Geologi Daerah Kulonprogo Unlck
Geologi Daerah Kulonprogo Unlck
TINJAUAN GEOLOGI
Daerah penelitian dengan luas 23 km2 ini terletak pada Pegunungan Kulon
Progo bagian utara, yaitu tepatnya pada kaki Perbukitan Menoreh. Daerah ini
merupakan kompleks pegunungan yang terbentuk dari hasil vulkanisme di masa
lampau dimana peran fluida hidrotermal pembentuk mineralisasi cukup besar,
sehingga daerah ini sangat layak diteliti lebih lanjut mengenai keterdapatan mineral
penciri alterasi hidrotermal yang erat kaitannya dengan struktur pembawa
mineralisasi, litologi batuan samping (jenis hostrock) serta morfologi/ bentukannya.
Secara regional, aspek geologi tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu
geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, serta mineralisasi regional.
III.1
Geomorfologi Regional
Penyebaran satuan Pegunungan Kulon Progo memanjang dari selatan ke utara
15
III.2
Stratigrafi Regional
Secara regional daerah penelitian merupakan bagian dari stratigrafi daerah
Pegunungan Kulon Progo (bagian utara) yang telah disusun oleh Rahardjo et al
(1995). Lokasi penelitian berada pada peta geologi lembar Yogyakarta. Berikut
merupakan tatanan stratigrafi daerah Pegunungan Kulon Progo bagian utara :
1. Formasi Nanggulan (Teon)
Formasi ini merupakan batuan tertua di Pegunungan Kulon Progo dengan
lingkungan pengendapannya adalah litorial pada fase genang laut. Litologi
penyusun formasi ini terdiri dari batupasir dengan sisipan lignit, batunapal
pasiran, batulempung dengan konkresi limonit, sisipan batunapal dan
batugamping, batupasir dan tuf kaya foraminifera yang ketebalannya
diperkirakan mencapai 350 meter. Berdasarkan atas studi foraminifera
plankton formasi ini diperkirakan berumur Eosen Tengah sampai Oligosen
Atas.
2. Formasi Kebobutak (Tmok)
Formasi Kebobutak merupakan bagian dari Formasi Andesit Tua (OAF) yang
ada di Jawa Tengah. Litologi penyusun formasi ini adalah breksi andesit, tuf,
tuf lapili, aglomerat dan sisipan aliran lava andesit. Lavanya terutama terdiri
dari andesit augit- hornblende. Kepingan tuf napalan yang merupakan hasil
rombakan dari lapisan yang lebih tua dijumpai di kaki Gunung Mudjil, di
dekat bagian bawah formasi ini. Fosil plankton pada kepingan ini berupa
Globigerina Caperoensis Bolli, Globigerina Yeguaensis, dan Globigerina
bulloides menunjukkan umur Oligosen Atas. Dengan demikian, Formasi
Kebobutak berumur Oligosen Atas sampai Miosen Bawah dengan ketebalan
kira kira mencapai 660 m.
3. Formasi Jonggrangan (Tmj)
Litologi penyusun bagian bawah dari formasi ini adalah konglomerat yang
ditindih oleh napal tufaan dan batupasir gampingan dengan sisipan lignit.
Ketebalan formasi ini mencapai 250 meter. Formasi ini berumur Miosen
Bawah, dan di bagian bawah menjemari dengan bagian bawah Formasi
Sentolo.
16
Fase tektonik pertama terjadi pada Oligosen Awal dengan disertai aktifitas
vulkanisme. Fase kedua terjadi pada Miosen Awal terjadi penurunan daerah Kulon
Progo. Kemudian, fase ketiga terjadi pada Pliosen sampai Pleistosen terjadi fase
tektonik berupa pengangkatan dan aktivitas vulkanisme.
1. Fase Tektonik Oligosen Awal Oligosen Akhir.
Fase tektonik Oligosen Awal terjadi proses pengangkatan daerah Kulon
Progo yang dicirikan oleh ketidakselarasan Formasi Nanggulan yang diendapkan
di darat. Fase tektonik ini juga mengaktifkan vulkanisme di daerah tersebut ,yang
tersusun oleh beberapa sumber erupsi. Perkembangan vulkanisme di Kulon Progo
tidak terjadi bersamaan, namun di mulai oleh Gunung Gajah (bagian tengah
Pegunungan Kulon Progo), kemudian berpindah ke selatan pada Gunung Idjo, dan
terakhir berpindah ke utara pada Gunung Menoreh.
2. Fase Tektonik Miosen Awal.
Pada pertengahan Miosen Awal terjadi fase tektonik kedua berupa penurunan
daerah Kulon Progo. Penurunan ini dicirikan oleh berubahnya lingkungan
pengendapan , yaitu dari Formasi Kebobutak yang diendapkan di darat menjadi
Formasi Jonggrangan yang diendapkan di laut dangkal. Pada fase ini, hampir
17
Magmatisme Regional
Berdasarkan Rahardjo et al. (1995), magmatisme yang terjadi di daerah
18
19
Gambar 3.1 Peta Geologi Pegunungan Kulon Progo bagian utara Lembar Yogyakarta
(Rahardjo et al. 1995 dengan modifikasi)
205