www.sinergivisiutama.com
perubahan
tersebut
bertentangan
atau
mengganggu
kepentingan individu. Keengganan individual dalam menerima
perubahan juga dapat terjadi karena adanya kekuatan kelompok
informal dalam organisasi. Ketika seorang pegawai bersedia
untuk melakukan perubahan baik sifat maupun pekerjaannya,
tetapi karena dipengaruhi oleh serikat pekerja yang memaksanya
untuk tidak mau melakukan perubahan tersebut, maka terjadi
penolakan terhadap perubahan atau juga sering disebut dengan
mental blok. Organisasi pada dasarnya memiliki budaya yang
tertanam untuk menghasilkan kemantapan/kemapanan. Pada
suatu organisasi, pekerjaan telah didesain sedemikian rupa
untuk dilaksanakan, para pegawai telah dibekali pelatihan dan
ketrampilan, job description yang jelas dan prosedur yang sudah
tertanam pada semua anggota organisasi. Ketika terjadi
perubahan pada organisasi hal-hal yang telah tertanam secara
strukural ini kerapkali menjadi kendala dalam perubahan.
Artinya apabila suatu perubahan terjadi pada salah satu sub
sistem dan mengakibatkan perubahan pada sub sistem yang
lainnya secara keseluruhan, maka kemungkinan besar
perubahan akan ditolak.
5.1.1.4. Struktur Organisasi
Struktur Organisasi adalah sistem formal tentang hubungan
tugas dan wewenang yang mengendalikan bagaimana tiap individu
bekerjasama dan mengelola sumberdaya yang tersedia untuk
mewujudkan tujuan. Struktur Organisasi sebagai bentuk formalitas
untuk mencapai koordinasi di antara pola-pola interaksi yang terdapat
atau terjadi di antara para warga organisasi: (a) merumuskan dan
menetapkan bagaimana tugas-tugas dialokasikan; (b) menetapkan
siapa harus lapor dan bertanggung jawab kepada siapa; (c)
merumuskan mekanisme koordinasi dan pola interaksi yang harus
ditaati oleh anggota organisasi.
Struktur organisasi terdiri dari tiga komponen atau unsur-unsur
sebagai berikut: pertama, kompleksitas yang berkaitan dengan
peragaman atau diferensiasi dalam organisasi; kedua, formalisasi yang
berkaitan dengan tingkat banyaknya aturan-aturan regulasi, dan
prosedur untuk mengatur dan mengarahkan perilaku para pegawai;
dan ketiga,sentralisasi yang menyangkut lokasi pada satu pengambilan
keputusan (Atmosudirdjo, 1999).
Kompleksitas merujuk pada tingkat diferensiasi (pemisahan
tugas-tugas yang ada pada suatu organisasi). Semakin kompleks
organisasi, semakin dibutuhkan koordinasi, kontrol komunikasi yang
efektif. Diferensiasi mencakup tiga aspek yaitu : pertama, diferensiasi
horizontal merupakan pemisahan horizontal antar unit-unit organisasi
berdasarkan perbedaan orientasi unit organisasi. Diferensiasi
horizontal dipisahkan juga berdasarkan bidang/urusan pemerintahan,
kewenangan yang dimiliki dan pengelompokan bidang tugas organisasi.
e)
f)
g)
h)
memegang
kekuasaan.
Apakah
monomorphic
atau
polymorphic.
Struktur
otoritas
yang
monomorphic
menggambarkan
bahwa
bermacam-macam
kekuasaan
dipegang oleh satu orang yang sama. Sedangkan struktur
otoritas polymorphic menggambarkan bahwa kekuasaan
dipegang oleh orang yang berbeda-beda. Struktur otoritas
yang baik adalah polymorphic karena akan memudahkan
mengendalikannya dan meminta pertanggungjawabannya.
Struktur komunikasi
Struktur komunikasi mencerminkan pola komunikasi yang
ada di dalam suatu organisasi, yaitu searah atau dua arah.
Pola komunikasi searah hanya dari atas ke bawah.
Sedangkan pola komunikasi dua arah adalah bersifat timbal
balik dari atas ke bawah dan bawah ke atas untuk
memberikan umpan balik kepada atasannya. Tentu saja yang
baik adalah yang dua arah.
Struktur tugas
Struktur tugas melukiskan kejelasan tugas-tugas yang harus
dikerjakan yang ada di dalam suatu organisasi: Siapa
mengerjakan Apa, Bilamana, Di mana dan Bagaimana.
Struktur tugas yang jelas akan berpengaruh langsung
terhadap meningkatnya efisiensi, efektifitas dan produktivitas
organisasi. Sebaliknya struktur tugas yang tidak jelas akan
menurunkan
efisiensi,
efektifitas
dan
produktivitas
organisasi.
Struktur kinerja
Status dan kinerja melukiskan apakah yang lebih
diutamakan oleh organisasi adalah yaitu status (prestige)
atau kinerja. Organisasi yang lebih mengutamakan status
pada umumnya lebih rendah dibandingkan dengan
organisasi yang lebih mengutamakan kinerja. Sebaliknya
organisasi yang mengutamakan kinerja akan lebih unggul
dibandingkan dengan organisasi yang lebih mengutamakan
status.
Jarak psikologis
Jarak psikologis mencerminkan besarnya jarak psikologis
antara pemimpin tertinggi dan bawahan terendah di dalam
suatu organisasi. Meskipun jarak fisik antara pimpinan
tertinggi dan bawahan terendah besar, sebaiknya jarak
psikologisnya dibuat sekecil mungkin (peduli terhadap
bawahan). Dengan demikian tidak akan terdapat barier yang
besar
dalam
berkomunikasi
dan
akan
membantu
menyelesaikan masalah yang timbul di dalam organisasi
tersebut.
Masukan juga bisa melalui saluran informasi resmi atau kotak saran
serta surat pengaduan tanpa nama terutama telah terjadinya suatu
kecurangan yang dilakukan oleh anggota organisasi. Banyak organisasi
menggunakan hotline atau menggunakan petugas untuk mencegah
terjadinya kecurangan, internal auditor dan bentuk lainnya yang
memungkinkan manajemen dapat mengetahui terjadinya tindakan
kecurangan secara dini. Untuk menjamin efektifitas hasil kerja suatu
internal investigasi maka Internal investigasi harus siap dan memiliki
akses yang jelas ke pimpinan.
Membangun/membuat pernyataan nilai dan etika perilaku mesti
yang pantas dan dapat dilaksanakan, disusun dari prinsip-prinsip yang
dapat diterima tidak hanya kata-kata mengenai hukum/peraturan,
tetapi juga diikuti dengan penjiwaan atas maksudnya. Seharusnya
aturan perilaku bukan hanya aturan yang keras, bukan dibuat seperti
peraturan yang kaku yang mana tidak dapat untuk menjawab atau
diterapkan pada semua unit dalam organisasi namun perlu dilakukan
observasi mengenai prinsip-prinsip yang dipakai agar dapat dipahami
bukan sekedar peraturan, namun memiliki jiwa yang mencerminkan
sifat-sifat profesionalitas, kejujuran, integritas, dan loyalitas yang tinggi
dalam membentuk organisasi yang bermoral.
Di samping itu organisasi yang suatu unit kerja yang memiliki
otoritas harus berniat membantu dengan sikap mental/pendirian yang
kokoh
dan
konsekuen
serta
memiliki
kemampuan
untuk
menghilangkan timbulnya perilaku curang, melalui proses penegakan
kedisiplinan dan adanya kepatuhan dari para manajer dan staf, proses
harus transparan dan dapat dinilai dengan aturan perlaku yang ada,
bebas dari pengaruh pertentangan kepentingan (conflict of interest).
Kemudian organisasi harus mempublikasikan hasil kegiatan dan
menunjukan perubahan-perubahan yang dilakukan dan mau untuk
memperbaiki apa ada kesalahan. Selain itu manajer harus
bertanggungjawab atas budaya etika dan perilaku para anggota
organisasi. Manajer harus bisa merasakan sakit maupun enaknya
tanggungjawab. Mereka harus menjadi contoh untuk berprilaku dan
menjalani hukuman atas perilaku yang menyimpang. Demikian juga
ketika anggota organisasi diketahui melakukan perbuatan yang tidak
sesuai etika atau terlibat perbuatan curang, investigator harus juga
mengetahui peran yang dilakukan manajer. Bisa saja terjadi manajer
yang jelek akan menyebabkan anggota organisasi melakukan
perbuatan yang menyimpang dari etika dan aturan perilaku.
c. Perekrutan dan Promosi Anggota Organisasi
Setiap anggota organisasi memiliki masing-masing seperangkat
nilai-nilai kejujuran, integritas dan kode etik personal. Ketika suatu
organisasi atau entitas berhasil dalam pencegahan kecurangan,
dipastikan organisasi tersebut sudah memiliki kebijakan-kebijakan
yang efektif yang dapat meminimalkan kemungkinan adanya merekrut
atau mempromosikan anggota organisasi yang memiliki tingkat
Gambar 5.2
Siklus Penataan Tatalaksana (Business Process)
b) Metode
Metodologi penataan tatalaksana (businessprocess) mencakup
dua aspek yaitu teknik pengumpulan data dan analisis. Teknik
pengumpulan data adalah cara-cara pengambilan data atau informasi
sedemikian rupa sehingga data atau informasi yang diperoleh valid dan
merepresentasikan seluruh aspek cakupan kajian. Analisis dalam
kajian tatalaksana lebih fokus pada pemahaman, pemetaan dan
perbaikan seluruh tatalaksana yang ada dalam organisasi sehingga
dapat disusun suatu rekomendasi yang aplikatif sekaligus efektif dalam
Observasi
Telaah
Dokumen
pada semua evaluasi. Semua metode kerja, kegiatan dan situasi dalam
suatu organisasi dapat dievaluasi.
Evaluasi dalam konteks manajemen terutama digunakan untuk
membantu memilih dan merancang kegiatan yang akan datang. Studi
evaluasi dapat menilai atau menduga keadaan yang dihasilkan suatu
kegiatan
dalam
hal
ini
perubahan
organisasi
(mencakup
keluaran/output dan hasil/outcome) dan distribusi manfaat di antara
berbagai kelompok sasaran, dan dapat menilai efektivitas biaya dari
proyek dibanding dengan pilihan lainnya. Jika kegiatan tidak
mempunyai sistem evaluasi yang efektif, bahaya akan meningkat untuk
melanjutkan kegiatan yang tidak menghasilkan manfaat yang
diinginkan. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara
harapan dan kenyataan. Hal yang sangat dipentingkan dalam semua
kegiatan evaluasi adalah kesempurnaan dan keakuratan data. Evaluasi
pada dasarnya merupakan kajian yang merupakan kegiatan mencari
faktor-faktor penyebab timbulnya permasalahan, bukan hanya sekedar
gejala yang tampak dalam permukaan. Karena itu evaluasi merupakan
kegiatan diagnostik, menjelaskan interpretasi hasil analisis data dan
kesimpulan.
Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa dunia akan
selalu berubah, masyarakat berubah, lingkungan berubah dan
semuanya berubah. Pendek kata tidak ada yang abadi kecuali
perubahan itu sendiri. Organisasi pemerintah sebagai sebuah
organisasi terbuka suka atau tidak suka akan menghadapi
perubahanperubahan tersebut. Untuk itu ia harus terus menerus
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi
dilingkungan strategisnya. Dalam rangka mewujudkan organisasi
berkinerja tinggi, langkah akhir dalam proses yang harus dilakukan
adalah tahap evaluasi terhadap kinerja organisasi, sebagai upaya
menuju organisasi berkinerja tinggi.
Proses evaluasi terhadap kinerja organisasi ini penting dilakukan,
karena tanpa evaluasi tidak akan diketahui sampai sejauhmana
organisasi tersebut telah efektif melakukan perubahan menuju
organisasi berkinerja tinggi. Bisa dikatakan bahwa evaluasi terhadap
kinerja organisasi pada hakekatnya adalah sebuah usaha untuk
mengetahui di mana kita nyatanya berada dan di mana kita
seharusnya berada. Dari hasil evaluasi bisa diketahui apa kekurangan
dalam mewujudkan organisasi berkinerja tinggi dan kemudian dapat
dilakukan langkah-langkah intervensi untuk memperbaiki kondisi yang
ada.
Selanjutnya sebagai indikator organisasi berkinerja tinggi dapat
diukur dari hasil kerja organisasi (kinerja) organisasi itu sendiri. Bila
hasil evaluasi ternyata menunjukkan kinerja yang tinggi berarti
organisasi tersebut telah berhasil melakukan perubahan menjadi
organisasi berkinerja tinggi. Akan tetapi sebaliknya bila hasil evaluasi
menunjukkan kinerja yang belum memuaskan, maka perlu dicari
permasalahan apa
berkinerja tinggi.
yang
menghambat
terwujudnya
organisasi
5.1.4.2.
Pendekatan Evaluasi Organisasi
Mengingat pentingnya evaluasi kinerja organisasi untuk
mengetahui tingkat perubahan dalam mewujudkan organisasi
berkinerja tinggi, maka pertanyaan yang muncul adalah:
1) Bagaimana melakukan evaluasi terhadap kinerja organisasi?
2) Pendekatan apa yang digunakan?
3) Indikator apa saja yang pertu diukur sehingga evaluasi yang
dilakukan dapat memberi informasi keadaan yang sebenarnya
dari tingkat kinerja yang ada?
Untuk mengevaluasi kinerja sebuah organisasi bisa digunakan
beberapa pendekatan, yang antara lain adalah sebagai berikut:
1) Pendekatan Tujuan
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang paling umum
digunakan dalam menilai kinerja organisasi, dimana output dan atau
hasil yang ada/dicapai dibandingkan dengan hasil sebelumnya dan
rencana/target yang telah ditetapkan. Dengan kriteria ini kinerja
organisasi ditentukan dengan seberapa jauh pencapaian tujuan
organisasi.
Untuk bisa menggunakan pendekatan ini, ada beberapa hal yang
harus dipenuhi, antara lain:
a) Organisasi mempunyai tujuan akhir yang jelas, yang
tercermin dari visi dan misi yang dimiliki
b) Tujuan-tujuan tersebut diidentifikasi dan ditetapkan dengan
baik agar dapat dimengerti
c) Tujuan-tujuan tersebut sedikit saja agar mudah dikelola
d) Ada konsensus untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
e) Kemajuan kearah pencapaian tujuan tersebut dapat diukur.
2) Pendekatan Sistem/Proses Internal
Organisasi yang berkinerja tinggi harus memiliki proses internal
yang sehat. Organisasi memiliki proses internal yang sehat jika arus
informasi berjalan baik, pegawai mempunyai loyalitas, komitmen,
kepuasan kerja dan saling percaya. Kriteria yang lain adalah
minimalnya konflik yang tidak perlu terjadi serta tidak ada manuver
politik yang merusak dari para anggota. Selain itu, pendekatan ini lebih
menekankan kriteria yang akan meningkatkan kelangsungan hidup
jangka panjang dari organisasi, seperti memperoleh sumber daya,
mempertahankan dirinya secara internal dan berintegrasi dengan
lingkungan eksternalnya. Tujuan akhir tidak diabaikan, tetapi hanya
dipandang sebagai satu elemen di dalam kumpulan kriteria yang lebih
kompleks. Pendekatan ini lebih menekankan pada cara untuk
mencapai tujuan. Hal-hal tersebut di atas didasarkan pada asumsiasumsi sebagai berikut:
No
2.
3.
Tabel 5.1.
Kombinasi Tiga Kumpulan Dasar Nilai Bersaing
Sel
Deskripsi
Organisasi
Fleksibilitas
Means
Fleksibilitas
(Cara)
Organisasi
Fleksibilitas
Ends
Perolehan sumber
No
Sel
4.
Organisasi
Control
5.
Organisasi
Control
6.
Manusia
Control
7.
Manusia
Control
8.
Manusia
Fleksibilitas
9.
Manusia
Fleksibilitas
Deskripsi
(Tujuan)
Means
(Cara)
Means
(Cara)
Ends
(Tujuan)
Means
(Cara)
Means
(Cara)
Ends
(Tujuan)
Perencanaan
Produktivitas
Efisiensi
Penyebaran
informasi
Stabilitas
Pegawai
kohesif
Pegawai
terampil
dan
yang
yang
No.
1.
2.
3.
Indikator Kinerja
CAF
Kepemimpinan
Kebijakan
dan
strategi
Manajemen SDM
BNQP
Visionary
leadership
Focus on the future
Valuing employees
and partners
Organizational and
personal learning
Ability
Managing for
innovation
System perspective
4.
Manajemen dan
proses perubahan
5.
Sumber-sumber
dan kemitraan
eksternal
6.
Hasil-hasil yang
berorientasi pada
pengguna
jasa/masyarakat
Hasil-hasil
manusia (Pegawai)
Customer-driven
excellence
Focus on results
and creating value
Focus on result and
creating value
8.
Dampak pada
masyarakat
Public responsibility
and citizenship
9.
Hasil-hasil kinerja
kunci
Management by
fact
Focus on results
and creating value
7.
Karakteristik
Organisasi Berkinerja
Tinggi
Mempunyai visi yang
jelas
Memberdayakan para
pegawainya
Bersifat fleksibel dan
selalu dapat
menyesuaikan diri
dengan kondisi baru
Selalu berkomunikasi
dengan stakeholders
(pihak yang terkait
kinerja organisasi)
Menetapkan hasil
yang akan dicapai dan
berfokus pada
pencapaian
keberhasilan tersebut.
Memberdayakan para
pegawainya
Memotivasi individuindividu dalam
organisasi untuk
meraih sukses
Selalu
menyempurnakan
prosedur kerja demi
untuk memenuhi
kebutuhan pelanggan
atau masyarakat
Selalu berkompetisi
meningkatkan kinerja
8) Pemerintah
provinsi/kabupaten/kota
pilot
project
reformasi birokrasi
menetapkan
Road Map dengan
peraturan gubernur/bupati/walikota.
e) Mengingat kekhususan Provinsi DKI Jakarta berdasarkan
UndangUndang
Nomor
29
Tahun 2007 tentang
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka
yang ditetapkan sebagai pilot project reformasi birokrasi
adalah pemerintah provinsi.
Sedangkam pelaksanaan reformasi birokrasi nonpilot project
dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Pelaksanaan
reformasi
birokrasi
pemerintah
kabupaten/kota nonpilot projectdapat dilaksanakan mulai
tahun 2012.
b) Pemerintah kabupaten/kota nonpilot projectdikoordinasikan
dalam agenda reformasi birokrasi pemerintah provinsi.
c) Pemerintah provinsi mengajukan usulan kabupaten/kota
nonpilot projectyang telah memenuhi kriteria sebagai berikut:
1) Membentuk Tim Reformasi Birokrasi Kabupaten/Kota;
2) Menyediakan anggaran yang cukup untuk pelaksanaan
reformasi birokrasi dari optimalisasi anggaran yangada;
dan
3) Memiliki komitmen dalam upaya memajukan reformasi
birokrasi yang dibuktikan dengan perolehan prestasi di
bidang pengelolaan birokrasi antara lain opini
Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) minimal Wajar Dengan
Pengecualian (WDP), hasil evaluasi Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah (AKIP) minimal nilai CC, dan Indeks
Kepuasan Masyarakat rata-rata bernilai baik.
d) Tata Cara Pengusulan dan Penetapan
1) Pemerintah provinsi menyampaikan Agenda Provinsi
untuk Reformasi Birokrasi Kabupaten/Kota yang berisi
jadwal, pertimbangan,
dan
prioritas
pelaksanaan
reformasi birokrasi pemerintah kabupaten/kota kepada
TRBN/UPRBN;
2) Menteri melaporkan pengajuan pemerintah provinsi
tentang pemerintah kabupaten/kota nonpilot project
kepada Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional
(KPRBN).
3) TRBN/UPRBN
menyampaikan
surat
pemberitahuan
kepada pemerintah provinsi dengan tembusan kepada
Kementerian Dalam
Negeri
dan
pemerintah
kabupaten/kota
yang bersangkutan untuk memulai
pelaksanaan reformasi birokrasi;
4) Pemerintah
provinsi
menyampaikan
kesediaan
pemerintah kabupaten/kota kepada TRBN/UPRBN untuk
memulai pelaksanaan
reformasi
birokrasi,
dengan
menyampaikan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan;
5) TRBN/UPRBN
melakukan
penilaian
dan
verifikasi
dokumen usulan dan rancangan road map reformasi
birokrasi pemerintah kabupaten/kota;
6) TRBN/UPRBN
menyampaikan
Keputusan
Menteri
tentang Penetapan
Reformasi
Birokrasi
Pemerintah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan, dilampirkan hasil
penilaian
dan
verifikasi dokumen usulan road
mapreformasi birokrasi; dan
7) Pemerintah kabupaten/kota menetapkan road map
dengan peraturan bupati/walikota.
Dokumen persyaratan untuk pilot project dan nonpilot project
sebagai berikut:
a) Surat persetujuan reformasi birokrasi dari Pimpinan DPRD
setempat;
b) Dokumen Usulan sesuai ketentuan yang berlaku; dan
c) Rancangan Road Map Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah.
Dalam pelaksanaan tugas reformasi birokrasi pada pemerintah
daerah TRBN/UPRBN TRBN/UPRBN, mempunyai tugas untuk:
a) Melaksanakan
sosialisasi
mengenai
arah
kebijakan
pelaksanaan reformasi birokrasi pada pemerintah daerah;
b) Memberikan bimbingan teknis mengenai pelaksanaan
reformasi birokrasi pada pemerintah daerah;
c) Melaksanakan program/kegiatan peningkatan kapasitas dan
kemampuan pelaksana reformasi birokrasi pemerintah daerah;
d) Menyelenggarakan
supervisi
pelaksanaan
reformasi
birokrasi pemerintah daerah; dan
e) Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan reformasi
birokrasi
pada
pemerintah
daerah
dalam
rangka
penyusunan profil reformasi birokrasi pemerintah daerah.
Sedangkan Pemerintah provinsi/kabupaten/kota Pemerintah
provinsi/kabupaten/kota mempunyai tugas untuk:
a) Menyusun tim reformasi birokrasi pada masing-masing
pemerintah
provinsi/kabupaten/kota
sesuai
dengan
ketentuan yang berlaku;
b) Menyusun dokumen usulan dan rancangan road map
reformasi birokrasi
pemerintah provinsi/kabupaten/kota
serta menetapkan
road
map dengan
peraturan
gubernur/bupati/ walikota yang bersangkutan;
c) Melaksanakan
tahapan
program/kegiatan
reformasi
birokrasi sesuai
dengan
road
map pemerintah
provinsi/kabupaten/kota yang bersangkutan; dan
d) Melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan reformasi
birokrasi di lingkungan pemerintah daerah masing-masing
berdasarkan pedoman yang ditetapkan.
Gambar 5.3.
Langkah-langkah Teknis PMPRB
Gambar 5.4
Keterkaitan Antar Komponen dan Kriteria Model PMPRB
1) Komponen Pengungkit (Enablers)
Terdapat 5 (lima) kriteria yang menjadi kunci keberhasilan
Komponen Pengungkit, yaitu: Kriteria Kepemimpinan, Kriteria
Perencanaan Stratejik (Renstra), Kriteria Sumber Daya Manusia
Aparatur, Kriteria Kemitraan dan Sumber Daya, dan Kriteria Proses.
(a) Kriteria Kepemimpiman
Kriteria kepemimpinan mencerminkan kapasitas pimpinan
dalam mengarahkan dan mendorong pencapaian visi, misi, tujuan
dan sasaran instansi pemerintah sesuai dengan
nilai yang
disepakati, serta membangun saling percaya, dan mengambil
langkah-langkah
untuk mewujudkannya. Kriteria Kepemimpinan
memiliki 4 (empat) sub-kriteria dan masing-masing sub kriteria terdiri
atas beberapa pertanyaan.
Gambar 5.6.
Contoh Penilian Kriteria Kepemimpinan
(b) Kriteria Perencanaan Stratejik
Kriteria Perencanaan Stratejik
menunjukkan kemampuan
instansi dalam melakukan proses perencanaan yang berorientasi pada
Pertama,
mengidentifikasi, merancang, menerapkan dan
memperbaiki proses bisnis/tatalaksana secara berkelanjutan. Untuk
melakukan penilaian tentang sejauh mana
instansi telah
mengidentifikasi, merancang, menerapkan dan memperbaiki proses
bisnis/tatalaksana
secara
berkelanjutan,
digunakan
beberapa
pertanyaan sebagai berikut.
Apakah instansi telah:
(1) mengidentifikasi, membuat, dan mendokumentasikan proses
bisnis instansi secara berkelanjutan?
(2) mengidentifikasi kebijakan/peraturan yang mengatur proses
bisnis/tatalaksana yang telah diterbitkan oleh instansi?
(3) mengkoordinasikan dan melakukan sinkronisasi proses
bisnis yang ada di dalam instansi?
(4) melibatkan pegawai dan pemangku kepentingan eksternal
dalam desain dan pengembangan proses bisnis?
(5) mereviu
dan
memperbaiki
proses
bisnis
serta
melaksanakan benchmarking berdasarkan evaluasi periodik
dan masukan dari berbagai pemangku kepentingan?
(6) menyempurnakan kebijakan dan peraturan lainnya untuk
memperlancar proses organisasi?
(7) menyusun Standard Operating Procedure (SOP)
(8) mengembangkan dan menerapkan e-government untuk
mendukung efektivitas dan efisiensi implementasi proses
bisnis instansi?
Kedua, mengembangkan dan menyediakan pelayanan yang
berorientasi pada kebutuhan masyarakat/pengguna layanan. Untuk
melakukan penilaian tentang
sejauh
mana instansi telah
mengembangkan dan menyediakan pelayanan yang berorientasi
pada
kebutuhan
masyarakat/pengguna
layanan,
digunakan
beberapa pertanyaan sebagai berikut.
Apakah instansi telah:
(1) melakukan
berbagai
upaya
untuk
mencegah,
meminimalisasi dan menangkal terjadinya korupsi atau
pemberian
gratifikasi
kepada
pegawai
dalam
penyelenggaraan pelayanan publik?
(2) mengembangkan dan menerapkan standar pelayanan
untuk berbagai pelayanan di lingkungan instansi untuk
memberikan tingkat kepastian pelayanan yang lebih baik?
(3) melibatkan masyarakat/pengguna
layanan
untuk
berpartisipasi dalam peningkatan kualitas pelayanan
publik?
(4) menyampaikan
informasi
yang
dibutuhkan
oleh
masyarakat/pengguna layanan secara transparan untuk
mempermudah pelayanan dan menghindari penggunaan
calo?
Gambar 5.7
Contoh skema penilaian komponen pengungkit
2) Komponen Hasil
Komponen Hasil diukur dengan 4 (empat) kriteria kunci
keberhasilan, yaitu: Kriteria Hasil pada Masyarakat/Pengguna
Layanan, Kriteria Hasil pada Komunitas Lokal, Nasional dan
Internasional, Kriteria Hasil pada Sumber Daya Manusia Aparatur,
dan Kriteria Hasil Kinerja Utama. Pengukuran dilakukan terhadap
indikator kinerja internal dan eksternal yang menunjukkan
seberapa
baik
suatu
instansi
mencapai
target
yang telah
ditetapkan.
(a) Kriteria Hasil pada Masyarakat/Pengguna Layanan
Kriteria ini merupakan hasil yang telah dicapai suatu instansi
terkait dengan tingkat kepuasan masyarakat/pengguna layanan.
Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan survei atau kuesioner
untuk mengetahui tingkat kepuasan masyarakat/pengguna layanan
atas layanan yang telah diberikan instansi.
Pertama, hasil pengukuran kepuasan masyarakat/pengguna
layanan.
Untuk
mengetahui
sejauh
mana
kepuasan
masyarakat/pengguna layanan atas kinerja instansi yang telah
diberikan, dilakukan survey kepuasan masyarakat/pengguna layanan
secara keseluruhan. Survey dilakukan secara reguler yang secara
spesifik mrngukur kepuasan masyarakat/pengguna layanan instansi.
Survey tersebut setidak-tidaknya mencakup hal-hal sebagai berikut:
(1) Kualitas layanan yang diberikan;
Gambar 5.8.
Contoh hasil pengukuran kepuasan masyarakat
Kedua,
indikator
pengukuran
yang
berorientasi
pada
masyarakat/pengguna layanan. Indikator ini diukur melalui survey
yang memiliki karakteristik yang sama dengan survey yang dilakukan
KPK, yaitu Survey Integritas Pelayanan Publik, yang dilakukan secara
reguler. Survei ini mengukur tingkat integritas, akuntabilitas dan
transparansi instansi dalam memberikan pelayanan kepada pemangku
kepentingan utamanya, dengan variabel,
indikator, sub indikator
beserta bobotnya sebagai berikut:
(3) Kemampuan
instansi
dalam
mengelola
SDM,
mengembangkan kompetensi pegawai secara sistematis
dan mengelola karir pegawai;
(4) Penghargaan terhadap upaya individu dan tim serta
penghargaan
terhadap
upaya-upaya inovasi di dalam
instansi;
(5) Suasana dan budaya kerja, termasuk hubungan atasan dan
bawahan;
(6) Isu sosial terkait kehidupan pekerjaan dan pribadi/
keluarga;
(7) Kondisi fisik kantor dan ruangan kerja, serta kesehatan
dan keamanan.
Kedua, sub-kriteria indikator dalam hal Sumber Daya Manusia
(SDM) Aparatur. Pengukuran pencapaian hasil pada sub-kriteria
indikator dalam hal SDM Aparatur, dapat dilakukan melalui survei
terhadap antara lain:
(1) Indikator terkait pemantauan produktivitas kerja;
(2) Indikator
terkait
kepuasan
atas
pengembangan
kompetensi/skill;
(3) Tingkat kepuasan atas mobilitas/rotasi pegawai di dalam
instansi;
(4) Motivasi dan keterlibatan pegawai dalam berbagai aktivitas
instansi, seperti tingkat respons survei pegawai, jumlah
usulan untuk inovasi, tingkat partisipasi dalam kelompok
diskusi internal.
(c) Kriteria Hasil pada Komunitas Lokal, Nasional dan Internasional
Kriteria ini menunjukkan pencapaian yang diperoleh oleh
suatu instansi terkait dengan tingkat kepuasan atas tercapainya
kebutuhan dan harapan dari komunitas lokal, nasional dan
internasional.
Pertama, sub-kriteria
Hasil
yang
dirasakan
oleh
para
pemangku kepentingan, berdasarkan hasil pengukuran sosial. Untuk
mengetahui sejauh mana kinerja instansi telah memberikan hasil
yang dirasakan oleh para pemangku kepentingan, instansi dapat
melakukan survei atas hal-hal berikut:
(1) Reputasi instansi di mata masyarakat atas kontribusinya
terhadap masyarakat dan lingkungan;
(2) Dampak sosial/ekonomi terhadap
masyarakat, baik di
tingkat lokal, nasional dan internasional;
(3) Pendekatan atas isu lingkungan hidup serta nilai-niai
kesadaran atas lingkungan;
(4) Etika institusi dan Prinsip Good Public Governance;
(5) Persepsi media atas institusi
Kedua,
sub-kriteria Indikator kinerja dalam bidang
kemasyarakatan yang dicapai oleh institusi. Untuk
mengetahui
sejauhmana pencapaian indikator kinerja yang telah ditetapkan
dalam bidang kemasyarakatan, instansi, dapat melakukan penilaian
melalui survey atas hal berikut:
(1) Hubungan
instansi dengan perwakilan masyarakat dari
berbagai tingkatan sosial;
(2) Dukungan
instansi
atas kegiatan pembangunan yang
bersifat internasional;
(3) Dukungan
instansi
atas
keterlibatan
sosial
antara
masyarakat/pengguna layanan dan pegawai;
(4) Adanya transfer pengetahuan dan informasi pihak lain;
(5) Aktivitas yang dilakukan oleh instansi untuk menjaga
ketersediaan sumber daya dan fasilitas (contoh: pemenuhan
peraturan/standar lingkungan hidup, penggunaan bahan
daur ulang, penghematan dalam penggunaan air, listrik, dan
lainnya)
(d) Kriteria Hasil Kinerja Utama
Kriteria Hasil Kinerja Utama mencerminkan capaian yang didapat
oleh suatu instansi terkait dengan Renstra dan Road Map yang telah
ditetapkan. Kriteria ini terdiri dari dua sub-kriteria, yaitu Sub-Kriteria
Internal dan Sub-Kriteria Eksternal. Sub-Kriteria Internal terkait
dengan manajemen dan perbaikan internal instansi guna mendukung
program dan aktivitas reformasi birokrasi di instansi masing-masing.
Sedangkan Sub-Kriteria Eksternal terkait dengan kebutuhan,
permintaan dan harapan dari berbagai pemangku kepentingan.
Pertama, Sub-kriteria Pemenuhan Target Indikator Internal.
Untuk mengetahui sejauhmana kinerja instansi dalam memenuhi
target indikator internal, yang digunakan adalah Indikator Kinerja
Utama (IKU) yang terkait dengan 'Hasil yang Diharapkan' pada
tingkatan Mikro dari 9 Program Reformasi Birokrasi yang tercantum
dalam Road Map Reformasi Birokrasi 2010 (Permenpan dan RB Nomor
20 tahun 2010).
Kedua, Sub-kriteria Pemenuhan Target Indikator Eksternal. Subkriteria ini menyangkut penilaian terhadap pencapaian IKU dari
masing-masing kementerian/lembaga yang disarikan dari RPJMN
2010-2025, yang mendukung pencapaian keberhasilan reformasi
birokrasi, seperti di bawah ini:
(1) Opini BPK (WTP), yang didasarkan atas 4 kriteria:
i. Kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan
ii. Kecukupan pengungkapan
iii. Kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan
iv. Evektifitas sistem pengendalian internal
(2) Integritas Pelayanan Publik, yang didasarkan atas 2 variabel:
i. Pengalaman integritas
Pengalaman korupsi
Cara pandang terhadap korupsi
ii. Potensi integritas
Lingkungan kerja
Sistem administrasi
Perilaku individu
Pencegahan korupsi
(3) Peringkat Kemudahan Berusaha, yang terdiri dari 8 aspek:
i. Kemudahan Dalam Memulai Usaha (Starting a business)
ii. Kemudahan Dalam Pengurusan Izin Mendirikan Bangunan
(Dealing with construction permits)
iii. Kemudahan Dalam Mendaftarkan Properti (Registering
property)
iv. Usaha Dalam Penegakan Kontrak (Enforcing contract)
v. Usaha Dalam Melindungi Investor (Protecting investors)
vi. Kemudahan Dalam Membayar Pajak (Paying taxes)
vii. Kemudahan Dalam Perdagangan Lintas Batas (Trading
across borders)
viii. Kemudahan Dalam Menutup Usaha (Closing a business)
(4) Instansi Pemerintah Yang Akuntabel, yang terdiri atas 5
komponen, yaitu:
i. Perencanaan kinerja
ii. Pengukuran kinerja
iii. Pelaporan kinerja
iv. Evaluasi kinerja
v. Capaian kinerja
Gambar 5.9
Contoh skema penilaian komponen hasil
Untuk keperluan penilaian tercapainya sasaran dan target
reformasi birokrasi secara nasional, model PMPRB mengelompokkan 6
(enam) indikator
keberhasilan
Reformasi
Birokrasi
Nasional
dikelompokkan menjadi dua kategori:
(1) Empat (4) indikator dikategorikan sebagai Actionable
Indicators; dan
(2) Dua (2) indikator dikategorikan sebagai Non-Actionable
Indicators.
Actionable Indicators artinya Indikator yang menunjukkan
bahwa capaian
suatu
keberhasilan
diperoleh
dari
satu
penilaian/pengukuran yang dapat dipengaruhi atau dicapai secara
langsung oleh berbagai usaha yang dilakukan. Indikator ini
mencakup:
(1) Opini BPK (WTP)
(2) Integritas Pelayanan Publik
(3) Kemudahan Berusaha
(4) Instansi Pemerintah Yang Akuntabel
Non-Actionable Indicators artinya Indikator yang menunjukkan
capaian suatu keberhasilan diperoleh dari gabungan dari berbagai
indikator atau indeks penilaian (composite index) dan bersifat
persepsi atau tidak langsung dapat dipengaruhi. Indikator ini
mencakup:
(1) Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
IPK untuk Indonesia diukur dengan menggunakan hasil
survei (composite index) dari 6 lembaga independen di bawah ini:
i.
ii.
iii.
iv.
v.
vi.
Hasil. Skor yang diperoleh dari hasil survei untuk masing -masing
sub-kriteria pada Komponen Pengungkit akan dikonsolidasikan
dengan skor yang diperoleh dari hasil penilaian bukti. Sedangkan
survei secara eksternal dilakukan untuk kriteria Hasil pada
Masyarakat/Pengguna Layanan serta kriteria Hasil pada Komunitas
Lokal, Nasional dan Internasional.
Bukti dan hasil survei yang diperoleh dan dikumpulkan,
kemudian dianalisis dan dinilai oleh Tim Asesor sebagai dasar
dalam penentuan skor, baik skor untuk masing-masing subkriteria maupun skor akhir untuk masing -masing kriteria. Skor
yang diperoleh dari hasil survei diberikan bobot 40%, sedangkan
yang diperoleh dari hasil penilaian mandiri diberikan bobot 60%,
untuk mendapatkan skorakhir dari masing-masing sub-kriteria dari
Komponen Pengungkit. Skor akhir untuk masing-masing kriteria
dari Komponen Pengungkit diperoleh dari rata-rata skor yang
diperoleh dari masing-masing sub-kriteria (tiap-tiap sub-kriteria
memiliki bobot atau weight factoryang sama besar).
Jika terjadi perbedaan yang signifikan antara hasil survei
dan penilaian bukti, maka dilakukan diskusi dan pembahasan
lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang lebih handal (dengan
tidak merubah skor yang diperoleh dari hasil survei). Penilaian
Kriteria Hasil pada Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur, Hasil
pada Masyarakat/Pengguna Layanan dan Hasil pada Komunitas
Lokal,
Nasional
dan
Internasional
yang
secara
murni
menggunakan hasil survei, diberikan bobot 100%.
Penilaian Kriteria Hasil Kinerja Utama yang terkait dengan
sub-kriteria Pemenuhan Target Indikator Internal dan sub-kriteria
Pemenuhan Target Indikator Eksternal dilakukan secara mandiri
berdasarkan buktibukti yang menunjukkan pencapaian kinerja
instansi atas 9 (sembilan) Program Mikro Reformasi Birokrasi K/L
dan pencapaian kinerja dari Indikator Kinerja Utama (IKU) seperti
yang tercantum pada Lampiran 1 pedoman ini, dengan bobot 100%.
2) Pelaksanaan Survei dan Penetapan Sampel
Survei dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner
untuk kriteria dan sub-kriteria Komponen Pengungkit bersifat
tertutup (closeended questions). Responden yang mengisi kuesioner ini
adalah pegawai instansi pemerintah yang terpilih secara acak.
Kuesioner untuk mendukung survei kriteria dan sub-kriteria Hasil
pada Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur, Hasil pada
Masyarakat/Pengguna Layanan, dan Hasil pada Komunitas Lokal,
Nasional dan Internasional diserahkan kepada masing masing
instansi untuk pendesainan dan pembuatannya, dengan mengacu
pada arahan (guidance) yang telah disampaikan sebelumnya .
Responden untuk survei kriteria Hasil pada Sumber Daya
Manusia (SDM) Aparatur adalah juga pegawai instansi pemerintah
yang terpilih secara acak. Sedangkan responden untuk kriteria
dimana:
n adalah jumlah sampel/responden
N adalah jumlah populasi/pegawai tetap terdaftar diinstansi
d adalah derajat kesalahan (derajat kesalahan di ambil sebesar
5% dengan tingkat keyakinan sebesar 95%)
Besarnya sampel menurut besarnya populasi dapat dilihat pada
Tabel berikut ini:
Berikut adalah tahapan evaluasi mandiri untuk kriteria dan subkriteria dari Komponen Hasil:
(a) Lakukan sintesa penilaian yang menggambarkan Trend
(kecenderungan)
dan/atau pencapaian Target.
Pertama,
lakukan penilaian atas trend pencapaian hasil tertentu. Bila
tidak diperoleh Trend dikarenakan belum memiliki baseline
data, lakukan penilaian apakah
target
yang sudah
ditetapkan
tercapai
atau
tidak.
Derajad ketercapaian
bergantung pada seberapa banyak dan/atau seberapa jauh
pencapaian yang diperoleh dibandingkan dengan targetnya.
Bila lebih dari satu asesor melakukan penilaian, maka
nilai akhir sebaiknya ditentukan melalui konsensus bila
terjadi perbedaan dalam skor.
(b) Khusus untuk Kriteria Hasil pada Sumber Daya Manusia
Aparatur dan Kriteria Hasil pada Masyarakat/Pengguna
Layanan dan Kriteria Hasil pada Komunitas Lokal,
Nasional dan Internasional yang menggunakan hasil survei,
masing-masing instansi diberikan kebebasan
untuk
mendesain kuesioner dan melaksanakan survei untuk
mengetahui substansi hasil.
(c) Buat Rencana Perbaikan.
5.1.6. Evaluasi
5.1.6.1. Pengertian, Metode, Model dan Implementasi Tahapan
Pengertian evaluasi dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti
penilaian; hasil. Menurut Bryan & White (1987), evaluasi adalah upaya
untuk mendokumentasi dan melakukan penilaian tentang apa yang
terjadi dan juga mengapa hal itu terjadi, evaluasi yang paling
sederhana adalah mengumpulkan informasi tentang keadaan sebelum
dan sesudah pelaksanaan suatu program/rencana.
Pengertian evaluasi menurut Charles O. Jones dalam Aprilia
(2009) adalah evaluation is an activity which can contribute greatly to
the understanding and improvement of policy development and
implementation (evaluasi adalah kegiatan yang dapat menyumbangkan
pengertian yang besar nilainya dan dapat pula membantu
penyempurnaan pelaksanaan kebijakan beserta perkembangannya).
Pengertian tersebut menjelaskan bahwa kegiatan evaluasi dapat
mengetahui apakah pelaksanaan suatu program sudah sesuai dengan
tujuan utama, yang selanjutnya kegiatan evaluasi tersebut dapat
menjadi tolak ukur apakah suatu kebijakan atau kegiatan dapat
dikatakan layak diteruskan, perlu diperbaiki atau dihentikan
kegiatannya.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata
Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan;
disebutkan
bahwa
Evaluasi
adalah
rangkaian
kegiatan
membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil
(outcome) terhadap rencana dan standar.
Pertanyaan
Apakah hasil yang diinginkan
telah tercapai?
Efisiensi
Seberapa banyak upaya yang
diperlukan untuk mencapai hasil
yang diinginkan?
Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil
yang diinginkan untuk
memecahkan masalah
Pemerataan Apakah biaya manfaat
didistribusikan secara merata
kepada kelompok-kelompok yang
berbeda?
Responsivitas Apakah hasil kebijakan
memuaskan
kebutuhan/preferensi atau nilainilai kelompok tertentu?
Ketepatan
Apakah hasil (tujuan) yang
diinginkan benar-benar berguna
atau bernilai
Sumber: William N. Dunn (1999; h 609)
Ilustrasi
Unit Pelayanan
Cost-benefit Ratio;
Manfaat bersih; Unit
Biaya
BIaya tetap, Efektifitas
tetap
Criteria Pareto; Kriteria
Kaldor-Hicks: Kriteria
Rawls
Konsistensi dengan
survey warga negara
Program public harus
merata dan eisien
masa yang akan datang. Semakin lama periode evaluasi waktu semakin
sulit mengukur dampak, sebab:
1) Hubungan kausalitas antara program dengan kebijakan semakin
kabur,
2) Pengaruh faktor-faktor lain yang harus dijelaskan juga semakin
banyak,
3) jika efek terhadap individu dipelajari terlalu lama maka akan
kesulitan menjaga track record individu dalam waktu yang
sama.
4) Semakin terlambat sebuah evaluasi dilakukan akan semakin
sulit mencari data dan menganalisis pengaruh program yang
diamati.
b.Selisih antara dampak aktual dengan yang diharapkan.
Selain memperhatikan efektifitas pencapain tujuan, seorang
evaluator harus pula memperhatikan
1) Berbagai dampak yang tak diinginkan,
2) Dampak yang hanya sebagian saja dari yang diharapkan dan
3) Dampak yang bertentangan dari yang diharapkan
c. Tingkat Agregasi Dampak
Dampak juga bersifat agregatif artinya bahwa dampak yang
dirasakan secara individual akan dapat merembes pada perubahan di
masyarakat secara keseluruhan
d. Tipe Dampak
Ada empat tipe utama dampak program:
1) Dampak pada kehidupan ekonomi : penghasilan, nilai tambah
dan sebagainya
2) Dampak pada proses pembuatan kebijakan: apa yg akan
dilakukan pada kebijakan berikutnya
3) Dampak pada sikap publik : dukungan pada pemerintah, pada
program dan sebagainya
4) Dampak pada kualitas kehidupan individu, kelompok dan
masyarakt yg bersifat non ekonomis.
Ada beberapa model yang bisa digunakan sebagai desain evaluasi
kebijakan. Misalnya, objective approach (Tyler), goal free (Schriven),
CIPP (Stufflebeam), hierarchy of evaluation (Kirkpatrick), Naturalistic
(Guba), dan lain-lain.
Evaluasi kebijakan yang menggunakan model Context, Input,
Process, Product (CIPP) dari Stufflebeam, dengan gambaran desain
penelitian CIPP seperti berikut ini:
Gambar 5.10
Model CIPP
5.2. METODE PENELITIAN
5.2.1.Pendekatan Penelitian
Untuk mencapai maksud dan tujuan penelitian sebagaimana
telah dipaparkan dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK), maka
pendekatan yang akan kami gunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Pendekatan Evaluasi
Pendekatan evaluasi yang akan dipergunakan dalam pekerjaan ini
adalah Evaluasi Formal (formal evaluation), yaitu pendekatan
yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghimpun
informasi yang valid mengenai hasil kebijakan dengan tetap
melakukan evaluasi atas hasil tersebut berdasarkan tujuan
kebijakan yang telah ditetapkan dan diumumkan secara formal
oleh pembuat
kebijakan dan tenaga administratif kebijakan.
Pendekatan ini memiliki asumsi bahwa tujuan dan target yang
telah ditetapkan dan
diumumkan (c.q Roadmap Reformasi
Birokrasi Kota Balikpapan tahun 2010-2014) secara formal
merupakan ukuran yang paling tepat untuk mengevaluasi manfaat
atau nilai suatu kebijakan.
Evaluasi formal ini dilaksanakan
level
Kinerja
Standar
Gap
waktu
Dari berbagai definisi mengenai gap analysis, dapat diambil
kesimpulan bahwa secara umum, gap analysis dapat didefinisikan
Tabel 5.2
Operasionalisasi Kepuasan Masyarakat Berdasarkan Konsep SERVQUAL
c.
PERSIAPAN
Pembahasan laporan
Pendahuluan
Penyerahan Laporan
Pendahuluan
Diserahkan
Paling lambat
minggu ke- 3
(tiga) setelah
SPMK
Pendahuluan
FGD I
Penyerahan Laporan
Antara
Diserahkan
Paling lambat
minggu ke- 8
(delapan)
setelah SPMK
FGD 2
FGD 3
Diserahkan
Paling lambat
minggu ke- 12
(duabelas)
setelah SPMK