Anda di halaman 1dari 74

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

MANAGEMEN AGROEKOSISTEM
KOMODITAS Jambu Kristal (Psidium guajava L.)
Kecamatan Bumi Aji Kota Batu Jawa Timur

DisusunOleh:
Kelas: C
Kelompok: Bumi Aji (C2)

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM


MANAGEMEN AGROEKOSISTEM
KECAMATAN BUMI AJI, KOTA BATU, JAWA TIMUR

Disusun Oleh

Kelompok

: Bumi Aji (C2)

Asisten

: - Tauffani

Anggota

(Aspek HPT)

- Qotrun Nanda

(Aspek BP)

- Raushan Fikr Bushron

(Aspek Tanah)

: - Irma Ardhi K.

(145040200111132)

- Ely Lailatul M

(145040200111133)

- Ikhya Ulum

(145040200111137)

- Dinery Qiara Lingga

(145040200111138)

- Hisyam Arif Aditama

(145040200111139)

- Intan Talitha Sakti

(145040200111140)

- Brama Setya Kusuma

(145040200111141)

- Muhammad Rifqi Al J

(145040200111146)

- Ika Lestiana Sari

(145040200111148)

- Agustin Dwi L I

(145040200111150)

- Miftahul Jannah

(145040200111151)

- Fikri Hadi Rusdianto

(145040200111153)

- Dewi Ayu Kurniawati

(145040200111160)

ii

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Tujuan Praktikum ............................................................................ 2
1.3 Manfaat Praktikum .......................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 3
2.1 Agroekosistem Lahan Basah dan Lahan Kering ............................. 3
2.2 Proses dan Manajemen Produksi Tanaman.................................... 6
2.3 Komponen dalam Manajemen Agroekosistem .............................. 10
2.4 Hama dan Penyakit Penting Tanaman pada Agroekosistem ........ 11
2.5 Pengaruh Populaso Musuh Alami dan Serangga Lain terhadap
Agroekosistem ............................................................................... 26
2.6 Indikator Kesehatan Tanah ........................................................... 27
2.7 Hubungan antara Aspek Budidaya, Pengelolahan Tanah dan
Pengendalian Hama Penyakit Tanaman dalam Agroekosistem .... 29
BAB III METODE PELAKSANAAN .......................................................... 31
3.1 Waktu, Tempat dan deskripsi Lokasi Fieldtrip secara umum ...... 31
3.2 Alat dan Bahan ........................................................................... 31
3.3 Cara Kerja................................................................................... 32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................ 38
4.1 Kondisi Umum Lahan.................................................................. 38
4.2 Analisis Keadaan Agroekosistem ............................................... 39
4.3 Rekomendasi .............................................................................. 56
BAB V PENUTUP .................................................................................... 60
5.1 Kesimpulan Kegiatan Praktikum ................................................. 60
5.2 Saran (untuk Asisten dan Praktikum) ......................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 61
LAMPIRAN............................................................................................... 66

iii

DAFTAR TABEL
No
Teks
hal
1, Lembar Penilaian Kesehatan Tanah .................................................... 27
2, Hasil pengamatan Arthropoda ............................................................. 39
3, Perhitungan Intensitas Penyakit........................................................... 41
4, Hasil pengukuran laboratorium berat isi ............................................... 51
5, Hasil pengukuran berat jenis................................................................ 51
6, Hasil perhitungan ................................................................................. 52
7, Hasil pengukuran indikator kimia tanah ............................................... 52
8, Hasil pengukuran indikator biologi tanah ............................................. 52

iv

DAFTAR GAMBAR
No
Teks
hal
1, Penyakit Embun Jelaga (Ernawati.2013) ............................................. 43
2, Dokumentasi Hama ............................................................................. 66
3, Dokumentasi Penyakit ......................................................................... 66
4, Dokumentasi pengamatan aspek tanah ............................................... 66

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan pertolongan-Nya kami dapat menyelesaikan laporan praktikum
Managemen Agroekosistem tentang komoditas Jambu Kristal (Psidium
guajava L.) Kecamatan Bumi Aji Kota Batu Jawa Timur. Meskipun banyak
rintangan dan hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya,
tetapi kami dapat menyelesaikannya dengan baik.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada asisten praktikum
pembimbing Managemen Agroekosistem, dan tim asisten pembimbing
praktikum Managemen Agroekosistem yang telah membantu kami dalam
mengerjakan laporan besar ini. Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada teman-teman sesama mahasiswa yang juga sudah memberikan
kontribusi yang baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
pembuatan laporan besar ini.
Semoga laporan yang kami buat ini dapat memberikan pengetahuan
yang luas kepada pembaca. Tentunya laporan ini memiliki kelebihan dan
kekurangan. Atas dasar itu, penyusun membutuhkan kritik dan saran
membangun dari pembaca.
Malang, 1 Juni 2016

Tim Penyusun

vi

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jambu Kristal (Psidium guajava L.) merupakan buah endemik taiwan
yang memiliki harga jual dan banyak peminat cukup tinggi di masa
mendatang. Jambu ini memasuki wilayah Indonesia pada tahun 1998 yang
melalui Misi Teknik Taiwan (Taiwan Technical Mission in Indonesia).
Beberapa

tahun

terakhir,

jambu

Kristal ini sudah banyak yang

membudidayakannya. Untuk menjaga keaslian bibit jambu Kristal


diperlukan upaya perlindungan terhadap keaslian bibit jambu ini. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan sertifikat sebagai
identitas keaslian benih yang tersebar di Indonesia.
Jambu Kristal sudah dikembangkan di daerah Bumiaji kota batu yang
merupakan

salah

satu

pengembang

dan

pembibitan

bersertifikat

khususnya komoditas jambu. Proses sertifikasi pada bibit tanaman Jambu


Kristal merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kualitas produk dalam
negeri serta melindungi kualitas jambu Kristal yang dihasilkan. Pada proses
sertifikasi diperlukan adanya beberapa tahap mulai dari pembibtan hingga
analisa produksi serta serangan hama dan penyakit tanaman.
Kegiatan praktikum kali ini dilaksanakan di Bumiaji tepatnya di kota
batu untuk mengdentifikasi lahan jambu Kristal. Kegiatan praktikum
dilaksanakan pada tanggal 21 Mei 2016.
Kegiatan kali ini dibagi menjadi 3 aspek yaitu aspek budidaya, tanah,
dan hama penyakit. Pada aspek tanah dilakukan pengamatan pada laang
dan uji laboratorium, pada aspek bp dilakukan wawancara langsung pada
pemilik lahan jambu Kristal sedangkan pada aspek hama dan penyakit
dilakukan penangkapan hama da identifikasi hama dan penyakit pada
tanaman jambu Kristal

1.2 Tujuan Praktikum


a. Untuk mengetahui kendala-kendala pada praktek budidaya jambu
Kristal pada daerah bumiaji kota batu
b. Untuk mengetahui cara budidaya dan pembibitan jambu Kristal

1.3 Manfaat Praktikum


a. Dapat menambah wawasan tentang budidaya jambu Kristal
b. Dapat mengetahui permasalahan di lapang sebagai mahasiswa

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Agroekosistem Lahan Basah dan Lahan Kering
2.1.1 Agroekosistem Lahan Kering
Agroekosistem lahan kering dimaknai sebagai wilayah atau
kawasan pertanian yang usaha taninya berbasis komoditas lahan
kering selain padi sawah. Kadekoh (2010) mendefinisikan lahan
kering sebagai lahan dimana pemenuhan kebutuhan air tanaman
tergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak pernah tergenang
sepanjang tahun.
Pada umumnya istilah yang digunakan untuk pertanian lahan
kering adalah pertanian tanah darat, tegalan, tadah hujan dan huma.
Potensi pemanfaatan lahan kering biasanya untuk komoditas
pangan seperti jagung, padi gogo, kedelai, sorghum, dan palawija
lainnya. Untuk pengembangan komoditas perkebunan, dapat
dikatakan bahwa hamper semua komoditas perkebunan yang
produksinya berorientasi ekspor dihasilkan dari usaha tani lahan
kering. Prospek agroekosistem lahan kering untuk pengembangan
peternakan cukup baik (Bamualim, 2004).
Lahan kering mempunyai potensi besar untuk pertanian, baik
tanaman pangan, hortikultura, maupun tanaman perkebunan.
Pengembangan berbagai komoditas pertanian di lahan kering
merupakan salah satu pilihan strategis untuk meningkatkan produksi
dan mendukung ketahanan pangan nasional (Mulyani dkk, 2006).
Namun demikian, tipe lahan ini umumnya memiliki produktivitas
rendah, kecuali pada lahan yang dimanfaatkan untuk tanaman
tahunan atau perkebunan. Pada usaha tani lahan kering dengan
tanaman semusim, produktivitas relatif rendah serta menghadapi
masalah sosial ekonomi seperti tekanan penduduk yang terus
meningkat dan masalah biofisik (Sukmana, dalam Syam, 2003).

Menurut Hidayat dkk (2000) lahan kering adalah hamparan


lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada
sebagian waktu selama setahun. Lahan kering di Indonesia
menempati lahan tanpa pembatas, kesuburan rendah, lahan dengan
tanah retak-retak, lahan dengan tanah dangkal dan lahan dengan
perbukitan. Relief

tanah ikut menentukan mudah dan tidaknya

pengelolaan lahan kering.


Menurut Subagio dkk (2000) relief tanah sangat ditentukan oleh
kelerengan dan perbedaan ketinggian. Menurut Irawan dan Pranadji
(2002) ditinjau dari bentuk, kesuburan

dan sifat fisik lainnya,

pengelolaan lahan kering relatif lebih berat dibandingkan dengan


lahan basah (sawah). Hinga saat ini perhatian berbagai pihak
terhadap pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan relatif
rendah dibandingkan dengan pengelolaan lahan sawah dataran
rendah.
Menurut Scherr (2003) pemanfaatan lahan kering di daerah
perbukitan dan pegunungan untuk pertanian semusim demi
menghasilkan bahan pangan banyak dijumpai dan dilakukan
penduduk yang bermukim di pedesaan. Dengan pemanfaatan lahan
kering di pegunungan dan perbukitan secara terus menerus tanpa
memperhatikan kaidah konservasi akan menyebabkan terjadinya
erosi dan penurunan kesuburan yang berat. Di negara yang sedang
berkembang termasuk Indonesia, kerusakan lahan ini umumnya
bermuara pada merebaknya kemiskinan dan kelaparan. Sedangkan
secara ekologi akan mengganggu keseimbangan ekosistim terjadi
penurunan kekayaan hayati yang berat.
2.1.2 Agroekosistem Lahan Basah
Menurut Hardjowigno et all (2007), lahan basah atau wetland
adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh dengan air, baik
bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu
sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan
air yang dangkal. Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di

antaranya, adalah rawa-rawa (termasuk rawa bakau), payau, dan


gambut. Akan tetapi dalam pertanian dibatasi agroekologinya
sehingga lahan basah dapat di definisikan sebagai lahan sawah.
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi
sawah, baik terus menerus sepanjang tahun maupun bergiliran
dengan tanaman palawija. Segala macam jenis tanah dapat
disawahkan asalkan air cukup tersedia. Selain itu padi sawah juga
ditemukan pada berbagai macam iklim yang jauh lebih beragam
dibandingkan dengan jenis tanaman lain. Karena itu tidak
mengherankan bila sifat tanah sawah sangat beragam sesuai
dengan sifat tanah asalnya. Tanah sawah dapat berasal dari tanah
kering yang dialiri kemudian disawahkan atau dari tanah rawa-rawa
yang dikeringkan dengan membuat saluransaluran drainase. Sawah
yang airnya berasal dari air irigasi disebut sawah irigasi, sedang yang
menerima langsung dari air hujan disebut sawah tadah hujan. Di
daerah pasang surut ditemukan sawah pasang surut, sedangkan
yang dikembangkan di daerah rawa-rawa lebak disebut sawah lebak.
Penggenangan selama pertumbuhan padi dan pengolahan tanah
pada tanah kering yang disawahkan, dapat menyebabkan berbagai
perubahan sifat tanah, baik sifat morfologi, fisika, kimia, mikrobiologi
maupun sifat-sifat lain sehingga sifat-sifat tanah dapat sangat
berbeda dengan sifat-sifat tanah asalnya. Sebelum tanah digunakan
sebagai tanah sawah, secara alamiah tanah telah mengalami proses
pembentukan

tanah

sesuai

dengan

faktor-faktor

pembentuk

tanahnya, sehingga terbentuklah jenisjenis tanah tertentu yang


masing-masing mempunyai sifat morfologi tersendiri. Pada waktu
tanah mulai disawahkan dengan cara penggenangan air baik waktu
pengolahan tanah maupun selama pertumbuhan padi, melalui
perataan, pembuatan teras, pembuatan pematang, pelumpuran dan
lain-lain maka proses pembentukan tanah alami yang sedang
berjalan

tersebut

terhenti.

Semenjak

itu

terjadilah

proses

pembentukan tanah baru, dimana air genangan di permukaan tanah

dan metode pengelolaan tanah yang diterapkan, memegang


peranan penting. Karena itu tanah sawah sering dikatakan sebagai
tanah buatan manusia.

2.2 Proses dan Manajemen Produksi Tanaman


Manajemen produksi adalah suatu pengelolaan (perencanaan,
pelaksanaan

dan

pengendalian)

proses

pengubahan/konversi

dari

sumberdaya yang merupakan input menjadi barang atau jasa (sebagai


output) yang dilakukan oleh suatu organisasi berdasarkan tujuannya.
Menurut Tim Pengajar MK-MPT IPB (2008), manajemen produksi
tanaman adalah sebagai berikut: ilmu terapan yang menggabungkan
fungsi-fungsi manajemen dalam kegiatan budidaya tanaman untuk
menghasilkan suatu produk baik berupa benih/bibit/bahan tanam, hasil
tanaman (pangan, sandang, papan, bahan industri, bunga, getah, dsb.)
maupun keindahan dan kenyamanan.
Menurut Tim Pengajar MK-MPT IPB (2008), proses produksi
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara bertahap untuk
menghasilkan suatu produk, dengan tujuan produk yang dihasilkan bermutu
baik. Dalam hal ini, produksi tanaman merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan secara bertahap dalam bidang pertanian dengan tujuan
menghasilkan suatu produk pertanian dengan hasil dan mutu berupa
produk yang baik.
Menurut Nurwandani (2008), proses produksi memiliki langkahlangkah sebagai berikut:
1. Pengolahan Lahan
Pengolahan lahan dilakukan untuk menyiapkan lahan sampai siap
ditanami. Pengolahan dilakukan dengan cara dibajak atau dicangkul lalu
dihaluskan hingga gembur. Pembajakan dapat dilakukan dengan cara
tradisional ataupun mekanisasi.
Standar penyiapan lahan:
a. Lahan petani yang digunakan harus bebas dari pencemaran limbah
beracun.

b. Penyiapan lahan/media tanam dilakukan dengan baik agar struktur


tanah menjadi gembur dan beraerasi baik sehingga perakaran dapat
berkembang secara optimal.
c. Penyiapan lahan harus menghindarkan terjadinya erosi permukaan
tanah, kelongsoran tanah, dan atau kerusakan sumber daya lahan.
d. Penyiapan lahan merupakan bagian integral dari upaya pelestarian
sumber daya lahan dan sekaligus sebagai tindakan sanitasi dan
penyehatan lahan.
e. Apabila diperlukan, penyiapan lahan disertai dengan pengapuran,
penambahan bahan organik, pembenahan tanah (soil amelioration),
dan atau teknik perbaikan kesuburan tanah.
f. Penyiapan lahan dapat dilakukan dengan cara manual maupun
dengan alat mesin pertanian.
2. Persiapan Benih dan Penanaman
Benih yang akan ditanam sudah disiapkan sebelumnya. Umumnya,
benih tanaman pangan ditanam langsung tanpa didahului dengan
penyemaian, kecuali untuk budidaya padi di lahan sawah. Pilihlah benih
yang memiliki vigor (sifat-sifat benih) baik serta tanam sesuai dengan
jarak tanam yang dianjurkan untuk setiap jenis tanaman pangan! Benih
ditanam dengan cara ditugal (pelubangan pada tanah) sesuai jarak
tanam yang dianjurkan untuk setiap tanaman.
Standar penanaman
a. Penanaman benih atau bahan tanaman dilakukan dengan mengikuti
teknik budidaya yang dianjurkan dalam hal jarak tanam dan
kebutuhan benih per hektar yang disesuaikan dengan persyaratan
spesiek bagi setiap jenis tanaman, varietas, dan tujuan penanaman.
b. Penanaman dilakukan pada musim tanam yang tepat atau sesuai
dengan jadwal tanam dalam manejemen produksi tanaman yang
bersangkutan.
c. Pada saat penanaman, diantisipasi agar tanaman tidak menderita
cekaman kekeringan, kebanjiran, tergenang, atau cekaman faktor
abiotik lainnya.

d. Untuk menghindari serangan OPT pada daerah endemis dan


eksplosif, benih atau bahan tanaman dapat diberi perlakuan yang
sesuai sebelum ditanam. Dilakukan pencatatan tanggal penanaman
pada buku kerja, guna memudahkan jadwal pemeliharaan,
penyulaman, pemanenan, dan hal-hal lainnya. Apabila benih
memiliki label, label harus disimpan.
3. Pemupukan
Pemupukan bertujuan memberikan nutrisi yang cukup bagi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pemupukan dilakukan
setelah benih ditanam. Pupuk dapat diberikan sekaligus pada saat tanam
atau sebagian diberikan saat tanam dan sebagian lagi pada beberapa
minggu setelah tanam. Oleh karena itu, pemupukan harus dilakukan
dengan tepat baik cara, jenis, dosis dan waktu aplikasi.
Standar pemupukan :
a. Tepat waktu, yaitu diaplikasikan sesuai dengan kebutuhan, stadia
tumbuh tanaman, serta kondisi lapangan yang tepat.
b. Tepat

dosis,

yaitu

Jumlah

yang

diberikan

sesuai

dengan

anjuran/rekomendasi spesik lokasi.


c. Tepat cara aplikasi, yaitu disesuaikan dengan jenis pupuk, tanaman
dan kondisi lapangan.
Pemberian pupuk mengacu pada hasil analisis kesuburan tanah
dan kebutuhan tanaman yang dilakukan oleh Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) setempat :
a. Penyemprotan pupuk cair pada tajuk tanaman (foliar sprays) tidak
boleh meninggalkan residu zat-zat kimia berbahaya pada saat
tanaman dipanen.
b. Mengutamakan penggunaan pupuk organik serta disesuaikan
dengan kebutuhan tanaman dan kondisi sik tanah.
c. Penggunaan

pupuk

tidak

boleh

mengakibatkan

terjadinya

pencemaran air baku (waduk, telaga, embung, empang), atau air


tanah dan sumber air.

d. Tidak boleh menggunakan limbah kotoran manusia yang tidak


diberikan perlakuan.
4. Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan meliputi penyulaman, penyiraman, dan
pembumbunan. Penyiraman dilakukan untuk menjaga agar tanah tetap
lembab. Penyulaman adalah kegiatan menanam kembali untuk
mengganti benih yang tidak tumbuh atau tumbuh tidak normal.
Pembumbunan dilakukan untuk menutup pangkal batang dengan tanah.
Standar pemeliharaan tanaman :
a. Tanaman pangan harus dipelihara sesuai karakteristik dan
kebutuhan spesifik tanaman agar dapat tumbuh dan berproduksi
optimal serta menghasilkan produk pangan bermutu tinggi.
b. Tanaman harus dijaga agar terlindung dari gangguan hewan ternak,
binatang liar, dan/atau hewan lainnya.
5. Pengendalian OPT (Organisme pengganggu tanaman)
Pengendalian OPT harus disesuaikan dengan tingkat serangan.
Pengendalian OPT dapat dilakukan secara manual maupun dengan
pestisida. Jika menggunakan pestisida, pengendalian harus dilakukan
dengan tepat jenis, tepat mutu, tepat dosis, tepat konsentrasi/dosis, tepat
waktu, tepat sasaran (OPT target dan komoditi), serta tepat cara dan alat
aplikasi.
Penggunaan pestisida harus diusahakan untuk memperoleh
manfaat

yang

sebesarnya

dengan

dampak

sekecil-kecilnya.

Penggunaan pestisida harus sesuai standar berikut ini :


a. Penggunaan pestisida memenuhi 6 (enam) kriteria tepat serta
memenuhi ketentuan baku lainnya sesuai dengan Pedoman Umum
Penggunaan Pestisida, yaitu tepat jenis, tepat mutu, tepat dosis,
tepat konsentrasi/dosis, tepat waktu, tepat sasaran (OPT target dan
komoditi), serta tepat cara dan alat aplikasi.
b. Penggunaan

pestisida

diupayakan

seminimal

mungkin

meninggalkan residu pada hasil panen, sesuai dengan Keputusan


Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Nomor

10

881/Menkes/SKB/VIII/1996 dan 771/Kpts/TP.270/8/1996 tentang


Batas Maksimum Residu Pestisida pada Hasil Pertanian.
c. Mengutamakan penggunaan petisida hayati, pestisida yang mudah
terurai dan pestisida yang tidak meninggalkan residu pada hasil
panen, serta pestisida yang kurang berbahaya terhadap manusia
dan ramah lingkungan.
d. Penggunaan pestisida tidak menimbulkan dampak negatif terhadap
kesehatan pekerja (misalnya dengan menggunakan pakaian
perlindungan) atau aplikator pestisida.
e. Penggunaan pestisida tidak menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan hidup terutama terhadap biota tanah dan biota air.
f. Tata cara aplikasi pestisida harus mengikuti aturan yang tertera pada
label.
g. Pestisida yang residunya berbahaya bagi manusia tidak boleh
diaplikasikan menjelang panen dan saat panen.
Berdasarkan standar pengendalian OPT, pencatatan penggunaan
pestisida harus dilakukan :
a. Pestisida yang digunakan dicatat jenis, waktu, dosis, konsentrasi,
dan cara aplikasinya.
b. Setiap penggunaan pestisida harus selalu dicatat yang mencakup
nama pestisida, lokasi, tanggal aplikasi, nama distributor/kios, dan
nama penyemprot (operator).
Catatan penggunaan pestisida minimal digunakan 3 tahun

2.3 Komponen dalam Manajemen Agroekosistem


Agroekosistem atau ekosistem pertanian merupakan sebuah sistem
lingkungan

yang telah dimodifikasi dan dikelola oleh manusia untuk

kepentingan produksi pangan, serat dan berbagai produk pertanian lain


(Conway, 1987). Agroekosistem memiliki berbagai komponen yang saling
berhubungan satu sama lain seperti pada ekosistem alami. Meskipun
komponen didalamnya tidak sekompleks ekosistem alami, perubahan

11

kondisi salah satu komponen akan sangat berpengaruh terhadap yang


lainnya.
Menurut (Marten ,1998) terdapat 4 komponen penting dalam
manajemen agroekosistem. Ke empat komponen tersebut ialah:
1. Produktivitas (Productivity) yaitu produksi atau pendapatan bersih yang
diperoleh setiap satuan sumberdaya. Artinya, apabila produktivitas dari
suatu agroekosistem itu tinggi maka kebutuhan hidup manusia akan
terpenuhi.
2. Stabilitas (Stability) yaitu kemantapan produktivitas akibat gangguan
kecil yang disebabkan oleh gejolak normal setiap waktu tertentu seperti
iklim dan harga. Atrtinya, tingkat produksi dapat dipertahankan dalam
kondisi konstan normal, meskipun kondisi lingkungan berubah.
3. Keberlanjutan (Sustainability) yaitu kemampuan suatu sistem dalam
mempertahankan produktivitas dalam jangka waktu panjang meskipun
mengalami goncangan seperti banjir, serangan hama atau erosi. Aspek
keberlanjutan sebenarnya mengacu pada bagaimana mempertahankan
tingkat produksi tertentu dalam jangka panjang.
4. Kemerataan (Equitability) dimana kemerataan menggambarkan sejauh
mana hasil suatu agroekosistem terbagi diantara orang-orang dalam
suatu sistem. Aspek ini biasanya diukur melalui distribusi keuntungan
dan kerugian yang terkait dengan produksi barang dan jasa dari
agroekosistem.

2.4 Hama dan Penyakit Penting Tanaman pada Agroekosistem


2.4.1 Hama Penting Tanaman pada Agroekosistem
1. Ulat Pucuk (Lepidoptera: Pyralidae)
Hama ini menyerang daun muda dan pucuk daun jambu
kristal dengan melipat beberapa helai daun. Larva hama ini
menyerang daun dengan menggigit daun dari dalam lipatan dan
menghasilkan benang-benang halus berwarna putih. Gejala
kerusakan akibat ulat pucuk ini yaitu pucuk mati akibat gigitan,
serta daun muda dan tangkai daun berlubang-lubang karena

12

bekas gigitan larva dari dalam lipatan. Selain menyerang daun


muda dan pucuk daun, ulat pucuk juga menyerang bunga yang
belum mekar pada pertanaman fase generatif di pertanaman
jambu kristal.
Larva hama ini juga dapat menyerang buah muda di
pertanaman jambu kristal, buah digerek sehingga berwarna
kecokelatan pada permukaannya. Bekas gerekan tersebut akan
mengering dan membekas sampai buah matang. Bagian dalam
buah jambu kristal akibat gerekan larva ini masih bisa dikonsumsi,
namun hal tersebut dapat menurunkan mutu standar buah
sehingga menurunkan nilai jual buah jambu kristal.
Larva hama ini memiliki panjang tubuh sekitar 20 mm,
berwarna hijau muda kekuningan, dan pada punggungnya
terdapat garis berwarna kecokelatan. Larva tersebut hidup di
dalam lipatan daun sampai stadium pupa. Pupa yang ditemukan
berwarna coklat tua dan berjenis obtekta berukuran sekitar 18
mm.
Upaya pengendalian ulat pucuk di pertanaman jambu kristal
bisa saja dilakukan. Namun menurut Supriatna (2014) hal tersebut
tidak berpengaruh terhadap kelimpahan hama ulat pucuk yang
ada di lapang. Hal tersebut dikarenakan, ulat pucuk mampu
membuat barrier atau lipatan daun yang akan menghalangi dan
melindungi ulat pucuk dari paparan insektisida saat penyemprotan
dilakukan.
2. Ulat Kantung (Lepidoptera: Psychidae)
Setiap jenis ulat kantung memiliki bentuk yang khas dan
ukuran yang berbeda-beda. Ulat kantung spesies 1 memiliki
bentuk yang panjang seperti pupa dan ditemukan menggantung
pada tangkai daun tanaman jambu kristal. Gejala yang ditemukan
berupa adanya bekas gigitan pada tangkai daun dan tulang daun.
Ulat kantung spesies 2 memiliki bentuk seperti kerucut dan gejala
yang ditimbulkan yaitu lubang pada daun dan bekas gigitan pada

13

tangkai daun. Kantung tersebut terbuat dari sutera yang dihasilkan


oleh larva, yang dibentuk sedemikian rupa sehingga membentuk
kerucut panjang. Kantung berwarna putih kecokelatan. Ulat
kantung spesies 3 memiliki bentuk seperti ketupat dan kantung
tersebut terbentuk dari lipatan-lipatan gulma yang kering. Ulat
kantung spesies 3 selalu ditemukan di bawah permukaan daun
dengan posisi menggantung. Gejala yang ditimbulkan oleh
spesies ini yaitu adanya lubang-lubang kecil pada daun yang
disisakan epidermis atasnya.
Menurut Rhainds dkk (2009), ulat kantung dari famili
Psychidae memiliki sekitar 1.000 spesies. Kantung-kantung
biasanya dibuat dari partikel daun, ranting, pasir, dan partikel lain
yang ada di sekitar ulat kantung tersebut. Partikel-partikel yang
akan menjadi kantung direkatkan menggunakan sutera yang
dikeluarkan oleh ulat kantung. Menurut Kalshoven (1981),
kantung-kantung yang ditemukan pada famili Psyichidae memiliki
bentuk yang bermacam-macam, hal tersebut dikarenakan setiap
spesies ulat kantung memiliki ciri khas tersendiri, sehingga
kantung-kantung tersebut berguna untuk mengidentifikasi spesies
serangga ini. Terdapat dua lubang pada ulat kantung yaitu lubang
anterior dan posterior. Larva akan mengeluarkan kepala dan
tungkai asli yang terdapat pada toraks pada saat makan atau
berpindah tempat melalui lubang anterior, sedangkan feses akan
dikeluarkan melalui lubang posterior.
3. Ulat Api (Lepidoptera: Limacodidae)
Ulat api yang ditemukan di pertanaman jambu kristal yaitu
spesies Setora nitens. Gejala serangan oleh ulat api berupa daun
tanaman jambu kristal berlubang serta serangan berat akan
menyebabkan daun habis. Stadium yang menyerang yaitu larva.
Larva yang ditemukan memiliki tubuh berwarna hijau muda
dengan garis membujur berwarna biru, pada bagian dorsal
memiliki rambut-rambut atau duri yang muncul dari tubuhnya. Ulat

14

ini disebut ulat api karena apabila duri ulat tersebut tersentuh,
tangan akan terasa panas seperti terbakar. Secara morfologi,
imago serangga ini memiliki warna berwarna cokelat, telurnya
diletakkan secara kelompok dan dilapisi oleh lilin, dan kepompong
diletakkan pada lingkungan sekitar yang lebih lunak. Hama ini
bersifat polifag. Satu ekor imago betina dapat menghasilkan 400600 butir telur dalam waktu 3-5 hari. Menurut Kasholven (1981),
siklus hidup jenis ulat ini bisa mencapai 710 minggu atau 1415
minggu dan di daerah dingin siklus hidupnya lebih panjang yaitu
1618 minggu dan stadium pupanya berlangsung 1923 hari. Hal ini
di pengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu masa istirahat lebih
panjang karena kekurangan cahaya matahari sehingga suhu lebih
rendah.
4. Ulat Jengkal (Lepidoptera: Geometridae)
Setiap jenis ulat jengkal memiliki bentuk yang khas serta
warna tubuh dan ukuran yang berbeda-beda. Ulat jengkal spesies
1 memiliki bentuk yang lebih kecil dibandingkan kedua spesies
lainnya, memiliki warna tubuh hitam dengan garis putih pada
bagian dorsal. Ulat jengkal spesies 2 memiliki warna tubuh coklat
dan kepala yang besar. Ulat jengkal spesies 3 memiliki warna
tubuh coklat keputihan dan mirip dengan ranting jambu kristal
sehingga saat ulat jengkal tersebut menempel pada ranting
terlihat samar-samar.
5. Ulat Bulu (Lepidoptera: Lasiocampidae)
Terdapat 2 spesies ulat bulu yang ditemukan di pertanaman
jambu kristal yaitu ulat bulu spesies 1 yang memiliki larva dengan
tubuh berwarna belang kuning dan hitam, rambut-rambut putih di
seluruh tubuh, dan 1 pasang bulu hitam di kepala.
Ulat bulu spesies 2 yaitu Trabala sp. yang memiliki tubuh
berwarna kuning dan terdapat garis panjang berwarna putih di
sepanjang tubuhnya. Gejala kerusakan akibat ulat bulu berupa
bekas gigitan pada daun jambu kristal, tulang daun, dan ranting.

15

Jika serangan ulat bulu sudah berat, daun-daun akan habis dan
tanaman tidak dapat berfotosintesis.
Menurut Kalshoven (1981), ulat bulu merupakan ulat yang
umum ditemukan pada jambu biji dan tanaman berkayu lainnya.
Meningkatnya populasi ulat bulu di sejumlah daerah di Indonesia
dapat disebabkan beberapa faktor. Dinamika peningkatan
populasi ulat bulu penyebabnya adalah pada perubahan
ekosistem,

baik

yang

biotik

maupun

abiotik.

Fenomena

meningkatnya populasi ulat bulu disebabkan berkurangnya


pemangsa alami seperti burung, kelelawar, dan semut rangrang.
Berkurangnya pemangsa alami dan peningkatan ulat bulu juga
dipengaruhi faktor abiotik. Perubahan iklim global menjadi faktor
utama karena dengan adanya perubahan iklim, terjadi perubahan
suhu dan kelembaban udara.
6. Ulat Keket (Lepidoptera: Saturniidae)
Ulat keket yang ditemukan di pertanaman jambu kristal yaitu
spesies Attacus atlas. Gejala serangan oleh ulat keket berupa
bekas gigitan pada daun jambu kristal, pada serangan berat
menyebabkan daun habis dan tersisa tulang daunnya saja. Larva
yang ditemukan memiliki tubuh berwarna kehijauan ditutupi
tepung putih, bagian punggung terdapat tonjolan putih, segmen
badan agak panjang. Bentuk larva dari ulat sutera liar ini terdiri
dari enam tahapan stadium (instar). Instar pertama berlangsung
selama 4-5 hari, instar kedua sampai instar keempat juga memiliki
masa yang sama dengan instar pertama yaitu selama 4-5 hari,
instar kelima berlangsung selama 6-8 hari dan instar keenam
berlangsung selama 8-10 hari. Instar keenam memiliki waktu yang
lebih lama karena pada instar keenam adalah tahapan larva akan
berubah menjadi pupa dan akan menjadi kokon. A. atlas
merupakan jenis fauna asli Indonesia yang merupakan plasma
nutfah yang dapat ditemui hampir di seluruh daerah di Indonesia
seperti di Pulau Sumatra, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa dan

16

Pulau Irian. Ulat sutera A. atlas termasuk polivoltin (dapat hidup


sepanjang tahun) dan termasuk serangga polifag yang dapat
hidup pada 90 golongan tumbuhan dari 48 famili yang bisa
dimakan oleh larva A. atlas (Peigler, 1989).
7. Belalang (Orthoptera: Acrididae)
Hama belalang dapat menyerang pertanaman setiap saat
dan memiliki inang yang banyak (polifag). Serangan berat
umumnya terjadi pada tanaman muda. Keberadaan belalang pada
lahan ini dipengaruhi oleh umur tanaman jambu kristal yang saat
itu berada pada fase vegetatif; pembentukan daun sedang
berlangsung. Belalang memiliki pergerakan yang aktif dan di lahan
sekitarnya terdapat komoditas lain yang merupakan inang dari
belalang yaitu gulma bayam-bayaman. Gejala serangan hama ini
sama dengan hama menggigit mengunyah lainnya yaitu bekas
gigitan yang kemudian mengering. Belalang yang banyak
ditemukan berupa nimfa. Serangga ini memiliki dua buah
(sepasang) mata majemuk, sepasang antena, serta tiga buah
mata sederhana. Dua pasang sayap serta tiga pasang tungkai
terdapat pada toraks. Anggota dari ordo ini umumnya memiliki
sayap dua pasang. Sayap depan lebih sempit daripada sayap
belakang dengan vena-vena menebal/mengeras dan disebut
tegmina. Sayap belakang melebar dengan vena-vena yang
teratur. Pada waktu istirahat sayap belakang melipat di bawah
sayap

depan.

Metamorfosis

serangga

ini

merupakan

paurometabola dengan perkembangan melalui tiga stadium yaitu


telur-nimfa-imago. Serangga ini umumnya bertelur pada awal
musim hujan dan menetas awal musim kemarau. Belalang daun
dan belalang kembara Belalang memiliki kemampuan jelajah yang
tinggi mencapai 200 km, kemampuan membentuk kelompok
dengan anggota yang sangat banyak, dan kemampuan makan
yang sangat lahap. Pengendalian yang selama ini dilakukan
dalam mengatasi hama ini ialah sanitasi lahan, tidak menanam

17

tanaman yang dapat menjadi inangnya di luar tanaman utama,


dan pengendalian secara kimiawi yaitu dengan menggunakan
insektisida berbahan aktif betasiflutrin, tiodikarb, MIPC, dan
fipronil (Dadang dkk, 2007).
8. Kumbang Penggerek Buah (Coleoptera: Nitidulidae)
Jenis kumbang yang biasa ditemukan yaitu Carpophilus sp.
Gejala serangan akibat kumbang penggerek ini yaitu adanya
lubang kecil berwarna cokelat akibat gigitan hama ini dan pada
serangan berat akan ditemukan buah menjadi busuk dan lubang
melebar sehingga buah tidak dapat dikonsumsi. Pada satu buah
jambu kristal bisa ditemukan imago lebih dari satu. Pengelolaan
serangga ini bisa dilakukan dengan menyemprot insektisida
sebelum pembungkusan karena dikhawatirkan imago telah
meletakkan telur pada buah.
9. Kutu Putih (Hemiptera: Pseudococcidae)
Keberadaan hama ini dapat ditemukan pada daun muda dan
tua, ranting muda, bunga, tangkai bunga, tangkai buah, dan buah.
Kutu putih sering ditemukan hidup berkelompok atau berkoloni.
Serangga ini disebut kutu putih karena hampir seluruh tubuhnya
dilapisi lilin yang berwarna putih. Lilin tersebut dikeluarkan melalui
proses ekskresi dari porus trilokular pada kutikula (Williams dan
Willink, 1992). Kutu putih dapat menyebabkan kerusakan
langsung dan tidak langsung pada tanaman yang diserangnya.
Gejala kerusakan langsung pada tanaman berupa bercak klorosis,
daun menjadi layu dan mengeriting, burik pada buah, tanaman
kerdil hingga kematian tanaman sedangkan kerusakan tidak
langsung ditunjukkan dengan kemampuan menjadi vektor
beberapa penyakit tanaman. Selain itu keberadaan kutu putih
pada tanaman buah-buahan menarik cendawan penyebab embun
jelaga pada daun karena adanya ekskresi embun madu oleh kutu
putih.

18

Berbagai spesies dari famili Pseudococcidae menyerang


banyak komoditas penting seperti jeruk, nanas, apel, mangga, dan
beberapa tanaman buah lainnya. Kutu putih memiliki tipe alat
mulut menusuk-mengisap. Kutu putih memiliki kisaran inang yang
luas. Menurut Sartiami dkk (1999), ditemukan 14 spesies kutu
putih pada 18 tanaman inang buah-buahan berbeda.
10. Kutu Daun (Hemiptera: Aphididae)
Kutu daun yang biasa ditemukan pada tanaman jambu kristal
berada di permukaan bawah daun. Kutu daun menyerang bagian
daun muda atau pucuk daun sehingga daun menjadi keriting dan
terlipat. Pada serangan yang berat, kutu daun yang berkoloni
dapat menggugurkan daun dan buah (Capinera, 2007). Kutu daun
dapat menusukkan bagian mulutnya ke daun, tunas, dan batang
kemudian mengisap nutrisi tumbuhan inang. Kutu daun tidak
hanya mengisap sari makanan tanaman, tetapi juga sebagai agen
penyebar penyakit virus. Tunas-tunas yang dimakan daunnya
menjadi terganggu.
11. Kutu Perisai (Hemiptera: Diaspididae)
Keberadaan hama ini dapat ditemukan pada daun tua. Kutu
perisai sering ditemukan hidup berkelompok atau berkoloni. Hama
ini ditemukan pada permukaan bawah daun jambu kristal,
menutupi sampai seluruh permukaan bawah daun. Sedangkan
pada permukaan atas daun ditemukan gejala klorosis yang khas.
Kutu perisai merupakan serangga polifag yang memiliki tanaman
inang antara lain kelapa sawit yang merupakan tanaman inang
utama selain itu ditemukan pada Bixa, kakao, gambir, mangga,
dan karet (Kalshoven, 1981).
Imago kutu perisai dapat menghasilkan telur sebanyak 150250 butir. Telur tersebut diletakkan di dalam perisai. Setelah
menetas, nimfa instar 1 memiliki panjang 0,26 mm dan akan
keluar dari perisai induknya melalui bagian tepi bawah perisai.
Perisai terlihat tidak rusak meskipun pernah mengeluarkan nimfa

19

tetapi menjadi lebih mudah terbuka. Nimfa instar 1 bergerak aktif


beberapa waktu, terutama di sekitar induknya dan kemudian
berdiam diri dan hidup dengan cara menusukkan alat mulutnya ke
jaringan tanaman. Nimfa instar 1 merupakan satu-satunya fase
yang aktif sedangkan fase lain tidak dapat berpindah (sedentary)
(Rao dan Sankaran, 1969).
12. Lalat Buah (Diptera: Tephritidae)
Lalat buah merupakan hama utama pada jambu biji di
berbagai negara penghasil jambu biji. Hama ini tidak hanya
menyerang jambu biji, tetapi juga merupakan hama dari berbagai
komoditas pertanian lain. Spesies lalat buah yang tercatat saat ini
mencapai 4.000 spesies yang memiliki preferensi serangan pada
bagian tanaman yang berbeda (Meritt dkk, 2003). Beberapa
spesies menyerang buah antara lain dari genus Ceratitis dan
Ragholetis, seed-head predators (Euaresta, Trupanea, Tephritis),
gallmakers (Eurosta), atau penggorok daun seperti lalat buah dari
genus Euleia (Meritt dkk, 2003).
Lalat buah yang menyerang jambu biji termasuk ke dalam
lalat buah yang menyerang buah. Larva dari lalat buah ini merusak
buah dari tanaman inang, dan menyebabkan buah menjadi busuk
dengan lebih cepat. Tanaman inang lalat buah terdiri dari famili
Compositae atau pada buah yang berdaging (Meritt dkk, 2003).
Lalat buah betina meletakkan telur pada jaringan buah dengan
menusukkan ovipositornya ke dalam daging buah. Bekas tusukan
tersebut berupa noda/titik kecil berwarna hitam yang tidak terlalu
jelas. Noda-noda kecil bekas tusukan ovipositor ini merupakan
gejala awal serangan lalat buah. Di sekitar bekas tusukan akan
muncul nekrosis. Telur akan menetas dalam beberapa hari, larva
membuat lubang dan makan dari bagian dalam buah selama 7-10
hari bergantung pada suhu. Pada masa perkembangannya,
khususnya jika populasinya tinggi larva akan masuk sampai ke
bagian dalam (pulp) buah jambu biji (Gould dan Raga, 2002).

20

Buah yang terserang larva lalat buah akan cepat membusuk dan
gugur sebelum matang. Buah yang gugur ini akan menjadi sumber
investasi lalat buah generasi berikutnya karena larva akan
berkembang menjadi pupa di tanah dan kemudian berkembang
menjadi imago (Ginting, 2009).
Pengelolaan terhadap serangan lalat buah yaitu dengan
menggunakan pestisida berbahan aktif karbamat, pyretroid
sintetik, dan organofosfat secara berjadwal untuk mencegah
meningkatnya populasi lalat buah (Gould dan Raga, 2002),
membungkus buah jambu biji dengan plastik saat buah masih
kecil (Utami, 2008), menggunakan kombinasi atraktan metil
eugenol dari ekstrak tanaman selasih ungu dengan perangkap
(Tamim, 2009), membuang buah-buah yang terserang dan
menguburnya agar tidak menjadi sumber investasi (Ginting,
2009).
2.4.2 Penyakit Penting Tanaman pada Agroekosistem
1. Karat Merah (Chlorophyta: Trentepohliales)
Karat merah disebabkan oleh alga hijau yang dapat
menyebabkan bercak pada daun dan kadang-kadang pada buah.
Penyebab penyakit ini adalah Cephaleuros spp. yang dapat
menyerang berbagai bagian tanaman yaitu daun, buah, ranting,
dan batang (Misra, 2004).
Cephaleuros menginfeksi daun jambu biji muda. Bercak
pada daun dapat berupa titik kecil sampai bercak yang besar;
menyatu atau terpencar. Daun diinfeksi pada bagian pada tepi,
pinggir atau sering kali pada area dekat tulang daun (Misra 2004).
Bercak berbentuk bulat, berwarna coklat kemerahan. Ganggang
hijau ini mempunyai benang-benang yang masuk ke bagian dalam
jaringan tanaman yang dilekatinya sehingga pada permukaan
daun bercak akan tampak seperti beledu (Semangun, 1994).
Pengendalian karat merah bisa dengan penyemprotan tembaga
oksiklorida (0,3%) 3-4 kali dengan interval 15 hari (Misra, 2004).

21

2. Antraknosa (Ascomycetes: Glomerellales)


Antraknosa merupakan penyakit umum pada tanaman
jambu biji, yang tersebar luas di semua daerah penanamannya
(Semangun, 1994). Penyebaran penyakit ini sudah luas ke
berbagai negara penghasil jambu biji. Beberapa negara yang
telah melaporkan adanya serangan antraknosa pada tanaman
jambu biji antara lain India (Misra, 2004), Nigeria (Amusa dkk,
2006), Australia (Lim & Manicom, 2003), Malaysia, Thailand, dan
Filipina (Semangun, 1994). Pada survei yang dilakukan Amusa
dkk (2006), di tiga lokasi penelitian di Ibadan, Nigeria, sekitar 80%
tanaman jambu biji terinfeksi oleh antraknosa dan lebih dari 40%
buah

yang

diproduksi

pada

tanaman

terinfeksi

tersebut

menunjukkan infeksi yang parah.


Patogen penyebab antraknosa dapat menyerang semua
bagian tanaman, terutama pada buah namun tidak menyerang
akar (Semangun, 1994). Bagian tanaman seperti pucuk, daun
muda dan ranting akan mudah terjangkit penyakit ini ketika masih
lunak (Semangun, 1994; Misra, 2004). Gejala yang dapat
ditimbulkan oleh penyakit ini yaitu mati ujung (die back), busuk
buah, kanker buah, dan bercak daun (Misra, 2004).
Gejala pada tunas menyebabkan perubahan warna dari
hijau menjadi coklat tua. Bercak coklat tersebut kemudian menjadi
bercak nekrotik berwarna hitam yang dapat berkembang ke
bagian pangkal sehingga menyebabkan mati ujung (Semangun,
1994; Misra, 2004). Daun-daun muda mengeriting dengan
daerah-daerah mati pada tepi atau ujungnya, akhirnya daun-daun
gugur sehingga hanya ranting kering yang tertinggal (Semangun,
1994).
Buah jambu biji yang mentah dapat terinfeksi dan cendawan
penyebabnya bisa dorman selama 3 bulan, baru aktif dan
menyebabkan pembusukan pada waktu buah mulai matang.

22

Buah jambu biji muda yang terserang menunjukkan gejala


bercak-bercak nekrotik yang kemudian akan menyatu, buah akan
matang secara terpaksa dan kemudian mengering secara cepat
dan terjadi mumifikasi (Amusa dkk, 2006). Sering kali buah yang
mengeras ini menjadi retak (Misra, 2004). Jika buah ini dibuka,
kanker terlihat meluas ke bagian dalam buah. Biji yang berasal
dari buah yang terinfeksi mengandung patogen (Amusa dkk,
2006).
3. Kanker Buah (Deuteromycetes: Xylariales)
Penyakit kanker buah dikenal dengan sebutan nekrosis
buah, kanker buah Pestalotia, dan kanker buah berkudis (Lim dan
Manicom, 2003). Sebagian besar spesies Pestalotia adalah
patogen tanaman (Zhu dkk, 1991). Studi pada keragaman
Pestalotiopsis di Cina telah mengungkapkan sekitar 120 spesies
patogen dan spesies saprobik dengan beberapa spesies baru.
Cendawan ini merupakan parasit luka, sehingga penyakit ini
berasosiasi dengan aktivitas makan serangga antara lain
Helopeltis sp. dan infeksi cendawan lain. Cendawan ini sering
ditemukan berasosiasi dengan cendawan lain yaitu dengan
Gloeosporium penyebab antraknosa atau cendawan parasit luka
lainnya yaitu Botryodiplodia.
4. Embun Jelaga (Deuteromycetes: Capnodiales)
Penyakit embun jelaga merupakan cendawan non parasit
yang bersifat saprofit sehingga menyebabkan kerugian secara
tidak langsung. Cendawan ini berasosiasi dengan serangga
penghasil embun madu seperti kutu putih, kutu kebul, kutu
tempurung, dan kutu daun. Keberadaan serangga tersebut sering
kali sebagai penanda keberadaan jelaga yang bisa hidup pada
daun, batang, sampai buah jambu kristal. Meskipun penyakit
embun jelaga bukan penyakit penting tanaman jambu kristal tetapi
keberadaannya mengganggu proses fotosintesis. Gejala akibat
cendawan embun jelaga yaitu pada permukaan atas daun tertutup

23

oleh struktur berwarna hitam. Penyebab embun jelaga yang


teridentifikasi pada jambu kristal yaitu cendawan Triposporium sp.
Cendawan ini ditemukan berasosiasi dengan kutu putih.
Miselium cendawan Triposporium sp. pada daun jambu
kristal ditandai dengan warna hitam. Warna hitam dari embun
jelaga disebabkan karena adanya pigmen melanoid pada dinding
sel hifa yang membentuk koloni (miselium). Miselium tumbuh di
permukaan daun sehingga menutupi stomata dan masuk ke
dalam jaringan daun. Hasil ekskresi dari serangga pengisap
berupa embun madu dan kotorannya dimanfaatkan sebagai
media tumbuh Triposporium sp. Kotoran dari serangga pengisap
mengandung gula, asam amino, protein, mineral, dan vitamin.
Apabila kondisi udara kering miselium dapat lepas dari daun dan
pecah menjadi bagian-bagian kecil yang terembus angin
(BBP2TP, 2013).
5. Kanker Berkudis
Kanker buah berkudis umumnya terjadi pada buah yang
hijau dan dapat juga menyebabkan bercak pada daun. Penyebab
penyakit ini adalah Pestalotiopsis psidii (Pat.) Mordue (Semangun,
1994).

Cendawan

ini

merupakan

parasit

luka,

kanker

berhubungan dengan tusukan yang disebabkan oleh aktivitas


makan serangga antara lain Helopeltis theobromae (Lim &
Manicom, 2003).
Pada infeksi awal, mula-mula pada buah yang masih hijau
terdapat bercak gelap, kecil, yang membesar mencapai garis
tengah 1-2 mm, berwarna coklat tua, yang terdiri dari jaringan
mati. Jika buah membesar kanker akan pecah, membentuk
kepundan dengan tepi tebal dan pusat mengendap (Semangun,
1994).
Pengelolaan

penyakit

ini

bisa

dilakukan

dengan

mengendalikan Helopeltis, membuang buah dan daun yang sakit


kemudian dipendam, atau dibakar untuk mengurangi sumber

24

infeksi (Semangun, 1994). Penggunaan ekstrak daun Occimum


sanctum dapat menghambat perkecambahan spora cendawan
(Misra, 2004).
6. Bercak Daun
Bercak pada daun jambu biji umumnya tidak merugikan
secara langsung, namun beberapa cendawan penyebabnya
dapat menyerang buah juga maka daun yang sakit dapat
memegang peranan penting sebagai sumber infeksi (Semangun,
1994). Bercak daun dapat disebabkan antara lain oleh Cercospora
spp., Pestalotiopsis sp., dan Colletotrichum sp. (Semangun,
1994).
Gejala yang ditimbulkan oleh cendawan Cercospora psidii
Rangel mula-mula terdapat bercak-bercak bulat atau kurang
teratur bentuknya, berwarna merah kecokelatan. Bercak akan
mengering bagian tengahnya berubah menjadi berwarna putih.
Bercak-bercak dapat bersatu membentuk bercak tidak teratur
berwarna putih yang dikelilingi oleh tepi kecokelatan, (Semangun,
1994).
Cendawan Pestalotipsis menyebabkan bercak coklat kelabu
yang mulanya menginfeksi dari bagian tepi atau pinggir daun,
berangsur-angsur menyebar ke bagian bawah (Misra, 2004).
Cendawan

Colletotrichum

menyebabkan

daun-daun

muda

mengeriting dengan daerah-daerah mati (nekrotik) pada tepi atau


ujungnya, akhirnya daun-daun gugur sehingga hanya ranting
kering yang tertinggal (Semangun, 1994).
7. Penyakit Layu
Penyakit layu memiliki kecepatan perkembangan gejala
yang bervariasi. Pada sindrom yang cepat, layu pertama muncul
pada daun yang berada di ujung percabangan pada kanopi paling
tinggi. Dalam 2-4 minggu, semua daun menjadi layu dan kering,
batang terlihat seperti hangus. Perkembangan buah terhambat
dan buah mengeras (mumifikasi) pada batangnya. Layu akan

25

berkembang cepat dari batang yang mati ke batang yang sehat,


akhirnya tanaman mati (Lim & Manicom, 2003).
Penyebab penyakit layu yang telah dilaporkan dari berbagai
tempat berbeda-beda. Di Taiwan, cendawan penyebabnya
diidentifikasi sebagai Myxosporium psidii. Di India juga penyebab
penyakit layu yang teridentifikasi bermacam-macam, antara lain
Fusarium oxysporum f. sp. psidii (Misra, 2004).
Pengelolaan terhadap penyakit ini pada beberapa laporan
dalam Misra (2004) antara lain pengaturan sanitasi yang baik di
pertanaman, tanaman yang terkena penyakit layu dibuang,
kemudian dibakar dan dibuat parit di sekeliling pohon jambu biji.
Pemberian pupuk hijau pada tanaman jambu biji akan mengurangi
perkembangan penyakit.
8. Busuk Buah
Busuk buah dapat terjadi di pertanaman maupun pada buah
jambu

biji

dalam

simpanan.

Beberapa

patogen

yang

menyebabkan busuk buah di pertanaman antara lain Phomopsis


psidii

menyebabkan

busuk

pangkal

buah,

Phytophthora,

Fusarium, dan Curvularia. Cendawan Botryodiplodia theobromae


Pat. dan Colletotrichum dapat menginfeksi jambu biji di
pertanaman

dan

juga

pada

jambu

biji

di

penyimpanan

(Semangun, 1994). Cendawan B. theobromae mula-mula


menyebabkan terjadinya bercak coklat yang cepat meluas kurang
berbatas jelas, busuk lunak, dan terbentuk lapisan cendawan
berwarna hitam. Terdapat pada ujung atau pangkal buah.
Pembusukan juga mencapai bagian daging buahnya hingga buah
busuk dan berair (Martoredjo, 2009). Gejala yang disebabkan
cendawan Colletotrichum yaitu pada buah terbentuk bercak coklat
berbatas jelas dan mengendap (Semangun, 1994).

26

2.5 Pengaruh Populaso Musuh Alami dan Serangga Lain terhadap


Agroekosistem
Menurut Untung (1993) dalam Tauruslina et al. (2015), musuh alami
adalah organisme di alam yang dapat membunuh serangga, melemahkan
serangga, sehingga dapat mengakibatkan kematian pada serangga, dan
mengurangi fase reproduktif dari serangga. Musuh alami berperan dalam
menurunkan populasi hama sampai pada tingkat populasi yang tidak
merugikan. Pradhana et al. (2014) menyatakan bahwa serangga
merupakan salah satu kelompok binatang yang merupakan hama utama
bagi banyak jenis tanaman yang dibudidayakan manusia. Selain sebagai
hama tanaman beberapa kelompok dan jenis serangga dapat menjadi
pembawa atau vektor penyakit tanaman yang berupa virus atau jamur.
Namun, tidak semua serangga bersifat merugikan karena terdapat pula
serangga yang bersifat sebagai musuh alami. Melalui peran sebagai musuh
alami, serangga sangat membantu manusia dalam usaha pengendalian
hama. Selain itu serangga juga membantu dalam menjaga kestabilan
jaring-jaring makanan dalam suatu ekosistem pertanian.
Menurut

Untung

(2006), musuh

alami

sebagai

bagian

dari

agroekosistem memiliki peranan menentukan dalam pengaturan dan


pengendalian populasi hama. Dalam kisaran tertentu, populasi musuh
alami dapat mempertahankan populasi hama tetap berada disekitar batas
keseimbangan. Populasi musuh alami yang sedikit menyebabkan
keseimbangan agroekosistem terganggu. Populasi hama juga dapat
meningkat menjahui kisaran keseimbangan akibat cuaca dan akibat
tindakan manusia dalam mengelola lingkungan pertanian. Selain itu,
Widiarta (2006) dalam Pradhana et al. (2014) menyatakan bahwa jumlah
serangga netral atau herbivora lain yang cukup tersedia akan berpengaruh
baik pada perkembangan musuh alami, karena serangga netral atau
herbivora adalah sumber makanan bagi predator sehingga perananya
sangat besar dalam menjaga keseimbangan agroekosistem.

27

2.6 Indikator Kesehatan Tanah


Kesehatan tanah ialah integrasi dan optimasi sifat tanah (fisik, kimia,
dan biologi) yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas
tanah, tanaman, dan lingkungan (Idowu et al., 2008 dalam Riwandi, 2011).
Selain itu, menurut Doran dan Parkin (1994), kesehatan tanah adalah
kemampuan tanah untuk berfungsi secara efektif dan memberikan layanan
ekosistem dalam hal ini adalah daya dukung untuk produksi tanaman
secara berkelanjutan. OSU (2009) dalam Riwandi (2011) menyatakan
bahwa kelas kesehatan tanah digolongkan atas dasar persentase skor total
indikator tanah. Kelas kesehatan tanah tersebut antara lain: (1) tanah
Sangat Sehat (>85%), (2) tanah Sehat (70-85%), (3) tanah Cukup Sehat
(55-70%), (4) tanah Kurang Sehat (40-55%), dan (5) tanah Tidak Sehat
(<40%).
Menurut OSU (2009) dalam Riwandi (2011), indikator kesehatan
tanah dikelompokkan ke dalam indikator pengolahan tanah, kehidupan
jasad hidup tanah, lalu-lintas air dan udara tanah, kenampakan vegetasi,
dan kesuburan tanah. Berikut merupakan tabel penilaian kesehatan tanah
dalam Riwandi (2011):
Tabel 1. Lembar Penilaian Kesehatan Tanah
Deskripsi
Indikator

Baik-S. Baik

Sedang

Buruk-S.Buruk

(4-5)

(3)

(2-1)

Warna Tanah

Coklat-hitam

Hijau

Kuning-merah

Kadar Air Tanah

Tanah basah,

Tanah lembab,

Tanah kering/

tanaman

tanaman sedikit

terbatas airnya,

tumbuh sehat

kurang air

tanaman kurang
air

Tingkat lereng

Lereng 3-8% sd

Lereng 8-15%

Lereng 15-30%

datar (lowland/

sd

upland) 0-3%

>30%

28

Tekstur tanah/

Lempung

Kematangan

debuan sd

gambut

lempung

Pasir berliat

Pasir debuan sd
pasir/liat

Gambut hemis

Gambut fibris

Remah banyak-

Setengah

Keras, teguh,

melimpah

remah

padat

Bahan Organik

Banyak sd

Sedang, cukup

Sedikit sd

Tanah

sangat

Gambut sapris
Struktur Tanah

sangat sedikit

banyak
pH (H2O)

5,5 sd 7,5

7,6 sd 8,5

4,5 sd 5,5, <4,5

Populasi Cacing

Melimpah

Cukup jumlah,

Sangat sedikit

Tanah

jumlah,

kotoran, dan

sd tidak ada

kotoran, dan

lubang cacing

cacing

65 sd 74%

64 sd 45%, dan

lubang cacing
Legume Cover

Menutupi lahan

Crop

75 sd 99%, dan

(LCC)

100%

Erosi Tanah

Lembar sd

<45%

Alur

bebas erosi
Padatan Tanah

Gulley kecil sd
besar

Penetrasi akar

Penetrasi

Penetrasi buruk,

bebas ke dalam

terbatas, tanah

tanah

tanah, tanah

teguh

keras/padat

Tanaman hijau,

Beragam

Tidak berwarna,

tumbuh baik,

warna, tinggi,

kerdil, banyak

tidak ada

populasi

cekaman,

cekaman

tanaman, sedikit gejala

gembur
Vegetasi

cekaman

defisien hara

29

2.7 Hubungan antara Aspek Budidaya, Pengelolahan Tanah dan


Pengendalian Hama Penyakit Tanaman dalam Agroekosistem
Menurut Nurindah (2006), agroekosistem berupa ekosistem pertanian
dapat dikatakan produktif jika terjadi keseimbangan antara tanah, hara,
sinar matahari, kelembaban udara dan organisme-organisme yang ada,
sehingga dihasilkan suatu pertanaman yang sehat dan hasil yang
berkelanjutan. Pengembangan pertanian secara besar-besaran dengan
penyederhanaan agroekosistem melalui perluasan lahan, penambahan
kepadatan tanaman, peningkatan keseragaman tanaman dalam umur dan
kualitas

fisik,

serta

penurunan

keragaman

pertanaman

akan

mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara hama dan musuh


alaminya. Sistem pertanian monokultur menurunkan jumlah dan aktivitas
musuh alami karena terbatasnya sumber pakan, seperti polen, nektar dan
mangsa atau inang alternatif yang diperlukan oleh musuh alami untuk
habitat, makan, dan bereproduksi. Sebaliknya, pertanaman monokultur
merupakan sumber pakan yang terkonsentrasi dalam jumlah banyak bagi
hama sehingga hama tersebut dapat bereproduksi dan bertahan dengan
baik. Selain itu, pemupukan nitrogen dengan dosis tinggi dapat
menyebabkan peningkatan kerusakan tanaman oleh hama karena
pemberian beberapa tingkat pupuk N berkorelasi positif dengan
peningkatan kapasitas reproduksi hama.
Faktor-faktor penyebab rentannya suatu agroekosistem karena
ledakan hama dapat diatasi dengan pengelolaan agroekosistem (Nurindah,
2006). Penerapan prinsip-prinsip ekologi dalam pengelolaan agroekosistem
dapat dilakuan dengan penerapan teknik budidaya. Agroekosistem dengan
keragaman

tanaman

yang

tinggi,

misalnya

penanaman

secara

tumpangsari, agroforestry atau dengan menggunakan tanaman pelindung


atau penutup tanah, biasanya akan menimbulkan interaksi antar spesies
yang tinggi sehingga menciptakan agroekosistem yang stabil dan akan
berakibat pada stabilitas produktivitas lahan dan rendahnya peningkatan
populasi hama. Pengelolaan habitat untuk pengendalian hama dengan
menambahkan keragaman hayati hendaknya diikuti dengan perbaikan

30

kualitas tanah. Kualitas kesuburan tanah yang baik merupakan media untuk
mendapatkan tanaman yang sehat dan tanaman yang sehat merupakan
dasar dari pengelolaan hama yang berbasis ekologi. Penambahan bahan
organik

pada

tanah

akan

meningkatkan

kesuburan

tanah

dan

meningkatkan aktivitas biologi sehingga mencegah terjadinya infeksi


patogen.

31

BAB III
METODE PELAKSANAAN
3.1 Waktu, Tempat dan deskripsi Lokasi Fieldtrip secara umum
Kegiatan fieldtrip Manajemen Agroekosistem dilaksanakan pada hari
Sabtu tanggal 21 Mei 2016 yang bertempat di Jalan Kopral Kasdi Nomor
75, Dusun Banaran, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur. Dimana
kelompok kami mendapatkan lahan berupa perkebunan Jambu Kristal yang
bernama UD. Bumiaji Sejahtera milik Bapak Imam Ghozali dan saat ini
dikelola oleh Bapak Hadi. UD. Bumiaji Sejahtera merupakan salah satu
perusahaan yang mengembangkan Jambu Kristal dan mengembangkan
pembibitan bersertifikat. Terbukti bahwa pengunjung yang dating tidak
hanya dari dalam negeri, namun juga ada pengunjung dari luar negeri yang
ingin bekerja sama dalam mengembangakan Jambu Kristal di negara
asalnya. Letak perkebunan Jambu Kristal ini berada di lahan produktif
dataran tinggi Kota Batu.

3.2 Alat dan Bahan


a. Alat yang digunakan:
Plastik

: Sebagai wadah untuk menyimpan serangga yang


ditemukan dan untuk menyimpan sampel tanah

Kertas HVS

: Sebagai wadah untuk menyimpan jenis penyakit


yang ditemukan

Kapas

: Sebagai media untuk alkohol

Sweepnet

: Untuk menangkap serangga

Pitfal

: Untuk menjebak serangga

Pan Trap

: Untuk menjebak serangga

YellowStickyTrap : Untuk menangkap serangga yang terbang


Kuisioner

: Untuk mencatat hasil wawancara

Ring sampel

: Untuk mengambil sampel tanah yang ada di lokasi


fieldtrip

Cetok

: Untuk menggali tanah

32

Kertas label

: Untuk memberi tanda pada tanah yang sudah


diambil sampelnya

Tali raffia

: Untuk menghitung seresah

Amplop coklat

: Untuk wadah oven seresah

Fial film

: Untuk pengamatan pH tanah

Timbangan

: Untuk menimbang massa tanah

Oven

: Untuk mengeringkan tanah

Alat tulis

: Untuk mencatat hasil pengamatan

Kamera

: Untuk mendokumentasikan kegiatan fieldtrip

b. Bahan yang digunakan:


Kuisioner

: sebagai acuan pertanyaan kepada narasumber

Alkohol 70%

: Untuk menidurkan sejenak serangga yang telah


ditemukan

Deterjen

: Untuk meluruhkan serangga yang tertangkap

Aquades

: Untuk menghomogenkan tanah

3.3 Cara Kerja


3.3.1 Aspek Tanah
3.3.1.1 Cara Kerja Pengukuran Indikator Biologi Tanah
a. Cara kerja lapang
Membuat plot sub plot dengan ukuran 0,5 m x 0,5 m.

Mengambil seresah, understorey dan kascing pada plot


tersebut (bila ada)

Memasukan seresah dan understorey pada plastik

Memberi keterangan plastik tersebut dengan menggunakan


kertas label

33

b. Cara Kerja Laboratorium


Mengeluarkan seresah dan understorey dari plastik

Menimbang berat masing-masing

Mencatat hasil yang didapat (berat basah)

Memasukan seresah dan understorey pada amplop coklat

Menulis identitas pada amplop coklat

Memasukan amplop coklat pada oven selama 2 hari dengan


suhu 60oC

Meimbang berat kering seresah dan understorey

Mencatat hasil yang didapat dan lakukan dokumentasi


3.3.1.2 Cara Kerja Pengukuran Indikator Fisik Tanah
a. Pengambilan contoh tanah utuh
Ratakan dan bersihkan lapisan permukaan tanah yang akan
diambil contohnya.

Letakkan ring contoh tegak lurus dengan tanah, tekan hingga


sebagian masuk ke dalam tanah.

Gali tanah di sekeliling ring contoh dengan sekop, ambil tanah


beserta ring contoh.

Pisahkan ring pertama dan kedua dengan hati-hati, kemudian


potong kelebihan tanah yang berada di bagian atas dan bawah
ring dengan hati-hati sampai rata.

34

Tutup bagian atas dan bawah tanah beserta tabung untuk


menghindari contoh tanah terganggu selama penyimpanan dan
perjalanan

Beri label pada masing-masing contoh tanah

b. Pengukuran berat isi tanah


Timbang contoh tanah beserta ring contoh
Keringkan di dalam oven pada suhu 105oC selama 24 jam
sampai mendapatkan berat yang konsisten

Timbang berat kering tanah beserta berat ring

Tentukan berat isi tanah dengan rumus perhitungan


c. Pengukuran Berat Jenis Tanah
Menghaluskan tanah utuh

Mengambil sampel tanah sebesar 20 gram

Menimbang berat piknometer kosong

Memasukan sampel dalam piknometer

Menimbang piknometer + tanah

Menambahkan air matang

Menimbang pikno + air + tanah

Catat hasil pengukuran


Menghitung berat jenis tanah

35

d. Pengukuran porositas tanah


Pengukuran porositas dengan menggunkan rumus dan data
hasil perhitungan BI dan BJ

3.3.1.3 Cara Kerja Pengukuran Indikator Kimia Tanah


a. Pengukuran pH tanah
Ambil tanah komposit pada lahan secukupnya

Masukan dalam plastik

Timbang 10 gram tanah kering udara yang sudah lolos ayakan


2 mm kemudian masukkan ke dalam botol plastik

Tambahkan 10 ml aquadest

Kocok dengan mesin pengocok selama 60 menit kemudian


diendapkan selama 2 jam

Kemudian ukur dengan menggunakan pH meter

Catat hasil yang didapatkan


b. Pengamatan Gejala Defisiensi Tanaman
Amati gejala defisiensi pada tanaman di lahan tersebut

Catat jumlah tanaman yang mengalami defisiensi pada tabel


pengamatan.

Lakukan dokumentasi

36

3.3.2 Aspek HPT


a. Sweep Net
Mempersiapkan alat dan bahan meliputi sweep net dan kantung
plastik

Mengayunkan sweep net di atas tanaman dengan jarak 5-10 cm di


atas tanaman untuk menghindari kerusakan tanaman. Melakukan
ayunan sebanyak 3 kali kemudian menutup sweep net.

Berjalan maju dan mengayunkan sweep net tiap bagian lahan

Mengambil serangga yang tertangkap dalam sweep net kemudian


memasukkannya ke dalam plastik 1 kg dan memasukkan sedikit
alkohol ke dalam plastik
b. Yellow trap
Menyiapkan alat dan bahan

Menempatkan yellow trap di tengah-tengah lahan

Membiarkan yellow trap berada di tengah lahan

Mendokumentasikan serangga yang menempel pada yellow trap


c. Pittfall
Menyiapkan alat dan bahan

Membuat campuran air dan detergen, kemudian menuangkannya


ke dalam gelas aqua sebanyak setengah volume
Mendiamkan pitfall selama 1 hari

Mengamati serangga yang terperangkap dalam pitfall

Memasukkan serangga ke dalam plastik

37

3.3.3 Aspek BP
Mempersiapkan alat dan bahan

Melakukan wawancara pada petani dengan mengacu pada kuisioner

Merekam dan catat hasil wawancara

Mendokumentasikan lahan petani

Hasil

38

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum Lahan
Kegiatan fieldtrip kali ini berlokasi di lahan jambu kristal U.D. BumiAji
Sejahtera di Jalan Kopral Kasdi Nomor 75, Desa Banaran, Kecamatan
Bumiaji, Kota Batu. Lokasi ini terletak pada kordinat 669500.44 m E dan
9131071.50 m S di Citra satelit. Kemudian terletak pada garis lintang
(latitude): -7.858316o dan garis bujur (longitude): 112.537746o. Di daerah
tropis jambu kristal tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 1500 m dpl.
Tanaman jambu biji ini juga dapat tumbuh pada temperatur 15 sampai
45C, dan yang masih kecil dapat mati pada suhu -2,78 sampai -2,22C.
Hasil terbaik diperoleh pada suhu 23-28C dengan curah hujan 1.000-2.000
mm/tahun.
Luas lahan kebun kristal di daerah ini adalah sekitar 4.500 m2 dengan
relief makro datar dan memiliki relief mikro berupa teras-teras sehingga
dapat menekan bahaya erosi. Tidak hanya jambu kristal, pohon pisang dan
rerumputan juga ada di lahan tersebut dengan tujuan agar biodiversitas di
lahan tersebut dapat menciptakan interaksi yang kompleks, baik interaksi
antara biotik dengan biotik maupun interaksi antara biotik dengan abiotik.
Interaksi yang terjadi dapat menyebabkan keseimbangan sehingga dapat
menekan

kemungkinan-kemungkinan

yang

tidak

diinginkan

dan

meningkatkan ataupun menjaga kestabilan produksi tanaman jambu kristal


yang merupakan komoditas utama di lahan ini. Seresah-seresah yang ada
berasal dari bagian-bagian tanaman yang rontok ataupun berasal dari sisasisa

tanaman

terdekomposisi

yang
atau

sengaja
terurai

dibiarkan
menjadi

sehingga

bahan

nantinya

organik

yang

akan
dapat

menyediakan unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman, dan juga dapat


memperbaiki sifat fisik tanah. Jenis pengelolaan air di lahan ini adalah
dengan menggunakan sistem tadah hujan karena tanaman jambu kristal ini
dapat tumbuh di berbagai tempat dan juga sangat toleran terhadap kondisi

39

cekaman lingkungan, misalnya kekeringan, lahan berbatu, pH rendah, dan


sebagainya, sehingga tidak dilakukan sistem irigasi yang khusus.

4.2 Analisis Keadaan Agroekosistem


4.2.1 Hama dan Penyakit Tanaman
a. Data hasil Pengamatan Arthropoda
Tabel 2. Hasil pengamatan Arthropoda
Jumlah individu (ekor)
Titik
Jenis
pengamatan
perangkap Hama Musuh Serangga Total
sampel
alami
lain

Pitfall
Yellow
sticky trap
Pan trap

507

518

526

526

202

212

503

509

47

49

13

22

1757

98

Pitfall
Yellow
sticky trap
Pan trap

Pitfall
Yellow
sticky trap
Pan trap

Pitfall
Yellow
sticky trap
Pan trap

Pan trap

Pitfall
Yellow
sticky trap
Sweepnet
Total

Persentase (%)
Hama

Musuh Serangga
alami
lain

96,94%

1,33%

1,71%

99,24%

0%

0,75%

92,66%

0,45%

6,88%

97,66%

0,19%

2,13%

3,84%

0%

96,15%

59,09%

0%

40,90%

0,48%

5,25%

1864 94,25%

40

b. Segitiga Fiktorial
1. Segitiga fiktorial keseluruhan titik

2. Segitiga fiktorial sweepnet

41

c. Perhitungan Intensitas Penyakit


Tabel 3. Perhitungan Intensitas Penyakit
No

Titik

Nama
penyakit

Karat merah
Embun
jelaga
Karat merah

3
4
5

Embun
jelaga
Karat
Karat daun
Karat

3
4
5

Skoring
2
3

Jumlah
daun

30
33

25
20

6
13

21
21

1250
1250

24

12

16

41

564

19

41

38

72

564

66
8
19

30
6
13

0
3
12

0
18
22

1526
614
1134

1. Titik 1
IP karat merah

:(n x v) / z x N
: (30x1) + (25x2) + (6x3) + (21x4)/(4x1250)(100%
: (30+50+18+84/ 5000) 100%
: (182/5000) 100%
: 0,03 100%
: 3%

IP embun jelaga : ((331) + (202) + (133) + (214)/(4x1250))x100%


: (33+40+39+84/5000) 100%
: 0,03 100%
: 3%
2. Titik 2
IP karat merah

: ((241) + (122) + (163) + (414)/ (4x564))x100%


: (24+24+48+164/2256) 100%
: 0,11 100%
: 11%

42

IP embun jelaga : ((191) + (412) + (383) + (724)/(4x564))x100%


: (19+82+114+288/2256) 100%
: 0,22 100%
: 22%
3. Titik 3
IP karat merah

: ((661) + (302) + (03) + (04)/ (4x1526))x 100%


: (66+60+0+0/6104) 100%
: 0,01 100%
: 1%

4. Titik 4
IP karat merah : ((81) + (62) + (33) + (184)/ (4x614))x 100%
: (8+12+9+72/2456) 100%
: 0,04 100%
:4%
5. Titik 5
IP karat merah

: ((191) + (132) + (123) + (224)/(4x1134))x100%


: (19+26+36+88/4536) 100%
: 0,03 100%
:3%

Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan ditemukan adanya 2


penyakit yang menyerang pada tanaman jambu kristal di lokasi survey,
dimana penyakit tersebut adalah penyakit karat merah dan penyakit
embun jelaga. Dimana gejala tanaman yang terkena penyakit karat
merah adalah terdapat bercak-bercak berwarna merah kecoklatan yang
terdapat di atas permukaan daun. Dilihat dari persebarannya, penyakit
ini sudah menyebar keseluruh titik penyakit dengan intensitas paling
tinggi yaitu 11%. Dari literatur yang didapatkan bahwa penyakit ini
disebabkan oleh ganggang Cephaleuros virescens yang biasanya
menyerang tanaman tahunan. Gejala yang ditemukan sesuai dengan
apa yang dikatakan oleh Suwandi (2003) Pada daun yang telah
berkembang sempurna ditemukan bintik-bintik kecil benwarna coklat
kemerahan. Seiring dengan bertambahnya umur daun, bintik-bintik

43

berkembang menjadi bercak-bercak tidak beraturan berukuran 1-3 mm


yang pusatnya berwarna coklat kemerahan dan tepinya dikelilingi halo
benwarna hijau bening. Jika dilihat dari permukaan bawah daun, bagian
bercak nampak mencekung ke dalam seperti koreng. Pada serangan
parah, bercak-bercak dapat menyatu sehingga tepi ujung daun
mengalami nekrosa menjadi kering). Pada serangan lanjut ini kerap
ditemukan kerak alga benwama coklat kehijauan. Daun yang terserang
parah menjadi gugur sebelum waktunya.
Sedangkan untuk penyakit embun jelaga memiliki gejala yaitu
yaitu daun yang terserang penyakit akan berwarna abu-abu kehitaman
diseluruh bagian daun. Hal ini sesuai dengan literatur, Ernawati (2013)
menyebutkan bahwa embun jelaga adalah penyakit yang memiliki
gejala pada permukaan daun tampak lapisan berwarna abu-abu
kehitaman. Pada serangan berat, lapisan hitam akan menutup
permukaan daun, tangkai daun dan ranting. Akibat serangan penyakit
ini tanaman menjadi sulit berfotosintesis.

Gambar 1. Penyakit Embun Jelaga (Ernawati.2013)


d. Pembahasan Umum
Pengamatan serangga dilakukan dengan memasang 3 perangkap
yaitu yellow sticky trap, pan trap, dan pit fall. Dari ke3 perangkap
tersebutlah didapatkan data data serangga yaitu jenis dan peranannya.
Dari hasil pengamatan yang ada maka didapatkan bahwa pada ke 5 titik

44

yang diamati memiliki presentase hama yang besar dibandingkan


dengan serangga yang memiliki peran sebagai musuh alami maupun
serangga lain. Dengan presentase total yang didapatkan adalah hama
pada lokasi survey sebesar 94,25%, musuh alami sebesar 0,48% dan
serangga lain sebesar 5,25%. Hama adalah semua hewan yang
merusak tanaman atau hasilnya yang mana aktivitas hidupnya ini dapat
menimbulkan kerugian secara ekonomis (ditjenbun pertanian.2013).
Sedangkan musuh alami merupakan serangga atau organisme yang
memiliki peran sebagai predator serangga atau organisme lain yang
tujuannya dapat menekan populasi hama atau serangga tertentu. Dan
serangga lain adalah serangga yang memiliki peran sebagai hama pada
komoditas lain sehingga tidak merugikan komoditas yang ditanam,
sebagai pengurai, ataupun polinator yang menguntungkan untuk
membantu penyerbukan dari tanaman. Pada lokasi pengamatan
didapatkan bahwa populasi terbesar yang didapat adalah pada serangga
hama, yaitu hama yang ditemukan diantaranya adalah kutu kebul. Kutu
kebul sendiri hidup berkelompok dan berukuran kecil, kutu kebul didapat
dari perangkap yellow sticky trap. Kutu kebul menjadi hama dikarenakan
kutu kebul disini memiliki peran sebagai vektor penyakit atau penyebab
penyakit. Menurut Marwoto (2011) ekskreta kutu kebul menghasilkan
embun madu yang merupakan medium tumbuh cendawan jelaga,
sehingga tanaman sering tampak berwarna hitam. Hal ini dapat
menyebabkan proses fotosintesis pada tanaman kedelai tidak normal
Kehilangan hasil akibat serangan hama kutu kebul dapat mencapai 80%,
bahkan dapat mengakibatkan gagal panen jika tidak dikendalikan.
Morfologi kutu kebu yaitu, serangga dewasa kutu kebul berwarna putih
dengan sayap jernih, ditutupi lapisan lilin yang bertepung. Ukuran
tubuhnya berkisar antara 1-1,5 mm. Serangga dewasa meletakkan telur
di permukaan bawah daun muda, telur berwarna kuning terang dan
bertangkai seperti kerucut. Dari pernyataan literatur tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa kutu kebul dapat menyebabkan penyakit
embun jelaga, yang dimana penyakit tersebut ditemukan pada beberapa

45

tanaman dilokasi survey. Diperlukan pengendalian untuk menurunkan


populasi dari hama kutu kebul, dilihat dari populasinya juga yang sudah
cukup besar meskipun dampaknya belum sebesar populasinya.
Palumbo et al. (2001) dalam Marwoto (2011) menyebutkan bahwa
penggunaan pestisida menyebabkan resistensi pada kutu kebul.
Sehingga pendekatan pengendalian hama terpadu dengan kombinasi
waktu tanam yang tepat, varietas tahan peru dilakukan.
Selain hama kutu kebul, dari hasil pengamatan juga didapatkan
hama lalat buah, dengan gejala yang ditemukan yaitu buah busuk dan
terdapat bekas tusukan ovipositor pada buah. Menurut Siwi (2002), sifat
khas lalat buah adalah hanya dapat bertelur didalam buah, larva
(belatung) yang menetas dari telur tersebut akan merusak daging buah,
sehinga buah menjadi busuk dan gugur, hal ini dapat menurunkan daya
jual buah jambu.
Selain hama juga ditemukan musuh alami yaitu lycosa sp. atau
laba laba. Laba laba bersifat karnivora yaitu memakan serangga lain
yang ukurannya lebih kecil. Menurut Pradhana (2014) melalui peran
sebagai musuh alami, serangga sangat membantu manusia dalam
usaha pengendalian hama. Selain itu serangga juga membantu dalam
menjaga kestabilan jaring-jaring makanan dalam suatu ekosistem
pertanian. Kemudian juga ditemukannya serangga lain seperti Aedes
albopictus (nyamuk) dan juga Dolichoerus sp. (semut hitam).
Pada pengamatan yang dilakukan juga didapatkan 2 penyakit yang
ditemukan pada lokasi pengamatan yaitu penyakit karat merah dan
embun jelaga. Dimana kedua penyakit ini dapat mengganggu
pertumbuhan tanaman dikarenakan penyakit ini menyerang bagian daun
dan menutupi permukaan daun, sehingga dapat menurunkan aktivitas
fotosintesis tanaman. Menurut Suwandi (2003) penyakit karat merah
biasa menyerang daun dan ranting kopi, teh, kakao, pisang, jambu biji,
jeruk, leci, rambutan, durian, mangga, jambu mete, jati dan sebagian
besar tumbuhan hutan. Pengendalian penyakit karat merah alga dapat
dilakukan melalui tindakan-tindakkan perbaikan kesehatan tanaman dan

46

sanitasi lingkungan. Meningkatkan kesehatan atau ketahanan tanaman


terhadap penyakit, misalnya dengan penyemperotan tanaman dengan
ekstrak kompos yang mengandung chitosan dan dengan perbaikan
kesuburan tanah melalui pemberian bahan organik (pupuk kandang atau
kompos) dan pemulsaan, menghindari panen yang berlebihan di musim
kemarau serta membakar cabang sakit dapat dilakukan untuk
mengendalikan penyakit ini. Jika penyakit masih tetap menyerang,
penyemperotan dengan fungisda tembaga (tembaga oksiklorida atau
tembaga hidroksida) dapat dianjurkan untuk pengendalian penyakit ini.
Dikarenakan dominasi dari serangga hama, maka dapat dikatakan
ekosistem di lokasi survey dari segi HPT kurang seimbang. Tingkat
keragaman jenis serangga memiliki dampak yang sangat penting bagi
kestabilan di dalam ekosistem Keanekaragaman hayati serangga
berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas produk yang dihasilkan.
Pada ekosistem alami, umumnya telah terjadi kestabilan populasi antara
hama dan musuh alami sehingga keberadaan serangga hama tidak lagi
merugikan (Widiarta, Kusdiaman, dan Suprihanto, 2006 dalam Pradhana
2014).
4.2.2 Budidaya Pertanian
1. Proses Budidaya
Budidaya tanaman jambu biji varietas kristal atau yang biasa
disebut jambu kristal yang diusahakan oleh Bapak Imam dan Bapak
Rakhmad dilakukan pada lahan display seluas kurang lebih 40005000 m2 yang berada di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Lahan
display yang terdiri dari 8 blok tersebut sifatnya terbuka sehingga
dapat dilihat banyak orang. Pada awalnya tanaman yang ditanam
bukanlah jambu kristal melainkan apel. Namun karena kondisi
tanah dan iklim lebih sesuai untuk tanaman jambu kristal, maka
pada tahun 2006 tanaman apel diganti dengan jambu kristal. Pola
tanam yang digunakan pada lahan display tersebut ialah
monokultur. Menurut Prasetyo et al. (2009) bahwa pola tanam
monokultur adalah sistem penanaman satu jenis tanaman yang

47

dilakukan sekali atau beberapa kali dalam setahun tergantung jenis


tanamannya.
Proses budidaya tanaman jambu kristal dimulai dari
pengolahan tanah di awal tanam dengan cara pencangkulan dan
pembuatan bedengan. Jarak tanam yang digunakan adalah 3 m x
3 m. Jarak tanam tersebut dapat dikatakan kurang sesuai karena
jarak tanam yang dianjurkan untuk jambu kristal ialah 3,5 m-4 m
untuk jarak tanam antara baris dan 2,7 m-3,6 m untuk jarak tanam
antar pohon (IPBCYBEX, 2013). Namun, hal tersebut tetap
dilakukan untuk memaksimalkan keterbatasan lahan. Proses
berikutnya adalah pembuatan lubang tanam dengan ukuran 30 cm
x 50 cm x 50 cm kemudian ditutup menggunakan tanah yang
dicampur pupuk kandang 1 kg/lubang (Tanzil, 2014). Menurut
Bapak Rakhmad bibit yang digunakan di awal tanam merupakan
bibit yang diperoleh dari Taiwan sebanyak 3700 bibit. Dari 3700
bibit tersebut selanjutnya dipilih pohon induk yang digunakan untuk
produksi bibit jambu kristal dengan cara okulasi maupun cangkok.
Menurut Bapak Rakhmad kebutuhan air tanaman saat musim
penghujan dipenuhi dengan air hujan sedangkan saat musim
kemarau menggunakan sistem irigasi alur dengan sumber air
sungai terdekat. Sementara untuk pemupukan dilakukan 3 bulan
sekali dengan dosis yang sama pada pupuk N, K, dan organik yakni
12,5 kg per pohon. Selain itu juga dilakukan penyemprotan
Effective Microorganism (EM) setiap 3 minggu sekali. Dosis pupuk
yang diaplikasikan pada lahan tersebut dapat dikatakan kurang
tepat karena menurut Srilastika (2013) kebutuhan pupuk tanaman
jambu kristal yang seharusnya diaplikasikan adalah memiliki
perbandingan Urea : TSP : ZK sebesar 5 : 2 : 1 dan meningkat
dosisnya seiring bertambahnya umur tanaman. Sementara untuk
tanaman berumur lebih dari 3 tahun digunakan dosis pupuk organik
40 kg/pohon dan pupuk anorganik dengan dosis tetap.

48

Waktu yang dibutuhkan bibit jambu kristal untuk dapat


berproduksi sejak penanaman pertama ialah 1,5 tahun. Selama itu
tanaman memerlukan pemeliharaan seperti pemangkasan cabangcabang kurang produktif. Menurut Bapak Rakhmad pemangkasan
ini dilakukan agar tanaman dapat memperoleh cahaya matahari
dengan baik terutama akibat penggunaan jarak tanam yang kurang
tepat. Selain itu, pemangkasan juga berguna untuk merangsang
tumbuhnya bunga akibat memusatnya fotosintat ke cabang baru
dan mengurangi kelembaban mikro untuk menjaga dari serangan
penyakit. Pemeliharaan tanaman lainnya ialah pembumbunan yaitu
meninggikan tanah di sekitar tanaman untuk mencegah erosi saat
musim hujan dan pembungkusan buah dengan plastik untuk
menjaga buah dari serangan hama dan penyakit serta menjaga
kelembaban mikronya.
Proses budidaya selanjutnya adalah pengendalian hama dan
penyakit tanaman jambu kristal. Berdasarkan kondisi lapangan,
pengendalian yang digunakan yaitu dengan menanam tanaman
refugia berupa kenikir sebagai tanaman pagar. Tujuan dari
penanaman ini adalah sebagai inang bagi musuh alami dan
mengurangi

serangan

pemasangan

yellow

OPT.
sticky

Pengendalian
trap

dan

lainnya

pengendalian

dengan
kimia

menggunakan fungisida. Menurut Tanzil (2014) fungisida yang


digunakan yakni Cabrio dan Folicur dengan dosis yang disesuaikan
dengan umur tanaman.
Proses terakhir dari budidaya jambu kristal ialah pemanenan.
Menurut Bapak Rakhmad pemanenan dilakukan setelah tanaman
berumur 1,5 tahun sejak penanaman. Sementara untuk bibit hasil
cangkok maupun okulasi hanya dibutuhkan waktu 5 bulan sejak
penanaman karena umumnya bunga telah terbentuk. Pemanenan
dilakukan dengan cara menggunting tangkai buah secara manual.
Bapak Rakhmad mengasumsikan setiap pohon menghasilkan 1 kg
setiap panen karena tanaman masak tidak serentak maka panen

49

dapat dilakukan berkali-kali. Oleh sebab itu setiap 3 bulan beliau


memperkirakan hasil panen sebesar 1,2 1,4 kwintal. Proses
pasca panen tdak dijelaskan secara detail namun dari hasil panen
jambu kristal dijual ke supermarket buah di kota Malang dan
Surabaya. Hasil panen juga dijual di lahan dengan bentuk wisata
petik buah dan dijual pada konsumen untuk dijadikan produk
olahan.
2. Komponen Agroekosistem
Menurut Marten (1998) agroekosistem terdiri dari 4 komponen
penting yaitu produktivitas (productivity), stabilitas (stability),
keberlanjutan

(sustainability),

dan

kemerataan

(equitability).

Produktivitas didefinisikan sebagai produksi atau pendapatan


bersih dari setiap satuan sumber daya. Berdasarkan hasil
wawancara pada usaha yang dilakukan Bapak Imam dan Bapak
Rakhmad, produktivitas yang diperoleh termasuk tinggi karena
hasil yang diperoleh lebih besar daripada masukan yang diberikan.
Tingginya produktivitas ini merupakan hasil dari penerapan sistem
budidaya yang cukup baik dan pemeliharaan agroekosistem
tersebut dengan menanam tanaman refugia sebagai inang musuh
alami sehingga meningkatkan biodiversitas pada agroekosistem
tersebut,

memanfaatkan

lebih

banyak pupuk organik dan

mengurangi penggunaan pestisida. Menurut Marten (1998)


produktivitas yang tinggi harus didukung dengan pengendalian
kualitas lingkungan agar tetap lestari, dengan begitu pertanian akan
terbangun secara berkelanjutan.
Stabilitas menunjukkan kemantapan produktivitas akibat
gangguan seperti iklim dan harga. Stabilitas berarti stabil atau
normalnya tingkat produksi ketika terjadi gangguan (Marten, 1998).
Berdasarkan hasil wawancara, stabilitas pada UD Bumiaji
Sejahtera tersebut termasuk tinggi. Bapak Rakhmad menuturkan
bahwa sejauh ini iklim bukanlah hambatan bagi produksi jambu
kristal karena jambu kristal dapat tumbuh pada berbagai kondisi

50

iklim. Menurut Rismunandar (1989) dalam Primadana (2014)


bahwa tanaman jambu biji dapat tumbuh di berbagai tempat dan
kapan saja, pada hampir semua jenis tanah, dan sangat toleran
terhadap kondisi cekaman lingkungan, misalnya kekeringan, lahan
berbatu, pH rendah, dan sebagainya. Sementara itu dari sisi harga,
narasumber menyebutkan bahwa tidak pernah terjadi penurunan
harga akibat kelimpahan jambu kristal maupun faktor lain. Bahkan
dapat dikatakan sejak panen pertama hingga saat ini, harga yang
diberlakukan sama yakni Rp 15.000/kg, sedangkan untuk pasar
supermarket keuntungan per kg dapat mencapai 40%.
Keberlanjutan

merupakan

kemampuan

sistem

mempertahankan produktivitas dalam jangka panjang akibat


goncangan yang disebabkan banjir, serangan hama dan penyakit,
maupun erosi. Menurut Marten (1998) keberlanjutan mengacu
pada bagaimana mempertahankan tingkat produksi tertentu dalam
jangka panjang. Pada lahan yang diamati keberlanjutan usaha
jambu kristal ini tergolong tinggi. Berdasarkan hasil wawancara
selama ini usaha jambu kristal ini tidak pernah mengalami
goncangan produktivitas akibat banjir, serangan hama dan
penyakit, maupun erosi. Serangan hama dan penyakit pernah
terjadi namun selama ini tidak pernah melebihi ambang ekonomi
(AE) sehingga tidak terlalu mempengaruhi produktivitas jambu
kristal. Bahkan beliau berprinsip bahwa keberadaan hama dan
penyakit harus ada namun jumlahnya tidak boleh mendominasi, hal
ini

bertujuan

untuk

menjaga

keseimbangan

agroekosistem

tersebut.
Kemerataan menggambarkan sejauh mana hasil suatu
agroekosistem

terbagi

diantara

orang-orang

dalam

sistem.

Kemerataan umumnya dapat dilihat dari distribusi keuntungan dan


kerugian terkait produksi barang/jasa pada agroekosistem tersebut
(Marten, 1998). Kemerataan berarti masyarakat memperoleh
manfaat pendapatan, pangan, dan lain-lain secara merata.

51

Berdasarkan hasil wawancara kemerataan pada daerah tersebut


tergolong tinggi karena keberadaan UD Bumiaji Sejahtera ini
mampu menyerap tenaga kerja dari penduduk sekitar. Selain itu
juga daerah tersebut telah dikenal menjadi daerah sentra untuk
tanaman hortikultura maupun perkebunan, sehingga terjad sebaran
pendapatan maupun pangan yang tidak jauh berbeda.
3. Analisis Usaha Tani
Usaha tani merupakan kegiatan yang dilakukan petani dalam
mengelola sarana produksi pertanian dan teknologi dalam suatu
usaha yang menyangkut bidang pertanian (Tohir, 1991). Analisis
usaha tani dilakukan untuk mengetahui besarnya investasi, unsur
biaya, tingkat produksi yang harus dicapai, harga jual yang
menguntungkan, dan besarnya keuntungan yang akan diraih.
Berdasarkan data hasil wawancara analisis usaha tani secara
matematis tidak dapat dilakukan karena keterbatasan data yang
dimiliki terutama terkait modal usaha, biaya yang digunakan, dan
keuntungan yang diperoleh.
4.2.3 Tanah
a. Data hasil pengukuran
1. Data Hasil pengukuran indikator fisik tanah
Tabel 4. Hasil pengukuran laboratorium berat isi
Tanah + cawan
Cawan (gr)
Tanah (gr)
(gr)
148,1
Berat Isi =

6,5

141,6

Berat Kering (gr)


102,8

Berat Kering 102,8


g
=
= 0,72
Volume total 141,6
3

Tabel 5. Hasil pengukuran berat jenis


Labu + Air +
Labu (gr)
Tanah (gr)
Tanah (gr)
186,1
Berat Jenis =

75,3

20

Air (gr)
93,8

Berat kering
20
20
g
=
=
= 3,2
100 (pa x A)
100 (1x93,8)
6,2
3

52

Porositas = (1

BI
0,72
) 100% = (1
) 100% = 77,5%
BJ
3,2

Tabel 6. Hasil perhitungan


Indikator
Berat Isi (BI)
Berat Jenis (BJ)
Porositas

Nilai
0,72 gr/cm3
3,2 gr/cm3
77,5 %

2. Data hasil pengukuran indikator kimia tanah


Tabel 7. Hasil pengukuran indikator kimia tanah
Indikator
Nilai
Pengukuran pH
6,4
Pengamatan Gejala
Tidak ditemukan
Defisiensi
3. Data hasil pengukuran indikator biologi tanah
Tabel 8. Hasil pengukuran indikator biologi tanah
Indikator
Berat Basah (gr)
Berat Kering (gr)
Berat seresah frame 1
7,8
4,9
Berat seresah frame 2
8,7
5,8
Berat Understorey frame 1
23,4
12,3
Berat Understorey frame 2
37,6
19,9
Kascing frame 1
0
0
Kascing frame 2
0
0
b. Interpretasi data
Dari hasil pengamatan lapang dan hasil pengujian lab didapatkan
hasil sebagai berikut :
Berdasarkan hasil pengujian indikator fisik tanah di laboratorium
didapatkan hasil yakni volume total yakni sebesar 141,6, sedangkan
berat kering setelah dioven yakni 102,8. Sedangkan untuk nilai berat
isi,setelah data yang didapat lengkap maka dilakukan perhitungan nilai
berat isi dan didapatkan nilai berat isi yakni sebesar 0,72 gr. Untuk
perhitungan berat jenis, didapatkan data berat labu + air + tanah yaitu
186,1 gram, berat labu 75,3 gram, berat tanah sampel 20 gram dan berat
air yang ditambahkan 93,8 gram. Berdasarkan hasil perhitungan dengan

53

menggunakan rumus didapatkan nilai berat jenis sebesar 3,2 g/cm 3.


Untuk perhitungan porositas dengan perhitungan rumus didapatkan hasil
bahwa tanah tersebut memiliki porositas sebesar 77,5 %.
Pada indikator kimia tanah, setelah dilakukan pengukuran pH
didapatkan nilai pH sebesar 6,4 dan untuk pengamatan gejala defisiensi
tidak ditemukan adanya gejala defisiensi pada lahan tersebut.
Dari hasil pengamatan indikator biologi tanah meliputi seresah,
understorey dan kascing didapatkan hasil bahwa berat seresah pada
frame 1 berat basahnya 7,8 gr dan berat keringnya 4,9 gr, sedangkan
pada frame 2 berat basah seresah sebesar 8,7 gr dan memiliki berat
kering sebesar 5,8 gr. Untuk understorey pada frame 1 memiliki berat
basah sebesar 23,4 gr dan berat keringnya 12,3 gr. Pada frame 2 berat
basah understorey yaitu sebesar 37,6 dan berat keringnya sebesar 19,9
gr. Sedangkan untuk kascing, tidak ditemukan adanya kascing pada plot
pengamatan.

c. Pembahasan Umum Kondisi Kesuburan Tanah di Lokasi Fieldtrip


Indikator kesuburan tanah yang pertama yaitu berat isi dan berat
jenis tanah serta porositas tanah. Berat isi merupakan berat tanah utuh
dalam keadaan kering yang dibagi dengan volume tanah. Berat jenis
tanah merupakan perbandingan antara berat butiran padat( setelah
dioven) dengan berat volume air pada temperatur tertentu. Berat volume
tanah dipegaruhi oleh bagian rongga pori tanah, struktur tanah,
pertumbuhan akar, aktivitas mikroorganisme dan peningkatan bahan
organik. Makin tinggi pemberian bahan organik ke dalam tanah maka
berat volume / berat isi akan semakin rendah, berkisar antara 1,0 sampai
1,3 g.cm-3 (De Fretes et al. , 1996), menurut Hardjowigeno (2003),
kandungan bahan organik yang tinggi menyebabkan tanah mempunyai
berat jenis butiran yang rendah, ditambahkan juga oleh Blake (1986)
bahwa besarnyan berat jenis tanah pertanian berkisar antar 2,6 sampai
2,7 g.cm-3. Islami & Utomo (1995) mengemukakan bahwa porisitas
tanah dipengaruhi oleh susunan partikel dan struktur tanah yang

54

mempunyai peranan bagi daya penyediaan air dan udara serta


pertumbuhan akar yang secara langsung berguna bagi pertumbuhan
tanaman.
Dari hasil percobaan di laboratorium didapatkan hasil bahwa nilai
berat isi (BI) pada tanah sampel yakni sebesar 0,72 gr/cm3 sedangkan
untuk berat jenis (BJ) didapatkan nilai 3,2 gr/cm3. Besarnya berat isi dan
berat jenis tanah dipengaruhi oleh kepadatan tanah. Semakin padat
tanah maka nilai berat isi dan berat jenis tanah akan semakin tinggi dan
sebaliknya bila kepadatan tanah semakin rendah, maka berat isi dan
berat jenis tanah akan semakin ringan. Ada banyak hal yang
mempengaruhi kepadatan dari tanah, bahan organik, fauna tanah dan
besar kecilnya pori tanah. Untuk tanaman budidaya, tanah yang padat
kurang

baik

untuk

pertumbuhan

tanaman

khususunya

untuk

perkembangan akar. Tanah yang padat menyebabkan kondisi perakaran


kurang baik, tanah tidak dapat berkembang dengan optimal karena
mengalami kesulitan saat menembus agregat tanah yang padat. Selain
itu tanah yang padat menyulitkan air mengalami infilrasi, sehingga air
menjadi lebih sulit untuk masuk ke zona perakaran, dengan kondisi
seperti ini dikhawatirkan tanaman tidak tercukupi kebutuhan airnya
karena banyak air yang hilang karena perkolasi di permukaan tanah.
Kepadatan tanah berkaitan erat dengan porositas tanah. Tanah yang
baik adalah tanah yang memiliki porositas yang tidak terlalu tinggi dan
terlalu rendah, berdasarkan hasil praktikum, didapatkan nilai porositas
tanah sampel sebesar 77,5%. Bila tanah memiliki porositas yang terlalu
tinggi dapat menyebabkan air akan mudah mengalir kebawah dan tidak
tersimpan di zona perakaran, namun bila porositas terlalu rendah maka
dapat menyebabkan air akan sulit untuk masuk ke dalam tanah.
Indikator yang kedua yakni pH dan gejala defisiensi yang terjadi
pada lahan. Berdasarkan uji laboratorium, pH sampel tanah yang didapat
yakni 6,4. pH tanah atau tepatnya pH larutan tanah sangat penting
karena larutan tanah mengandung unsur hara seperti Nitrogen (N),
potassium/kalium (K), dan Pospor (P) dimana tanaman membutuhkan

55

dalam jumlah tertentu untuk tumbuh, berkembang, dan bertahan


terhadap penyakit (Hardjowigeno, 2003) Tanah masam adalah tanahtanah yang memiliki pH kurang dari 5,0. Yang mempunyai pH 5,0-7,0
meski secara kimiawi termasuk masam tidak digolongkan dalam tanah
masam karena tidak membutuhkan perlakuan khusus dalam kaitannya
dengan pH (Wiskandar, 2002). pH tanah rendah memungkinkan
terjadinya hambatan terhadap pertumbuhan mikroorganisme yang
bermanfaat bagi proses mineralisasi unsur hara seperti N dan P dan
mikroorganisme yang berpengaruh pada pertumbuhan tanaman,
sehingga sering dijumpai daun-daun tanaman makanan ternak pada
tanah asam mengalami chlorosis akibat kekurangan N ( Nyakpa,dkk,
1998).
Berdasarkan pH sampel tanah yang kita gunakan terlihat bahwa
tanah tersebut sudah cukup baik, karena memiliki pH diatas 5,0. Bila
tanah terlalu masam maka dapat menyebabkan keracunan pada
tanaman sehingga dapat menyebabkan pertumbuhan tidak optimal.
Tanah yang terlalu masam juga dapat menyebabkan mikroorganisme
dalam

tanah

tidak

dapat

berkembang

dengan

baik

padahal

mikroorganisme tersebut sangat penting dalam membantu tanaman


menyediakan unsur hara. Dengan kondisi yang demikian maka
menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan optimal.
Indikator tanah yang selanjutnya adalah biologi tanah, yaitu berupa
bobot seresah dan understorey serta berat kascing yang ditemukan
dalam plot pengamatan. Indikator tersebut termasuk dalam bahan
organik. Hardjowigeno (2003) mengemukakan bahwa, pemberian bahan
organik ke tanah akan berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia dan biologi
tanah secara simultan, pengaruhnya adalah memperbaiki aerase tanah,
Penambahan bahan organik pada tanah kasar (berpasir), akan
meningkatkan pori yang berukuran menengah dan menurunkan pori
makro. Dengan demikian akan meningkatkan kemampuan menahan air
(Stevenson, 1982). penambahan bahan organik (pupuk kandang) akan

56

meningkatkan pori total tanah dan akan menurunkan berat volume tanah
(Wiskandar, 2002).
Bahan organik sangat penting bagi kesuburan tanah. Selain dapat
dijadikan sebagai sumber hara dalam tanah, bahan organik ternyata
dapat memperbaiki kondisi fisik dan kimia suatu tanah. Tanah yang
terlalu masam selain dapat di tangani dengan pengkapuran, juga dapat
diatasi dengan penambahan bahan organik.sedangkan dari aspek fisik,
pemberian bahan organik dapat memperbaiki struktur dari tanah dan
memperbaiki pori tanah. Sedangkan untuk keberadaan kascing tidak
ditemukan dalam plot. Kascing merupakan suatu indikator adanya
keberadaan cacing tanah. Cacing tanah sangat bermanfaat baik dalam
meningkatkan kesuburan tanah.

4.3 Rekomendasi
4.3.1 HPT
Rekomendasi yang disarankan yang berkaitan dengan aspek HPT
adalah dengan peningkatan serangga yang berperan sebagai musuh alami,
juga pengendalian hama terpadu. Agroekosistem perlu dikelola sedemikian
rupa sehingga musuh alami dapat dilestarikan dan dimanfaatkan. Setiap
jenis hama secara alami dikendalikan oleh kompleks musuh alami yang
dapat meliputi predator (pemangsa), parasitoid, dan patogen hama.
Dibandingkan dengan penggunaan pestisida, penggunaan musuh alami
bersifat alami, efektif, murah, dan tidak menimbulkan dampak samping
negatif bagi kesehatan dan lingkungan hidup (Untung, 2006 dalam
Pradhana 2014). Kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan populasi
musuh alami adalah dengan cara
1. Menyediakan inang guna tempat berlindung musuh alami. Hal ini sesuai
dengan yang dianjurkan oleh Setiawati (2004) pelestarian menyangkut
menipulasi lingkungan yang menguntungkan kehidupan musuh alami,
yaitu meniadakan atau setidak-tidaknya mengurangi faktor-faktor yang
merugikan, dan atau menyediakan faktor-faktor yang diperlukan.
Gulma dan tanaman yang mengandung polen dapat digunakan untuk

57

pelestarian parasitoid dan predator sebagai sumber makanan, tempat


berlindung dan berkembang biak sebelum inang utama hadir.
2. Menurunkan

penggunaan

pestisida,

menurut

Setiawati

(2004)

Penggunaan insektisida yang sering dan terus menerus dapat menekan


populasi musuh alami di lapangan.
3. Memodifikasi sistem budidaya tanaman menjadi tumpang sari, menurut
Setiawati

(2004)

Secara

ekologis,

kemungkinan

keberhasilan

pelepasan parasitoid dan predator dalam pengendalian hama akan


lebih tinggi bila diterapkan pada ekosistem sayura yang mempunyai
keanekaragaman hayati yang lebih tinggi dibandingkan dengan
ekosistem

sayuran

yang

keanekaragaman

hayatinya

rendah.

Sebaliknya penerapan dan pengembangan parasitoid dan predator


akan meningkatkan keanekaragaman hayati pada suatu tempat.
Dengan demikian system pola tanam sayuran polikultur akan lebih
menentukan keberhasilan dan keberlanjutan pelepasan parasitoid dan
predator dibandingkan dengan system pola tanam sayuran monokultur.
Pola tanam tumpangsari dapat menurunkan serangan hama dengan
cara sebagai berikut (1) mencegah penyebaran hama karena adanya
pemisahan tanaman yang rentan, (2) salah satu jenis tanaman berperan
sebagai tanaman perangkap hama, dan (3) salah satu jenis tanaman
menjadi penolak hama dari jenis tanaman yang lain (Setiawati dan Asandhi,
2003).
Dan juga rekomendasi yang diberikan untuk penyakit yang ditemukan
adalah dengan melakukan pengendalian secara mekanis sebagai contoh,
memangkas

daun

yang

terserang

jamur

dan

memusnahkannya,

mengurangi populasi kutu daun penghasil sekresi sebagai media


pertumbuhan jamur , menggosok embun jelaga dengan tangan, menyirami
daun yang terserang, tetapi dengan datangnya hujan, embun jelaga akan
mengelupas dengan sendirinya. Untuk penyakit karat merah dapat dengan
penyemperotan tanaman dengan ekstrak kompos yang mengandung
chitosan dan dengan perbaikan kesuburan tanah melalui pemberian bahan
organik (pupuk kandang atau kompos) dan pemulsaan, menghindari panen

58

yang berlebihan di musim kemarau serta membakar cabang sakit dapat


dilakukan untuk mengendalikan penyakit ini.
4.3.2 BP
Pada jarak tanam yang digunakan pada lahan Pak Rachmad adalah
3 m x 3 m. Jarak tanam tersebut dapat dikatakan kurang sesuai karena
jarak tanam yang dianjurkan untuk jambu kristal ialah 3,5 m - 4 m untuk
jarak tanam antara baris dan 2,7 m-3,6 m untuk jarak tanam antar pohon
(IPBCYBEX, 2013). Sementara untuk pemupukan dilakukan 3 bulan sekali
dengan dosis yang sama pada pupuk N, K, dan organik yakni 12,5 kg per
pohon, pada dosis pupuk yang diaplikasikan pada lahan tersebut dapat
dikatakan kurang tepat karena menurut Srilastika (2013) kebutuhan pupuk
tanaman jambu kristal yang seharusnya diaplikasikan adalah memiliki
perbandingan Urea : TSP : ZK sebesar 5 : 2 : 1 dan meningkat dosisnya
seiring bertambahnya umur tanaman, sementara untuk tanaman berumur
lebih dari 3 tahun digunakan dosis pupuk organik 40 kg/pohon dan pupuk
anorganik dengan dosis tetap.
4.3.3 Tanah
Cacing tanah mempengaruhi siklus dan perubahan dari hara di dalam
tanah melalui peranannya pada sifat biologi, kimia dan fisik tanah. Besar
Universitas Sumatera Satchell (1983) melaporkan bahwa cacing tanah
mempunyai kontribusi yang penting pada struktur tanah dan pembentukan
agregat tanah. Cacing dapat mengubah sifat fisik dan kimia tanah,
memperlancar proses mineralisasi bahan organik, dan menstabilkan siklus
hara (Parkin dan Berry, 1999). Aktivitas cacing tanah meningkatkan
ketersediaan hara tanah dan meningkatkan laju siklus hara (Basker et al.
1992). Selain dapat memperbaiki sifat fisik tanah terutama meningkatkan
porositas tanah, cacing tanah juga mampu menyebarkan hara (terutama
bahan organik) ke lapisan tanah yang lebih dalam (Edwards and Lofty,
1977).
Melihat banyaknya manfaat cacing tanah dalam memperbaiki
kualitas tanah, maka dirasa penting dilakukan inokulasi cacing tanah
dilahan tersebut untuk meningkatkan kesuburan tanah. Dengan adanya

59

cacing tanah diharapkan dapat memperbaiki kondisi fisik, kimia dan biologi
bagi tanah. Secara fisik, pergerakan cacing di dalam tanah dapat
memperbaiki agregat tanah, tanah menjadi tidak terlalu padat, sehingga
dapat meningkatkan pereabilitas tanah. Secara kimia, cacing tanah dapat
meningkatkan laju siklus hara dan dapat menyebarkan hara dalam tanah
dengan baik. Selain itu cacing tanah juga dapat meningkatkan bahan
organik dalam tanah dengan membawa masuk bahan organik yang ada di
permukaan tanah sehingga masuk di dalam tanah dan dapat meningkatkan
kesuburan dalam tanah.

60

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan Kegiatan Praktikum
Dari kegiatan praktikum pada lahan jambu Kristal di Bumi Aji dapat
disimpulkan, dalam aspek hama dan penyakit tanamna, pada lahan
tersebut yang populasi paling dominan adalah pada hama sedangkan pada
penyakit tanaman terdapat 2 penyakit yang menyerang dilihat dari
persebarannya, penyakit ini sudah menyebar keseluruh titik penyakit
dengan intensitas paling tinggi yaitu 11%. Dalam aspek budidaya pertanian,
lahan tersebut dapat memenuhi keempat komponen penting agroekosistem
produktivitas

(productivity),

stabilitas

(stability),

keberlanjutan

(sustainability), dan kemerataan (equitability). Dalam aspek tanah untuk


indikator kimia berdasarkan pH sampel tanah yang digunakan terlihat
bahwa tanah tersebut sudah cukup baik, tetapi untuk indikator fisik dan
biologi kurang begitu baik.
Untuk rekomendasi yang disarankan pada lahan tersebut adalah
dengan peningkatan serangga yang berperan sebagai musuh alami, juga
pengendalian hama terpadu, penerapan budidaya tanaman yang tepat
untuk tanaman jambu kristal pada jarak tanam dan pemupukan dan
memperbaiki indikator fisik dan biologi tanah dengan melakukan inokulasi
cacing tanah dilahan tersebut untuk meningkatkan kesuburan tanah.
5.2 Saran (untuk Asisten dan Praktikum)
Saran untuk asisten, lebih dipersiapkan lagi terkait dengan praktikum
dan fieldtrip yang dilakukan, agar lebih terstruktur dan tidak mendadak
dalam penginformasian jadwal fieldtrip yang diberikan.
Saran untuk praktikum, praktikum sudah berjalan dengan baik, saran
agar dipertahankan untuk praktikumnya dan lebih berkoordinasi antar
semua aspek.

61

DAFTAR PUSTAKA
Amusa, N.A., Ashaye, O.A., Amadi, J., and Oladapo, O. 2006. Guava Fruit
Anthracnose and The Effects on Its Nutritional and Market Values in
Ibadan. Nigeria. Journal of Applied Science 6(3):539-543.
Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan. 2013.
Mengenal Embun Jelaga (Sooty Mold) pada Tanaman Kopi. Tersedia
di http://ditjenbun.pertanian.go.id/. Diakses pada tanggal 28 Mei 2016.
Bamualim, A. 2004. Strategi Pengembangan Peternakan pada Daerah
Kering. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Peternakan
Berwawaasan Lingkungan. IPB. Bogor.
Blake, G.R. 1986. Particel Density P. 377-382. In: Methods of Soil Analiysis.
Part 1. Second ed. Agron 9 Am. Soe. Of Argon. Madison, W1.
Capinera, J.L. 2007. Melon Aphid or Cotton Aphid, Aphis gossypii Glover
(Insecta:
Hemiptera:
Aphididae).
Tersedia
di
http://edis.ifas.ufl.edu/in330. Diakses pada tanggal 28 Mei 2016.
Conway, G.R.1987. Agroecosystem Analysis for Research
Development.. Winrock International: Bangkok, Thailand.

and

Dadang, Suastika G., dan Dewi R.S. 2007. Hama dan Penyakit Tanaman
Jarak Pagar (Jatropha curcas). Bogor: Surfactant and Bioenergy
Reserch Center.
De Fretes, P. L, R. W. Zobel & V. A. Sneder, 1996. A Method for Studying
the Effect of Soil Aggregate Size and Density. Soil. Sci. Soc. Am. J.
60: 288- 290
Ditjenbun Pertanian. 2013. Definisi Hama Dan Konsep Timbulnya Hama.
(online)
Diakses
pada
tanggal
30
Mei
2016.
http://ditjenbun.pertanian.go.id/bbpptpambon/berita-279-definisihama-dan-konsep-timbulnya-hama.html
Doran, J.W dan T.B. Parkin. 1994. Defining and assessing soil quality.
Special Publication. 35: 3-21.
Ernawati, Feny. 2013. Mewaspadai Embun Jelaga pada Tanaman
Cengkeh. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan
Surabaya
Gerald G. Marten, 1998. Productivity, Stability, Sustainability, Equibility and
Autonomy as Properties for Agroecosystem Assesment. Jurnal Sistem
Pertanian 26 hal 291-316
Ginting, R. 2009. Keanekaragaman Lalat Buah (Diptera: Tephritidae) di
Jakarta, Depok, dan Bogor sebagai Bahan Kajian Penyusunan

62

Analisis Risiko Hama. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian


Bogor.
Gould W.P., dan Raga A. 2002. Pest of Guava. New York: CABI.
Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Penerbit Akademika Pressindo-Jakarta
Hardjowigeno, S., H. Subagyo, dan M. Lutfi Rayes. 2007. Morfologi dan
Klasifikasi Tanah. dalam Tanah Sawah dan Teknologi
Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Badan Litbang Pertanian.
Hidayat, A., Hikmatullah, dan D. Santoso. 2000. Poternsi dan Pengelolaan
Lahan Kering Dataran Rendah.
Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
IPBCYBEX. 2013. Budidaya Jambu Biji Varietas Kristal IPsidium guajava).
Cyber Extension Institut Pertanian Bogor (cybex.ipb.ac.id)
Irawan, B dan T. Pranaji. 2002. Kebijakan Pemberdayaan Lahan Kering
Untuk mendukung Pengembangan Agribisnis dan Peetanian
Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor.
Kadekoh, I. 2010. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Kering Berkelanjutan
dengan Sistem Polikultur. Departemen Pertanian Sulawesi Tenggara.
Kalshoven, LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Terjemahan dari:
de Plagen van de Cultuurgewassengin Indonesie. Jakarta: Ichtiar
Baru-van Hoeve.
Lim, T.K., and Manicom, B.C. 2003. Diseases of Guava. Wallingford: CABI.
Marten, Gerald G. 1998. Productivity, Stability, Sustainability, Equitability
and Autonomy as Properties for Agroecosystem Assessment. Jurnal
Sistem Pertanian 26 291-316 (www.docs-finder.pdf.com)
Martoredjo, T. 2009. Ilmu Penyakit Pascapanen. Jakarta: Bumi Aksara.
Marwoto. 2011. Kutu Kebul: Hama Kedelai yang Pengendaliannya Kurang
Mendapat Perhatian. Peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian, Malang
Meritt R.W., Courtney G.W., Keiper J.B. 2003. Diptera (Flies, Mosquitoes,
Midges, Gnats). San Diego: Elsevier.
Misra, A.K. 2004. Guava Diseases: Their Symptoms, Causes and
Management. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.
Mulyani, A. 2006. Potensi Lahan Kering Masam untuk Pengembangan
Pertanian. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol 28 (2)
: 16-17.

63

Nurindah. 2006. Pengelolaan Agroekosistem dalam Pengendalian Hama.


Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Perspektif 5(2): 7885
Peigler RS. 1989. A Revision of Indo Australian Genus Attacus. California:
The Lepidoptera Research Foundation Inc.
Pradhana, R. Ardian Iman. 2014. Keanekaragaman Serangga Dan LabaLaba Pada Pertanaman Padi Organik Dan Konvensional. Jurnal HPT
Volume 2 nomor 2
Pradhana, R.A.I, G.Mudjiono, dan S. Karindah. 2014. Keanekaragaman
Serangga dan Laba-Laba Pada Pertanaman Padi Organik dan
Konvensional. J. HPT 2(2): 58-66
Primadana, Ramadhan. 2014. Studi Budidaya Dan Pengendalian Hama
dan Penyakit Bibit Jambu Kristal (Psidium Guajava L.) Di UD. Bumiaji
Sejahtera, Kota Batu. Laporan Magang Jurusan Hama dan Penyakit
Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
Rao, V.P., dan Sankaran T. 1969. The Scale Insects of Sugarcane.
Amsterdam: Elsevier.
Rhainds, M., Davis D.R., and Price P.W. 2009. Bionomics of Bagworms
(Lepidoptera: Psychidae). California: Annual Review of Entomology.
54(2):209-226.
Riwandi. 2011. Metode Cepat Penilaian Kesehatan Tanah Dengan
Indikator Kinerja Tanah. Prosiding Seminar Nasional dan Rapat
Tahunan Dekan Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian. Palembang. Hal 295
315
Sartiami, D., Sosromarsono S., Buchori D., dan Suryobroto B. 1999.
Keragaman Spesies Kutu Putih pada Tanaman Buah-buahan di
Daerah Bogor: Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang
Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Prosiding Seminar Nasional
Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI), 16 Februari 1999, Bogor.
Bogor: PEI.
Scherr, S.J. 2003. Hunger, Proverty and Biodiversity in Developing
Countries. A. Paper for the Mexico Summit, 2-3 June 2003, Mexico.
Semangun, H. 1994. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Setiawati W, dan A.A Asandhi. 2003. Pengaruh Sistem Pertanaman
Monokultur danTumpangsari Sayuran Cruciferae dan Solanaceae
terhadap Hasil dan Struktur dan Fungsi Komunitas Artropoda.
Lembang: Balai Penelitian Sayuran.

64

Setiawati, wiwin. 2004. Pemanfaatan Musuh Alami dalam Pengendalian


Hayati Hama pada Tanaman Sayuran. Balai Penelitian Tanaman
Sayuran
Siwi. 2002. Mengenal Lalat Buah Penting di Indonesia Genus Bactrocera
(Diptera, Tephritidae) dan Beberapa Species Exotic. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Srilastika, Diah Ayu. 2013. Budidaya Jambu Kristal. BKP3K Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung (bakorluh.babelprov.go.id)
Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2000. Tanah-tanah Pertanian
di Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Supriatna, Ivan Primajohan. 2014. Kelimpahan Artropoda Predator dan
Hama pada Tanaman Jambu Biji Kristal di Internasional Cooperation
and Development Fund (ICDF) Cikarawang, Bogor. Skripsi. Bogor:
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Suwandi. 2003. Peledakan Penyakit Karat Merah Alga Pada Tanaman
Gambir (Uncaria gambii) Di Babat Tomat, Sumatera Selatan. Pest
Tropical Jurnal Vol 1 No. 1
Syam, A. 2003. Sistem Pengelolaan Lahan Kering di Daerah Aliran Sungai
Bagian Hulu. Jurnal Litbang Pertanian, 22 (4) : 162-171. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Tamim, D.M. 2009. Pemanfaatan Tanaman Selasih Ungu (Ocimum
sanctum Linn.) sebagai Atraktan Lalat Buah (Bactrocera dorsalis)
pada Tanaman Jambu Biji (Psidium guajava) dalam Rangka
Pengembangan Pestisida Nabati Ramah Lingkungan. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tanzil, Ahmad Ilham. 2014. Pembuatan Mikroorganisme Efektif dan
Penerapannya pada Lahan Jambu Kristal (Psidium Guajava l.) Di UD.
Bumiaji Sejahtera Kota Batu. Laporan Magang Jurusan Hama dan
Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
Tauruslina, E., Trizelia, Yaherwandi, dan H. Hamid. 2015. Analisis
Keanekaragaman Hayati Musuh Alami Pada Eksosistem Padi Sawah
di Daerah Endemik dan Non-Endemik Wereng Batang Cokelat
Nilaparvata lugens di Sumatera Barat. Pros Sem Nas Masy Biodiv
Indon 1(3): 581-589
Tim Pengajar Mata Kuliah Manajemen Produksi Tanaman IPB .2008.
Bogor.

65

Tohir, Kaslan A. 1991. Seuntai Pengetahuan Usaha Tani Indonesia.


Jakarta: Rineka Cipta
Untung. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yoyakarta: Gajah
Mada University Press
Utami, I.S. 2008. Budidaya Jambu Merah: Mujarab Atasi Demam Berdarah.
Yogyakarta: Kanisius.
Williams D.J., dan Granara de Willink M.C. 1992. Mealybugs of Central and
South America. Wallingford: CABI.
Zhu, P.L., Ge, Q.X., and Xu, T. 1991. The Perfect Stage of Pestalotiopsis
from China. Mycotaxon Journal. 40(1):129-140.

66

LAMPIRAN

Gambar 2. Dokumentasi Hama

Gambar 3. Dokumentasi Penyakit

Gambar 4. Dokumentasi pengamatan aspek tanah

67

Dokumentasi Pengamatan Arthropoda

Aedes albopictus (nyamuk)

Dolichoerus sp. (semut hitam)

Dolichoerus sp. (semut hitam)

Drosophila melanogaster (lalat buah)

Bemisia tabaci (kutu kebul)

Aedes albopictus (nyamuk)

68

Dokumentasi Pengamatan Penyakit

Penyakit Karat Merah

Anda mungkin juga menyukai