Anda di halaman 1dari 3

Demokratisasi di Perancis

Revolusi Perancis adalah proses dimana negara Perancis beralih dari pemerintahan
monarki yang absolut menjadi pemerintahan republik yang demokratis. Demokrasi Perancis
yang sekarang mereka punyai (Republik ke-5) adalah hasil perjalanan panjang (sekitar 160
tahun) bangsa ini dengan segala pasang surutnya. Revolusi Perancis merupakan sebuah masa
peralihan politik dan sosial dalam sejarah Perancis. Pada saat itu, kaum demokrat dan para
pendukung republikanisme bersatu menjatuhkan sistem pemerintahan monarki (kerajaan)
abosolut, yang dianggap terlalu kaku dan memberikan keistimewaan berlebih pada keluarga
kerajaan dan golongan bangsawan. Raja Louis XVI (pemimpin negara saat itu) misalnya, bisa
hidup mewah dan menghambur-hamburkan dana kerajaan, sementara sebagian besar rakyatnya
hidup miskin. Singkat kata, rakyat menghendaki pemerintahan yang memerhatikan hak-hak
mereka. Dalam Revolusi Perancis, mereka menggunakan slogan "Persamaan, Kebebasan, dan
Persaudaraan" (Liberte, Egalite, Fraternite).
Di tengah-tengah krisis keuangan yang melanda Perancis, Louis XVI naik takhta pada
tahun 1774. Pemerintahan Louis XVI yang tidak kompeten semakin menambah kebencian rakyat
terhadap monarki. Didorong oleh sedang berkembangnya ide Pencerahan dan sentimen radikal,
Revolusi Perancis pun dimulai pada tahun 1789 dengan diadakannya pertemuan EtatsGnraux pada bulan Mei. Etats-Gnraux (wakil rakyat dari berbagai golongan) terbagi
menjadi tiga golongan (etats): pendeta (Etats Pertama), kaum bangsawan (Etats Kedua), dan
sisanya adalah rakyat biasa Perancis (Etats Ketiga). Pada 10 Juni 1789, Abb Sieys,
Etats Ketiga,

mengikuti

pertemuan

sebagai Communes

(Rakyat

Biasa).

Ia

mengajak

dua etats lainnya untuk ikut serta, namun ajakannya ini tidak diindahkan. Etats Ketiga yang
sekarang menjadi lebih radikal mendeklarasikan diri sebagai Majelis Nasional, majelis yang
bukan berasal dari etats, namun dari golongan "Rakyat". Mereka mengajak yang lainnya untuk
bergabung, namun menegaskan bahwa "dengan atau tanpa bantuan, mereka tetap akan mengatasi
permasalahan bangsa."Dalam upayanya untuk tetap mengontrol dan mencegah Majelis
mengadakan pertemuan, Louis XVI memerintahkan penutupan Salle des tats, tempat Majelis
biasanya mengadakan pertemuan. Di saat yang bersamaan, cuaca tidak memungkinkan Majelis
untuk menggelar pertemuan di luar ruangan, sehingga Majelis pada akhirnya memindahkan
pertemuan mereka ke sebuah lapangan tenis dalam ruangan. Di tempat ini, mereka

mengambil Sumpah Lapangan Tenis pada 20 Juni 1789, yang menyatakan bahwa Majelis
tidak akan berpisah hingga mereka bisa memberikan sebuah konstitusi bagi Perancis.
Setelah Sumpah Lapangan Tenis berlangsung, pada tanggal 14 Juli, para pemberontak
mengincar sejumlah besar senjata dan amunisi di benteng dan penjara Bastille, yang juga
dianggap sebagai simbol kekuasaan monarki. Setelah beberapa jam pertempuran, benteng jatuh
ke tangan pemberontak pada sore harinya. Meskipun terjadi gencatan senjata untuk mencegah
pembantaian massal. Pada tanggal 4 Agustus 1789, Majelis Konstituante Nasional
menghapuskan feodalisme (meskipun pada saat itu telah terjadi pemberontakan petani yang
hampir mengakhiri feodalisme). Keputusan ini dituangkan dalam dokumen yang dikenal
dengan Dekrit Agustus, yang menghapuskan seluruh hak istimewa kaum Estate Kedua dan
hak dme(menerima zakat) yang dimiliki oleh Estate Pertama. Hanya dalam waktu beberapa jam,
bangsawan, pendeta, kota, provinsi, dan perusahaan kehilangan hak-hak istimewanya.
Pada tanggal 26 Agustus 1789, Majelis menerbitkan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan
Warga Negara, yang telah menjadi tanda bahwa demokratisasi sedang berlalngsung dengan
diterbitkannya konstitusi baru ini. Dipicu oleh rumor telah diinjak-injaknya simpul pita nasional
saat penerimaan pengawal Raja pada tanggal 1 Oktober 1789 Mars perempuan di Versailles
terjadi, kerumunan perempuan mulai berkumpul di pasar Paris pada tanggal 5 Oktober 1789.
Kerumunan pertama berbaris menuju Htel de Ville, menuntut agar pejabat kota segera
menindak permasalahan mereka. Para perempuan ini mencurahkan segala permasalahan
ekonomi yang mereka hadapi, terutama masalah kekurangan roti. Mereka juga menuntut agar
kerajaan menghentikan upayanya dalam memblokir Majelis Nasional, dan menyerukan agar Raja
dan keluarganya segera pindah ke Paris sebagai bentuk itikad baik dalam mengatasi kemiskinan
yang semakin meluas. Beberapa tahun kedepannya, Revolusi Perancis didominasi oleh
perjuangan kaum liberal dan sayap kiri pendukung monarki yang berupaya menggagalkan
reformasi.
Revolusi Perancis mencapai puncaknya pada masa Reign of Terror di bawah Robespierre
(1793-94). Kekisruhan itu telah membawa sebelas ribu orang ke guillotine, termasuk Raja
Louise XVI dan permaisurinya Marie Antoinette, dan akhirnya juga Robespierre sendiri. Kuasa
legislatif di republik baru jatuh ke Konvensi, sedangkan kekuasaan eksekutif jatuh ke sisanya
di Komite Keamanan Umum. Konvensi menyetujui "Konstitusi Tahun III" yang baru pada
tanggal 17 Agustus 1795; sebuah plebisit meratifikasinya pada bulan September; dan mulai

berpengaruh pada tanggal 26 September 1795. Konstitusi baru itu melantik Directoire (bahasa
Indonesia: Direktorat) dan menciptakan legislatur bikameral pertama dalam sejarah Perancis.
Parlemen ini terdiri atas 500 perwakilan (Conseil des Cinq-Cents/Dewan Lima Ratus) dan 250
senator (Conseil des Anciens/Dewan Senior). Kuasa eksekutif dipindahkan ke 5 "direktur" itu,
dipilih tahunan oleh Conseil des Anciens dari daftar yang diberikan oleh Conseil des Cinq-Cents.
Rgime baru bertemu dengan oposisi dari Jacobin dan royalis yang tersisa. Pasukan
meredam pemberontakan dan kegiatan kontrarevolusi. Dengan cara ini pasukan tersebut dan
jenderalnya yang berhasil, Napoleon Bonaparte memperoleh lebih banyak kekuasaan. Di bawah
Napoleon ketertiban ditegakkan kembali. Begitu puasnya rakyat, hingga setelah diadakan plebisit
pada 1802 Napoleon diangkat sebagai Konsul Seumur Hidup. Hasil plebisit: 3,568,885 setuju
dan hanya 8,374 tidak setuju. Perkembangan selanjutnya lebih menarik lagi. Setelah dilakukan
sebuah plebisit lagi pada 1804 Napoleon Bonaparte diangkat menjadi Kaisar Perancis. Hasil
plebisit: 3,572,329 setuju, hanya 2,759 tidak setuju. Dibawah Napoleon ketertiban dan, untuk
beberapa waktu, kejayaan kembali ke Perancis. Tetapi cita-cita Revolusi, yaitu Republik dan
Demokrasi, meninggalkannya.

Sumber Referensi:
1989. Revolusi Prancis = La Revolution Francaise / Francois Furet, Denis Richet; editor, Sartono
Kartodirdjo.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press

Anda mungkin juga menyukai