Anda di halaman 1dari 32

Kasus PT AMCO Limited dengan Pemerintah Indonesia c.

q BPKM

Kasus sengketa antara Pemerintah Indonesia dalam perkara Hotel Kartika Plaza
Indonesia telah diputus dalam tingkat pertama oleh lembaga ICSID yang putusannya
berisikan bahwa Pemerintah Indonesia telah dinyatakan melakukan pelanggaran baik
terhadap ketentuan hukum internasional maupun hukum Indonesia sendiri, dimana
Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
telah melakukan pencabutan lisensi penanaman modal asing yang dilakukan oleh para
investor asing seperti AMCO Asia Corporation, Pan America Development dan PT.
Amco Indonesia.
Dalam tingkat kedua yang merupakan putusan panitia adhoc ICSID sebagai akibat dari
permohonan Pemerintah Indonesia untuk membatalkan putusan (annulment) tingkat
pertama yang berisikan bahwa Pemerintah Indonesia dianggap benar serta sesuai
dengan hukum Indonesia untuk melakukan pencabutan lisensi atau izin penanaman
modal asing dan tidak diwajibkan untuk membayar ganti kerugian atas putusan tingkat
pertama, namun Pemerintah Indonesia tetap diwajibkan untuk membayar biaya
kompensasi ganti kerugian atas perbuatannya main hakim sendiri (illegal selfhelp)
terhadap penanaman modal asing.
Putusan tingkat ketiga oleh ICSID pada pokoknya berisikan bahwa Indonesia tetap
dikenakan kewajiban pembayaran terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat
pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing kepada pihak investor yaitu
sebesar US $ 3.200.000 pada tingkat pertama.
Ketiga badan hukum tersebut diatas, telah mengajukan permintaan kepada Mahkamah
Arbitrase ICSID bahwa Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini diwakili oleh badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah dirugikan dan diperlakukan secara tidak
wajar sehubungan dengan pelaksanaan penanaman modal asing di Indonesia.
Pemerintah Indonesia c.q BKPM telah melakukan pencabutan lisensi penanaman

modal asing secara sepihak tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Komentar Kasus AMCO


Pencabutan izin investasi yang telah diberikan oleh Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM) terhadap AMCO untuk pengelolaan Hotel Kartika Plaza, yang semula
diberikan untuk jangka waktu 30 tahun. Namun BKPM mencabut izin investasi tersebut
ketika baru memasuki tahun ke 9.
Pada kasus Amco vis republic Indonesia tentang pencabutan izin investasi yang
telah diberikan oleh badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) terhadap (AMCO)
untuk pengelolaan Hotel Kartika Plaza, yang semula diberikan untuk jangka waktu 30
Tahun. Namun BPKM mencabut izin investasi tersebut ketika baru memasuki izin
investasi tersebut ketika baru memasuki tahun ke 9. Tuntutan diajukan kepada lembaga
arbitrase ICISD yang bertempat di Washington pada tanggal 15 januari.
Dengan melihat kasus sengketa penanaman Modal asing antara PT AMCO
Limited dengan pemerintah Indonesia c.q BPKM melalui legal dispute pencabutan
lisensi atau izin penanaman modal asing oleh pemerintah Indonesia c.q BPKM

maka

perlu mendapat perhatian tentang bagaimana proses beracara melalui arbitrase yang
mana dalam UU No 25 Tahun 2007 Pasal 32 (2) dapat dengan cepat dan hasilnya
memuaskan kedua belah pihak, namun dalam praktik menghabiskan 9 tahun.

KASUS PT LIVATECH

Sunday, August 5, 2007


Tujuh Bulan Penderitaan Karyawan PT Livatech
Tujuh Bulan Penderitaan Karyawan PT Livatech
Kamis, 26 Juli 2007
Rumah Disegel, Janji Pejabat Hanya Isapan Jempol
BATAM (BP) - Tanggal 29 Juli 2007, genap tujuh bulan PT Livatech Elektronik di Kara
Industrial Park, Batam Centre tutup. Lalu bagaimana kondisi 1.300 karyawannya saat
ini?
JARUM jam tepat menunjukkan pukul 12.00 WIB. Dengan bermandikan keringat,
puluhan karyawan yang baru saja bejalan kaki ke depan Kantor Wali Kota Batam untuk
memperjuangkan nasib mereka, kembali ke markasnya, Gedung Livatech di Kawasan
Industri Kara, Batam Centre.

Sambil mengelap keringat, mereka antri di dapur umum yang dipersiapkan oleh rekanrekan mereka. Periuk nasi berkapasitas kurang lebih 5 kilogram yang bagian luarnya
hitam pekat mengepulkan asap ketika tutupnya dibuka oleh karyawan lainnya yang
Rabu siang (25/7) itu, bertugas di dapur umum. Sementara karyawan lainnya
mempersiapkan lauk pauk berupa potongan kubis, potongan mentimun, tempe, dan
ayam goreng yang dipotong dalam ukuran kecil.

Beberapa karyawan wanita sambil menggendong buah hatinya, antri mengambil makan
siang di dapur umum depan perusahaan itu. Balita-balita mereka siang itu hanya
diberikan potongan mentimum, untuk dikunyah. Maklumlah, orangtua mereka tak
sanggup lagi membelikan makanan bayi, karena sudah tujuh bulan tidak bergaji.

Tolonglah bantu suarakan nasib kami ini kepada pemerintah. Inilah kondisi kami
sekarang, hanya makan seadanya untuk bisa bertahan hidup, teriak seorang karyawan
wanita, sambil mengambil potongan mentimun di lantai, yang jatuh dari mulut bayinya,
dengan mata berkaca-kaca.

Teriakan sang karyawan wanita ini, spontan diikuti oleh karyawan lainnya. Sambil
memegang piring plastik di tengah antrian, mereka terus meminta, agar nasib mereka
diperjuangkan. Mereka minta Pemko Batam dan DPRD Batam peduli.

Pemandangan memilukan itu tak hanya terlihat di dapur umum. Juga terlihat di depan
pintu masuk perusahaan itu. Puluhan karyawan yang saat itu giliran hadir, mencoba
menghibur bayi-bayi mereka. Sesekali disuapkan nasi putih tanpa lauk ke mulut bayi
mereka. Ada bayi yang berontak, ada juga yang mencoba menguyah lalu dimuntahkan
kembali.

Satu-satunya hiburan, hanyalah sebuah televisi berukuran 29 inchi berwarna silver


yang masih menyala di depan pintu masuk perusahaan ini. Meski sesekali tersenyum
menatap adegan di layar kaca itu, namun tak sedikit diantara mereka tatapannya
terlihat hampa, seperti tiada harapan lagi. Di balik meja reception, juga terlihat dua
wanita sedang menikmati makan siang dengan menu nasi putih, sambel, dan potongan
kecil ayam goreng. Sama sekali tak ada sayur, sehingga terlihat sulit untuk menelan.
Namun perlahan, mereka mencoba menghabiskan nasi dan lauk yang seadanya itu,
agar cacing dalam perut mereka tidak berontak.

Di depan meja reseption, sebuah ruangan kecil berukuran 1,5 x 2 meter tampak sesak
dengan tas dan beberapa kotak. Seorang wanita tampak lelap dalam tidur siangnya. Di
sinilah kami tidur. Kami sudah tak sanggup lagi bayar kontrakan, jadi mau tak mau

terpaksa kami tidur di sini, mau pulang kampung ongkos tak ada, ujar Marni dan Mega,
sambil mencoba menelan nasi dan lauk pauk dalam remasan jemarinya.

Nasib lebih tragis dialami oleh Eva. Ibu satu anak yang sudah 10 tahun bekerja di
Livatech ini, sudah mengirim anaknya ke orangtuanya di kampung karena tak sanggup
lagi membiayainya. Sepeda motor suaminya sudah di tarik dealer, rumahnya juga
tinggal menghitung hari, akan disegel bank karena sudah beberapa bulan nunggak.
Mau buka usaha tak ada modal, cari kerja sudah sulit, ujarnya.

Japatar Purba yang sudah 13 tahun bekerja di Livatech juga bernasib sama. Istri dan
ketiga anaknya terpaksa ia pulangkan ke kampung halamannya di Medan, karena
beban hidup yang begitu besar menghimpit, setelah tujuh bulan tak bergaji. Saya tetap
bertahan karena menanti hak kami yang belum dibayarkan, ujarnya.

Penderitaan karyawan Livatech kian menjadi-jadi, setelah beberapa perusahaan


menolak mempekerjakan mereka.

Pengurus SPMI Livatech Dody Irawan mengungkapkan, alasan beberapa perusahaan


menolak eks karyawan Livatech karena Livatech masih bermasalah. Selain itu, ada
juga yang menolak dengan alasan tidak ada bukti pengalaman dan kebanyakan sudah
berumur dan berkeluarga, sementara beberapa perusahaan menginginkan karyawan
yang masih fresh graduate.

Bagaimana mungkin ada surat pengalaman, kalau Livatech tutup. Padahal kami ini
rata-rata sudah lama bekerja, ada yang sudah di atas 10 tahun, ujar Doddy.

Ia juga memaparkan, sebelumnya pihak Disnaker telah menjanjikan akan membantu


karyawan Livatech dalam mencari pekerjaan baru, namun tidak ada realisasi. Kalaupun
sudah ada yang bekerja saat ini, itu usaha pribadi masing-masing. Saya masih ingat
janji Emrizal, karyawan Livatech jadi prioritas, tapi apa, semuanya nihil, katanya.

Tak hanya itu, Janji Wali Kota Batam Ahmad Dahlan, bahwa karyawan Livatech bisa
dilayani di puskesmas dan rumah sakit milik pemerintah secara gratis, dengan cukup
menunjukkan badge (tanda pengenal karyawan Livatech), ternyata hanya tinggal janji.
Saat karyawan Livatech ini berobat, masih dimintai kartu Askeskin, sementara mereka
bukan peserta Askeskin.

Komisi IV DPRD Kota Batam yang membidangi perburuhan, yang sejatinya juga bisa
memperjuankan nasib mereka, juga tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, mereka sibuk
dengan kunjungan kerja (kunker) dengan membawa bendera ketenagakerjaan, padahal
hasilnya tidak jelas. Kami berharap pemerintah membantu kami, agar persoalan ini
cepat selesai dan kami bisa mendapatkan hak kami. Jangan hanya janji-janji saja,
pinta Dody.

Mereka juga mendesak PHI Tanjungpinang untuk segera mengambil langkah-langkah,


agar apa yang menjadi hak karyawan Livatech segera di dapatkan. Pekembangan
terakhir kasus Livatech ini adalah, pesangon dua kali ketentuan, gaji Januari dan
Februari masing-masing 50 persen. Saat ini tahapannya sudah sampai pada teguran
terhadap manajemen Livatech untuk segera membayarkan hak karyawan itu.
Teguran atau disebut juga anmaning itu, sejatinya hanya delapan hari, namun saat ini
anmaining pertama sudah lebih dari satu bulan. Anmaining kedua segera meyusul.
Tuntutan kami hanya satu. Secepatnya apa hak kami, bisa kami kami peroleh. Kami
berharap paling lambat sebelum bulan puasa, pinta Dody dan karyawan Livatech
lainnya.

Tahun ini sangat menyedihkan, biasanya kalau sudah bulan Juli atau jelang puasa,
kami sudah hitung-hitung THR (tunjangan hari raya) yang bakal kami dapatkan. Tapi
sekarang, apa yang bisa kami hitung. Makan saja susah, untung masing ada bantuan
dari PUK SPMI lainnya, ujar Marni, menambahkan dengan mata berkaca-kaca.

Kesengsaraan karyawan Livatech ini, sangat bertolak belakang dengan apa yang
dilakukan oleh Komisi IV DPRD Kota Batam. Komisi yang sejatinya bisa membantu
memperjuangkan nasib mereka, malah saat ini sibuk dengan kunker. Padahal
Ranperda Ketenagakerjaan sudah ditolak dalam sidang Paripurna DPRD Kota Batam.
Jika mekanisme membolehkan, jauh lebih baik anggaran ratusan juta untuk Ranperda
Ketenagakerjaan itu dipergunakan untuk menbantu korban PHK jika memang
pengambil kebijakan di Batam ini mau bijak. (nur)

Komentar Kasus PT Livatech Elektronik

PT Livatech Elektronik Indonesia adalah Penanaman Modal Asing yang


memproduksi komponen elektronik. Perusahaan ini sudah beroperasi 13 tahun di
Batam. Pada tahun 1999 sampai dengan 2001, sempat mencapai puncak kejayaan
dengan mempekerjakan 6.000 karyawan. Pada dua tahun terakhir ini PT Livatech mulai
mengalami kemunduran.
Karyawan PT Livatech Elektronik Indonesia akan mengadukan pemilik
perusahaan Goh Singhing alias Jackson Goh ke Poltabes Barelang. Pengaduan
berkaitan dengan dugaan penggelapan iuran Jamsostek karyawan selama empat bulan
yang tidak dibayarkan Mr Goh kepada PT Jamsostek.

Menurut Ketua PUK Livatech Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPMI) Jhon
Mauritz, selain mengadukan dugaan penggelapan iuran Jamsostek, karyawan juga
akan mengadukan bos Livatech karena tidak membayar sisa gaji karyawan bulan
Januari.
Sesuai perjanjian, gaji karyawan bulan Januari telah dibayarkan pada 21 Februari lalu
sebesar 50 persen. Dan sisanya akan dibayarkan kembali pada 28 Februari lalu.
Namun, Goh tidak memberikannya karena karyawan tetap mengijinkan managemen
mengangkut mesin-mesin produksi.
gaji para karyawan masih dipotong iuran Jamsostek. Padahal sesuai dengan
laporan yang pernah diungkapkan Kepala Cabang Jamsostek Batam Idrus 8 Februari
lalu, sejak November lalu, managemen Livatech tidak lagi membayarkan iuran
Jamsostek yang mereka potong dari karyawan. Dengan adanya pemotongan pada gaji
Februari lalu, berarti managemen Livatech memiliki utang iuran Jamsostek sebanyak
empat bulan. Perbulannya, managemen harus menyetorkan iuran Jamsostek karyawan
sebesar Rp 145.598.000. Empat bulan menunggak, berarti utang managemen Livatech
kepada Jamsostek sebesar Rp 582.392.000.

KASUS BILABONG

Perkara Billabong Bukan Perkara Pidana Tapi Perdata


[Rabu, 11 November 2009]
Berdasarkan keterangan ahli hukum perdata, kasus Billabong semestinya tidak
diperkarakan secara pidana. Sebab perselisihan bersumber dari sengketa bisnis antara
CV Bali Balance dan PT Billabong Indonesia.
Setelah berjalan tiga bulan, persidangan kasus dugaan penggelapan dan perusakan
sarana promosi Billabong memasuki tahap pembelaan (pledoi). Terdakwa Manager
Sales dan Marketing PT Billabong Indonesia, I Wayan Suanda dan tim penasihat
hukumnya membacakan pledoi dalam sidang lanjutan, Senin (9/11) kemarin, di
Pengadilan Negeri Denpasar. Dalam pledoinya, tim penasihat hukum I Wayan
menyatakan kecewa atas tuntutan jaksa lantaran tidak mempertimbangkan seluruh
fakta yang terungkap di persidangan.
Menurut tim penasihat hukum, selama persidangan berlangsung sejak Juni 2009, tidak
ada satu saksi pun yang mengetahui tindak pidana yang didakwakan pada I Wayan.
Bahkan ada beberapa saksi yang menarik pernyataan yang dibuat di hadapan penyidik.
Beberapa saksi juga menyatakan pergantian gambar pada alat promosi Billabong justru
menaikkan tingkat penjualan barang-barang Billabong bagi kalangan retailer di Bali.
Berdasarkan keterangan ahli hukum perdata, Yohanes Sogar Simamora, kasus
Billabong semestinya tidak diperkarakan secara pidana. Sebab perselisihan bersumber
dari sengketa bisnis antara CV Bali Balance dan PT Billabong Indonesia. Perkaranya
harus dituntaskan berdasarkan hukum perdata sesuai dengan perjanjian yang
ditandatangani kedua belah pihak. Yakni, perjanjian lisensi antara CV Bali Balance dan
GSM (Operation) Pty Ltd (Billabong Internasional), pendiri PT Billabong Indonesia.
Ketika memberikan keterangan di persidangan akhir September lalu, Yohanes
menyatakan perjanjian lisensi merupakan perikatan bersyarat putus. Karena, salah
satu klausul menyatakan Billabong International berhak memutuskan perjanjian lisensi
bila I Wayan Suwenda meninggal. Dengan demikian, keputusan GSM International

untuk memutuskan secara sepihak perjanjian lisensi dengan CV BB sudah sesuai


dengan isi perjanjian tersebut.
Pada kesempatan yang sama, ahli hukum pidana Andi Hamzah menyatakan
seharusnya ada putusan perdata lebih dulu sebelum perkara pidana digelar. Hal ini
terkait dengan status kepemilikan sarana promosi Billabong.
Menurut Andi, Pasal 372 KUHP mengenai penggelapan bisa diterapkan jika seseorang
telah menguasai barang secara fisik. Sementara, barang bukti yang disengketakan
tidak dimiliki terdakwa, bahkan masih tetap terpasang ditempatnya. Dengan demikian,
unsur kepemilikan sesuai pasal 372 KUHP tidak terpenuhi dalam kasus ini. Berkaitan
dengan unsur perusakan pada Pasal 406 KUHP yang juga dituduhkan kepada
terdakwa, Andi menyatakan unsur perusakan ini tidak terpenuhi bila suatu barang
diubah/diganti menjadi lebih baik.
Tim kuasa hukum menyatakan seharusnya jaksa penuntut umum mempertimbangkan
keterangan ahli itu dalam tuntutan pidana. Dalam siaran pers yang diterima
hukumonline, penasihat hukum terdakwa, Palmer Situmorang menyatakan I Wayan
hanya menjalankan tugasnya selaku karyawan PT Billabong. Selama beroperasi di
Indonesia, PT Billabong memberikan dampak positif bagi perekonomian melalui
peningkatan kinerja usaha kecil dan menengah, plus penciptaan lapangan kerja.
Sebelumnya, jaksa menuntut I Wayan tiga tahun penjara lantaran terbukti melanggar
pasal 372 KUHP sebagaimana dakwaan kesatu. Dalam dakwaan dijelaskan, terdakwa
bersama dengan Presiden Direktur PT Billabong Indonesia Christopher John James
dalam berkas terpisahmenggunakan sarana promosi CV Bali Balance tanpa izin
sejak Juni 2006 hingga Juli 2007, antara lain lightbox, rak display, cermin dan poster
milik CV Bali Balance yang berada di 34 toko rekanan di Bali.
CV Bali Balance sebelumnya adalah pemegang lisensi merek Billabong dari Billabong
Internasional. Sejak 1991 CV Bali Balance mengembangkan sistem penjualan

konsinyasi untuk produk Billabong. Hasilnya, CV Bali Balance berhasil menggandeng


34 toko di Bali dan 12 toko di luar Bali. Di toko rekanan itulah CV Bali Balance
memasang alat promosi merek Billabong. Belakangan, Billabong Internasional
mencabut lisensi itu. Billabong Internasional kemudian mendirikan PT Billabong
Indonesia.
Sejak Februari 2007 lalu, PT Billabong Indonesia menggunakan alat promosi itu untuk
memasarkan produk bermerek Billabong, antara lain berupa pakaian, jas hujan, alat ski,
dan sepatu. Padahal, terdakwa I Wayan Suanda dan Christoper mengetahui bahwa alat
promosi itu milik CV Bali Balance. Menurut jaksa, perbuatan I Wayan Suanda dan
Christoper mengakibatkan CV Bali Balance menderita kerugian sebesar Rp1.097 miliar.
Selain itu, pada Februari hingga Mei 2007, terdakwa dan Christopher mengubah
gambar-gambar yang terdapat pada lightbox atau poster milik CV Bali Balance.
Perubahan itu dilakukan tanpa seizin CV Bali Balance sehingga perusahaan komanditer
itu berkali-kali menegur PT Billabong Indonesia. Jaksa menilai perbuatan terdakwa dan
Christopher telah merusak atau mengubah atau menghilangkan gambar pada lightbox
dan poster. Karena itu, dalam dakwaan kedua, I Wayan Suanda dibidik dengan Pasal
406 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP.

Komentar Kasus Bilabong


Perselisihan bersumber dari sengketa bisnis antara CV Bali Balance dan PT
Billabong Indonesia. Perjanjian lisensi merupakan perikatan bersyarat putus. Karena,
salah satu klausul menyatakan Billabong International berhak memutuskan perjanjian
lisensi bila I Wayan Suwenda meninggal. keputusan GSM International untuk
memutuskan secara sepihak perjanjian lisensi dengan CV BB sudah sesuai dengan isi
perjanjian
Kasus Great River

Bapepam akan Tambah Tersangka Kasus Great River


Wahyu Daniel - detikFinance
<a href='http://openx.detik.com/delivery/ck.php?
n=a3db6179&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE'
target='_blank'><img src='http://openx.detik.com/delivery/avw.php?
zoneid=31&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&n=a3db6179
' border='0' alt='' /></a>
Jakarta - Badan Pengawas Pasar Modal Lembaga Keuangan (Bapepam LK)
akan menetapkan tersangka baru untuk kasus manipulasi dana obligasi PT Great River
Indonesia Tbk (GRI). Demikian diungkapkan oleh Kabiro Perundang-undangan dan
hukum Bapepam, Robinson Simbolon, dalam jumpa pers di Kantor Bapepam, Jalan
Wahidin Raya, Jakarta, Kamis (10/5/2007). Sebelumnya Bapepam telah menetapkan
Sunjoto Tanudjaja yang juga Dirut GRI sebagai tersangka utama. Namun anak
pengusaha Sukanta Tanudjaja ini masih menjadi buron dan telah ditetapkan Kejaksaan
sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO). Sunjoto ditetapkan sebagai tersangka dalam
kasus pembelian obligasi Great River Rp 50 miliar serta pemberian fasilitas kredit Bank
Mandiri Rp 256 miliar. Menurut Robinson, berkas penyidikan GRI yang telah diajukan
Bapepam ke kejaksaan melalui kepolisian dinilai tidak lengkap. "Kita mendapat surat
dari Kejaksaan sebagai penuntut bahwa masih ada yang harus dilengkapi. Jadi yang
kita lengkapi adalah menambah tersangkanya," jelasnya. "Artinya ada direksi lain,
karena dirut sudah melarikan diri. Dia tersangka utama, tapi karena melarikan diri maka
diminta direksi lain. Tapi mungkin tidak pelaku utama tetapi diberkas secara
bersamaan," imbuh Robinson. Menurut Robinson, dua direktur yang ada sekarang,
selama ini diminta menjadi caretaker untuk menyelamatkan Great River. "Tapi secara
hukum oleh Kejaksaan itu harus dibawa walaupun di dalam posisi saat ini justru
sebenarnya mereka menjaga perusahaan supaya bisa jalan. Ya sudah kita berikan, tapi
sekarang ada pemanggilan lagi," tutur Robinson. Dia memperkirakan pemeriksaan
tersangka baru ini akan diproses dan selesai dalam waktu satu bulan. Sebenarnya
ungkap Robinson, secara prinsip bukti-bukti yang ada saat ini sudah cukup untuk
proses perkara ini ke penuntutan. "Tapi yang di Kejaksaan itu kembali karena untuk
direksinya itu disatukan saja karena kebetulan kalau enggak, nanti ada yang pincang

kalau hanya dirutnya saja," ujarnya. Saat ini GRI dan anak usahanya PT Inti Fasindo
Indonesia (IFI) diurus oleh lima Kuasa Direksi. Kelima Kuasa Direksi ini adalah
Kristanto Setyadi (Kuasa Direksi I GRI dan IFI), D Swantopo (Kuasa Direksi II GRI dan
IFI), A Hasanuddin Rachman (Kuasa Direksi III GRI dan IFI), H Doddy Seopardi (Kuasa
Direksi IV GRI) dan Albert Mario Setyawan (Kuasa Direksi IV IFI). GRI dan IFI sejak 16
Februari 2005 dipegang oleh caretaker manajemen, setelah perusahaan ini tidak
mampu membayar utang obligasi kepada Bank Mandiri, Nikko Securities dan publik.
Caretaker tersebut akhirnya berganti nama menjadi Kuasa Direksi yang mendapat
mandat dari Bapepam, Bank Mandiri dan Nikko Securities untuk menyelamatkan
perusahaan garmen ini. Kuasa Direksi telah beberapa kali berganti orang. (ir/qom)

Komentar Kasus Great River


Bank Mandiri Tbk dinilai melakukan kelalaian dalam melakukan pengawasan
penggunaan kredit terkait kegagalan PT Great River International Tbk (GRI) dalam
membayar kewajiban utangnya di Bank BUMN tersebut. Pengawasan dalam
penggunaan kredit harusnya dilakukan secara reguler terhadap GRI, baik secara
triwulan

atau

semesteran,

secara teoritis pengawasan memang telah diatur dengan baik tetapi pada praktiknya
belum tentu dilakukan.

Bank Mandiri harusnya mengawasi alokasi kredit yang

diberikan kepada GRI. Pengawasan dan evaluasi bisa dilakukan setidaknya setiap tiga
bulan sekali sehingga meminimalkan risiko kemacetan.

Kasus PT Kemayan Bintan

Sebuah Perusahaan Asing di Tanjungpinang Disinyalir Ilegal


11 May 2010

Politik

Suara Karya

JAKARTA (Suara Karya) PT Kemayan Bintan, sebuah perusahaan asing asal Malaysia
yang bercokol di wilayah Dom pak Lama dan Sungai Sudip, Tanjungpinang, Kepulauan
Riau, disinyalir sebagai perusahaan ilegal. Pasalnya, perusahaan tersebut tidak pernah
menyetorkan penyertaan saham asing sebagaimana diatur dalam Surat Persetujuan
Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 01/V/PMA/1996.
Bahkan, perusahaan itu juga diduga tidak pernah menyampaikan laporan secara
berkala yang seharusnya dilakukan seti-ap enam bulan sekali kepada lima instansi
pemerintah, yakni kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) pusat maupun
BKPM daerah setempat, Dirjen Cipta Karya, Dirjen Pariwisata, dan Bank Indonesia,
khususnya terkait kegiatan pelaksanaan proyek penanaman modalnya
"Kepastian itu, kami peroleh setelah dilakukan pengecekan ke instansi yang
bersangkutan,kata Halomoan Hutapea, kuasa hukum masyarakat Dom-pak Lama dan
Sungai Sudip, Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Senin, di Jakarta.
Sebagai contoh dise-butkan, lahan untuk proyek bernomor 8310/9490-09-12239 seluas
780 hektare. Proyek tersebut, berupa pembangunan lapangan golf 36 hole,
pembangunan Marina House (2 unit), pembangunan perumahan berbagai tipe.
PT Kemayan Bintan juga temyata memiliki sertifikat HGB bernomor 00871 di Kelurahan
Dom-pak. Kecamatan Bukit Bestari, Kota Tanjupinang dengan luas lahan mencapai

2.966.550 M2. Namun SHGB tersebut, tidak memiliki surat ukur yang dikeluarkan
instansi terkait
Meski demikian, melalui Kemayan Bintan SDN, BHD PT Kemayan Bintan telah
membukukan tanah seluas 8.295.990 M2 di Malaysia. Padahal, penyediaan tanah yang
disetujui Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua BPKM untuk perusahaan itu,
hanya 780 hektare. "Ini berarti ada selisih 495.990 M2," ujarnya.
Menurut Halomoan, proyek yang dijanjikan perusahaan asing di lahan tersebut, hingga
kini tak kunjung dikerjakan. Sebaliknya, lahan masyarakat yang selama ini digunakan
untuk bercocok tanam, justru dikuasai oleh PT Kemayan Bintan.
Akibatnya, masyarakat mengalami penderitaankarena tidak lagi diizinkan untuk
bercocok tanam di lahan yang telah mereka tempati selama puluhan tahun. Karenanya,
Halomoan meminta Kepolisian, Kejaksaan, dan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan
Mafia Hukum mengusut kasus int. Sebab, diduga kuat bahwa kasus ini telah melibatkan
oknum aparat penegak hukum, khususnya terkait dugaan penyerobotan tanah negara
yang kini sudah berpindah tangan ke perusahaan asing tersebut
Bahkan, PT Kemayan Bintan telah memiliki sertifikat hak guna bangunan (SHGB) atas
lahan seluas 2.966.500 M2 yang diperoleh dari PT Terira Pratiwi Development, sebuah
perusahaan lokal yang dituangkan dalam akta jual beli. Padahal, kata dia, lahan
tersebut merupakan lahan negara yang tidak bisa diperjualbelikan oleh siapa pun,
termasuk oleh PT Terira Pratiwi Development
Padahal sudah lama, masyarakat penggarap telah memiliki sertifikat hak milik, alas hak,
dan hak tebas atas lahan tersebut. Karena itu, kata dia, warga setempat membuat
kesepakatan dengan CV Tri Karya Abadi terkait dengan pengelolaan lahan mereka
Dalam kesepakatan terse-but, warga meminta CV Tri Karya Abadi untuk memanfaatkan
lahan tersebut sebagai tambang biji bauksit guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi
warga sekaligus untuk membuka lapangan kerja bagi warga setempat dengan sistem
sewa pakai.

Kesepakatan tersebut, mendapat persetujuan dari Wali Kota Tanjungpinang, sekaligus


mengeluarkan beberapa izin usaha bagi CV Tri Karya Abadi, seperti izin usaha Nomor
584 Tahun 2008 tentang Ijin Kuasa Pertambangan Eksploitasi Bauksit yang berlaku
sampai dengap 7 Oktober 2009 yang dikeluarkan 7 Oktober 2008.
Sementara itu, mantan anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Joeslin
Nasution menilai, penjualan lahan negara ke perusahaan asing, merupakan sebuah
pelanggaran yang tidak dapat ditolerir. Karena itu, Joeslin meminta aparat penegak
hukum untuk mengusut secara tuntas kasus tersebut.
"Ini menyangkut tanah negara. Tidak boleh sebuah perusahaan menjualnya ke
perusahaan asing. Apalagi penjualan tanah tersebut, justru menimbulkan kesengsaraan
bagi warga setempat yang selama ini menikmati hidupnya dari hasil bercocok tanam,
"ujar Joeslin isucuuio

Komentar
PT Kemayan Bintan memiliki sertifikat HGB bernomor 00871 di Kelurahan Dom-pak.
Kecamatan Bukit Bestari, Kota Tanjupinang dengan luas lahan mencapai 2.966.550 M2.
Namun SHGB tersebut, tidak memiliki surat ukur yang dikeluarkan instansi terkait.
Akibatnya, masyarakat mengalami penderitaankarena tidak lagi diizinkan untuk
bercocok tanam di lahan yang telah mereka tempati selama puluhan tahun. Karenanya,
Halomoan meminta Kepolisian, Kejaksaan, dan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan
Mafia Hukum mengusut kasus int. Sebab, diduga kuat bahwa kasus ini telah melibatkan
oknum aparat penegak hukum, khususnya terkait dugaan penyerobotan tanah negara
yang kini sudah berpindah tangan ke perusahaan asing tersebut
Bahkan, PT Kemayan Bintan telah memiliki sertifikat hak guna bangunan (SHGB) atas
lahan seluas 2.966.500 M2 yang diperoleh dari PT Terira Pratiwi Development, sebuah
perusahaan lokal yang dituangkan dalam akta jual beli. Padahal, kata dia, lahan

tersebut merupakan lahan negara yang tidak bisa diperjualbelikan oleh siapa pun,
termasuk oleh PT Terira Pratiwi Development.
Padahal sudah lama, masyarakat penggarap telah memiliki sertifikat hak milik, alas hak,
dan hak tebas atas lahan tersebut. Karena itu, kata dia, warga setempat membuat
kesepakatan dengan CV Tri Karya Abadi terkait dengan pengelolaan lahan mereka
Dalam kesepakatan terse-but, warga meminta CV Tri Karya Abadi untuk memanfaatkan
lahan tersebut sebagai tambang biji bauksit guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi
warga sekaligus untuk membuka lapangan kerja bagi warga setempat dengan sistem
sewa pakai. Yang mana kesepakata antara kedua pihak telah disetujui oleh walikota.

Kasus DryDock

Satgas Presiden Didesak Investigasi Kasus Rusuh Batam


Jum'at, 23 April 2010 | 08:08 WIB
Besar Kecil Normal

Pekerja merusak berbagai peralatan milik PT Drydocks World Graha di Batam, Kamis
(22/04). Hal ini terjadi setelah sejumlah tenaga kerja lokal tersinggung dengan
perkataan tenaga kerja asing. REUTERS
TEMPO Interaktif, Batam - Ketua Advokasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Logam,
Metal, Elektornik dan Metal (SPSI-LEM) minta tim Satuan Tugas (Satgas) Presiden ikut
menyelidiki penyebab timbulnya kerusuhan di PT Drydock World Graha TI Tanjung
Uncang, Batam, Kamis (22/4). Sebab, kerusuhan tersebut bisa memicu kerusuhan lain
khususnya yang bersifat rasis.
"Harus tuntas penyelesaian pekerja di semua galangan kapal di Batam," kata Ketua
Advokasi SPSI-LEM Wilayah Batam, Setia Tarigan kepada Tempo di Markas Kepolisian
Kota Besar Batam, Kamis malam (22/4).

"Sebab kerusuhan di PT Drydock World Graha TI itu merupakan akumulasi


kesengsaraan pekerja Indonesia selama ini. Ada bentuk penjajahan model baru," lanjut
Setia Tarigan.
Menurut dia, ada tiga hal yang menyebabkan pekerja beringas yakni perlakuan
diskriminatif, tidak tercerminnya penegakan hukum, dan sikap arogan tenaga kerja
asing terhadap pekerja Indonesia. Bila mengaitkan masalah tersebut, maka banyak
instansi yang terkait seperti Dinas Tenaga Kerja, Imigrasi dan pihak keamanan.
Dikatakan diskriminatif antara lain soal upah, dan ada kesan investor asing
memiskinkan pengusaha Indonesia. Caranya sering diperlambatnya pembayaran upah
serta berlarut-larut menyelesaikan persoalan berkaitan dengan buruh.
Ia mencontohkan, ada kontraktor asing yang dengan cepat mendapat atau pencairan
upah buruh, tapi bagi subkontraktor Indonesia dibuat lamban. "Ini namanya membunuh
pengusaha dan pekerja Indonesia," lanjut Setia.
Upah Minimum Sektoral (UMS) seharusnya dibayar Rp 6.800 per jam, tapi
kenyataannya hanya dibayar Rp 1.700 per jam bagi pekerja Indonesia, sedangkan
untuk pekerja asing asal Vietnam, Thailand, Cina dan India jauh lebih tinggi mencapai
Rp 10.000 per jam.
Selain itu menyangkut keselamatan kerja yang selalu diabaikan pihak perusahaan,
sehingga ada pekerja yang tewas akibat kurangnya perhatian terhadap keselamatan
itu. "Jika terjadi kecelakaan, pihak perusahaan selalu menutupi kasus itu, dan
celakanya pihak terkait diam saja," ungkap Setia.
"Juga ada pekerja yang telah mengabdi selama tiga tahun tapi masih sebagai pekerja
harian." Padahal sesuai Undang-undang Tenaga Kerja, masa percobaan tiga bulan,
kemudian otomatis diangkat menjadi karyawan tetap.
Pekerja asing mendapat fasilitas yang berlebih. Pekerja asal Vietnam dan Thailand

serta India misalnya, tinggal di apartemen atau hotel-hotel dengan sistem long stay,
padahal di lapangan jabatan pekerja asing itu sama seperti pekerja Indonesia itu.
Seharusnya meski pekerja Indonesia berdomisili di Batam dan memiliki rumah di Batam
harus ada tunjangan perumahan yang setara sengan pekerja asing itu. "Ini yang tidak
diperuangkan Dinas Tenaga Kerja," cerita Setia.
Bila status masih pekerja harian, maka pihak perusahaan bisa sewenang-wenang untuk
memberhentikan pekerja tersebut dan tidak membayar pesangon. Hal seperti ini
dilaporkan ke pihak Disnaker, tapi tidak ada tanggapan.
Akibatnya ulah pengusaha semakin menjadi-jadi yang seolah-olah pekerja Indonesia
menjadi sapi perah, atau kasarnya dijajah di negeri sendiri. Pekerja pribumi sekarang
tidak lagi memikirkan bekerja atau tidak saat ini, tekad mereka adalah mengusir pekerja
asal India dan pekerja asing lainnya yang merampas hak pekerja Indonesia. "Orang
asing banyak belajar dengan pekerja Indonesia, tapi justru pekerja lokal upahnya
rendah," tegasnya.
Perlunya turun tim Satgas Presiden itu agar bisa mengetahui apa sebenarnya yang
terjadi di Batam. Tidak hanya pekerja di perusahaan galangan kapal yang diperlakukan
diskriminasi oleh pihak asing. Di semua perusahaan elektronik pun sama. Bedanya
pekerja di galangan kapal itu di tempat terbuka dan tingkat emosi yang tinggi,
sedangkan pekerja elektronik berada di dalam dan berpendingin.
Ucapan Ganes, Supervisor Elektrik pekerja asing asal India yang mengatakan orang
Indonesia itu bodoh (stupid) merupakan pemicu saja. Sebenarnya rasa dendam lama
terpendam akibat diskriminasi itu. Waktu itu Ganes memarahi Aditia, bawahan Ganes
dengan kata-kata menyakitkan; "You all Indonesian stupid."
Aditia marah mendengar perkataan itu, dan melakukan aksi dengan menantang Ganes.
Terjadi adu fisik. Teman Aditia yang tidak terima perlakuan Ganes itu langsung

menghajar Ganes. Peristiwa itu kemudian didengar pekerja lain dan langsung
mengeroyok Ganes.
Dalam hitungan menit pekerja lain datang dan berubah mencari semua pekerja asing
asal India. "Ada yang berteriak agar pekerja asing tak beradab, dibunuh," cerita Setia
lagi.
Pekerja lain kemudian melampiaskan kemarahan mereka dengan merusak kantor dan
langsung membakarnya. Tak puas, kaca mobil dipecahkan dan tak lama kemudian api
mumcul dan mulai menjilat kantor. Karena banyak barang mudah terbakar di dalam
kantor, api cepat menjalar ke tempat lain termasuk menjilat kendaraan yang parkir di
depan kantor.
Lalu asap mengepul lagi di gudang penyimpanan barang. Api mulai diketahui pukul
08.30 WIB, dan pada pukul 15:00 WIB didapati 38 unit kendaraan terbakar, dan
sembilan pekerja asing yang umumnya asal India luka berat dan ringan.
Dari keterangan polisi tadi malam, sebanyak 210 pekerja asing asal India dan 170
warga asing lainnya diamankan di Kepolisian Daerah Kepri. Sebanyak 40 orang lainnya
diamankan di Kepolisian Kota Besar Barelang.
Manager PT Drydock Graha TI, Harry mengatakan, sebaiknya semua pekerja asing
asal India segera dipulangkan karena dikhawatirkan emosi pekerja Indonesia yang
belum reda. Tadi malam dikabarkan, ada beberapa pekerja bermaksud melakukan
sweeping ke berbagai hotel, namun berhasil dicegah Kapoltabes Barelang Komiaris
Besar Leonidas Braksan.
Harry mengatakan pihaknya belum bisa menaksir kerugian yang diderita perusahaan.
"Yang jelas semua server komputer habis terbakar," katanya. Kerugian untuk server
saja mencapai lebih dari Rp 1 miliar.
Kapoltabes Barelang Leonidas Braksan mengatakan situasi dalam keadaan aman dan

pihaknya akan mengirim pulang pekerja asal India ke Singapura guna menghindari hal
yang tidak diinginkan.
Rencananya hari ini akan digelar pertemuan antara perusahaan, unsur Muspida Kota
Batam dan Kepri, Konsulat Singapura, perwakilan dari Kedutaan India, Kepala Polisi
Singapura, dan semua serikat pekerja yang ada di Batam. "Pemerintah jangan cepat
menganggap persoalan ini selesai," kata Setia.
Rumbadi Dalle

Komentar
PT Drydocks World Graha di Batam, telah melanggar pasal 10 UU No 25 tahun
2007, yang mana perusahaan tersebut malah mengutamakan tenaga kerja asing dari
pada tenaga kerja Indonesia, pada hal didalam UU penanaman modal diatur bahwa
perusahaan penanaman modal harus mengutamakan tenaga kerja Indonesia.

Dan

didalam pasal 11 di atur juga apabila didalam perusahaan penanaman modal terjadao
perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan untuk diselesaikan secara
musyawarah antara perusahaan penanaman modal dan tenaga kerja. Didala ayat (2)
pasal 11 yaitu jika penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika tidak
mencapai hasil, penyelesaian dilakukan melalui upaya mekanisme tripartit.

Kasus Toba Pulp Lestari

PT Toba Pulp Lestari , Wajah Baru Indorayon


Desember 25, 2007 oleh plantus
tempat kuliah paling fleksibel SARJANA NEGERI 3 TAHUN TANPA
SKRIPSI ABSENSI HADIR BEBAS BERKUALITAS IJAZAH &
GELAR DARI DEPDIKNAS MURAH DAPAT DIANGSUR TIAP
BULAN -terima pindahan dari PTN/PTS lain
MANAJEMEN AKUNTANSI ILMU KOMUNIKASI ILMU
PEMERINTAHAN
utkampus : jl. terusan halimun 37 bandung- utkampus.net
15 Agustus 2003
TEMPO Interaktif, Jakarta: Nama baru, komitmen baru. Setelah berganti nama dari
sebelumnya PT Indorayon, PT Tob Pulp Lestari menegaskan komitmen untuk menjaga
kelestarian lingkungan. Sejak kembali beroperasi akhir Maret tahun ini, PT Toba telah
menutup proses produksi yang berpotensi menjadi polutan, melakukan pengelolaan
limbah, serta menggunakan eucalyptus berasal dari tanaman sendiri.
Selain itu, kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui program Community
Development menjadi bagian dari komitmen tersebut. Kami membentuk yayasan yang
didanai minimal 1 persen transaksi, kata Komisaris PT Toba, Sabam Leo Batubara
dalam konferensi pers, Jumat siang tadi (15/8).

Menurut Sabam, program pengembangan masyarakat ini berorientasi pada


pemberdayaan masyarakat sekitar. Hingga saat ini, telah terkumpul modal sebesar Rp
5 miliar untuk kegiatan yayasan tersebut.
Hal senada dinyatakan Wakil Direktur Utama PT Toba, Wagimin Wongso. Menurutnya,
program tersebut diharapkan dapat memberi kontribusi pada masyarakat sekitar pabrik
maupun HTI (Hutan Tanaman Industri). Dengan begitu, diharapkan akan terjalin
kemitraan antara perusahaan dan masyarakat, kata Wagimin.
Menurut Wagimin, saat ini PT Toba tengah memperbaiki manajemen perusahaan dan
berusaha memaksimalkan produksi. Saat ini, pabrik yang beberapa waktu lalu sempat
mengalami beberapa kali penutupan karena persoalan lingkungan tersebut, baru
memproduksi bubur kertas sebanyak 90-100 ribu ton, dari kapasitas maksimalnya 240
ribu ton. Perusahaan itu endiri baru berproduksi akhir Maret tahun ini, setelah sekitar
4,5 tahun berhenti. Sekitar 60-70 persen produksinya saat ini ditujukan untuk ekspor,
dengan tujuan Korea, Jepang, Taiwan dan Hongkong. Untuk ekspor pulp ini, mereka
harus melakukan test kualitas ke Cina.

Komentar Kasus Toba Pulp Lestari

Pada kasus PT.Toba Pulp Lestari ini, memang telah merugikan masyarakat setempat,
karena PT tersebut mengeluarkan asap yang membuat masyarakat sekitarnya terkena
penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas). PT tersebut telah terbukti
pencemaran lingkungan.
Didalam KUHPerdata, pada pasal 1365 dan 1366 menjelaskan tentang perbuatan
melawan hukum.
Pada pasal 1365 KUHPerdata, yaitu Tiap perbuatan melanggar hukum yang
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut

Pada pasal 1366

KUHPerdata , yaitu Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian ynag
disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkankelalaian atau
kurang hati-hatinya
Kasus Dong Jae

Bila Investor Kabur tanpa Pesan


Agus S. Riyanto, Julianto, Priyanto Sukandar, dan Teddy Unggik BISA juga
pengusaha kita menjadi inspirasi bagi kolega asingnya. Sayang, itu bukan inspirasi
yang baik. Jadi, kebiasaan pengusaha kita yang suka kabur setelah ngemplang utang
kini ditiru oleh Cheon, warga negara Korea Selatan, pemilik PT Dong Joe Indonesia.
Cheon kabur ke negara asalnya dengan meninggalkan utang kepada perbankan
Indonesia sebesar Rp 333,46 miliar. Pabriknya juga tidak diurus dan mengakibatkan
10.500 buruh telantar.
Alkisah, pengusaha Negeri Ginseng itu membawa modal kerja dan order sepatu dari
Adidas Group ke Indonesia pada 1991. Ia kemudian membangun PT Dong Joe
Indonesia di sini.
Dong Joe berkembang pesat dan Cheon lantas melebarkan sayap dengan mendirikan
pabrik sepatu PT Spotec dan pabrik keramik PT Hankook Indonesia. Pada 2005, PT
Dong Joe menduduki peringkat 10 daftar pabrik sepatu terbesar di Indonesia dengan
kapasitas produksi sebesar 4,5 juta pasang atau sekitar 12,5% dari total kapasitas
produksi sepatu nasional sebanyak 563,8 juta pasang. Cheon juga memperoleh kredit
investasi dari perbankan nasional sebesar Rp 333,46 miliar.
Rupanya, Cheon bukan pengusaha sejati. Ia lebih mirip dibilang sebagai petualang.
Makanya, ketika mendapat duit kredit itu, bukannya mengembangkan usaha yang
ditekuni, Cheon malah berpura-pura sakit dan berobat ke
Korea Selatan.
Lalu, dirancanglah sebuah strategi. PT Hankook dijual kepada pihak lain pada Juli

2006. Sebelum pergi, Cheon juga menyerahkan pengelolaan PT Dong Joe kepada
teman-temannya asal Korea yang ada di Indonesia. Diserahkan begitu saja.
Sahamnya dikasih ke orang Korea, ucap Eddy Widjanarko, Ketua Umum Dewan
Pengurus Pusat Asosiasi Persepatuan Indonesia (Asprindo).
Akhirnya Cheon pergi membawa dana PT Dong Joe, dana dari perbankan Indonesia,
dan menelantarkan 10.500 karyawannya. PT Dong Joe menghentikan kegiatan
produksinya sejak 13 Oktober 2006. PT Spotec, sister company dari PT Dong Joe,
menyusul tak berproduksi.
Order Adidas Group ke PT Dong Joe dan Spotec itu akhirnya dialihkan ke pabrik lain di
Indonesia, Thailand, Vietnam, dan Cina. Kasus ini tak memengaruhi komitmen kami
untuk tetap berinvestasi di Indonesia, kata William Anderson Head Of Social and
Environmental Affairs Adidas di Asia Pasifik.
Kepergian Cheon meninggalkan utang sebesar Rp 333,46 miliar. Kucuran kredit dari
sindikasi perbankan yang dipimpin Bank Rakyat Indonesia itu meliputi Rp 200 miliar
untuk PT Dong Joedan Rp 133,46 miliar berupa kredit investasi dari Bank Mandiri
untuk PT Spotec. Awal bulan ini, tunggakan PT Spotec ke Bank Mandiri tinggal Rp
99,57 miliar. Mansyur Nasution, Corporate Secretary Bank Mandiri, menuturkan, Bank
Mandiri kini sedang melakukan evaluasi terhadap kredit tersebut.
Tentu saja, karyawan-karyawan Cheon yang jumlahnya 10.500 orang susah
menggantungkan harapannya kepada produsen sepatu merek Reebok, Rockport, Perry
Ellis, Spotec, dan Adidas ini. Mereka tak bisa berharap dari penjualan aset kedua pabrik
karena sudah dijaminkan kepada bank.
Yang jelas buruh tidak dibayar lagi dan ada ke kekhawatiran pengelola pabrik akan
menjual barang-barang yang ada di pabrik, ucap Bambang Wirayoso, Ketua Umum
Serikat Pekerja Nasional. Mereka kini berniat mencairkan dana jaminan hari tua yang
disimpan di PT Jamsostek untuk menutupi kebutuhan sampai ada kepastian tentang
nasib mereka.
Tak hanya itu, pesangon juga tak dibayarkan. Jika dihitung berdasarkan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja, nilai pesangon dan tiga bulan gaji 6.500 pekerja PT Dong Joe
selama dirumahkan sedikitnya Rp 82 miliar. Adapun nilai pesangon pekerja PT Spotec
diperkirakan sedikitnya Rp 24 miliar. Total yang harus diberikan kepada karyawan

sebesar Rp 106 miliar.


Para buruh tak berharap pesangon. Maunya mereka, kedua pabrik sepatu itu dapat
beroperasi kembalidan mereka bisa bekerja lagi. Keinginan itu juga didukung oleh
Asprindo. Saya mau ngomong kepada Duta Besar Korea Selatan agar pengusaha
Korea lainnya mau ikut mengumpulkan uang untuk take offer pabrik dan
menjalankannya kembali. Sebab, banyak perusahaan Korea yang beroperasi di
Indonesia dan ukurannya cukup besar, terang Eddy.
Harapan senada juga diungkapkan oleh Agus Tjahajana Wirakusumah, Sekretaris
Jenderal Departemen Perindustrian. Departemennya akan mengajak departemen
terkait untuk membahas masalah ini. Yang penting buat kita adalah bagaimana tenaga
kerja diselamatkan dan dapat bekerja kembali, ujar dia.
Tentu, harapan itu tak mudah terlaksana. Sebelum-sebelumnya, kasus serupa juga
pernah terjadidan buruh tetap saja telantar. Pada tahun 2004, pemilik PT Victoria
Garmen Indonesia kabur dan menyisakan masalah perburuhan. PT Singacom dan
Singamip di Batam juga ditinggal pergi pemiliknya dengan menelantarkan ribuan
karyawannya pada 2005. Terakhir, kaburnya Keluarga Tanudjaja yang meninggalkan
kasus kredit macet Rp 200 miliar dari Bank Mandiri dan obligasi sebesar Rp 400 miliar
plus ribuan tenaga kerja.
Pemerintah juga sulit untuk diharapkan. Agus Tjahajana menuturkan, wewenang
Departemen Perindustrian hanya menyangkut perizinan. Kalau mereka melanggar,
izinnya bakal dicabut. Soal utang yang ditinggalkan? Itu sih terikat dengan bank dan
pengadilan.
Jadi hanya itu? o
KERIKIL DI INDUSTRI SEPATU
SEJATINYA, industri alas kaki di Indonesia cukup menjanjikan. Dari tahun ke tahun,
kinerja ekspor sepatu meningkat. Ekspor sepatu tahun 2002 sebesar US$ 1,148 miliar,
tahun 2004 menjadi US$ 1,320 miliar, tahun 2005 US$ 1,5 miliar, dan tahun 2006
diprediksikan mencapai US$ 1,8 miliar.
Selain itu, peluang industri sepatu terbuka setelah Uni Eropa menerapkan antidumping

terhadap produk alas kaki dari Cina dan Vietnam. Akibatnya, banyak buyer yang melirik
Indonesia. Saat ini order melimpah dan banyak investor yang ingin berinvestasi di
sektor ini, kata Eddy Widjanarko, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi
Persepatuan Indonesia (Asprindo).
Nyatanya, tak sedikit investor yang balik badan. Menurut Eddy, ada beberapa kendala
investasi mendirikan pabrik alas kaki di Indonesia. Antara lain, UU Tenaga Kerja yang
masih belum kondusif. Dia mencontohkan masalah pensiun, pesangon, dan
kesejahteraan. Ini yang membuat investor berpikir ulang untuk berinvestasi, ucap dia.
Selain itu, infrastruktur di Indonesia belum memadai dan harganya cukup mahal. Eddy
memberi contoh, untuk membuat pabrik sepatu baru, listriknya tidak ada. Nah, untuk
mengadakan listrik, pengusaha harus menyewa melalui pihak ketiga. Masalahnya
lainnya ada di perizinan. Untuk mengurus izin usaha, dulu tak sampai enam bulan. Kini,
bisa sampai setahun.
Tak hanya itu. Bea Cukai juga dinilai Eddy turut menghambat masuknya investor baru
ke Indonesia. Contohnya, ketika Asprindo meminta pengetatan impor sepatu dari Cina,
Bea Cukai memenuhinya. Namun, impor bahan baku juga diperketat. Untuk
mengeluarkan bahan baku dari pelabuhan diperlukan waktu satu pekan.
Industri bahan baku sepatu juga susah berkembang di Indonesia. Penyebabnya,
industri bahan baku dikenai PPn sebesar 10%. Padahal, untuk impor hanya kena bea
masuk 3%. Nah, daripada mendirikan pabrik bahan baku sepatu, pengusaha lebih
untung mengimpor.
Bila hambatan tersebut tidak segera dihilangkan, investor akan mundur lagi. Bahkan
saat ini sudah banyak investor yang mengalihkan investasinya ke negara India.
Buktinya, nilai ekspor alas kaki India tahun lalu mencapai US$ 1,5 miliar, sama dengan
nilai ekspor Indonesia. Saat ini nilai ekspor India telah tumbuh menjadi US$ 3 miliar.
Bisa diartikan, banyak investor yang mampir ke India, kata Eddy. o

Komentar Kasus Dong Jae


Investasi adalah mengeluarkan sejumlah uang atau menyimpan uang pada sesuatu
dengan harapan suatu saat mendapat keuntungan financial. INVESTASI dalam Kamus

Bahasa Indonesia oleh Wojowasito, artinya penanaman modal. Investor adalah orang
atau lembaga yang menanamkan modalnya. Dalam Undang-Undang (UU) RI 25/2007
tentang Penanaman Modal.

Beberapa tujuan dari penanaman modal adalah;


1. meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional,
2. menciptakan lapangan kerja,
3. meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan,
4. mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, dan
5. meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kasus Newmont Nusa Tenggara

Kasus Newmont Diputus Akhir Maret 2009


Minggu, 14 Desember 2008 | 16:53 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta :Arbitrase internasional dipastikan akan memutuskan kasus
PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) pada 31 Maret 2009 nanti.

"Sebelum keputusan, akan ada post hearing brief (penyampaian sesudah sidang
pemeriksaan) atau biasa disebut kesimpulan pada 31 Januari 2009," ujar Jaksa
Pengacara Negara Joseph Suardi Sabda ketika dihubungi Tempo Minggu (14/12).
Pemerintah, lanjutnya, telah menyatakan sikapnya pada sidang pemeriksaan awal
pekan lalu. "Kami katakan penawaran NNT untuk melakukan divestasi sahamnya
bertentangan dengan kontrak," kata Joseph.
Sampai batas waktu yang telah ditentukan, NNT tidak melakukan divestasi saham
kepada pemerintah, yaitu tiga persen pada 2006 dan tujuh persen pada 2007. Padahal,
mengacu pada kontrak karya, NNT wajib mendivestasikan 51 persen sahamnya kepada
pihak nasional, baik pemerintah pusat, pemerintah, daerah, maupun perusahaan
nasional, sampai dengan 2010.
Hal tersebut memicu pemerintah untuk memberikan status lalai pada NNT dan
membawa masalah ini ke arbitrase. Masalah kian bertambah ketika pemerintah
mengetahui NNT ternyata menawarkan saham yang telah tergadai. "Barang yang
digadai tidak boleh dijual. Itu berarti mereka melanggar kontrak," kata Joseph.
NNT telah menggadai 100 persen sahamnya untuk mendapat pinjaman US$1 miliar.
Menurut NNT, penggadaian itu telah mendapat ijin dari pemerintah sehingga
seharusnya tidak menjadi masalah ketika proses divestasi.
"Itu tidak benar. Seharusnya mereka melakukan disclosure (keterbukaan) mengenai
status saham-saham tersebut," ujar Joseph.
Mengacu pada kedua alasan itu, Joseph menambahkan pemerintah memiliki posisi
yang kuat untuk menang. "Kita lihat saja hasil keputusannya tahun depan," tambahnya

Komentar Kasus Newmont Nusa Tenggara

Pada Kasus ini PT Newmont Minahasa Raya meninggalkan beban derita terhadap
warga Teluk Buyat dan kerusakan lingkungan hidup yang tergolong berat. Hal ini
diperkuat dalam Laporan Resmi Tim Teknis Penanganan Kasus Pencemaran dan
Perusakan Lingkungan Teluk Buyat Teluk Ratatotok.
PT Newmont Minahasa Raya telah melakukan perbuatan melawan hukum atas
pasal 41 (1) junto pasal 45,46,47 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang
Pencemaran Llingkungan, Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Tetapi PT Newmont Minahasa malah menggugat
kembali walhi selaku warga menggugat balik senilai US$ 100.000 (setara Rp 9 Miliar,
dengan asumsi 1 US$ = Rp 9.000).
Saran Saya:
1. Disarankan dilakukan pemantauan Teluk Buyat oleh pihak PT. Newmont
Minahasa Raya dan juga pemerintah sampai dengan 30 tahun yang akan
datang.
2. Masyarakat setempat yang terkena penyakit mempunyai gejala yang sama
dengan gejala yang diakibatkan terpapar oleh Arsen.
3. Kondisi Teluk Buyat dikategorikan mempunyai resiko tinggi terhadap kesehatan
manusia dengan adanya ikan yang mengandung Arsen dan Merkuri, maka
disarankan untuk mengurangi konsumsi ikan yang berasal dari Teluk Buyat.
4. Perlu dipertimbangkan untuk merelokasi penduduk dusun Buyat Pante ke tempat
lain.
5. Perlu dilakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran peraturan perundangundangan Lingkungan Hidup yang dilakukan oleh PT. Newmont Minahasa Raya.

6. Kajian hukum tim teknis merekomendasikan pemerintah untuk selanjutnya


melarang pembuangan limbah tambang (tailing) ke laut.

Anda mungkin juga menyukai