Kualitaskayu PDF
Kualitaskayu PDF
Diterbitkan oleh
Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin
2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
........................................................................
iii
........................................................................
1
1
................................................
....................................................................................
D. BAHAN PENGAYAAN
............................................................
............
11
11
....................................
16
C. ONTOGENI SEL
.........................................................................
19
D. BAHAN DISKUSI
.........................................................................
22
E. BAHAN PENGAYAAN
C. LATIHAN SOAL
............................................................
22
.........................................................................
34
..
35
..........................................................................
35
..................................................
36
C. PERLAKUAN SILVIKULTUR
..................................................
42
.........................................................................
45
D. BAHAN DISKUSI
E. BAHAN PENGAYAAN
C. LATIHAN SOAL
............................................................
46
.........................................................................
50
..............................................................
..................................................
52
..................................................
59
.........................................................................
63
D. BAHAN DISKUSI
E. BAHAN PENGAYAAN
C. LATIHAN SOAL
............................................................
63
.........................................................................
63
D. BAHAN DISKUSI
64
...................................................
65
DAFTAR PUSTAKA
.......................................
.........................................................................
E. BAHAN PENGAYAAN
64
.......................................
51
............................................................
............................................................................
69
69
70
93
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur disampikan ke hadirat Allah SWT atas berkah dan hidayah-Nya
sehingga buku ajar mata kuliah Pertumbuhan Pohon dan Kualitas Kayu ini dapat
diselesaikan. Buku ini disusun oleh Tim Pengajar untuk menjadi salah satu sumber
belajar bagi mahasiswa di Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Sebagai
sumber belajar, buku ini disusun dengan menggunakan rumusan bab per bab dengan
tujuan khusus masing-masing. Buku ini memuat aspek-aspek pertumbuhan pohon
dan ontogeni sel, kualitas kayu dan perlakuan silvikultur, variabilitas kayu, dan
syarat kualitas produk kehutanan.
Walaupun buku ini hanya menyangkut aspek-aspek umum dari pertumbuhan
pohon dan kualitas kayu, penulis berharap buku ajar ini dapat menjadi buku
pegangan mahasiswa Program Sarjana dalam menempuh studi dan mengembangkan
pengetahuan di Fakultas Kehutanan. Beberapa bahan pengayaan didalam buku ini
juga diharapkan dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
berhubungan dengan pertumbuhan pohon dan kualitas kayu atau dalam
mengembangkan ilmu secara spesifik. Dengan selesainya buku ajar ini, penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Pimpinan Fakultas atas bantuan
dana yang disediakan.
Penulis
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan gambaran
tentang pentingnya memahami hubungan antara pertumbuhan dan kualitas kayu.
Tujuan Khusus: Secara khusus bagian ini bertujuan untuk memberikan kemampuan
kepada mahasiswa untuk dapat menjelaskan bahwa penanaman pohon bukan sematamata untuk mengejar kuantitas tetapi juga perlu mempertimbangkan kualitas kayu
yang dihasilkan.
A. RUANG LINGKUP
Pohon tidak berbeda dengan tanaman lain dalam hal bahwa kedua kelompok
ini bertambah tinggi dengan pertambahan umurnya. Bedanya adalah bahwa pohon
memiliki kemampuan untuk mempertahankan pertumbuhannya dalam jangka waktu
bertahun-tahun dan memperbanyak lapisan-lapisan pertumbuhannya dalam arah
tinggi dan diameter. Hasil utama dari proses pertumbuhan berupa kayu telah
dimanfaatkan dan menjadi bagian dari kebutuhan manusia sejak lama, bahkan sejak
hasil hutan tersebut dikenal manusia. Dari kayu, manusia dapat memproduksi
berbagai produk untuk bermacam-macam keperluan dalam berbagai bidang
kehidupan. Dalam pemanfaatannya, kayu yang diambil dari pohon dapat digunakan
langsung sebagaimana adanya. Kayu juga dapat digergaji dan dibentuk untuk
menjadi bahan konstruksi. Dari kayu pula dibuat produk-produk panel/ komposit,
kertas, dan bahan energi. Apabila besarnya manfaat dan kegunaan kayu tersebut
dilihat secara lebih seksama, maka sudah seharusnyalah kalau semua orang yang
terlibat dari sejak ditanam hingga digunakan perlu berfikir dan bertindak secara
komprehensif. Dengan kata lain, barang siapa dalam aktivitasnya, baik langsung
maupun tidak langsung, terlibat dalam pengurusan pohon dan kayunya harus dapat
1
D. BAHAN PENGAYAAN
Sebagai referensi untuk dapat mengerjakan tugas dan diskusi seperti dikemukakan di
atas, berikut diberikan suatu paper yang ditulis oleh Muhdi, Program Ilmu
Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, tentang PENGARUH
ELEVASI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KUALITAS KAYU (2004
Digitized by USU digital library)
I. PENDAHULUAN
Laju pertumbuhan pohon dan macam pohon apa yang tumbuh di suatu lokasi
tergantung atas faktor tapak atau tempat tumbuh (Syafii Manan, 1992 dalam Manual
Kehutanan). Lebih lanjut disampaikan bahwa tapak adalah sebuah tempat dipandang
dari segi faktor-faktor ekologi dalam hubungan kemampuannya untuk menghasilkan
hutan atau vegetasi lainnya, atau dengan kata lain gabungan kondisi biotik, iklim dan
tanah dari sebuah tempat. Faktor iklim dan keadaan tanah merupakan faktor dominan
dalam pertumbuhan tanaman. Iklim terdiri atas unsur-unsur temperatur, kelembaban
udara, intensitas cahaya dan angin, sedangkan keadaan tanah meliputi sifatsifat fisik
tanah, biologi dan kelembaban tanah. Respon tanaman sebagai akibat faktor
lingkungan terlihat pada penampilan fisiologi dan morfologi tanaman. Berdasarkan
formasi klimatis tipe hutan terdiri dari tipe hutan tropika, hutan musim dan hutan
gambut, sedangkan berdasarkan formasi edafis terdiri dari tipe hutan rawa, hutan
payau dan hutan pantai.
4
besar tersebut serta bentuk tajuk yang kerucut akan membantu percepatan proses
penguapan, sehingga proses penguapan dapat berlangsung dengan baik.
Kondisi lain pada daerah yang memiliki elevasi tinggi adalah jumlah konsentrasi
CO2 yang relatif lebih kecil bila dibandingkan pada daerah yang lebih rendah.
Padahal CO2 adalah bahan baku dalam proses fotosintesis untuk diubah menjadi
karbohidrat. Dengan jumlah klorofil yang banyak, maka dapat dimungkinkan jumlah
CO2 yang tertangkap juga lebih banyak, sehingga hasil fotosintesis juga menjadi
banyak.
Dengan kondisi tersebut di atas maka jenis konifer mempunyai daerah sebaran hidup
berdasarkan ketinggian tempat yang beragam bila dibandingkan dengan jenis daun
lebar. Sebagai contoh adalah jenis pohon Agathis spp (damar) yang mampu hidup
dengan baik mulai ketinggian 10 m dpl sampai 1650 m dpl.
Berdasarkan uraian dan data pertumbuhan jenis damar pada berbagai elevasi, maka
jenis pohon yang biasa hidup di elevasi tinggi ditanam di elevasi yang rendah, pohon
tersebut masih dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal ini disebabkan, pada
daerah yang rendah temperatur lebih panas, kelembaban lebih rendah dan intensitas
sinar matahari lebih besar. Kayu daun jarum akan memanfaatkan intensitas sinar
matahari sesuai kebutuhannya, maksudnya bila terlalu lebih maka akan dimanfaatkan
sesuai dengan kemampuan klorofil yang dimilikinya.
disebabkan karena pohon yang biasa hidup di daerah elevasi rendah dengan kondisi
iklim yang umumnya temperatur tinggi, kelembaban rendah dan intensitas sinar
matahari besar, memiliki kepekaan menangkap sinar mat ahari yang lebih rendah.
Sehingga bila ditanam pada elevasi tinggi yang memiliki intensitas sinar matahari
rendah akan sangat mengganggu kegiatan fotosintesisnya, sehingga pertumbuhannya
juga akan lebih lambat.
Dari beberapa data persen kayu teras jenis kayu matoa menurut daerah iklim dan
kelas ketinggian tempat yang dikemukakan dapat diketahui bahwa semakin tinggi
elevasinya maka jumlah prosentase kayu terasnya semakin besar. Hal ini
menunjukkan bahwa kegiatan pembentukan sel baru yang berasal dari pembelahan
adalah sangat lambat dan yang lebih banyak terjadi adalah proses penuaan sel. Di
dalam kayu teras semua sel-sel penyusunnya adalah sel yang sudah mati dan tidak
mengalami penambahan besarnya sel. Lebih lanjut dapatlah diketahui bahwa riap
atau pertambahan volume pohon juga kecil atau pertumbuhannya lebih lambat bila
dibandingkan pada daerah yang ketinggiannya lebih rendah. Jenis matoa adalah salah
satu contoh jenis tanaman daun lebar, yang pada umumnya hidup baik pada daerah
yang elevasi rendah. Dengan demikian dapat diketahui bahwa bila jenis pohon yang
biasa hidup di elevasi rendah kemudian ditanam pada daerah yang elevasinya lebih
tinggi, maka pertumbuhannya akan menjadi lambat.
VI. KESIMPULAN
10
BAB II
PERTUMBUHAN POHON DAN ONTOGENI SEL
Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan gambaran
bagaimana pohon tumbuh dan menyusun sel-selnya.
Tujuan Khusus : Bab ini secara khusus bertujuan untuk memberikan kemampuan
kepada mahasiswa untuk menjelaskan dan memerinci tahap-tahap pertumbuhan
pohon dan perkembangan sel, termasuk menggambarkan batang yang sedang
berkembang.
A. PERTUMBUHAN POHON
kedua sub-divisi ini adalah terutama dari bijinya. Gimnospermae berbiji telanjang
sedangkan Angiospermae berbiji tertutup oleh bakal buah.
Pertumbuhan merupakan hasil dari interaksi berbagai proses fisilogis dan
untuk mengetahui mengapa pertumbuhan pohon berbeda pada berbagai variasi
keadaan lingkungan dan perlakuan diperlukan pengertian bagaimana proses
fisiologis dipengaruhi oleh lingkungan (Thojib, 1988). Proses fisiologis adalah
fotosintesa, respirasi dan transpirasi. Pada dasarnya, pohon tumbuh melalui dua jalur
pertumbuhan yaitu pertumbuhan primer dan pertumbuhan sekunder. Pertumbuhan
primer adalah pertumbuhan yang membuat batang menjadi panjang dan membuat
cabang karena adanya titik tumbuh apical diujung pohon. Jaringan yang terbentuk
oleh titik tumbuh apikal disebut jaringan primer. Pertumbuhan sekunder adalah
pertumbuhan yang membuat diameter batang menjadi besar. Penambahan besarnya
batang dilakukan melalui kegiatan lapisan tumbuh yang disebut kambium. Kambium
terletak di antara bagian luar kayu dan bagian dalam kulit. Kambium membentuk
kayu baru dan kulit baru setiap tahun dan berkembang di antara kayu dan kulit yang
dibentuk terdahulu. Jaringan yang terbentuk oleh meristem lateral disebut jaringan
sekunder. Pertumbuhan sekunder tidak membentuk tipe sel baru dan merubah
struktur kayu, karena yang bertanggug jawab pada hal tersebut adalah pertumbuhan
primer. Secara lebih rinci bagaimana kayu tumbuh dapat dilihat pada Gambar 1.
12
Pada irisan pertama (A) dari titik tumbuh apikal terbentuk jaringan
promeristem yang bertugas membelah diri secara cepat dengan tanpa mengalami
diferensiasi. Metode pembelahan yang dilakukan mengikuti prinsip tunica-corpus
dimana tunica (bagian pinggir) membelah dengan cara antiklinal yaitu pembelahan
13
dengan bidang belah tegak lurus pada permukaan, sedangkan corpus (bagian dalam)
membelah dengan cara periklinal yaitu pembelahan dengan bidang belah sejajar
dengan permukaan. Jaringan dermatogen yang berfungsi sebagai pelapis luar
berkembang pada bagian tepi dari jaringan promeristem.
Pada irisan kedua (B), sudah terjadi diferensiasi sel hasil pembelahan
promeristem. Sisi luar sebagai pelindung masih dilakukan oleh dermatogen,
sedangkan bagian tengah terjadi perkembangan, perubahan bentuk, dan ukuran serta
isi sehingga diperoleh jaringan pleromo sebagai inti dan periblem disebelah luarnya.
Ketiga jaringan merupakan awal perbedaan (induk) dari diferensiasi jaringan
dibawahnya walaupun secara phisiologi dan morphologi tidak berbeda.
Pada irisan ketiga (C), epidermis yang berkembang dari dermatogen
menutupi sisi bagian luar. Bagian dalam (plerome) bertambah dewasa menjadi stele,
sedangkan periblem berkembang menjadi cortex. Pada bagian stele mulai
berkembang jaringan vaskular yaitu xylem primer (bagian stele) dan phloem primer
(bagian cortex). Terdapat kambium diantara xylem primer dan phloem primer.
Pada irisan keempat (D), akibat pertumbuhan sekunder telah terjadi
pertambahan diameter pohon yang dilakukan oleh kambium dengan membentuk
xylem sekunder (bagian dalam) dan phloem sekunder (bagian luar) sehingga jaringan
yang melakukan diffrensiasi lebih sempurna. Aktifitas pada bagian stele mulai
berkurang bahkan mati, biasanya disebut hati (pith). Setelah pith terdapat xylem
primer yang terdesak akibat perkembangan kambium ke arah dalam yang
membentuk xylem sekunder. Perkembangan kambium ke arah luar membentuk
phloem sekunder, berbatasan dengan cortex terdapat phloem primer. Setelah cortex
dibagian luar terdapat epidermis yang telah mengalami perpecahan jaringan akibat
pertumbuhan sekunder (pertambahan diameter) dan terbentuk lapisan pengganti yang
disebut hypodermis.
Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan pohon
dimulai dengan mengaktifkan meristem apikal. Selanjutnya, hormon pertumbuhan
14
diproduksi dekat meristem apikal dan didistribusikan melalui sistem vaskular pohon.
Hormon tersebut kemudian mengaktifkan kambium dan terjadilah penebalan
sekunder (diameter).
pertambahan diameter tidak terjadi secara bersamaan dan ada perbedaan konsentrasi
hormon dalam penyebarannya. Pada saat diaktifkan, kambium menghasilkan sel-sel
kayu dan kulit. Sel-sel kulit bagian dalam disebut phloem, suatu lapisan tipis yang
dibentuk berbatasan dengan lapisan luar kambium. Pada saat lapisan kulit baru
dibentuk, kulit lama berangsur-angsur mati dan dapat lepas dari pohon. Sel-sel kayu
yang disebut xylem dibentuk ke arah dalam dari kambium. Pada saat hormonhormon pertumbuhan diproduksi banyak, sel-sel xylem yang dibentuk akan panjang
dengan rongga yang besar dan dinding yang tipis.
pertumbuhan yang diproduksi sedikit, sel-sel xylem yang dibentuk akan pendek,
rongga yang kecil dan dinding yang tebal. Secara umum, pembentukan organ-organ
tanaman dan pertumbuhannya dapat dikatakan sebagai hasil dari 3 proses, yaitu
pembelahan sel (cell division), perpanjangan sel (cell expansion), dan diferensiasi sel
(cell differentiation). Semua proses ini dikontrol oleh faktor-faktor internal &
eksternal. Arah pertumbuhan dan bentuk organ ditentukan oleh lokasi dan arah
pembelahan sel serta perluasan dan arah pembesaran sel.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pohon yaitu lingkungan dan
genetik. Faktor lingkungan secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan
melalui proses-prose fisiologis yang terjadi di dalam pohon. Faktor genetik antara
lain potensi untuk berproduksi, ketahanan terhadap hama penyakit, daya tahan
terhadap kekeringan. Menurut Zobel dan Talbert (1984) pertumbuhan pohon bukan
hanya dipengaruhi oleh salah satu dari faktor lingkungan atau genetik tetapi interaksi
keduanya. Menurut Thojib (1988) interaksi keduanya melalui proses fisiologi
internal dan kondisi pohon, mengontrol kuantita dan kualita pertumbuhan
ditunjukkan oleh Kleb yang dikenal dengan konsep Kleb (1913-1918).
15
Konsep Kleb.
Potensi keturunan
Faktor-faktor lingkungan
16
lapisan baru oleh kambium terjadi setiap musim tumbuh. Lapisan ke arah dalam
membentuk kayu (xylem) dan ke arah luar membentuk kulit (phloem), pembentukan
lapisan ini terjadi secara terus menerus menyebabkan diameter pohon bertambah. Di
daerah yang beriklim dingin, terdapat hanya satu musim tumbuh dalam setahun, riap
pertumbuhan dibentuk hanya sekali dalan setahun. Riap pertumbuhan ini disebut
lingkaran tumbuh atau sering disebut lingkaran tahun yang nampak sebagai
lingkaran yang konsentris jika kayu dipotong dalam arah melintang (transversal). Di
daerah tropis yang mengalami pertumbuhan sepanjang tahun, sehingga lingkaran
tahun yang terbentuk tidak nampak dengan jelas. Gambar 2 di bawah ini
memperlihatkan skema cara pembentukan batang dewasa.
17
Gambar 2. Skematis yang melukiskan cara pohon koniver berumur 17 tahun
menambah diameter batang dan tinggi melalui penambahan riap
pertumbuhan ( Panshin & de Zeeuw, 1980)
18
sekunder dibagian luar xylem primer dan kambium, kemudian phloem sekunder
terbentuk disebelah luar kambium mendesak phloem primer. Pertambahan diameter
yang terus menerus mengakibatkan epidermis tidak mampu menahan dan kemudian
pecah serta diganti dengan hypodermis atau endodermis disamping epidermis baru.
Gambar 3 melukiskan secara skematis ontogeni batang muda yang berasal
dari pembelahan sel pada titik tumbuh apikal.
(a).
(b).
20
Gambar 3. Skematis yang melukiskan ontogeni batang muda. Kode huruf dalam
diagram ini adalah sebagai berikut: c-korteks, d-epidermis, eendodermis, pc-prokambium beruntai, p-empulur, pp-phloem primer, pxxylem primer, sp-phloem sekunder, dan sx-xylem sekunder (Panshin &
de Zeeuw, 1980).
21
C. BAHAN DISKUSI
1. Menggambarkan dan menjelaskan pembelahan sel
2. Aplikasi konsep kleb
3. Mengapa lapisan kulit yang terbentuk tidak setebal lapisan kayu.
D. BACAAN PENGAYAAN
HOW TREES GROW
By Dr. William Chaney, Purdue University
In the early 1900s, a German plant physiologist named Klebs proposed a concept
that is still very appropriate today. He was the first to note that the only way
environmental factors and heredity can affect organism growth is by affecting its
internal physiological processes. A tree's physiological processes constitute the
mechanism by which genes and environmental factors operate to control growth.
Whatever you do with a tree - whether you are selecting a superior individual,
planting, fertilizing, watering or pruning - you are ultimately dealing with that tree's
physiological processes.
For tree farmers to understand why any condition or treatment affects trees, they
must know how this factor or treatment affects physiological processes. Tree farmers
can use this kind of knowledge as a basis for developing better methods for growing
and maintaining trees.
CELLS
The basic structural unit of trees is cells, millions of which connect and coordinate
into a harmonious whole. Mature cells per-form various functions, but are very
similar when they are first formed, when they all have the capacity to become a
22
whole tree. Each has a nucleus that contains all the genetic information need-ed to
produce a specific free.
Cells have several organells in addition to a nucleus. The chloroplasts, the site for
photosynthesis, are green because they contain the pigment chlorophyll, which can
convert the sun's radiant energy into chemical energy in the form of glucose. This
sugar is the basic food and building material for new cells and trees.
Another cell organelle - the mitochondria - uses sugar from the chloroplasts and
releases the captured solar energy in a form useful to cells. The chloroplasts and
mitochondria work in concert- one captures the energy and the other releases it to
cells.
A less familiar celiorganelle is the dictyosome. Like any organism, trees must
dispose of waste products resulting from cell metabolism. The dictyosomes
accumulate tannins, phenols and other toxic substances in spherical membranebound structures called vesicles. These are pinched off from the edges of the
dictyosomes, migrate to the outer cell membrane, attach themselves to that
membrane and belch the material into dead cell walls. This is important to the tree
because individual cells are protected from those toxic compounds, which import
disease and insect resistance to the tree as a whole. Some of these waste products are
dumped into a central envelope inside cells called the vacuole, which contains the
cell sap. Here they are isolated from the cell's living contents. The vacuole also keeps
cells fully expanded, a condition necessary for peak performance of all the
organelles. Leaves on a tree wilt when water in the cell sap is lost. This allows living
cytoplasm inside the cell to collapse and fold, slowing down or even stopping
organelles from functioning. Hence, the vacuole is a very important part of a cell,
although its contents are nonliving.
23
We can begin the fascinating story of tree growth with flowering. All trees have
flowers, although many aren't very showy. Their purpose is to be pollinated and
fertilized and to develop into seed-bearing fruits or cones.
THE SEED
Seeds contain an aggregation of cells in an embryo that reflects all the parts of a
mature tree. But each cell has all the organelles described above and the genetic
capacity to become a whole tree. Some parts of the tree are already recognizable
under a microscope. These include cotyledons, the first leaves, where sugars and
starch to fuel the growth of the new tree are stored, and the apical meristems, the
growing points for the shoot and root that emerge upon germination. Incredibly, all
the cells are derived from the single cell that resulted from fertilization. As the
embryo develops and becomes a tree, many cells differentiate and specialize to form
leaves, roots and other organs. Until the seedling can produce enough leaf area with
chloroplasts to support itself through photosynthesis, it uses food stored in the seed.
The fascinating growth processes that result in the leaves, stems, wood, bark, roots
and other tree tissues are controlled by hormones.
HORMONES
There are several kinds of naturally occurring hormones - aux-ins, gibberellins,
cytokinins, ethylene, and some inhibitors. Each has its special functions.
In the 1930s, auxin was discovered. Being the only known hormone, plant
physiologists attributed to it the control of almost all growth process-es. As other
campounds were discovered, they realized that gibberellin controls cell enlargement,
cytokinins influence cell division and specialization, and ethylene affects the
24
as it is rammed into the soil. Expanded root cells differentiate to carry out functions
of uptake and transport of water and nutrients to above ground parts of the tree.
Lateral roots do not grow from a bud like lateral shoots. They grow from internal
root tissue. Some internal root cells, in response to the right balance and mixture of
hormones, produce a new root meristem. These cells divide and elongate and are
forced between and around cells in the root, rupturing root tissue and emerging us a
lateral root. This creates a pathway for easy movement from the soil into roots that
avoids entering living cells. If fertilizers or any other chemicals are appliced in close
contact with branced roots, or even at the base of a tree, uptake will occur. Fine
feeder roots are not essential to have uptake. However, water and nutrients move
through soil very slowly and for only short distances. Anything near a stationary root
is quickly depleted from the soil around the root. Hence, to be healthy, a tree must
have existing and new roots growing in length to explore the soil for water and
nutrients.
Tree roots are not very deep. Basic tree biology education should convey that most
of the root system is quite shallow and can extend far from a tree, even for beyond
the drip line. Much of this is genetically controlled, but the principal reason for
shallow rooting is the very stressful environment, particularly poor soil conditions.
Low oxygen content and soil compaction predispose trees to many other problems.
To survive, roots need 3 percent oxygen in the soil. If they are to grow, existing
apical meristems require 5-10 percent oxygen. And, for new roots to form, soil
oxygen content must be at least 12 percent. Our atmosphere is about 21 percent
oxygen. In an undisturbed loom soil six inches below the surface, the percent oxygen
is only slightly less than that in the air. A compacted loom will have about 5 percent
oxygen 15 inches deep into the soil. Tree roots would survive at this depth, but new
roots would be stressed. A clay loom soil at three feet has an insufficient oxygen
26
level to support new root growth. In a sandy soil, even at five feet, the oxygen
content is about 15 percent, where roots can survive and grow.
THE SHOOT SYSTEM
The first shoot of a tree emerges from the seed as the cells of the embryo expand
during germination. At its tip, and at the tip of every lateral shoot that develops, is an
apical, meristem where in length and height occur. Growth is similar to that in the
root only in that cells divide and elongate. Nothing comparable to a root cap exists
because the air provides no resistance to growth. The organization of the apical
meristem, in shoots is more complex than that of the roots because buds are
produced from which lateral branches, leaves and flowers form.
As the cells derived from the apical meristem of shoots differentiate to form the
various tissues of the shoot system, some specialize to form two lateral meristems:
the vascular cambium and the cork cambium. These account, respectively, for
increase in girth and bark production. The vascular cambium is located between the
wafer conducting xylem tissue to the inside and the food-conducting phloem tissue
to the outside. The vascular cambium is the origin, of new cells that become xylem
and phloem tissue.
.The other secondary meristem, the cork cambium, found just outside the functional
phloem, also produces two kinds of cells. These constitute the bark, which, protects
and insulates the succulent tissues beneath.
THE XYLEM
The water-conducting xylem tissue, or wood, consists of only four kinds of cells. But
there can be great size and shape differences among those cells as well as differences
27
in their arrangement and proportion. In fact, these characteristics are so singular that
a wood anatomist can identify trees just by inspecting the wood.
The most primitive type of xylem cell is a tracheid, a norrow tapered cell, usually
about 1 mm long, with pits in the sidewalls and closed on both ends. The cells are
arranged vertically in the xylem and joined by pit pairs. Water, with its dissolved
contents, moves upward in the cells for a short distance before it must move through
the pit pairs into an adjacent tracheid. Upward conduction follows a tortuous and
inefficient pathway in wood dominated by tracheids.
Vessels, an evolutionary advancement for transport of water, have a much bigger
diameter than tracheids and still have pits in the side wall. But, most importantly,
they have large pores in the end walls. The vessels are arranged end to end in long
stacks that in trees such as ashes and oaks, could extend from a root through the
trunk and up to a leaf in the tree crown. They can reach 30-40 feet, creating a good
system for moving water and nutrients up trees.
Fibers, usually shorter and narrower than tracheids, have very thick walls containing
few pit pairs and closed ends. They don't conduct water, but instead function in the
xylem to provide structural strength. When mature and functional, the tracheids,
vessels and fibers are dead, hollow cells. They normally constitute the largest portion
of the xylem.
The fourth type of xylem cell is the parenchyma, an undifferentiated cell that
remains alive in the xylem for several years. These cells are scattered in the xylem
and constitute the vascular rays, which provide a pathway for lateral movement
across the xylem. Like the other parenchyma cells in the xylem, they the storage sites
for carbohydrates essential for the vitality and growth of trees. These living
parenchyma cells allow the tree to respond to wounds. The callus that forms around
the edges of a wound on the trunk or a pruned branch arises from the totipotent
28
parenchyma cells in the xylem. Parenchyma cells at the bottom of a stem cutting
begin to divide and form roots whereas those at the upper end of the cut-ting develop
into shoots.
The xylem accumulates in annual layers, extending from the shoots in the crown into
the roots to form a tapered column of wood. When viewed in cross-section, as on the
surface of a cut stump, annual rings of xylem are visible because of the different
ways cells develop during a growing season. Active cell division early in the
growing season in apical meristems in a tree crown produces auxins that moved
downward along the trunk into the cambial zone. The high concentration of auxins
promote the development of spring wood with large-diameter, thin-walled xylem
cells. In mid-summer when grow-ing conditions are more stressful, shoots slow
down or stop grow-ing, and the production of auxins also diminishes. Cells produced
by the cambium shrink and develop thicker cell walls, forming sum-mer wood.
During the winter the cambium is dormant, but will resume growing the following
year with the production of spring wood. It is the transition from summer wood to
spring wood that makes the annual xylem ring so apparent.
Organization of the cells in they xylem is classified in three categories. based on the
kinds and arrangement of cells. Nonporous wood has only tracheids, fibers and
parenchyma cells. The rays are, generally narrow, only one or a few cells wide. The
wood, which is produced by conifers and other Gymnosperm trees, is very plain. The
Angiosperm or hardwood trees are separated into two xylem classes, ring-porous and
diffuse-porous. These classes of xylem contain vessels as well as tracheids, fibers
and parenchyma cells. Diffuse-porous wood has vessels that, are uniformly
distributed in each annual layer of xylem. Ring-porous trees have large-diameter
vessels restricted to the spring wood portion of each annual layer of xylem. The
vascular rays are often several cells wide and quite visible.
29
Often, the wood in is a lighter color toward the outside and darker in the center.
These two areas of xylem are the sapwood and heartwood. The sapwood is the
physiologically active portion of the xylem, where tracheids and vessels are used for
conduction of water and dissolved nutrients, and the parenchyma cells are alive and
function in carbohydrate storage. The heart-wood is nonfunctional and even the
parenchyma cells are dead. They may have died because they were buried by
accumulating layers of oxygen-limiting xylem. It is more likely that they died
because the tree used these cells as a dump site for its own toxic waste - tannins and
phenols. The heartwood is particularly decay-resistant because of the accumulation
of these compounds, which account for its darker color too.
Water that flows through the dead, hollow xylem cells is driven by transpiration - the
evaporation of water from the leaves. Continuous columns of water extend from the
cells of the leaves through the xylem of the branches and trunk into the roots. The
water columns are essentially pulled up the tree along a gradient of decreasing
pressure. Because water movement is related to transpiration, environmental factors
such as air temperature and relative humidity affect the rate of movement.
Understanding this relationship is important in trunk injection applications of
systemic pesticides and growth regulators. The weather and its effects on water
movement in the xylem influence the speed and ease of injections.
The transport of water occurs through dead cells, and the path of least resistance,
which, in nonporous wood is the larger-diameter spring wood tracheids. The water
conduction pathway in this type of wood is a series of concentric rings of spring
wood tracheids in three to four annual layers of xylem. In porous wood, the vessels
provide the principal conduit for transport because of their large diameter and open
end walls.
30
Diffuse-porous trees conduct water in the vessels scattered throughout two to three
annual layers of xylem. Ring-porous wood, in contrast, has a conduction pathway
that utilizes the large-diameter vessels of the spring wood in only the current year's
xylem layer.
To get good uptake and distribution of material injected into the xylem, it is
important to inject into the activity conducting portion of the xylem. For ring-porous
trees, this is very shallow, since only the new xylem tissue conducts. In diffuseporous and nonporous trees, materials can be injected deeper.
THE PHLOEM
Although the phloem constitutes only a small portion of a tree's tissues, its function
in transporting food and hormones is exceedingly important. Phloem is derived from
the vascular cambium, but the phloem does not accumulate in annual layers as does
the xylem.
Five kinds of cells are found in the phloem. The specialized phloem cells are the
sieve cells and sieve tube members. Sieve cells are the most primitive and the
counterpart to tracheids in the xylem. Sieve cells have pits in the side and end walls
that allow movement between cells. The evolutionary advanced sieve tube member
characterizes the phloem of hardwood Angiosperm trees. The sieve tube member
also has pits in the side walls but, more importantly, has performation plates with
large openings at the ends of the cells. Stacked end to end, they provide efficient
con-duits for transport. Two types of phloem cells, the fibers and parenchyma, are
exactly like those in the xylem. Scierids or stone cells are small and fiber-like.
Every year a new ring of phloem is produced. The fleshy phloem cells are located
between the woody xylem and the dead outer bark. The cells of the phloem must be
alive with their protoplasm intact. The phloem's fibers and sclerids prevent the active
31
phloem cells from being crushed. The living cells are finally destroyed and the
contents reabsorbed or incorporated into the bark and shed from the tree. Thus,
phloem does not accumulate like the xylem.
Movement in the phloem occurs both upward and downward to allow for distribution
of food and hormones to and from sites of production, storage and utilization.
Conduction in the phloem results in a positive pressure in the cells. The best
evidence of this is the feeding of aphids. The aphid is a clever little insect that can
delicately stick its feeding tube into a phloem cell just under the bark. The pressure
in the cell forces more sugary solution through its body than it can digest. The
resulting overflow, called honeydew, drips on sidewalks and cars beneath infested
trees.
THE BARK
Bark is formed from the other secondary meristem, the cork cambium. The anatomy
and development of bark, basically, a protective tissue, is probably the least
understood of all the tissues in trees. The variations in bark appearance are enormous
and change as individual trees age. However, the characteristics of the bark are
frequently so closely associated with each particular kind of tree that they can serve
to identify the tree species.
At least four types of bark development have been recognized. Smooth bark trees
have a single cork cambium that remains with a tree for its entire life. The cork
cambium produces a layer of cork cells toward the outside each year.
The other kinds of bark are variations of the same theme. Ring bark trees, such as
eastern red cedar, produce a new and complete cork cambium each year, resulting in
concentric rings of cork cambia and the cells derived from them. These are
eventually forced outward by diameter growth, rupture, and cling to trees as long,
32
stringy strips. For scale bark trees such as pines, the first cork cambium does not
increase in circumference rapidly enough to avoid being torn apart by increases in
diameter of the xylem. Beneath each point of rupture, a new cork cambium is
formed. The process is repeated thousands of times. The shape and size of each new
cork cambium is reflected in the shape of the scales that cling to the bark for a few
years before they are shed. The furrowed bark of trees such as ashes develops
similarly to scale bark trees. The difference, however, is that the new cork cambia
form in the old phloem and its fibers become incorporated into the bark. Event these
tough fibers are finally forced apart by diameter growth. The deep furrows, ridges
and diamond-shaped patterns of bark reflect the original orientation of the phloem
fibers.
Cork cells are so impervious to both water and gasses that they could limit oxygen
from reaching the living cells beneath. However, a specialized structure, the lenticel,
consists of loosely arranged cells extending across the bark to provide for gas
exchange. The short, horizontal lines that often are so apparent on smooth bark
species such as Black Cherry, for example, are lenticels. They are an essential part of
all bark, just not as obvious when the bark is furrowed and rough. The next time you
examine a wine bottle cork, notice the dark lines running perpendicular to the annual
rings of cork. These are the lenticels that provided aeration for the cambia and other
living cells.
The growth of a tree from a single cell in a fertilized flower to a coordinated
accumulation of millions of cells with diverse sizes, shapes and functions is a
wondrous phenomenon. Tree farmers should be proud to work with trees, realizing
that through their care and maintenance practices they are dealing with the
physiological processes of immensely complex and massive organisms.
33
E. LATIHAN SOAL-SOAL
1. Jelaskan pengertian dari fotosintesa, respirasi dan transpirasi.
2. Buatlah suatu miniatur pertumbuhan pohon
3. Buatlah daftar tipe sel berdasarkan arah dan fungsi jaringan.
4. Hitung lingkaran tahun (Prayitno, 2007) pohon berumur 62 tahun dengan tinggi 52
kaki 9 inchi dengan pertumbuhan sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Pertanyaan :
a. Pada ketinggian tinggi pohon tergambar berapa lingkaran tahun pada irisan
transversal. (37)
b. Pada ketinggian 1/3 dari ujung pohon berapa irisan tranversal. (28)
34
BAB III
KUALITAS KAYU DAN PERLAKUAN SILVIKULTUR
Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan gambaran
peranan tindakan-tindakan silvikultur dalam meningkatkan produktivitas dan kualitas
kayu.
Tujuan Khusus : Bab ini secara khusus bertujuan untuk memberikan kemampuan
kepada mahasiswa untuk dapat menjelaskan dan menganalisa hubungan antara
tidakan-tindakan silvikultur dengan pertumbuhan pohon dan kualitas kayu. Dalam
hal ini, mahasiswa dapat (1) mengidentifikasi kualitas kayu akibat pertumbuhan
normal, abnormal dan berbagai perlakuan silvikultur di lapangan, (2) menjelaskan
indikator kualitas kayu dan hubungannya berdasarkan penggunaan sebagai
konstruksi, serat, komposit dan energi, dan (3) membuat suatu rancangan penanaman
dan pemeliharaan di lapangan untuk menghasilkan kayu untuk konstruksi, serat,
komposit dan energi.
A. KUALITAS KAYU
Kualitas kayu adalah ukuran ketepatan penggunaan kayu atau kesempurnaan
setiap bahan kayu untuk keperluan yang diinginkan. Indikator kualitas kayu yang
dipengaruhi oleh perlakuan silvikultur di lapangan antara lain kerapatan,
keseragaman lingkaran tahun, panjang serat, proporsi kayu teras, persentase pori,
persentase kayu juvenil, kayu reaksi, komposisi sellulosa, mata kayu, bentuk batang
(selindris), orientasi serat dan komposisi kimia (Goudie 2002).
Indikator kualitas kayu akan berbeda tergantung tujuan akhir dari
penanaman, sehingga untuk mendapatkan hasil yang maksimal perlu telaah yang
35
mendalam tentang kualitas kayu yang bagaimana yang akan dihasilkan. Dengan kata
lain, tidak ada ukuran yang absolut untuk pengukuran kualitas kayu karena hal
tersebut sangat tergantung pada penggunaan akhir yang diinginkan. Sebagai contoh,
penanaman untuk menghasilkan kayu bakar menginginkan jenis mudah tumbuh
dengan daur yang pendek, tetapi dengan berat jenis yang tinggi sehingga dapat
menghasilkan energi yang besar. Yang lainya, penanaman untuk bahan baku pulp
dibutuhkan jenis penghasil serat panjang dengan berat jenis sedang dan mempunyai
kandungan sellulosa yang tinggi. Sedangkan penanaman untuk bahan baku
konstruksi dibutuhkan kayu yang mempunyai kekuatan menahan beban yang berat
serta awet untuk pemakaian yang lama sehingga kayu yang diperlukan adalah kayu
dengan berat jenis dan kandungan ekstraktif yang tinggi. Lain halnya dengan bahan
baku untuk digunakan sebagai papan komposit yang memerlukan kayu dengan
kandungan lignin atau sellulose dan berat jenis yang tinggi.
Beberapa ahli kehutanan menyatakan bahwa semua jenis pohon penghasil
kayu cepat tumbuh akan menghasilkan kualitas kayu (kelas awet dan kelas kuat)
yang lebih rendah dibandingkan dengan pohon dengan umur maksimal. Di sisi lain,
beberapa pengusaha kayu menuturkan bahwa masalah kualitas kayu sudah dapat
dipecahkan dengan teknologi industri. Sifat mudah diolah dan dibentuk dari pohon
cepat tumbuh dapat didifusikan sesuai keinginan pasar. Tingkat kekerasannya pun
dapat direkayasa dengan teknik pengovenan. (Irwanto 2006).
36
Gambar 4. Potongan kayu dengan keadaan kayu teras dan kayu gubal
37
38
39
Persentase mata kayu yang tinggi akan menghasilkan pulp berkualitas jelek,
butuh bahan pemutih (bleaching) yang tinggi dan kertas yang dihasilkan tidak kuat.
Kandungan ekstraktif yang tinggi pada mata kayu juga tidak diinginkan karena akan
menghasilkan papan dengan kekuatan yang rendah dan kayu lapis yang tidak stabil
(Zobel, 1984).
40
B.6. Kerapatan
Kerapatan kayu adalah perbandingan antara massa kayu dengan volume kayu
pada kondisi tertentu. Kerapatan kayu menggambarkan massa dari dinding sel kayu
tersebut pada volume tertentu. Sifat ini dipengaruhi adanya kayu awal dan kayu
akhir, zat ekstraktif, laju pertumbuhan dan proporsi dan tipe sel penyusun kayu.
Pada kayu daun lebar tata lingkar, kerapatan meningkat seiring dengan laju
pertumbuhan, sedangkan pada kayu daun lebar tata baur dan beberapa kayu daun
jarum korelasi kerapatan dengan laju pertumbuhan tidak nampak. Pada kayu daun
jarum yang mempunyai lingkaran tahun yang jelas, laju pertumbuhan yang
meningkatkan akan menurunkan kerapatan, karena keberadaan kayu awal.
Kayu dengan kerapatan yang tinggi akan lebih kuat untuk digunakan sebagai
kayu konstruksi. Kerapatan tinggi juga akan menghasilkan pulp per satuan massa
yang tinggi dibanding kayu yang mempunyai kerapatan yang rendah.
41
C. PERLAKUAN SILVIKULTUR
42
pengelolaan suatu tegakan. Perlakuan silvikultur dan pengaruhnya terhadap sifatsifat kayu dapat dilihat pada Tabel 1.
Penjarangan
Pemupukan
Irigasi
Pemangkasan
43
biomassa daun menurun secara drastis ketika terjadi persaingan pada umur muda
tetapi relatif menjadi konstan setelah itu.
Perlakuan pemupukan akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan, berat
jenis, perubahan kayu awal ke kayu akhir, kayu juvenile, ukuran dan keberadaan
mata kayu, panjang serat dan komposisi kimia (DeBell,Curtis 2003). Pemupukan
meningkatkan kecepatan pertumbuhan sehingga meningkatkan pertumbuhan tajuk
dan pembentukan cabang yang terus menerus sehingga meningkatkan jumlah kayu
reaksi dan jumlah dan ukuran cabang. Adanya irigasi akan mempengaruhi berat
jenis, lingkaran tahun, kayu juvenile, mata kayu, panjang serat dan orientasi serat.
Perlakuan pemangkasan akan mengurangi jumlah dan ukuran mata kayu,
bentuk batang, orientasi serat dan mempercepat perubahan dari kayu juvenile ke
kayu dewasa (DeBell et al 2002 ; DeBell,Curtis 2003). Salah satu contoh misalnya
kayu jati, dikatakan mempunyai kualitas yang baik jika memiliki kayu yang lurus.
Untuk mendapatkan kayu yang lurus adalah dengan pemilihan bibit unggul.
Perkembangan teknologi khususnya dalam bidang rekayasa genetik (Pemuliaan
Pohon / Tree Improvement) telah menghadirkan jati varietas unggul. Jati yang
dihasilkan diharapkan memiliki keunggulan komparatif berdaur pendek ( 15 tahun),
sedikit cabang, batang lurus dan silindris. Kenyataan di lapangan
kadangkala
44
tanaman jati dari bibit yang unggul memiliki cabang sehingga untuk memaksimalkan
hasil panen nantinya perlu dilakukan penebangan pada cabang-cabang atau ranting
tanaman jati tersebut (Anonim 2006). Pemotongan cabang secara berkala dilakukan
agar tanaman jati pada usia muda dapat berkembang pada satu batang saja, sehingga
pertumbuhan keatas dapat dipercepat sehingga batang yang dihasilkan dapat lurus
(tidak bercabang).
Beberapa penyebab utama penurunan kualitas kayu akibat percepatan
pertumbuhan adalah ukuran dan frekuensi mata kayu, kayu reaksi dan serat terpuntir
(Daniel et al 1979) dan meningkatnya periode kayu juvenil. Kayu juvenil umumnya
mempunyai kerapatan yang rendah, panjang serat yang pendek, perbandingan antara
lignin dan sellulose tinggi, sudut mikrofibril yang besar sehingga sifat mekanikanya
yang rendah, papan yang dihasilkan penyusutannya tinggi, melengkung dan
rendemen pulp yang dihasilkan rendah (Goudie 2002; DeBell,Curtis 2003 ).
Berat jenis merupakan sifat kayu yang sangat penting dalam penggunaan
kayu. Pohon-pohon yang pertumbuhannya dipercepat akan mempunyai berat jenis
yang berbeda dengan pohon yang tumbuh alami pada jenis dan lokasi yang sama.
Tetapi beberapa penelitian terdahulu menyatakan berat jenis tidak dipengaruhi oleh
kecepatan pertumbuhan (DeBell et al 2002; Koga,Zhang2002 ; Bowyer et al 2003).
D. BAHAN DISKUSI
1. Pengaruh tindakan silvikultur terhadap kualitas kayu
2. Pertumbuhan pohon yang dipengaruhi oleh tindakan silvikultur
3. Indikator kualitas kayu dan hubungannya berdasarkan penggunaan
sebagai konstruksi, serat, komposit dan energi.
45
E. BAHAN PENGAYAAN
Effects of Intensive Forest Management on Wood Quality of Loblolly Pine
1
Intensive forest management practices are being applied to improve growth and
profitability of plantation grown southern pines, but minimal attention is being paid to
the impact of intensive cultural practices on wood quality. In order for the southern pine
industry to maintain its competitive position in the global market it must produced wood
from intensively managed plantations with the properties required meet product
standards. Young fast growing plantation southern pines contain large volumes of
juvenile wood. Juvenile wood is characterized as having low specific gravity, short
trachieds, large microfibril angles, and low strength and stiffness compared to mature
wood. To determine the effect of intensive forest management on loblolly pine (Pinus
teada L.) wood quality the Wood Quality Consortium has sampled replicated
silvicultural studies across the south
METHODS AND RESULTS
The effect of controlling competing vegetation for the first 3 to 5 years after planting on
annual growth, specific gravity, and length of juvenility was examined by sampling the
Auburn University Silvicultural Herbicide Cooperative COMP study (Miller et al, 1991).
The study was sampled at age 15 at 13 locations across the south. Results show that
controlling woody plus herbaceous competition did significantly increase growth, did
not significantly reduce ring specific gravity and did not significantly affect the
proportion of latewood in the annual ring (Clark et.al, 2006). Woody plus herbaceous
competition control did significantly increase growth during juvenile wood formation at
breast height in years 1 to 5 and thus increased the diameter of the juvenile wood core by
an average of 19 percent. The long-term impact of site preparation, competition control,
46
fertilization and competition control plus fertilization at planting was examined at four
installations of the Regionwide 7 Study (NCSFNC, 1996). The study was established in
1978 to 1981 by the North Carolina State Forest Nutrition Cooperative and sampled in
2002. Fertilization (49 Kg N per hectare plus 56 Kg P per hectare) was applied at
planting and weed control was applied for two years after planting. Results show
individual tree volumes were increased up to 33 percent by competition control plus
fertilization compared to site preparation only. Competition control for two years after
planting plus fertilization at planting did not significantly affect wood specific gravity,
proportion of latewood or wood strength or stiffness (Mora, et al, 2006). The effect of
intensive site preparation, annual vegetation control, annual high rates of nitrogen
fertilization (168 Kg ammonium nitrate/hectare/year) on tree growth and wood
properties was examined by sampling a long term monitoring study at age 12. The study
was established in 1987 in the Coastal Plain and in 1988 in the Piedmont of Georgia by
the University of Georgia Consortium for Accelerated Pine Production (Borders and
Bailey 2001). In response to annual intensive cultural treatments, growth increased 270
percent in the Coastal Plain and 158 percent in the Piedmont compared to the intensive
mechanical site preparation treatment. Annual ring earlywood specific gravity was not
affected by treatments, but annual ring latewood specific gravity was significantly
reduced in annually fertilized and herbicide plus annually fertilized trees (Clark et al,
2004). Annual heavy fertilization alone or in combination with vegetation control
significantly reduced toughness, strength and stiffness of juvenile wood.
To examine the effect of different levels of nitrogen fertilization at mid-rotation on wood
properties the North Carolina State Forest Nutrition Cooperative Regionwide 13 Study
installation near New Bern, NC was sampled in 2003 (NCSNC, 1997). The study trees
were planted in 1970 and thinned in 1983 to 605 TPH and fertilizer treatments were
applied in the spring of 1984. The fertilization treatments sampled include: 28 Kg P per
hectare (control), 112 Kg N + 28 Kg P per hectare; 224 Kg N + 28 Kg P per hectare, and
336 Kg N + 28 Kg P per hectare. Results show that increased levels of N increased
annual growth for 3 to 4 years after treatment. Increased levels of N fertilization did not
47
significantly affect the proportion of latewood in the annual ring but did significantly
decrease the specific gravity of the latewood. 112 and 224 kilograms of N fertilizer per
hectare did not significantly reduce wood specific gravity, strength or stiffness but 336
Kg of N per hectare at mid-rotation resulted in a significant reduction in wood specific
gravity, strength and stiffness in wood formed 2 to 3 years after fertilization.
A 20 year old unthinned spacing study was sampled to determine the effect of initial
planting density on tree growth and wood properties. The study was established in the
Coastal Plain of Georgia in1984 on an excellent site (SI=27 meters base age 25) with
loblolly pine family 7-56 seedlings. Seven planting densities (1.8 x 2.4-, 1.8 x 3.0-, 1.8 x
3.7-, 2.4 x 3.0-, 2.4 x 3.7-, 3.0 x 3.7-, 3.7 x 3.7- meters) were sampled. Twenty one trees
per spacing were felled, all branches were measured and trees were destructively
sampled for wood properties. Tree survival increased with increased spacing and ranged
from only 65 percent survival at age 20 for the 1.8 x 2.4 meters spacing to 90 percent
survival for the 3.0 x 3.7- and 3.7 x 3.7- meter spacings. Stem taper as measured by
Girard form class increased from an average of 75 for the 1.8 x 2.4-meters spacing to 78
for 2.4 x 3.7-meter spacing and then decreased to an average of 76 in the 3.7 x 3.7 feet
spacing. Tree average dbh increased with increased spacing and ranged from 24.1
centimeters in the 1.8 x 2.4 meter spacing to 29.7 centimeters in the 3.7 x 3.7 meter
spacing. Average total height increased only slightly with increased spacing ranging
from 25 meters in the 1.8 x 2.4 meter spacing to 26 meters in the 3.7 x 3.7 meter
spacing. However, the height of the sawlog merchantable stem to a 15.2 centimeter dob
top increased significantly with increased spacing. Sawlog merchantable height averaged
12 to 13 meters in the 1.8 x 2.4-, 1.8 x 3.0-, 1.8 x 3.7- and 2.4 x 3.0- meter spacings
compared to 15- to 16- meters in the 2.4 x 3.7-, 3.0 x 3.7- and 3.7 x 3.7-meter spacings.
Total merchantable stem biomass/hectare was highest in the 1.8 x 3.7-, 2.4 x 3.7- and 2.4
x 3.0-meter spacings. Estimated volume of lumber/hectare was highest in the 2.4 x 3.7meter spacing, slightly lower in the 3.0 x 3.7- and 3.7 x 3.7- meter spacings and lowest
in the 1.8 x 2.4 meter spacing. Average knot diameter per 4.9 meter sawlog did not
increase with increased spacing but average number of knots and average maximum
48
knot diameter per sawlog increased with increased spacing. The diameter of knots on the
side of the stem within the row and between rows did not vary significantly. Initial
planting density did not significantly affect annual ring specific gravity or the proportion
of latewood in the annual ring. Initial spacing did not significantly affect wood strength
or stiffness.
SUMMARY
Based on the studies sampled competition control and competition control plus
fertilization at planting can significantly increase growth with no significant effects on
wood properties. However, heavy annual fertilization or heavy mid-rotation fertilization
with 336 Kg N or more per hectare can significantly reduce latewood specific gravity
and thus significantly reduce wood stiffness and strength. Average knot diameter, wood
specific gravity, strength or stiffness did not vary significantly with initial planting
densities ranging form 1.8 x 2.4- to 3.7 to 3.7- meters on an excellent site in the Coastal
Plain. Initial planting densities of 2.4 x 3.7-, 3.0 x 3.7-, 3.7 x 3.7- meters per hectare
yielded the highest volume of lumber per hectare at age 20 from unthinned loblolly pine
stands .
REFERENCES
Borders, B.E. and R.L. Bailey. 2001. Pushing the limits of growth. Southern Journal of
Applied Forestry. 25(2):69-74.
Clark, A., R.F. Daniels, and J. H. Miller. 2006. Effect of controlling herbaceous and
woody competing vegetation on wood quality of planted loblolly pine. Forest Products.
Journal. 56(2):40-46
Clark, A. and B. Borders, R. F. Daniels 2004 Impact of vegetation control and annual
fertilization on wood properties of loblolly pine at age 12. Forest Products Journal
54(12):90-96
Miller, J.H., B.R. Zutter, S.M. Zedaker, M.B. Edwards, and R.A. Newbold. 1991. A
regional study on the influence of woody and herbaceous competition on early loblolly
pine growth. Southern Journal of Applied Forestry 15(4):169-179.
49
Mora, C. R., H.L. Allen, R. F. Daniels, and A. ClarkIII 2006. Wood properties response
to early intensive silviculture in loblolly pine. Canadian Journal, Forest Research (in
press)
NCSFNC, 1996. Effects of site preparation and early fertilization and weed control on
14-year loblolly pine growth. NCSFNC Report No. 36. North Carolina State Forest
Nutrition Cooperative. Department of Forestry. North Carolina State University.
Raleigh, NC. 35 p.
NCSFNC, 1997. Ten-year growth and folia responses of midrotation loblolly pine
plantations to nitrogen and phosphorus fertilization. NCSFNC Report No. 39. North
Carolina State Forest Nutrition Cooperative. Department of Forestry. North Carolina
State University. Raleigh, NC. 29 p.
F. LATIHAN SOAL-SOAL
1. Buatlah satu definisi kualitas kayu untuk suatu tujuan penggunaan tertentu
2. Buatlah bagan hubungan antara perlakuan silvikultur dengan kualitas kayu
3. Buatlah suatu rancangan penanaman dan pemeliharaan di lapangan untuk
menghasilkan kayu bagi tujuan konstruksi, industri serat, papan komposit,
dan energi.
50
BAB IV
VARIABILITAS SIFAT DASAR KAYU
Tujuan Umum : Secara umum Bab ini bertujuan untuk menjelaskan keragaman
sifat-sifat kayu antar pohon, antar pohon dalam satu jenis, dan antar bagian dalam
satu pohon serta factor-faktor yang mempengaruhinya.
Tujuan Khusus : Secara khusus, Bab ini bertujuan memberikan kemampuan pada
mahasiswa untuk menjelaskan variasi sifat dalam arah vertikal dan horizontah kayu
serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam hal ini, mahasiswa dapat (1)
menghitung dimensi serat dan kerapatan beberapa jenis kayu pada arah horizontal
(pith ke kulit) dan arah vertikal (pangkal ke ujung), (2) menguraikan variabilitas
yang terjadi dalam hubungannya dengan kondisi pohon, lingkungan dan perlakuan
silvikultur yang diberikan.
Kayu berasal dari berbagai macam jenis pohon yang memiliki sifat-sifat yang
berbeda. Bahkan dalam satu pohon, kayu memiliki sifat yang berbeda. Perubahan
sifat-sifat ini karena adanya aktifitas fisiologis kambium vascular yang dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain (Panshin and de Zeeuw, 1980) :
1. Umur atau perubahan karena umur yang terjadi dalam kambium
2. Faktor genetik yang menyebabkan adanya variasi antar jenis pohon
3. Faktor lingkungan (curah huajn, suhu, kesuburan tanah dan perlakuan
silvikultur). Perlakuan silvikultur mempengaruhi persediaan air dan
nutrisi pada kambium. Faktor ini mempengaruhi variasi dalam maupun
antar pohon yang dapat menimbulkan modifikasi dalam pola-pola dasar
variasi kayu secara individual, tetapi masih dalam batas kemampuan
genetis pohon.
51
52
53
Variasi panjang trakeid dari pith ke beberapa lingkaran tahun ke arah kulit
dapat dilihat pada Gambar 7 (a). Kayu daun lebar yang berpori tata lingkar variasi
panjang serat menunjukkan pertambahan panjang yang cepat pada kayu awal ke
kayu akhir demikian juga dari pith ke kulit (Gambar 7b). Kayu yang berpori tata baur
tidak menunjukkan adanya variasi panjang serat pada peralihan kayu awal ke kayu
akhir demikian juga dari pith ke kulit (Gambar 7 c).
Gambar 7. Variasi Panjang Trakeid pada kayu daun jarum (a), panjang serat
pada kayu daun lebar tata lingkar (b), kayu daun lebar tata baur (c).
54
Panjang serat yang konstan pada umur dewasa tedapat pada pohon Caryo
ovata, Eucalyptus regnans, Picea abies, Pinus densiflora, P. radiata, P. taeda, P.
elliottii, P. merkusii dan Sequoia sempervirens, Larix spp (Pandit, 2006). Panjang
serat yang terus naik pada umur dewasa antara lain Liriodendron tulipifera, Picea
sitchensis, P. ponderosa, P. resinosa, P. strobes, P. taeda dan Thuja plicata.
Variasi diameter serat dan tebal dinding sel pada lingkaran tahun dari pith ke
kulit dapat dilihat pada Gambar 8. Kecenderungan memperlihat diameter serat dan
tebal dinding sel akan meningkat dari pith ke kulit. Kecenderungan ini telah diteliti
pada Fraxinus pennsylvanica, Picea sitchensis, Pinus resinosa dan Pinus echinata.
Pada umumnya tebal dinding sel kayu awal dari hati ke kulit naik 15 % dalam
periode 30 tahun, kecuali P. resinosa kenaikan tebal dinding sel naik 30 % dalam
periode 30 tahun.
Gambar 8. Variasi Tebal dan Diameter Dinding Sel pada Lingkaran Tahun
55
Penyebab terjadinya perubahan panjang sel dalam arah radial didasarkan oleh
pendewasaan atau perubahan-perubahan umur pada inisial kambium dan sel-sel
induk xylem. Kecepatan tumbuh juga mempengaruhi pertambahan panjangnya selsel inisial kambium. Pertumbuhan yang cepat akan menghambat pertambahan
pertumbuhan panjang sel-sel inisial kambium pada tahun-tahun permulaan kegiatan
kambium dan menunda waktu terbentuknya panjang sel yang maksimum.
Perubahan tebal dinding sel pada kayu awal ke kayu akhir adalah tergantung
banyaknya hasil fotosintesis yang diterima. Pada awal musim tumbuh persaingan
antara pertumbuhan panjang intermodal, produksi daun dan pembentukan sel-sel
xylem dan floem sekunder adalah sangat besar, kambium hanya memperoleh sedikit
hasil fotosintesis sehingga dinding sel yang terbentuk tipis. Sesudah perkembangan
tajuk selesai, jumlah hasil fotosintesis dalam kambium semakin besar sehingga
dinding sel yang terbentuk menjadi tebal dan maksimum pada bagian-bagian akhir
dari musim tumbuh.
A.2. Kerapatan
Kerapatan dari Araucaria sp dan kayu daun lebar tata baur, memperlihatkan
perbedaan kerapatan yang sangat menyolok pada lingkaran tumbuh. Hal ini
disebabkan oleh variasi iklim dan pembentukan kayu akhir. Variasi kerapatan pada
satu lingkaran tumbuh melebihi variasi kerapatan yang terjadi antar pohon. Sebagai
contoh variasi yang sangat ekstrim antara kayu akhir (870 kg/m3) dan kayu awal
(170 kg/m3) pada Douglas fir atau kayu akhir (900 kg/m3) dan kayu awal (300
kg/m3) pada Pinus palustris (Panshin and de Zeeuw, 1980 ; Walker, 2006). Variasi
kerapatan di dalam lingkaran tahun dan antara lingkaran tahun dapat di lihat pada
Gambar 9.
56
Variasi kerapatan erat hubungannya oleh interaksi antara tebal dan diameter
sel, proporsi dinding sel yang berada pada lapisan S2, jumlah sellulosa di dalam
kayu (hubungan dengan umur) dan sudut microfibril pada lapisan S2. Kayu tekan
yang mempunyai sudut mikrofibril yang besar, kerapatan meningkat dibandingkan
kayu normal pada umur dan ketinggian yang sama. Kerapatan dasar suatu kayu
berhubungan dengan jumlah bahan (kayu) kering per unit volume (kondisi basah).
57
Gambar 10. Variasi Sudut Mikrofibril dari Pith pada Pinus radiata
58
Variasi ke arah vertikal dalam satu jenis pohon dapat dilihat dari pangkal
menuju ujung pohon. Variasi arah vertikal dapat diketahui dengan jelas karena setiap
perbedaan ketinggian akan berbeda struktur pada setiap lingkaran tumbuh. Sehingga
variasi pada arah vertikal tidak sesederhana variasi pada arah horizontal.
59
Panjang trakeid di dalam lingkaran tahun yang sama meningkat dari pangkal
ke atas pada jarak tertentu, setelah mencapai maksimum menurun ke arah ujung
pohon, dimana panjang trakeid lebih pendek dari pangkal (Gambar 11). Pola ini
ditemukan Sanio pada Scots pine. Panjang serat kayu sepanjang riap ke lima puluh
jenis Eucalyptus regnans, pada bagian pangkal antara 1-1,1 mm pada ketinggian 50
ft kemudian panjang serat naik sampai mencapai maksimum 1,35 mm, di atas
ketinggian 50 ft panjang serat menurun dengan cepat sampai mencapai 0,8 mm pada
ujung pohon (Panshin and de Zeeuw, 1980).
Gambar 11. Variasi Panjang Serat Arah Vertikal dan Horizontal pada
Eucalyptus regnans
60
B.2 Kerapatan
Variasi kerapatan pada arah vertikal terdapat tiga pola yang umum yaitu :
1. Kerapatan menurun dari pangkal ke puncak, contohnya kayu daun jarum
(Pinus), Picea abies, pseudotsuga menziesii, Tsuga heterophylla. Pada kayu
daun tidak lasim ditemukan pola ini kecuali pada Acer nigrum dan A.
saccharinum.
2. Kerapatan menurun di bagian pangkal kemudian naik di puncak, contohnya
kayu daun jarum (P. constanta dan P. strobus) dan kayu daun lebar (
Liriodendron tulipifera dan Tectona grandis)
3. Naik dari pangkal ke ujung dengan pola yang seragam, Pola ini banyak
terdapat pada kayu daun lebar dan merupakan modifikasi dari pola yang
pertama karena adanya mata kayu. Contoh pada kayu daun lebar (Fagus
sylvatica, Farxinus penusylvanica, Nyssa aquatic, Liquidambar styraciflua,
Quercus falcate) dan kayu daun jorum (Picea sitchensisi dan Thuja plicata)
61
62
C. BAHAN DISKUSI
D. BAHAN PENGAYAAN
Kellomki, S., Ikonen, V.-P., Peltola, H. and Kolstrm, T. 1999. Modelling the
structural growth of Scots pine with implications for wood quality. Ecological
Modelling 122:117-134.
Ikonen, V.-P., Kellomki, S. and Peltola, H. 2003. Linking tree stem properties of
Scots pine (Pinus sylvestris L.) to sawn timber properties through simulated sawing.
Forest Ecology and Management 174:251-263.
Ikonen, V.-P., Kellomki, S., Visnen, H. and Peltola, H. 2006. Modelling the
distribution of diameter growth along the stem in Scots pine. Trees 20:391-402.
E. LATIHAN SOAL-SOAL
Buatlah suatu grafik variasi sifat kayu pada arah horizontal berdasarkan hasil
praktikum laboratorium dengan menghitung dimensi serat dan kerapatan beberapa
jenis kayu pada arah horizontal (pith ke kulit) dan arah vertikal (pangkal ke ujung).
63
BAB V
SYARAT KUALITAS PRODUK HASIL HUTAN
Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan gambaran
syarat-syarat kualitas untuk berbagai produk hasil hutan.
Tujuan Khusus : Secara khusus, Bab ini bertujuan untuk memberikan kemampuan
kepada mahasiswa untuk dapat menganalisa persyaratan kualitas kayu untuk
berbagai macam produk kehutanan seperti syarat kualitas kayu gergajian, penghasil
serat, produk komposit dan penghasil energi.
64
65
Wood Quality
Requirements
Mechanical
(strength)
Stability
Anatomical
Chemical
stiffness
Density/BJ
microfibril
angle
strength
Density/BJ
cell wall
thickness
extractives
hardness
Density/BJ
cell wall
thickness
distortion
growth stress
microfibril
angle, cell wall
thickness
lignin
shrinkage
growth stress
microfibril
angle
extractives
collapse
Density/BJ,
growth stress,
moisture content
microfibril
angle, vessels
colour
sapwood/juvenile
wood
extractives
Density/BJ,
heartwood
cell wall
thickness
extractives
Biological
durability
gluability
Manufacturing
drying
Density/BJ
Log processing
extractives
cell wall
thickness
machining
stiffness,
splits
cell wall
thickness
Density/BJ,
growth stress
tension wood,
cell wall
thickness
Sumber : www.dpi.qld.gov.au/hardwoodsqld/11872.html
66
Tujuan Pemakaian
Persyaratan Teknis
Jenis Kayu
Alat Musik
Cempaka, merawan,
nyatoh, jati, lasi, eboni
Alat Gambar
Arang
Bakau, kesambi,
walikukun, cemara,
gelam, gofasa, johar,
nyirih, rasamala, puspa,
simpur
Bangunan
(Konstruksi)
Balau, bangkirai,
belangeran, cengal,giam,
jati, kapur, kempas,
keruing, lara, rasamala
Korek Api
Lantai (Parket)
Balau, bangkirai,
belangeran, bedaru,
bintangur, kempas, ulin
Moulding
67
Pensil
Perkakas (mebel)
Perkapalan : Lunas
Ulin, kapur
Perkapalan : Gading
Perkapalan : Senta
Perkapalan : Kulit
Bangkirai, bungur,
meranti merah
Perkapalan :
Bangunan dan
Dudukan Mesin
Perkapalan :
Pembungkus as
baling-baling
Tiang
Listrik/telepon
Tong Kayu
(Gentong)
Balau, bangkirai,
pasang
Veneer biasa
Veneer mewah
jati,
68
kesesuaian
penggunaan,
kesesuaian
harga,
dan
kesesuaian
mampu
memberikan
kesempatan
inovasi
pengembangan
dalam
D. BAHAN DISKUSI
1. Syarat umum kualitas kayu untuk konstruksi
2. Syarat umum kayu untuk menghasilkan serat
69
The private forest development has a strategic position in solving the unbalance
supply and demand of wood as the raw material for pulp. The silviculture technique
on several local potential types of wood for pulp isunpopular yet. Therefore, it
becomes a handicap in its development. At present, the applied silviculturetechnique
is still conventional by orientating only at wood productivity aspect without
considering its fiberquality, such as wood physical and chemical characteristics.
Therefore, the silviculture research on plantation forest, especially the private forest
is very important because of its function in improving the wood productivity and
producing high quality wood for pulp. A study on plantation forest silviculture
control on quality of wood for pulp becomes a reference in conducting further
research and development. By using intensively silviculture technique, the high
productivity private forest with appropriate wood quality for pulp and positive effect
for environment is highly expected.
Keywords : Fiber quality, intensively silviculture, private forest, pulp, tree
improvement
70
ABSTRAK
Pembangunan hutan rakyat menempati posisi yang strategis dalam upaya mengatasi
permasalahan ketimpangan antara supply dan demand kayu sebagai bahan baku pulp.
Teknik silvikultur bebeberapa jenis kayu andalan setempat yang berpotensi sebagai
bahan baku pulp belum banyak diketahui, sehingga menjadi kendala dalam
pengembangannya. Teknik silvikultur yang diterapkan selama ini masih bersifat
konvensional yang berorientasi pada produktivitas/riap kayu tanpa memperhatikan
kualitas serat seperti sifat fisik dan kimia kayu. Penelitian silvikultur terhadap hutan
tanaman, khususnya hutan rakyat yang dapat meningkatkan produktivitas dan
menghasilkan kayu pulp berkualitas sangat penting dilakukan. Kajian kontrol
silvikultur hutan tanaman terhadap kualitas kayu pulp menjadi dasar untuk
melakukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut. Dengan teknik silvikultur
intensif diharapkan dapat tercapai hutan rakyat berproduktivitas tinggi dengan kulitas
kayu sesuai untuk bahan baku pulp dan berdampak positif terhadap lingkungan.
Kata kunci : Hutan rakyat, kualitas serat, pemuliaan pohon, pulp, silvikultur
intensif
I. PENDAHULUAN
Kebutuhan kayu untuk bahan baku pulp yang terus meningkat belum tercukupi dari
produksi HTI-pulp di luar Jawa, sementara laju deforestasi hutan alam semakin
besar. Seiring dengan kebijakan revitalisasi industri kehutanan, ketersediaan kayu
untuk memasok bahan baku industri pulp dan kertas menjadi kebutuhan yang
mendesak. Hal ini menjadikan pembangunan hutan rakyat merupakan salah satu
alternatif dalam upaya mengatasi permasalahan ketimpangan antara supply dan
demand bahan baku kayu pulp tersebut. Dengan adanya peluang pembangunan hutan
rakyat penghasil kayu pulp tersebut diharapkan dapat menjadi alternatif usaha untuk
71
72
73
Keterangan
Serat panjang sampai panjang sekali, dinding sel tipis
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
74
75
untuk membuktikan bahwa suatu jenis kayu mampu membentuk struktur tumbuh
yang baik dan menghasilkan kayu yang berkualitas. Cara pemilihan jenis pada aliran
eksperimental ini didasarkan pada serangkaian percobaan yang dirancang dengan
Rancangan Acak Berblok Lengkap (Randomized Complete Block Design).
Dalam percobaan tersebut ulangan dibuat minimal 3 kali, pada setiap blok jenis-jenis
yang diuji harus diacak, sehingga masing-masing jenis yang diuji memiliki peluang
sama dalam memanfaatkan ruang tumbuh. Apabila terdapat perbedaan dalam hal
pertumbuhan pada jenis-jenis yang diuji, perbedaan tersebut bukan disebabkan
karena faktor lingkungan. Blok yang dirancang sebaiknya mewakili perbedaan
lingkungan areal pertanaman. Blok merupakan unit homogenitas terkecil, sedangkan
antar blok kondisi lingkungan berbeda. Uji jenis dapat dilakukan secara multi lokasi
sehingga akan tampak jenis yang pertumbuhannya lebih baik dari jenis lain dalam
kondisi beberapa lingkungan yang berbeda. Masing-masing jenis ditanam dalam
bentuk gross plot misalnya 7 x 7 tanaman, bujur sangkar karena terdapat border
trees. Net plot 5 x 5 tanaman didalam gross plot merupakan pohon yang diukur
pertumbuhannya.
Dalam pemilihan jenis, dapat menggunakan aliran naturalis yang mendasarkan
pendapat pada jenis yang telah beradaptasi cukup lama di tempat tumbuhnya, serta
dengan kelebihan lain misalnya sifat jenis tersebut sesuai dengan pemanfaatan yang
diharapkan sehingga ideal untuk dipilih. Jenis lokal telah lama mampu beradaptasi
dengan lingkungannya, sehingga proses adaptasinya diperkirakan lebih cepat. Oleh
karena itu aliran naturalis cenderung memilih jenis-jenis lokal. Aliran naturalis
mendasarkan kesesuaian jenis dengan lingkungan tempat tumbuh berdasarkan matrik
antara lain curah hujan, lama musim kering pendek, maksimum suhu bulan terkering
tiga bulan, topografi sesuai, tanah, hama dan penyakit (Soekotjo, 2004).
76
Berdasarkan pengamatan dan analisis beberapa sifat yang dimiliki oleh beberapa
jenis kayu rakyat, maka terdapat beberapa jenis kayu andalan setempat yang
potensial untuk dijadikan jenis alternatif dan jenis cadangan (back-up spesies) dalam
pengembangan hutan tanaman penghasil pulp.
4
A. Mindi (Melia azedarach)
Mindi merupakan jenis pohon yang cepat tumbuh, ditanam di semua negara tropis
dan subtropis. Menurut Koorders & Valeton dalam Heyne (1987), mindi tidak
tumbuh dengan liar dan dimanfaatkan sebagai pohon peneduh pada tanaman kopi
dan teh. Mededeling dalam Heyne (1987) menyatakan bahwa kayu mindi agak
ringan dan kasar, berurat lurus dan berwarna coklat merah muda mengkilat dengan
sedikit lembayung. Persebaran jenis mindi meliputi seluruh Jawa, Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Kayu mindi dapat digunakan untuk peti
teh, papan, panil dan vinir hias. Sortimen kayu mindi yang berat baik digunakan
untuk mebel (Departemen Kehutanan, 2000), serta cocok untuk kotak dan batang
korek api (Heyne, 1987).
Sifat fisik mindi di antaranya memiliki berat jenis 0,53 dengan rentang antara 0,42 0,65 dan kelas kuat III-II, penyusutan dari keadaan basah sampai kering tanur adalah
3,3% (radial) dan 4,1% (tangensial), warna kayu teras merah coklat muda bersemu
ungu, gubal berwarna putih kemerahan dan mempunyai batang yang jelas dengan
kayu teras; tekstur kayu sangat kasar; arah serat lurus atau agak berpadu; permukaan
kayu agak licin dan mengkilap indah; pada bidang radial dan tangensial tampak
gambaran berupa pita-pita yang berwarna lebih tua, sedangkan untuk sifat kimia
mindi disajikan pada Tabel 2.
77
Kadar
Selulosa
51,0%
Lignin
30,1%
Pentosan
17,6%
Abu
Silika
Kelarutan
Persentase
Alcohol benzena
2,8%
Air dingin
1,5%
Air panas
3,8%
NaOH 1%
17,2%
78
79
80
Berat jenis kayu merupakan nilai perbandingan berat suatu kayu terhadap volume air
yang sama dengan kayu tersebut, karena kayu mempunyai rongga-rongga maka berat
jenisnya dapat dianalogikan dengan kerapatan kayu. Menurut Daniel dkk. (1995)
perlakuan pemupukan mengurangi berat jenis sebesar 5% tetapi menaikkan
produktivitas sebesar 35%. Berat jenis merupakan satu di antara karakteristik
kualitas kayu yang kuat diwariskan keturunannya dengan kisaran heritabilitas yang
luas antara 0,5 dan 0,8 tergantung pada jenisnya (Dadwell dkk.,1961; Einspahr dkk.,
1964; Elliott, 1970 dalam Daniel dkk., 1979). Oleh karena itu, upaya pemuliaan
pohon untuk memperoleh sifat yang diinginkan akan lebih akurat daripada usaha
manipulasi lingkungan untuk menghasilkan kayu pulp berkualitas.
Pada daun lebar, kenaikan kecepatan pertumbuhan sesudah perlakuan irigasi dan
pemupukan biasanya disertai oleh kenaikan panjang serat (Saucier dan ike, 1972;
Einspahr dkk.,1972., dalam Daniel dkk., 1979). Lignin dibutuhkan pada kayu dengan
tujuan kontruksi karena dapat meningkatkan kekerasan/kekuatan kayu, tetapi tidak
dibutuhkan di dalam industri kertas karena lignin sangat sulit dibuang dan produk
kertas menjadi agak coklat/coklat karena sifat aslinya dan pengaruh oksidasi. Karena
sulit dihilangkan maka diperlukan zat pemutih/penggelentang yang banyak dan
menambah biaya proses produksi. Pada kayu bengkok/condong atau banyak cabang
besar, kandungan lignin dalam batang kayu umumnya meningkat hampir 5%
(Kasmudjo, 1999). Dengan demikian peran pemuliaan pohon dalam usaha
meningkatkan kualitas kayu menjadi penting. Oleh karena itu, diperlukan penelitian
tentang tindakan-tindakan yang dapat mengontrol kualitas kayu sebagai bahan baku
pulp dan sampai sejauh mana karakteristik kualitas kayu dapat dipengaruhi oleh sifat
genetis, manipulasi lingkungan dan kecepatan pertumbuhan.
Para ahli di bidang hutan dan kehutanan dapat mengubah kulitas kayu dengan
beberapa perlakuan antara lain jarak tanam, rasio tajuk aktif dan kecepatan
81
A. Benih Berkualitas
Benih berkualitas dapat dihasilkan dari kebun benih, untuk itu diperlukan langkah
pemuliaan pohon untuk mendapatkannya. Pemuliaan atau seleksi genetik merupakan
langkah yang efektif untuk mendapatkan kayu berkualitas. Hal ini didasarkan pada
indikator kualitas kayu seperti berat jenis, sudut mikrofil, panjang serat dan lain
sebagainya yang diyakini bersifat diwariskan (inherited) dengan tingkat sedang
hingga kuat (Zobel dan Talbert, 1984). Potensi seleksi pohon dalam progam
pemuliaan pohon untuk kerapatan kayu yang tinggi maupun rendah hendaknya
berdasarkan tujuan yang diinginkan. Berat jenis merupakan satu di antara
karakteristik kualitas kayu yang paling dapat diwariskan dengan baik dengan kisaran
heritabilitas yang luas antara 0,5 dan 0,8 tergantung pada jenisnya (Elliot, 1970
dalam Daniel dkk., 1979). Dalam Hardiyanto (2004) dilaporkan bahwa heritabilitas
individu pohon untuk berat jenis kayu dilaporkan sangat tinggi yaitu 0,81.
Heritabilitas untuk panjang trakeid dalam arti luas sekitar 0,7 (Fielding, 1967 dalam
Daniel dkk., 1979).
Program kegiatan dalam pemuliaan pohon untuk menghasilkan kayu pulp berkualitas
terdiri dari:
82
83
benih. Hasil persilangan antar pohon plus diharapkan akan menghasilkan tanaman
dengan kelebihan sifat-sifat sesuai peruntukannya.
3. Perhutanan Klon
Dalam pandangan industri, efisiensi dapat diperoleh jika para ahli silvikultur dapat
meningkatkan keseragaman kayu dan mengurangi variasi yang biasanya terjadi
dalam karakteristik kualitas kayu (Daniel dkk., 1979). Produksi dari hutan tanaman
yang seragam dengan sifat-sifat kayu sesuai dengan peruntukannya dapat diperoleh
dengan sistem pengembangan perhutanan klon. Materi vegetatif berupa klon dapat
diambil dari pohon plus hasil seleksi yang ditanam dalam suatu kebun klon. Kebun
klon atau bank klon adalah tempat menyimpan klon-klon hasil seleksi pohon plus
tersebut. Untuk membuktikan apakah klon-klon yang dihasilkan mampu membentuk
strukur tumbuh yang bagus dan kualitas kayu yang baik maka dilakukan Clonal
Field Test (CFT). Hasil dari CFT ini dapat dijadikan dasar untuk pemilihan klonklon yang akan dikembangkan dalam hutan tanaman. Untuk mengetahui apakah klon
terseleksi dapat membentuk struktur tumbuh yang baik dan seragam, maka dilakukan
penanaman klon terseleksi. Setiap klon ditempatkan dalam satu blok penanaman,
sehingga akan tampak tingkat keseragaman pertumbuhan klon terseleksi tersebut.
7
4. Uji keturunan
Uji keturunan merupakan cara untuk membuktikan bahwa pohon-pohon plus
mempunyai sifat unggul secara genetik berdasarkan sifat-sifat keturunannya. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara menanam benih yang dihasilkan dari famili-famili
dalam CSO dalam suatu rancangan uji keturunan. Hasil dari uji keturunan ini adalah
dapat diketahuinya famili-famili di dalam CSO yang mempunyai sifat unggul misal
kualitas kayu baik dibanding famili lain berdasarkan keturunannya. Informasi
84
keunggulan
sifat
suatu
famili
digunakan
untuk
melakukan
penjarangan
85
tanam terutama mempunyai pengaruh yang baik terhadap kelurusan batang jenis
daun lebar dan menyebabkan cabang-cabang bawah mati. Rasio tajuk aktif juga
dapat dikontrol langsung oleh pangkasan cabang selain dengan jarak tanam rapat
(Daniel dkk., 1979). Menurut Fielding dalam Daniel dkk. (1979) ukuran cabang
mempunyai heritabilitas paling rendah yaitu 0,3. Hal ini berarti percabangan sangat
dipengaruhi oleh lingkungan atau ruang yang dipunyai untuk berkembang. Ukuran
cabang pada pohon intoleran dapat diminimalkan oleh pengaturan jarak tanam yang
rapat. Kontrol jarak tanam rapat terutama mempunyai pengaruh yang baik terhadap
kelurusan batang daun lebar yang mempunyai kecenderungan membengkok jika
jarak tanam lebar. Jarak tanam rapat akan menyebabkan cabang-cabang bawah mati
pada pohon intolerant dan memacu pertumbuhan meninggi karena persaingan
perolehan cahaya yang ketat sehingga batang pohon berkompetisi mencapai posisi
ketinggian dominan. Lignin biasanya terakumulasi pada titik-titik percabangan maka
usaha mengurangi percabangan menjadi hal yang perlu dilakukan untuk
menghasilkan kayu pulp berkualitas. Pertumbuhan awal yang cepat karena jarak
tanam yang lebar menyebabkan penurunan panjang serat dan berat jenis kayu,
menghasilkan mata kayu yang besar dan lebih merata. Berat jenis yang menurun
karena pertumbuhan awal cepat disebabkan oleh meningkatnya porsi kayu awal.
C. Singling
Penunggalan batang yang tumbuh lebih dari satu (multistem) perlu dilakukan agar
dihasilkan tegakan satu batang dengan pertumbuhan dan kualitas kayu lebih bagus.
Pertumbuhan tanaman dengan batang lebih dari satu menyebabkan batang-batang
tersebut rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Kualitas kayu batang tunggal
juga relatif lebih baik karena seluruh energi tersalurkan pada batang tersebut
sehingga pertumbuhannya optimal. Pertumbuhan batang lebih dari satu juga lebih
banyak memerlukan waktu dalam kegiatan pemanenan sehingga menimbulkan biaya
86
yang lebih besar. Tindakan singling perlu dilakukan sedini mungkin agar tidak
terlambat menghasilkan batang tunggal berkualias. Pada kasus A. mangium, tindakan
ini dilakukan sebelum tanaman berumur 3 bulan sehingga batang belum tumbuh
besar dan kegiatan singling lebih mudah.
8
D. Pruning
Menurut Daniel dkk. (1979) tajuk hidup pohon merupakan posisi tempat auksin dan
karbohidrat diproduksi, dan keberadaan serta kelimpahan materi ini berpengaruh
kuat pada perluasan kayu muda dan proporsi kayu awal terhadap kayu akhir.
Pemangkasan cabang menurut para ahli silvikultur merupakan upaya untuk
menghasilkan batang tanpa cacat mata kayu (knot), sehingga meningkatkan kualitas
batang. Pemangkasan cabang-cabang yang merupakan tajuk aktif perlu dilakukan
untuk
mendorong
pertumbuhan
tinggi
sehingga
dihasilkan
batang
lurus.
87
E. Pemupukan
Menurut Daniel et al., (1979) perlakuan pemupukan mengurangi berat jenis sebesar
5% tetapi menaikkan produktivitas sebesar 35%. Pada jenis daun lebar, respon
umum terhadap pemupukan dan penjarangan sedikit menaikkan berat jenis pada
jenis yang berpori tersusun melingkar dan tidak berpengaruh sama sekali pada semua
jenis berpori tersebar (Mitchel, 1972; Saucier dan Ike, 1972; Daniel et al.,1995).
Pada konifer kenaikan kecepatan pertumbuhan setelah penjarangan dan pemupukan
terjadi bersama-sama dengan penurunan panjang trakeid dan berkurangnya ketebalan
dinding sel, sedangkan pada daun lebar, kenaikan kecepatan pertumbuhan sesudah
perlakuan irigasi dan pemupukan biasanya disertai kenaikan panjang serat (Posey
1964; Cown, 1972 dalam Daniel dkk., 1979). Meningkatnya kesuburan tanah akan
mengakibatkan kandungan selulosa meningkat, berkurangnya lignin dan berat jenis
kayu tanpa menyebutkan secara spesifik jenis daun lebar atau konifer (Haroen,
1997). Pengaruh kenaikan kecepatan pertumbuhan akibat pemupukan biasanya
termasuk pengurangan panjang trakeid dan serat kayu, persentase selulosa, kayu
akhir dan berat jenis. Kenaikan bisa terjadi dalam persentase lignin, lebar lingkaran
tahun, volume dan persentase kayu awal sehingga menurunkan berat jenis. Kenaikan
volume produksi akibat kecepatan pertumbuhan biasanya lebih besar daripada
mengimbangi setiap kemungkinan perubahan yang tak diinginkan dalam
karakteristik kualitas kayu yan diproduksi. Menurut Wright dalam Soeseno (1985),
kebanyakan sifat-sifat pohon dikendalikan oleh gen dan lingkungan. Menurut
Soerianegara (1970), pertumbuhan diameter sebenarnya lebih kuat dipengaruhi oleh
faktor lingkungan daripada faktor genetik karena pertumbuhan diameter tanaman
merupakan fungsi dari ruang tumbuh. Pertumbuhan tinggi tanaman sering dianggap
sebagai fungsi kesuburan tanah (Daniel et al.,1979). Karakteristik kualitas kayu lebih
efektif diperoleh dengan progam pemuliaan pohon dengan cara menyeleksi sifat
yang dapat diturunkan dengan baik, seperti berat jenis, panjang trakeid, sudut
88
percabangan dan serat terpuntir serta pohon-pohon yang cepat tumbuh. Dalam
pandangan industri, efisiensi dapat diperoleh jika para ahli silvikultur dapat
meningkatkan keseragaman dan mengurangi variasi yang biasanya terjadi dalam
karakteristik kualitas kayu (Daniel dkk, 1979).
F. Penjarangan
Penjarangan adalah salah satu tindakan silvikultur untuk memberikan ruang tumbuh
yang lebih baik pada pohonpohon terpilih, dan menghilangkan individu pohon yang
tidak terpilih/cacat. Menurut Soekotjo (2004) pengaruh yang ditimbulkan akibat
tindakan penjarangan adalah (1) memacu pertumbuhan diameter pada individu
tegakan tinggal, (2) pada saat dilakukan penjarangan, total luas bidang dasar tegakan
per satuan luas akan menurun, disusul oleh pertumbuhan berikutnya, (3) hasil akhir
penjarangan, yaitu pada akhir rotasi, akan dihasilkan rerata diameter tegakan tinggal
yang lebih besar daripada bila tidak dilakukan penjarangan, (4) menghambat atau
mengurangi penularan hama dan penyakit, dan (5) mengurangi kematian pohon
secara alami. Jika ruang tumbuh sangat lebar maka akan memacu tumbuhnya
percabangan berukuran besar, ukuran mata kayu (knot) juga menjadi besar yang akan
berpengaruh terhadap kualitas kayu, sehingga perlu pekerjaan pemangkasan cabang.
Dengan semakin cepatnya pertumbuhan diameter, kecenderungan munculnya
jaringan kayu muda lebih besar, berarti akan menurunkan kualitas kayu. Penjarangan
sebaiknya ditunda sampai setelah jangka waktu pembentukan kayu juvenil selesai.
Dengan cara ini diharapkan akan terhindar dari inti juvenil yang besar sehingga
didapatkan kayu dewasa yang rapat dan seragam. Pada jenis A. mangium yang
dikembangkan di HTIpulp tidak terdapat kegiatan penjarangan, kecuali konversi
fungsi menjadi kayu pertukangan.
89
V. PENUTUP
IPTEK yang berkaitan dengan kayu pulp, industri pulp dan kertas di antaranya teknik
silvikultur, pemuliaan pohon, teknik kimia, ekonomi, biologi, teknologi hasil hutan,
teknik lingkungan dan lain-lain, sangat diperlukan untuk menghasilkan penelitian
yang komprehensif sehingga bisa menjadi dasar kebijakan dalam pengembangan
hutan tanaman, khususnya hutan rakyat pulp. Dengan dukungan IPTEK tersebut
diharapkan hutan rakyat menghasilkan kayu pulp dengan produktivitas tinggi dan
berkualitas sehingga mampu berkompetisi dalam pasar dalam negeri maupun ekspor.
90
Kajian silvikultur hutan rakyat penghasil pulp ini dapat dijadikan dasar dalam
penelitian dan pengembangan untuk menyediakan alternatif pilihan bagi petani
dalam usaha di bidang hutan rakyat penghasil pulp.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin. Z, Irawan W. Kusuma, Agus S. Budi, Sipon Muladi and Edi Sukaton, 2005
The Morphologies of Pulp Fiber from Four Hardwood Species in Realation to Paper
Strength.Tropical Wood Properties and Utilization. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Daniel, T.W., J.A. Helms dan F.S Baker, 1979. Prinsip-prinsip Silvikultur.
Terjemahan Joko Marsono dan Oemi Haniin. Edisi Kedua. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Departemen Kehutanan, 2000. Statistik Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
Tahun 1999/2000. Jakarta.
Haroen,W.K, Uzair dan Nursyamsu Bahar, 1997. Kualitas Pulp Kertas Acacia
mangium Berbagai Umur Tanaman. Berita Selulosa Vol XXXIII, No. 4. Bandung.
Heyne. K, 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Badan Litbang Kehutanan.
Departemen Kehutanan.
Hardiyanto, E.B, 2005. Beberapa Isu Silvikultur dalam Pengembangan Hutan
Tanaman. Makalah Seminar Peningkatan Produktivitas Hutan. Fakultas Kehutanan
UGM. Yogyakarta.
Kasmudjo, 1999. Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Martawijaya A., Iding Kartasudjana., Y.I. Mandang., Soewanda Among Prawira dan
Kosasi Kadir, 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Departemen Kehutanan Bogor.
Mindawati, N., 2007. UKP Silvikultur Hutan Tanaman Kayu Pulp. Badan Litbang
Kehutanan. Bogor.
Muliah, 1976. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Berat Jenis Kayu. Berita Selulosa,
Vol XII No 1.Bandung.
91
92
DAFTAR PUSTAKA
93
Irwanto,
2006.
Usaha
Pengembangan
Jati
(Tectona
grandis
L.f).
www.google.co.id/search?hl=id&client=firefox-a&channel=s&rls=org.mozilla%3AenUS%3Aofficial&q=%22Bentuk+Pohon+dan+Kualitas+Kayu%22&btnG=Telusuri&meta=
[Diakses tanggal 10 Januari 2009]
Koga, S, and S.Y. Zhang. 2002. Relationships between Wood Density and Annual
Growth Rate Component in Balsam Fir (Abies Balsamea). Wood and Fiber
Science. Vo. 34 (1). Pp. 147.
Muhdin. 2003. Dimensi Pohon dan Perkembangan Metode Pendugaan Volume Pohon.
www. tumoutou.net702_07134muhdin.htm.htm [Diakses tanggal 10 Januari 2009]
Prayitno, T.A., 2007. Pertumbuhan Pohon dan Kualitas Kayu. Program Studi Ilmu
Kehutanan. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Pandit, I.K.N. 2006. Variabilitas Sifat Dasar Kayu. Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Panshin, A.J. and Carl de Zeeuw, 1980. Textbook of Wood Technology. Vol. I.
McGraw Hill Book Co. N.Y., London
Prawirohatmojo, S., 2003. Pembentukan Kayu Teras. Fakultas Kehutanan.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan.
Smith, D.M., B.C. Larson, M.J. Kelty and P.M.S. Ashton. 1997. The Practice of
Silviculture : Applied Forest Ecology. Ninth Edition. John Wiley & Sons.
Inc. New York.
Schimleck, L.R., Robert, E., P.David, J., Daniels, R,F., Peter, G.F., and Clark, A.,
2005. Estimation of Microfibril Angle an Stiffness by Near Infrared Samples
Set Having Limited Wood Density Variation. IAWA Journal, The
Nederlands. Vol. 26 (2) Pp. 175-187.
94
Thojib, A., 1988. Fisiologi Pohon Terapan. Kerjasama Fakultas Kehutanan Gadjah
Mada dengan Proyek Pendidikan dan Latihan dalam Rangka Peng-Indonesiaan Tenaga Kerja Pengusahaan Hutan. Yogyakarta.
Tsoumis, G. 1991. Science and Technology of Wood. Structure, Properties,
Utilization. Van Nostrand Reinhold. New York.
Wahyudi, I. 2009. Pertumbuhan Pohon dan Kualitas Kayu. Bahan ajar Sekolah
Pascasarjana, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Yunianti, A.D., 2003. Pengaruh Penjarangan terhadap Sifat Dasar Kayu Acacia
mangium. Prosiding Seminar Nasional Mapeki V. Bogor. ISBN; 97996348-2-2. Pp. 36-39.
Zobel, B., 1984. The Changing Quality of The World Wood Supply. Wood Science
and Technology. Springer-Verlag18. Pp 1-17
95