10e00177 PDF
10e00177 PDF
TESIS
Oleh :
HERMAN
PEMBIMBING :
Dr. MASHITA DEWI S, SpM
Dr. H. AZMAN TANJUNG, SpM
Prof. Dr. H. ASLIM D. SIHOTANG, SpMK
Drs. H. ABDUL DJALIL AMRI ARMA, M.Kes
Telah disetujui
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------1. Dr. Delfi, SpM
Kepala Bagian
Pembimbing
Pembimbing
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan Syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT Yang Maha
Pengasih Lagi Maha Penyayang, Tuhan Yang Maha Kuasa, berkat Ridha dan KaruniaNya penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu syarat
untuk memperoleh keahlian dalam bidang Ilmu Kesehatan Mata. Sebagai manusia biasa,
saya menyadari bahwa tesis ini banyak kekurangannya dan masih jauh dari sempurna,
namun demikian besar harapan saya kiranya tulisan sederhana ini dapat bermanfaat
dalam menambah perbendaharaan bacaan khususnya tentang :
pengorbanan dan doa yang diberikan kepada saya hingga dapat menyelesaikan
pendidikan ini.
Akhirnya kepada seluruh keluarga handai tolan yang tidak dapat saya sebutkan
namanya satu persatu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang telah banyak
memberikan bantuan, baik moril maupun materil, saya ucapkan banyak terima kasih.
Herman
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................ i
BAB I. PENDAHULUAN ............................................. 1
1.1. LATAR BELAKANG ................................................................................ 1
1.2. RUMUSAN MASALAH ............................................................................ 4
1.3. TUJUAN PENELITIAN ............................................................................. 4
1.4. MANFAAT PENELITIAN ......................................................................... 5
1.5. HIPOTESA ................................................................................................. 5
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 51
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Terminologi kebutaan didefinisikan berbeda-beda di setiap negara seperti
kebutaan total, kebutaan ekonomi, kebutaan hukum dan kebutaan sosial. Terdapat 65
definisi kebutaan tertera dalam publikasi WHO tahun 1966. Di dalam oftalmologi
terminologi kebutaan terbatas pada tidak dapatnya melakukan aktifitas sampai tidak
adanya persepsi cahaya. Agar terdapat perbandingan secara statistik baik nasional
maupun internasional. WHO tahun 1972 telah mengajukan kriteria secara seragam dan
definisi kebutaan sebagai suatu tajam penglihatan yang kurang dari 3/60 (Snellen) atau
yang ekuivalen dengannya. Pada tahun 1979 WHO menambahkan dengan ketidak
sanggupan hitung jari pada siang hari pada jarak 3 meter 1.
Pada tahun 1977, International Classification of Diseases (ICD) membagi
berkurangnya penglihatan menjadi 5 kategori dengan maksimum tajam penglihatan
kurang dari 6/18 Snellen, dimana kategori 1 dan 2 termasuk pada low vision sedangkan
kategori 3,4 dan 5 disebut blindness.1,2 Definisi low vision dan blindness baru-baru ini
berdasarkan International Statistical Classification of Diseases, injuries and causes of
death, 10th revision (ICD-10): H54 (9) dimana visual impairment termasuk low vision
dan blindness. Low vision didefinisikan sebagai tajam penglihatan yang kurang dari 6/18,
tapi sama atau lebih baik dari 3/60, atau hilangnya lapang pandangan korespoden kurang
dari 20 pada mata yang lebih baik dengan koreksi terbaik (visual impairment katgori 1
dan 2). Blindness didefinisikan sebagai tajam penglihatan yang kurang dari 3/60, atau
hilangnya lapang pandangan koresponden kurang dari 10 pada mata yang lebih baik
dengan koreksi terbaik (visual impairment kategori 3, 4 dan 5).3
WHO memperkirakan terdapat 45 juta penderita kebutaan di dunia dimana
sepertiganya berada di Asia Tenggara. Diperkirakan 12 orang menjadi buta tiap menit di
dunia dan 4 orang diantaranya berasal dari Asia Tenggara, sedangkan di Indonesia
diperkirakan setiap menit ada satu orang menjadi buta. Sebagian orang yang buta di
Indonesia berada di daerah miskin dengan kondisi sosial ekonomi yang lemah. Beberapa
penelitian melaporkan prevalensi kebutaan bilateral di negara berkembang di Asia
berkisar 0,3 4,4 % 2,4 . dibandingkan dengan angka kebutaan di Negara Asia Tenggara,
angka kebutaan di Indonesia adalah yang tertinggi (1,5%), dimana Bangladesh 1%, India
0,7%, Thailand 0,3%. 2
Menurut perkiraan WHO pada tahun 2002, penyebab kebutaan paling utama di
dunia adalah katarak ( 47,8%), glaukoma (12,3%), uveitis (10,2%), age-related macular
degeneration (AMD) (8,7%), trakhoma (3,6%), corneal opacity (5,1%), dan diabetic
retinopathy (4,8%).5
Propinsi Sumatera Utara terdiri dari 13 Kabupaten dan 6 Kota dengan jumlah
penduduk 11.476.272 jiwa dan populasi penduduk miskin 24,2% memiliki 46 Rumah
Sakit dan 402 Pusat Kesehatan Masyarakat, diperkirakan memiliki angka prevalensi
kebutaan akibat glaukoma yang lebih kecil dari pada prevalensi kebutaan akibat
glaukoma secara nasional seperti pada penelitian Sri Ninin Asnita di Kabupaten Karo
tahun 2004 didapat prevalensi kebutaan akibat glaukoma sebesar 0,094%.11,12 Berikut ini
adalah penelitian yang dilakukan di Sumatera Utara oleh Departemen Mata tahun 2004
didapat angka kebutaan sebagai berikut : kebutaan akibat Katarak ( Tanjung Balai 0,37%;
Karo 0,41% ), Glaukoma (Karo 0,094%) , Kelainan Refraksi ( Tanjung Balai 0,09%;
Karo 0,12% ), Gangguan Retina ( Tanjung Balai 0,06%; Karo 0,11% ), dan Kelainan
Kornea ( Tanjung Balai 0,11%; Karo 0,08% ).
1.5. HIPOTESA
Terdapat angka kebutaan akibat glaukoma yang lebih rendah di Kabupaten
Tapanuli selatan pada tahun 2009 dibandingkan dengan angka kebutaan nasional.
1
2
3
4
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KERANGKA TEORI
2.1.1. Definisi :
Glaukoma merupakan suatu kumpulan penyakit yang mempunyai suatu
karakteristik umum optik neuropati yang berhubungan dengan hilangnya fungsi
penglihatan. Walaupun kenaikan tekanan intra okuli (TIO) adalah satu dari faktor
resiko primer, ada atau tidaknya faktor ini tidak merubah definisi penyakit.13
2.1.2. Patofisiologi
Terdapat tiga faktor penting yang menentukan tekanan bola mata, yaitu :
1. Jumlah produksi akuos oleh badan siliar.
2. Tahanan aliran akuos humor yang melalui sistem trabekular meshwork-kanalis
Schlem.
3. Level dari tekanan vena episklera.
Umumnya peningkatan TIO disebabkan peningkatan tahanan aliran akuos humor.
Akuos humor dibentuk oleh prosesus siliaris, dimana masing-masing prosesus
ini disusun oleh epitel lapis ganda, dihasilkan 2-2,5L/menit, mengalir dari kamera
okuli posterior, lalu melalui pupil mengalir ke kamera okuli anterior.13 Sebagian besar
akan keluar melalui sistem vena, yang terdiri dari jaringan trabekulum, juxta
kanalikuler, kanal Schlemm dan selanjutnya melalui saluran pengumpul (collector
channel). Aliran akuos humor akan melewati jaringan trabekulum sekitar 90%.
Herman : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukoma Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Sebagian kecil akan melalui struktur lain pada segmen anterior hingga mencapai
ruangan supra khoroid. Untuk selanjutnya akan keluar melalui sklera yang intak atau
saraf maupun pembuluh darah yang memasukiya. Jalur ini disebut juga dengan jalur
uveosklera (10-15%)13-16.
Tekanan bola mata yang umum dianggap normal adalah 10-21 mmHg. Pada
banyak kasus peningkatan tekanan bola mata dapat disebabkan oleh peningkatan
resistensi aliran akuos humor. Beberapa faktor resiko dapat menyertai perkembangan
suatu glaukoma termasuk riwayat keluarga, umur, sex, ras, genetik, variasi diurnal,
olahraga, obat-obatan) 13,16
Proses kerusakan papil saraf optik (cupping) akibat tekanan intraokuli yang
tinggi atau gangguan vaskuler ini akan bertambah luas seiring dengan terus
berlangsungnya kerusakan jaringan sehingga skotoma pada lapang pandangan makin
bertambah luas. Pada akhirnya terjadi penyempitan lapang pandangan dari yang
ringan sampai berat. 13,15
Glaukomatous optik neuropati adalah tanda dari semua bentuk glaukoma.
Cupping glaukomatous awal terdiri dari hilangnya akson-akson, pembuluh darah, dan
sel glia. Perkembangan glaukomatous optik neuropati merupakan hasil dari berbagai
variasi faktor, baik intrinsik maupun ekstrinsik. Kenaikan TIO memegang peranan
utama terhadap perkembangan glaukomatous optik neuropati.13
Terdapat 2 hipotesa yang menjelaskan perkembangan glaukomatous optik
neuropati, teori mekanik dan iskemik. Teori mekanik menekankan pentingnya
kompresi langsung serat-serat akson dan struktur pendukung nervus optikus anterior,
dengan distorsi lempeng lamina kribrosa, dan interupsi aliran aksoplasmik, yang
Herman : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukoma Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
berakibat pada kematian sel ganglion retina (RGCs). Teori iskemik fokus pada
perkembangan potensial iskemik intraneural akibat penurunan perfusi nervus optikus.
Perfusi ini bisa akibat dari penekanan TIO pada suplai darah untuk nervus atau proses
intrinsik pada nervus optikus. Gangguan autoregulasi pembuluh darah mugkin
menurunkan perfusi dan mengakibatkan gangguan saraf. Pembuluh darah nervus
optik secara normal meningkat atau menurunkan tekanannya untuk memelihara aliran
darah konstan, tidak tergantung TIO dan variasi tekanan darah.13,14
Pemikiran terbaru tentang glaukomatous optik neuropati mengatakan bahwa
kedua faktor mekanik dan pembuluh darah mungkin berperan terhadap kerusakan.
Glaukoma adalah seperti suatu kelainan famili heterogen, dan kematian sel ganglion
terlihat pada glaukomatous optik neuropati yang di mediasi oleh banyak faktor.13
2.1.3. Klasifikasi
Adapun menurut American Academy of Ophthalmology glaukoma dibagi atas :
1. Glaukoma Sudut Terbuka
Penyebabnya secara umum adalah sebagai suatu ketidaknormalan pada
matriks ekstraseluler trabekular meshwork dan pada sel trabekular pada daerah
jukstakanalikuler, meskipun juga ada di tempat lain. Sel trabekular dan matriks
ekstraseluler di sekitarnya diketahui ada pada tempat agak sedikit spesifik.13
A. Glaukoma Primer Sudut Terbuka/Primary open-angle glaucoma (POAG)
Tidak terdapat penyakit mata lain atau penyakit sistemik yang menyebabkan
peningkatan hambatan terhadap aliran akuos atau kerusakan terhadap syaraf optik,
biasanya disertai dengan peningkatan tekanan intraokuli. Glaukoma primer sudut
Herman : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukoma Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
terbuka merupakan glaukoma tipe terbanyak dan umumnya mengenai umur 40 tahun
keatas. POAG dikarakteristikkan sebagai suatu yang kronik, progresif lambat, optik
neuropati dengan pola karakteristik kerusakan saraf optik dan hilangnya lapang
pandangan. POAG didiagnosa dengan suatu kombinasi penemuan termasuk tingkat
TIO, gambaran diskus optik, dan hilangnya lapangan pandang. Tekanan bola mata
merupakan faktor resiko penting walaupun beberapa keadaan lain dapat menjadi
faktor yang berpengaruh seperti riwayat keluarga, usia, ras, myopia, diabetes mellitus
(DM) dan lain-lain.13
Patogenesis naiknya TIO pada POAG disebabkan oleh karena naiknya tahanan
aliran akuos humor di trabekular meshwork. Kematian sel ganglion retina timbul
terutama melalui apoptosis (program kematian sel) daripada nekrosis. Banyak faktor
yang mempengaruhi kematian sel, tetapi pendapat terbaru adalah dipertentangkan
antara kerusakan akibat iskemik dan mekanik.14
B. Glaukoma dengan Tensi Normal
Kondisi ini adalah bilateral dan progresif, dengan TIO dalam batas normal.
Banyak ahli mempunyai dugaan bahwa faktor pembuluh darah lokal mempunyai
peranan penting pada perkembangan penyakit. Penelitian memperkirakan bahwa
pasien dengan glaukoma tensi normal memperlihatkan prevalensi kelainan
vasospastik yang lebih tinggi seperti sakit kepala migraine dan fenomena Raynaud,
penyakit iskemik vaskular dan lain-lain dibanding pasien dengan glaukoma tensi
tinggi, penemuan ini belum tetap. Penelitian lain mengatakan adanya defek
autoregular pembuluh darah. Merupakan bagian dari glaukoma primer sudut terbuka,
tanpa disertai peninggian tekanan intra okuli.13,14
Herman : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukoma Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
C. Glaukoma Suspek
Glaukoma suspek diartikan sebagai suatu keadaan pada orang dewasa yang
mempunyai satu dari penemuan berikut paling sedikit pada satu mata yaitu :
-
suatu defek nerve fiber layer atau nervus optikus perkiraan glaukoma
(perluasan cup-disc ratio, asimetris cup-disc ratio, notching neural rim,
perdarahan diskus, ketidaknormalan lokal atau difus pada nerve fiber
layer).
Biasanya, jika terdapat 2 atau lebih tanda di atas maka dapat mendukung
diagnosa untuk POAG, khususnya bila terdapat faktor-faktor resiko lain seperti usia
lebih dari 50 tahun, riwayat keluarga glaukoma, dan ras hitam, juga sudut bilik mata
terbuka pada pemeriksaan gonioskopi.13
D. Glaukoma Sekunder Sudut Terbuka
Bila terjadi peningkatan tekanan bola mata sebagai akibat manifestasi penyakit
lain di mata maka glaukoma ini disebut sebagai glaukoma sekunder. Contoh
glaukoma jenis ini adalah :
akan
mengganggu aliran akuos humor. Asal material ini secara pasti tidak diketahui,
kemungkinan berasal dari berbagai sumber sebagai bagian dari kelainan membran
dasar umum.13,14
Glaukoma pigmenter terdiri dari deposit pigmen pada endotel kornea dalam
suatu pola vertical spindle (krukenberg spindle), pada tabekular meshwork, dan pada
perifer lensa, dan secara khas, defek transiluminasi iris midperifer. Glaukoma
pigmenter adalah glaukoma yang diakibatkan tertimbunnya deposit pigmen akibat
degenerasi epitel pigmen iris dan korpus siliaris. 13,14
Glaukoma akibat kelainan lensa dapat dalam berbagai bentuk yaitu fakolitik,
fakoantigenik dan akibat partikel lensa. Glaukoma fakolitik terjadi sebagai akibat
kebocoran protein lensa pada katarak matur dan hipermatur. Kebocoran ini sering
disertai pada awalnya dengan rasa nyeri dan inflamasi segmen anterior. Jaringan
trabekulum akan tersumbat oleh sel-sel makrofag dan protein lensa. Glaukoma
fakoantigenik (dulunya fakoanafilaktik) terjadi sebagai akibat tindakan bedah atau
karena trauma yang menyebabkan lensa pecah. Penderita akan tersensitisasi oleh
protein lensanya sendiri, dan selanjutnya terjadi reaksi inflamasi. Bila inflamasi
mengenai jaringan trabekulum maka dapat menyebabkan glaukoma. Glaukoma akibat
partikel lensa terjadi bila partikel korteks lensa menyumbat trabekular meshwork
setelah operasi ekstraksi katarak, kapsulotomi atau trauma okuli.13-16
Herman : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukoma Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Blok pupil yang terjadi akibat iris yang condong kearah depan merupakan penyebab
tersering glaukoma sudut tertutup. Aliran akuos humor dari posterior ke anterior akan
terhalang. Dengan diproduksinya terus menerus akuos humor sementara tekanan bola
mata terus naik, maka akan sekaligus menyebabkan terjadinya pendorongan iris
menekan jaringan trabekulum sehingga sudut bilik menjadi sempit.13,14,16
A. Glaukoma Primer Sudut Tertutup dengan Blok Pupil Relatif
Glaukoma dengan blok pupil relatif ini timbul bila terdapat hambatan gerakan
akuos humor melalui pupil karena iris kontak dengan lensa, lensa intraokuli, capsular
remnants, anterior hyaloid, atau vitreous space-occupying substance (udara, minyak
silikon). Blok pupil relatif ini diperkirakan penyebab yang mendasari lebih dari 90%
glaukoma primer sudut tertutup.13
B. Glaukoma Sudut Tertutup Akut.
Timbul ketika tekanan intra okuli meningkat dengan cepat sebagai akibat
bendungan yang tiba-tiba dari trabekuler meshwork oleh iris. Khasnya terjadi nyeri
mata, sakit kepala, kabur, halo, muntah, mual, karena tingginya TIO menyebabkan
edema epitel.13
C. Glaukoma Sudut Tertutup Subakut (intermitten)
Glaukoma sudut tertutup akut yang berulang dengan gejala lebih ringan dan
sering didahului dengan peningkatan tekanan intra okuli. Gejala yang timbul dapat
hilang secara spontan, terutama pada waktu tidur-menginduksi miosis.13
D. Glaukoma Sudut Tertutup Kronik
Tekanan intraokuli meningkat disebabkan bentuk ruang anterior yang bervariasi
dan menjadi tertutup secara permanent oleh sinekia anterior. Penyakit ini cenderung
terdiagnosa pada stadium akhir, sehingga menjadi penyebab kebutaan terbanyak di
Asia Tenggara.13
E. Glaukoma Sekunder Sudut Tertutup dengan Blok Pupil
Dapat disebabkan oleh fakomorfik glaukoma (disebabkan oleh lensa yang
membengkak/intumensasi lensa), ektopia lentis (perubahan letak lensa dari posisi
anatomisnya), blok pupil juga dapat terjadi pada mata afakia dan pseudokafia.13
F. Glaukoma Sekunder Sudut Tertutup tanpa Blok Pupil
Glaukoma sekunder ini dapat terjadi oleh karena 1 dari 2 mekanisme berikut:
a. Kontraksi dari inflamasi, perdarahan, membran pembuluh darah, band,
atau eksudat pada sudut yang menyebabkan perifer anterior sinekia (PAS).
b. Perubahan tempat ke depan dari diafragma lensa-iris, sering disertai
pembengkakan dan rotasi ke depan badan siliar.
Yang termasuk glaukoma ini seperti glaukoma neovaskular, sindrom iridocorneal
endothelial ( ICE), tumor, inflamasi, aquos misdirection, dan lain-lain.13
Herman : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukoma Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
antara 0,1-0,4, walaupun sekitar 5% individu normal mempunyai rasio CDR yang
lebih besar dari 0,6. Asimetri rasio CDR lebih dari 0,2 terdapat pada kurang dari 1%
orang normal.13
Membedakan cup normal dari cup glaukomatous adalah sulit. Perubahan awal
dari glaukomatous optik neuropati adalah sangat halus yaitu:
Atrofi peripapil
Depresi umum
Paracentral scotoma
Nasal step
Defek altitudinal
Temporal wedge.13
2.1.5. Penatalaksanaan
Pengobatan terhadap glaukoma adalah dengan cara medikamentosa dan operasi.
Obat obat anti glaukoma meliputi :
Parasympathomimetik
(miotik)
agents,
termasuk
cholinergic
anticholinesterase agents
Kombinasi obat
Hyperosmotic agents.13,14
dan
o Cyclodialysis
o Viscocanalostomy
TAPANULI
SELATAN.
2007, berkisar 261.664, 266.477, 261.781 dengan laju pertumbuhan penduduk Kabupaten
Tapanuli Selatan pada tahun 2007 dibandingkan tahun 2005 adalah sebesar 1,83 %.17
Kecamatan
Puskesmas
Puskesmas
Balai
Puskesmas
Pembantu
Pengobatan
Keliling
73
Sayurmatinggi
74
Angkola
57
26
Angkola Barat
40
Batang Toru
66
Marancar
29
Sipirok
12
49
Arse
30
Saipar Dolok
73
Aek Bilah
30
Muara Batang
Batang
Posyandu
Angkola
Timur
Angkola
Selatan
Hole
Toru
Tabel 2. Sarana/Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Tapanuli Selatan (Sumber BPS.
Prop. Sumut 2008)
Tenaga Medis yang tersedia di Kabupaten Tapanuli Selatan, baik negeri maupun
swasta ada 43 orang Dokter Umum, 10 orang Dokter Gigi dan 1 orang Dokter Spesialis.
Dokter Spesialis Mata belum ada.17
BAB III
KERANGKA KONSEPSIONAL DAN DEFINISI OPERASIONAL
KERANGKA KONSEP
SARANA DAN
PRASARAN
KESEHATAN
SOSIAL
EKONOMI
BUDAYA TTG
PEMELIHARAAN
KES.MATA
KEBUTAAN
GLAUKOMA
SUMBER DAYA
MANUSIA
GEOGRAFI
23
c. Geografi
d. Sumber daya manusia
e. Sarana dan prasarana kesehatan
Geografi adalah kondisi alam apakah mudak atau sulit dijangkau dari saraba
dan prasarana kesehatan yang tersedia, dimana hal tersebut
akan
Sumber daya manusia adalah tenaga ahli, khususnya dokter spesialis mata dan
perawat refraksionis mata tersedia.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
25
Besar sample adalah jumlah penduduk dari 6 kecamatan yang terpilih yang
dianggap mewakili satu kabupaten yang ada di wilayah, dimana jumlah sample yang
akan diambil dihitung dengan rumus Cluster Random Sampling dengan metode
Proportional Allocation Method, yaitu :
N Z2 c2
n =
Dimana :
N G2 M2 + Z2 c2
Jumlah populasi
c2
Varians populasi
( ai + P mi )2
=
n-1
n-1
= mi
n
Nh n
N
Varians populasi
( ai + P mi )2 = ai2 2 P ai Mi + P2 mi2
n -1
n -1
19345,13849
ai
mi
mi
ai
0,1
mi
n
968,538
1,5 %
0.20 %
Jlh penduduk
Nh
nasioal
1,5%
Taksiran
glauko ma
mi
ai
Miai
G3%
94
498867
8869
66516
22
0,2 %
Ai
Angkola Barat
47087
Mi
706
Sayurmatinggi
36733
551
73
303595
5397
40479
17
Batang Angkola
30771
462
62
213042
3787
28406
15
Sipirok
30494
457
61
209224
3720
27897
15
Batang Toru
25918
389
52
151142
2687
20152
12
Angkola Timur
23548
353
2918
47
389
124764
1500635
2218
26678
16635
200085
11
93
194551
untuk satu kabupaten diwakili oleh 6 Kecamatan dengan beberapa desa terpilih
setelah survey pendahuluan. Peneliti akan mengunjungi seluruh Unit Pelayanan
Kesahatan di wilayah penelitian yang terdiri dari Puskesmas Induk dan Puskesmas
Pembantu, dimana dengan kerja sama lintas sektor melalui kecamatan, lurah dan
kepala lingkungan yang berada di wilayah kabupaten tersebut. Kemudian peneliti
menentukan jadwal pemeriksaan yang sebelumnya berkoordinasi dengan kepala
Puskesmas yang bertugas di wilayah penelitian, lalu penderita glaukoma
dikumpulkan di puskesmas pada waktu tertentu, kemudia peneliti akan memeriksa
langsung sample. Jumlah sample yang belum mencukupi dilakukan pemeriksaan
langsung ke rumah-rumah pada lingkungan yang terpilih dengan dibantu kepala
lingkungan.
Terhadap subjek peserta penelitian dilakukan, serangkain pemeriksaan sebagai
berikut :
Alur Penelitian
Pasien Datang
Visus
< 3/60
3/60
TIO > 22
TIO < 22
Eksklusi
Eksklusi
Funduskopi
dapat
dilakukan
Funduskopi
tidak dapat
dilakukan
Tanda
tanda
glaucoma(+)
Tanda
tanda
glaucoma(-)
Tangen screen
visual field
Perimetri
(+)
Tangen screen
visual field
Perimetri
(-)
Eksklusi
glaucoma
glaucoma
glaucoma
32
4.9. LAMA PENELITIAN
Lama penelitian diperkirakan 3 bulan seperti pada table di bawah ini :
Bulan
Minggu
Usulan
penelitian
Penelitian
Penyusunan
Laporan
Presentasi
Juli
1 2
Agustus
1 2 3
September
1 2 3
Desember
1 2 3
: Herman
Pembantu Penelitian
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini berbentuk survei yang dilakukan pada tanggal 29 Juni 2009 sampai
dengan 31 Juli 2009 pada 6 kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan didapat penderita
yang mengalami kebutaan sebanyak 360 orang, dari beberapa desa masing-masing
kecamatan dengan jumlah populasi 29332 orang.
Jumlah sampel buta yang didapat dari 6 kecamatan adalah sebagai berikut, yaitu :
Kecamatan Angkola Barat : 22 jiwa, Kecamatan Sayurmatinggi : 103 Jiwa, Kecamatan
Batang Angkola : 99 jiwa, Kecamatan Sipirok : 43 jiwa, Kecamatan Batang Toru : 30
jiwa, Kecamatan Angkola Timur : 63 jiwa.
Hal ini sesuai dengan rumus pengambilan sampel, dimana jumlah sampel yang
diambil sesuai dengan rumus Cluster dengan cara Propositional Allocation methode.
34
LAKI - LAKI
PEREMPUAN
Jumlah
< 10
10 20
10
12
32
21 30
31 40
11
15
26
41 50
12
14
26
51 60
16
49
65
61 70
22
89
111
71 80
22
55
77
> 80
16
18
JUMLAH
104
256
360
Dari tabel 5.1 distribusi sampel berdasarkan usia diatas, didapatkan jumlah sampel
terbanyak pada usia 61 -70 tahun yaitu 111 orang. Selanjutnya usia 71 - 80 tahun
sebanyak 77 orang dan seterusnya.
2. Jenis kelamin
Tabel 5.2. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin
Laki laki
104
28,89
Perempuan
256
71,11
Jumlah
360
100
Hasil tabel 5.2. didapatkan sampel berjenis kelamin laki laki sebanyak 104
orang ( 28,89% ) dan perempuan sebanyak 256 orang ( 71,11% ).
Herman : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukoma Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
3. Tingkat Pendidikan
Tabel 5.3. Distribusi sampel berdasarkan tingkat pendidikan.
Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah
63
17,50
SD
226
62,78
SMP
40
11,11
SMA
30
8,33
Akademi / PT
0,28
Jumlah
360
100
Hasil tabel 5.3. memperlihatkan bahwa sampel yang tidak sekolah sebanyak 63
orang, SD / sederajat 226 orang , SMP / sederajat 40 orang, SMA / sederajat 30
orang. Akademi / Perguruan Tinggi 1 orang. Sebagian besar tingkat pendidikan sampel
adalah Sekolah Dasar atau yang sederajat.
4. Jenis pekerjaan
Tabel 5.4. Distribusi sampel berdasarkan jenis pekerjaan
Pekerjaan
Petani
Pengemudi
Pegawai
Ibu Rumah Tangga
Dagang / wiraswasta
Lainnya
Jumlah
N
251
3
5
25
35
41
360
%
69,72
0,83
1,39
6,95
9,72
11,39
100
Dari tabel 5.4. diatas tampak bahwa petani merupakan porsi terbesar yaitu sebanyak 251
orang atau 69,72%.
5. Suku Bangsa
Tabel 5.5. Distribusi sampel berdasarkan suku bangsa
Suku Bangsa
Jawa
1,39
Mandailing
232
64,44
Melayu
0.28
Batak lainnya
117
32,50
Minang
1,39
Jumlah
360
100
B. PESERTA PENELITIAN
Dari penduduk yang diperiksa ditemukan sampel kebutaan yang menurut kriteria
inklusi sebanyak 360 orang, sementara sampel kebutaan akibat glaukoma ditemukan
sebanyak 20 orang dengan kebutaan bilateral ( dua mata ) dan penderita kebutaan akibat
glaukoma secara unilateral ( satu mata ) sebanyak 23 orang. Didapatkan penderita
kebutaan akibat glaukoma sejumlah 43 orang.
Satu mata
N
%
8,69
2
26,08
6
56,52
13
8,69
2
8,69
23
100
5 20
21 40
41 60
61 80
> 81
Jumlah
Dua mata
N
%
2
10
1
5
6
30
9
45
2
10
20
100
Total
N
%
2
4,65
3
6,97
12
27,90
22
51,16
4
9,30
43
100
Dari tabel di atas tampak bahwa kelompok usia 61-80 tahun merupakan penderita
kebutaan akibat glaukoma terbanyak yakni sebanyak 22 orang ( 51% ). Selanjutnya usia
41-60 tahun sebanyak 12 orang ( 27% ).
b. Jenis kelamin
Tabel 5.7. Distribusi kebutaan akibat glaukoma berdasarkan jenis kelamin.
Jenis
Satu mata
Dua mata
Total
kelamin
Laki laki
16,28
20,9
16
37
Perempuan
16
37,21
11
25,6
27
63
Jumlah
23
53,5
20
46,5
43
100
Dari tabel di atas tampak bahwa kebutaan akibat glaukoma secara unilateral ( satu
mata ) banyak diderita oleh perempuan yaitu 16 orang (37,21 % ) sedangkan laki laki 7
orang (16,28 % ). Kebutaan akibat glaukoma secara bilateral ( dua mata ) ditemukan pada
perempuan sebanyak 11 orang (25,6% ) dan laki-laki 9 orang (20,9% ).
Herman : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukoma Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
c. Tingkat pendidikan
Tabel 5.8. Distribusi kebutaan akibat galukoma berdasarkan tingkat pendidikan.
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Persentase (%)
Tidak sekolah
18,6
SD
24
55.8
SMP
11.6
SMU
11.6
Akademi/PT
2.3
Jumlah
43
100
Dari tabel di atas tampak bahwa penderita kebutaan akibat glaukoma lebih banyak
terdapat pada yang memiliki tingkat pendidikan rendah yaitu 8 orang berpendidikan tidak
sekolah, 24 orang pendidikan sekolah dasar dan 5 orang berpendidikan SMP, 5 orang
yang berpendidikan SMU. Pendidikan yang rendah biasanya sebanding dengan tingkat
pengetahuan dan tingkat sosio ekonomi yang rendah pula, sehingga hal ini
mempengaruhi pandangan terhadap kebutaan akibat glaukoma.
d. Pekerjaan
Tabel 5.9. Distribusi kebutaan akibat glaukoma berdasarkan pekerjaan.
Pekerjaan
Jumlah
Persentase (%)
Petani
29
67,4
Dagang/Wiraswasta
11,6
Pegawai
2,3
IRT
6,9
Pelajar
Pengemudi
Lainnya
11,6
Jumlah
43
100
Buruh/Karyawan
Jumlah
Ya
4,6
Tidak
38
88,3
Tidak tahu
6,9
Jumlah
43
100
Dari tabel di atas, 38 orang tidak mempunyai riwayat penyakit yang sama dengan
orang tuanya, 3 orang menjawab tidak tahu dan hanya 2 orang yang mempunyai keluarga
dengan riwayat sama.
f. Tempat berobat
Tabel 5.11. Distribusi kebutaan akibat glaukoma berdasarkan tempat berobat.
Tempat berobat
Jumlah
Persentase (%)
Puskesmas
12
27.9
RS. Pemerintah
11.6
RS. Swasta
4.6
Praktek Swasta
11.6
Tradisional
20.9
Obat sendiri
9.3
Dibiarkan
13.9
Jumlah
43
100
g. Pembagian glaukoma
Tabel 5.12. Distribusi kebutaan akibat glaukoma berdasarkan pembagiannya.
Pembagian
Satu mata
Dua mata
Total
glaukoma
Primer
10
23,2
10
23,2
Sekunder
23
53,4
10
23,2
33
76,7
Jumlah
23
53,4
20
46,4
43
100
Estimasi Pada CI 95 %
( Batas bawah ; Batas atas )
( 0,041 % ; 0,095 % )
20 / 29332 x 100 % = 0,068%
Persentase Kebutaan akibat glaukoma
( 7,63 % ; 18,17 % )
20 / 155 x 100 % = 12,9 %
Prevalensi kebutaan
( 0,445 % ; 0, 611 % )
155/29332 x 100 % = 0,528 %
5.2. PEMBAHASAN
Dari tabel 5.1.1.1 sampai tabel 5.1.1.5 tampak gambaran karakteristik penduduk
sampel sampel dari wilayah penelitian.
Dari tabel 5.1.1.1 dan 5.1.1.2 terlihat distribusi
menunjukkan lebih banyak penduduk dalam usia 61 -70 tahun yaitu berkisar 30,83% dan
jenis kelamin terbanyak perempuan yaitu berkisar 71,11 %. Distribusi umur ini sesuai
dengan gambaran kependudukan di Indonesia umumnya. Seperti pada negara-negara
yang sedang berkembang lainnya seperti Burma dan India.
Dari tabel 5.1.1.3 terlihat distribusi bahwa tingkat pendidikan sebagian besar
penduduk mempunyai tingkat pendidikan hanya sampai sekolah dasar (SD) sederajat.
Rendahnya tingkat pendidikan ini menyebabkan rendahnya sumber daya manusia dan
dampaknya ini juga akan menyebabkan kurangnya pengetahuan penduduk tentang
penyakit mata khususnya katarak.
Dari tabel 5.1.1.4 terlihat bahwa sebagian besar penduduk mempunyai pekerjaan
sebagai petani yaitu sebesar 69,72%, hal ini sangat sesuai dengan daerah Indonesia yang
berdaerah agraris.
Dari tabel 5.1.1.5 terlihat bahwa suku terbanyak sebagai sampel dari 6 kecamatan
adalah suku Mandailing, diikuti suku batak lainnya.
Dari tabel 5.6 tampak gambaran peserta penelitian yang mengalami kebutaan
akibat glaukoma berkisar 40 tahun ke atas, dimana terbanyak pada usia 61-80 tahun. Ini
sesuai dengan perpustakaan yang ada maupun penelitian yang pernah dilakukan,
menyebutkan bahwa usia sebagai salah satu faktor resiko kebutaan akibat glaukoma yaitu
40 tahun ke atas dan resiko makin bertambah dengan bertambahnya usia.
Herman : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukoma Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Dari table 5.7, penyebaran kebutaan akibat glaukoma menurut jenis kelamin
terdapat 27 orang wanita dan 16 orang laki-laki. Dari penelitian yang pernah dilakukan di
Indonesia ditemukan wanita relatif lebih banyak.
Dari table 5.8, sebagian besar penderita tidak bersekolah dan sekolah dasar.
Rendahnya tingkat pendidikan ini menyebabkan penderita kurang memahami
penyakitnya sehingga hal ini perlu menjadi perhatian dalam upaya penanggulangan
kebutaan akibat glaukoma.
Dari tabel 5.9. terlihat bahwa, penderita yang mengalami glaukoma secara
mayoritas mempunyai pekerjaan sebagai petani, yaitu sekitar 29 orang ( 67,4 % ). Hal ini
sesuai dengan keadaan daerah Indonesia umumnya dan Tapanuli Selatan khususnya yang
mempunyai daerah agraris.
Dari table 5.10, 38 orang menjawab orang tua mereka tidak mempunyai riwayat
penyakit buta, tapi 3 orang menjawab tidak tahu dan hanya 2 orang yang mempunyai
keluarga dengan riwayat sama. sehingga tidak dapat diambil kesimpulan mengenai
riwayat keturunan glaukoma pada penelitian ini.
Dari table 5.11, tampak bahwa sebagian besar penderita berobat ke tempat
fasilitas kesehatan yang ada seperti Puskesmas, Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit
Swasta, tetapi oleh karena keterbatasan tenaga medis yang mengerti tentang penyakit
glaukoma dan alat yang tidak mendukung, dan ketidakrutinan berobat oleh karena faktor
ekonomi dan kepasrahan karena mereka merasa penyakitnya tidak sembuh-sembuh.
Dari table 5.12, terlihat bahwa dari 43 penderita glaukoma yang diperiksa
ditemukan 20 orang yang mengalami kebutaan akibat glaukoma sesuai dengan kriteria
kebutaan oleh WHO. Penderita kebutaan glaukoma primer terdapat pada 10 pasien,
sedangkan 10 pasien lainnya adalah glaukoma sekunder.
a. Geografi
Pada penelitian ini, geografi dari kabupaten Tapanuli Selatan dikategorikan
daerah pegunungan dengan ketinggian 0-1915 meter diatas permukaan laut, yang mana
prasarana jalan dari desa desa ke pusat pusat pelayanan kesehatan dapat dilalui
dengan mudah oleh kendaraan roda dua khususnya. Jadi faktor geografis tidak menjadi
halangan bagi penderita glaukoma untuk mendapatkan pelayanan kesehatan mata.
b. Sosial Ekonomi
Dari hasil survei yang telah dilakukan terhadap sampel, ternyata masih banyak
penduduk yang berpenghasilan rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya
tingkat pendidikan penduduk setempat dan pekerjaan penduduk yang secara mayoritas
adalah sebagai petani. Oleh sebab itu, untuk keberhasilan program kebutaan ini
diperlukan adanya pemberian pelayanan gratis bagi orang orang yang tidak mampu,
dan juga memberikan pengetahuan kepada penduduk setempat pentingnya menjaga dan
mencegah kebutaan.
diharapkan. Untuk mengatasi keadaan ini tentunya petugas pelayanan kesehatan harus
tetap konsisten memberi penyuluhan/informasi ke masyarakat sehingga pengetahuan
masyarakat mengenai glaukoma semakin baik.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6. 1. KESIMPULAN
1. Prevalensi kebutaan akibat glaukoma di Kabupaten Tapanuli Selatan adalah 0,068 %,
sedikit lebih rendah dari prevalensi kebutaan akibat glaukoma secara nasional yaitu 0,2%.
2. Faktor geografi dari penelitian ini tidak menjadi hambatan untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan.
3. Faktor sosial ekonomi di Kabupaten Tapanuli Selatan yang masih rendah mempunyai
peranan terhadap keberhasilan penanggulan kebutaan akibat glaukoma.
4. Faktor budaya tentang pemeliharaan kesehatan mata juga mempunyai peranan
terhadap keberhasilan penanggulan kebutaan akibat glaukoma dimana hal ini erat
kaitannya dengan tingkat pendidikan.
5. Faktor sumber daya manusia belum memadai dimana belum terdapat Dokter Mata dan
tenaga medis lainnya belum memahami sepenuhnya tentang kesehatan mata sehingga
sosialisasi terhadap masyarakat belum tercapai.
6. Faktor sarana dan prasarana khususnya untuk tindakan penyakit galukoma belum
memadai sehingga perlu menjadi perhatian pemerintah setempat.
6. 2. SARAN
1. Upaya menurunkan angka kebutaan akibat glaukoma perlu adanya dilakukan
penyuluhan kepada masyarakat secara rutin di Puskesmas, Pustu, Posyandu, Dasa
Wisma, Lembaga desa dan sebagainya
Herman : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukoma Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
49
DAFTAR PUSTAKA
1. Promosi Kesehatan Keluarga. Visi 2020, Hak Untuk Melihat. Didapat dari
http://pestagagasan.blogspot.com/2008_12_01_archive.html.
2. Khurana A.K. Community Ophthalmology in Comprehensive Ophthalmology,
Fourth Edition, Chapter 20,
Global
Data
on
Visual
Impairment
in
the
year
2002.
In
http://goliath.ecnext.com/coms2/gi_0199-3532637/Global-data-on-visualimpairment.html.
5. Depkes RI, Perdami. Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan
dan Kebutaan ( PGPK ) Untuk Mencapai Vision 2020, 2003, hal 1 20.
6. Depkes RI. 1,5 persen Penduduk Indonesia Mengalami Kebutaan, 2008.
7. Wikipedia. Blindness, 2008. In http://en.wikipedia.org/wiki/Blindness.
8. Egbert PR. Glacoma in West Africa; a Neglected Problem. BJO, 2002 ; 86 : 131132.
9. Muno B, West SK. Blindness and Visual Impairment in the Americans and the
Carribbean, BJO, 2002 ; 86 : 498-504.
in
the
United
States,
2004
April;
122(4):
477-485.
In
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15078664?dopt=Abstract.
11. Asnita S. N. Prvalensi Kebutaan Akibat Glaukoma di Kabupaten Karo, Bagian
Ilmu Penyakit Mata FK USU, Medan, 2004, hal 43.
12. Badan Pusat Statistik Sumatera Utara dalam angka 2002. Badan Pusat Statistik
Propinsi Sumatera Utara, Medan, 2002.
13. American Academy of Ophthalmology. Glaucoma, Basic and Clinical Sciences
Course, section 10, 2008-2009.
14. Kanski J.J. Clinical Ophthalmology, A Systematic Approach, fifth edition,
Oxford, 2003 ; 193-269.
15. Langston D.P. Glaucoma in Manual of Ocular Diagnosis and Therapy, fourth
edition, Boston, 2003, 229-231.
16. Khurana A.K. Glaucoma in Ophthalmology. Fourth Edition, Chapter 20, New
Delhi, New Age International Limited Publisher, 2007, page 205-240.
17. Kabupaten Tapanuli Selatan
Umur
Pekerjaan
Alamat
Telah
menerima
dan
mengerti penjelasan
dokter
tentang
penelitian
Tapanuli Selatan,..2009
Yang memberi persetujuan
JUDUL PENELITIAN
Nama saya dr. Herman, saat ini saya sedang menjalani pendidikan
spesialisasi dokter di bidang Kesehatan Mata di Departemen Ilmu Kesehatan
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Penelitian ini dilakukan dengan memeriksa kondisi kedua bola mata dengan
pemeriksaan tambahan dengan mengukur tekanan bola kedua mata dengan
meneteskan obat tetes mata ,dimana penelitian ini tidak membahayakan
kesehatan Bapak / Ibu / Saudara / Saudari.
Semua hasil pemeriksaan dan data yang Bapak / Ibu / Saudara / Saudari
berikan saat pemeriksaan maupun proses wawancara akan saya jamin
kerahasiaannya. Partisipasi Bapak / Ibu / Saudara / Saudari dalam penelitian ini
sepenuhnya bersifat sukarela, Bapak / Ibu / Saudara / Saudari boleh menolak
dan juga boleh menghentikan partisipasi dalam penelitian ini setiap saat.
Hormat Saya
Dr. Herman
Catatan :
dr. Herman, Jln. Amal no 67 Sunggal Medan,
Telepon: 061- 8452221 / Hp. 08126402301
RSUP Haji Adam Malik Medan
Departemen Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Sumatera Utara
Herman : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukoma Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
: ....
Umur
Pekerjaan
Alamat
NOMOR :
I. PENGENALAN TEMPAT
a. Kabupaten
b. Kecamatan
c. Desa/Kelurahan
d. Daerah
e. Letak Geografis
: Langkat
:
:
:
:
1. Perkantoran
1. Pantai
2. Pegunungan
2. Pedesaaan
3. Dataran rendah
4. Dataran tinggi
1. Listrik
2. Petromak
1. Air ledeng
2. Sumur tertutup
1. Listrik
2. Minyak lampu
3. Lampu minyak
4. Lainnya
3. Air hujan
5. Sumur Bor
4. Sungai
6. Lainnya
3. Kayu
4. LAinnya
Nama
Hub dg KK
Umur
:
: .. Tahun
1. Laki-laki
2. Perempuan
1. Karo 3. Mandailing 5. Melayu 7. China 9. Lainnya
2. Batak 4. Aceh
6. Jawa
8 Minang
e. Pendidikan yang ditamatkan 1. Tidak sekolah
3. SLTP
5 Akademik
2. SD
4. SLTA
6. Per. Tinggi
f. Pekerjaan yang sering dilakukan 1. Petani
3. Dagang
5. Pegawai 7. Lainnya
2. IRT
4. Buruh
6. Pengemudi
g. Lama bekerja
: .............Th ..............Bln
h. Lokasi tempat kerja
1. Terbuka
2. Tertutup
Jika terbuka sehari berapa jam? .......................jam
Herman : Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukoma Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2010.
Kelmu
i. Penghasilan perbulan
NAMA RESPONDEN :
NOMOR :
KANAN
KIRI
KANAN
KIRI
KANAN
KIRI
Sph
Cyl
Ax
B
KELAINAN-KELAINAN
Jawan 2 = Ya
1 = Tidak
1
Kleinan Refraksi
Sikatrik Kornea
Katarak
Glaukoma
Afakia
Uveitis
Kelainan Retina
Atropi Papil
Strabismus
10
Lainnya .............
VI. KESIMPULAN
BILA VISUS LEBIH KECIL DARI 3/60 ATAU BUTA. APA PENYEBABKEBUTAAN
1.
REFRAKSI
2.
KORNEA
3.
LENSA
4.
GLAUKOMA
5.
RETINA
6.
RADANG
7.
TRAUMA
8.
9.
LAINNYA......
NAMA RESPONDEN :
NOMOR :
13.
14.
15.
16.
VIII. DIAGNOSA
KANAN
A. Infeksi
B. Imunologi
C. Neoplasma
D. Kongenital Anomali
F. Defegeratif
G. Trauma
H. Tumor
KIRI
NAMA RESPONDEN :
I. PENGENALAN TEMPAT
a. Kabupaten
:
b. Kecamatan
:
c.
Desa/Kelurahan
:
d. Daerah
:
e. Letak Geografis
:
Tapanuli Selatan
1. Perkotaan
1. Pantai
2. Pegungungan
c.
1. Listrik
2. Petromak
1. Air Ledeng
2. Sumur Tertutup
1. Listrik
2. Minyak tanah
IV.
a.
b.
c.
d.
Suku
e.
2. Batak
9. Lainnya
Pendidikan yang ditamatkan :
1. Tak Sekolah
2. SD
2. Pedesaan
3. Dataran Rendah
4. Dataran Tinggi
3. Lampu Minyak
4. Lainnya
3. Air Hujan
4.
Sungai
3. Kayu
4. Lainnya
Hubungan dengan KK
5. Sumur Bor
6. Lainnya
Umur
Kel
Tahun
1. Karo
2. Perempuan
3. Mandailing
5.
Melayu
4. Aceh
6. Jawa
3. SLTP
4. SLTA
5. Akademi
6. Peguruan Tinggi
7.Cina
8.
Minang
f.
1. Petani
g.
Lama Bekerja
2. IRT
..
h.
Pendapatan/bulan
1. <500rb
5. Pegawai
6. Pengemudi
tahun
2. 500rb-1jt
3.>1jt
7.
Lainnya