Anda di halaman 1dari 7

Adab-Adab Berfatwa dan Berijtihad

Posted by admin
03/04/2002
2604 clicks
Memberikan fatwa adalah tugas yang sangat berat, yang tidak mungkin dilakukan oleh
sembarang orang, tapi disayangkan, adanya fenomena yang tidak sedap dipandang, yaitu
kecerobohan atau ketergesa-gesaan sebagian pemula dalam menuntut ilmu untuk memberikan
fatwa dalam masalah agama, dan mulai mengeluarkan pendapatnya sendiri, sedangkan para
salafussholah saling menghindar dan mendahulukan ulama lain untuk memberikan fatwa karena
waraknya, agar terlepas dari dosa dan kesalahan.
oleh : Syeikh Bin Baz, Syeikh Ibnu Utsaimin -rahimahullah- dll.
1. Hukum tergesa-gesa dalam memberikan fatwa dari kalangan masyarakat umum
Pertanyaan : Tatkala persoalan agama dikemukakan, masyarakat umum saling berlomba -jika
mereka berada dalam satu majlis- untuk berfatwa dan mengemukakan pendapatnya dalam
masalah tersebut pada umumnya tidak dengan ilmu. Apa komentarmu hai Syeikh yang mulia
terhadap fonomena ini ? Apa ini termasuk dalam perbuatan mendahului Allah dan Rasul-Nya ?
Jawaban : Sebagaimana yang diketahui, bahwa seseorang tidak boleh berbicara pada agama
Allah tanpa dengan ilmu, karena Allah Taala berfirman :
Artinya : katakanlah : Robbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak
ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah
untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.
(Q.S.7;33).
Dan wajib bagi seseorang untuk wara dan takut terhadap perbuatan berbicara tentang Allah tanpa
dengan ilmu. Permasalahan ini bukan termasuk urusan dunia, yang mana akal memiliki posisi
didalamnya, kalau seandainya urursan itu merupakan permasalahan dunia, yang mana akal
memiliki posisi di dalamnya, sepatutnya manusia itu berhati-hati, dan tidak terburu-buru.
Mungkin saja, jawaban yang ada pada dirinya, dijawab oleh orang lain. Maka dia bagaikan
hakim di antara dua jawaban. Dan perkatannya menjadi kata pemutus (penutup). Betapa banyak
manusia berbicara dengan pendapatnya, yakni selain dalam masalahmasalah agama, jika dia
tidak terburu-buru dan mundur sedikit, tampak baginya kebenaran yang belum pernah terlintas di
pikirannya karena banyaknya pendapat yang didengarkan. Oleh karena ini, maka saya
menasehati setiap orang, agar dia mampu menjadi orang yang paling terakhir berbicara, supaya
dia bisa menjadi penengah di antara pendapat yang banyak. Dan supaya dia mendapatkan dari
pendapat-pendapat yang berbeda itu, pandangan yang belum jelas, sebelum mendengarkan
pendapat-pendapat tadi. Ini hal-hal yang berhubungan dengan urusan dunia. Adapun yang
berhubungan dengan urusan agama, seseorang sama sekali tidak boleh berbicara, kecuali dengan
ilmu yang ia ketahui dari Kitab Allah dan sunnah Rasul-nya atau dari perkataan ahli ilmu (para
ulama).
Dijawab oleh : Syeikh Ibnu Utsaimin di kitab : Alfaazh wa mafaahim fi mizaanis Syariah hal :
44-46.

2 . Kapan perbedaan pendapat itu bisa diakui.


Pertanyaan : Kapan perbedaan dalam perkara agama baru diakui ? Apakah perbedaan itu terdapat
pada setiap masalah atau pada tempat-tempat tertentu ? Kami mengharapkan penjelasannya.
Jawaban : Sebelumnya, ketahuilah sesungguhnya persilisihan ulama ummat Islam ini, apabila
timbul dari hasil ijtihad, maka hal itu tidak membahayakan orang yang belum menemukan
kebenaran. Karena Nabi bersabda :
Artinya : Apabila seorang hakim memutuskan, lalu dia berijtihad dan dia benar (dalam
ijtihadnya) maka dia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia salah (dalam ijtihadnya) maka dia
mendapatkan satu pahala. (H.R. Bukhari di kitab Itishom, no : 7352).
Akan tetapi barang siapa yang jelas baginya kebenaran, maka dia wajib untuk mengikuti
kebenaran itu, bagaimanapun keadaannya. Perselisihan yang terjadi di kalangan ulama ummat
Islam ini, tidak boleh dijadikan sebagai penyebab persilisihan hati, karena perselisihan hati itu
menimbulkan kerusakkan-kerusakkan yang besar sekali, sebagaimana firman Allah :
Artinya : Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan
hilang kekuatanmu dan bersabarlah . Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
(Q.S.8;46).
Perbedaan yang diakui kalangan ulama yang selalu dinukil dan sebut-sebut adalah perbedaan
yang mempunyai kedudukan dalam pandangan. Oleh karena ini, masyarakat umum wajib
merujuk kepada ahli ilmu (ulama) seperti yang difirmankan Allah :
Artinya : Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.(Q.S.16;43).
Adapun pernyataan penanya : Apakah perbedaan itu terdapat pada setiap masalah ?
Kenyataannya bukan seperti itu, perbedaan kadang-kadang terdapat pada sebahagian masalah,
dan sebahagian yang lain telah disepakati, tidak ada perbedaan - Alhamdulillah . Akan tetapi
pada sebahagian masalah yang di dalamnya terdapat perbedaan ijtihad, atau sebahagian orang
lebih mengetahui daripada yang lain dalam meneliti nas-nas Al Kitab dan Sunnah, dalam hal
seperti inilah terdapat perbedaan. Adapun masalah masalah pokok (pokok-pokok agama), maka
perbedaan di dalamnya sedikit.
Fatwa Syeikh Ibnu Utsaimin, disertai dengan tanda tangannya.
3. Sikap seorang muslim terhadap perbedaan mazhab yang tersebar.
Pertanyaan : Bagaimana sikap seorang muslim terhadap perbedaan mazhab yang tersebar di
kalangan kelompok kelompok dan golongan-golongan ?

Jawaban : Seorang muslim wajib untuk berpegang teguh kepada kebenaran yang ditunjukkan
oleh Kitab Allah dan Sunnah Rasul , dan dia harus mencintai dan memusuhi karena kebenaran
itu. Setiap kelompok atau mazhab yang menyalahi kebenaran, seseorang harus berlepas diri dari
kelompok atau mazhab itu, serta tidak menyetujuinya.
Agama Allah ini satu, agama yang jalan yang lurus, agama yang mengibadati Allah semata, dan
mengikuti Rasul-Nya .
Maka setiap orang muslim wajib berpegang teguh dan konsisten kepada kebenaran ini. Yaitu taat
kepada Allah dan mengikuti ajaran-Nya yang telah dibawa oleh nabi-Nya Muhammad , serta
mengikhlaskannya hanya untuk Allah. Dan tidak memalingkan sedikitpun dari bentuk ibadah
kepada selain daripada Allah . Setiap mazhab yang menyelisihi hal itu, dan setiap kelompok yang
tidak berpegang dengan keyakinan ini, harus dijauhi, dan berlepas diri darinya serta mengajak
pengikutnya kepada kebenaran dengan argumen-argumen yang syari dan dengan lemah lembut
serta memilih cara yang bermanfaat, dan memahamkan mereka akan kebenaran.
Jawaban Syeikh Ibnu Baaz dari kitab Majmu fatawa wa maqolat mutanawiah (5/157-158).
4. Hukum berijtihat di dalam Islam serta syarat-syarat orang yang berijtihad
Pertanyaan : Apa hukum berijtihad dalam Islam dan Apa syarat syarat orang yang berijtihad ?
Jawaban : Berijtihad dalam Islam adalah mengeluarkan kemampuan untuk mengetahui suatu
hukum syara berdasarkan dalil-dalil yang syari. Berijtihad ini wajib hukumnya atas orang yang
mempunyai kemampuan untuk berijtihad. Karena Allah I berfirman :
Artinya : Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.(Q.S.16;43).
Orang yang mampu untuk berijtihad memungkinkannya untuk mengetahui kebenaran dengan
dirinya sendiri. Akan tetapi dia itu harus orang yang luas ilmunya, yang luas penelitiannya
terhadap nas-nas syariyah, yang luas penelitiannya terhadap pokok pokok dasar yang perlu
diperhatikan (usul fiqih), terhadap pendapat-pendapat ulama; supaya dia itu tidak jatuh ke
sesuatu yang menyalahi hal yang di atas.
Karena sebagian dari manusia penuntut-penuntut ilmu- yang belum mendapatkan ilmu kecuali
sedikit sekali, sudah memposisikan dirinya sebagai orang yang berijtihad (mujtahid). Anda
menemukannya beramal dengan hadits-hadits yang umum, sedangkan hadits hadits tersebut ada
yang mentakhsisnya. Atau beramal dengan hadits-hadits yang mansukh (hukumnya terhapus)
sedangkan dia tidak tahu yang menasikhnya (yang menghapusnya). Atau beramal dengan haditshadits di mana ulama telah sepakat bahwa hadits-hadits itu bukan atas zhohirnya. Dia tidak
mengetahui kesepakatan ulama. Orang yang seperti ini berada dalam bahaya yang besar.
Seorang yang berijtihad harus memiliki pengetahuan tentang dalil-dali syariyah. Dia harus
memiliki pengetahuan tentang usul fiqih (pokok dasar fiqh) apabila dia mengetahuinya, dia
mampu mengambil hukum-hukum dari dalil-dalilnya. Dan dia harus memiliki pengetahuan
tentang kesepakatan ulama, agar dia tidak menyalahi kesepakatan mereka sedangkan dia tidak
menyadarinya.

Apa bila syarat-syarat ini sudah lengkap pada dirinya, maka dia adalah mujtahid (orang yang
boleh berijtihad).
Ijtihad itu bisa dirincikan; jika seseorang berijtihad dalam satu masalah dari beberapa masalah
ilmiah, lalu dia mengkaji dan menelitinya dengan seksama. Maka dia menjadi mujtahid dalam
masalah tersebut.
Atau dalam sub bahasan tertentu seperti sub bahasan thoharah (bersuci), kemudian dia mengkaji
dan menelitinya dengan seksama, maka dia itu mujtahid dalam sub bahasan tersebut.
Fatwa Syeikh Ibnu Utsaimin, disertai dengan tanda tangannya.
5. Adap-adap dalam berbeda pendapat
Pertanyaan : Syeikh yang mulia, kebanyakan persilisihan yang terjadi di antara dua orang dai
yang berkecimpung di ladang dakwah yang mengakibatkan kepada kegagalan dan hilangnya
kekuatan, kebanyakannya disebabkan oleh kebodohan tentang adap-adap persilisihan. Apakah
anda bisa memberikan sepatah kata dalam masalah ini.?
Jawaban : Ya. Saya sarankan kepada seluruh saudaraku dari kalangan orang yang memiliki ilmu
dan para dai, untuk memilih cara yang baik, dan lemah lembut dalam berdakwah dan dalam
masalah-masalah yang diperselisihkan di waktu berdiskusi dan belajar. Dan hendaklah ghairah
dan sikap keras tidak membawanya untuk berkata perkataan yang tidak pantas dikatakan, yang
bisa menyebabkan perpecahan, persilisihan, saling berbencian serta saling berjauhan. Akan tetapi
seorang dai, seorang guru dan seorang pembimbing harus memilih metodemetode yang
bermanfaat, harus berlemah-lembut dalam ucapannya, supaya ucapannya itu diterima, dan
supaya hati-hati tidak berjauhan, sebagaimana Allah firman :
Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Alah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka .
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. (Q.S. 3;159)
Dan Allah berfirman kepada Musa dan Harun tatkala Allah mengutus mereka berdua ke Firaun :
Artinya : Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut. (Q.S 20;44).
Dan Allah berfirman :
Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Robbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. (Q.S.16:125).
Dan berfirman :
Artinya : Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik,
kecuali dengan orang-orang zolim di antara mereka. (Q.S.29;46).
Dan Rasulullah bersabda :

Artinya : Sesungguhnya lemah lembut itu tidak ada pada sesutau kecuali menghiasinya, dan
tidaklah (lemah lembut itu) dicabut dari sesuatu kecuali menjelekkannya (H.R.Muslim, no:2594).
Dan bersabda :
Artinya : Barang siapa terhalang dari lemah lembut maka dia terhalang dari seluruh kebaikan.
(H.R. Muslim, no: 2592).
Maka seorang dai dan guru harus memilih cara-cara yang baik dan bermanfaat, dan harus
menjauhi sikap keras dan kasar. Karena sikap keras dan kasar itu, kadang-kadang mengakibatkan
kepada tertolaknya kebenaran, dan mengakibatkan kepada persilisihan yang keras serta
perpecahan di antara teman. Tujuan dakwah adalah menjelaskan kebenaran dan berambisi supaya
dia menerimanya dan mendapatkan faidah dari dakwah itu. Bukan tujuan dakwah itu,
menampakkan (memamerkan) keilmuan anda dan menampakkan bahwa anda-lah orang yang
berdakwah kepada jalan Allah dan anda yang berghairah (cemburu) kepada agama Allah ini,
hanya Allahlah yang mengetahui isi hati yang tersembunyi. Hanyasaja tujuan dari dakwah itu
adalah anda menyampaikan seruan Allah dan supaya orang-orang mendapatkan manfaat dari
ucapanmu, maka anda harus mencari faktor-faktor diterimanya dakwah. Dan anda harus
menjauhi faktor-faktor tertolak dan tidak diterimanya dakwah itu.
Jawaban Syeikh Ibnu Baaz dari kitab Majmu fatawa wa maqolat mutanawiah (5/155-156).
6. Hukum berfatwa dan syarat-syarat menjadi mufti
Pertanyaan : Sudah banyak fatwa tersebar, sampai-sampai anak kecil (umurnya yang muda)
berfatwa, maka kami mengharapkan penjelasan tentang syarat-syarat fatwa dan orang yang
memberikan fatwa?
Jawaban : Para salaf rahimahumullah- selalu saling tolak menolak untuk berfatwa, karena
besarnya permasalahan dan tanggungjawab fatwa itu, serta karena takut kepada perbuatan
berkata tentang Allah tanpa dengan ilmu (pengetahuan). Karena seorang yang memberikan fatwa
itu adalah sebagai penyambung berita (hukum) dari Allah dan menerangkan tentang syariat
Allah. Apabila dia berbicara tentang Allah tanpa ilmu (pengetahuan), maka dia telah terjerumus
dalam suatu perbuatan, yang mana perbuatan itu adalah saudara kandung syirik. Dengarlah
firman Allah :
Artinya : katakanlah : Robbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak
ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah
untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.
(Q.S.7;33).
Maka Allah menggandengkan perbuatan berkata tentang Allah (mengada-ada terhadap Allah)
tanpa dengan ilmu, dengan perbuatan syirik. Dan Allah berfirman :
Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yagn kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabanya . (Q.S.17;36).

Maka seseorang itu tidak pantas untuk terburu-buru dalam berfatwa, akan tetapi dia menunggu,
berfikir dan merevisi (pendangannya). Apabila waktu sempit, maka lontarkanlah masalah itu
kepada orang yang lebih berilmu darimu agar kamu selamat dari perbuatan berkata tentang Allah
tanpa dengan ilmu.
Apabila Allah mengetahui dari niatmu, keikhlasan dan keinginan yang baik, maka kamu akan
sampai juga ke tingkat yang kamu inginkan dengan fatwamu itu. Barang siapa bertakwa kepada
Allah, maka Allah akan memberinya taufiq dan akan mengangkatnya.
Orang yang berfatwa tanpa dengan ilmu, dia lebih sesat daripada orang yang bodoh. Karena
orang bodoh berkata : Saya tidak tahu. Orang bodoh itu mengetahui kemampuan (ukuran)
dirinya. Konsisten terhadap kejujuran. Adapun orang yang membandingkan dirinya dengan
ulama-ulama ternama, bahkan mungkin dia mendahulukan dirinya daripada para ulama tersebut,
maka dia sesat dan menyesatkan serta salah pada masalah-masalah yang diketahui oleh penuntut
ilmu yang masih kecil, maka perbuatan ini kerusakannya berat dan bahayanya besar.
Dijawab oleh Syeikh Ibnu Utsaimin di kitab Majmuatu durus wa fatawal haram makki (3/354355).
7. Fatwa dan ijtihad.
Pertanyaan : Kapan seorang pemuda berhak untuk berijtihad dan berfatwa?
Jawaban : Sesungguhnya berijtihad dalam masalah-masalah ilmiyah mempunyai syarat-syarat
tertentu. Tidak setiap orang berhak untuk berfatwa dan berbicara dalam masalah masalah
ilmiyah itu kecuali dengan ilmu dan keahlian serta kemampuan untuk mengetahui dalil-dalil,
kemampuan untuk mengetahui mana yang menjadi nas atau menjadi zhohir dari dalil dalil
tersebut. Dan (mengetahui) shohih dan dhoif; (mengetahui) nasikh (yang menghapus hukum
sebelumnya) dan mansukh (yang terhapus); (mengetahui) manthuq dan mafhum; (mengetahui)
khas dan aam; (mengetahui) muthlaq dan muqayat; (mengetahui) mujmal dan mubayin, dan
harus mempunyai pengalaman yang panjang, dan mengetahui pembagian-pembagian fiqih dan
tempat tempat pembahasan; mengetahui pendapat-pendapat ulama dan ahli fiqih serta hafal nasnas atau memahaminya.
Tidak diragukan, sikap berani untuk berfatwa yang bukan dari ahlinya adalah dosa besar dan
berbicara tanpa dengan ilmu, sungguh Allah telah mengancam perbuatan tersebut (berbicara
tanpa dengan ilmu), dengan firman-Nya :
Artinya : Dan janganlah kamu mengatakan tetrhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta ini halal dan ini haram, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung .
(Q.S.16;116).
Dan dalam satu hadits :

Artinya : Barang siapa yang berfatwa tidak dengan selektif (berhati-hati) maka dosanya
ditanggung oleh orang memberi fatwa (H.R. Ahmad (2/321), Abu Dawud (3657) dan Ibnu Majah
(53)).
Seorang penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru untuk berfatwa, dan janganlah dia berbicara
dalam satu masalah kecuali setelah mengetahui sumbernya, dalilnya dan siapa orang yang telah
pernah mengatakan itu sebelumnya. Maka apabila dia bukan ahlinya (orang yang berhak) untuk
itu, semestinya dia memberikan busur panah kepada perautnya (serahkan pekarjaan itu kepada
ahlinya). Dan hendaklah dia itu membatasi dirinya sesuai yang dia ketahui, dan melakukan apa
yang dia dapatkan serta melanjutkan pendidikan dan mempelajari ilmu fiqih sampai
mendapatkan kondisi, yang mana dia sudah berhak untuk berijtihad. Hanya Allah lah yang
menujukkan kepada kebenaran.
Sumber fatwa : Allukluk almakkin min fatawa syeikh Ibnu Jibrin hal : 72-73.
Alih bahasa : Muhammad Elvi Syam.
[Kontributor : Muhammad Elvi bin Syam, 03 April 2002 ]

Anda mungkin juga menyukai