PREPARAT ASETANILIDA
Disusun oleh:
Ikhwan Frasetyo (1130380 / KP. A)
Dwi Hari Nugroho (1130427 / KP. A)
A. PENDAHULUAN
Pustaka
1. Furniss, Bs; et al, 1989. Vogels Text Book of Pratical Organic Chemistry, 5 th ed., Longman
Scientific & Technical, New york, 916-918
2. Vishnoi N.K, 1979. Advanced Practical Organic Chemistry, 1st ed Vikas Publishing house,
PVT Ltd, New Delhi, page 330-331
3. Mc Murry J. 2000. Organic Chemistry 5 th edition. Brooks/Cole Publishing Company Pasific
Grove USA. 1002
Dasar Teori
Asetanilida atau sering disebut phenilasetamida mempunyai rumus molekul
C6H5NHCOCH3 dan berat molekul 135,16 serta tergolong senyawa amida primer.Asetinilida
berbentuk butiran berwarna putih, tidak larut dalam minyak parafin dan larut dalam air dengan
bantuan kloral anhidrat. Asetanilida pertama kali ditemukan oleh Friedel Craft pada tahun 1872
dengan cara mereaksikan asethophenon dengan NH2OH sehingga terbentuk asetophenon oxime
yang kemudian dengan bantuan katalis dapat diubah menjadi asetanilida. Pada tahun 1899
Beckmand menemukan asetanilida dari reaksi antara benzilsianida dan H 2O dengan katalis HCl.
Pada tahun 1905 Weaker menemukan asetanilida dari anilin dan asam asetat
Ada beberapa proses pembuatan asetanilida, yaitu;
Pembuatan asetanilida dari asam asetat anhidrid dan anilin
Larutan benzene dalam satu bagian anilin dan 1,4 bagian asam asetat anhidrad direfluk dalam
sebuah kolom yang dilengkapi dengan jaket sampai tidak ada anilin yang tersisa.
2C6H5NH2 + ( CH2CO )2O
2C6H5NHCOCH3 + H2O
Campuran reaksi disaring, kemudian kristal dipisahkan dari air panasnya dngan pendinginan,
sdan filtratnya direcycle kembali. Pemakaian asam asetatanhidrad dapat diganti dengan asetil
klorida.
Pembuatan asetanilida dari asam asetat dan anilin
Metode ini merupakan metode awal yang masih digunakan karena lebih ekonomis. Anilin dan
asam asetat berlebih 100 % direaksikan dalam sebuah tangki yang dilengkapi dengan
pengaduk.
C6H5NH2 + CH3COOH
C6H5NHCOCH3 + H2O
Reaksi berlangsung selama 6 jam pada suhu 150oC 160oC. Produk dalam keadaan panas
dikristalisasi dengan menggunakan kristalizer.
Pembuatan asetanilida dari ketene dan anilin
Ketene ( gas ) dicampur kedalam anilin di bawah kondisi yang diperkenankan akan
menghasilkan asetanilida.
C6H5NH2 + H2C=C=O
C6H5NHCOCH3
Pembuatan asetanilida dari asam thioasetat dan anilin
Asam thioasetat direaksikan dengan anilin dalam keadaan dingin akan menghasilkan
asetanilida dengan membebaskan H2S.
C6H5NH2 + CH3COSH
C6H5NHCOCH3 + H2S
Amina
Amina adalah nukleofili nitrogen. Ikatan N-H dalam amina primer dan sekunder dapat di
asetilasi atau diasilasi oleh turunan asam. Amina tersier tidak memiliki ikatan N-H sehingga
tidak dapat diasetilasi, tetapi amina tersier dapat bersifat sebagai basa, sehingga dapat
menetralkan asam.
Elektron bebas dari atom nitrogen dapat berpindah ke cincin benzene dan meningkatkan
rapat elektron di dalam cincin terutama pada posisi orto dan para. Struktur resonansi untuk anilin
menunjukkan bahwa gugus NH 2 itu bersifat melepas elektron secara resonansi meskipun N
merupakan atom elektronegatif. Akibat stabilisasi resonansi anilina ialah bahwa cincin menjadi
negatif sebagian dan sangat menarik bagi elektrofil yang masuk. Semua posisi (o-, m- dan p-)
pada cincin anilin teraktifkan terhadap substitusi elektrofilik. Namun posisi o- dan p- lebih
teraktifkan daripada posisi m-. Struktur resonansi yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa
posisi-posisi o- dan p- memiliki muatan negatif parsial sedangkan posisi m- tidak.
Anilin merupakan amina aromatis primer. Reaksi substitusi terhadap amina aromatis
dapat berupa substitusi pada cincin benzena atau substitusi pada gugus amina. Asetilasi amina
aromatis primer atau sekunder benyak dilakukan dengan klorida asam dalam suasana basa atau
dengan cara mereaksikan amina dengan asetat anhidrida. Anilin primer bereaksi dengan asetat
anhidrida panas menghasilkan turunan monoasetat (amida). Persamaan reaksi antara aniline dan
asetat anhidrida menghasilkan asetanilida. Jika asetat anhidrida yang digunakan berlebihan dan
pemanasan dilakukan pada waktu yang lama, maka sejumlah turunan diasetil akan terbentuk.
Namun demikian, turunan deasetil tidak stabil dengan kehadiran air dan mengalami hidrolisis
menghasilkan senyawa monoasetil. Amida dapat mengalami reaksi hidrolisa dalam suasana asam
membentuk asam karboksilat dan garam amina, sedangkan dalam suasana basa membentuk ion
karboksilat dan amina.
Anilin merupakan cairan seperti minyak, tidak berwarna bila baru disuling, tetapi bila
kena pengaruh cahaya segera akan menjadi kuning hingga coklat. Anilin merupakan racun kuat
yang berbau busuk, tidak dapat terbakar dan bersifat basa. Anilin sukar larut dalam air, tapi dapat
bercampur dengan alkohol, eter dan kloroform dalam segala perbandingan. Anilin memiliki
rumus struktur C6H5NH2 dengan berat jenis 1,022 gr/ml, berat molekul 93,1 gr/mol dengan titik
didih 182oC. Anilin banyak dipergunakan dalam industri cat celup, obat-obatan dan karet
sintetik. Di laboratorium dipergunakan untuk menghitamkan meja kerja (ditambah HCl dan
K2Cr2O3). Anilin dapat dibuat dengan cara mereduksi nitrobenzene menggunakan besi dan asam
klorida, dinetralkan dengan kapur, kemudian disulingkan dengan uap.
Turunan asam karboksilat
Asam karboksilat dan turunannya semua bersifat dapat diubah satu menjadi yang lain
secara sintetik. Namun di antara turunan dari asam karboksilat tersebut, halida asam dan
anhidrida asam merupakan turunan yang paling banyak digunakan (serbaguna) sebab dapat
mensintesis ester yang terintangi dan ester fenil yang tidak dapat dibuat dengan rendemen yang
baik dengan pemanasan RCOOH dan ROH dengan katalis asam karena kesetimbangan tidak
menguntungkan.
Salah satu anhidrida asam yang paling sederhana adalah anhidrida asetat (etanoil etanoat)
atau biasa disingkay Ac2O. Rumus kimianya adalah (CH3CO)2O. Senyawa ini merupakan reagen
yang penting dalam sintesis organik, contohnya adalh sintesis asetanilida. Senyawa ini tidak
berwarna dan berbau cuka sebab reaksinya dengan kelembapan udara menghasilkan asam asetat.
Anhidrida asetat merupakan senyawa korosif, iritan dan mudah terbakar.
Reflux
Refluks merupakan salah satu metode dalam ilmu kimia untuk mensintesis suatu
senyawa, baik organik maupun anorganik. Umumnya digunakan untuk mensistesis senyawasenyawa yang mudah menguapa atau volatil. Pada kondisi ini jika dilakukan pemanasan biasa
maka pelarut akan menguap sebelum reaksi berjalan sampai selesai. Prinsip dari metode refluks
adalah pelarut volatil yang digunakan akan menguap pada suhu tinggi, namun akan didinginkan
dengan kondensor sehingga pelarut yang tadinya dalam bentuk uap akan mengembun pada
kondensor dan turun lagi ke dalam wadah reaksi sehingga pelarut akan tetap ada selama reaksi
berlangsung. Sedangkan aliran gas N2 diberikan agar tidak ada uap air atau gas oksigen yang
masuk terutama pada senyawa organologam untuk sintesis senyawa anorganik karena sifatnya
reaktif. Kondensor yang digunakan adalah pendingin bola, bukan pendingin Liebig, tujuannya
agar uap pelarut tetap ada, sebab jika menggunkan Liebig, dapat berakibat senyawa yang akan
disintesis tidak ada hasilnya karena semuanya sudah menguap.
Rekristalisasi
Rekristalisasi merupakan proses pengulangan kristalisasi agar diperoleh zat murni atau
kristal yang lebih teratur/murni. Senyawa organik berbentuk kristal yang diperoleh dari suatu
reaksi biasanya tidak murni. Mereka masih terkontaminasi sejumlah kecil senyawa yang terjadi
selama reaksi. Oleh karena itu perlu dilakukan pengkristalan kembali dengan mengurangi kadar
pengotor. Rekristalisasi didasarkan pada perbedaan kelarutan senyawa dalam suatu pelarut
tunggal atau campuran. Senyawa ini dapat dimurnikan dengan cara rekristalisasi menggunakan
pelarut yang sesuai.
Langkah penentuan pelarut dalam rekristalisasi merupakan langkah penentu keberhasilan
pemisahan. Jika senyawa larut dalam keadaan panas maka penyaringan harus dilakukan dalam
keadaan panas.
Tujuan:
1. Mampu menjelaskan reaksi pembentukan anilida
2. Mampu menjelaskan arti reflux
3. Terampil dalam menggunakan karbon aktif dalam proses pemurnian melalui
rekristalisasi.
4. Mampu menghasilkan bentuk kristal yang homogen
B. METODE KERJA
Prosedur
Vishnoi N.K. Advanced Practical Organic Chemistry, 1st ed Vikas Publishing house, PVT Ltd,
New Delhi, page 330-331
Preparation1. Actanilide, C6H5NH.CO.CH3
Method 2- Chemicals required. (i) Aniline 10 ml (ii) Acetic anhydride 10 ml (iii) Glacial
acetic acid 0 ml (iv) zinc dust 0,5 gm.
Procedure. Place 10 ml aniline, 10 ml glacial acid, 10 ml acetic anhydride and 0,5 gm
zinc dust in a 250 ml round bottom flask fitted with a reflux condenser. Heat the reaction
mixtureto boiling for about 40 minutes, detach the condenser and pour the hot contents slowly so
as to prevent any residual zinc dust from esaping the flask, into a 500 ml beaker containing about
250 ml of cold water whilst stirring vigorously the resultant solution. Cool the beaker in ice bath
when crude acetanilide seperates. Filter it in a buchner funnel using suction , wash with cols
water, drain well with the help of an inverted glass stopper and dry on the filter papers in air. The
yiels of crude acetanilide, m.p. 113oC, is about 15 gm. Recrystallise it from hot water containing
2% rectified spirit. The pure recrystallised product has the m.p 114oC.
- Labu hisap
- Kaki tiga
- Pompa hisap
- Pendingin
Beaker glass
Kaca arloji
Kertas saring
Batu didih
Ring
- Corong Buchner
- Spritus
- Sumbat gabus
- Kertas timbang
- Corong panas
- Pengaduk
- Klem dan holder
balik/reflux
Bahan:
-
0,25 g Zn
Anilin 5 ml
Anhidrida asetat 5 ml
Asam asetat glasial 5 ml
Etanol 2,5 ml
125 ml air es
125ml air hangat
75 mg norit (0,5-1% dari bobot bahan yang akan digunakan)
Es batu
- Reaksi
O
CH3
HN
NH2
CH3
+
Anilin
CH 3COOH
CH3
Anhidrida asetat
Asetanilida
Mekanisme Reaksi
CH3
O
CH3
CH3
OH
CH3
OH
O
CH3
Anhidrida asetat
NH2
CH3
CH3
OH
CH3
CH3
OH
CH3
CH3
H
Hidrolisis
O
N
Anilin
CH3
OH
OH
CH3
CH3
O
OH
OH
OH
CH 3COOH
CH3
HN
HO
CH3
NH
CH3
N
H
HN
CH3
Asetanilida
: 7,5 g
: 114oC
mempengaruhi reaksi agar terbentuk suatu garam amina, selain itu asam asetat berfungsi sebagai
katalis serta untuk menetralkan muatan oksida sehingga asetanilida yang terbentuk tidak
terhidrolisis kembali karena pengaruh air. Anhidrida asetat digunakan sebagai pengering yang
reversible yang dapat mengikat air. Reaksi antara anilin dengan asam asetat glasial merupakan
reaksi eksotermis karena reaksi ini menghasilkan panas sehingga panas dilepas ke lingkungan.
Hal inilah yang menyebabkan labu alas bulat menjadi panas ketika anilin dicampur dengan asam
asetat. Campuran antara anilin dan asam asetat berwarna kuning kecoklatan, reaksi ini
berlangsung sangat lambat sehingga perlu dilakukan suatu metode yang dapat mempercepat
reaksi, yaitu dengan cara pemanasan. Asam asetat dan anhidrida asetat memiliki sifat yang
mudah menguap, sehingga pemanasan disini tidak sembarangan dilakukan karena kalau
digunakan pemanasan biasa maka akan terbentuk uap yang akan mengurangi hasil kuantitatif
dari suatu reaksi. Oleh karena itu, pemanasan yang dilakukan pada pembuatan asetanilida ini
adalah dengan menggunakanmetode refluks. Sebelum melakukan pemanasan, beberapa batu
didih dimasukkan ke dalam labu alas bulat. Penambahan batu didih diatas berfungsi untuk:
1. Meratakan panas sehingga panas menjadi homogen pada seluruh bagian larutan.
2. Mengatur suhu didih sehingga sirkulasi udara menjadi teratur.
Pori-pori dalam batu didih akan membantu penangkapan udara pada larutan dan
melepaskannya ke permukaan larutan (ini akan menyebabkan timbulnya gelembung-gelembung
kecil pada batu didih). Tanpa batu didih, maka larutan yang dipanaskan akan menjadi
superheated pada bagian tertentu, lalu tiba-tiba akan mengeluarkan uap panas yang bisa
menimbulkan letupan/ledakan (bumping).
Batu didih tidak boleh dimasukkan pada saat larutan akan mencapai titik didihnya. Jika
batu didih dimasukkan pada larutan yang sudah hampir mendidih, maka akan terbentuk uap
panas dalam jumlah yang besar secara tiba-tiba. Hal ini bisa menyebabkan ledakan ataupun
kebakaran. Jadi, batu didih harus dimasukkan ke dalam cairan sebelum cairan itu mulai
dipanaskan. Jika batu didih akan dimasukkan di tengah-tengah pemanasan (mungkin karena
lupa), maka suhu cairan harus diturunkan terlebih dahulu. Selain itu, sebaiknya batu didih tidah
digunakan secara berulang-ulang karena pori-pori dalam batu didih bisa tersumbat zat-zat
pengotor dalam cairan.
Perhitungan waktu dihitung setelah ada tetesan hasil refluks yang telah terkondensasi, hal
tersebut dikarenakan pada saat itu pelarut berupa asam asetat sudah mulai menguap dan
terkondensasi sehingga dapat dikatakan bahwa saat itu juga proses refluks sudah berlangsung.
Proses refluks disini memiliki dua fungsi, yaitu untuk mempercepat reaksi karena adanya
proses pemanasan, pemanasan akan meningkatkan suhu dalam sistem sehingga tumbukan antar
molekul akan lebih banyak dan cepat sehingga akan mempercepat reaksi atau dengan kata lain
pada proses ini kita mengontrol reaksi secara kinetik. Fungsi yang kedua adalah untuk
menyempurnakan reaksi. Pada saat pelarut yang digunakan mulai menguap maka konsentrasi
larutan di dalam labu akan meningkat. Setelah proses refluks selesai kemudian larutan
dituangkan ke dalam air dan diaduk hingga terbentuk asetanilida yang berbentuk padatan kristal.
Penggunaan air disini dimaksudkan sebagai pelarut yang akan menghidrolisis asam asetat yang
masih tersisa dalam larutansedangkan tujuan pendinginan dengan air adalah agar diperoleh
kristal asetanilida. Hasil dari kristalisasi ini berupa kristal yang berwarna kekuning-kuningan
yang berarti masih ada pengotor didalamnya, yaitu sisa reaktan ataupun hasil samping reaksi
(abu zink, sisa garam anilium asetat, dll). Oleh karena itu perlu dilakukan pemurnian kembali.
Larutan tersebut kemudian disaring dengan penyaring buchner. Proses penyaringan ini
menggunakan prinsip sedimentasi dan dibantu menggunakan vakum pump, yaitu alat untuk
menyedot udara, sehingga proses penyaringan dan pengeringan cepat selesai.
Rekristalisasi asetanilida dilakukan dengan cara menambahkan air panas sebanyak 125
mL, sebab jika penambahan air panas diberikan dalam jumlah yang berlebih, maka kristal akan
sulit terbentuk. Kristal asetanilida merupakan kristal yang sangat mudah terbentuk di atas
larutan. Oleh karena itu, dalam proses rekristalisasi ini, selain penambahan air panas, juga
dilakukan penambahan etanol, dimana etanol berfungsi untuk meningkatkan kelarutan
asetanilida.
Jika dalam proses rekristalisasi menghasilkan larutan yang berwarna, maka perlu
dilakuakan penambahan norit/karbon aktif pada suhu 50oC. Fungsi dari karbon aktif ini adalah
untuk menyerap zat warna dan pengotor-pengotor yang berukuran besar karena karbon aktif
memiliki pori-pori yang besar. Dengan penambahan karbon aktif ini diharapkan diperoleh kristal
yang lebih bersih dan murni daripada sebelumnya. Penambahan norit dilakuakan pada suhu 50 oC
sebab pada suhu 50oC adalah suhu yang optimum dimana zat warna tersebut dapat ditarik oleh
karbon aktif. Jika penambahan dilakukan pada waktu mendidih, maka norit akan terurai. Selain
itu, norit juga tidak dapat diletakkan dalam udara bebas, karena norit dapat mengadsorbsi udara
sehingga dapat menjadi karbon yang inaktif. Penambahan norit harus dengan jumlah tertentu,
sebab jika norit ditambahkan berlebih, maka norit dapat menyerap asetanilidanya juga.
Ketika ditambahkan norit, sebagian kristal asetanilida sudah mulai terbentuk, sehingga
perlu dipanaskan lagi sampai mendidih agar semua kristalnya larut. Setelah larutan mendidih,
maka larutan disaring kembali menggunakan corong panas dalam keadaan panas. Penyaringan
ini dilakukan sewaktu panas karena bila larutan dingin maka maka larutan sudah mengkristal
(asetanilida) dan akan tertinggal di kertas saring dengan karbon aktif dan penggotor lainnya
sehingga hasil akhir asetanilida yang diperoleh akan semakin sedikit. Filtrat hasil penyaringan
ditampung dalam gelas kimia kemudian didinginkan untuk mempercepat terjadinya rekristalisasi.
Lalu, kristal yang terbentuk kemudian disaring dengan corong buchner.
Namun, apabila dalam proses rekristalisasi di atas tidak menghasilkan larutan yang
berwarna (larutan bersih, tidak terdapat kotoran), maka larutan tersebut tidak perlu ditambahkan
norit dan tidak perlu di saring dengan corong panas. Larutan tersebut cukup didinginkan, lalu
disaring dengan corong buchner.
Kristal yang di dapat selanjutnya dikeringkan dengan oven untuk menghilangkan uap air
yang masih terkandung dalam kristal. Selanjutnya kristal asetanilida yang diperoleh ditimbang
untuk mengetahui beratnya. Hasil akhir didapat, berat sampel sebesar 2,1 g. Hasil ini kurang
sesuai dengan hasil teoritis yang sebenarnya, yaitu 7,5 g. Hal itu disebabkan karena mungkun
terjadi kesalahan atau kurang terampilnya kami melakukan praktikum ini.
Kesalahan yang terjadi pada percobaan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Larutan yang akan disaring dengan corong panas belum benar-benar panas/mendidih.
2. Pada proses pemindahan campuran dari labu alas bulat ke dalam gelas kimia membutuhkan
waktu terlalu lama. Padahal pemindahan campuran harus dalam keadaan panas agar
pembentukan kristal asetanilida menjadi lebih sempurna karena terjadi penurunan suhu dari
suhu panas ke suhu dingin.
3. Pada saat rekristalisasi dalam proses penyaringan, proses penyaringan tidak sempurna karena
larutan lebih tinggi daripada kertas saring sehingga larutan merembes disamping kertas
saring.
Tanda tangan
Ikhwan Frasetyo
Tanda tangan