Anda di halaman 1dari 20

TATA RUANG DESA

Bab 1
Pendahuluan
1.1.

Latar Belakang

Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui
dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perkembangan pembangunan desa di Provinsi Jawa Barat, dihadapkan kepada berbagai
permasalahan, keterbatasan sarana dan prasarana pemerintahan, transportasi, perekonomian,
kesehatan, pendidikan, sosial budaya dan keamanan merupakan fenomena sebuah desa. Kondisi
infrastruktur yang memprihatinkan menyebabkan sanitasi kurang baik dan keterbatasan air bersih
merupakan salah satu faktor yang menjadi penghambat dalam pengembangan pola hidup sehat di
desa. Di samping itu kesejahkteraan kelompok masyarakat yang hidup di desa sangat
memerlukan perhatian dan keberpihakan yang besar dari pemerintah.
Kondisi desa hingga saat ini sangat memprihatinkan karena rentan terhadap adanya
perkembangan kawasan yang tidak terkendali, banyaknya permintaan ijin pembangunan yang
tidak diimbangi dengan perencanaan tata ruang kawasan perdesaan, menyebabkan pembangunan
desa menjadi tidak beraturan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional Pasal 11 Ayat (1), Bahwa agar pelayanan prasarana dan sarana
dapat menjangkau seluruh masyarakat termasuk yang tinggal di kawasan perdesaan, ketentuan
tentang pengembangan kawasan perdesaan dalam Peraturan Pemerintah ini perlu ditindaklanjuti
dengan pengembangan kawasan perdesaan. Kawasan perdesaan, juga memiliki fungsi yang sama
sebagai pusat pelayanan perkembangan kegiatan budidaya meskipun dalam skala kegiatan yang
lebih kecil dan terbatas.

Kawasan perdesaan merupakan desa yang mempunyai potensi cepat berkembang dan dapat
meningkatkan perkembangan desa di sekitarnya. Dengan demikian, pemanfaatan ruang kawasan
perdesaan diarahkan untuk melayani perkembangan berbagai kegiatan usaha dan/atau kegiatan
ekonomi, dan permukiman masyarakat perdesaan baik di desa tersebut maupun desa di
sekitarnya.
Pengembangan kawasan perdesaan diselaraskan dengan pusat perdesaan nasional yang
melayaninya sehingga secara keseluruhan pusat perdesaan nasional saling terkait dan berjenjang,
serta saling sinergis dan saling menguatkan perkembangan desa dan desa.
Peraturan Pemerintah Dalam Negeri Nomor 51 Tahun 2007 tentang Pembangunan Kawasan
Perdesaan Berbasis Masyarakat Pasal 1, Rencana Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis
Masyarakat adalah hasil perencanaan pembangunan yang dilakukan bukan berdasarkan unit
administratif desa, melainkan atas dasar kesamaan fungsi kawasan perdesaan dan Pola Tata Desa
adalah tata penggunaan lahan atau ruang desa untuk keperluan kegiatan ekonomi dan budidaya
masyarakat, sarana dan prasarana pemerintahan desa, dan pusat layanan sosial.
Meningkatnya kebutuhan penduduk dan intensitas aktivitas pada suatu kawasan perdesaan perlu
untuk disikapi dan diantisipasi lebih awal oleh pemerintah daerah yang terkait. Hal ini perlu
dilakukan mengingat fenomena tersebut dapat membangkitkan banyak persoalan perdesaan
terutama yang terkait dengan ketersediaan infrastruktur perdesaan. Pengembangan kawasan
perdesaan yang kurang atau belum mengantisipasi dan mengakomodir fenomena perkembangan
desa yang ada, akan menimbulkan persoalan seperti :

a.

Persoalan keterbatasan infrastruktur wilayah;

b.

Lemahnya pengendalian pemanfaatan ruang;

c.

Permasalahan daya dukung dan daya tampung lingkungan;

d.

Pertumbuhan kegiatan yang tidak terkendali dan pembangunan desa yang


tidak terarah;

e.

Timbulya zona campuran yang tidak sesuai peruntukan;

f.

Hilangnya ruang publik dan RTH untuk artikulasi sosial;

g.

Lemahnya kelembagaan, pembiayaan dan kerjasama antar daerah dan sektor terkait
dengan pengelolaan kawasan;

h.

Kesenjangan antar dan di dalam kawasan.

Menindaklanjuti hal tersebut, diperlukan program pembangunan kawasan perdesaan yang lebih
di fokuskan pada percepatan pembangunan di daerah yang kondisi sosial, budaya, ekonomi,
keuangan daerah, aksesibilitas, serta ketersediaan infrastruktur dan sarana prasarana desa yang
berorientasi kepada kebutuhan masyarakat, dimana masyarakat sebagai objek pembangunan dan
kesenjangan daerah-daerah maju dengan daerah tertinggal sebagai salah satu indikatornya.
Berdasarkan indikator-indikator masalah tersebut, penyebabnya adalah belum ada Penataan
Ruang Kawasan Perdesaan, karena setelah penetapan dan penegasan batas desa dibuat, perlu
ditindaklanjuti dengan Penataan Ruang Kawasan Perdesaan yang lebih detail sesuai dengan
karakteristik, tipologi dan potensi wilayah perdesaan yang secara ekonomi dapat mendorong
perkembangan wilayah serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan
tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang kawasan
perdesaan diarahkan untuk :
a.

Pemberdayaan masyarakat perdesaan;

b.

Pertahanan kualitas lingkungan setempat dan

c.

Wilayah yang didukungnya;

d.

Konservasi sumber daya alam;

e.

Pelestarian warisan budaya lokal;

f.

Pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan

g.

Untuk ketahanan pangan; dan

h.

Penjagaan keseimbangan pembangunan

i.

Perdesaan-perdesaan.

Penataan ruang kawasan perdesaan dalam 1 (satu) wilayah kabupaten dapat dilakukan pada
tingkat wilayah kecamatan atau beberapa wilayah desa atau nama lain yang disamakan dengan
desa yang merupakan bentuk detail dari penataan ruang wilayah kabupaten.

1.2.

Maksud dan Tujuan

Maksud
1. Melakukan kajian yang secara operasional dapat dilaksanakan untuk mendorong sekaligus
mengendalikan perkembangan kawasan perdesaan di Provinsi Jawa Barat;
2. Mengembangkan konsep secara teoritis tentang Pentingnya Penataan Ruang
Kawasan Perdesaan dalam rangka optimalisasi pembangunan desa yang berorientasi
kepada kebutuhan masyarakat;
3.

Menyusun Rancangan Peraturan Gubernur tentang Penataan Ruang Kawasan Perdesaan


sebagai pedoman bagi instansi teknis dalam pembuatan produk Tata Ruang Kawasan
Perdesaan di Jawa Barat;

4.

Menerapkan konsep Penataan Ruang Kawasan Perdesaan yang sesuai dengan


karakteristik, tipologi dan potensi kawasan perdesaan yang secara ekonomi dapat
mendorong perkembangan wilayah serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat
perdesaan di Jawa Barat.

Tujuan
1.

Tersusunnya pedoman umum Penataan Ruang Kawasan Perdesaan yang menjadi


guidance bagi instansi teknis dalam mengendalikan perkembangan kawasan perdesaan
dan pemberian perizinan kesesuain pemanfaatan bangunan dengan peruntukan lahannya;

2.

Menjadikan pedoman umum Penataan Ruang Kawasan Perdesaan yang diharapkan


mampu menjadi bagian pendorong dari kelancaran pelaksanaan otonomi daerah,

khususnya bagi peningkatan keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan ruang demi


terwujudnya good governance;
3.

Menjembatani produk rencana penataan ruang pada tingkat Kabupaten,


yang berfungsi sebagai pengendali pembangunan kawasan perdesaan dalam
penyelenggaraan penataan ruang, pemanfaatan lahan, penataan bangunan dan lingkungan,
agar memenuhi kriteria perencanaan pembangunan yang berkelanjutan meliputi :

- Peningkatan kualitas hidup masyarakat perdesaan melalui perbaikan kualitas lingkungan


dan ruang publik;
- Pemenuhan persyaratan tata bangunan dan lingkungan;
- Pemberdayaan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan desa;
- Penjagaan keseimbangan pembangunan antara kawasan lindung dan kawasan budidaya;
- Memasukkan unsur budaya dan kebiasaan penduduk setempat.
4.

Terakomodirnya kebutuhan masyarakat di kawasan perdesaan akan sarana prasarana dasar


lingkungan yang dapat meningkatkan derajat kesehatan lingkungan dan masyarakat
setempat melalui konsistensi terhadap rencana pemanfaatan ruang yang telah dibuat.

Bab 2
Pendekatan dan Metodologi

2.1.

Pendekatan dan Metodologi


Kegiatan penyusunan pedoman Penataan Ruang Kawasan Perdesaan ini menggunakan
pendekatan normatif dan partisipatif.

2.1.1. Pendekatan
a. Pendekatan Normatif
Pendekatan normatif dalam kajian ini menekankan pada kajian terhadap
produk peraturan dan kebijakan yang terkait dengan Penataan Ruang
Kawasan Perdesaan. Pendekatan normatif

yang digunakan dalam

penyusunan pedoman Penataan Ruang Kawasan Perdesaan ini, pada


dasarnya merupakan pendekatan yang digunakan untuk merumuskan
suatu kebijakan dan strategi berdasarkan data dan informasi yang
tersedia serta mengacu pada produk peraturan dan perundangan yang
terkait dengan substansi Penataan Ruang Kawasan Perdesaan.
Terkait dengan kajian ini, pendekatan normatif ini tidak dipandang
sekedar

sebagai

pendekatan

untuk

merumuskan

kebijakan

yang

sifatnya konseptual. Pendekatan ini dilakukan secara komparatif mulai


dengan membandingkan kondisi eksisting permasalahan kawasan
perdesaan dengan kriteria dan standar yang ada sampai dengan
perumusan kebijakan dan strategi yang tepat untuk mengatasi kondisi
dan permasalahan tersebut.
b. Pendekatan Partisipatif
Perencanaan partisipatif, di Indonesia didefinisikan sebagai upaya
perencanaan yang dilakukan bersama antara unsur pemerintah dan
masyarakat.

Dalam

hal

ini,

peran

masyarakat

ditekankan

pada

penentuan tingkat kebutuhan, skala prioritas, dan alokasi sumber daya


masyarakat.
Sejalan dengan semangat yang tumbuh dalam era otonomi daerah yang
mengedepankan
mendorong

Pemerintah

peningkatan

Provinsi

pelayanan

sebagai
publik

fasilitator

dan

dengan

pengembangan

kreatifitas serta pelibatan masyarakat dan juga aparatur pemerintahan


di daerah. Dengan demikian kebiasaan menginstruksikan masyarakat
untuk berperan serta dalam pembangunan.

Pengelolaan sumberdaya alam yang beraneka ragam perlu dilakukan


secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumberdaya lainnya dalam
pola pembangunan yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata
ruang yang humanopolis, yaitu tata ruang yang mengutamakan
kepentingan

masyarakat

dan

menciptakan

lingkungan

yang

asri

berdasar wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Atas dasar hal


tersebut maka prinsip dasar yang diterapkan dalam pedoman ini adalah
sebagai berikut:
a.

Menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang sangat menentukan


dalam proses pemanfaatan ruang;

b.

Memposisikan

pemerintah

sebagai

fasilitator

dalam

proses

pemanfaatan ruang;
c.

Menghormati hak yang dimiliki masyarakat serta menghargai kearifan


lokal dan keberagaman sosial budayanya;

d.

Menjunjung tinggi keterbukaan dengan semangat tetap menegakkan


etika dan budaya;

e. Memperhatikan perkembangan teknologi dan bersikap profesional.


Manfaat penggunaan pendekatan tersebut adalah untuk meminimalkan
konflik berbagai kepentingan yang berarti juga mendapatkan hasil akhir
yang menguntungkan untuk semua pihak. Keuntungan lainnya yang
akan diperoleh adalah jaminan kelancaran implementasi hasil kajian ini
di kemudian hari.

2.1.2. Metode Pelaksanaan Kegiatan


Dalam suatu perencanaan agar proses pelaksanaan pekerjaan lebih
terarah maka tujuan dan sasaran yang diinginkan tertuang dalam suatu
kerangka pemikiran sebagai dasar dalam pelaksanaan pekerjaan yang
disusun dengan sedemikian rupa secara singkat, ringkas, dan jelas

tertuang

dalam

metodologi

pelaksanaan

kegiatan

perencanaan.

Berkaitan dengan beberapa metode pendekatan di atas, maka secara


garis besar metodologi pelaksanaan kegiatan penyusunan Penataan
Ruang kawasan Perdesaan. Secara substansi dibagi menjadi 6 tahapan,
yaitu :
1.

Penelaahan terhadap Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan


Ruang, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 Tentang
Desa, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional yang terkait dengan Penataan Ruang Kawaan
perdesaan, serta Peraturan Pemerintah Dalam Negeri No. 51 Tahun 2007
tentang Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis Masyarakat;

2.

Tahap Persiapan dan Desk Studi, menggunakan data sekunder seperti


potensi dan permasalahan suatu kawasan perdesaan yang meliputi;
kegiatan ekonomi masyarakat desa, fisik kawasan dan sumber daya alam
lainnya, infrastruktur dan investasinya, dan arah perkembangannya
sebagai proses kajian makro kawasan;

3.

Tahap Rancangan Peraturan Gubernur tentang Penataan Ruang Kawasan Perdesaan


dalam rangka optimalisasi pembangunan desa yang berorientasi kepada kebutuhan
masyarakat sebagai pedoman bagi instansi teknis dalam pembuatan produk Tata Ruang
Kawasan Perdesaan di Jawa Barat;

4.

Koordinasi atau rapat internal tim penyusun Peraturan Gubernur


tentang Penataan Ruang Kawasan Perdesaan dengan OPD terkait;

5. Proses Legalisasi mengenai proses dan prosedur, Rancangan Peraturan


Gubernur

yang

dimulai

dengan

mempresentasikan

konsep

akhir

Penataan Ruang Kawasan Perdesaan oleh tim penyusun di hadapan


Gubernur untuk dibahas sebagai Peraturan Gubernur.
6.

Apresiasi (sosialisasi) produk Peraturan Gubernur tentang Penataan


Ruang Kawasan Perdesaan.

2.1.3. Kerangka Pikir


a.

Perlunya Payung Kebijakan yang Jelas yang Menjembatani Perencanaan


Pembangunan dan Penataan Ruang
Dalam kerangka kebijakan di Indonesia, pembangunan suatu wilayah pada dasarnya tidak
dapat dipisahkan dari perencanaan pembangunan dan perencanaan spasial. Perencanaan
pembangunan yang memberikan arahan pencapaian tujuan pembangunan suatu wilayah
secara umum perlu diterjemahkan secara spasial ke dalam bentuk perencanaan spasial atau
yang bisa dikenal sebagai penataan ruang. Walaupun dengan orientasi yang berbeda,
namun keberadaan kedua produk perencanaan tersebut pada dasarnya diarahkan untuk
mencapai suatu tujuan yang sama. Terkait dengan hal ini, maka antara perencanaan
pembangunan

yang

tertuang

dalam

dokumen

rencana

pembangunan

(Rencana

Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)/Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM))


dengan perencanaan spasial yang tertuang dalam Penataan Ruang Kawasan Perdesaan
dibutuhkan suatu sinergitas dan keterpaduan. Dalam implementasinya dalam suatu
kawasan, sinergitas dan keterpaduan tersebut seringkali tidak terjadi. Kondisi yang terjadi
adalah kebijakan penataan ruang yang tertuang dalam dokumen rencana tata ruang
seringkali tidak sejalan dengan visi misi pembangunan wilayah yang tertuang dalam
dokumen rencana pembangunan. Dalam konteks desa dan kawasan perdesaannya,
ketidaksinergian antara keduanya ini membawa pada arah pembangunan desa yang tidak
jelas yang mengarah pada pembangunan dan pengembangan desa dan kawasan perdesaan
yang tidak terkendali.
Berdasarkan pada hal ini berbagai kebijakan dan strategi pembangunan yang tertuang
dalam dokumen rencana pembangunan dan dokumen rencana tata ruang tersebut perlu
untuk diikat dalam suatu payung kebijakan yang jelas. Adapun payung kebijakan yang
dimaksud lebih diarahkan pada penciptaan Visi dan Misi suatu daerah yang merujuk pada
Visi dan Misi Provinsi Jawa Barat. Terkait dengan banyaknya persoalan pembangungan
desa dan kawasan perdesaan yang bersumber dari

persoalan sektoral serta bentuk

penanganan yang sifatnya sektoral, maka visi dan misi tersebut dalam penerapannya perlu
dijabarkan dan diturunkan dalam suatu arah pengembangan, visi, misi, kebijakan, dan

strategi yang sifatnya sektoral namun tetap memperhatikan arahan pembangunan kawasan
secara keseluruhan.
b.

Perlunya Arahan Pengembangan Kawasan dan Sektoral yang Didasarkan Pada


Kebutuhan Desa
Ketidaksinergian antara perencanaan pembangunan dan penataan ruang yang seharusnya
menjadi dasar dan menjadi arahan dalam pembangunan ini kemudian memunculkan
berbagai bentuk-bentuk penanganan persoalan pembangunan desa yang sifatnya sektoral
dan parsial. Penanganan persoalan yang semacam ini umumnya didasarkan pada suatu
penanganan yang solutif yang umumnya untuk penyelesaian persoalan dalam jangka
pendek dan tidak melihat keberlanjutannya dan keterkaitannya dengan aspek pembangunan
lainnya. Adapun tiap program penanganan yang diberikan umumnya membawa strategi strategi penanganan yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik program yang
diberikan dan pihak yang memberikan program penanganan tersebut.

Strategi penanganan yang terkandung dalam program tersebut pada dasarnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung, akan ikut mengarahkan arah pembangunan desa. Semakin
banyak program penanganan yang masuk dan diimplementasikan di suatu desa, serta semakin
tidak terintegrasinya program-program yang masuk tersebut, maka belum tentu persoalan
pembangunan desa dan kawasan perdesaan yang ada dapat terselesaikan. Program beserta
strategi yang ada justru berpotensi untuk menimbulkan berbagai persoalan baru yaitu tidak
jelasnya arah pengembangan desa yang kemudian berujung pada pembangunan desa dan
kawasan perdesaan yang tidak terkendali. Adapun fenomena ini muncul karena programprogram penanganan desa dan kawasan perdesaan tersebut tidak didasarkan pada kebutuhan desa
yang merupakan penjabaran dari visi dan misi suatu daerah yang telah dirumuskan.
Ruang lingkup Pedoman mencakup apa dan bagaimana kiprah masyarakat
dan

pelaku

pembangunan

lainnya

dalam

setiap

langkah

kegiatan

pemanfaatan ruang berikut yang berpedoman pada dokumen Rencana Tata


Ruang,

seperti

RTRWN,

RTRW

Propinsi,

RTRW

Kabupaten,

dengan

mempertimbangkan prinsip-prinsip diatas.


Langkah-langkah

kegiatan

dimaksud di atas meliputi :

dalam

pemanfaatan

ruang

sebagaimana

1)

Adjustment (penyesuaian), yang mencakup kegiatan sosialisasi dan


adaptasi rencana tata ruang kepada warga masyarakat yang berada di
wilayah yang akan terkena dampak penerapan rencana tata ruang;

2)

Penyusunan program pemanfaatan, yang meliputi identifikasi dan


pembuatan

program

sesuai

dengan

tahapan

waktu

untuk

merealisasikan rencana peruntukannya seperti yang tertera pada


rencana tata ruang;
3) Pembiayaan Program, yang mencakup mobilisasi, prioritasi, dan alokasi
pendanaan yang diperlukan untuk pelaksanaan pembangunan sesuai
dengan peruntukannya;
4)

Proses perizinan, yang mencakup kegiatan mempersiapkan dan


mengurus perizinan untuk melaksanakan pembangunan sesuai dengan
tahapan yang direncanakan;

5)

Pelaksanaan pembangunan, yang mencakup kegiatan membangun yang bisa terdiri dari
rangkaian kegiatan survei, investigasi, design, konstruksi, operasi dan pemeliharaan.

Bab 3
Mekanisme dan Prosedur Pemanfaatan Ruang Kawasan Perdesaan

3.1.

Mekanisme Peran Masyarakat

Pelibatan masyarakat dalam proses pemanfaatan ruang wilayah Nasional, Propinsi dan
Kabupaten dilakukan melalui mekanisme dan prosedur pemanfaatan ruang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, dengan langkah-langkah kegiatan yang
meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut:
1)

Adjustment/Penyesuaian;

2)

Penyusunan program pemanfaatan;

3)

Penyusunan pembiayaan program;

4)

Pengurusan proses perizinan;

5)

Pelaksanaan pembangunan.
3.1.1. Adjustment/Penyesuaian

Dalam proses adjustment dari rencana tata ruang wilayah Nasional, tata ruang wilayah
Propinsi, tata ruang wilayah Kabupaten, stakeholder yang berwenang membuat/mengambil
kebijakan, khususnya dari lembaga eksekutif yang terdiri dari Menteri terkait, Gubernur,
Bupati wajib mensosialisasikan dan mengadaptasikan kepada stakeholder yang akan
terkena dampak langsung atas pelaksanaan pembangunan. Dalam hal adjustment Penataan
Ruang Kawasan Perdesaan, sosialisasi dan adaptasi kepada masyarakat pada wilayah
peruntukan sebagaimana dilakukan melalui instansi yang berwenang.
Ketiga stakeholder lainnya melakukan pengawasan, dorongan, mediasi, dan penciptaan
iklim yang kondusif agar proses adjustment berjalan lancar, transparan dan akuntabel.
Inisiatif dari adjutment bisa dimulai dari Eksekutif mapun stakeholder yang terkena
dampak atau stakeholder lain yang telah mengetahuinya dengan mengajukan permintaan
kepada institusi yang berwenang.
Sosialisasi rencana tata ruang sebagaimana disebut diatas dilaksanakan paling tidak selama
7 (tujuh) hari berturut-turut melalui media cetak yang terbit dan atau beredar pada wilayah
setempat, media elektronik yang berada dan atau siaran/penayangan mencakup wilayah
yang bersangkutan, serta dimungkinkan melalui forum-forum pertemuan antar stakeholder.
Proses adaptasi dilaksanakan dengan waktu sesuai kebutuhan, paling tidak 14 (empat
belas) hari sebelum penyusunan program pemanfaatan. Forum pertemuan tersebut
diadakan sampai pada tingkat :
a.

Propinsi untuk sosialisasi dan adaptasi RTRWN;

b.

Kabupaten untuk sosialisasi dan adaptasi RTRW Propinsi;

c.

Kecamatan dan kawasan perdesaan untuk sosialisasi dan adaptasi RTRW Kabupaten;

d.

Desa untuk sosialisasi dan adaptasi Rencana Tata Ruang Kawasan Perdesaan.
3.1.2. Penyusunan Program Pemanfaatan
Penyusunan program dan kegiatan pemanfaatan ruang dikelompokkan menjadi penentuan
program dan kegiatan serta penentuan tahapan waktu pencapaian kegiatan.

a.

Penentuan Program dan Kegiatan

Penentuan program dan kegiatan disusun untuk mendorong implementasi rencana tata
ruang dengan pola pemberian insentif dan disinsentif atas pemanfaatan ruangnya.
Pelaksanaan kebijakan insentif dan disinsentif tersebut ditetapkan dengan Keputusan
Menteri/Gubernur /Bupati.
Kebijakan insentif pemanfaatan ruang bertujuan untuk memberikan rangsangan terhadap
kegiatan yang seiring dengan tujuan rencana tata ruang, yang dilaksanakan antara lain
melalui penetapan kebijakan di bidang ekonomi, sosial, fisik, dan pelayanan umum.
Sedangkan kebijakan disinsentif pemanfaatan ruang bertujuan untuk membatasi
pertumbuhan atau mencegah kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, yang
dilaksanakan antara lain melalui penolakan pemberian perizinan pembangunan,
pembatasan pengadaan sarana dan prasarana.
Kebijakan Nasional atas kawasan yang perlu diberi insentif dan disinsentif ditetapkan oleh
Menteri, sedangkan kebijakan umum kriteria kawasan ditetapkan oleh Gubernur dengan
mengacu pada kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri. Sementara itu kebijakan teknis
kawasan ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan mengacu pada kebijakan umum yang
ditetapkan oleh Gubernur. Pelaksanaan kebijakan insentif dan disinsentif tidak boleh
mengurangi dan menghapuskan hak-hak penduduk sebagai warga negara dan tetap
menghormati hak-hak masyarakat yang melekat pada ruang. Selain itu program dan
kegiatan tersebut disusun dengan mempertimbangkan berbagai masukan dari semua
stakeholder yang dijaring melalui berbagai media yang tersedia.

b.

Penentuan Tahapan
Dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang, RTRW Nasional Propinsi/Kabupaten/Kota
dijabarkan

dalam

Rencana

Pembangunan

Lima

Tahun

(jangka

menengah)

Propinsi/Kabupaten, dan dijabarkan dalam program tahunan (jangka pendek) pemanfaatan


ruang.
Program dan kegiatan pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya diutamakan kepada
kawasan-kawasan yang diprioritaskan pembangunannya guna mendukung pembentukan

struktur dan pola pemanfaatan ruang Nasional/Propinsi/ Kabupaten, yang dialokasikan


sesuai dengan tahapan pembangunan. Penyusunan dan pembiayaannya dibahas dalam rapat
koordinasi pembangunan guna tercapainya keselarasan rencana kegiatan pemanfaatan
ruang dengan rencana kegiatan pembangunan sektoral, nasional, dan daerah. Pelaksanaan
rapat koordinasi antar stakeholder tersebut dilakukan mulai dari tingkatan paling bawah
yaitu RT/RW, Kelurahan/Desa, Kecamatan sampai ke tingkatan Kabupaten/Kota, Propinsi
dan Nasional. Pemanfaatan ruang yang terkait dengan pemanfaatan tanah, air, udara, dan
sumberdaya alam lainnya diselenggarakan melalui pola pengelolaan tata guna tanah, air,
udara dan sumberdaya alam lainnya.
c.

Pelaksanaan Penyusunan Program dan Kegiatan


Penjabaran RTRWN/RTRWP/RTRWK ke dalam rencana pembangunan lima
tahun Nasional/Propinsi/Kabupaten dan program tahunan pemanfaatan
ruang beserta pembiayaannya, dilakukan oleh Eksekutif pada level
masing-masing, yaitu Nasional oleh Menteri terkait, Propinsi oleh
Gubernur yang dibantu oleh Dinas/Kantor terkait, Kabupaten oleh Bupati
yang dibantu oleh Dinas/Kantor terkait dengan mempertimbangkan
masukan dari berbagai stakeholder. Sementara itu penjabaran Rencana
Tata Ruang Kawasan Perdesaan ke dalam Rencana Pembangunan Lima
Tahunan dan program dan kegiatan tahunan pemanfaatan ruang
beserta pembiayaannya, dilakukan oleh instansi yang berwenang atau
badan usaha yang melaksanakan penyusunan Rencana Teknis Ruang
tersebut.
Sinkronisasi program rencana kegiatan pemanfaatan ruang beserta
pembiayaannya dengan rencana kegiatan sektoral dan daerah dilakukan
dalam Rapat Koordinasi Pembangunan Nasional/Propinsi/Kabupaten/Kota
yang melibatkan seluruh stakeholder pada masing-masing tingkatan.

3.1.3. Penyusunan Pembiayaan Program dan Kegiatan

Penyusunan

pembiayaan

dilakukan

oleh

stakeholder

yang

akan

melaksanakannya. Dalam hal yang dilaksanakan oleh Pemerintah, maka


dilaksanakan oleh instansi yang berwenang dan berkepentingan sesuai
dengan level masing-masing dengan meminta persetujuan dari DPR
atau DPRD dan masukan dari masyarakat, swasta, LSM dan stakeholder
lainnya.
Komponen-komponen yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan
pembiayaan

ini

antara

lain

mencakup

perhitungan

biaya

dan

penganggaran, dengan komponen perhitungan yang terdiri dari:


(a) Biaya layanan tenaga ahli utama;
(b) Biaya layanan tenaga ahli pendukung;
(c) Biaya perjalanan;
(d) Biaya bahan;
(e) Biaya pengembangan data dan informasi;
(f) Biaya lain-lain.
Komponen biaya tersebut diatas, tidak termasuk biaya administrasi,
publikasi dan pelibatan masyarakat atau forum warga. Penghitungan
biaya dan anggaran tersebut berdasarkan pada harga satuan yang
berlaku pada wilayah yang bersangkutan. Dalam kondisi tertentu
komponen-komponen tersebut diatas dapat disesuaikan dengan aturan
yang berlaku pada sektor maupun pada pelaku yang menanganinya.

3.1.4. Pengurusan Proses Perizinan


Izin lokasi adalah izin untuk membebaskan tanah di areal yang telah
ditetapkan dalam rangka untuk memperoleh tanah tersebut agar hak
atas tanah nya dapat diproses. Izin lokasi merupakan sarana untuk
mengarahkan dan mengendalikan penggunaan tanah agar sesuai
dengan rencana tata ruang. Pemegang izin lokasi tidak mempunyai hak
untuk menguasai tanah yang telah ditetapkan pada areal izin lokasi.

Karena izin lokasi adalah hanya izin untuk membebaskan tanah bukan
untuk menguasai areal yang ditunjuk.
Hak menguasai atau menggunakan tanah pada areal izin lokasi dapat
diberikan apabila pemegang izin lokasi telah membebaskan atau telah
mengadakan ganti rugi kepada pemilik semula dan telah mempunyai
tanda bukti yang syah atau autentik. Izin lokasi ditandatangani oleh
Bupati, tetapi data pertanahan sebagai bahan untuk penerbitan SK izin
lokasi dipersiapkan oleh Badan/Kantor pertanahan setempat. Sebelum
izin lokasi diterbitkan, pemegang izin lokasi harus melaksanakan
penjelasan, pemaparan, konsultasi, koordinasi dan pendekatan dengan
masyarakat

untuk

memperoleh

dukungan

dan

partisipasi

dari

masyarakat.
Pelaporan dan evaluasi dalam rangka pengawasan pemanfaatan ruang
pada tingkat Nasional dilaksanakan oleh Menteri terkait, pada tingkat
Propinsi dilaksanakan oleh Gubernur yang dibantu oleh Bappeda
Propinsi, pada tingkat Kabupaten dilaksanakan oleh Bupati yang dibantu
oleh Bappeda Kabupaten.
Pemantauan dalam rangka pengawasan pemanfaatan ruang pada
tingkat Nasional dilaksanakan oleh Menteri terkait bersama masyarakat,
pada tingkat Propinsi dilaksanakan oleh Dinas Teknis terkait bersama
masyarakat, dan pada tingkat Kabupaten dilaksanakan oleh Dinas
Kabupaten terkait bersama masyarakat.
Penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Kawasan Perdesaan

yang telah ditetapkan

dilakukan melalui pemeriksaan dan penyidikan yang dilakukan oleh


Penyidik Pemerintah dan Penyidik Publik. Dalam proses pengurusan
perizinan ini masyarakat diberitahu seluruh prosesnya dari awal hingga
akhir untuk menghindari penyalahgunaan proses dan kewenangan yang
ada.

3.1.5. Pelaksanaan Pembangunan


Pelaksanaan pembangunan dilakukan dengan tata-urut proses sebagai
berikut :
a.

Survey, yang mencakup kegiatan penyelidikan dan pengukuran;

b.

Investigasi, yang merupakan kegiatan pencatatan fakta-fakta atas hasil


peninjauan atau penyidikan;

c.

Desain, merupakan kegiatan pembuatan kerangka bentuk atau


perancangan;

d.

Konstruksi, merupakan kegiatan pelaksanaan atau pembangunan apa


yang ada dalam desain;

e.

Operasional dan pemeliharaan, yang merupakan kegiatan untuk


menggunakan atau memfungsikan hasil konstruksi dan pemeliharaan
agar berfungsi seoptimal mungkin.
Dalam kondisi tertentu komponen-komponen tersebut diatas dapat
disesuaikan dengan aturan yang berlaku pada sektor maupun pada
pelaku yang menanganinya.
Prosedur peran masyarakat untuk merealisasikan langkah-langkah
Penataan Ruang Kawasan Perdesaan dapat diuraikan sebagai berikut :

1)

Tingkat Nasional
Peran masyarakat pada tingkat nasional dapat berupa pemberian data
atau informasi yang dapat dipertanggungjawabkan yang terkait dengan
mekanisme Penataan Ruang Kawasan Perdesaan tersebut diatas.
Informasi

tersebut

disampaikan

disosialisasikan dan diadaptasikan.

kepada

Menteri

terkait

setelah

2)

Tingkat Propinsi
Peran masyarakat pada tingkat Propinsi dapat berupa penyampaian
data atau informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, disampaikan
kepada Gubernur selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
disosialisasikan dan diadaptasikan. Pemberian masukan dapat dilakukan
secara tertulis yang tembusannya dapat disampaikan kepada Ketua
DPRD atau secara lisan yang dicatat dan dituangkan dalam berita acara
yang dibuat oleh Bappeda Propinsi. Pemberian masukan tersebut dapat
dilakukan melalui seluruh media komunikasi yang tersedia. Informasi,
saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan, atau masukan
dari masyarakat tentang indikasi kebijakan maupun yang berkaitan
dengan mekanisme pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud diatas
yang dianggap signifikan dibahas dalam forum pertemuan yang lebih
luas dengan melibatkan para pakar dan tokoh masyarakat yang
merupakan representasi stakeholder bersama Gubernur yang dibantu
oleh TKPRD Provinsi dan instansi terkait.

3)

Tingkat Kabupaten
Peran masyarakat pada tingkat Kabupaten dapat berupa penyampaian
data atau informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, disampaikan
kepada Bupati untuk kawasan perdesaan selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari setelah disosialisasikan dan diadaptasikan. Pemberian
masukan dapat dilakukan secara tertulis yang tembusannya dapat
disampaikan kepada Ketua DPRD atau secara lisan yang dicatat dan
dituangkan dalam berita acara yang dibuat oleh Bappeda Kabupaten.
Pemberian masukan tersebut dapat dilakukan melalui seluruh media
komunikasi yang tersedia.
Informasi, saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan, atau
masukan dari masyarakat tentang penentuan arah pengembangan dan
hal

lain

yang

terkait

dengan

mekanisme

pemanfaatan

ruang

sebagaimana dimaksud diatas, dibahas dalam forum pertemuan yang

lebih luas dengan melibatkan para pakar dan tokoh masyarakat yang
merupakan representasi stakeholder bersama Bupati yang dibantu oleh
TKPRD Provinsi instansi terkait.

Program pemanfaatan ruang yang disusun tidak boleh bertentangan


dengan peraturan perundangan yang berlaku, agama maupun adat dan
budaya setempat. Apabila dengan mekanisme dan prosedur tersebut
masih terjadi konflik antar stakeholder dalam memanfaatkan ruang,
maka diupayakan cara-cara musyawarah oleh stakeholder untuk tujuan
akhir kemaslahatan warga yang terkena dampak, tetapi dengan tidak
meningggalkan benefit yang lebih luas.

Anda mungkin juga menyukai