Anda di halaman 1dari 8

Pragmatis Vs Idealis

Pragmatis atau idealis sebetulnya adalah permasalahan klise. Sebetulnya, apakah yang disebut
dengan pragmatis itu sendiri dan apakah idealis itu sendiri? Kadang-kadang kita melihat salah
satu sikap dan jadi melabeli mereka dengan hal itu. Tapi, di sisi lain, mereka bersikap sebaliknya.
Sebagai contoh yang marak adalah seorang mahasiswa yang terkenal sebagai aktivis mahasiswa,
membawa nama rakyat kecil, turun ke jalan, menjembatani kepentingan rakyat dengan penguasa,
dan sederet aktivitas sosial lainnya, tetapi begitu ia lulus, ia pun bekerja di perusahaan besar,
entah itu perusahaan nasional atau malah asing. Jika perusahaan asing, siap-siap saja kata-kata
cibiran muncul dari teman-teman seperjuangan di masa kuliah. Mereka akan serta merta mencap
sebagai pragmatis. Mahasiswa idealis yang berubah menjadi pragmatis begitu lulus kuliah.
Contoh lainnya adalah kebalikan dari itu. Seorang mahasiswa yang dari awal pragmatis,
mentargetkan lulus kuliah cepat, dengan IPK tinggi, dan mengantongi beragam sertifikat dari
berbagai organisasi, begitu lulus langsung bekerja, bila nyantol di perusahaan besar lebih baik,
tapi jika tidak lompat-lompat dari satu tempat ke tempat lain tidak buruk, lalu bekerja keras
mencapai level yang lebih tinggi di perusahaan, menikah, lalu punya anak dan hidup sejahtera.
Itu semua adalah rencana hidupnya, tapi begitu ia merasakan bekerja di perusahaan besar, tibatiba ia menjadi berpikir: sebenarnya untuk apa aku hidup? Untuk apa aku bekerja? Apakah
semata karena kesejahteraan? Akhirnya ia pun bisa menuju jalan yang berbalik arah, ia memilih
bekerja sosial yang tidak dibayar pun tidak apa-apa. Kalau orang bilang, mahasiswa tipe ini
adalah mahasiswa pragmatis yang menjadi idealis.
Apakah menjadi pragmatis itu buruk? Apakah menjadi idealis lebih baik? Sesungguhnya menjadi
pragmatis atau idealis adalah tergantung situasi. Masalahnya adalah di mana orang itu bersikap
idealis dan di mana ia bersikap pragmatis. Mahasiswa mungkin tidak benar-benar menjadi
pragmatis atau benar-benar menjadi idealis. Kedua sikap tersebut meski terdengar bertentangan,
tapi bisa saja ada dalam diri orang yang sama.

Ketika seseorang sedang menghadapi masalah yang butuh penyelesaian cepat, mendesak dan
penting, ia perlu memikirkan beberapa alternatif solusi. Solusi yang ideal tentu paling baik.
Tetapi apakah solusi itu bisa langsung dilaksanakan? Nah, mungkin masih ada hambatan di sanasini, sehingga harus bersikap pragmatis dan sedikit demi sedikit diperbaiki menuju kondisi ideal.
Kalau terus-menerus bersikap pragmatis sebetulnya juga tidak baik, seperti menambal terus
menerus jalan aspal yang rusak tanpa memikirkan alternatif solusi kemacetan, sedangkan kian
hari manusia yang tinggal di situ, lewat, dan berkendaraan pribadi makin bertambah, menambah
beban jalan dan membuat biaya perawatan semakin tinggi.
Sekarang ini mahasiswa sudah digiring untuk menjadi pragmatis sejak masa awal menjadi
mahasiswa. Dalam seminar-seminar atau acara-acara penyambutan mahasiswa baru tak jarang
dihadirkan senior yang sukses secara material. Pernah dihadirkan orang yang suka demo,
membantu negosiasi biaya masuk mahasiswa miskin, atau mahasiswa sejenis itu? Kalau
mahasiswa jenis itu tidak punya prestasi yang bisa dibanggakan selain demo-demo, jangan harap
mereka bisa duduk di bangku kehormatan menyambut mahasiswa baru. Tidak hanya di dalam
acara penyambutan mahasiswa baru, di setiap kuliah, setiap dosen mendorong mahasiswanya
agar berprestasi secara akademik, secara organisasi, dan bekerja dengan baik, mencapai karir
tinggi. Dosen-dosen mendengungkan hal itu, hidup enak dan kesuksesan secara material. Tak
jarang mereka pun menghina yang berdemo, mengatai yang suka demo nilainya
jelek,mengecewakan orangtua, tidak berguna untuk masa depan dan pandangan negatif lainnya.
Hal ini bisa ditemui tidak hanya di fakultas yang mahasiswanya jarang berdemo, tapi juga di
fakultas lain, walaupun intensitasnya lebih sedikit, tentu saja.
Lalu, apakah berdemo salah? Bekerja di perusahaan nasional salah? Tidak ada yang bilang
demikian. Berdemo harus tau apa tujuannya. Mencapai tujuan tersebut tentu juga banyak jalan.
Jika demo memang membantu rakyat jelata, maka itulah prinsipnya. Lakukan di mana pun dan
kapan pun. Setelah lulus dari status mahasiswa, bagaimana cara lainnya supaya bisa tetap
membantu rakyat kecil? Tentu bukan menghamba ke partai dan jadi calon anggota legislatif yang
ujungnya cuma mau gaji besar saja, tapi mengatasnamakan rakyat. Bekerja, berwirausaha, atau
menjadi peneliti adalah beberapa pilihan dan tidak bisa dibilang bertolak belakang dari pribadi
ketika masih mahasiswa. Bekerja di perusahaan asing untuk orang yang dulunya demo
mengatasnamakan rakyat kecil juga bisa berpartisipasi dalam program CSR perusahaan, atau
malah membuat program-program gebrakan baru untuk perusahaan dalam hal bidang sosial.
Bukannya malah lebih banyak yang bisa dilakukan? Bahkan dengan posisi sebagai perusahaan,
bisa juga membantu menengahi antara pemerintah dan juga masyarakat.
Orang yang bekerja di perusahaan apakah otomatis menjadi orang pragmatis? Tidak begitu pula.
Mahasiswa yang baru saja lulus, bisa punya prinsip untuk tidak bekerja di tempat-tempat
tertentu. Sebagai contoh, dia tidak akan mendaftar untuk bekerja di perusahaan rokok dan anakanak perusahaannya, jaringan supermarket yang menjual minuman keras, perusahaan keuangan
berbasis bunga semacam bank, asuransi, pegadaian, perusahaan yang melarang menikah selama

beberapa tahun, atau perusahaan yang melarang karyawatinya berjilbab.


Kebanyakan mahasiswa pragmatis, saking pragmatis, mau mendaftar apa saja. Ia tidak peduli
perusahaan apa saja, asalkan diterima. Bahkan tak jarang ia pun mencurangi lembar jawaban tes,
misalnya masih mengerjakan bagian sebelumnya padahal tes melarang kembali ke soal bagian
sebelumnya. Ketika ia bersikap seperti ini, lalu dia diterima, dan berpikir pasrah, maka ia akan
terus menyesali hari-harinya selama bekerja dan selalu mengharap datangnya libur, dan ingin
cepat-cepat mengakhiri kontrak kerja.
Oleh karena itu, sebelum memutuskan bekerja di mana, ada baiknya mencari lowongan dan
informasi, serta berbagai tips dari website. Salah satu lembaga yang dimiliki UGM adalah ECC
UGM yang menyediakan website untuk melamar pekerjaan secara online. Banyak hal yang bisa
didapat sebagai member ECC, bahkan ada konsultasi untuk yang masih bingung memutuskan
jalan hidupnya mau ke mana.
Apapun sikap yang dipilih, sebaiknya tetap punya prinsip. Jika manusia tidak punya prinsip dan
mau praktis-praktis saja, maka tentu saja ia hanya akan jadi seonggok boneka yang hidupnya
dikendalikan orang lain, dia akan terus menerus mengambil keputusan praktis yang
menguntungkan dirinya dalam jangka pendek. Akan tetapi, lihatlah beberapa tahun ke depan, ia
akan memikirkan makna hakikat hidup. Sebab ia selama ini hidup tanpa jiwa.
Akhir kata, ada kutipan yang bagus sekali: Jika kamu tidak mempertahankan sesuatu, maka
kamu akan kehilangan segalanya (Malcolm X). Jika tidak punya prinsip sama sekali, dan rela
menjadi ekstrim pragmatis, maka justru sikap seperti itu akan menjatuhkan di masa depan.

hidup itu boleh Idealis tapi harus realistis.. keren mas, saya sebagai mahasiswa
setujuh.. cuma sadar ga sadar kita di didik dari kecil sampai lulus kuliah pun untuk
menjadi pekerja yang handal, bukan pengusaha yang handal.. ya jadi tergantung
individunya mau jadi pemenang apa pecundang..

Makasih om artikelnya bagus..


ikut ngejawab yah om,,
klo saya pragmatis atau idealisnya tergantung dari apa tujuan dasarnya..
misalnya tujuan mau dapat uang, cara terbaiknya dipilih dari ide (idealis) sendiri atau ada
kesempatan karir di perusahaan (pragmatis).. pertimbangannya berdasarkan kalkulasi terbaik..
misalnya tujuan mau dapat pahala, cara terbaik dipilih dari ide (idealis) sendiri atau ada cara lain
yang lebih praktis.. pertimbangannya berdasarkan kalkulasi terbaik..
demikan om,,maaf klo keliru..
tulisanny bgs, cm sy kira ad bbrp kalimat yg dpt menimbulkan pengertian yg
menghubungkan idealis dgn demo2 mahasiswa. padahal kt tau bahwa itu tdk ad

hubny. justru sy kira, jika mahasiswa demo hanya utk ikut2an cari aman atau
ngeksis di dlm organisasi tanpa ad tujuan yg jelas, nah itu lah yg kt sebut
pragmatis..

Idealisme vs Pragmatisme
Term idealisme jika di telusuri, sesungguhnya dipopulerkan oleh seorang filsuf Jerman
Friedrich Hegel dalam filsafat dialektika idealisme. Dialektika hegel diartikan sebagai
proses kontradiksi atau penegasian dua komponen yang berbeda. Dia menyebutnya
sebagai thesis dan anti thesis yang menghasilkan sintesis, kemudian dalam diri
sinthesis juga terdapat dua komponen tadi yaitu thesis dan anti thesis. Kedua
komponen ini juga akan menghasilakan sinthesis baru, demikian seterusnya.
Sedangkan idealisme, berasal dari kata idea yang artinya pemikiran atau ide. Jadi
sesungguhnya, Hegel ingin mengatakan bahwa kontradisksi sebenarnya hanyalah
terjadi pada pemikiran atau ide. Atau ada juga yang menyebutnya dengan dialektika
ide.
Dalam perkembangannya, idelisme kemudian bergeser makna yang berbeda dengan
yang didefinisikan Hegel. Namun perubahan definisi biasanya tidak terlalu jauh dari
makna aslinya. Idelisme mengalami perubahan makna sesuai dengan beberapa faktor
salah satunya adalah konteks penggunaan yang disesuaikan dengan kondisi sosial
yang ada sehingga disepakati untuk digunakan. Oleh karena itu, idealisme dalam
tulisan ini dimaksudkan sebagai paham yang selalu berada pada hal-hal yang ideal
atau seharusnya. Biasanya orang-orang yang menganut paham ini selalu
mempertahankan pemikirannya dan berusaha untuk mewujudkannya secara konsisten
dalam keadaan apapun. Mereka tidak mengenal kompromi yang keluar dari prinsip
dasarnya meskipun itu dapat mengantarkan mereka pada tercapainya tujuan. Bagi
mereka kompromi sperti ini adalah penghianat terhadap idealism itu sendiri, jadi
biasanya militansi akan melekat pada pengikut paham ini.
Sedangkan term pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan kebenaran
dengan membuktikan dirinya sebagai benar dan melihat apa yang menjadi akibatnya.
Pragmatisme
menekanan
pada
eksperimen
atau
pengamatan.
Dalam
perkembangannya, pragmatisme mengalami pergesaran makna. Pragmatisme kini
dimaknai sebagai paham tentang bagaiamana cara memperoleh kepentingan. Caranya
pun tergantung dari kemauan aktornya, meskipun melanggar prinsip dasar tujuannya.
Mereka biasanya tidak konsisiten dengan tujuan prinsip atau nilai dasar perjuangannya.
Asalkan kepentingan itu terwujud maka mereka melakukanya dengan cara apapun.
Singkatnya pragmatisme adalah lawan dari idealisme.
Terus terang, dulu saya pernah menganut paham ini. Saya selalu begitu keras pada
sesuatu yang menurut saya tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Misalnya
saja tentang permasalahan sosial yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang
salah. Sebagai mahasiswa, saya selalu mengatakan bahwa pemerintah salah dan
harusnya begini dan begitu. Saya tidak takut berteriak pada pemerintah karena saya

tidak memiliki hubungan apa-apa dengan mereka, hanya sebatas hubungan rakyat dan
wakil rakyatnya.
Namun, tahukah kita bahwa pemerintah atau wakil rakyat kita juga adalah mantan
mahasiswa seperti saya? Bahkan banyak dari mereka banyak melakukan hal yang
seperti saya lakukan malah lebih hebat lagi. Melawan pemerintahanya yang katanya
salah mengeluarkan kebijakan, melakukan demonstrasi jalanan karena merasa
membela rakyat tertindas untuk melawan penindas (sebutan bagi pemerintah) atau
selalu merasa diri paling benar dan menganggap pemerintah hanyalah mementingan
diri sendiri. Dan lain sebagainya.
Tapi yang mengherankan, ternyata para mahasiswa penentang penindasan itu kini telah
menjadi penindas (wakil rakyat) kembali. Banyak dari kalangan mahasiswa yang ketika
menjadi mahasiswa selalu berada pada posisi yang idealisme namun disaat berada
pada sturuktur kekuasan maka idealisme itu hilang. Pragmatisme kini telah menjangkiti
mereka. Kenapa ini bisa terjadi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya tidak akan terlalu banyak mengeluarkan konsepkonsep atau teori-teori. Cukup kita melihat beberapa paragraph di atas. Bahwa, ada
perbedaan konteks mahasiswa dan pemerintah. Mahasiswa hanya berada dalam
kampus, kurang bahkan tidak bersentuhan dengan kekuasaan. Mahasiswa belum
punya kepentingan pada kekuasaan, jika mahasiswa melawan pemerintah maka tidak
ada hubungannya dengan nilai akademi (untuk beberapa kasus terutama di zaman
orde baru, mahasiswa mendapat intervensi yang lebih dari penguasa). Namun, yang
menjadi titik tekan disini adalah kepentingan terhadap pemerintah.
Sedangkan ketika Mahasiswa sudah keluar dari kampus. Mereka berhadapan dengan
dunia baru yang berbeda dengan kampus. Mereka dituntut mencari kepentingan
ekonomi (uang) untuk menghidupi dirinya bahkan orang lain. Akhirnya mereka harus
mengorbankan idealisme mereka demi kepentingan ekonomi. Selain itu hemat saya, se
idealisme apapun seseorang jika sudah masuk dalam sturuktur kekuasaan maka dia
akan susah mempertahannyakaannya. Dia harus mengikuti arus (aturan main) sistem
yang berlangsung karena konsisten dengan idealisme maka berarti harus siap keluar
struktur.
Jika demikian, apakah saya akan menjadi penindas ketika suatu saat menjadi
penguasa? Atau apakah saya harus terus berada dalam posisi yang idealisme sedang
bagiku idealisme yang radikal itu absurd jika berada dalam struktur kekuasaan?
Jawabannya: entahlah
*Jawaban saya hanya dilihat dalam perspektif kepentingan dan konteks ruang yang
melingkupi aktor.
Aktivis mahasiswa saat ini, berperan sebagai organ ekstra parlementer yang turut mengontrol
negara. Tugas suci ini taklain dalam rangka merekayasa masa depan pemerintahan indonesia
yang clean dari segala bentuk keculasan politik dan kepentingan. akibat dari ulah oknum-oknum

yang tersebar di seluruh birokrasi di indonesia. Sehingga, negara ini sampai dinobatkan sebagai
negara terkorup di dunia. Pada posisi saat ini, aktivis mahasiswa bukan sebagai underbown partai
atau pola geraknya dikontrol oleh negara (pemerintah). Melainkan harus memberikan kontrol
terhadap pemerintah yang sejatinya sebagai agent of social control. Tolak ukur organisasi
mahasiswa, baik intra maupun ekstra kampus, terletak pada sifat khas mahasiswa itu sendiri.
Dalam bahasa NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) tempo hari, sifat khas mahasiswa itu
berada pada kekuatan daya penalarannya. Dalam hal ini dapat dimaknai bahwa mahasiswa dalam
kategori pekerja otak yang nantinya akan menduduki posisi strategis di dalam jaringan
teknostruktur. Di satu sisi, memang takaran tersebut terkesan ada benarnya. Tetapi jika itu
dihadapkan pada hakekat mahasiswa sebagai elit terdidik yang harus mengabdikan dirinya
kepada kepentingan masyarakat maka takaran tersebut baru kelihatan cacatnya. Sebab tatkala
peran dan fungsi institusi-institusi pemerintahan menurun maka selanjutnya mahasiswa yang
berperan penuh sebagai social control dalam memperbaiki pola kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kemudian, mahasiswa yang sadar akan hakikatnya (termasuk organisasi mahasiswa),
tidak gampang terjebak pada aksi-aksi temporal tanpa konsepsi yang jelas menjangkau ke depan.
Tidak mudah terjebak pada aktivitas yang berorientasi pada kekuasaan. Tetapi tetap teguh
berpegang pada nilai-nilai kemahasiswaan dan kepemudaan-nya sendiri. Tidak henti-hentinya
berpihak kepada masyarakat secara langsung demi tegaknya keadilan, kesejahteraan, kebenaran,
kejujuran dan penegakan hak-hak asasi manusia. Inilah nilai-nilai kemahasiswaan yang harus
diperjuangkan baik berangkat dari diri sendiri maupun kelompok, baik organisasi intra kampus
maupun ekstra kampus. Dengan berpedoman pada nilai-nilai dasar mahasiswa di atas maka
menjadi mungkin untuk mengarah kepada proses pendewasaan berfikir serta naluri sosial yang
lebih. Namun hal ini bisa dihianati dengan aktivitas mahasiswa (tak terkecuali aktivis
mahasiswa) yang lalai terhadap perannya, tatkala sudah merasa nyaman sebagai birokrat kampus
pada tataran mahasiswa. Dan itupun menjadi dosa besar ketika naluri kekuasaan seperti itu masih
dipertahankan. Naluri Kekuasaan, kesalahan dalam berfikir dan bertindak. Ketika kita mengkaji
pemikiran nicollo marcievelli, disebutkan dalam bukunya Sang Penguasa bahwa ketika
seseorang sudah haus akan kekuasaan maka segala hal akan dilakukan untuk memperoleh
jabatan tersebut dan jika seseorang sudah memegang kekuasaan maka segala hal akan dilakukan
demi untuk mempertahankan jabatannya tersebut. Sifat dan perilaku seperti ini sudah menjadi
hal yang biasa di tataran politik kenegaraan maupun politik kampus. Memang dengan dalih
untuk memperbaiki sistem dan tatanan masyarakat tetapi itu menjadi permasalahan baru jika
memperolah atau mempertahankan jabatan dengan menghalalkan segala cara. Serta setelah
masuk pada ranah kekuasaan, akan lalai dengan tugas yang diembannya. Jika kita lihat dikampus
tercinta ini, prosesi pemilihan birokrat kampus pada tataran mahasiswa tak ubahnya prosesi
pemilihan kepala negara sehingga naluri kekuasaan yang itu menjadi sifat dasar dari setiap
individu untuk ikut berkompetisi, apalagi ada organisasi politik kemahasiswaan yang ikut
berperan aktif dalam pencapaian utopia tersebut. Hemat penulis, posisi sebagai birokrat kampus
menjadikan buta sehingga lupa akan tindakan relasional yang telah dilakukannya. Memang ada
benarnya jika kampus merupakan bentuk miniatur negara tetapi itu bukan berarti dijadikan
alasan untuk mengaplikasikan politik busuknya serta dalih atas ekspresi seorang kesatria yang

tidak pernah keluar dan tahu, bagaimana posisi itu diperebutkan dengan cara anggun dan elok
sehingga terpancar sikap kenegaraan. Proses pembelajaran politik seperti inilah, dalam dunia
kampus yang seyogyanya dapat kita lihat sebagai proyeksikan dalam kehidupan perpolitikan
negara kita saat ini. Anak muda sudah menjadikan kampusnya sebagai ajang mencari jati diri
kekuasaan dalam otak busuknya bukan sebagai ajang proses pembelajaran politik yang baik.
Disinilah kegelisahan penulis ketika menghadapi orang-orang yang haus akan kekuasaan.
Organisasi politik yang memanfaatkan mahasiswa Sebentar lagi, di surabaya yang merupakan
tempat dari kampus ini. Akan mengadakan pemilihan umum baik itu DPR RI, DPRD Tingkat I,
DPRD Tingkat II, Presiden dan pemilihan Gubernur. Prosesi seperti ini marak memanfaatkan
mahasiswa sebagai alat untuk mensukseskan calon yang diusung oleh organisasi politik (Partai)
tersebut. Dengan kata lain, mahasiswa ikut berperan aktif dalam perpolitikan negara ini. Yang
bermakna bahwa peran mahasiswa sudah mulai dikebiri dan dihilangkan konsentrasinya dalam
dunia akademik. Aktivis mahasiswa, yang seyogyanya menjadi tonggak dalam menentukan nasib
bangsa kedepan menjadi terciderai ketika ikut berperan aktif dalam prosesi tersebut karena
idealisme yang semestinya harus dipertahankan sebagai mahasiswa yang ideal akan menjadi
lapuk dan diombang-ambingkan dengan aktivitas sporadis yang itu berpotensi terhadap
penahlukan jati diri sebagai mahasiswa. Maka dengan alibi pembelajaran politik, semua akan
dilakukan meskipun itu belajar politik di organisasi politik. Memang terkesan benar tetapi jika
kita salah dalam mencari guru maka tidak menutup kemungkinan output yang dihasilkan tidak
sesuai dengan apa yang kita harapkan sebagai mahasiswa yang ideal. Karena organisasi politik
yang itu sudah masuk pada politik praktis, yang ini lebih bertendensi terhadap sifat pragmatis
maka nilai ini akan masuk di hati dan otak dari tiap individu mahasiswa, sehingga dengan naluri
seperti ini. Idealisme mahasiswa sulit untuk dipertahankan. Jika hal ini sudah terjadi, dan
menjelma menjadi selimut hitam yang kapan saja bisa menutupi pola gerak mahasiswa maka
peran awal mahasiswa yang sudah agak lapuk di masyarakat itu harus dimaksimalkan dan dijaga
keasliannya tanpa ada kontaminasi dari politik pragmatis yang dibawa oleh organisasi politik.
Memang terkenasan bahwa penulis menghiyakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan
Badan Koordinasi Kampus (BKK) diterapkannya kembali, tetapi sejatinya tidak, karena peran
mahasiswa yang itu seharusnya berada di luar pemerintah untuk memperbaiki nasib bangsa
kedepan disalah gunakan untuk terlibat aktif dalam prosesi pemilu dan itu menjadi tim
pemenang, maka seharusnya tidak dilakukan oleh mahasiswa karena mencidrai mahasiswa itu
sendiri. Sudah kita ketahui bersama bahwa, untuk masuk ke pos-pos strategis di struktural
pemerintahan sebagian besar harus melalui organisasi politik, maka ini dapat dikonklusikan
bahwa, jika sebagian oknum dari mahasiswa (aktivis mahasiswa) sudah menjadi anak dari
organisasi politik maka dengan disadari atau tidak oknum tersebut sudah menghilangkan
perannya sebagai agent of social control yang itu mengambil jalur ekstra parlementer. Saham kita
dari kampus Didik dan bimbinglah kaum muda, karena mereka pewaris masa depan. Dalam
sebuah perjuangan, kedudukan kaum muda sangatlah penting. Mereka akan mengarungi hidup
dimasa yang akan datang, saat mana kita yang tua-tua sudah tidak ada lagi. (KH Hasyim
Asyari). Pesan yang ditinggalkan oleh beliau merupakan describsi dari urgentnya peran pemuda
untuk membangun bangsa indonesia ini. Dengan kata lain, mahasiswa juga terlibat di dalamnya.

Mahasiswa yang kuat idealismenya tidak akan tergoncang dengan godaan-godaan kenikmatan
sporadis. Sehingga peran dari mahasiswa yang itu sudah menancap dan mengakar kuat akan
tetap di junjung tinggi sampai darah juang penghabisan. Peran suci sebagai agent of cheng dan
agent of sicial control harus dimaksimalkan kembali demi mempersiapkan masa depan bangsa
indonesia. Bukan menjadi seorang anak yang mengikuti akhlak buruk dari orang tua-nya. penulis
adalah mahasiswa pasca sarjana UINSA Surabaya, sekaligus menjadi admin di
www.rangkumanmakalah.com Fendi Teguh Cahyono /fenditeguh JALANI AJA PASTI ADA
JALAN DI TENGAH PERJALANAN. Saya seorang akademisi dan terkadang juga dijuluki oleh
teman-teman sebagai seorang bloger. Selengkapnya...
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/fenditeguh/aktivis-mahasiswa-antara-idealis-danpragmatis_54f8fca5a3331147508b4702

Mahasiswa kini tukang tepuk tangan... Liat aja acara lawak2..!


Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/fenditeguh/aktivis-mahasiswa-antara-idealis-danpragmatis_54f8fca5a3331147508b4702

Anda mungkin juga menyukai