Tugas HPM
Tugas HPM
q BPKM
Kasus sengketa antara Pemerintah Indonesia dalam perkara Hotel Kartika Plaza
Indonesia telah diputus dalam tingkat pertama oleh lembaga ICSID yang putusannya
berisikan bahwa Pemerintah Indonesia telah dinyatakan melakukan pelanggaran baik
terhadap ketentuan hukum internasional maupun hukum Indonesia sendiri, dimana
Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
telah melakukan pencabutan lisensi penanaman modal asing yang dilakukan oleh para
investor asing seperti AMCO Asia Corporation, Pan America Development dan PT.
Amco Indonesia.
Dalam tingkat kedua yang merupakan putusan panitia adhoc ICSID sebagai akibat dari
permohonan Pemerintah Indonesia untuk membatalkan putusan (annulment) tingkat
pertama yang berisikan bahwa Pemerintah Indonesia dianggap benar serta sesuai
dengan hukum Indonesia untuk melakukan pencabutan lisensi atau izin penanaman
modal asing dan tidak diwajibkan untuk membayar ganti kerugian atas putusan tingkat
pertama, namun Pemerintah Indonesia tetap diwajibkan untuk membayar biaya
kompensasi ganti kerugian atas perbuatannya main hakim sendiri (illegal selfhelp)
terhadap penanaman modal asing.
Putusan tingkat ketiga oleh ICSID pada pokoknya berisikan bahwa Indonesia tetap
dikenakan kewajiban pembayaran terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat
pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing kepada pihak investor yaitu
sebesar US $ 3.200.000 pada tingkat pertama.
Ketiga badan hukum tersebut diatas, telah mengajukan permintaan kepada Mahkamah
Arbitrase ICSID bahwa Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini diwakili oleh badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah dirugikan dan diperlakukan secara tidak
wajar sehubungan dengan pelaksanaan penanaman modal asing di Indonesia.
Pemerintah Indonesia c.q BKPM telah melakukan pencabutan lisensi penanaman
modal asing secara sepihak tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
maka
perlu mendapat perhatian tentang bagaimana proses beracara melalui arbitrase yang
mana dalam UU No 25 Tahun 2007 Pasal 32 (2) dapat dengan cepat dan hasilnya
memuaskan kedua belah pihak, namun dalam praktik menghabiskan 9 tahun.
KASUS PT LIVATECH
Sambil mengelap keringat, mereka antri di dapur umum yang dipersiapkan oleh rekanrekan mereka. Periuk nasi berkapasitas kurang lebih 5 kilogram yang bagian luarnya
hitam pekat mengepulkan asap ketika tutupnya dibuka oleh karyawan lainnya yang
Rabu siang (25/7) itu, bertugas di dapur umum. Sementara karyawan lainnya
mempersiapkan lauk pauk berupa potongan kubis, potongan mentimun, tempe, dan
ayam goreng yang dipotong dalam ukuran kecil.
Beberapa karyawan wanita sambil menggendong buah hatinya, antri mengambil makan
siang di dapur umum depan perusahaan itu. Balita-balita mereka siang itu hanya
diberikan potongan mentimum, untuk dikunyah. Maklumlah, orangtua mereka tak
sanggup lagi membelikan makanan bayi, karena sudah tujuh bulan tidak bergaji.
Tolonglah bantu suarakan nasib kami ini kepada pemerintah. Inilah kondisi kami
sekarang, hanya makan seadanya untuk bisa bertahan hidup, teriak seorang karyawan
wanita, sambil mengambil potongan mentimun di lantai, yang jatuh dari mulut bayinya,
dengan mata berkaca-kaca.
Teriakan sang karyawan wanita ini, spontan diikuti oleh karyawan lainnya. Sambil
memegang piring plastik di tengah antrian, mereka terus meminta, agar nasib mereka
diperjuangkan. Mereka minta Pemko Batam dan DPRD Batam peduli.
Pemandangan memilukan itu tak hanya terlihat di dapur umum. Juga terlihat di depan
pintu masuk perusahaan itu. Puluhan karyawan yang saat itu giliran hadir, mencoba
menghibur bayi-bayi mereka. Sesekali disuapkan nasi putih tanpa lauk ke mulut bayi
mereka. Ada bayi yang berontak, ada juga yang mencoba menguyah lalu dimuntahkan
kembali.
Di depan meja reseption, sebuah ruangan kecil berukuran 1,5 x 2 meter tampak sesak
dengan tas dan beberapa kotak. Seorang wanita tampak lelap dalam tidur siangnya. Di
sinilah kami tidur. Kami sudah tak sanggup lagi bayar kontrakan, jadi mau tak mau
terpaksa kami tidur di sini, mau pulang kampung ongkos tak ada, ujar Marni dan Mega,
sambil mencoba menelan nasi dan lauk pauk dalam remasan jemarinya.
Nasib lebih tragis dialami oleh Eva. Ibu satu anak yang sudah 10 tahun bekerja di
Livatech ini, sudah mengirim anaknya ke orangtuanya di kampung karena tak sanggup
lagi membiayainya. Sepeda motor suaminya sudah di tarik dealer, rumahnya juga
tinggal menghitung hari, akan disegel bank karena sudah beberapa bulan nunggak.
Mau buka usaha tak ada modal, cari kerja sudah sulit, ujarnya.
Japatar Purba yang sudah 13 tahun bekerja di Livatech juga bernasib sama. Istri dan
ketiga anaknya terpaksa ia pulangkan ke kampung halamannya di Medan, karena
beban hidup yang begitu besar menghimpit, setelah tujuh bulan tak bergaji. Saya tetap
bertahan karena menanti hak kami yang belum dibayarkan, ujarnya.
Bagaimana mungkin ada surat pengalaman, kalau Livatech tutup. Padahal kami ini
rata-rata sudah lama bekerja, ada yang sudah di atas 10 tahun, ujar Doddy.
Tak hanya itu, Janji Wali Kota Batam Ahmad Dahlan, bahwa karyawan Livatech bisa
dilayani di puskesmas dan rumah sakit milik pemerintah secara gratis, dengan cukup
menunjukkan badge (tanda pengenal karyawan Livatech), ternyata hanya tinggal janji.
Saat karyawan Livatech ini berobat, masih dimintai kartu Askeskin, sementara mereka
bukan peserta Askeskin.
Komisi IV DPRD Kota Batam yang membidangi perburuhan, yang sejatinya juga bisa
memperjuankan nasib mereka, juga tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, mereka sibuk
dengan kunjungan kerja (kunker) dengan membawa bendera ketenagakerjaan, padahal
hasilnya tidak jelas. Kami berharap pemerintah membantu kami, agar persoalan ini
cepat selesai dan kami bisa mendapatkan hak kami. Jangan hanya janji-janji saja,
pinta Dody.
Tahun ini sangat menyedihkan, biasanya kalau sudah bulan Juli atau jelang puasa,
kami sudah hitung-hitung THR (tunjangan hari raya) yang bakal kami dapatkan. Tapi
sekarang, apa yang bisa kami hitung. Makan saja susah, untung masing ada bantuan
dari PUK SPMI lainnya, ujar Marni, menambahkan dengan mata berkaca-kaca.
Kesengsaraan karyawan Livatech ini, sangat bertolak belakang dengan apa yang
dilakukan oleh Komisi IV DPRD Kota Batam. Komisi yang sejatinya bisa membantu
memperjuangkan nasib mereka, malah saat ini sibuk dengan kunker. Padahal
Ranperda Ketenagakerjaan sudah ditolak dalam sidang Paripurna DPRD Kota Batam.
Jika mekanisme membolehkan, jauh lebih baik anggaran ratusan juta untuk Ranperda
Ketenagakerjaan itu dipergunakan untuk menbantu korban PHK jika memang
pengambil kebijakan di Batam ini mau bijak. (nur)
Menurut Ketua PUK Livatech Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPMI) Jhon
Mauritz, selain mengadukan dugaan penggelapan iuran Jamsostek, karyawan juga
akan mengadukan bos Livatech karena tidak membayar sisa gaji karyawan bulan
Januari.
Sesuai perjanjian, gaji karyawan bulan Januari telah dibayarkan pada 21 Februari lalu
sebesar 50 persen. Dan sisanya akan dibayarkan kembali pada 28 Februari lalu.
Namun, Goh tidak memberikannya karena karyawan tetap mengijinkan managemen
mengangkut mesin-mesin produksi.
gaji para karyawan masih dipotong iuran Jamsostek. Padahal sesuai dengan
laporan yang pernah diungkapkan Kepala Cabang Jamsostek Batam Idrus 8 Februari
lalu, sejak November lalu, managemen Livatech tidak lagi membayarkan iuran
Jamsostek yang mereka potong dari karyawan. Dengan adanya pemotongan pada gaji
Februari lalu, berarti managemen Livatech memiliki utang iuran Jamsostek sebanyak
empat bulan. Perbulannya, managemen harus menyetorkan iuran Jamsostek karyawan
sebesar Rp 145.598.000. Empat bulan menunggak, berarti utang managemen Livatech
kepada Jamsostek sebesar Rp 582.392.000.
KASUS BILABONG
kalau hanya dirutnya saja," ujarnya. Saat ini GRI dan anak usahanya PT Inti Fasindo
Indonesia (IFI) diurus oleh lima Kuasa Direksi. Kelima Kuasa Direksi ini adalah
Kristanto Setyadi (Kuasa Direksi I GRI dan IFI), D Swantopo (Kuasa Direksi II GRI dan
IFI), A Hasanuddin Rachman (Kuasa Direksi III GRI dan IFI), H Doddy Seopardi (Kuasa
Direksi IV GRI) dan Albert Mario Setyawan (Kuasa Direksi IV IFI). GRI dan IFI sejak 16
Februari 2005 dipegang oleh caretaker manajemen, setelah perusahaan ini tidak
mampu membayar utang obligasi kepada Bank Mandiri, Nikko Securities dan publik.
Caretaker tersebut akhirnya berganti nama menjadi Kuasa Direksi yang mendapat
mandat dari Bapepam, Bank Mandiri dan Nikko Securities untuk menyelamatkan
perusahaan garmen ini. Kuasa Direksi telah beberapa kali berganti orang. (ir/qom)
atau
semesteran,
secara teoritis pengawasan memang telah diatur dengan baik tetapi pada praktiknya
belum tentu dilakukan.
diberikan kepada GRI. Pengawasan dan evaluasi bisa dilakukan setidaknya setiap tiga
bulan sekali sehingga meminimalkan risiko kemacetan.
Politik
Suara Karya
JAKARTA (Suara Karya) PT Kemayan Bintan, sebuah perusahaan asing asal Malaysia
yang bercokol di wilayah Dom pak Lama dan Sungai Sudip, Tanjungpinang, Kepulauan
Riau, disinyalir sebagai perusahaan ilegal. Pasalnya, perusahaan tersebut tidak pernah
menyetorkan penyertaan saham asing sebagaimana diatur dalam Surat Persetujuan
Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 01/V/PMA/1996.
Bahkan, perusahaan itu juga diduga tidak pernah menyampaikan laporan secara
berkala yang seharusnya dilakukan seti-ap enam bulan sekali kepada lima instansi
pemerintah, yakni kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) pusat maupun
BKPM daerah setempat, Dirjen Cipta Karya, Dirjen Pariwisata, dan Bank Indonesia,
khususnya terkait kegiatan pelaksanaan proyek penanaman modalnya
"Kepastian itu, kami peroleh setelah dilakukan pengecekan ke instansi yang
bersangkutan,kata Halomoan Hutapea, kuasa hukum masyarakat Dom-pak Lama dan
Sungai Sudip, Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Senin, di Jakarta.
Sebagai contoh dise-butkan, lahan untuk proyek bernomor 8310/9490-09-12239 seluas
780 hektare. Proyek tersebut, berupa pembangunan lapangan golf 36 hole,
pembangunan Marina House (2 unit), pembangunan perumahan berbagai tipe.
PT Kemayan Bintan juga temyata memiliki sertifikat HGB bernomor 00871 di Kelurahan
Dom-pak. Kecamatan Bukit Bestari, Kota Tanjupinang dengan luas lahan mencapai
2.966.550 M2. Namun SHGB tersebut, tidak memiliki surat ukur yang dikeluarkan
instansi terkait
Meski demikian, melalui Kemayan Bintan SDN, BHD PT Kemayan Bintan telah
membukukan tanah seluas 8.295.990 M2 di Malaysia. Padahal, penyediaan tanah yang
disetujui Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua BPKM untuk perusahaan itu,
hanya 780 hektare. "Ini berarti ada selisih 495.990 M2," ujarnya.
Menurut Halomoan, proyek yang dijanjikan perusahaan asing di lahan tersebut, hingga
kini tak kunjung dikerjakan. Sebaliknya, lahan masyarakat yang selama ini digunakan
untuk bercocok tanam, justru dikuasai oleh PT Kemayan Bintan.
Akibatnya, masyarakat mengalami penderitaankarena tidak lagi diizinkan untuk
bercocok tanam di lahan yang telah mereka tempati selama puluhan tahun. Karenanya,
Halomoan meminta Kepolisian, Kejaksaan, dan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan
Mafia Hukum mengusut kasus int. Sebab, diduga kuat bahwa kasus ini telah melibatkan
oknum aparat penegak hukum, khususnya terkait dugaan penyerobotan tanah negara
yang kini sudah berpindah tangan ke perusahaan asing tersebut
Bahkan, PT Kemayan Bintan telah memiliki sertifikat hak guna bangunan (SHGB) atas
lahan seluas 2.966.500 M2 yang diperoleh dari PT Terira Pratiwi Development, sebuah
perusahaan lokal yang dituangkan dalam akta jual beli. Padahal, kata dia, lahan
tersebut merupakan lahan negara yang tidak bisa diperjualbelikan oleh siapa pun,
termasuk oleh PT Terira Pratiwi Development
Padahal sudah lama, masyarakat penggarap telah memiliki sertifikat hak milik, alas hak,
dan hak tebas atas lahan tersebut. Karena itu, kata dia, warga setempat membuat
kesepakatan dengan CV Tri Karya Abadi terkait dengan pengelolaan lahan mereka
Dalam kesepakatan terse-but, warga meminta CV Tri Karya Abadi untuk memanfaatkan
lahan tersebut sebagai tambang biji bauksit guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi
warga sekaligus untuk membuka lapangan kerja bagi warga setempat dengan sistem
sewa pakai.
Komentar
PT Kemayan Bintan memiliki sertifikat HGB bernomor 00871 di Kelurahan Dom-pak.
Kecamatan Bukit Bestari, Kota Tanjupinang dengan luas lahan mencapai 2.966.550 M2.
Namun SHGB tersebut, tidak memiliki surat ukur yang dikeluarkan instansi terkait.
Akibatnya, masyarakat mengalami penderitaankarena tidak lagi diizinkan untuk
bercocok tanam di lahan yang telah mereka tempati selama puluhan tahun. Karenanya,
Halomoan meminta Kepolisian, Kejaksaan, dan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan
Mafia Hukum mengusut kasus int. Sebab, diduga kuat bahwa kasus ini telah melibatkan
oknum aparat penegak hukum, khususnya terkait dugaan penyerobotan tanah negara
yang kini sudah berpindah tangan ke perusahaan asing tersebut
Bahkan, PT Kemayan Bintan telah memiliki sertifikat hak guna bangunan (SHGB) atas
lahan seluas 2.966.500 M2 yang diperoleh dari PT Terira Pratiwi Development, sebuah
perusahaan lokal yang dituangkan dalam akta jual beli. Padahal, kata dia, lahan
tersebut merupakan lahan negara yang tidak bisa diperjualbelikan oleh siapa pun,
termasuk oleh PT Terira Pratiwi Development.
Padahal sudah lama, masyarakat penggarap telah memiliki sertifikat hak milik, alas hak,
dan hak tebas atas lahan tersebut. Karena itu, kata dia, warga setempat membuat
kesepakatan dengan CV Tri Karya Abadi terkait dengan pengelolaan lahan mereka
Dalam kesepakatan terse-but, warga meminta CV Tri Karya Abadi untuk memanfaatkan
lahan tersebut sebagai tambang biji bauksit guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi
warga sekaligus untuk membuka lapangan kerja bagi warga setempat dengan sistem
sewa pakai. Yang mana kesepakata antara kedua pihak telah disetujui oleh walikota.
Kasus DryDock
Pekerja merusak berbagai peralatan milik PT Drydocks World Graha di Batam, Kamis
(22/04). Hal ini terjadi setelah sejumlah tenaga kerja lokal tersinggung dengan
perkataan tenaga kerja asing. REUTERS
TEMPO Interaktif, Batam - Ketua Advokasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Logam,
Metal, Elektornik dan Metal (SPSI-LEM) minta tim Satuan Tugas (Satgas) Presiden ikut
menyelidiki penyebab timbulnya kerusuhan di PT Drydock World Graha TI Tanjung
Uncang, Batam, Kamis (22/4). Sebab, kerusuhan tersebut bisa memicu kerusuhan lain
khususnya yang bersifat rasis.
"Harus tuntas penyelesaian pekerja di semua galangan kapal di Batam," kata Ketua
Advokasi SPSI-LEM Wilayah Batam, Setia Tarigan kepada Tempo di Markas Kepolisian
Kota Besar Batam, Kamis malam (22/4).
serta India misalnya, tinggal di apartemen atau hotel-hotel dengan sistem long stay,
padahal di lapangan jabatan pekerja asing itu sama seperti pekerja Indonesia itu.
Seharusnya meski pekerja Indonesia berdomisili di Batam dan memiliki rumah di Batam
harus ada tunjangan perumahan yang setara sengan pekerja asing itu. "Ini yang tidak
diperuangkan Dinas Tenaga Kerja," cerita Setia.
Bila status masih pekerja harian, maka pihak perusahaan bisa sewenang-wenang untuk
memberhentikan pekerja tersebut dan tidak membayar pesangon. Hal seperti ini
dilaporkan ke pihak Disnaker, tapi tidak ada tanggapan.
Akibatnya ulah pengusaha semakin menjadi-jadi yang seolah-olah pekerja Indonesia
menjadi sapi perah, atau kasarnya dijajah di negeri sendiri. Pekerja pribumi sekarang
tidak lagi memikirkan bekerja atau tidak saat ini, tekad mereka adalah mengusir pekerja
asal India dan pekerja asing lainnya yang merampas hak pekerja Indonesia. "Orang
asing banyak belajar dengan pekerja Indonesia, tapi justru pekerja lokal upahnya
rendah," tegasnya.
Perlunya turun tim Satgas Presiden itu agar bisa mengetahui apa sebenarnya yang
terjadi di Batam. Tidak hanya pekerja di perusahaan galangan kapal yang diperlakukan
diskriminasi oleh pihak asing. Di semua perusahaan elektronik pun sama. Bedanya
pekerja di galangan kapal itu di tempat terbuka dan tingkat emosi yang tinggi,
sedangkan pekerja elektronik berada di dalam dan berpendingin.
Ucapan Ganes, Supervisor Elektrik pekerja asing asal India yang mengatakan orang
Indonesia itu bodoh (stupid) merupakan pemicu saja. Sebenarnya rasa dendam lama
terpendam akibat diskriminasi itu. Waktu itu Ganes memarahi Aditia, bawahan Ganes
dengan kata-kata menyakitkan; "You all Indonesian stupid."
Aditia marah mendengar perkataan itu, dan melakukan aksi dengan menantang Ganes.
Terjadi adu fisik. Teman Aditia yang tidak terima perlakuan Ganes itu langsung
menghajar Ganes. Peristiwa itu kemudian didengar pekerja lain dan langsung
mengeroyok Ganes.
Dalam hitungan menit pekerja lain datang dan berubah mencari semua pekerja asing
asal India. "Ada yang berteriak agar pekerja asing tak beradab, dibunuh," cerita Setia
lagi.
Pekerja lain kemudian melampiaskan kemarahan mereka dengan merusak kantor dan
langsung membakarnya. Tak puas, kaca mobil dipecahkan dan tak lama kemudian api
mumcul dan mulai menjilat kantor. Karena banyak barang mudah terbakar di dalam
kantor, api cepat menjalar ke tempat lain termasuk menjilat kendaraan yang parkir di
depan kantor.
Lalu asap mengepul lagi di gudang penyimpanan barang. Api mulai diketahui pukul
08.30 WIB, dan pada pukul 15:00 WIB didapati 38 unit kendaraan terbakar, dan
sembilan pekerja asing yang umumnya asal India luka berat dan ringan.
Dari keterangan polisi tadi malam, sebanyak 210 pekerja asing asal India dan 170
warga asing lainnya diamankan di Kepolisian Daerah Kepri. Sebanyak 40 orang lainnya
diamankan di Kepolisian Kota Besar Barelang.
Manager PT Drydock Graha TI, Harry mengatakan, sebaiknya semua pekerja asing
asal India segera dipulangkan karena dikhawatirkan emosi pekerja Indonesia yang
belum reda. Tadi malam dikabarkan, ada beberapa pekerja bermaksud melakukan
sweeping ke berbagai hotel, namun berhasil dicegah Kapoltabes Barelang Komiaris
Besar Leonidas Braksan.
Harry mengatakan pihaknya belum bisa menaksir kerugian yang diderita perusahaan.
"Yang jelas semua server komputer habis terbakar," katanya. Kerugian untuk server
saja mencapai lebih dari Rp 1 miliar.
Kapoltabes Barelang Leonidas Braksan mengatakan situasi dalam keadaan aman dan
pihaknya akan mengirim pulang pekerja asal India ke Singapura guna menghindari hal
yang tidak diinginkan.
Rencananya hari ini akan digelar pertemuan antara perusahaan, unsur Muspida Kota
Batam dan Kepri, Konsulat Singapura, perwakilan dari Kedutaan India, Kepala Polisi
Singapura, dan semua serikat pekerja yang ada di Batam. "Pemerintah jangan cepat
menganggap persoalan ini selesai," kata Setia.
Rumbadi Dalle
Komentar
PT Drydocks World Graha di Batam, telah melanggar pasal 10 UU No 25 tahun
2007, yang mana perusahaan tersebut malah mengutamakan tenaga kerja asing dari
pada tenaga kerja Indonesia, pada hal didalam UU penanaman modal diatur bahwa
perusahaan penanaman modal harus mengutamakan tenaga kerja Indonesia.
Dan
didalam pasal 11 di atur juga apabila didalam perusahaan penanaman modal terjadao
perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan untuk diselesaikan secara
musyawarah antara perusahaan penanaman modal dan tenaga kerja. Didala ayat (2)
pasal 11 yaitu jika penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika tidak
mencapai hasil, penyelesaian dilakukan melalui upaya mekanisme tripartit.
Pada kasus PT.Toba Pulp Lestari ini, memang telah merugikan masyarakat setempat,
karena PT tersebut mengeluarkan asap yang membuat masyarakat sekitarnya terkena
penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas). PT tersebut telah terbukti
pencemaran lingkungan.
Didalam KUHPerdata, pada pasal 1365 dan 1366 menjelaskan tentang perbuatan
melawan hukum.
Pada pasal 1365 KUHPerdata, yaitu Tiap perbuatan melanggar hukum yang
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
KUHPerdata , yaitu Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian ynag
disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkankelalaian atau
kurang hati-hatinya
Kasus Dong Jae
2006. Sebelum pergi, Cheon juga menyerahkan pengelolaan PT Dong Joe kepada
teman-temannya asal Korea yang ada di Indonesia. Diserahkan begitu saja.
Sahamnya dikasih ke orang Korea, ucap Eddy Widjanarko, Ketua Umum Dewan
Pengurus Pusat Asosiasi Persepatuan Indonesia (Asprindo).
Akhirnya Cheon pergi membawa dana PT Dong Joe, dana dari perbankan Indonesia,
dan menelantarkan 10.500 karyawannya. PT Dong Joe menghentikan kegiatan
produksinya sejak 13 Oktober 2006. PT Spotec, sister company dari PT Dong Joe,
menyusul tak berproduksi.
Order Adidas Group ke PT Dong Joe dan Spotec itu akhirnya dialihkan ke pabrik lain di
Indonesia, Thailand, Vietnam, dan Cina. Kasus ini tak memengaruhi komitmen kami
untuk tetap berinvestasi di Indonesia, kata William Anderson Head Of Social and
Environmental Affairs Adidas di Asia Pasifik.
Kepergian Cheon meninggalkan utang sebesar Rp 333,46 miliar. Kucuran kredit dari
sindikasi perbankan yang dipimpin Bank Rakyat Indonesia itu meliputi Rp 200 miliar
untuk PT Dong Joedan Rp 133,46 miliar berupa kredit investasi dari Bank Mandiri
untuk PT Spotec. Awal bulan ini, tunggakan PT Spotec ke Bank Mandiri tinggal Rp
99,57 miliar. Mansyur Nasution, Corporate Secretary Bank Mandiri, menuturkan, Bank
Mandiri kini sedang melakukan evaluasi terhadap kredit tersebut.
Tentu saja, karyawan-karyawan Cheon yang jumlahnya 10.500 orang susah
menggantungkan harapannya kepada produsen sepatu merek Reebok, Rockport, Perry
Ellis, Spotec, dan Adidas ini. Mereka tak bisa berharap dari penjualan aset kedua pabrik
karena sudah dijaminkan kepada bank.
Yang jelas buruh tidak dibayar lagi dan ada ke kekhawatiran pengelola pabrik akan
menjual barang-barang yang ada di pabrik, ucap Bambang Wirayoso, Ketua Umum
Serikat Pekerja Nasional. Mereka kini berniat mencairkan dana jaminan hari tua yang
disimpan di PT Jamsostek untuk menutupi kebutuhan sampai ada kepastian tentang
nasib mereka.
Tak hanya itu, pesangon juga tak dibayarkan. Jika dihitung berdasarkan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja, nilai pesangon dan tiga bulan gaji 6.500 pekerja PT Dong Joe
selama dirumahkan sedikitnya Rp 82 miliar. Adapun nilai pesangon pekerja PT Spotec
diperkirakan sedikitnya Rp 24 miliar. Total yang harus diberikan kepada karyawan
terhadap produk alas kaki dari Cina dan Vietnam. Akibatnya, banyak buyer yang melirik
Indonesia. Saat ini order melimpah dan banyak investor yang ingin berinvestasi di
sektor ini, kata Eddy Widjanarko, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi
Persepatuan Indonesia (Asprindo).
Nyatanya, tak sedikit investor yang balik badan. Menurut Eddy, ada beberapa kendala
investasi mendirikan pabrik alas kaki di Indonesia. Antara lain, UU Tenaga Kerja yang
masih belum kondusif. Dia mencontohkan masalah pensiun, pesangon, dan
kesejahteraan. Ini yang membuat investor berpikir ulang untuk berinvestasi, ucap dia.
Selain itu, infrastruktur di Indonesia belum memadai dan harganya cukup mahal. Eddy
memberi contoh, untuk membuat pabrik sepatu baru, listriknya tidak ada. Nah, untuk
mengadakan listrik, pengusaha harus menyewa melalui pihak ketiga. Masalahnya
lainnya ada di perizinan. Untuk mengurus izin usaha, dulu tak sampai enam bulan. Kini,
bisa sampai setahun.
Tak hanya itu. Bea Cukai juga dinilai Eddy turut menghambat masuknya investor baru
ke Indonesia. Contohnya, ketika Asprindo meminta pengetatan impor sepatu dari Cina,
Bea Cukai memenuhinya. Namun, impor bahan baku juga diperketat. Untuk
mengeluarkan bahan baku dari pelabuhan diperlukan waktu satu pekan.
Industri bahan baku sepatu juga susah berkembang di Indonesia. Penyebabnya,
industri bahan baku dikenai PPn sebesar 10%. Padahal, untuk impor hanya kena bea
masuk 3%. Nah, daripada mendirikan pabrik bahan baku sepatu, pengusaha lebih
untung mengimpor.
Bila hambatan tersebut tidak segera dihilangkan, investor akan mundur lagi. Bahkan
saat ini sudah banyak investor yang mengalihkan investasinya ke negara India.
Buktinya, nilai ekspor alas kaki India tahun lalu mencapai US$ 1,5 miliar, sama dengan
nilai ekspor Indonesia. Saat ini nilai ekspor India telah tumbuh menjadi US$ 3 miliar.
Bisa diartikan, banyak investor yang mampir ke India, kata Eddy. o
Bahasa Indonesia oleh Wojowasito, artinya penanaman modal. Investor adalah orang
atau lembaga yang menanamkan modalnya. Dalam Undang-Undang (UU) RI 25/2007
tentang Penanaman Modal.
"Sebelum keputusan, akan ada post hearing brief (penyampaian sesudah sidang
pemeriksaan) atau biasa disebut kesimpulan pada 31 Januari 2009," ujar Jaksa
Pengacara Negara Joseph Suardi Sabda ketika dihubungi Tempo Minggu (14/12).
Pemerintah, lanjutnya, telah menyatakan sikapnya pada sidang pemeriksaan awal
pekan lalu. "Kami katakan penawaran NNT untuk melakukan divestasi sahamnya
bertentangan dengan kontrak," kata Joseph.
Sampai batas waktu yang telah ditentukan, NNT tidak melakukan divestasi saham
kepada pemerintah, yaitu tiga persen pada 2006 dan tujuh persen pada 2007. Padahal,
mengacu pada kontrak karya, NNT wajib mendivestasikan 51 persen sahamnya kepada
pihak nasional, baik pemerintah pusat, pemerintah, daerah, maupun perusahaan
nasional, sampai dengan 2010.
Hal tersebut memicu pemerintah untuk memberikan status lalai pada NNT dan
membawa masalah ini ke arbitrase. Masalah kian bertambah ketika pemerintah
mengetahui NNT ternyata menawarkan saham yang telah tergadai. "Barang yang
digadai tidak boleh dijual. Itu berarti mereka melanggar kontrak," kata Joseph.
NNT telah menggadai 100 persen sahamnya untuk mendapat pinjaman US$1 miliar.
Menurut NNT, penggadaian itu telah mendapat ijin dari pemerintah sehingga
seharusnya tidak menjadi masalah ketika proses divestasi.
"Itu tidak benar. Seharusnya mereka melakukan disclosure (keterbukaan) mengenai
status saham-saham tersebut," ujar Joseph.
Mengacu pada kedua alasan itu, Joseph menambahkan pemerintah memiliki posisi
yang kuat untuk menang. "Kita lihat saja hasil keputusannya tahun depan," tambahnya
Pada Kasus ini PT Newmont Minahasa Raya meninggalkan beban derita terhadap
warga Teluk Buyat dan kerusakan lingkungan hidup yang tergolong berat. Hal ini
diperkuat dalam Laporan Resmi Tim Teknis Penanganan Kasus Pencemaran dan
Perusakan Lingkungan Teluk Buyat Teluk Ratatotok.
PT Newmont Minahasa Raya telah melakukan perbuatan melawan hukum atas
pasal 41 (1) junto pasal 45,46,47 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang
Pencemaran Llingkungan, Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Tetapi PT Newmont Minahasa malah menggugat
kembali walhi selaku warga menggugat balik senilai US$ 100.000 (setara Rp 9 Miliar,
dengan asumsi 1 US$ = Rp 9.000).
Saran Saya:
1. Disarankan dilakukan pemantauan Teluk Buyat oleh pihak PT. Newmont
Minahasa Raya dan juga pemerintah sampai dengan 30 tahun yang akan
datang.
2. Masyarakat setempat yang terkena penyakit mempunyai gejala yang sama
dengan gejala yang diakibatkan terpapar oleh Arsen.
3. Kondisi Teluk Buyat dikategorikan mempunyai resiko tinggi terhadap kesehatan
manusia dengan adanya ikan yang mengandung Arsen dan Merkuri, maka
disarankan untuk mengurangi konsumsi ikan yang berasal dari Teluk Buyat.
4. Perlu dipertimbangkan untuk merelokasi penduduk dusun Buyat Pante ke tempat
lain.
5. Perlu dilakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran peraturan perundangundangan Lingkungan Hidup yang dilakukan oleh PT. Newmont Minahasa Raya.