengurangi kerugian dan menghindari hal yang tidak aman. Jika
kerugian lebih besra dari perolehan maka orang akan merasa tidak suka, marah, dan tidak
nyaman, sebaliknyaaaaaa jika perolehan lebih besar dari kerugian maka akan merasa enak,
nyaman, dan suka. Agar pihak-pihak dalam pertukaran itu sama-sama merasakan keuntungan,
maka interaksi sosial harus dilakukan dalam mewujudkan pertukaran yang seimbang, yaitu suatu
perasaan bahwa masing-masing mendapatkan sesuatu yang lebih besar dari kerugiannya.
Terdapat dua aliran dalam perspektif teori pertukaran ini. Aliran yang pertama adalah aliran
dengan tokohnya George Homans. Homans merupakan salah satu ahli yang mewakili aliran teori
pertukaran yang bersifat psikologis (behavioral psichology), yang melihat perilaku dapat
dijelaskan dalam kaitannya dengan ganjaran dan hukuman. Aliran teori ini memusatkan
perhatiannya pada perilaku yang terjadi (actual behavior), bukan pada proses yang dapat dilacak
dari perilaku yang terjadi itu, karena proses itu tidaklah dapat diamati. Dalam pertukaran sosial,
13 April 2009
BAB 4 METODE SOSIOLOGI
Kompetensi :
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa dapat memahami metode-metode yang sering dipakai
dalam sosiologi.
Sosiologi sebagaimana ilmu-ilmu sosial lainnya, lahir, tumbuh dan berkembang. Untuk itu perlu
dilakukan kegiatan yang dinamakan penelitian sosial. Melalui penelitian sosial.,ini para ahli
sosiologi mengumpulkan data yang dapat menambah pengetahuan mengesai sasaran perhatian
mereka, yakni masyarakat.Melalui penelitian sosial para ahli sosiologimenemukan fakta baru
yang memperluas cakrawala serta memperdalam pemahaman kita sehingga merupakan
sumbangan ke arah pengembangan sosiologi.
Cara untuk menghasilkan temuan-temuan baru dalam sosiologi, para ahli perlu memperhatikan
tahap penelitian. Walaupun jumlah serta jenis tahap yg dijabarkan dalam berbagai buku penuntun
metode penelitian tidak selalu sama, namun dalam kebanyakn buku tersebut dijumpai beberapa
tahap yg dianggap pokok, yaitu tahap:
1. perumusan masalah
2. penyusunan disain penelitian
3. pengumpulan data
4. analisis data
5. penulisan laporan peneltian
4.1. Perumusan Masalah
Ilmu Sosiologi semakin berkembang berkat hasil pemikiran dan hasil penelitian sejumlah ahli
besar sosiologi, terutama mereka yg telah berhasil mengungkapkan temuan-temuan baru.
Sebelum memulai suatu penelitian, seorang ahli sosiologi terlebih dahulu melakukan tinjauan
pustaka (literature review), yaitu tinjauan terhadap bahan-bahan pustaka yang ada di bidang yang
bersangkutan agar dapat mengetahui temuan-temuan apa sajakah yang sebelumnya pernah
dilakukan oleh ahli sosiologi lain.Seseorang yang ingin meneliti masalah sosiologi agama
misalnya, paling tidak perlu mengenal tulisan tokoh klasik seperti Emile Durkheim dan Max
Weber, maupun tokoh masa kini seperti Robert Bellah, Peter Berger. Mereka yang ingin meneliti
masalah sosiologi pedesaan perlu membaca tulisan ilmuwan seperti Selo Soemardjan,
Koentjaraningrat, Loekman Soetrisno.
Kadang-kadang seorang peneliti melakukan penelitian terhadap obyek tertentu tanpa terlalu
memperhatikan hasil karya sosiologi lain yang berkecimpung dalam bidang yang sama.Mungkin
saja beberapa orang peneliti melakukan kegiatan penelitian serupa, tanpa saling mengetahui
kegiatan masing-masing. Kemudian masing-masing merasa ia melakukan sesuatu yang asli,
menemukan sesuatu yang baru. Misalnya saja, selama tujuh tahun, baik Luc Montagnier dari
Institut Pasteur di Paris maupun Gallo dari Institut kesehatan Nasional AS di Bethesda,
Maryland, masing-masing bersiteguh bahwa ialah yang pertama kali menemukan virus HIV yang
menjadi penyebab penyakit AIDS. Semula tercapai kata sepakat bahwa kedua-duanya berhak
mendapat penghargaan sebagai penemu virus HIV, tetapi kemudian Gallo dituduh telah
melakukan kecurangan.
Kemungkinan lain seseorang merasa telah menemukan sesuatu yang sebenarnya sudah
ditemukan oleh ahli lain terdahulu. Masalah ini banyak ditemui dalam masyarakat yang sedang
berkembang di mana sarana komunikasi ilmiah seperti perpustakaan, buku, majalah, makalah
ilmiah masih langka dan tradisi tukar menukar informasi ilmiah masih lemah, sehingga seorang
ilmuwan seolah-seolah bekerja sendiri secara terisolasi. Suatu penelitian diawali dengan suatu
masalah penelitian, tidak selalu berarti masalah sosial. Sebagai contoh Durkheim tertarik pada
gejala bunuh diri, yang dirumuskan sebagai "semua kasus kematian yang secara langsung
ataupun tidak langsung dihasilkan oleh suatu tindak posistif atau negatif si korban sendiri, yang
diketahuinya kan membawa hasil tesebut." Pertanyaan penelitian Durkheim adalah faktor sosial
apakah yang mempengaruhi angka bunuh diri dalam masyarakat? Kenapa angka tersebut
berbeda antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya? Dan kenapa angka bunuh diri
dalam masyarakat dapat berubah? Penelitian tersebut mengkaji data bunuh diri di berbagai
wilayah di Eropa kemudian menghasilkan karyanya yang terkenal SUICIDE (1968)
4.2. Penyusunan Disain
Setelah pertanyaan penelitian dirumuskan sehingga si peneliti mempunyai suatu gambaran
mengenai apa yang hendak diketahuinya melalui peneliitian, maka ia harus menemukan metode
penelitian.
Jenis penelitian yang dimaksud terdiri atas :
4.3.1. Survai
Survai adalah sutu jenis penelitian yang mana di dalamnya hal yang hendak diketahui oleh
peneliti dituangkan dalam suatu daftar pertanyaan (questionnaire) baku. Misalnya Karl Max
mengirim daftar pertanyaan ke 25.000 orang buruh di Perancis, dan Max Weber pun dikabarkan
melakukan teknik survei dalam peneltiannya.
Suatu daftar pertanyaan pada umumnya memuat sejumlah pertanyaan yang dikenal dengan nama
pertanyaan tertutup karena subyek penelitian diminta
memilih satu dari sejumlah jawaban yang telah disediakan oleh peneliti. Ada pula jenis daftar
pertanyaan yang bersifat terbuka, yakni pertanyaan yang dijawab secara bebas sesuai dengan
keinginan subyek penelitian.
4.3.2. Pengamatan
Pengamatan (Observation) merupakan suatu metode penelitian nonsurvei. Peneliti mengamati
secara langsung perilaku para subyek penelitiannya. Melalui pengamatan terhadap perilaku
seseorang atau sekelomok orang dalam kurun waktu yang relatif lama, seorang peneliti
memperoleh kesempatan untuk memperoleh banyak data yang bersifat mendalam dan rinci,
dimana suatu hal yang agak sulit dicapai melalui metode survei.
Selain itu, pengamatan juga memungkinkan peneliti untuk merekam perilaku yang wajar, asli,
tidak dibuat-buat, spontan, yang mungkin kurang nampak bila ia menggunakan metode survai.
4.3.3. Riwayat Hidup
Riwayat hidup merupakan suatu teknik pengumpulan data dalam sosiologi yang jarang
digunakan tetapi dianggap dapat mengungkapkan data yang penting mengenai pengalaman
subyektif yang penting bagi pengembangan teori sosiologi. Kajian terhadap riwayat hidup dapat
mengungkapkan data baru yang belum terungkap dengan memakai teknik pengmpulandata
lainnya. Studi Sosiologi yang terkenal yang memakai pendekatan ini adalah tulisan Thomas dan
Znaniecki: The Polish Peasants in Europe dan America. Tulisan lainnya yg menggunakan metode
ini adalah buku yang berjudul The Jack-Roller yang mengisahkan riwayat hidup seseorang yang
disekap dalam rumah tahanan untuk anak nakal.
4.3.4. Studi Kasus
Dalam penelitian dengan memakai teknik studi kasus berbagai segi kehidupan sosial sutu
kelompok sosial menyeluruh. Penelitian studi kasus klasik dalam sosiologi ialah penelitian
Robert S. Lynd dan Helen Merrel Lynd terhadap kehidupan masyarakat sutu kota kecil di AS
bagian tengah yang mereka beri nama samaran Middletown. Tujuan penelitian ini sangat luas
karena mencakup segi pencaharian nafkah, pembentukkan rumah tangga, sosialisasi anak,
penggunaan waktu luang, kegiatan di bidang keagamaan sampai pada keterlibatan dalam
kegiatan komunitas. Hasil penelitan mereka dituangkan dalam dua buku: Middletown: A Study
in Modern American Culture (1929) dan Middletown in Transition: A Study in Cultural Conflict
(1937).
4.3.5. Analisis Isi
Suatu masalah penelitian dapat pula diungkapkan dengan jalan menganalisis isi berbagai
dokumen seperti surat kabar, majalah, dokumen resmi maupun naskah di bidang seni sastra. Data
dari berbagai sumber tersebut dialihkan menjadi suatu bentuk yang dapat dianalisis secara
kuantitatif.
4.3.6. Eksperimen
meskipun teknik eksperimen lebih banyak dijumpai dalam ilmu sosial lain seperti psikologi,
namun dalam hal tertentu kita juga menjuampai eksperimen dalam sosiologi. Salah satu contoh
adalah penelitioan yang dilakukan oleh Michael Wolff. Ia melakukan studi mengenai interaksi
diantara pejalan kaki dikala mereka berpapasan di tengah kota. Dalam eksperimen ini anggota
tim peneliti berjalan lurus ke depan meskipun dari arah berlawanan seorang pejalan kaki lain
berjalan tepat ke arahnya untuk melihat bagaimana reaksi pihak lawan di kala
kedua orang hampir bertabrakan. Dari berbagai reaksi tersebut kemudian disimpulkan adanya
pola tertentu dalam interaksi demikian (gerak tubuh dan gerak tangan tertentu untuk menghindari
kontak fisik, benturan kecil yang kadang-kadang tidak dapat dihindarkan, umpatan manakala
benturan terjadi).
Eksperimen dapat pula terdiri atas perbandingan anatara kelompok yang diberi perlakuan
(experimental group) dan kelompok yang tidak diberi perlakuan (Control Group). Eksperimen
dilakukan terhadap dua kelompok yang anggotanya dianggap mempunyai ciri yang sama.
4.3.7. Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif
Penelitian yang menggunakan metode survai dan sensus menggunakan pendekatan kuantitatif,
karena data yang dikumpulkan dapat diukur, seperti tinggi pendidikan, banyaknya jenis
pekerjaan, besarnya penghasilan warga. Pendekatan ini dapat pula menggunakan metode
penelitian lain seperti eksperimen, penggunaan data yang tersedia atau analisis isi.
Sedangkan pendekatan kualitatif, mengutamakan segi kualitas data. Teknik pengumpulan data
yang digunakan antara lain teknik pengamatan (observasi) serta wawancara mendalam.
4.4. Analisa Data dan Penulisan Hasil Penelitian
Setelah penelitian lapangan selesai, data kemudian diolah dan dianalisis. dalam tahap analisis
data kuantitatif jawaban yang diberikan para subyek suatu penelitian survai dihitung
frekuensinya untuk mencari keteraturan sosial.
Dengan memakai data kuantitatif, peneliti dapat mempelajari ada tidaknya kecenderungan
tertentu dalam masyarakat.
Dalam penelitian kualitatif, teknik analisanya jauh berbeda. Peneliti harus mempelajari beratusratus, dan bahkan mungkin beribu-ribu halaman catatan penelitian yang dibuatnya tiap hari
tatkala dia berada di lapangan, yang secara rinci memuat tidak hanya hasil wawancara mendalam
dengan para subyek penelitian serta orang lain yang berada di tempat penelitian.
Pertanyaan :
1. Dalam sebuah penelitian, peneliti perlu melakukan literature review. Mengapa dan untuk apa
literature review?
2. Kewaspadaan apa yang diperlukan dalam mempergunakan laporan saksi mata sebagai sumber
data ilmiah?
3. Bila anda terlibat/melihat dalam suatu perdebatan sengit di lingkungan mahasiswa, dengarkan
setiap pernyataan yang dikeluarkan, dengan mempertanyakan sbb dalam pikiran : Seberapa jauh
pernyataan itu didasari fakta ilmiah atau dugaan, dongeng, impian? Pada kesimpulan pernyataan
apa saja yang dapat dibenarkan secara ilmiah?
13 April 2009
BAB 5 INTERAKSI SOSIAL
Kompetensi :
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa akan mengetahui interaksi sosial.
5.1 Pengertian
Pengertian interaksi sosial menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang
menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok, maupun
antara orang perorangan dengan kelompok. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai
pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin
berkelahi.
Interaksi sosial tidak selalu ditandai dengan mengadakan kontak muka atau berbicara, tetapi
interaksi sosial bisa terjadi manakala masing-masing sadar akan adanya pihak lain yang
menyebabkan perubahan-perubahan dalam perasaan orang-orang yang bersangkutan, yang
disebabkan misalnya karena bau minyak wangi. Hal itu bisa menimbulkan kesan di dalam fikiran
seseorang, yang kemudian menentukan tindakan apa yang akan dilakukannya.
nterkasi yang terjadi antar kelompok-kelompok manusia, misalnya pada tawuran antar pelajar
satu sekolah dengan sekolah lain, peperangan antar etnis, pertikaian kelompok masyarakat
dengan kelompok masyarakat lain, pertemuan para senat mahasiswa perguruan tinggi se
Indonesia, pertemuan perguruan tinggi dengan pemerintah daerah setempat dll.
Interaksi yang terjadi antar orang perorangan dengan kelompok, misalnya interaksi dosen dengan
mahasiswanya di dalam kelas, interaksi seorang pembicara dalam seminar dengan peserta
seminar dll.
5.2. Syarat-syarat terjadinya interkasi sosial
Interaksi sosial terjadi setidaknya memenuhi dua syarat :
1. Adanya kontak sosial
Secara fisik kontak sosial bisa berarti sebagai kontak yang terjadi hubungan badaniah; sementara
sebagai gejala sosial tidak perlu adanya hubungan badaniah, oleh karena seseorang dapat
mengadakan hubungan dengan fihak lain tanpa menyentuhnya. Misalnya seseorang yang
berbicara melalui telepon, e-mail, surat, radio dll. Bahkan dapat dikatakan bahwa hubungan
badaniah tidak perlu menjadi syarat adanya kontak. Jadi kontak merupakan tahap pertama
terjadinya interaksi sosial. Kontak terjadi misalnya kontak antara suatu pasukan dengan pasukan
musuh. Ini berarti bahwa masing-masing pihak telah mengetahui dan sadar akan kedudukan
masing-masing dan siap untuk bertempur (yang biasanya disebut kontak bersenjata)
2. Sugesti
Sugesti adalah proses mempengaruhi dari seseorang kepada orang lain. Prosesnya akan efektif
apabila penerima sugesti dalam kedudukan lebih rendah, dalam keadaan mental yang tidak
seimbang, atau apabila pemberi sugesti adalah orang yang lebih berwibawa.
3. Identifikasi
Identifikasi adalah kecenderungan untuk menjadi sama dengan orang lain yang menjadi
idolanya. Identifikasi sifatnya lebih mendalam dari imitasi, oleh karena kepribadian seseorang
dapat terbentuk pada proses ini.
4. Simpati
Simpati merupakan proses di mana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Ketertarikan
menyebabkan orang cenderung untuk ingin selalu berhubungan.
Hal-hal tersebut di atas merupakan faktor-faktor minimal yang menjadi dasar bagi
berlangsungnya proses interaksi sosial, walaupun di dalam kenyataannya proses tadi memang
sangat kompleks, sehingga kadang-kadang sulit mengadakan pembedaan tegas antara faktorfaktor tersebut.
5.4. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial
Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition),
pertentangan (conflict). Secara rinci bentuk-bentuk interaksi sosial adalah sebagai berikut :
1. Kerjasama (cooperation)
Kerjasama maerupakan suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia
untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerjasa antara lain : bargaining,
cooptation, coation, dan joint venture.
(a) Bargaining adalah pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa
antara dua organisasi atau lebih
(b) Cooptation adalah suatu penerimaan unsur baru dalam kepemimpinan baru dalam organisasi
atau kehidupan politik
(c) Coalition adalah penggabungan dua organisasi atau lebih untuk mencapai tujuan bersama
(d) Joint venture adalah kerjasama dalam pendirian atau penyelesaian proyek-proyek tertentu.
2. Akomodasi
Akomodasi bisa menunjuk sebagai suatu keadaan atau proses. Akomodasi sebagai suatu proses
adalah usaha untuk meredakan suatu pertentangan, dalam mencapai kestabilan. Akomodasi
sebagai suatu keadaan adalah apabila antara dua kelompok yang saling bertentangan berhenti
tidak bertikai, tetapi masih dalam kondisi bertentangan. Bentuk-bentuk akomodasi antara lain :
(a) Coercion (penggunaan paksaan atau kekerasan)
Adalah suatu akomodasi yang prosesnya dilaksanakan secara paksaan, di mana salah satu pihak
menguasai pihak lain.
(b) Compromise (kompromi)
Adalah suatu akomodasi di mana pihak-pihak yang berlawanan saling mengurangi tuntutannya
dengan mengadakan kesepakatan-kesepakatan (kompromi)
(c) Arbritation (perwasitan)
Adalah penyelesaian melalui pihak ketiga, apabila masing-masing pihak yang bertentangan tidak
mampu menyelesaikan sendiri.
(d) Mediation (mediasi)
Penyelesaian sengketa yang menyerupai arbritation, tetapi pihak ketiga hanya sebagai perantara
dan tidak mempunyai kewenangan mengambil prakarsa.
pribadi, sedangkan persaingan yang tidak bersifat pribadi merupakan persaingan antar kelompok,
misalnya persaingan antara dua perusahaan dalam memperebutkan daerah pemasaran.
6. Pertikaian atau pertentangan
Pertentangan (conflict) adalah usaha menentang pihak lawan dalam mencapai tujuan. Bentukbentuk pertentangan antara lain :
1). Pertentangan pribadi
2). Pertentangan rasial
3). Pertentangan antara kelas-kelas sosial
4). Pertentangan politik
5). Pertentangan yang bersifat internasional
5.5. Interaksi Sosial dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik
Dalam mempelajari interaksi sosial digunakan pendekatan tertentu, yang dikenal dengan nama
interactionist perspektive. Di antara berbagai pendekatan yang digunakan untuk mempelajari
interaksi sosial, dijumpai pendekatan yang dikenal dengan nama symbolic interactionism
(interaksionisme simbolik). Pendekatan ini bersumber pada pemikiran George Herbert Mead.
Dari kata interaksionisme tampak bahwa sasaran pendekatan ini adalah interaksi sosial;
sementara kata simbolik mengacu pada penggunaan simbol-simbol dalam interaksi.
Simbol menurut Leslie White didefinisikan sebagai a thing the value or meaning of which is
bestowed upon by those who use it. Jadi simbol merupakan sesuatu yang nilai atau maknanya
diberikan kepadanya oleh seseorang (mereka) yang mempergunakannya. Menurut White makna
atau nilai tersebut tidak berasal dari atau ditentukan oleh sifat-sifat yang secara instrinsik
terdapat di dalam bentuk fisiknya. Makna suatu simbol, menurut White hanya dapat ditangkap
melalui cara-cara non sensoris; melalui cara-cara simbolis. Misalnya : makna suatu warna
tergantung mereka yang mempergunakannya. Warna merah, misalnya dapat berarti berani (dalam
bendera kita merah berarti berani, putih suci); namun dapat pula berarti komunis (kaum merah);
dapat pula berarti tempat pelacuran (daerah lampu merah). Warna putih berarti suci; dapat pula
berarti berkabung; dapat pula berarti menyerah.
Makna-makna tersebut tidak dapat ditangkap dengan panca indera; sebagaimana dikemukakan
oleh White bahwa makna-makna tersebut tidak ada kaitannya dengan sifat-sifat yang secara
intrinsik terdapat pada warna. Hal yang sama misalnya, air atau benda lain yang dianggap suci.
Kesucian hewan tertentu (misalnya sapi bagi orang India), atau benda lain (seperti air, patung)
tergantung pada makna yang diberikan oleh pihak yang menggunakannya. Jadi kesucian suatu
benda tidak ada hubungannya dengan sifat-sifat intrinsik yang melekat pada benda tersebut.
Herbert Blumer salah seorang penganut pemikiran Mead, berusaha menjabarkan pemikiran
Mead mengenai interaksionisme simbolis. Menurut Blumer pokok pikiran interaksionisme
simbolik ada tiga :
(1) Pertama manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang
dipunyai sesuatu tersebut baginya. Dengan demikian tindakan (act) seorang penganut agama
Hindu di India terhadap seekor sapi (thing) akan berbeda dengan tindakan seseorang penganut
agama Islam di Pakistan, karena masing-masing orang tersebut memiliki makna (meaning)
yang berlainan terhadap sapi.
(2) Kedua Blumer mengemukakan bahwa makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal atau
muncul dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya. Mengapa dalam masyarakat
kita warna merah bermakna berani, dan putih suci? Mengapa orang yang ideologinya radikal
sering disebut kiri? Makna yang diberikan orang pada konsep-konsep merah, putih, kanan, kiri
ini muncul dari interkasi sosial, Keberanian tidak melekat pada warna merah (sebagai telah
disebutkan, dalam konteks warna merah dapat pula diartikan sebagai komunisme atau tempat
pelacuran) dan pandangan ideologis pun tidak ada kaitannya dengan arah kiri atau kanan.
(3) Ketiga Blumer mengemukakan bahwa makna diperlakukan atau diubah melalui suatu proses
penafsiran (interpretative process), yang digunakan orang dalam menghadapi sesuatu yang
dijumpainya. Yang hendak ditekankan Blumer di sini ialah bahwa makna yang muncul dari
interaksi tersebut tidak begitu saja diterima oleh seseorang melainkan ditafsirkan terlebih dahulu.
Apakah seseorang akan menanggapi dengan baik ucapan selamat pagi atau assalamualaikum,
tergantung pada penafsirannya apakah si pemberi salam tersebut beritikad baik ataukah beritikad
buruk.
5.6. Definisi Situasi
Konsep lain yang juga penting diperhatikan dalam pembahasan mengenai interkasi sosial ialah
konsep definisi situasi (the definitiation of the situation) dari William Isac Thomas (1968).
Berbeda dengan pandangan yang mengatakan bahwa interkasi manusia merupakan pemberian
tanggapan (response) terhadap rangsangan (stimulus), maka menurut Thomas seseorang tidak
segera memberikan reaksi manakala ia mendapat rangsangan dari luar. Menurutnya tindakan
seseorang selalu didahului suatu tahap penilaian dan pertimbangan; rangsangan dari luar
diseleksi melalui proses yang dinamakannya definisi atau penafsiran situasi. Dalam proses ini
orang yang bersangkutan memberi makna pada rangsangan yang diterimanya itu. Misalnya
dalam proses ini orang yang memberi salam, maka rangsangan yang berupa ucapan selamat
pagi diseleksi dan diberi makna. Bila menurut definisi situasi seorang gadis ucapan selamat
pagi dari seorang pria yang belum dikenalnya tidak dilandasi itikad baik, ia akan cenderung
memberikan reaksi berupa tindakan yang sesuai dengan penafsirannya-misalnya mengabaikan
salam tersebut.
Dalam kaitannya dengan definisi situasi ini, Thomas terkenal karena ungakpannya : when men
define situations as real, they are real in the consequnces bila orang mendefinisikan situasi
sebagai hal yang nyata, maka konsekuensinya nyata. Yang dimaksudkannya di sini ialah bahwa
definisi situasi yang dibuat orang akan membawa konskeunsi nyata.
Thomas membedakan antara dua macam definisi situasi : definisi situasi yang dibuat secara
spontan oleh individu, dan definisi situasi yang dibuat oleh masyarakat (definisi situasi yang
mengatur interaksi manusia). Definisi situasi dibuat oleh masyarakat keluarga, teman,
komunitas. Thomas melihat adanya persaingan antara kedua macam definisi situasi tersebut.
Menurutnya moralitas yang berwujud aturan atau hukum muncul untuk mengatur kepentingan
pribadi agar tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
Pertanyaan :
1. Mengapa diri disebut sebagai produk interaksi sosial? Jelaskan jawaban anda dengan konsep
diri.
2. Mengapa kadang seseorang merasa perlu bersandiwara dalam berinteraksi dengan orang
lain? Jelaskan jawaban anda dengan menggunakan konsep dramaturgi.
3. Mengapa kadang seseorang tidak segera menjawab, ketika ia kedatangan tamu seorang laki-
laki yang pakai kopiah dan membawa map yang lusuh? Jelaskan jawaban anda menggunakan
konsep definisi situasi!
13 April 2009
BAB 6 SOSIALISASI
Kompetensi :
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa akan mengetahui mengenai sosialisasi.
6.1. Pengertian Sosialisasi
Peter L. Berger mencatat adanya perbedaan penting antara manusia dengan makhluk lain.
Berbeda dengan makhluk lain yang seluruh perilakunya dikendalikan oleh naluri yang diperoleh
sejak awal hidupnya. Sementara hewan tidak perlu menentukan misalnya apa yang harus
dimakannya karena hal itu sudah diatur naluri; manusia harus memutuskan apa yang harus
dimakannya dan kebiasannya yang harus selalu ditegakkannya. (Sunarto, 1993:27). Karena
keputusan yang diambil suatu kelompok dapat berbeda dengan kelompok lain, maka kemudian
dijumpai keanekaragaman kebiasaan dalam soal makanan. Ada kelompok yang makanan
pokoknya nasi, roti, sagu, jagung. Kalau hewan berjenis kelamin berlainan dapat saling
berhubungan karena naluri, sementara manusia mengembangkan kebiasaan mengenai hubungan
laki-laki dan perempuan. Kebiasaan yang berkembang dalam tiap kelompok tersebut kemudian
menghasilkan berbagai macam sistem pernikahan yang berbeda satu sama lain. Kemudian
keseluruhan kebiasaan yang dipunyai manusia tersebut, baik dalam bidang ekonomi,
kekeluargaan, pendidikan, agama, politik dan sebagainya haris dipelajari oleh setiap anggota
baru suatu masyarakat melalui suatu proses yang dinamakan sosialisasi.
Berger mendefinisikan sosialisasi sebagai a process by which a child learns to be a participant
member of society (Sunarto, 1993:27). (proses melalui mana seorang anak belajar menjadi
seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat). Wright mendefinisikan sosialisasi
sebagai proses ketika individu mendapatkan kebudayaan kelompoknya dan menginternalisasikan
(sampai tingkat tertentu) norma-norma sosialnya, sehingga membimbing orang itu untuk
memperhitungkan harapan-harapan orang lain.(Wright, 1988:182). Sosialisasi tidak bersifat
sekaligus/total, dalam arti merupakan proses yang terus berlangsung, bergerak dari masa kanakkanak sampai usia tua. Misalnya beberapa norma, seperti peraturan-peraturan dasar mengenai
makanan dan makan, disampaikan kepada individu sewaktu ia masih kanak-kanak; beberapa
norma lainnya seperti norma pacaran ditangguhkan sampai usia berikutnya (ketika memasuki
usia awal remaja). Beberapa lagi yang lain melibatkan pengajaran yang terus-menerus dan
dilakukan sepanjang kehidupan manusia. Tanggung jawab sosialisasi biasanya di tangan lembaga
atau orang-orang tertentu, tergantung pada aspek-aspek yang harus terlibat. Misalnya, pendidikan
agama diarahkan oleh orang tua sejak kanak-kanak dan oleh ustad setempat atau sekolah taman
kanak-kanak berbasis agama; pendidikan profesi diberikan oleh para spesialis atau lembaga
pendidikan kejuruan ayng berkompeten dalam hal itu, dan lain-lain. Sosialisasi bisa dilakukan
dengan sengaja, maupun terjadi secara tidak disadari ketika individu mengambil petunjuk
mengenai norma-norma sosial tanpa pengajaran khusus mengenai hal itu.
Kemudian apa yang dipelajari seseorang dalam sosialisasi? Menurut sejumlah tokoh sosiologi,
yang diajarkan melalui sosialisasi ialah peranan-peranan. Oleh karena di dalam menjelaskan
sosialisasi, sejumlah tokoh sosiologi menjelaskannya dengan teori peranan (role theory).
6.2. Sosialisasi Menurut Pemikiran Mead
George Herbert Mead mengemukakan teori sosialisasi yang diuraikan dalam bukunya Mind,
Self, Society. Mead mengemukakan tahap-tahap pengembangan diri (self) manusia. Manusia
yang baru lahir belum mempunyai diri. Diri manusia berkembang secara bertahap melalui
interaksi dengan anggota masyarakat lain. Menurut Mead pengembangan diri manusia ini
berlangsung melalui beberapa tahap yaitu tahap play stage, tahap game stage, dan tahap
generalized other.
Menurut Mead setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari peranan-peranan yang ada
dalam masyarakat-suatu proses yang dinamakannya pengambilan peranan (role taking). Dalam
proses ini seseorang belajar untuk mengetahui peranan yang harus dijalankannya serta peranan
yang harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peranan yang ada dalam masyarakat ini
seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain.
Pada tahap pertama, play stage, merupakan suatu tahap di mana seorang anak mulai belajar
mengambil peranan orang-orang yang berada di sekitarnya. Ia mulai menirukan peranan yang
diajlankan orang tuanya atau orang dewasa lain dengan siapa ia sering berinteraksi. Dengan
demikian sering dijumpai ketika anak kecil sedang bermain sering meniru peranan yang
dijalankan oleh ayah, ibu, kakak, nenek, polisi, dokter, guru dan sebagainya. Namun dalam tahap
ini anak belum bisa memahami isi peranan-peranan yang ditirunya. Misalnya seorang anak yang
meniru mengenakan dasi kemudian pura-pura berangkat ke kantor, atau seorang yang berpurapura menjadi polisi, petani, dokter ia belum memahami mengapa ayah pergi ke kantor,
mengapa dokter memeriksa pasien, atau mengapa petani mencangkul.
Pada tahap game stage, seorang anak tidak hanya telah mengetahui peranan yang haruis
dijalankannya, tetapi telah pula mengetahui peranan yang harus dijalankan oleh orang lain
dengan siapa ia berinteraksi. Contoh yang dikemukakan Mead ialah dalam suatu pertandingan :
seorang anak yang bermain dalam suatu pertandingan tidak hanya mengetahui apa yang
diharapkan orang lain darinya, tetapi juga apa yang diharapkan dari orang lain yang ikut bermain
dalam pertandingan tersebut. Misalnya dalam suatu pertandingan sepak bola seorang pemain
bola tahu peranan apa yang sedang ia jalankan, sekaligus juga mengetahui peranan para pemain
lain, wasit, penjaga garis dan sebagainya. Menurut Mead pada tahap ini seseorang telah dapat
mengambil peranan orang lain.
Pada tahap awal sosialisasi interaksi seorang anak biasanya terbatas pada sejumlah kecil orang
lain, biasanya anggota keluarga, terutama ayah ibu. Oleh Mead orang-orang penting dalam
proses sosialisasi ini dinamakan significant others. Pada tahap ketiga seseorang dianggap telah
mampu mengambil peranan-peranan yang dijalankan orang lain dalam masyarakat, mampu
mengambil peran generalized others. Ia telah mampu berinteraksi dengan orang lain dalam
masyarakat karena telah memahami perannya sendiri serta peranan orang lain dengan siapa ia
berinteraksi. Selaku anak ia telah memahami peranan yang dijalankan orang tua, selaku siswa ia
memahami peranan guru, selaku anggota masyarakat ia memahami peranan para tokoh
masyarakat. Menurut Mead orang tersebut telah mempunyai suatu diri. Dari pendapat Mead
tersebut di atas nampak bahwa menurut Mead, diri seseorang terbentuk melalui interaksi dengan
orang lain.
6.3. Sosialisasi Menurut Pemikiran Cooley
Pandangan lain yang juga menekankan pada peranan interaksi dalam proses sosialisasi adalah
Charles H. Cooley. Menurut Cooley konsep diri (self concept) seseorang berlkembang melalui
interaksinya dengan orang lain. Diri yang berlkembang melalui interaksi dengan orang lain oleh
Cooley diberi nama looking-glass self. Ia menamakannya demikian karena ia melihat analogi
antara pembentukan diri seseorang dengan perilaku orang yang sedang bercermin; kalau cermin
memantulkan apa yang terdapat di depannya, maka menurut Cooley diri seseorang pun
memantulkan apa yang dirasakannya sebagai tanggapan masyarakat terhadapnya.
Cooley berpendapat bahwa looking-glass self terbentuk melalui tiga tahap. Pada tahap pertama
seseorang mempunyai persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya. Pada tahap berikut
seseorang mempunyai persepsi mengenai penilain orang lain terhadap penampilannya. Pada
tahap ketiga seseorang mempunyai perasaan terhadap apa yang dirasakannya sebagai penilaian
orang lain terhadapnya itu.
Untuk memahami pandangan Cooley, bisa dicontohkan di sini seorang mahasiswa yang
cenderung memperoleh nilai-nilai rendah (misalnya nilai D atau E) dalam ujian-ujian
semesternya, misalnya menganggap para dosen di jurusannya menganggap bodoh. Ia merasa
bahwa karena ia dinilai bodoh, maka ia merasa pula para dosen kurang menghargainya. Karena
merasa kurang dihargai, mahasiswa tersebut menjadi murung.
Jadi di sini perasaan seseorang mengenai penilaian orang lain terhadap dirinya menentukan
penilaiannya mengenai diri sendiri. Diris eseorang merupakan pencerminan dari penilaian orang
lain (looking-glass self). Dalam kasusu tersebut di atas, pelecehan oleh dosen ini ada dalam
benak si mahasiswa dan mempengaruhi pandangannya mengenai dirinya sendiri, terlepas dari
soal apakah dalam kenyataan para dosen memang berperasaan demikian terhadapnya.
Apa yang terjadi bila seseorang tidak mengalami sosialisasi? Seseorang yang ingin berperan
sebagai anggota masyarakat - agar seseorang mempunyai diri, maka seseorang tidak dapat
berinterkasi dengan orang lain. Hal ini terungkap dari kasus anak-anak ditemukan dalam keadaan
terlantar (feral children). Giddens (1990) mengisahkan kasus anak-anak yang tidak disosialisasi
(Giden menamakan unsocialized children), yaitu seorang anak laki-laki berusia sekitar 11-12
tahun yang pada tahun 1990 ditemukan di desa Saint-Serin , Perancis dan kasus gadis berisia tiga
belas tahun di California, Amerika Serikat yang disekap ayahnya dalam gudang gelap sejak
berusia satu setengah tahun.
Dari kasus di atas terungkap bahwa anak-anak yang ditemukan tersebut tidak berperilaku sebagai
manusia. Mereka tidak dapat berpakaian, buang air kecil dengan tertib, atau berbicara. Mereka
ada yang tidak bisa mengunyah makanan, juga tidak dapat tertawa atau menangis.
6.4. Agen Sosialisasi
Agen sosialisasi merupakan fihak-fihak yang melaksanakan sosialisasi. Ada beberapa agen
sosialisasi utama yaitu : keluarga, kelompok bermain, sekolah, dan media massa.
6.4.1. Keluarga
Peran agen sosialisasi pada tahap awal yaitu keluarga, sangat penting. Banyak ahli berpendapat
bahwa kemampuan-kemampuan tertentu hanya dapat diajarkan pada periode tertentu saja dalam
perkembangan fisik seseorang, artinya proses sosialisasi akan gagal bilamana dilaksanakan
terlambat ataupun terlalu dini.
Agen sosialisasi keluarga terdiri atas orang tua dan saudara kandung. Pada sistem keluarga luas
agen sosialisasi bisa berjumlah lebih banyak dan dapat mencakup nenek, kakek, paman bibi, dan
sebagainya.
Arti penting agen sosialisasi pertama terletak pada pentingnya kemampuan yang diajarkan pada
tahap ini. Untuk dapat berinteraksi dengan significant onthers pada tahap ini seorang bayi belajar
berkomunikasi secara verbal dan nonverbal, di mana ia berkomunikasi tidak saja melalui
pendengaran dan penglihatan tetapi juga melalui pancaindera lain, terutama sentuhan fisik.
5.4.2. Teman bermain
Teman bermain terdiri atas kerabat, tetangga, atau teman sekolah. Pada agen ini seorang anak
mulai belajar meibatkan dirinya dengan orang yang sederajat atau sebaya. Pada tahap ini seorang
anak memasuki game stage-mempelajari aturan yang mengatur peran orang yang kedudukannya
sederajad. Dalam kelompok bermain pula seorang anak mulai belajar nilai-nilai keadilan.
5.4.3. Sekolah
Dalam agen ini seorang mempelajari beberapa hal baru. Sekolah mempersiapkan untuk
penguasaan peran-peran baru di kemudian hari, di kala seseorang tidak tergantung lagi pada
oerang tuanya. Menurut Robert Dreben (dalam Sunarto, 2004:25) selain mengajarkan membaca,
menulis, berhitung sekolah juga mengajarkan kemandirian (indepence), prestasi (achievement),
universalisme (universalism), dan spesifisitas (spesificity).
5.4.4. Media Massa
Media massa terdiri atas media cetak (surat kabar, majalah), dan media elektronik (radio,
televisi) diidentifikasi sebagai agen sosialisasi yang berpengaruh pada perilaku khalayaknya.
Kemajuan teknologi memungkinkan peningkatan kaulitas pesan serta peningkatan frekuensi
terpaan pada masyarakat sehingga memberi peluang pada media massa untuk berperan sebagai
agen sosialisasi yang semakin penting.
Pesan-pesan yang ditayangkan bisa mengarahkan khalayak pada perilaku prososial (yang
cenderung ke arah baik) dan perilaku antisosial (cenderung ke aras perilaku buruk). Beberapa
penayangan adegan kekerasan, pornografi dikhawatirkan bisa meningkatkan perilaku anti sosial
seperti kejahatan meningkat, pelanggaran susila dsb.
5.5. Pola Sosialisasi
Secara singkat bisa dikatakan menurut Jaeger (dalam Sunarto, 2004:31) bahwa sosialisasi bisa
dilakukan melalui cara :
1. Sosialisasi represif (repressive socialization)
Sosialisasi ini menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Cara ini memeiliki
ciri penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan, penekanan pada kepatuhan
anak pada orang tua, penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, non verbal dan berisi
perintah, penekanan titik berat sosialisasi pada orang tua dan pada keinginan orang tua.
2. Sosialisasi Partisipatori (partisipatory socialization)
Dalam pola ini anak diberi imbalan manakala berperilaku baik, hukuman dan imbalan bersifat
simbolik, anak diberi kebebasan, penekanan diletakkan pada interaksi, komunikasi bersifat lisan,
anak menjadi pusat sosialisasi, keperluan anak dianggap penting.
Pertanyaan :
1. Mengapa beberapa orang yang sebenarnya berbakat kadang begitu tidak yakin akan dirinya?
2. Pada masa lalau, agar perbudakan menguntungkan adalah perlu agar budak dibuat merasa
inferior dan merasa hanya cocok menjadi budak. Mengapa demikian? Kemudian sesuai
perkembangan jaman gambaran diri budak-pun berubah. Mengapa demikian?
3. Dapatkah anda mengingat mengenai cermin diri/looking glass self dalam pengalaman anda?
Paparkan perilaku anda, tanggapan orang lain, persepsi anda terhadap tanggapan mereka, dan
perasaan anda tentang persepsi tersebut. Bagaimana kejadian ini mempengaruhi anda?
13 April 2009
BAB 7 KEBUDAYAAN DAN MASYARAKAT
Kompetensi :
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa akan mengetahui mengenai perbedaan kebudayaan dan
masyarakat, etnosentrisme, xenosentrisme, dan relativisme kebudayaan.
7.1. Pengertian Kebudayaan dan Masyarakat
Definisi klasik kebudayaan seperti dikemukakan oleh Edward B. Taylor adalah keseluruhan
kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan
semua kemampuan dan kebiasaan yang lain yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota
masyarakat. Atau secara sederhana bisa dikatakan kebudayaan adalah segala sesuatu yang
dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. (Horton dan
Hunt,1991:58).
Berdasar asal usul katanya kebudayaan berasal dari bhs Sansekerta buddhayah (bentuk jamak).
Bentuk tunggal : buddhi (budi atau akal). Jadi berdasarkan asal usul katanya kebudayaan
diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Dari bahasa Inggris culture
berasal dari bhs Latin (colere) yang artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah
atau bertani. Jadi culture adalah segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan
mengubah alam. (Soekanto, 1990:188).
Selo Sumarjan & Sulaeman Sumardi memberikan pengertian kebudayaan sebagai semua hasil
karya, rasa, cipta dan karsa masyarakat. (Soekanto, 1990:189). Karya (material culture)
menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan
oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat dipergunakan
oleh masyarakat.
Rasa meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah dan nilai-nilai social yang perlu untuk
mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Di dalamnya termasuk misalnya
agama, ideology, kebatinan, kesenian, dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa
manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat.
Cipta (immaterial culture) merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir yang
menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Karsa merupakan kecerdasan dlm menggunakan
karya, rasa dan cipta scr fungsional menghasilkan sesuatau yang bermanfaat bagi manusia
Kebudayaan dapat dibagi ke dalam dua bentuk yaitu kebudayaan materi dan nonmateri.
Kebudayaan nonmaeri terdiri dari kata-kata yang dipergunakan orang, hasil pemikiran,m adat
istiadat, keyakinan, dan kebiasaan yang diikuti anggota masyarakat. Kebuadayaan materi terdiri
atas benda-benda hasilkarya misalnya, alat-alat, mebel, mobil, bangunan ladang yang diolah,
jembatan dsb.
Kebudayaan (culture) sering dicampuradukan dengan masyarakat (society), yang sebenarnya arti
keduanya berbeda. Kebuadayaan adalah sistem nilai dan norma, sementara masyarakat adalah
sekumpulan manusia yang secara relatif mendiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang
mendiami suatu wilayah tertentu, memeliki kebuadayaan yang sama, dan melakukan sebagain
besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang
saling berhubungan satu sama lain. Kebudayaan adalah suatu sistem nilai dan norma yang
terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut.
7.2. Fungsi Kebudayaan bagi Masyarakat
Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam
kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggota-anggotanya seperti kekuatan clam,
maupun kekuatan-kekuatan lainnya di dalam masyarakat itu sendiri yang tidak selalu baik
baginya. Kecuali itu, manusia dan masyarakat memerlukan pula kepuasan, baik di bidang
spiritual maupun materiil. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut di atas, untuk sebagian
besar dipenuhi olch kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri. Dikatakan
sebagian besar oleh karma kemampuan manusia adalah terbatas, dan dengan demikian
kemampuan kebudayaan yang merupakan basil ciptaannya juga terbatas di dalam memenuhi
segala kebutuhan.
Hasil karca masyarakat melahirkan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai
kegunaan utama di Main melindungi masyarakat terhadap lingkungan dalamnya. Teknologi pada
hakikatnya meliputi paling sedikit tujuh unsur, yaitu:
1. alat-alat produktif,
2. senjata,
3. wadah,
4. makanan clan minuman,
5. pakaian dan perhiasan,
6. tempat berlindung dan perumahan,
7. alat-alat transpor.
Dalam tindakan-tindakannya untuk melindungi diri terhadap lingkungan alam, pada taraf
permulaan, manusia bersikap menyerah dan semata-mata bertindak di dalam batas-batas untuk
melindungi dirinya. Taraf tersebut masih banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang
hingga kini masih rendah taraf kebudayaannya. Misalnya suku bangsa Kubu yang tinggal di
pedalaman daerah Jambi, masih bersikap menyerah terhadap lingkungan alamnya. Rata-rata
mereka itu masih merupakan masyarakat yang belum mempunyai tempat tinggal tetap, hal mana
disebabkan karena persediaan bahan pangan semata-mata tergantung dari lingkungan alam. Taraf
teknologi mereka belum mencapai tingkatan di mana kepada manusia diberikan kemungkinankemungkinan untuk memanfaatkan dan menguasai lingkungan alamnya.
Keadaannya berlainan dengan masyarakat yang sudah kompleks, di mana taraf kebudayaannya
lebih tinggi. Hasil karya manusia tersebut, yaitu teknologi, memberikan kemungkinankemungkinan yang sangat luas untuk memanfaatkan hasil-hasil alam dan apabila mungkin
menguasai alam. Perkembangan teknologi di negara-negara besar seperti Amerika Serikat,
Soviet Rusia, Perancis, Jerman dan sebagainya, merupakan beberapa contoh dimana
masyarakatnya tidak lagi pasif menghadapi tantangan alam sekitar.
7.3. 7 Unsur Kebuadayaan Universal
Istilah ini menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut bersifat universal, yaitu dapat dijumpai pada
setiap kebudayaan di manapun di dunia ini. Para antropolog yang membahas persoalan tersebut
secara lebih mendalam, belum mempunyai pandangan seragam yang dapat diterima.
Antropolog C. Kluckhohn di dalam sebuah karyanya yang berjudul Universal Categories of
Culture" telah menguraikan ulasan para sarjana mengenai hal itu. Inti pendapat-pendapat para
sarjana itu menunjuk pada adanya tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural
universals, yaitu:
1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian perumahan, alat-alat rumah tangga,
senjata, alat-alat produksi transpor dan sebagainya).
2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian peternakan, sistem produksi,
sistem distribusi dan sebagainya).
3. Sistem kemasyarakatan (sistern kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem
perkawinan).
4. Bahasa (lisan maupun tertulis).
5. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya).
6. Sistem pengetahuan.
7. Religi (sistem kepercayaan).
Cultural-universals tersebut di atas, dapat dijabarkan lagi ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil.
Ralph Linton menyebutnya kegiatan-kegiatan kebudayaan atau cultural aclivity.13 Sebagai
contoh, cultural universals pencaharian hidup dan ekonomi, antara lain mencakup kegiatankegiatan seperti pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan lain-lain. Kesenian
misalnya, meliputi kegiatan-kegiatan seperti seni tari, seni rupa, seni suara dan lain-lain.
Selanjutnya Ralph Linton merinci kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut menjadi unsur-unsur
yang lebih kecil lagi yang disebutnya trait-complex. Misalnya, kegiatan pertanian menetap
meliputi unsure-unsur irigasi, sistem mengolah tanah dengan bajak, sistem hak milik atas tanah
dan lain sebagainya. Selanjutnya trait-complex mengolah tanah dengan bajak, akan dapat
dipecah-pecah ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil lagi umpamanya hewan-hewan yang
menarik bajak, teknik mengendalikan bajak dan seterusnya. Akhirnya sebagai unsur kebudayaan
terkecil yang membentuk traits, adalah items. Apabila diambil contoh alat bajak tersebut di atas
maka, bajak tadi terdiri dari gabungan alat-alat atau bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang
dapat dilepaskan, akan tetapi pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Apabila salah-satu
bagian bajak tersebut dihilangkan, maka bajak tadi tak dapat melaksanakan fungsinya sebagai
bajak. Menurut Bronislaw Malinowski yang selalu mencoba mencari fungsi atau kegunaan setiap
unsur kebudayaan, tak ada suatu unsur kebudayaan yang tidak mempunyai kegunaan yang
cocok dalam rangka kebudayaan sebagai keseluruhan. Apabila ada unsur kebudayaan yang
kehilangan kegunaannya, unsur tersebut akan hilang dengan sendirinya. Kebiasaan-kebiasaan
serta dorongan, tanggapan yang didapat dengan belajar serta dasar-dasar untuk organisasi, harus
diatur sedemikian rupa, sehingga memungkinkari pemuasan kebutuhan-kebutuhan pokok
manusia.
7.4. Kebudayaan sebagai Sistem Norma
Kebudayaan berarti menyangkut aturan yang harus diikuti - maka kebudayaan menentukan
standar perilaku. Sebagai contoh untuk bersalaman kita mengulurkan tangan kanan; untuk
menggaruk kepala boleh menggunakan tangan kiri atau kanan. Karena kebudayaabn kita tidak
memiliki norma untuk menggaruk kepala.
Istilah norma memiliki dua kemungkinan arti. Suatu noema budaya adalah suatu konsep yang
diharapkan ada. Kadang norma statis dianggap sebagai kebudayaan yang nyata. Norma satis
sering disebut sebagai suatu ukuran dari perilaku yang sebenarnya, disetujui atau tidak. Norma
kebudayaan adalah seperangkat perilaku yang diharapkan suatu citra kebuadayaan tentang
7.6. Xenosentrisme
Istilah ini berarti suatu pandangan yang lebih menyukai hal-hal yang berbau asing. Ini adalah
kebailkan yang tepat dari etnosentrisme. Ada banyak kebangga bagi orang-orang tertentu ketika
mereka membayar lebih mahal untuk barang-barang impor dengan asumsu bahwa segala yang
13 April 2009
BAB 8 STRATIFIKASI SOSIAL
Kompetensi :
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa akan mengetahui mengenai pelapisan/stratifikasi
penduduk ke dalam lapisan tertentu.
8.1. Pengertian Stratifikasi Sosial
Stratifikasi Sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara
bertingkat (Pitirim A. Sorokin dalam Soekanto, 1990). Pembedaan atas lapisan masyarakat
merupakan gejala universal yang merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat. Sistem
lapisan masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat ada
pula yang sengaja disusun untuk mengejar tujuan bersama. Yang biasa menjadi alasan
terbentuknya lapisan masyarakat dengan sendirinya adalah kepandaian, tingkat umur (yang
senior), sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat, harta dalam batas2
tertentu.
Dalam kebudayaan masyarakat kita menjumpai berbagai pernyataan yang menyatakan
persamaan manusia. Di bidang hukum, misalnya, kita mengenal anggapan bahwa di hadapan
hukum semua orang adalah sama; pernyataan serupa kita jumpai pula di bidang agama. Dalam
adat Minangkabau kita mengenal ungkapan "tagok sama tinggi, duduk samo rendah" yang berarti
bahwa setiap orang dianggap sama.
Namun, dalam kenyataan sehari-hari, kita mengalami adanya ketidaksamaan. Dalam kutipan dari
buku Mosca tersebut di atas, misalnya, kita melihat bahwa dalam semua masyarakat dijumpai
ketidaksamaan di bidang kekuasaan: sebagian anggota masyarakat mempunyai kekuasaan,
sedangkan sisanya dikuasai. Kita pun mengetahui bahwa anggota masyarakat dibeda-bedakan
berdasarkan kriteria lain; misalnya berdasarkan kekayaan dan penghasilan, atau berdasarkan
prestise dalam masyarakat. Pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya
dalam sosiologi dinamakan stratifikasi social (social stratifications).
Beberapa orang sejak lahir orang memperoleh sejumlah status tanpa memandang perbedaan
antar individu atau kemampuan. Berdasarkan status yang diperoleh dengan sendirinya ini,
anggota masyarakat dibeda-bedakan berdasarkan usia, jenis kelamin, hubungan kekerabatan, dan
keanggotaan dalam kelompok tertentu seperti kasta dan kelas. Berdasarkan status yang diperoleh
ini, kita menjumpai adanya berbagai macam stratifikasi.
Suatu bentuk dari stratifikasi berdasarkan perolehan ialah stratifikasi usia (age stratification).
Dalam sistem ini anggota masyarakat yang berusia lebih muda mempunyai hak dan kewajiban
berbeda dengan anggota masyarakat yang lebih tua. Dalam hukum adat masyarakat tertentu,
misalnya, anak sulung memperoleh prioritas dalam pewarisan harta atau kekuasaan. Elizabeth,
putri sulung Raja Inggris George mewarisi tahta Kcrajaan Inggris tatkala ayahnya meninggal
dunia pada tahun 1952; setelah Kaisar Jepang Hirohito meninggal dunia tahta kekaisaran Jepang
diwarisi putra sulungnya, Putra Akihito; di kala Ratu Juliana dari Negeri Belanda turun tahta
beliau digantikan putri sulungnnya Beatrix sedangkan Juliana sendiri pernah mewarisi tahta dari
ibunya, Ratu Wilhelmina.
Asas senioritas yang dijumpai dalam stratifikasi berdasarkan usia ini dijumpai pula dalam bidang
pekerjaan. Dalam berbagai organisasi modern, misalnya, kita sering melihat adanya hubungan
erat antara usia karyawan dengan pangkat mereka dalam organisasi, atau persamaan usia antara
karyawan yang memangku jabatan sama. Ini terjadi karena dalam organisasi tersebut pada
asasnya karyawan hanya dapat memperoleh kenaikan pangkat setelah berselang suatu jangka
waktu tertentu--misalnya dua tahun, atau empat tahun; karena jabatan dalam organisasi hanya
dapat dipangku oleh karyawan yang telah mencapai suatu pangkat minimal tertentu; dan karena
dalam hal terdapat suatu lowongan jabatan baru, karyawan yang dipertimbangkan untuk
mengisinya ialah mcreka yang dianggap paling senior. Sistem yang dianut di kalangan pegawai
negeri kita, misalnya, merupakan perpaduan antara merit system (sistem penghargaan terhadap
prestasi) dan sistem senioritas. Oleh sebab itu tidaklah terlalu mengherankan bilamana kita
menjumpai bahwa jabatan yang dipangku dosen di dalam struktur organisasi pcrguruan tinggi
negeri (seperti jabatan ketua jurusan, pembantu dekan, dekan dan sebagainya) serta jabatan
fungsional mereka (seperti asisten ahli, lektor, guru besar) memperlihatkan hubungan erat
dengan usia para pemangku jaba4ln, meskipun usia memang hukan satu-satunya ukuran yang
dipakai untuk mengusulkan scorang pcmangku jabatitn.
Masih pentingnya asas senioritas dijumpai pula dalam sistem kenaikan pangkat dosen. Dosen
tetap pada perguruan tinggi negeri yang tidak berhasil naik pangkat ke golongan IV sebelum
mencapai usia tertentu, misalnya, akan dipensiunkan dan tidak dapat dipertimbangkan untuk
jabatan guru besar, apa pun gelar akademik yang dimilikinya dan apa pun prestasi dan
sumbangan-nya dalam bidang keahliannya.
Stratifikasi jenis kelamin (sex stratification) pun didasarkan pada faktor perolehan: sejak lahir
laki-laki dan perempuan memperoleh hak dan kewajiban yang berbeda, dan perbedaan tersebut
sering mengarah ke suatu herarki. Dalam banyak masyarakat, status laki-laki lebih tinggi
daripada perempuan. Laki-laki sering memperoleh pendidikan formal lebih tinggi daripada
perempuan. Partisipasi perempuan dalam dunia kerja relatif lebih terbatas, dan dibandingkan
dengan laki-laki para pekerja perempuan pun relatif lebih banyak tcrdapat di strata yang rendah,
dengan status di bidang administratif, dan sering mcnerima upah atau gaji lebih rendah daripada
laki-laki.
Stratifikasi yang didasarkan atas hubungan kekerabatan. Perbedaan hak dan kewajiban antara
anak, ayah, ibu, paman, kakek dan sebagainya sering mengarah ke suatu herarki. Ada pula sistem
stratifikasi yang didasarkan atas keanggotaan dalam kelompok tertentu, seperti stratifikasi
keagamaan (religious stratification), stratifikasi etnik (ethnic stratification) atau stratifikasi ras
(racial stratification). Pembedaan hak dan kewajiban warga masyarakat berdasarkan warna kulit
atau kebudayaan kita jumpai antara lain di di Israel, di mana orang Palestina dan Arab tidak
mempunyai hak yang sama, dengan orang Yahudi. Di Jepang dijumpai perbedaan antara hak dan
kewajiban orang Jepang asli dan orang keturunan Korea. Tatkala di Afrika Selatan masih berlaku
sistem Apartheid, dijumpai pembedaan hak dan kewajiban antara orang Kulit Hitam dan orang
Kulit Putih; suatu pembedaan yang di masa lalu pernah dilaksanakan pula di Amerika Serikat
dan beberapa negara Amerika Selatan.
Di samping dibeda-bedakan berdasarkan status yang diperoleh anggota masyarakat dibedabedakan pula berdasarkan status yang diraihnya, sehingga menghasilkan berbagai jenis
stratifikasi. Salah satu di antaranya ialah stratifikasi pendidikan (educational stratification): hak
dan kewajiban warga masyarakat sering dibeda-bedakan atas dasar tingkat pendidikan formal
yang berhasil mereka raih.
Stratifikasi pekerjaan (occupational stratification). Di bidang pekerjaan modern kita mengenal
berbagai klasifikasi yang mencerminkan stratifikasi pekerjaan, seperti misalnya pembedaan
antara manajer serta tenaga eksekutif dan tenaga administratif; antara asisten dosen, lektor, dan
guru besar; antara tamtama, bintara, perwira pertama, perwira menengah, perwira tinggi.
Stratifikasi ekonomi (economic stratification), yaitu pembedaan warga masyarakat berdasarkan
penguasaan dan pemilikan materi, pun merupakan suatu kenyataan sehari-hari. Dalam kaitan ini
kita mengenal, antara lain, pembedaan warga masyarakat berdasarkan penghasilan dan kekayaan
mereka menjadi kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Dalam masyarakat kita terdapat
sejumlah besar warga yang tidak mampu memenuhi keperluan minimum manusia untuk hidup
layak karena penghasilan dan miliknya sangat terbatas, tetapi ada pula warga yang seluruh
kekayaan pribadinya bemilai di atas Rp 1 miliar. Di kalangan pertanian di pedesaan kita
menjumpai pembedaan antara petani pemilik tanah dan buruh tani. Kita masih ingat bahwa Marx
memakai kriteria pemilikan atas alat produksi untuk membedakan antara kaum borjuis dan kaum
proletar.
8.2. Sifat Sistem Lapisan Masyarakat
1. Sistem Tertutup (closed social stratification)
tidak memungkinkan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan lainnya (atas maupun
bawah). Satu-satunya jalan adalah adalah melalui kelahiran.
Contoh Sistem tertutup terlihat pada masyarakat India yang berkasta. Atau di dalam masyarakat
yang feodal, atau masyarakat di mana lapisannya tergantung pada perbedaan-perbedaan rasial.
Apabila ditelaah pada masyarakat India, sistem lapisan di sana sangat kaku clan menjelma dalam
diri kasta-kasta. Kasta di India mempunyai ciri-ciri tertentu, yaitu :
1) Keanggotaan pada kasta diperoleh karena kewarisan/kelahiran. Anak yang lahir memperoleh
kedudukan orang tuanya.
2) Keanggotaan yang diwariskan tadi berlaku seumur hidup, oleh karena seseorang tak mungkin
mengubah kedudukannya, kecuali bila ia dikeluarkan dari kastanya.
3) Perkawinan bersifat endogam, artinya harus dipilih dari orang yang sekasta.
4) Hubungan dengan kelompok-kelompok sosial lainnya bersifat terbatas.
5) Kesadaran pada keanQgotaan suatu kasta yang tertentu, terutama nyata dari nama kasta,
identifikasi anggota pada kastanya, penyesuaian diri yang ketat terhadap norma-norma kasta clan
lain sebagainya.
6) Kasta diikat oleh kedudukan-kedudukan yang secara tradisional ditetapkan.
7) Prestise suatu kasta benar-benar diperhatikan.
Contoh lain sistem lapisan tertutup terjadi di Amerika Serikat, di mana terdapat pemisahan yang
tajam antara golongan kulit putih dengan golongan kulit berwarna terutama orang-orang Negro.
Sistem tersebut dikenal dengan segregation yang sebenarnya tak berbeda- jauh dengan sistem
apartheid yang memisahkan golongan kulit putih dengan golongan asli (pribumi) di Uni Afrika
Selatan.
Sistem lapisan yang tertutup, dalam batas-batas tertentu, juga dijumpai pada masyarakat Bali.
Menurut kitab-kitab suci orang Bali, masyarakat terbagi dalam empat lapisan, yaitu Brahmana,
Satria, Vesia clan Sudra.' Ketiga lapisan pertama biasa disebut triwangsa sedangkan lapisan
terakhir disebut jaba yang merupakan lapisan dengan jumlah warga terbanyak. Keempat lapisan
tersebut terbagi lagi dalam lapisan-lapisan khusus. Biasanya orang-orang mengetahui dari gelar
seseorang, ke dalam kasta mana dia tergolong, gelar-gelar tersebut diwariskan menurut garis
keturunan laki-laki yang sepihak patrilineal adalah Ida Bagus, Tjokorda, Dewa, Ngahan, Bagus,
I Gusti, Gusti. Gelar pertama adalah gelar orang Brahmana, gelar kedua sampai dengan
keempat bagi orang-orang Satria, sedangkan yang kelima dan keenam berlaku bagi orang-orang
Vaicya. Orang-orang Sudra juga memakai gelar seperti Pande, Kbon, Pasek dan selanjutnya.
Dahulu kala gelar tersebut berhubungan erat dengan pekerjaan orang-orang yang bersangkutan.
Walaupun gelar tersebut tidak memisahkan golongan-golongan secara ketat, tetapi sangat penting
bagi sopan santun pergaulan. Disamping itu hukum adat juga menetapkan hak-hak bagi si
pemakai gelar, misalnya, dalam memakai tanda-tanda, perhiasan-perhiasan, pakaian tertentu dan
lain-lain. Kehidupan sistem kasta di Bali umumnya terlihat jelas dalam hubungan perkawinan.
Seorang gadis suatu kasta tertentu, umumnya dilarang bersuamikan seseorang dari kasta yang
lebih rendah.
2. Sistem Terbuka (open social stratification)
setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri
untuk naik lapisan atau yang tidak beruntung turun lapisan. Pada umumnya sistem terbuka ini
memberi perangsang yang lebih besar kepada setiap anggota masyarakat untuk dijadikan
landasan pembangunan masydrakat dari ada sistem yang tertutup.
8.3. Kelas Sosial
Adalah semua orang atau keluarga yang sadar akan kedudukannya di dalam suatu lapisan serta
diketahui dan diakui oleh masyarakat. Kurt B. Mayer berpendapat istilah kelas hanya untuk
lapisan yang bersandarkan atas unsur2 ekonomis sedangkan lapisan yang berdasarkan
kehormatan kemasyarakatan dinamakan kelompok kedudukan (status group).
Max Weber membedakan antara dasar2 ekonomis dan dasar2 kedudukan sosial akan tetapi
menggunakan istilah kelas bagi semua lapisan. Golongan yang mendapatkan kehormatan khusus
dari masyarakat dinamakan stand.
Joseph Schumpeter mengatakan bahwa terbentuknya kelas dalam masyarakat karena diperlukan
untuk menyesuaikan masyarakat dengan keperluan2 nyata, akan tetapi makna kelas dan gejala2
kemasyarakatan lainnya hanya dapat dimengerti dengan benar apabila diketahui riwayat
terjadinya. Kelas menyediakan kesempatan atau fasilitas2 hidup tertentu (life chance).
8.4. Ukuran yang mendasari Pelapisan
Ukuran kekayaan (material)
Ukuran kekuasaan
Ukuran kehormatan
Ukuran ilmu pengetahuan
Hampir tak ada masyarakat dengan sistem lapisan yang tertutup secara mutlak
Betapapun terbukanya sistem lapisan dalam masyarakat tak mungkin gerak sosial vertikal
dilakukan dengan bebas, akan ada hambatan
Gerak sosial vertikal yang umum berlaku bagi semua masyarakat tak ada. Semua masyarakat
mempunyai ciri2 khas bagi gerak sosial vertikal
Laju gerak sosial vertikal yang disebabkan oleh faktor2 ekonomi, politik, serta pekerjaan
berbeda
Tak ada kecenderungan yang kontinu perihal bertambah atau berkurangnya laju gerak sosial.
Saluran gerak sosial yang penting adalah angkatan bersenjata, sekolah, organisasi politik,
ekonomi, dan keahlian dalam pelaksanaan gerak sosial vertikal di masyarakat. Sistem lapisan
masyarakat sulit dihindari karena merupakan pemecahan persoalan yang dihadapi masyarakat
yaitu penempatan individu dalam tempat2 yang tersedia dalam struktur sosial dan mendorongnya
agar melaksanakan kewajiabn yang sesuai dengan kedudukan dan peranannya.
8.8. Jumlah Lapisan Sosial Dalam Masyarakat
Berapakah jumlah lapisan sosial (strata) yang terdapat ada dalam suatu sistem stratifikasi? Di
kalangan para ahli sosiologi dijumpai keanekaragaman dalam penentuan jumlah lapisan sosial.
Ada yang merasa cukup dengan klisifikasi dalam dua lapisan. Marx, misalnya, membedakan
antara kelas borjuis dan proletar; Mosca membedakan antara kelas yang berkuasa dan kelas yang
dikuasai; banyak ahli sosiologi membedakan antara kaum elit dan massa, antara orang kaya dan
orang miskin.
Sejumlah ilmuwan sosial membedakan antara tiga lapisan atau lebih. Kita sudah sering
menjumpai, misalnya, pembedaan antara kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah. Warner
bahkan merinci tiga kelas ini menjadi enam kelas: kelas atas atas (upper-upper), atas bawah
(lower upper), menengah atas (upper middle), menengah bawah (lower middle), bawah atas
(upper lower) dan bawah bawah (lower lower).
Konsep terkait lainnya yang dialukan Barber ialah konsep bentuk (shape), yang mengacu pada
proporsi orang yang terletak di kelas sosial yang berlainan (lihat Barber, 1957). Suatu stratifikasi
dapat berbentuk segi tiga. Ini berarti bahwa semakin tinggi posisi dalam stratifikasi, semakin
sedikit jumlah posisi yang tersedia. Stratifikasi yang mendekati bentuk piramida ini kita jumpai,
misalnya, dalam stratifikasi jabatan pimpinan dalam pemerintahan daerah: jumlah kepala desa
atau lurah melebihi jumlah camat, jumlah camat melebihi jumlah bupati atau walikota, dan
jumlah bupati atau walikota melebihi jumlah gubernur.
Stratifikasi tidak selalu berbentuk segi tiga atau piramida, karena kita sering menjumpai situasi
yang di dalamnya terdapat sejumlah besar posisi rendah dan sejumlah kecil posisi tinggi.
8.9. Dampak Stratifikasi
Adanya perbedaan prestise dalam masyarakat tercermin pada perbedaan gaya hidup,
sebagaimana nampak dari pernyataan Max Weber berikut ini:
... status honor is normally expressed by the fact that above all else a specific style of life can be
expected from all those who wish to belong to the circle. Linked with this expectation are
restrictions on 'social' intercourse (Weber dalam Sunarto, 2004:95).
Sejumlah ahli sosiologi berusaha meneliti bagaimana perbedaan kelas sosial terwujud dalam
perbedaan dalam perilaku. (Sunarto, 2004:96). Salah satu perbedaan perilaku kelas dijumpai
dalam busana yang dipakai warga masyarakat kita di perkotaan. Dalam berbusana, baik laki-laki
maupun perempuan dari kelas sosial berbeda mempunyai kerangka acuan yang berbeda pula.
Kaum perempuan kita dari kalangan kelas atas yang berbusana Barat, misalnya, akan banyak
yang cenderung berbusana dengan mengacu pada karya perancang mode terkenal dari Paris,
New York, London, Tokyo atau Roma. Kaum perempuan kelas menengah ke bawah akan lebih
cenderung memakai busana ciptaan perancang mode terkenal dalam negeri. Sedangkan pilihan
busana mereka yang berada di kelas bawah akan cenderung berorientasi pada desain yang
ditentukan para grosir pakaian jadi di pusat penjualan pakaian seperti misalnya Pasar Tanah
Abang atau Pasar Grosir di tiap kota. Perbedaan gaya hidup ini tidak hanya dijumpai pada hirarki
prestise, tetapi juga pada herarki kekuasaan dan privilese.
8.10. Perlunya Sistem lapisan Masyarakat
Manusia pada umumnya bercita-cita agar ada perbedaan kedudukan dan peranan dalam
masyarakat. Akan tetapi cita-cita tersebut selalu akan tertumbuk pada kenyataan yang
berlainan. Setiap masyarakat harus menempatkan individu-individu pada tempat-tempat
tertentu dalam struktur sosial dan mendorong mereka untuk melaksanakan kewajibankewajibannya sebagai akibat penempatan tersebut. Dengan demikian masyarakat menghadapi
dua persoalan, pertama menempatkan individu-individu tersebut dan kedua mendorong agar
mereka melaksanakan kewajibannya.
Apabila semua kewajiban selalu sesuai dengan keinginan si individu, dan sesuai pula dengan
kemampuan-kemampuannya dan seterusnya, maka persoalannya tak akan terlalu sulit untuk
dilaksanakan. Tetapi kenyataan tidaklah demikian. Kedudukan dan peranan tertentu sering
memerlukan kemampuan dan latihan-latihan tertentu. Pentingnya kedudukan dan peranan
tersebut juga tidak selalu sama. Maka tak akan dapat dihindarkan bahwa masyarakat harus
menyediakan beberapa macam sistem pembalasan jasa sebagai pendorong agar individu mau
melaksanakan kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan posisinya dalam masyarakat. Balas
jasa dapat berupa insentif di bidang ekonomis, estetis atau mungkin juga secara perlambang.
Yang paling penting adalah hahwa individu-individu tersebut mendapat hak-hak, yang
merupakan himpunan kewenangan-kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan atau untuk
tidak berbuat sesuatu. Sering pula dijumpai hak-hak yang secara tidak langsung berhubungan
dengan kedudukan dan peranan seseorang.
Tak banyak individu yang dapat memenuhi persyaratan demikian, bahkan mungkin hanya
segolongan kecil dalam masyarakat. Maka oleh sebab itu pada umumnya warga lapisan atas
(upper-class) tidak terlalu banyak apabila dibandingkan dengan lapisan menengah (middle class)
clan lapisan bawah (lower class).
Pertanyaan :
1. Apakah jenis kelamin bisa dijadikan sebagai dasar stratifikasi?
2. Apakah anda sependapat bahwa stratifikasi sosial merugikan atau menguntungkan bagi
masyarakat secara keseluruhan? Mengapa?
13 April 2009
BAB 9 KELOMPOK SOSIAL
Kompetensi :
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa akan mengetahuitipe-tipe kelompok social .
Kelompok.sosial merupakan suatu gejala yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena
sebagian besar kegiatan manusia berlangsung di dalamnya. Kelahiran Anda pun menandai
keanggotaan Anda dalam berbagai kelompok lain. Di samping menjadi anggota keluarga, sebagai
seorang bayi yang lahir di suatu desa atau kola Anda menjadi warga salah satu umat agama;
warga suatu suku bangsa atau kelompok etnik; warga rukun tetangga, warga rukun kampung dan
warga desa atau kola; warga negara RI.
Dari hal tersebut jelaslah bahwa tanpa kita sadari sejak lahir hingga ajal kita sebenarnya menjadi
anggota berbagai jenis kelompok. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan mengapa para tokoh
sosiologi senantiasa mempunyai perhatian besar terhadap gejala pengelompokan manusia.
9.1. Klasifikasi Kelompok
Salah satu dampak perubahan jangka panjang yang melanda Eropa Barat dan kemudian
menyebar ke seluruh pelosok dunia ialah terjadinya perubahan dalam pengelompokan anggota
masyarakat.
9.1.1. Klasifikasi Bierstedt
usaha untuk mengklasifikasikan jenis kelompok; satu di antaranya ialah klasifikasi dari Robert
Bierstedt (1948). Bierstedt menggunakan tiga kriteria untuk membedakan jenis kelompok, yaitu
ada tidaknya (a) organisasi, (b) hubungan sosial di antara anggota kelompok, dan (c) kesadaran
jenis. Berdasarkan ketiga kriteria tersebut Bierstedt kemudian membedakan empat jenis
kelompok; kelompok statistik (statistical group), kelompok kemasyarakatan (societal group),
kelompok sosial (social group), dan kelompok asosiasi (associational group).
Kita akan mulai dengan jenis kelompok ketiga yang memenuhi kriteria tersebut di atas, yaitu
kelompok asosiasi. Dalam jenis kelompok ini para anggotanya mempunyai kesadaran jenis; dan
menurut Bierstedt (dengan mengutip 'pandangan Maclver) pada kelompok ini dijumpai
persamaan.kepentingan pribadi (like interest) maupun kepentingan bersama (common interest).
Di samping itu di antara para anggota kelompok asosiasi kita jumpai adanya hubungan social
adanya kontak dan komunikasi. Selain itu di antara para anggota dijumpai adanya ikatan
organisasi formal. Dari riwayat hidup kita dapat ditelusuri berbagai kelompok asosiasi yang di
dalamnya kita menjadi anggota, seperti misalnya Negara RI, sekolah, OSIS, Gerakan Pramuka,
fakultas, senat mahasiswa, partai politik, Korps Pegawai Negeri RI, Ikatan Motor Indonesia, dan
sebagainya.
Kelompok jenis kedua--kelompok sosial--merupakan kelompok yang anggotanya mempunyai
kesadaran jenis dan berhubungan satu dengan yang lain tetapi tidak terikat dalam ikatan
organisasi. Contoh yang disajikan Bierstedt ialah kelompok teman, kerabat dan sebagainya.
Kelompok jenis ketiga, kelompok kemasyarakatan, merupakan kelompok yang hanya memenuhi
satu persyaratan, yaitu kesadaran akan persamaan di antara mereka. Di dalam kelompok jenis ini
belum ada kontak dan komunikasi di antara anggota, dan juga belum ada organisasi. Berbeda
dengan kelompok asosiasi, maka menurut Bierstedt kelompok ini dijumpai persamaan
kepentingan pribadi tetapi bukan kepentingan bersama. Hasil Sensus Penduduk yang _ ditakukan
Biro Pusat Statistik pada tahun 1990, misalnya, menunjukkan bahwa apabila dikelompokkan
menurut jenis kelamin maka penduduk Indonesia terdiri atas 89.448.235 laki-laki dan 89.873.406
perempuan.
Kelompok statistik merupakan kelompok yang tidak memenuhi ketiga kriteria tersebut di atas-kelompok yang tidak merupakan organisasi, tidak ada hubungan sosial antara anggota, dan tidak
ada kesadaran jenis. Oleh Bierstedt dikemukakan bahwa kelompok statistik ini hanya ada dalam
arti analitis dan merupakan hasil ciptaan para ilmuwan sosial. Contoh yang dapat kita sajikan
mengenai kelompok statistik ini ialah, antara lain, pengelompokan sejumlah penduduk
berdasarkan usia dengan interval lima tahun yang antara lain dilakukan oleh Biro Pusat Statistik
(0-4 tahun, 5-9 tahun dan seterusnya sampai 75 tahun ke atas). Pada anak-anak yang
diketompokkan dalam kategori terendah tersebut (yang kadangkala dinamakan kelompok Balitakelompok usia di bawah lima tahun) maupun dalam kelompok umur berikutnya tidak dijumpai
organisasi, kesadaran mengenai keanggotaan dalam kelompok, atau pun hubungan sosial.
Bierstedt mengingatkan kita bahwa di luar klasifikasi ini masih ada kelompok lain yang tidak
tercakup. Contoh yang disajikannya ialah kelompok yang memenuhi persyaratan hubungan
sosial tetapi tidak mempunyai kesadaran jenis, dan kelompok yang anggotanya bukan perseorangan melainkan kelompok. Dikemukakannya pula bahwa suatu jenis kelompok dapat
beralih menjadi jenis kelompok lain. Contoh mengenai hal ini dapat kita cari dengan mudah:
dalam suatu kelompok kemasyarakatan (misalnya: perempuan) dapat berkembang kelompok
sosial (misalnya kelompok arisan ibu-ibu) dan kelompok asosiasi (misalnya organisasi
perempuan seperti KOWANI atau Dharma Wanita). Kita dapat menyajikan data mengenai
jumlah pasangan orang kembar di Indonesia, tetapi di sini pun ada brganisasi formal yang
anggotanya terdiri atas orang kembar. Di kalangan para lanjut usia kita (suatu kelompok statistik)
ada yang tergabung dalam kelompok asosiasi (seperti PEPABRI atau Warakawuri).
9.1.2. Klasifikasi Merton
Robert K. Merton merupakan salah seorang ahli sosiologi yang banyak menulis mengenai
konsep kelompok. Dalam salah satu tulisannya Merton mendefinisikan konsep kelompok secara
sosiologi sebagai "a number of people who interact with one another in accord with established
patterns" (1965:285)--sekelompok orang yang saling berinteraksi sesuai dengan pola yang telah
mapan.
Merton (1965:285-286) menyebutkan tiga kriteria objektif bagi suatu kelompok. Pertama,
kelompok ditandai oleh sering terjadinya interaksi. Kedua, pihak yang berinteraksi
mendefinisikan diri mereka sebagai anggota. Ketiga, pihak yang berinteraksi didefinisikan oleh
orang lain
sebagai anggota kelompok.
Menurut Merton--dengan mengikuti pandangan tokoh sosiologi seperti Znaniecki atau Parsons-konsep kelompok harus dibedakan dengan konsep kolektiva (collectivities), yang
didefinisikannya sebagai "people who have a sense of solidarity by virtue of sharing common
values and who have acquired an attendant sense of moral obligation to fulfill role-expectations"
(1965:29S). Dalam definisi ini tidak dijumpai unsur interaksi; kriteria yang ditonjolkan ialah
adanya sejumlah orang yang mempunyai solidaritas atas dasar nilai bersama yang dimiliki serta
adanya rasa kewajiban moral untuk menjalankan peran yang diharapkan.
Konsep lain yang diajukan pula oleh Merton ialah konsep kategori sosial (social categories).
Kategori sosial adalah suatu himpunan peran yang mempunyai ciri sama seperti jenis kelamin
atau usia. Antara para pendukung peran tersebut tidak terdapat interaksi.
9.1.3. Durkheim: Solidaritas mekanik dan solidaritas organik
Salah seorang ahli sosiologi awal yang secara rinci membahas perbedaan dalam
pengelompokan ini ialah Durkheim. Dalam bukunya The Division of Labor in Society (1968) ia
membedakan antara kelompok yang didasarkan pada solidaritas mekanik, dan kelompok yang
didasarkan pada solidaritas organik. Solidaritas mekanik merupakan ciri yang menandai
masyarakat yang masih sederhana, yang oleh Durkheim dinamakan segmental. Dalam
masyarakat demikian kelompok manusia tinggal secara tersebar dan hidup terpisah satu dengan
yang lain. Masing-masing kelompok dapat memenuhi keperluan mereka masing-masing tanpa
memerlukan bantuan atau kerja sama dengan kelompok di luarnya. Masing-masing anggota pada
umumnya dapat menjalankan peran yang diperankan oleh anggota lain; pembagian kerja belum
berkembang. peran semua anggota sama sehingga ketidakhadiran seorang anggota kelompok
tidak mempengaruhi kelangsungan hidup kelompok karena peran anggota tersebut dapat
dijalankan orang lain.
Dalam masyarakat yang menganut solidaritas mekanik, yang diutamakan ialah persamaan
perilaku dan sikap. Perbedaan tidak dibenarkan. Menurut Durkheim seluruh warga masyarakat
diikat oleh apa yang dinamakannya kesadaran kolektif, hati nurani kolektif (collective
conscience)-suatu kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan perasaan
kelompok, dan bersifat ekstern serta memaksa.
Solidaritas organik merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks
masyarakat yang telah mengenal pembagian kerja yang rind dan dipersatukan oleh
kesalingtergantungan antarbagian. Tiap anggota menjalankan peran berbeda, dan di antara
berbagai peran yang ada terdapat kesalingtergantungan laksana kesalingtergantungan antara
bagian suatu organisme biologis. Karena adanya kesalingtergantungan ini maka ketidakhadiran
pemegang peran tertentu akan mengakibatkan gangguan pada kelangsungan hidup masyarakat.
Tidak berperannya tentara, misalnya, berarti bahwa masyarakat rentan terhadap serangan dari
masyarakat lain; tidak berperannya petani akan mengakibatkan masalah dalam oroduksi dan
penyediaan bahan pangan yang dapat mengancam kelangsungan hidup masyarakat.
Pada masyarakat dengan solidaritas organik in!, ikatan utama yang mempersatukan masyarakat
bukan lagi kesadaran kolektif atau hati nurani kolektif (collective conscience) melainkan
kesepakatan yang terjalin di antara berbagai kelompok profesi. Di sini pun hukum yang
menonjol bukan lagi hukum pidana, melainkan ikatan hukum perdata. Dalam hal terjadi
pelanggaran terhadap kesepakatan bersama maka yang berlaku ialah sanksi restitutif: si
pelanggar harus membayar ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian untuk
mengembalikan keseimbangan ang telah dilanggarnya.
9.1.4. Tonnies: Gemeinschaft dan Gesellschaft
Tokoh sosiologi klasik lain--kali ini dari Jerman--yang juga mengulas secara rinci perbedaan
pengelompokan dalam masyarakat ialah Ferdinand Tonnies. Dalam bukunya Gemeinschaft und
Gesellschaft ia mengadakan pembedaan antara dua jenis kelompok, yang dinamakannya
Gemeinschaft dan Gesel/schaft. Menurut Tonies:
All intimate, private, and exclusive living together. .. is understood as life in Gemeinschaft
(community). Gesellschatt (society) is public life--it is the world itself. In Gemeinschaft with
one's family, one lives from birth on, bound to it in weal and woe. One goes into Gesellschaft as
on goes into a strange country (Tonnies, 1963:33-34).
Di sini Gemeinschaft digambarkannya sebagai kehidupan bersama yang intim, pribadi dan
eksklusif; suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir. Tonnies, misalnya, menggambarkan ikatan
pernikahan sebagai suatu "Gemeinschaft of life." Ia pun berbicara mengenai suatu Gemeinschaft
di bidang rumah tangga, agama, bahasa, adat, yang dipertentangkannya dengan Gesellschaft
dibidang ilmu atau perdagangan.
Tonnies membedakan antara tiga jenis Gemeinschaft. Jenis pertama, Gemeinschaft by blood,
mengacu pada ikatan-ikatan kekerabatan. Gemeinschaft of place pada dasarnya merupakan
ikatan yang berlandaskan kedekatan letak tempat tinggal ser'ta tempat bekerja yang mendorong
orang untuk berhubungan secara intim satu dengan yang lain, dan mengacu pada kehidupan
bersama di daerah pedesaan. Jenis ketiga, Gemeinschaft of mind, mengacu pada hubungan
persahabatan, yang disebabkan oleh persamaan keahlian atau pekerjaan serta pandangan yang
mendorong orang untuk saling berhubungan secara teratur. Menurut Tonnies, Gesellschaft
merupakan suatu nama dan gejala baru. Gesellschaft dilukiskannya sebagai kehidupan publik;
sebagai orang yang kebetulan hadir bersama tetapi masingmasing tetap mandiri. GesellschaR
bersifat sementara dan semu. Menurut Tonnies perbedaan yang dijumpai antara kedua macam
kelompok ini ialah bahw~ dalam Gemeinschaft individu tetap bersatu meskipun terdapat
berbagai faktor yang memisahkan mereka, sedangkan dalam Gesellschaft individu pada dasarnya
terpisah kendatipun terdapat banyak faktor pemersatu.
Tonnies mengemukakan bahwa Gemeinschatt ditandai oleh kehidupan organik, sedangkan
Gesellschaft ditandai oleh struktur mekanik. Pendapat ini menarik, mengingat bahwa,
sebagalmana telah kita lihat di atas, Durkheim menggunakan konsep yang sama untuk
menggambarkan ciri kelompok yang berlawanan; menurut Durkheim kelompok segmental justru
bersifat mekanik sedangkan solidaritas pada kelompok terdiferensiasi justru bersifat organik.
9.1.5. Cooley: Primary Group
Masalah perubahan dalam kualitas pengelompokan pun menarik perhatian ahli sosiologi dari
Amerika. Pada tahun 1909 Charles Horton Cooley memperkenalkan konsep primary group, yang
didefinisikannya sebagai kelompok yang "characterized by intimate face-to-face association and
cooperation"--kelompok yang ditandai oleh pergaulan dan kerja sama tatap muka yang intim.
Menurutnya ruang lingkup terpenting dari kelompok primer ini.adalah keluarga, teman bermain
pada anak kecil, dan rukun warga serta komunitas pada orang dewasa. Dalam pandangannya
pergaulan intim ini menghasilkan terpadunya individu dalam satu kesatuan sehingga dalam
banyak hal did seseorang menjadi hidup dan tujuan bersama kelompok. Menurut Cooley
keterpaduan, simpati dan identifikasi bersama ini diwujudkan dalam kata "kita" (lihat Cooley,
1909).
Menurut Ellsworth Faris (1937) kelompok primer dapat dipertentangkan dengan kelompok
formal, tidak pribadi, dan berciri kelembagaan. Nama apa yang harus kita berikan bagi kelompok
yang tidak merupakan kelompok primer itu? Faris mengemukakan bahwa sejumlah ahli sosiologi
telah menciptakan konsep secondary group--suatu konsep yang tidak kita jumpai dalam karya
Cooley.
Faris melihat bahwa konsep kelompok primer yang diperkenalkan Cooley, yang mengandung
unsur tatap muka, pengutamaan pengalaman terdahulu, serta perasaan kebersamaan yang
terwujud dalam ungkapan "kita" mengandung berbagai persoalan. Sebagai contoh antara lain
dikemukakannya bahwa beberapa orang kerabat yang mempunyai rasa kebersamaan dan
keterpaduan namun tinggal di tempat yang berjauhan sehingga hanya dapat berhubungan dengan
surat merupakan kelompok primer meskipun mereka tidak dapat berhubungan secara tatap muka.
Faris pun mempertanyakan apakah suatu keluarga yang di dalamnya orang tua menindas anakanak-mereka dapat dinamakan kelompok primer meskipuh syarat tatap muka dipenuhi karena
perasaan "kita" yang menandai kebersamaan dan keterpaduan mungkin tidak dijumpai.
9.1.6. Sumner: In-Group dan Out-Group
Suatu klasifikasi lain, yaitu pembedaan antara in-group dan out-group, didasarkan pada konsep
in-group yang diperkenalkan oleh W.G. Sumner (1940). Sumner mengemukakan bahwa
"masyarakat primitif," yang merupakan kelompok kecil yang tersebar di suatu wilayah, muncul
diferensiasi antara kelompok kita (we-group) atau kelompok dalam (in-group) dengan orang lain:
kelompok orang lain (others-group) atau kelompok luar (out-groups). Menurut Sumner di
kalangan anggota kelompok dalam dijumpai persahabatan, kerjasama, keteraturan dan
kedamaian sedangkan hubungan antara kelompok dalam dengan kelompok luar cenderung
ditandai kebencian, permusuhan, perang clan perampokan.
Menurut Sumner selanjutnya, perasaan yang berkembang pada masyarakat modern ialah
patriotisme. Meskipun dalam masyarakat modern batas kelompok telah diperluas dan
keanggotaan yang dijadikan acuan ialah kewarganegaraan, namun dalam patriotisme kesetiaan
pada kelompok dan pimpinan kelompok serta perasaan etnosentrisme tetap dipertahankan. Setiap
warga negara diharapkan berkorban untuk negaranya. Dalam pandangan Sumner patriotisme ini
bahkan dapat berkembang menjadi chauvinisme.
9.1.7. Merton: Membership group dan Reference group.
Robert K. Merton memusatkan perhatiannya pada kenyataan bahwa keanggotaan dalam suatu
kelompok tidak berarti bahwa seseorang akan menjadikan kelompoknya menjadi acuan bagi cara
bersikap, menilai maupun bertindak. Kadang-kadang perilaku seseorang tidak meng-acu pada
kelompok yang di dalamnya ia menjadi anggota, melainkan pada kelompok lain. Pandangan
Merton tercermin dalam kalimat berikut ini:
Reference groups are, in principle, almost innumerable: any of the groups of which one is a
member, and these are comparatively few, as well as groups of which one is not a member, and
these are, of course, legion, can become points of reference for shaping one's attitudes,
evaluations and behavior (Merton, 1965:233).
Dari pernyataan Merton ini nampak bahwa kelompok acuan berjumlah sangat banyak, dan
mencakup bukan hanya kelompok yang di dalamnya orang menjadi anggota melainkan juga
sejumlah besar kelompok yang di dalamnya seseorang tidak menjadi anggota. Kelompok acuan
yang berjumlah banyak tersebut menjadi acuan bagi sikap, penilaian dan perilaku seseorang.
Merton menekankan bahwa dalam berperilaku dan bersikap seseorang dapat menunjuk-kan
konformitas pada kelompok luar (out-group)--pada aturan dan nilai kelompok lain. Ini berarti
bahwa orang tersebut tidak mengikuti aturan kelompok dalamnya sendiri (nonconformity to the
norms of the in-group. Lihat Merton, 1965:264
Merton pun membahas perubahan kelompok acuan manakala keanggotaan kelompok seseorang
berubah. Menurut Merton gejala ini menarik, karena kedua peristiwa tersebut tidak berlangsung
pada saat yang bersamaan; perubahan kelompok acuan sering mendahului perubahan
keanggotaan kelompok. Seorang siswa kelas 3 SMU, misalnya, dalam berperilaku dan bersikap
sering sudah berorientasi pada aturan dan nilai yang berlaku di kalangan perguruan tinggi
meskipun secara resmi ia belum berstatus mahasiswa (belum berstatus anggota) dan masih
menjadi siswa SMU. Perubahan orientasi yang mendahului perubahan keanggotaan kelompok
seperti ini oleh Merton diberi nama sosialisasi antisipatoris (anticipatory socialization). Menurut
Merton proses sosialisasi antisipatoris ini mempunyai dua fungsi: membantu diterimanya
seseorang dalam kelompok baru, dan membantu penyesuaian anggota baru dalam kelompok
yang baru itu.
9.1.8. Parsons: Variabel Pola
Tokoh sosiologi modern, Talcott Parsons, memperkenalkan perangkat variabel pola (pattern
variables) yang oleh banyak ahli sosiologi sering dianggap sebagai salah satu sumbangan
teoretisnya yang terpenting. Menurut Parsons variabel pola merupakan seperangkat dilema
universial yang dihadapi dan harus dipecahkan seorang pelaku dalam setiap situasi sosial.
Variabel pola ini memungkinkan dilakukannya perbandingan antara bermacam-macam
kelompok, termasuk di dalamnya yang berada dalam kebudayaan lain (pembahasan tentang
Parsons ini didasarkan pada Devereux, 1976:39-44.
Parsons mengidentifikasikan lima perangkat dilema: affectivity-affective neutrality,
specificitydiffuseness, universalism-particularism, quality-performance, self-orientation collectivity
orientation. Dikotomi yang pertama, affectivity-affective neutrality mengacu pada dilema antara
ada-tidaknya perasaan kasih sayang ataupun kebencian dalam suatu interaksi. Dalam hubungan
antara pelaku yang terikat oleh pertalian kekerabatan ataupun ikatan pernikahan, sikap afektif
dapat diharapkan; namun dalam hubungan antara atasan dan bawahan, antara guru dan murid,
atau antara nasabah dan langganannya yang diharapkan ialah adanya affective neutralityketiadaan sikap afektif.
Specificity-diffuseness mengacu pada dilema antara kekhususan dan kekaburan. Dalam situasi
interaksi antara orang tua dan anak, misalnya, kita sering menjumpai kekaburan (diffuseness);
seorang anak yang melakukan kesalahan di suatu bidang tertentu-misalnya memecahkan piring
di waktu makan pagi--mungkin akan dimarahi sepanjang hari, walaupun interaksinya dengan
orang tuanya tidak ada hubungannya dengan kegiatan makan. Di pihak lain, kita mengharapkan
akan menjumpai kekhususan (specificity) dalam situasi sekolah. Seorang siswa SMP yang
ditegur guru karena memperoleh nilai buruk dalam ulangan mate-matika, misalnya, pada jam
pelajaran berikutnya mungkin dipuji gurunya karena memperoleh nilai baik sekali dalam mata
pelajaran biologi.
Dilema berikutnya, universalism-particularism, mengacu pada dilema antara dipakai-tidaknya
ukuran universal. Universalism diharapkan akan dijumpai, misalnya, di lingkungan sekolah;
setiap orang siswa diharapkan memperoleh perlakuan sama dari guru--siapa pun juga akan dipuji
bila berprestasi dan dicela bila tidak berprestasi. Dalam situasi keluarga, di pihak lain, sering
berlaku perlakuan khusus (particularism); seorang anak sering lebih diutamakan oleh orang
tuanya daripada anak lain.
Dikotomi quality-performance mengacu pada situasi yang di dalamnya orang harus memutuskan
apakah yang penting faktor yang dibawa sejak lahir ataukah suatu perangkat prestasi tertentu.
Kalau dalam suatu hubungan faktor yang dibawa sejak lahir seperti jenis kelamin, usia atau
hubungan kekerabatan lebih penting, maka hubungan diwarnai oleh kualitas. Namun bilamana
dalam suatu hubungan yang dipentingkan ialah prestasi, seperti misatnya hubungan guru atau
pelatih olahraga dengan para siswa mereka, maka hubungan tersebut diwarnai oleh prestasi.
Variabel pola terakhir, self-orientation dan collectivity-orientation menitikberatkan pada orientasi
pelaku dalam suatu hubungan. Manakala dalam suatu hubungan seseorang berorientasi pada
kepentingan diri-sendiri, seperti misalnya pada hubungan perniagaan, maka kita berbicara
mengenai orientasi pada dirisendiri. Namun bilamana dalam suatu hubungan dijumpai orientasi
pada kepentingan umum, yaitu dalam hal pelaku yang terlibat dalam institusi pelayanan-misalnya rohaniwan, dokter, pemadam kebakaran-maka kita berbicara mengenai orientasi pada
kolektiva.
9.1.9. Geertz: Priayi, Santri, dan Abangan
Suatu klasifikasi yang digali Geertz dari masyarakat Jawa (khususnya masyarakat suatu kota di
Jawa Timur serta daerah pedesaan di sekitarnya) ialah pembedaan antara kaum abangan, santri
dan priayi (lihat Geertz, 1964). Meskipun klasifikasi ini banyak dikritik dan gejala yang diamati
Geertz pun terjadi pada tahun 50-an dan 60-an sehingga kini telah-banyak berubah, namun
pemikiran Geertz ini cukup penting untuk kita ketahui karena sering digunakan para ilmuwan
untuk menjelaskan berbagai peristiwa di kala itu--terutama kehidupan politik kita di tahun-tahun
menjelang terjadinya tragedi pada tahun 1965 berupa kudeta Gerakan Tiga Puluh September
serta epilognya.
Menurut Geertz pembagian masyarakat yang ditelitinya ke dalam tiga tipe budaya ini didasarkan
atas perbedaan pandangan hidup di antara mereka. Subtradisi abangan yang menurut Geertz
diwarnai berbagai upacara selamatan, praktik pengobatan tradisional serta kepercayaan pada
makhluk halus dan kekuatan gaib itu terkait pada kehidupan di pedesaan. Subtradisi santri yang
ditandai oleh ketaatan pada ajaran agama Islam serta keterlibatan dalam berbagai organisasi
sosial dan politik yang bernafaskan Islam dijumpai di kalangan pengusaha yang banyak bergerak
di pasar maupun di desa selaku pemuka agama. Subtradisi ketiga, priayi, ditandai pengaruh
mistik Hindu-Buddha prakolorrial maupun pengaruh kebudayaan Barat dan dijumpai pada
kelompok elite "kerah putih" (white collar elite) yang merupakan bagian dari birokasi
pemerintah. Dengan demikian Geertz melihat adanya keterkaitan erat antara ketiga subtradisi
ini--abangan, santri dan priayi--dengan tiga lingkungan--desa, pasar dan birokrasi pemerintah.
Di tahun 50-an dan 60-an dijumpai suatu pengelompokan yang terdiri atas partai politik yang
masing-masing mempunyai organisasi massa sendiri--suatu pengelompokan yang oleh Geertz
dinamakan aliran (lihat Geertz, 1959). Di Jawa Geertz mengidentifikasikan empat aliran: PNI,
PKI, Masyumi dan NU. Yang menarik ialah bahwa pola aliran tersebut kemudian dikaitkan
dengan ketiga subtradisi Geertz; muncul pandangan bahwa ketiga subtradisi tersebut melandasi
pengelompokan aliran. Menurut pendapat ini aliran berhaluan Islam didukung oleh kaum santri,
PNI berintikan kaum priayi, dan PKI didukung oleh kaum abangan.
Sebagaimana telah disebutkan, klasifikasi Geertz telah memancing berbagai reaksi. Harsja W.
Bachtiar (1973), misalnya, menemukan beberapa masalah dalam klasifikasi Geertz ini. Harsja
Bachtiar antara lain mengemukakan bahwa Geertz tidak secara tegas mengemukakan apakah
klasifikasinya merupakan klasifikasi budaya ataukah klasifikasi kelompok. Sebagai klasifikasi
kelompok, pembagian Geertz ini menurut Harsja Bachtiar tidak memadai karena besarnya
kemungkinan tumpang tindih. Dari segi ketaatan pada ajaran agama Islam, misalnya, seorang
priayi dapat diklasifikasikan sebagai santri atau abangan.
9.2. Organisasi Formal
Weber memusatkan perhatian pada organisasi formal dalam masyarakat modem. Menurutnya
dalam masyarakat modern kita,menjumpai suatu hubungan kekuasaan rasional-legal--suatu
sistem jabatan modern (modern officialdom) yang dijumpai baik di bidang pemerintahan maupun
di bidang swasta. Sistem jabatan ini dinamakan birokrasi (bureaucracy), yang berarti pengaturan
atau pemerintahan oleh pejabat (lihat Giddens, 1989:277). Menurut Reinhard Bendix organisasi
birokrasi yang disebutkan Weber mengandung sejumlah prinsip (lihat Bendix, 1960:418-419),
yaitu (1) urusan kedinasan dilaksanakan secara berkesinambungan, (2) urusan kedinasan
didasarkan pada aturan dalam suatu badan administratif, (3) tanggung jawab dan wewenang tiap
pejabat merupakan bagian dari suatu herarki wewenang, (4) pejabat dan pegawai administratif
tidak memiliki sarana dan prasarana yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas, (5) para
pemangku jabatan tidak dapat memperjualbelikan jabatan laksana milik pribad-i, dan (6) urusan
kedinasan dilaksanakan dengan menggunakan dokumen tertulis.
9.3. Kelompok Formal Dan Kelompok Informal
Suatu gejala yang menarik perhatian banyak ilmuwan sosial ialah adanya keterkaitan antara
kelompok formal dan kelompok informal. Segera setelah seseorang menjadi anggota organisasi
formal seperti sekolah, urniversitas, perusahaan atau kantor, ia sering mulai menjalin hubungan
persahabatan dengan anggota lain dalam organisasi formal tersebut sehingga dalam organisasi
formal akan terbentuk berbagai kelompok informal, seperti kelompok teman sebaya, kelompok
yang tempat tinggalnya berdekatan, kelompok yang bertugas dalam satu bagian kantor yang
sama, kelompok yang lulus dari perguruan tinggi sama, kelompok yang lulus sekolah seangkatan
dan sebagainya.
Hubungan antara organisasi formal dan kelompok informal dapat pula kita jumpai dalam bidang
pekerjaan. Di satu pihak kita dapat menjumpai studi yang mengungkapkan bahwa hubungan
persahabatan antara teman sekerja dapat memperlancar urusan kedinasan. Namun ada pula studi
yang memperlihatkan adanya kesenjangan antara tujuan organisasi dengan tujuan kelompok
informal; di kalangan sekelompok kaum buruh dapat terjalin kesepakatan untuk menetapkan
sasaran produksi yang lebih rendah daripada sasaran produksi yang ditetapkan oleh perusahaan,
atau--sebagaimana halnya dengan kasus absensi mahasiswa tersebut di atas--kesepakatan untuk
menutupi ketidakhadiran seorang teman yang absen karena tidak masuk kerja, datang terlambat,
atau pulang sebelum waktunya.
Pertanyaan :
1. Mengapa semangat anggota tentara Indonesia, yang menjadi tawanan musuh tidak luntur
karena tekanan keras dalam masa tahanan atau propaganda musuh yang mengatakan bahwa
masyarakat Indonesia tidak mendukung-nya?
2. Andaikan anda ingin mengubah perilaku sekelompok orang, cara manakah yang lebih
berkemungkinan untuk berhasil? : (1) mendekati langsung para individu untuk mengubah
perilaku mereka, yang pada akhirnya akan mengubah perilaku kelompok?; atau (2) mengubah
situasi atau cara kerja kelompok dengan pemikiran bahwa cara tersebut akan mempengaruhi
perilaku para individu dalam kelompok tersebut?
13 April 2009
BAB 10. JENIS KELAMIN DAN GENDER
Kompetensi :
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa akan mengetahui mengenai jenis kelamin dan gender
10.1. Mengapa Gender Perlu diketahui?
Adanya perbedaan peran gender secara sosial telah melahirkan perbedaan hak, tanggung jawab,
peran, fungsi bahkan ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Studi Margaret
Mead (antropolog) : ingin membuktikan bhw dlm kebudayaan masyarakat Barat dikenal
pembedaan kepribadian laki-laki & perempuan berdasar jenis kelamin. Karena itu ia meneliti 3
kelompok etnik di Papua Timur Laut (1965) Hasil penelitan mead menunjukkan bhw ketiga suku
Arapesh (tinggal di pegunungan), Suku Mundugumor (tinggal di tepi sungai), dan suku
Tschambuli (tinggal di tepi danau); Mead menemukan klasifikasi tsb tidak berlaku bagi 3
kelompok tersebut. Contoh hasil temuan Mead : pada Suku Arapesh ditemukan bahwa Laki-laki
& perempuan cenderung ke arah sifat tolong menolong, tidak agresif, penuh perhatian pd orang
lain, tdk dijumpai dorongan seksualitas kuat ke arah kekuasaan (Mead dalam Sunarto,
2004:109). Dlm klasifikasi Barat perempuan dikaitkan dgn ciri kepribadian tertentu spt keibuan,
berhati lembut, suka menolong, emosional, tergantung, manja, peduli thd keperluan orang lain.
Di lain pihak laki-laki memiliki kepribadian keras, agresif, menguasai & seksualitas kuat..
Mengetahui perbedaan ini penting karena selama ini pengertian gender dan seks sering
dicampuradukkan. Perbedaan peran, fungsi, hak, dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan
bersifat tidak abadi, tidak kekal dan tidak berlaku universal dan merupakan ciri-ciri non kodrat
yang dibangun dan dibentuk oleh manusia. Ciri-ciri tersebut berbeda dari masa ke masa, dari satu
tempat ke tempat lain, bahkan berbeda dari satu lapisan sosial dengan lapisan sosial lainnya.
Kondisi dimaksud dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
pemberitaan perkosaan baik yang terjadi di dalam negeri maupun yang dilami oleh para TKW di
luar negeri.
10.6.2. Kekerasan dalam Rumah Tangga
Dalam kehidupan sehari-hari baik alki-laki maupun perempuan mengalami kekerasan di tangan
orang dekatmereka , seperti orang tua, kakak, adik, majikan, atau isuami/isteri.
10.6.3. Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual (sexual harrassment) didefiniskan sebagai komentar, isyarat, atau kontak fisik
yang bersifat seks, diulang-ulang, dan tidak dikehendaki.
Pertanyaan :
1. Apakah peran gender bisa dipertukarkan? Apakah perbedaan peran gender merupakan akibat
dari perbedaan jenis kelamin?
2. Sebutkan beberapa bukti bahwa proses sosialisasi peran gender di Indonesia sedang berubah!
3. Buatlah daftar harapan anggota-anggota kelompokmu mengenai harapan peran dirinya dan
suami/isteri di masa mendatang (seperti karir, tugas-tugas rumah tangga, mendidik anak, belanja,
dsb). Bandingkan jawaban antara kelompok laki-laki dan perempuan! Apakah ada beberapa
harapan yang sama antara kedua kelompok laki-laki dan perempuan tersebut?
13 April 2009
BAB 11. PERUBAHAN SOSIAL
Kompetensi :
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa akan mengetahui mengenai perubahan sosial dalam
masyarakat.
Perubahan sosial merupakan fenomena kehidupan sosial yang tidak dapat dihindari oleh setiap
individu maupun kelompok masyarakat manapun di dunia ini. Pertanyaan mendasar yang kerap
muncul adalah mengapa perubahan itu muncul? Menurut Horton & Hunt (1984: 207) barangkali
jawabannya adalah manusia pada dasarnya memiliki sifat bosan. Perubahan sosial merupakan
perubahan dalam segi struktur sosial dan hubungan sosial meliputi diantaranya perubahan
distribusi kelompok usia, tingkat pendidikan rata-rata, tingkat kelahiran penduduk, penurunan
kadar rasa kekeluargaan informalitas antar tetangga karena adanya perpindahan orang dari desa
ke kota dan perubahan peran suami sebagai atasan yang kemudian menjadi mitra (partner) istri
dalam keluarga demokratis dewasa ini (Horton & Hunt 1984: 208).
Di samping itu Auguste Comte mengemukakan bahwa sosiologi mempelajari statika social dan
dinamika sosial. Hingga kini perhatian kita lebih tertuju pada segi statika struktur sosial pada
pokok-pokok bahasan seperti kelompok-kelompok, hubungan antarkelompok, institusi-institusi,
stratifikasi. Meskipun pembahasan kita terpusat pada aspek statika masyarakat, namun di canes
sini kita telah mulai menyentuh masalah perubahan. Dalam kenyataan statika social dan
dinamika social memang sukar dipisahkan, meskipun secara analitik kita berusaha
melakukannya. Kita telah melihat bahwa stratifikasi social dapat berubah melalui mobilitas
sosial; institusi social dapat berubah karena terjadinya perubahan pada institusi lain atau karena
terjadinya gerakan sosial. Kita pun telah mulai menyinggung beberapa teori perubahan sosial,
seperti teori Marx mengenai perubahan sistem feodal menjadi kapitalis dan kemudian sosialis,
teori Weber mengenai munculnya kapitalisme dalam masyarakat feodal, teori Durkheim
mengenai perubahan solidaritas mekanik menjadi organik. Sekarang Pawl perhatian kita akan
beralih pada segi dinamika masyarakat pada perubahan sosial (Sunarto, 2000: 203).
11.1. Pola Perubahan Social
a. Pola Linear
Etzioni-Halevy dan Etzioni (1973:3-8) mengemukakan bahwa pemikiran para tokoh sosiologi
klasik mengenai perubahan sosial dapat digolongkan ke dalam beberapa pola. Pola pertama ialah
pola linear; menurut pemikiran ini perkembangan masyarakat mengikuti suatu pola yang pasti.
Contoh yang diberikan Etzioni-Halevy dan Etzioni mengenai pemikiran linear ini ialah karya
Comte dan Spencer.
Pemikiran mengenai pola perkembangan linear kita temukan dalam karya Comte (lihat Comte,
1877 dalam Etzioni-Halevy dan Etzioni, ed., 1973:14-19). Menurut Comte kemajuan progresif
peradaban manusia mengikuti suatu jalan yang alami, pasti, sama, dan tak tcrelakkan. Dalam
teorinya yang dikenal dengan nama "Hukum Tiga Tahap," Comte mengemukakan bahwa sejarah
memperlihatkan adanya tiga tahap yang dilalui peradaban. Pada tahap pertama yang diberinya
nama tahap Teologis dan Militer, Comte melihat bahwa semua hubungan sosial bersifat militer;
masyarakat senantiasa bertujuan menundukkan masyarakat lain. Semua konsepsi teoretik
dilandaskan pada pemikiran mengenai kekuatan-kekuatan adikodrati. Pengamatan dituntun oleh
imajinasi; penelitian tidak dibenarkan.
Tahap kedua, tahap Metafisik dan Yuridis, merupakan tahap antara yang menjembatani
masyarakat militer dengan masyarakat industri. Pengamatan masih dikuasai imajinasi tetapi
lambat laun semakin merubahnya dan menjadi dasar bagi penelitian.
Pada tahap ketiga dan terakhit, tahap Ilmu Pengetahuan dan Industri, industri mendominasi
hubungan sosial dan produksi menjadi tujuan utama masyarakaL Imajinasi telah digeser oleh
pengamatan dan konsepsi-konsepsi teoritik telah bersifat positif.
Dari apa yang telah dikemukakan Comte tersebut--perubahan yang pasti, serupa, tak terelakkan,
dapat kita lihat bahwa pandangannya mengenai perubahan sosial bersifat unilinear.
b. Pola Unilinier
Pemikiran unilinear kita jumpai pula dalam karya Spencer (lihat Spencer, 1892 dalam EtzioniHalevy dan Etzioni, ed., 1973:9-13). Spencer mengemukakan bahwa struktur sosial berkembang
secara evolusioner dari struktur yang homogen menjadi heterogen. Perubahan struktur
berlangsung dengan diikuti perubahan fungsi. Suku yang sederhana bergerak maju secara
evolusioner ke arah ukuran lebih besar, keterpaduan, kemajemukan, dan kepastian sehingga
terjelma suatu bangsa yang beradab.
Comte dan Spencer berbicara mengenai perubahan yang senantiasa menuju ke arah kemajuan.
Namun ada pula pandangan unilinear yang cenderung mengagung-agungkan masa lampau dan
melihat bahwa masyarakat berkembang ke arah kemunduran--suatu pandangan yang oleh
Wilbert E. Moore (1963) dinamakan "primitivisme."
Pola Siklus
Menurut pola kedua, pola siklus, masyarakat berkembang laksana suatu roda: kadang kala naik
ke atas, kadangkala turun ke bawah. Contoh yang dikemukakan Etzioni-Halevy dan Etzioni ialah
karya Oswald Spengler dan Vilfredo Pareto.
Dalam bukunya yang terkenal, The Decline of the West (judul asli: Die Untergang des
Abendlandes, 1926, dikutip dalam Etzioni-Halevy dan Etzioni, ed., 1973:20-25) Oswald
Spengler mengemukakan sebagai berikut:
. the great cultures accomplish their majestic wave cycles. "They appear suddenly, swell in
splendid lines, flatten again, and vanish ... dan Every culture passes through the age phases of the
individual man. Each has its childhood, youth, manhood, and old age.
Kutipan-kutipan di atas mencerminkan pandangannya bahwa kebudayaan tumbuh, berkembang
dan pudar laksana perjalanan gelombang, jang muncul mendadak, bcrkembang dan kemudian
lenyap; ataupun laksana tahap perkembangan seorang manusia--melcwati masa muda, masa
dewasa, masa tua, dan akhirnya punah. Sebagai contoh Spengler mengacu pada kebudayaankebudayaan besar yang kini telah tiada, seperti kebudayaan Yunani, Romawi, dan Mesir.
Menurut Spengler kebudayaan Barat akan mengalami hal serupa--oleh karena u bukunya
diberinya judul The Decline of the West ("pudarnya Barat").
Pandangan mengenai siklus kita jumpai pula dalam karya Vilfrcdo Pareto (lihat Pareto, 1935
dalam Etzioni-Halevy dan Etzioni, ed. 1973:26-29). Dalam tulisannya mengenai sirkulasi kaum
elite (the circulation of elites) Pareto mengemukakan bahwa dalam tiap masyarakat terdapat dua
lapisan, lapisan bawah atau nonelite dan lapisan atas, elite, yang terdiri atas kaum aristokrat dan
terbagi lagi dalam dua kelas: elite yang berkuasa dan elite yang tidak berkuasa. Menurut Pareto
aristokrasi senantiasa akan mengalami transformasi; sejarah menunjukkan bahwa aristokrasi
hanya dapat bertahan untuk jangka waktu tertentu saja dan akhimya akan pudar untuk
selanjutnya diganti oleh suatu aristokrasi baru yang berasal dari lapisan bawah. Sejarah, menurut
Pareto, merupakan tempat pemakaman bagi aristokrasi. Aristokrasi yang menempuh segala
upaya untuk mempertahankan kekuasaan akhirnya akan digulingkan melalui gerakan dengan
disertai kekerasan atau revolusi. Sebagaimana halnya dengan Spengler, maka di sini Pareto pun
mengacu pada pengalaman kaum aristokrat di Yunani, Romawi dan sebagainya.
c. Gabungan Beberapa Pola
Sejumlah teori menampilkan penggabungan antara kedua pola ~ergebut di atas. HalevyEtzioni
dan Etzioni memberikan dua contoh; salah satu di antaranya ialah teori konllik Karl Marx.
Pandangan Marx bahwa sejarah manusia merupakan sejarah perjuangan tcrus-menerus antara
kelas-kelas dalam masyarakat sebenarnya mengandung benih pandangan siklus karena setelah
suatu kelas berhasil menguasai kelas lain menurutnya siklus serupa akan berulang lagi.
Ramalannya mengenai masyarakat komunis pun mengandung pemikiran siklus, karena
masyarakat komunis yang didambakan Marx merupakan masyarakat yang menurut Marx pernah
ada sebelum adanya feodalisme dan kapitalisme--masyarakat yang tidak mengenal pembagian
kerja, yang di dalamnya konflik diganti dengan kerja sama. Namun dalam pemikiran Marx kita
pun menjumpai pemikiran linear: menurutnya perkembangan pesat kapitalisme akan memicu
konflik antara kaum buruh dengan kaum borjuis yang akan dimenangkan kaum buruh yang
kemudian akan membentuk masyarakat komunis. Pandangan Marx mengenai perkembangan
linear pun tercermin dari pandangannya bahwa negara jajahan Barat pun akan melalui proses
yang telah dialami masyarakat Barat.
Max Weber merupakan tokoh sosiologi klasik lain yang menurut Etzioni-Halevy dan Etzioni
menghasilkan teori yang berpola siklus (lihat Weber, 1958 dan 1947 dalam EtzioniHalevy dan
Etzioni, eds., 1973:40-53). Pemikiran Weber yang dinilai mengandung pemikiran siklus ialah
pembedaannya antara tiga jenis wewenang: kharismatik, rasional-legal dan tradisional. Weber
mclihat bahwa wewenang yang ada dalam masyarakat akan beralih-alih: wewenang kharismatik
akan mengalami rutinisasi sehingga beralih menjadi wewenang tradisional atau rasional-legal;
kemudian akan muncul lagi wewenang kharismatik, yang diikuti dengan rutinisasi; dan
seterusnya. Di pihak lain, Weber pun melihat adanya perkembangan linear dalam masyarakat,
yaitu semakin meningkatnya rasionalitas.
Pandangan-pandangan para tokoh sosiologi klasik tcrscbut sudah banyak yang ditinggalkan olch
para tokoh sosiologi modern. Meskipun banyak tokoh sosiologi modern-khususnya penganut
fungsionalisme seperti Talcott Parsons dan Neil J. Smclser--menganut pandangan mengenai
perkembangan masyarakat secara evolusioner, namun suatu perkembangan linear laksana teori
tiga tahap Comte tidak dianut lagi. Meskipun di kalangan tokoh sosiologi modern pun terdapat
penganut pendekatan konflik, seperti misalnya Ralf Dahrendorf, namun mercka pun sudah
meninggalkan banyak di antara pemikiran asli Marx.
11.2. Perubahan Sosial di Abad ke 20
Teori-teori yang dikemukakan para perintis awal sosiologi muncul sebagai reaksi terhadap
perubahan-perubahan sosial besar yang terjadi pada masyarakat Barat, terutama di Eropa Barat.
Di kala itu proses-proses perubahan besar yang terjadi semenjak abad ke - 18 seperti
detradisionalisasi, defeodalisasi, urbanisasi, industrialisasi, perkembangan kapitalisme dan
sosialisme memang baru terbatas pada masyarakat Eropa Barat. Masyarakat-masyarakat nonBarat di luarnya--di Asia, Afrika, dan di Amerika Latin--bukannya tidak tersentuh oleh
perubahan-perubahan yang terjadi di Barat. Praktik-praktik imperialisme dan kolonialisme
terhadap masyarakat-masyarakat non-Barat yang mendahului dan menyertai peruhahan besar di
Eropa Barat pun memicu perubahan pada masyarakat non-Barat, meskipun perubahan yang
terjadi sangat berbeda dengan perubahan di Eropa. Kontak dengan Belanda dan negara Eropa
lain yang dialami masyarakat kita sejak abad ke 17 berakibat hilangnya kekuasaan politik dan
ekonomi para penguasa pribumi pada tingkat regional dan lokal yang diikuti penjajahan langsung
maupun tidak langsung, sehingga eksploitasi hasil bumi kita dalam skala besar oleh pihak swasta
maupun Pemerintah Belanda untuk keperluan pasar Eropa dimungkinkan.
Berakhirnya Perang Dunia II diikuti perubahan-perubahan sosial besar di kawasan Asia, Afrika
dan Amerika Selatan--baik di negara-negara yang telah ada maupun di negara-negara baru yang
telah bebas dari penjajahan. Perhatian sejumlah ilmuwan sosial mulai dipusatkan pada proses
perubahan di kawasan di mana mayoritas masyarakat dunia hidup, dan sebagai akibatnya muncul
berbagai teori mengenai perubahan-perubahan di negara-negara di kawasan ini. Pusat-pusat studi
yang mengkhususkan diri pada masyarakat non-Barat ini mulai berkembang di berbagai negara
Barat. Negara-negara non-Barat ini mulai diberi berbagai
. julukan seperti "Masyarakat-masyarakat Dunia Ketiga" (Third World Societies),
"Ncgaranegara Terkebelakang" (Underdeveloped Countries atau Less Developed Countries),
"Negaranegara Sedang Berkembang" (Developing Countries), atau "Ncgara-ncgara Sclatan"
(South Countries).
Istilah Masyarakat Dunia Ketiga mengacu pada mayoritas masyarakat dunia yang pernah dijajah
negara-negara Barat dan yang masyarakatnya kebanyakan hidup dari pertanian; istilah
Masyarakat Dunia Pertama (First World Society) mengacu pada negara-negara industri maju di
Eropa Barat, Amerika, Australia dan Jepang; dan istilah Masyarakat Dunia ICCdua (Second
World Societies) mengacu pada negara-negara industri di Eropa Timur (lihat Giddens,
1989:5258). Negara-negara "Sedang Berkembang" tersebut sering pula dijuluki Ncgara-negara
Sclatan (South Countries), karena negara-negara tersebut kebanyakan terletak di belahan Selatan
bumi.
Giddens (1989) mengemukakan bahwa kesalingtergantungan masyarakat dunia semakin
meningkat. Proses peningkatan kesalingtergantungan masyarakat dunia ini dinamakannya
globalisasi (globalization) dan ditandai kesenjangan besar antara kckayaan dan tingkat hidup
masyarakat-masyarakat industri dan masyarakat-masyarakat Dunia Ketiga. Mcnurutnya tiap
tahun jutaan penduduk mati kelaparan meskipun produksi makanan di scluruh dunia cukup untuk
memberi makan semua orang, sedangkan sejumlah besar bahan makanan tersimplan-atatt
dimusnahkan di negara-negara Barat. Gejala-gejala perubahan sosial lain yang dicatat Giddens
ialah tumbuh dan berkembangnya negara-negara industri baru (newly industrialized countries,
atau NIC), dan semakin meriingkatnya komunikasi antarnegara sebagai dampak teknologi
komunikasi yang semakin canggih.
Masalah globalisasi diulas pula oleh Waters, yang mendefinisikannya sebagai "A social process
in which the constraints of geography on social and cultural arrangements recede and in which
people become increasingly aware that they are receding" (1996:3). Waters berpandangan bahwa
globalisasi berlangsung di tiga bidang kehidupan, yaitu perekonomian, politik, dan budaya.
Menurutnya globalisasi ekonomi berlangsung di bidang perdagangan, produksi, investasi,
ideologi organisasi, pasar modal, dan pasar kerja; globalisasi politik terjadi di bidang kedaulatan
negara, fokus kegiatan pemecahan masalah, organisasi internasional, hubungan internasional,
dan budaya politik; dan globalisasi budaya terjadi dalam bidang apa yang dinamakannya
sacriscape (ide keagamaan), ethnoscape (etnisitas), econoscape (pola pertukaran benda
berharga), mediascape (produksi dan distribusi gambaran sama ke seluruh dunia), dan
leisurescape (pariwisata).
11.3. Teori-teori modern Mengenai Perubahan Sosial
Teori-teori modern yang terkenal ialah, antara lain, teori-teori modernisasi para penganut
pendekatan fugsionalisme seperti Neil J. Smelser dan Alex Inkeles, teori ketergantungan . Andrd
Gunder Frank yang merupakan pendekatan konflik, dan teori mengenai sistem dunia dari
Wallerstein.
Di antara teori-teori klasik dan teori-teori modern kita dapat menjumpai benang merah.
Sebagaimana halnya dengan pandangan mengenai perkembangan masyarakat secara linear yang
dikemukakan oleh tokoh klasik seperi Comte dan Spencer, maka teori-teori modernisasi pun
cenderung melihat bahwa perkembangan masyarakat Dunia Ketiga berlangsung secara
evolusioner dan linear dan bahwa masyarakat bergerak ke arah kemajuan--dari tradisi ke
modernitas. Para penganut teori kontlik, di pihak lain, melihat bahwa perkembangan yang terjadi
di Dunia Ketiga justru menuju ke keterbelakangan dan pada ketergantungan pada negaranegara
industri maju di Barat.
Teori modernisasi. Teori modernisasi menganggap bahwa negara-negara terbelakang akan
menempuh jalan sama dengan negara industri maju di Barat sehingga kemudian akan menjadi
negara berkembang pula melalui proses modernisasi (lihat Light, Keller and Calhoun, 1989).
Teori ini berpandangan bahwa masyarakat-masyarakat yang belum berkembang perlu mengatasi
berbagai kekurangan dan masalahnya sehingga dapat mencapai tahap "tinggal landas" (take-offl
ke arah perkembangan ekonomi. Menurut Etzioni-Halevy dan Etzioni transisi dari keadaan
tradisional ke modernitas melibatkan revolusi demografi yang ditandai menurunnya angka
kematian dan angka kelahiran; menurunnya ukuran dan pengaruh keluarga; terbukanya sisem
stratifikasi; peralihan dari struktur feodal atau kesukuan ke suatu birokrasi; menurunnya
pengaruh agama; beralihnya fungsi pendidikan dari keluarga dan komunitas ke sistem
pendidikan formal; munculnya kebudayaan massa; dan munculnya perekonomian pasar dan
industrialisasi (lihat Etzioni-Halevy dan Etzioni, 1973:177).
Teori ketergantungan. Menurut teori ketergantungan (dependencia) yang didasarkan pada
pengalaman negara-negara Amerika Latin ini (lihat antara lain, Giddens, 1989, dan Light, Keller
and Calhoun, 1989) perkembangan dunia tidak merata; negara-negara industri menduduki posisi
dominan sedangkan negara-negara Dunia Ketiga secara ekonomis tergantung padanya.
yang disebutkan Boeke, yaitu adanya masyarakat yang terkebelakang yang hidup berdampingan
dengan masyarakat yang maju mempetoleh berbagai tanggapan. Sejumlah ilmuwan sosial
mencoba mengembangkan pemikiran Boeke ini, sedangkan ilmuwan lain menolaknya. Evers
sendiri mengecam Boeke karena cenderung mempersalahkan masyarakat pribumi sendiri atas
keterbelakangan mereka. ,;
Plural societies. Konsep masyarakat majemuk (plural societies) dipopulerka~n oleh J.S.
Furnivall. Menurut Furnivall (dalam Evers, 1980:86-96) Indonesia (Hindia-Belanda) merupakan
contoh suatu masyarakat majemuk, yaitu: ". . . a society, that is, comprising two
or more elements or social orders which live side by side, yet without mingling, in one political
unit."
Dalam gambarannya masyarakat Indonesia terdiri atas sejumlah tatanan sosial yang hidup
berdampingan tetapi tidak berbaur; namun menurutnya kelompok Eropa, Cina dan pribumi
saling melekat laksana kembar Siam dan akan hancur bilamana dipisahkan, scbagaimana nampak
dari kutipan bcrikut:
.., in Netherlands India, the European, Chinese and native are linked as vitally as Siamese twins
and, if rent asunder, every element must dissolve in anarchy.
Menurut Evers konsep ini pun telah mendorong sejumlah ilmuwan sosial untuk
menggunakannya, mengembangkannya, dan mengujinya pada masyarakat lain. Evers sendiri
menilai bahwa baik Boeke maupun Furnivall menganut gambaran yang terlalu sederhana
mengenai masyarakat Asia Tenggara.
Involution. Dampak pengaruh kapitalisme terhadap masyarakat pribumi dibahas Clifford Geertz
dalam bukunya Agricultural Involution (Involusi Pertanian; lihat Geertz, 1966). Menurut Geertz
kontak dengan kapitalisme Barat tidak menghasilkan perubahan secara evolusioner pada
masyarakat pedesaan di Jawa, melainkan suatu proses yang dinamakannya involusi. Menurut
Geertz penetrasi kapitalisme Barat terhadap sistem sawah di Jawa membawa kemakmuran di
Barat tetapi mengakibatkan suatu proses "tinggal landas" berupa peningkatan jumlah penduduk
pcdesaan. Ternyata kelebihan penduduk ini dapat diserap sawah melalui proses involusi, yaitu
suatu kerumitan berlebihan yang semakin rinci yang memungkinkan tiap orang tetap menerima
hagian dari panen meskipun bagiannya memang menjadi semakin mcngecil.
Konsep Geertz ini pun digunakan sejumlah ilmuwan sosial lain--antara lain di bidang perkotaan
sehingga kita mengenal pula konsep urban involution yang dipopulerkan oleh W.R. Armstrong
dan Terry McGee (lihat Armstrong dan McGee dalam Evers, 1980:220-234). Armstrong dan
McGee mengaitkan konsep involusi dengan sistem pasar di daerah perkotaan Dunia Ketiga, yang
senantiasa mampu menyerap tenaga kerja. Evers (1974) lebih mengaitkan konsep involusi
dengan perubahan struktural di daerah perkotaan; meskipun penduduk bertambah, namun kurang
terjadi diferensiasi sosial.
Pertanyaan :
1. Apakah pemahaman tentang difusi memungkinkan menururnya etnosentrisme?
2. Menurut anda sejauh mana efektifitas etnosentrisme berperan dalam mengurangi bantuan
asing?