Laporan Praktikum Konservasi Sumberdaya
Laporan Praktikum Konservasi Sumberdaya
125080600111080
Resti Ariani Y.
135080600111001
Novar KurniaWardana
135080600111003
Rahmad Saleh
135080600111006
Yuliant iWidiyastuti
135080600111007
135080600111009
Supriyadi
135080600111011
TomiAris
135080600111012
Zahriza Purnadayanti
135080600111013
Anas Nurhidayah
135080600111019
Muhammad ZuhalFikri
135080600111020
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM KONSERVASI SUMBERDAYA PERIKANAN DAN
KELAUTAN
Asisten Pendamping
Anthon Andrimida
Dinda Puspa M
125080600111019
NIM.125080601111026
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat
menyelesaikan penyusunan laporan pratikum Konservasi Sumberdaya Kelautan
Perikanan.
Penulisan laporan merupakan salah satu tugas pratikum yang diberikan dalam
mata kuliah Konservasi Sumberdaya Kelautan Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan.
Dalam penulisan laporan pratikum ini penulis merasa masih banyak kekurangan
baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang penulis
miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan laporan ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, Akhirnya penulis
berharap semoga laporan pratikum ini dapat bermanfaat bagi kita.
Malang, 9 Oktober 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN...............................................................................................ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................................iii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................................v
DAFTAR TABEL.............................................................................................................vi
Species Vulnerability........................................................................................................vii
1.
PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Waktu dan Tempat................................................................................................1
1.3 Maksud dan Tujuan.............................................................................................2
2.
METODOLOGI.....................................................................................................3
3.
4. PENUTUP..................................................................................................................7
4.1 Kesimpulan..........................................................................................................7
4.2 Saran....................................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................8
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Spesies Terancam Mengalami Kepunahan Karena Ancaman
Dari Penangkapan Berlebih....................................................................4
iv
LAPORAN PRAKTIKUM
:2
PRODI
:IlmuKelautan
ASISTEN
:DindaPuspa M
1. PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
Sebagai Negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman hayati laut (marine
biodiversity) yang tinggi, Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang berlimpah,
khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Indonesia memiliki ekosistem lengkap yang berperan sebagai habitat bagi ikan dan
organisme lainnya mencari makan (feeding ground), bertelur (nesting ground) dan
berpijah (Spawning ground).Lebih dari 2000 jenis ikan dan 500 jenis terumbu karang
menjadikan Negara Indonesia terkenal sebagai kawasan pusat segitiga terumbu karang
(The Coral Triangle Center ). Ekosistem terumbu karang selain memiliki fungsi bagi
biota laut, juga memiliki fungsi sebagai penyerap karbon, pemecah gelombang laut,
penghasil ikan yang sangat berguna bagi kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulaupulau kecil secara khusus dan bagi seluruh rakyat Indonesia secara umum (KKP, 2015)
Menurut Selig and Bruno (2010) bahwa segala kegiatan manusia akhirnya akan
mempengaruhi struktur bangunan terumbu karang. Secara ekologis, sosial dan nilai
ekonomi terumbu karang mendasari betapa pentingnya konservasi terumbu karang secara
internasional. Keberhasilan kawasan konservasi laut dalam mengembalikan populasi ikan
juga merupakan dampak secara tidak langsung keberadaan terumbu karang dalam upaya
mengurangi ancaman overfishing, yang selama ini disebabkan oleh rusaknya terumbu
karang. Meskipun demikian, secara umum tingkat efektivitas keberadaan kawasan
konservasi laut dalam meningkatkan penutupan terumbu karang juga harus masih dikaji
lebih lanjut pada tiap daerah.
Pola pemanfaatan potensi alam yang kurang bijaksana dan lemahnya daya
dukung kebijakan pemerintah serta rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pelestarian
ekosistem pesisir menyebabkan kerusakan lingkungan di kawasan pesisir. Permasalahan
dan ancaman dalam pengelolaan kawasan konservasi laut yang terjadi akan berdampak
secara signifikan dan mampu menyebabkan degradasi sumberdaya alam, yang harus
ditangani dengan baik secara lintas sektor melalui kebijakan pengelolaan yang mampu
memberikan dampak keberlanjutan pembangunan kelautan dan perikanan. Peran
pemerintah daerah pada era otonomi daerah ini sangat strategis dalam pengelolaan
kawasan konservasi laut daerah yang mampu menjadikan perairan laut sebagai sumber
penghidupan bagi masyarakat yang berkelanjutan.
1.2 WaktudanTempat
Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan dengan materi
Species Vulnerabilitydilaksanakan di Gedung D, lantai 3 pada tanggal 3 Oktober 2015,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang.
1.3
Maksud danTujuan
Maksud dari Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan adalah
mahasiswa mengetahui sebab dan akibat dari overfishing, mengetahui spesies apa saja
yang terancam (speciesvulnerability), dan mampu memprioritaskan spesies secara
sekuensial dari ancaman (vulnerability) penangkapan berlebih berdasarkan
pengembangan atribut.
Tujuan dari Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ini adalah :
Mahasiswa mampu mengembangkan atribut dan menentukan urutan spesies secara
sekuensial dari ancaman (vulnerability) penangkapan berlebih karena penggunaan jenisjenis alat tangkap yang menimbulkan kerusakan (terumbu karang) dan juga mampu
menganalisis prakiraan dampak atau kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat dari
operasi alat tangkap.
Mahasiswa dapat mengetahui prinsip dasar dan teknik tumpang susun
(overlaytechnique) dalam proses rancangan zonasi Kawasan Konservasi Laut. Serta dapat
mengetahui pelibatan para pihak pemangku kepentingan (stakeholder) dalam pengelolaan
bersama suatu Kawasan Konservasi Laut..
2. METODOLOGI
2.1 SkemaKerjaPraktikum
Datang 15 menitsebelumpraktikumdimulai
Belajaruntuk Pre-Test
Praktikumdimulaidengan Pre-Test
Asistenmenyampaikanmateri
SPESIES/
ATRIBUT
IKAN
TUNA
IKAN HIU
PENYU
HIJAU
Reproduksi
lama
Daya jual
tinggi
Ditangkap
pada
semua
ukuran
........
........
TOTAL
........
TOTAL
3.2 AnalisaHasil
Dari hail praktukum yangdidapatkan, spesies yang memiliki tingkat kepunahan
paling tinggi adalah mulai dari ikan hiu, lumba-lumba dan ikan napoleon. Dan atribut
tertinggi yang mendukung akan cepatnya tingkat kepunahan suatu spesies adalah harga
yang mahal, sulit di budidaya dan ditangkap pada semua ukuran. Yang pertama adalah
ikan hiu, ikan hiu merupakan salah satu hewan yang mempunyai tingkat kepunahan yang
tertinggi saat ini karena ikan hiu mempunyai harga yang mahal. Harga mahal yag dimiliki
dari ikan hiu adalah bagian dari sirip ikan hiu tersebut. Dan karrna harga dari ikan hiu
sangat mahal, makan semua ukuran ikanhiu pun ditangkap oleh nelayan. Pada sebagian
masyarakat Indonesia, sirip ikan hiu dipercaya dapat meningkatkan vitalitas bagi para
pria dan didaerah bagian timur, sirip ikan hiu merupakan makan prestise bagi daerah
tersebut, sehingga banyak nelayan yang menangkap ikan hiu. Selain ikan hiu memiliki
harga yang mahal, ikan hiu pun sulit sekali untuk dibudidaya dikarenakan selain ukuran
tubuh yang besar, ikan hiu ini sangat sulit untuk dijinakkan dan perkembangan atau
reproduksi ikan hiu pun terjitung sangat lambat. Yang kedua adalah ikan lumba-lumba.
Menurut haisil praktikum kami, lumba-lumba memiliki tingkat kepunahan tertinggi kedua
stelah ika hiu. Karena dimulai dengan adanya kesenjangan social, ikan hiu pun terhitung
mempunyai harga yang sangat tinggi sehingga banyak orang yang memburunya. Lalu
selain memiliki harga yang mahal, lumba-lumba pun ditangkap pada semua ukuran. Dan
ikan lumba-lumba pun tergoling sulit spesies yang sulit dibudidayakan, dikarenakan
ukuran yang sangat besar dan bvelum ada teknologi yang dapat membudidayakan ikan
lumba-lumba tersebut. Dan juga lumba-lumba ini tergolong spesies yang memiliki tingkat
reproduksi yang lama. Dan urutan yang ketiga yang memiliki tingkat kepunahan ke tiga
menurut praktikum kami adalah ikan napoleon. Ikan napoleon sangat mahal dijual
dipasaran, sehingga banyak nelayan yang mencari ikan tersebut untuk diperjualbelikan.
Dan ikan napoleon ini juga sulit untuk dibudidaya, karena teknologi yang belum
memumpuni. Karena ikan napoleon banyak untuk sebagai ikan hias, ikan napoleon ini
ditangkap oleh nelayan pada semua ukuran.
Menurut KP3K (2013), ada beberapa biota laut yang hamper terancam punah
yaitu mulai dari ikan hiu. Upaya penangkapan ikan hiu sudah berlangsung sejak tahun
1980an. Spesies ikan ini merupakan salah satu hasil tangkapan sampingan (bycatch) dari
perikanan rawai tuna dan jaring insang tuna. Umumnya ukuran ikan yang tertangkap dan
didaratkan nelayan adalah ikan-ikan yang belum dewasa sehingga merupakan ancaman
terhadap populasi spesies ikan ini di masa mendatang karena peluang dalam proses
berkembangbiakannya menjadi lebih kecil. Di lain pihak, adanya kemungkinan praktek
finning, yaitu nelayan hanya diambil siripnya sedangkan bagian tubuh lainnya dibuang ke
laut. Yang kedua adalah kerang-kerangan yang sampai saat ini jarang kita temui dilautan,
ancamannya adalah banyak di buru dari alam oleh masyarakat lokal untuk dikonsumsi
dagingnya karena rasa yang lezat dan gizi yang tinggi. Dan yang ketiga adalah lobster,
dimana anaman yang akan didapatkan adalah Merupakan salah satu marga dari Crustacea
laut yang mempunyai potensi ekonomi penting, di Indonesia mulai berkembang dan
dibeberapa daerah juga sangat berpotensi untuk di eksport. Sangat diburu terutama
restoran-restoran sea food, perlu dilindungi keberadaan di alam yang semakin dicari baik
untuk eksport maupun untuk dikonsumsi oleh masyarakat setempat dan untuk pelestarian
spesiesnya.
Menurut
KSDA
(2011),
Kimajugatermasukspesies
yang
sangattinggitingkatkepunahannya.
JenisKimapadaumumnyadipungutdisepanjangrataanterumbuyaknikimapasirataufika-fika.
Tidakheran,
jikasaatinikimasangatdigandrungioleh
orang
karenabernilaiekonomipentingkarenadgingnyasangatenakdikonsumsi. Bahkanpenduduk
di
pesisirdanpulau-pulautelahmengkonsumsikimasejakdulu.
Ancamankepunahandarikimasendirijugaadalahkarenamemilikiharga yang tinggi. Di
Australia memilikihargasampai US$44/kg dan US$5.04/ekor. Nilaiekonomi yang
tinggimenebabkaneksploitasiterusberlangsung, sekalipnkimamerupakan fauna yang
dilindungisecarainternasionaldannasional.
Nilaiekonomisebagai
factor
pendukungutamaeksploitasikima
di
alam.
Pengambilankimaseacarabesarbesaranterjadipadatahun 1980-an yang menyebabkan overfishing hingasaatini.
4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum pertama Konservasi Sumberdaya
Kelautan dan perikanan dengan materi Species Vulnerability adalah sebagai
berikut:
1. Latar belakang punahnya spesies tertentu disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya yaitu; Overfishing, Meluasnya wilayah penangkapan di wilayah laut,
Penambahan alat tangkap dan juga Regulasi yang kurang tegas.
2. Terjadinya overfishing ini disebabkan karena adanya; Open acces fishing, Illegal
fishing, Kurangnya kawasan perlindungan, poor fisheries Mangement, dan
adanya subsidi. Subsidi yang dimaksud adalah keringanan yang diberikan oleh
Mafia atau pihak-pihak lainya yang menyediakan semua keperluan yang
dibutuhkan nelayan dengan syarat nelayan harus memenuhi permintaan mereka.
3. Beberapa faktor penyebab punahnya spesies tertentu dibandingkan dengan
spesies lainya adalah Jumlah anakan/telur yang sedikit, Komersil dengan harga
mahal, Waktu reproduksi yang lama, terbatasnya penyebaran spesies, mudah
untuk ditangkap, memerlukan habitat yang spesifik, ditangkap disemua ukuran.
Pertumbuhan
yang
lambat,
sulit
dibudidayakan,
serta
adanya
Prestasi/Gengsi/Tradisi.
4. Contoh spesies yang mudah punah karena faktor-faktor yang telah disebutkan
meliputi; ikan Hiu, Lumba-lumba, penyu hijau, ikan napoleon, lobster, gurita,
kuda laut, ikan lemuru, ikan tuna dan lainya.
4.2 Saran
Dalam pelaksanaan praktikum mata kuliah Konservasi Sumberdaya Kelautan dan
Perikanan sebaiknya tidak seperti kelas pada umumnya, sehingga kesannya seperti kuliah
bukan praktikum. Jadwal praktikum hendaknya dapat dipadatkan sehingga tidak terlalu
banyak membutuhkan waktu yang cukup lama.
DAFTAR PUSTAKA
LAPORAN PRAKTIKUM
:2
PRODI
: Ilmu Kelautan
ASISTEN
: Dinda Puspa M
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki potensi besar di Sektor Perikanan dan
Kelautan bagi Masyarakatnya. Tidak hanya memberikan pendapatan di bidang ekonomi bagi Negara
saja, akan teytapi sebagian besar hidup Nelayan bergantung pada sektor perikanan dan kelautan.
Pendapatan yng didapatkan nelayan hanya saja sekarang tidak lagi banyak, hampir setiap tahun
jumlah tangkapan ikan nelayan mengalami penurunan. Salah satu faktor penting yang menyebabkan
penurunan jumlah tangkapan ini adalah penggunaan alat tangkap yang merusak, yang memicu
rusaknya ekosistem, kematian ikan yang tinggi, ataupun punahnya spesies tertentu. Hal ini yang
dilakukan nelayan yang tidak bertanggung jawab, namun dampaknya dirasakan semua nelayan
bahkan semua orang, kondisi ini mengharuskan kita belajar tentang penangkapan alat tangkap yang
ramah lingkungan.
Menurut Ditjen KP3K (2006) secara umum Penangkapan ikan dengan cara yang merusak
dipicu oleh tingginya permintaan konsumen untuk pasar perdagangan ikan, terutama ikan yang
ditangkap hidup-hidup. Selain itu juga kondisi masyarakat nelayan yang miskin dan kurang sejahtera,
mendorong mereka untuk mencari cara untuk mendapatkan uang yang banyak dalam waktu yang
singkat dan mudah. Serta Kurangnya pemahaman mengenai siklus hidup ikan dan ekosistem yang
mendukungnya dan kurangnya penegakan hukum bagi penangkapan. Alat tangkp yang tidak ramah
lingkungan atau yang merusak Berdasarkan Dirjen KP3K meliputi; Cara penangkapan ikan yang
merusak, Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, Menggunakan Racun Sianida,
Bubu, Pukat Harimau , dan Pukat Dasar.
Berkaitan antara alat tangkap dan hasil tangkapannya heduanya sangat berpengaruh. Seperti hasil
tangkapan ikan yang menggunakan Jaring insang, jaring dasar, rawai, pancing dan bubu, alat tangkap
yang dapat menangkap hasil tangkapan lebih banyak adalah Bubu dan Jaring dasar.
Hal ini apabila mengacu pada Kriteria utama penilaian terhadap keramahan lingkungan,
berdasarkan ketentuan FAO yakni: Mempunyai selektifitas yang tinggi, Tidak merusak habitat ,
Menghasilkan ikan berkualitas tinggi, Tidak membahayakan nelayan , Produksi tidak membahayakan
1
konsumen , By-catch rendah (hasil tangkap sampingan rendah) , Dampak ke biodiversity, Tidak
membahayakan ikan-ikan yang dilindungi, dan dapat diterima secara social, maka alat-alat yang dapat
menangkap lebih banyak tangkapan dari kelima alat tangkap tersebut adalah alat tangkap yang
merusak (Sima, 2014).
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan adalah mahasiswa
mengetahui seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh operasi alat tangkap yang dapat merusak
lingkungan. Dimana dampak dari operasi alat tangkap tersebut dapat dibedakan didasarkan scope
( luasnya dampak kerusakan ), severity ( keparahan dari dampak yang diberikan) dan irreversibility
( ketidakberbalikan dari suatu dampak ).
Tujuan praktikum dengan materi Dampak Alat Tangkap Bagi Lingkungan Laut adalah
mahasiswa dapat mengenal jenis jenis alat tangkap yang mnimbulkan kerusakan ekosistem terumbu
karang dan mampu menganalisis prakiraan dampak atau kerusakan lingkungan yang ditimbulkan
akibat dari operasi alat tangkap.
1.3 Waktu dan Tempat
Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan dengan materi Dampak Alat
Tangkap Bagi Lingkungan Laut dilaksanakan di Gedung D, lantai 2 pada tanggal 10 Oktober 2015,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang.
2. METODOLOGI
2.1 Skema Kerja Praktikum
Praktikan datang 15 menit sebelum praktikum dimulai
3. HASIL PEMBAHASAN
3.1 Analisa Prosedur
Dampak dari alat tangkap dapat dilakukan monitoring dan evaluasi dengan cara mengukur
dampak kerusakan yang terjadi akibat dari penggunaan alat tangkap ikan sebagai upaya konservasi
yang akan dilaksanakan. Pengukuran dapat diawali dengan menentukan alat tangkap apa saja yang
biasa digunakan nelayan untuk menangkap ikan misalnya bubu, gill net dasar, gill net permukaan,
rawai, dogol, dan sebagainya. Lalu, cantumkan pula mekanisme kerusakan alatnya yaitu : kerusakan
kolateral, by-catch/hasil samping, rakitan spesies, dan alat non spesies. Macam-macam alat tangkap
beserta mekanisme tersebut di masukan dalam format tabel 3.1. Setelah itu, lakukan analisa dengan
pemberian nilai pada setiap alat tangkap yang dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak
langsung terhadap ekosistem terumbu seperti contoh nilai berwarna merah pada tabel 3.1.
Tabel 2 Skor Kerusakan Alat
NO.
ALAT
TANGKAP
1.
MEKANISME
BESARAN DAMPAK
KERUSAKAN ALAT SCOPE SEVERITY IRREVERSIBLE
Kerusakan kolateral
2
2
2
By-catch/hasil
2
1
1
samping
Rakitan spesies
1
2
1
Alat non-selektif
1
2
1
Prakiraan DA alat bubu dan perangkap terhadap terumbu karang
IMPACT
RATING
2,00
1,33
1,33
1,33
1,58
langsung maupun tidak langsung terhadap ekosistem perairan. Indikator mekanisme kerusakan alat
yaitu kerusakan kolateral, by catch/hasil samping, rakitan spesies dan alat non selektif . Sedangkan,
besaraan dari dampak penggunaan alat tangkap yaitu scope, severity dan irreversibility. Berdasarkan
hasil perhitungan dampak kumulatif, alat tangkap yang menimbulkan dampak kerusakan tertinggi
yaitu dogol, bom dan kompresor sianida serta pukat pantai.
A. Bubu
Berdasarkan hasil praktikum materi kedua ini, jenis alat tangkap bubu ini dapat dikategorikan
alat tangkap yang memiliki dampak buruk yang besar terhadap lingkungan. Hal ini dapat dilihat
dengan cara peletakan bubu atau perangkap yang diletakkan di dasar perairan atau pada karangkarang. Secara tidak langsung bubu yang diletakkan pada karang tersebut akan merusak dan
mematikan karang. Bubu juga merupakan alat tangkap yang tidak selektif dalam memilih target
tangkapannya dan akan terdapat by-catch dari setiap hasil tangkapannya.
Gambar 2 Bubu
Bubu merupakan sebuah alat tangkap yang ditempatkan di atas atau sela-sela karang. Untuk
mengelabuhi ikan, bubu ditindaih atau ditutup dengan karang. Melalui cara ini, si pemasang bubu
secara tidak langsung telah merusak karang, baik dengan mematahkannya, mencongkel maupun
menginjak-injak karang. Bubu merupakan salah satu alat tangkap yang menyebabkan kerusakan pada
ekosistem terumbu karang (Kordi, 2010).
B. Rawai Dasar
Alat tangkap rawai dasar sebenarnya sama dengan rawai permukaan. Kesamaan tersebut baik
dari bentuk dan cara pengoperasian. Yang membedakan disini antara keduanya yakni lokasi
pemasangan dari kedua alat tersebut. Rawai dasar dipasang pada dasar perairan yang bertujuan untuk
menangkap ikan demersal. Sama halnya dengan rawai permukaan, rawai dasar merupakan alat
tangkap yang cukup ramah lingkungan karena juga bersifat pasif dan hanya menunggu ikan
menyambar umpan.
Rawai juga bisa dioperasikan pada dasar perairan, disebut Rawai Dasar atau Rawai
Cucut. Tujuan utama penangkapan ialah ikan cucut, pari atau kakap merah yang berada di laut dalam.
Konstruksi alat sama dengan Rawai Permukaan. Pada operasi, ujung tali utama ditambahkan
pemberat sehingga semua pancing bisa mencapai dasar perairan. Rawai dasar banyak diperasikan oleh
nelayan skala tradisional. Selain pancing, nelayan juga membawa alat lain seperti bubu. Ketika kedua
alat ini dioperasikan secara bersama, jenis alat sering disebut Long-Line Pot (Rawai bersama Bubu)
(Wiadnya, 2012).
C. Rawai Permukaan
Alat tangkap Rawai permukaan merupakan alat tangkap serupa pancingan yang bersifat pasif.
Rawai permukaan dipasang pada perairan dimana dipasang pada dekat permukaan atau pada kolom
air. Saat pemasangan alat ini biasanya ditinggal atau dibiarka selama beberapa jam untuk nantinya di
angkat untuk melihat ikan yang berhasil ditangkap. Rawai permukaan yang memiliki sifat pasif inilah
yang membuat alat tangkap ini tidak memiliki efek buruk bagi ekosistem dimana alat tangkap ketika
digunakan. Ikan yang akan ditangkappun bisa diatur ikan apa yang ingin ditangkap, hal ini dapat
dilakukan dengan cara memilih ukuran kail yang akan digunakan sesuai dengan target ikan yang ingin
didapatkan. Alat tangkap rawai permukaan biasanya digunakan untuk mendapatkan hasil ikan yang
hidupnya di kolom perairan dan yang biasa untuk mencari ikan tuna.
Rawai ialah salah satu jenis alat pancing yang umum dikenal oleh nelayan di Indonesia.
Rawai terdiri dari tali utama, pada jarak tertentu dari tali utama dipasang tali cabang, setiap tali
cabang dipasang mata pancing dan mata pancing selalu dipasangi dengan umpan asli (ikan). Setiap
ujung tali utama selalu dilengkapi dengan pelampung utama yang terapung di atas permukaan air.
Rawai Tuna ialah salah satu jenis Rawai Hanyut, dioperasikan dekat permukaan dan ditujukan untuk
menangkap ikan Tuna (Wiadnya,2012).
6
D. Pukat Pantai
Pukat pantai atau beach seine adalah salah satu jenis alat tangkap yang masih tergolong
kedalam jenis alat tangkap pukat tepi. Dalam arti sempit pukat pantai yang dimaksudkan tidak lain
adalah suatu alat tangkap yang bentuknya seperti payang, yaitu berkantong dan bersayap atau kaki
yang dalam operasi penangkapanya yaitu setelah jaring dilingkarkan pada sasaran kemudian dengan
tali panjang (tali hela) ditarik menelusuri dasar perairan dan pada akhir penangkapan hasilnya
didaratkan ke pantai. Pukat pantai juga sering disebut dengan krakat. Pukat pantai ini sendiri jika
dilihat dampak penggunaannya maka akan tergolong memiliki dampak yang rendah,karena alat
tangkap ini memiliki tingkat scope yang rendah dan tingkat collateral damage juga rendah akan tetapi
alat tangkap ini menghasilkan hasil sampingan atau by-catch yang berupa anakan ikan hal ini tentu
lama kelamaan akan merubah tatanan rakitan spesies karena menghasilkan hasil sampingan maka alat
tangkap jenis pukat pantai merupakan alat tangkap non selektif.
Metode pengoperasian alat tangkap pukat pantai jenis krakat adalah dengan melingkari area
penangkapan dimana bagian saya alat tangkap ini di tinggalkan di pantai dengan tali selembar yang di
pegang oleh salah seorang nelayan dan badan serta sayap jaring lainnya di bawa melingkari area
penangkapan sampai membentuk 180o , atau sampai dipantai berikutnya. Setelah semua tali sayap
berada di pantai kemudian dilakukan penarikan bersama-sama dengan kecepatan yang sama agar alat
tangkap tersebut tetap dalam kondisi normal sampai seluruh badan jaring mendarat di pantai. Alat
tangkap pukat pantai jenis krakat di operasikan wilayah atau daerah perairan pantai yang memiliki
karkater berlumpur dan berpasir, dan dihindari dioperasikan di perairan yang berbatu-batu atau
terumbu karang. Dengan aspek ini, maka dapat dikatakan bahwa pengoperasian alat tangkap ini tidak
merusak lingkungan perairan. Dari hasil analisis secara dekriptif menunjukkan bahwa alat tangkap
pukat pantai jenis krakat ramah terhadap lingkungan dengan target tangkapannya adalah jenis teri dan
udang kecil (bahasa lokal lamale). Namun perlu di perhatikan bahwa setiap kali dioperasikan selalu
tertangkap jenis-jenis ikan yang bukan target atau tangkapan sampingan (bycatch) (Mardjudo,2011).
E. Pukat Cincin
Prinsip menangkap ikan dengan purse seine adalah dengan melingkari suatu gerombolan ikan
dengan jaring, setelah itu jaring bagian bawah dikerucutkan, dengan demikian ikan-ikan terkumpul di
bagian kantong. Dengan kata lain dengan memperkecil ruang lingkup gerak ikan. Ikan-ikan tidak
dapat melarikan diri dan akhirnya tertangkap. Fungsi mata jaring dan jaring adalah sebagai dinding
penghadang, dan bukan sebagai pengerat ikan. Dampak dari penggunaan pukat cincin ini adalah
berkurangnya sumberdaya ikan secara signifikan jika digunakan secara terus menerus dan berlebihan.
Alat tangkap ini merupakan alat tangkap non selektif karena semua jenis dan ukuran ikan dapat
tertangkap sehingga menghasilkan hasil sampingan atau by-catch. Alat tangkap ini dioperasikan
7
dibagian permukaan perairan sehingga tidak membahayakan ekosistem didasar perairan, akan tetapi
penggunaan alat tangkap ini dikawatirkan akan merubah rakitan spesies di ekosistem. Pukat cincin
masuk dalam kategori dampak yang dihasilkan sedang.
Purse Seine disebut juga pukat cincin karena alat tangkap ini dilengkapi dengan cincin
untuk mana tali cincin atau tali kerut di lalukan di dalamnya. Fungsi cincin dan tali kerut / tali
kolor ini penting terutama pada waktu pengoperasian jaring. Sebab dengan adanya tali kerut tersebut
jaring yang tadinya tidak berkantong akan terbentuk pada tiap akhir penangkapan.Pemanfaatan
sumberdaya perikanan yang paling dominan dan memberikan sumbangsih paling besar bagi
peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat adalah pukat cincin, sekalipun demikian pukat cincin
dapat menjadi ancaman bagi sumberdaya. Pukat cincin memberikan konstribusi produksi yang cukup
besar terhadap produksi perikanan pelagis kecil. Daya tangkap kapal pukat cincin dipengaruhi secara
signifikan oleh kekuatan mesin penggerak kapal, ukuran jaring, dan kekuatan lampu yang digunakan.
Ketiga faktor tersebut cenderung meningkat, sehingga daya juga cenderung meningkat (Hufiadi dan
Nurdin,2013).
F. Pancing
Berdasarkan hasil praktikum materi kedua ini, jenis alat tangkap pancing ini dapat
dikategorikan alat tangkap yang memiliki tidak begitu memiliki dampak buruk terhadap lingkungan.
Hal ini dapat dilihat dengan cara penangkapan ikan yang mata pancingya hanya mencakup kolom
perairan saja, sehingga ekosistem dasar perairan tidak akan terganggu oleh adanya alat tangkap ini.
Selain itu, alat tangkap ini tergolong dalam alat tangkap yang sangat selektif dan kemungkinan untuk
terdapatnya by catch sangat kecil.
Gambar 7. Pancing
Pancing termasuk ke dalam jenis alat tangkap yang tergolong selektif. Pada umumnya,
pancing dapat memilih jenis dan ukuran ikan yang akan menjadi target penangkapan. Operasi pancing
8
secara langsung tidak menjadi sebab kerusakan kolateral (collateral damage). Pancing juga tidak
menimbulkan dampah hasil samping/by-catch. Kelebihan yang dimiliki oleh pancing ini secara
langsung juga menjadi kelemahan dari pancing, sebab pancing bukan termasuk alat tangkap yang
efektif karena pancing hanya dapat menangkap satu ikan saja setiap satu kali angkat (Wiadnya, 2012).
G. Gill Net Non Dasar
Gill net yang satu ini hampir sama dengan gill net dasar, hanya saja pengoperasiannya berada
di kolom perairan dan lebih dekat dengan permukaan. Dari mekanisme kerusakan alat dengan besaran
dampaknya, alat tangkap ini berada pada kategori rendah. Rendah disini berarti alat tangkap ini masih
aman untuk digunakan.
Seperti dijelaskan dalam Huzaeni (2012) gill net atau jaring insang bersifat selektif terhadap
ikan-ikan berukuran besar (tidak menangkap ikan yang berukuran terlalu kecil atau terlalu besar). Gill
net memiliki ukuran mata jaring yang sama atau seragam. Ada beberapa cara dimana ikan tertangkap
oleh gill net. Misalnya ikan terjerat tepat di belakang mata, terjerat di belakang tutup insang, terjerat
pada bagian di dekat sirip punggung serta terbelit atau terpuntal.
Menurut Zulbainarni (2014), prinsip utama dari alat tangkap ini adalah menjerat hasil
tangkapan secara terpuntal. Sebab pada kenyataannya bahwa ikanikan yang tertangkap dengan
dinding jaring satu lapis (gillnet), dua lapis maupun tiga lapis tidak saja terjerat akan tetapi juga
mereka tertangkap karena terpuntal-puntal atau terbelit (entangled) terutama untuk jenis ikan yang
berukuran besar, jenis kepiting dan udang.
H. Gill Net Dasar
Berdasarkan hasil praktikum materi kedua ini, jenis alat tangkap gill net dasar ini dapat
dikategorikan alat tangkap yang kemungkinan dampak buruk terhadap lingkungannya kecil. Karena
gill net dasar termasuk jenis alat tangkap selektif. Sebab, gill net dasar telah memiliki mesh size yang
sudah ditentukan untuk target tangkapannya.
Dalam Huzaeni (2012) menyebutkan bahwa terdapat kecenderungan bahwa suatu mesh size
mempunyai sifat untuk menjerat ikan hanya pada ikan-ikan yang besarnya tertentu batas-batasnya.
Dengan perkataan lain, gill net akan bersikap selektif terhadap besar ukuran dari catch yang diperoleh.
Oleh sebab itu untuk mendapatkan catch yang besar jumlahnya pada suatu fishing ground, hendaklah
mesh size disesuaikan besarnya dengan besar badan ikan yang jumlahnya terbanyak pada fishing
ground tersebut. Berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 607/KPB/UM/9/1976 butir 3, menyatakan
bahwa mata jaring di bawah 25 mm dengan toleransi 5% dilarang untuk dioperasikan.
I. Dogol
Berdasarkan hasil praktikum materi kedua ini, jenis alat tangkap dogol ini dapat dikategorikan
alat tangkap yang memiliki dampak buruk yang besar terhadap lingkungan. Karena berdasarkan
dampak akumulatif yang telah diakibatkan oleh alat tangkap ini, dogol termasuk kategori sangat
tinggi artinya dogol ini jelas membahayakan lingkungan. Karena dilihat dari indikator mekanisme
kerusakan alat dan indikator dampak kerusakannya alat ini memiliki kapasitas yang besar namun tidak
selektif dalam memilih target tangkapan. Sehingga akan banyak terdapat by-catch dari hasil
tangkapannya.
Menurut Deviana et al. (2010) menyebutkan bahwa dogol sama dengan bottom trawl
merupakan alat tangkap yang berupa jaring ikan berbentuk kerucut dengan jangkauan yang luas dan
lebar. Bottom trawl dipasang di sepanjang dasar laut ( bottom ) sampai kedalaman tertentu dan
dioperasikan dengan cara ditarik oleh kapal. Bottom trawl digunakan untuk menangkap ikan demersal
yaitu ikan ikan yang mencari makan di dasar perairan maupun ditengah perairan. Ikan yang
ditangkap dengan cara bottom trawl bisa beraneka macam karena penggunaannya di dasar perairan
yang merupakan jalur ikan mencari makan. Bottom trawl menangkap hampir semua jenis ikan di
daerah dasar perairan seperti ikan cod, cumi, udang dan berbagai ikan yang hidup di karang karang.
Ikan besar dan kecil serta berbagai macam molusca biasanya ikut terbawa oleh jaring pukat ini. Tidak
jarang juga anak-anak ikan ikut tertangkap oleh bottom trawl ini.
J. Bom dan Kompresor Sianida
Berdasarkan hasil praktikum materi kedua ini, jenis alat tangkap bom dan kompresor sianida
ini dapat dikategorikan alat tangkap yang memiliki dampak buruk yang besar terhadap lingkungan.
Hal ini dapat dilihat dengan cara peledakan bom yang merusak ekosistem terumbu karang pada dasar
perairan dan mematikan seluruh biota yang berada pada sekitar area pengeboman. Akibat dari
pengeboman ini, ekosistem terumbu karang akan mengalami kerusakan yang sangat parah dan sulit
untuk dipulihkan kembali dan jikalaupun dapat dipulihkan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Bom dan kompresor sianida juga merupakan alat tangkap yang tidak selektif dalam memilih target
10
tangkapannya dan akan terdapat by-catch dari setiap hasil tangkapannya karena bom mematikan
seluruh biota yang berada disekitar area pengeboman.
Penggunaan bom dalam penangkapan ikan merupakan suatu cara penangkapan yang sangat
merusak dan termasuk illegal di seluruh Indonesia. Bom ini dikemas menggunakan bubuk dalam
wadah tertentu kemudian dipasang sebuah sumbu untuk menyalakannya dan kemudian dilemparkan
ke dalam air. Bom akan meledak dan memberikan guncangan fatal di sepanjang perairan yang dapat
membunuh hamper semua biota laut yang ada di sekitarnya. Selain merusak terumbu karang yang
berada di sekitar lokasi ledakan, bom juga dapat menyebabkan kematian biota lain yang bukan
merupakan sasaran penangkapan. Nelayan disini hanya mengumpulkan ikan konsumsi saja, tetapi
banyak ikan dan biota laut lainnya ditinggalkan dalam keadaan mati di antara pecahan karang yang
mungkin tidak dapat pulih kembali (Onthoni, 2010).
Hasil dari praktikum konservasi sumberdaya perikanan dan kelautan, bahw alat tangkap yang
memiliki tingkat tertinggi yang dapat merusak ekosistem terumbu karang adalah yang pertama bom
dan potassium, karena bom dan potasium dapat merusak seluruh ekosistem terumbu karang dan susah
untuk dipulihkan. Tidak hanya terihat kerusakan dari ekosistem saja, penggunaan bom dan potassium
juga dapat membunuh semua ikan-ikan yang ada di lautan mulai darik yang masih anakan hingga
yang sudah dewasa. Dan pegunaan bom dan potassium juga cakupan wilayah yang rusak juga sangat
luas. Yang ke dua adalah dogol, karena dari cara pengoperasian dogol sudah tidak baik. Dimana dogol
dioperasikan dengan menyentuh substrat bawah laut dan di sana terdapat terumbu karan, rumput laut
serta hewan-hewan laut yang berada disana. Kerika dogol dioperasikan, dogol dapat merusak
ekosistem terumbu karang yang sangat parah dan keparahan tersebut sangat tinggi. Yang ketiga adalah
pukat cinin, dimana pengoperasian pukat cincin adalah dengan membuat lingkaran besar dengan
menggunakan jarring dimana djika menggunakan pukat cincin ini aka nada banyak ikan-ikan yang
tertangkap dan tidak sesuai dengan sasaran yang di tuju. Dimana ikan-ikan yang masih anakan pun
tertangkap serta ikan-ikan yang tidak seharusnya ditangkap. Pukat cinin juga dapat merusak ekosistem
terumbu karang karena pemgoperasian yang menyntuh daerah terumbu karang.
Menurut Sumardi dkk (2014), Nelayan gill net 12,3% dan nelayan Trammel Net 45,5%
menyatakan bahwa pada sat pengoperasian alat tangkap pure seins dapat menyebabkan kerusakan
pada sebagian habitat pada sebagian habitat pada wilayah yang luas, nelayan 3,8% nelayan pure seins,
nelyan gill net 1,9% dan nelayan trammel net 15,2% yang menyatakan bahwa pada saat alat tangkap
yang dioperasikan dapat menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit. Disisi lain, tidak
terdapat seorang nelayan pun yang menyatakan bahwa alat tangkap pure seins dapat menyebabkan
kerusakan habitat pada wilayah lain (bukan tempat operasi penangkapan sedangkan untuk gill net
1,9% dan Trammel Net 3,0%
11
Mnurut Nasir (2008), Nelayan Purse Seine (53,8%), Nelayan Gill Net (3,5%)., dan nelayan
Trammel Net (21,2%) menyatakan bahwa alat tangkap dapat menangkap lebih dari tiga spesies
dengan ukuran yang berbeda jauh dalam sekali hauling. Alat tangkap Purse Seine (21,2%), Gill Net
(82,5%) dan Trammel Net (40,9%) menyatakan bahwa alat tangkap menangkap kurang dari tiga
spesies dengan ukuran yang kurang lebih sama dalam sekali hauling. Tidak terdapat seorang nelayan
pun yang menyatakan alat tangkap Purse Seine menangkap satu spesies saja dengan ukuran yang
kurang lebih sama dalam sekali hauling, Gill Net (1,8%) dan Trammel Net (21,2%). Sebanyak 25,0%
nelayan Purse Seine ,nelayan gill net 12,3%, dan 40,9% nelayan Trammel Net 40,9% menyatakan alat
tangkap ini dapat menangkap paling banyak tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh dalam
sekali hauling. Nelayan Purse Seine 48,1%, Gill Net 50,9% dan Trammel Net 22,7% menyatakan
bahwa alat tangkap aman bagi nelayan pada saat proses pengoperasian, 46,2%, Nelayan Purse Seine,
Gill Net 49,1%) dan Trammel Net 50,0% menyatakan bahwa alat tangkap dapat mengakibatkan
gangguan kesehatan yang sifatnya sementara pada nelayan, dan 5,8% nelayan Purse Seine,dan
Trammel Net 24,2% menyatakan bahwa Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat cacat
menetap pada nelayan, dari ketiga alat tangkap tersebut tidak ada seorang nelayan pun yang
menyatakan bahwa alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat kematian pada nelayan.
12
4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum kedua Konservasi Sumberdaya Kelautan dan
perikanan dengan materi Fishing Gear Damage Assessment in Coral Reef Community adalah sebagai
berikut:
1. Parameter yang digunakan untuk mengindikasikan alat tangkap merusak yaitu, kerusakan
kolateral, by catch (hasil sampingan), rakitan spesies, dan alat non selektif.
2. Tiga alat tangkap yang paling merusak lingkungan, yaitu dogol, bom atau potassium, dan
pukat pantai.
3. Alat Tangkap paling merusak Pertama, Dogol merupakan alat tangkap berupa jaring yang
ditarik oleh kapal dan beroperasi di dasar perairan. Alat tangkap ini dapat merusak apa saja
yang dilewatinya. Kedua, Bom atau potassium, penggunaan bom atau potassium dalam
penangkapan ikan sudah dilarang, namun masih saja ada oknum nelayan yang memakai bom
atau potassium dalam menangkap ikan. Kerugian yang ditimbulkan dari penggunaan bom
yaitu dapat merusak ekosistem terumbu karang dan membunuh semua ikan yang ada disana,
sedangkan penggunaan potassium akan mengakibatkan ikan mati, baik itu ikan kecil maupun
ikan non target. Ketiga, pukat pantai merupakan alat tangkap jaring panjang yang
dioperasikan dari pantai membentang luas ke laut. Alat tangkap ini dapat merusak terumbu
karang yang dilewatinya dan menangkap semua ikan atau organisme yang bukan targetnya.
4.2 Saran
Dalam pelaksanaan praktikum mata kuliah Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
sebaiknya tidak seperti kelas pada umumnya, sehingga kesannya seperti kuliah bukan praktikum.
Kami berharap pada praktikum generasi praktikan selanjutnya dapat melihat langsung macam
macam alat tangkap yang dapat merusak terhadap lingkungan dan tidak baik untuk digunakan.
13
DAFTAR PUSTAKA
Deviana, M. Winda dkk. 2010. Pengenalan Alat Tangkap Bottom Trawl. Bogor: Institut Pertanian
Bogor
Google Image. 2015. Google Image. http://google.com. Diakses pada 10 Oktober 2015 pukul 21.00
WIB
Hufiadi dan Nurdin Erfind. 2013. Fishing Efficiency Of Purse Seine In Several Fishing Grounds At
Watampone. Peneliti Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru Jakarta
Huzaeni, Arfiani. 2012. Metode Penangkapan Ikan Gillnet.
Kordi, M. Ghufran H. 2010. Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: Rineka Cipta
Dirjen KP3K. 2006. Panduan Jenis-jenis Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan vol-1. Jakarta: Bina
Marina Nusantara
Mardjudo Ahsan. 2011. Analisis Hasil Tangkapan Sampingan (By-Catch) Dalam Perikanan Pukat
Pantai Jenis Krakat Di Teluk Kota Palu Sulawesi Tengah. Palu: Universitas Alkhairaat
Nasir, Muhammad. 2008. Keramahan Gillnet Terhadap lingkungn dan Bahaya terhdap Alat Tangkp.
IPB : BOGOR
Onthoni, Juril Charly. 2010. Analisis Penggunaan Bom dalam Penangkapan Ikan di Kecamatan Kao
Utara Kabupaten Halmahera Utara. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Sima, Aznia marlina,dkk.(2014). Identifikasi Alat Tangkap Ikan Ramah Lingkungan Di Desa Bagan
Asahan Kecamatan Tanjung Balai. Medan: USU.
Sumardi, zainal. 214. Alat Penangkapan Yang Ramah Lingkungaan Berbasis Code of Conduct For
fisheries di Kota Banda Aceh. Vol 1
Wiadnya, Dewa Gede Raka. 2012. Karakteristik Perikanan Laut Indonesia: Alat Tangkap. Malang:
Universitas Brawijaya
Zulbainarni, Nimmi. 2014. Gillnet (Jaring Insang). Bogor: Institut Pertanian Bogor
14
LAPORAN PRAKTIKUM
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK : 2
PRODI:Ilmu Kelautan
ASISTEN
:Dinda Puspa M
1. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara Kepulauan yang juga memiliki sumberdaya Laut
yang melimpah, akan tetapi melimpahnya sumberdaya Laut di Indonesia ini tidak
berbanding lurus dengan Kesejahteraan hidup penduduknya, Bahkan penduduk
Indonesia, terutama para nelayan, sangat bergantung pada kekayaan perairan dan hanya
mengandalkan pendapatan ekonomi dari hasil melaut. Sampai saat ini dapat dilihat
kesejahteraan hidup mereka memang masih tergolong rendah. Ketergantungan
masyarakat pada kekayaan perairan ini dapat berdampak buruk bagi sumber daya alam
yang ada. Dikhawatirkan pengeksploitasian yang tidak dibarengi dengan perawatan atau
konservasi akan merusak dan membuat sumber daya alam yang ada akan semakin
menipis bahkan habis. Oleh karena itu, pemerintah mencanangkan adanya penetapan
kawasan konservasi laut. Yang diharapkan dapat mengimbangi pengeksploitasian besarbesaran yang telah dilakukan oleh masyarakat di wilayah pesisir dalam hal ini adalah
nelayan, yang hidupnya memang bergantung pada kekayaan sumber daya alam perairan
dan kelautan. Penetapan Daerah Perlindungan Laut / Marine Protected Area (MPA) ini
tujuan untuk melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan, dan meningkatkan
kualitas sumber daya, melindungi keanekaragaman hayati, dan melindungi proses-proses
ekologi.
Marine Protected Area (MPA) atau kawasan konservasi laut didisain langsung pada
pengendalian sumber daya alam merupakan instrumen pengelolaan sumber daya pesisir
dan laut. Instrumen ini dilakukan dengan membangun suatu kawasan tertentu di kawasan
pesisir dan laut Penetapan kawasan konservasi laut ini masih menjadi bahan perdebatan
pro dan kontra, pandangan pesimistik dan optimistic Kawasan ini memberikan manfaat
bagi kelangsungan hidup baik manusia maupun ekosistem lainnya. Manfaat tersebut di
atas sebagian merupakan manfaat langsung yang bisa dihitung secara moneter, sebagian
lagi merupakan manfaat tidak langsung yang sering tidak bisa dikuantifikasi secara
moneter. disimpulkan bahwa kawasan konservasi laut memiliki nilai ekonomi yang tinggi
yang tidak hanya bersifat tangible (terukur) namun juga manfaat ekonomi yang tidak
terukur (intangible) (KLH, 2007).
Zoning and Design dilaksanakan di Gedung D.3.2, lantai 3 pada tanggal 18 Oktober
2015, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang.
1.3.
Maksud danTujuan
Maksud dari Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan adalah
mahasiswa mampu mengenal dan menentukan wilayah mana saja yang menjadi prioritas
konservasi. Selain itu juga mahasiswa mampu memberikan alasan alasan yang jelas
mengapa suatu lokasi lbh diprioritaskan untuk konservasi jika dibandingkan yang
lainnya.
Tujuan praktikum dengan materi MPA Zoning and Design adalah mahasiswa
mampu Memahami prinsip dasar dalam proses rancangan zonasi kawasan konservasi
perairan (KKP). Selain itu dengan praktikum ini diharapkan mahasiswa mendalami teknik
tumpang susun (overlay technique) dalam pemilihan wilayah prioritas untuk konservasi
(wilayah larang-ambil atau no-take zone).
2. METODOLOGI
2.1 Skema Kerja Praktikum
Datang 15 menit sebelum praktikum dimulai
Analisa Prosedur
Untuk membuat perencanaan MPA hal pertama yang harus ditentukan adalah
lokasi daerah yang akan dijasikan taerget. Dari lokasi tersebut, dibuat peta tematik yang
berbeda-beda tetapi masih dalam daerah yang sama, skala yang sama, dan proyeksi yang
sama (peta dasar, peta dengan kedalaman laut sampai 200 m dari pantai, peta planning
unit (grid)). peta tematik tersebut masing-masing dengan tema sebaran terumbu karang,
sebaran bakau, sebaran padang lamun, lokasi penangkapan ikan, dan lokasi penyelaman
wisata. Setelah itu, tentukan dan pahami mengenai fitur konservasi dan fitu cost. Seperti
fitur konservasi mangrove, terumbu karang, lamun, tempat penyelaman, lokasi
penangkapan ikan, yang dikaitkan pengaruhnya terhadap perikanan, biodiversitas,
tourism, dan perlindungan pantai seperti pada tabel 3.1 berikut.
Tabel 3 Fitur Konservasi
Objective
No.
Conservation
features
Fisheries Biodiversity
Tourism
Mangrove
Coral Reef
Seagrass
Coastal
Protection
3
11
12
Dive Site
-2
-2
-1
Existing MPA
Fishing Ground
-2
-2
-3
-5
Total
dengan warna pada planning unit yang dipilih sebagai wilayah prioritas konservasi
(wilayah larang ambil).
3.2
Analisa Hasil
1. Mangrove
Dari hail diskusi kelas pada saat praktikum, dihasilkan nilai objektif untuk
masing-masing objektif yaitu pengaruh mengrove bagi perikanan dalah
menghasilkan nilai 3 yang berarti sangat ekali mempengaruhi ikan yhang
berkembang biak di sekitar hutan mangrove. Lalu nilai objektif yang kedua adalah
pengaruh mangrove pada biodiversity dari beberapa spesies. Pada objektif inin
menddapat nilai 3, yang berarti sangat sekali berpengaruh antara hutan mangrove
dengan tingkat biodiveritas suatu spesies. Lalu nilai objektif yang ketiga adalah
tourism. Dimana nilai objektif yang didapatkan pda tourism ini mendapatkan nilai
2. Dimana berarti mangrove slumayan pengaruh untuk pariwiata bagi manusia
sebagai perkenalan bahwa hutan mangrove baik untuk dijaga. Lalu objektif yang
terakhir adalah coastal protection. Pada objektif ini mendapat nilai 3, dimana nilai
ytersebut termasuk nilai yang sangat baik dan sangat berpengaruh sekali antara
mangrove dengan coastal protection dikarenakan mangrove sendiri merupakan
garda paling depan jikadari laut terjadi tsunami atau badai yang besar sehingga
daerah penduduktidak terkena dampaknya.
Dari hasil pengamatan mangrove di 4 stasiun diperoleh 6 jenis mangrove
dominan yang terdiri dari bakau (Rhizophora spp.), lindur (Bruguiera
gymnorrhiza), api-api (Avicennia spp.), pedada (Sonneratia spp.), tingi
(ceriopstagal), dan nipah (Nypa fruticants). Sama halnya dengan stasiun 1, pada
stasiun 3 terdapat 5 jenis mangrove, yaitu Rhizophora spp., Bruguiera
gymnorrhiza, Avicennia spp., Sonneratia spp. dan Ceriops tagal. Kerapatan jenis
yang paling besar pada stasiun ini adalah pada jenis Rhizophora spp.. Pada stasiun
ini, kisaran kerapatan total semua jenis mangrovenya adalah 8 - 32 ind/ 100 m2
untuk tingkat pohon, 2 - 7 ind/ 25 m2 untuk tingkat anakan dan 16 - 77 ind/ 1 m2
untuk tingkat semai. Pada stasiun 4 hanya terdapat jenis Nypa Fruticants tingkat
anakan dengan kisaran kerapatannya adalah 118 ind/ 25 m2. Keberadaan jenis
Nypa fruticants pada stasiun 4 ini dikarenakan lokasi stasiun 4 ini terletak pada
zona akhir (Muharein,2008).
2. Terumbu Karang (Coral Reef)
Dari hasil diskusi kelas pada saat praktikum, dihasilkan nilai objektif untuk
masing-masing objektif yaitu pengaruh Terumbu karang bagi perikanan dalah
menghasilkan nilai 3 yang berarti sangat ekali mempengaruhi ikan yhang
berkembang biak di sekitar Terumbu karang. Lalu nilai objektif yang kedua adalah
pengaruh Terumbu karang pada biodiversity dari beberapa spesies. Pada objektif
inin menddapat nilai 3, yang berarti sangat sekali berpengaruh antara Terumbu
karang dengan tingkat biodiveritas suatu spesies. Lalu nilai objektif yang ketiga
adalah tourism. Dimana nilai objektif yang didapatkan pda tourism ini
mendapatkan nilai 3. Dimana berarti Terumbu karang lumayan pengaruh untuk
pariwiata bagi manusia sebagai perkenalan bahwa Terumbu karang baik untuk
dijaga. Lalu objektif yang terakhir adalah coastal protection. Pada objektif ini
mendapat nilai 3, dimana nilai ytersebut termasuk nilai yang sangat baik dan sangat
berpengaruh sekali antara Terumbu karang dengan coastal protection dikarenakan
Terumbu karang sendiri merupakan garda paling depan jikadari laut terjadi tsunami
atau badai yang besar sehingga daerah penduduktidak terkena dampaknya.
Kondisi terumbu karang di Pantai Sanur, bauj di bagian selatan maupun di
bagian tengah-tengah, berada dalam kondisi sedang dengan prosentase penutupan
masing-masing 48,2 57 % dn 35,52 43,08%. Kondisi terumbu karang terburuk
terlihat di Sanur bagian utara, dengan kondisi sedang sampai buruk dan prosentase
penutupanya hanya mencapai 19,33 25,21%. Hasil monitoring tahun 2006
menunjukkan bahwa nilai penutupan karang hidup di Sanur 30,12-67,34% pada
kedalaman 3 meter dan 28,1-64,17% pada kedalaman 10 meter yang mana kondisi
ini termasuk ke dalam kategori sedang sampai baik. Nilai penutupan karang hidup
di Serangan 37,7-71,9 % pada kedalaman 3 m dan 26,5-56,2% pada kedalaman 10
m yang kondisinya masuk dalam kategori buruk sampai baik (Dinas Lingkungan
Hidup Kota Denpasar, 2008).
3. Lamun (Seagrass)
Dari hasil diskusi kelas pada saat praktikum, dihasilkan nilai objektif untuk
maing-masing objektif yang dipengruhi oleh lamun. pagi perikanan atau ikan-ikan
disekitar lamun, mendapatkan nilai 1, dimana berarti nilai 1 sedikit pengaruhnya
terhadap perikanan. Yang kedua nilai objektif untuk biodiversity yaitu memiliki
nilai objektif 2, dimana nilai 2 ini lumayan berpengaruh terhadap biodiversity.
Karena biasanya di daerah sekitar lamun hanya ada beberapa spesies yang berada
disana. Lalu nilai objektif yang ketiga adalah pengaruh lamun terhadap tourism
yaitu memiliki nilai 1, dimana berarti tourism sedikit sekali berpengaruh terhadap
lamun, kerena padang lamun sangat jarang dikunjungi orang-orang snorkeling. Dn
yang terakhir nilai objektif coastal protection. Dimana coastal proktecytion
mendapat nilai objektif hanya 1 yang berarti hanya sedikit pengaruhnya terhadap
lamun.
Jumlah jenis yang ditemukan ada tujuh jenis yaitu Thalassia hemprichii,
Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Halodule pinifolia,
Cymodocea serrulata dan Cymodocea rotundata. Tujuh jenis ini relatif sedikit, jika
dibandingkan dengan lokasi di perairan T Sebaran jumlah jenis lamun di setiap
stasiun di peraian Teluk Bali umumnya sekitar tiga-empat jenis, sedangkan jumlah
antara enam-tujuh jenis berada di sisi selatan Teluk Bali. Relatif sedikitnya
keragaman jenis lamun di perairan Teluk Bali dan tidak ditemukannya salah satu
jenis Syringodium isoetifolium, secara ekologis dapat diduga karena kondisi
lingkungan perairan yang keruh dan banyaknya aktifitas masyarakat di sekitar
pelabuhan Teluk Bali. Tingginya lalu lalang perahu dapat berdampak negatif
terhadap keberadaan padang lamun, sedangkan dampak perubahan suhu di suatu
perairan dapat berpengaruh terhadap produktifitas Thalassia testudium dan
Syringodium filiforme. Lebih lanjut dikatakan bahwa ancaman yang paling besar
bagi keberadaan padang lamun yaitu faktor lingkungan seperti limbah berasal dari
aktifitas manusia ( LIPI,2010)
4. Dive site
Dari hasil diskusi kelas pada saat praktikum, dihasilkan nilai objektif untuk
maing-masing objektif yang dipengruhi oleh Dive site. pagi perikanan atau ikanikan disekitar Dive site, mendapatkan nilai -2, dimana berarti nilai -2sedikit
pengaruhnya buruk terhadap perikanan. Yang kedua nilai objektif untuk
biodiversity yaitu memiliki nilai objektif -2, dimana nilai -2 ini lumayan
berpengaruh terhadap biodiversity. Karena biasanya di daerah sekitar Dive site
mempengaruhi. Lalu nilai objektif yang ketiga adalah pengaruh Dive site terhadap
tourism yaitu memiliki nilai 3, dimana berarti tourism banyak sekali berpengaruh
terhadap Dive site, kerena Dive site sangat seru. Dan yang terakhir nilai objektif
coastal protection. Dimana coastal proktecytion mendapat nilai objektif hanya 0
yang berarti tidak pengaruhnya terhadap Dive site.
Bali bisa dikatakan surga menyelam bagi para penghobi selam. Di pulau itu,
segala bentuk pemandangan dan kondisi bawah laut tersedia dan tersebar di
berbagai lokasi. Saya menyebut Bali dengan istilah Disneyland Diving-nya
Indonesia. Banyak tempat di luar Bali yang memiliki kekhasan individu luar
biasa. Namun, di Bali-lah semua ciri khas bawah laut Indonesia bisa disaksikan dan
tersebar di berbagai area dan titik selam Pulau Dewata. Berikut beberapa area
selam yang ada di Bali. Di setiap area bisa ditemui lagi beberapa bahkan puluhan
titik menyelam dengan kekhasan masing-masing (Gunawan, 2014).
5. Exiting MPAs
Dari hal diskusi kelas pada saat praktikum, dihasilkan nilai objektif untuk
masing-masing objektif yaitu pengaruh Exiting MPAs bagi perikanan dalah
menghasilkan nilai 3 yang berarti sangat ekali mempengaruhi ikan yang
berkembang biak di sekitar lingkungan yang termaksud area MPA. Lalu nilai
objektif yang kedua adalah pengaruh Exiting MPAs terhadap biodiversity dari
beberapa spesies. Pada objektif ini mendapat nilai 3, yang menunjukkan bahwa
MPA sangat sekali berpengaruh terhadap terjaganya populasi spesies-spesies di
kawasan MPA yang dapat terjaga secara berkelanjutan. Lalu nilai objektif yang
ketiga adalah tourism. Dimana nilai objektif yang didapatkan pda tourism ini
mendapatkan nilai 0. Dimana berarti kawasan MPA tidak memiliki pengaruh
terhadap kegiatan tourism, karena kawasan MPA merupakan kawasan terlindungi
tanpa adanya campur tangan manusia. Lalu objektif yang terakhir adalah coastal
protection. Pada objektif ini mendapat nilai 3, menunjukkan bahwa MPA memiliki
dampak besar terhadap kelestarian coastal protection yang dapat berdampak baik
terhadap spesies-spesies yang hidup didalamnya.
Agar keberlangsungan pariwisata bahari terjamin, pernah digagaskan
perlindungan kawasan pantai (marine protected area) di Bali. Dengan begitu, bisa
diketahui mana kawasan yang bisa dimanfaatkan untuk kawasan wisata bahari,
mana yang tidak. Sehingga tidak ditemukan lagi adanya perusakan terhadap biota
laut akibat kegiatan wisata. Namun, arah kebijakan pemerintah di Bali, baik di
propinsi maupun kabupaten/kota terlalu berorientasi dan terkonsentrasi ke daratan.
Produk hukum yang mengatur wilayah bahari atau laut nyaris nihil. Padahal, tiga
perempat wilayah dengan kondisi Propinsi Bali yang luasnya hanya 5.632,86 km2,
keberadaannya perlu dilindungi mulai dari laut. Di sinilah pentingnya marine
protected area (kawasan perlindungan laut) (Balipost, 2008). Melalui UndangUndang No. 32 tahun 2004, Pemerintah Daerah di Indonesia mendapat mandat dan
bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan (Pasal 18, Ayat
3). Kewenangan dan tanggung jawab ini memungkinkan untuk munculnya istilah
baru dalam nomenklatur KKP. Istilah yang sering dipakai adalah kawasan
konservasi laut daerah (KKLD). Sampai saat ini, ada beberapa KKLD yang
ditetapkan berdasarkan Peraturan Bupati setempat, sebagai contoh Kabupaten
Klungkung (Propinsi Bali) ( Wiadnyadgr, 2012).
6. Fishing Ground
Dari hasil diskusi kelas pada saat praktikum, dihasilkan nilai objektif untuk
maing-masing objektif yang dipengruhi oleh Fishing Ground bagi kegiatan
perikanan mendapatkan nilai 2, dimana berarti nilai 1 cukup pengaruhnya terhadap
perikanan. Yang kedua nilai objektif untuk biodiversity yaitu memiliki nilai
objektif -2. Nilai -2 ini untuk fisging ground cukup merugikan terhadap
biodiversity, karena penagkapan terus-menerus tanpa adanya jangka waktu dapat
memotong regenerasi dan merusak ekosistem di sekitarnya bila penangkapan
dilakukan dengan alat-alat yang berbahaya. Lalu nilai objektif yang ketiga adalah
pengaruh Fishing Ground terhadap tourism yaitu memiliki nilai -2, karena daerah
penagkapan ikan tidak diperuntukkan untuk tourism. Dn yang terakhir nilai
objektif Fishing Ground terhadap coastal protection. Dimana coastal proktection
mendapat nilai objektif 3 yang menunjukkan sangat berpengaruh baik terhadap
coastal protection. Dengan adanya Fishing Ground maka daerah coastal protection
dapat terjaga dengan baik, serta meminimalisir dampak-dampak buruk yang dapat
merugikan ekosistem terumbu karang.
Berdasarkan peta PDPI yang telah diperoleh pada periode Juli 2010, dapat
dilihat pada sebaran area fishing ground kembali menyebar luas ke seluruh perairan
Selat Bali, yaitu pada koordinat 114.39306 BT 115.13429 BT dan (-8.75694) LS
(-8.26902) LS. Tiap tahun titik-titik tersebut semakin meluas tetapi jangkaun
skalanya semakin menyempit. Hasil tersebut diperoleh berdasarkan dua parameter
utama, yaitu parameter klorofila dan suhu permukaan laut (Ghazaali, 2011).
Objective
Conservation
No
Feature
Fisheries
Biodiversity
Tourism
Coastal
Total
Protection
Mangrove
11
Coral Reef
12
Seagrass
Dive Site
-2
-2
-1
Existing MPA
Fishing Ground
-2
-2
-3
-5
Berdasarkan hasil hitungan dari Planning Unit Covering 200 m depth pada
wilayah Pulau Bali didapatkan wilayah yang tepat digunakan daerah MPA (Marine
Protected Area) adalah daerah Bali bagian barat, yaitu mencakup wilayah perairan
Malaya, Gilimanuk, Permuteran, dan daerah perairan sekitar Pulau Menjangan.
Karena berdasarkan informasi pada peta tematik daerah tersebut merupakan daerah
yang terdapat ekosistem Mangrove, terumbu karang, lamun, juga terdapat lokasi
penyelaman.
Ekosistem terumbu karang di Kabupaten Jembrana dalam kondisi sangat
baik terdapat di Cekik dan Gilimanuk. Faktor-faktor alam sangat mendukung
pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang di kawasan Cekik dan Gilimanuk
adalah kondisi arus yang kuat sehingga proses pertukaran nutrien dan purifikasi
sedimen pada permukaan terumbu dapat berlangsung secara baik. Kawasan Hutan
Bali Barat. Hutan mangrove di kawasan ini bagian dari Taman Nasional Bali Barat.
Luas hutan mangrove adalah 429,00 ha, terletak di Kabupaten Jembrana yaitu
Gilimanuk seluas 217,00 ha dan Kabupaten Buleleng seluas 212,00 ha yang
berlokasi di desa Sumberklampok dan Pejarakan (Pemprov Bali, 2010).
Untuk daerah rencana MPA selanjutnya berdasarkan hasil hitungan dari
Planning Unit Covering 200 m depth pada wilayah Pulau Bali ini yaitu di sekitar
Sanur, Tanjung Benoa, dan Nusa Dua. Pada daerah-daerah tersebut patut dijadikan
kawasan perencanaan MPA (Marine Protected Area) karena terdapat ekosistem
mangrove, terumbu karang, lamun, serta are penyelaman (dive site) Menurut
Hutasoit (2015) dalam Mongabay (2015).
Kawasan penyelaman di perairan Nusa Dua memang belum seterkenal
dibandingkan dengan dive site lain yang ada banyak tempat di Bali. Tapi dengan
pengembangan sistem zonasi yang dikombinasikan dengan program rehabilitasi
terumbu karang dan konservasi kima, diharapkan kawasan perairan Nusa Dua bisa
dijadikan atraksi ekowisata bawah laut.Sebaran lamun yang cukup luas di wilayah
pesisir Bali terdapat di Kota Denpasar (pantai Sanur dan Serangan), Kabupaten
Badung (Nusa Dua, Tanjung Benoa, Sawangan, Kutuh, Ungasan, Teluk Benoa),
Kabupaten Jembrana (Teluk Gilimanuk), Kabupaten Karangasem (Padangbai dan
Candidasa), dan Kabupaten Klungkung (Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan).
Sebaran terumbu karang di Kota Denpasar seluas 300,6 ha, terdapat di sepanjang
pesisir yang membentengi Pantai Sanur dan Pulau Serangan. Secara spasial,
sebaran terumbu karang di kawasan Sanur mulai berkembang dari pantai Matahari
Terbit (ujung utara) sampai pantai Mertasari (ujung selatan) serta sisi timur dan
tenggara Pulau Serangan (Pemprov Bali, 2010).
Pada daerah selanjutnya, berdasarkan hasil hitungan dari Planning Unit
Covering 200 m depth dipilihlah kawasan Pulau Penida tepatnya di bagian selatan.
Pada perairan Pulai Penida ini merupakan daerah yang banyak terdapat ekosistem
terumbu karang. Selain itu di Pulau Penida bagian selatan ini merupakan daerah
penunjang MPA (existing MPA), spot diving (Dive Site) yang merata di Pulau ini
serta terdapat juga ekosistem lamun. Terumbu karang dalam kondisi sangat baik
Bali bagian tenggara (Nusa Penida).
KKP Nusa Penida dibentuk dengan salah satu tujuannya itu perikanan
yang berkelanjutan selain pariwisata yang berkelanjutan dan perlindungan
keanekaragaman hayati laut. Di dalam KKP diatur zona-zona seperti zona inti yang
gunanya untuk melindungi tempat-tempat ikan berpijah dan bertelur sehingga zona
ini sama sekali tidak boleh diganggu.Sementara itu zona perikanan berkelanjutan
diperuntukkan agar nelayan Nusa Penida tetap dapat menangkap ikan, tentunya
dengan alat tangkap dan cara-cara yang ramah lingkungan. Sementara zona lainnya
juga berperan di dalam melindungi terumbu karang, hutan bakau, dan padang
lamun yang merupakan ekosistem penting pesisir dimana ikan dan biota laut
lainnya bereproduksi, bertelur, berlindung dan mencari makan di dalamnnya. Jika
ekosistem ini rusak maka ikan akan semakin berkurang dan akan berdampak
kepada nelayan Nusa Penida (Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2015)
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Saran
turun langsung ke daerah MPA yang telah ada dan mendapatkan studi kasus mengenai
daerah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Lingkungan Hidup Kota Denpasar. 2008. Status Lingkungan Hidup Kota Denpasar
Tahun 2008. Denpasar. Pemerintah Kota Denpasar Provinsi Bali
Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan
Perikanan.2015.
Konservasi
Kawasan
dan
Jenis
Ikan.
http://kkji.kp3k.kkp.go.id/. Diakses hari Jumat, 23 Oktober 2015 Pukul 06.00
WIB
Ghazali, Iqbal dan Abdul Manan. 2011. Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan Di Selat
Bali Berdasarkan Data Citra Satelit. Madura : Univ. Trunojoyo
GRE, 2008. Kawasan Perlindungan Laut. http://www.balipost.co.id/balipostcetak//.
Diakses Hari Selasa, 20 Oktober 2015 Pukul 06.00 WIB
Gunawan, Cipto Aji. 2014. Disneyland Bawah Laut indonesia. Destinasi Indonesia | No 6
Vol1-2014
Hutasoit , Pariama Magdalena Damayanti dalam Mongabay. 2015. 330 Anakan Kima
Disebar
Untuk
Restorasi
Perairan
Nusa
Dua.
http://www.mongabay.co.id/tag/terumbu-karang/. Diakses pada hari Kamis,
22 Oktober 2015 pukul 19.00 WIB
Kementrian Lingkungan Hidup. 2007. Studi Valiasi Sumber Daya alam lingkungan di
kawasan Lindung (Konservasi).Bernala Nirwana: Jakarta.
LIPI.2008.Pemetaan Padang Lamun Di Sekitar Pilau Bali. JAKARTA
Muharein,muri.2008.Kajian Sumberdaya Ekosistem Mangrove Untuk Pengelolaan
Ekowisata di Estuarin Perancak, Jembrana, Bali. Bogor:IPB
Pemprov Bali. 2010. LAPORAN STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH
PROVINSI BALI TAHUN 2010. http://datin.menlh.go.id/. Diakses hari
Jumat, 23 Oktober 2015 Pukul 00.12 WIB
Sundjaya.2008. Menjadi Konservasionis. UI Press: Jakarta
Wiadnyadgr, 2012. Kawasan Konservasi Perairan Dan Pengelolaan Perikanan Tangkap
Di Indonesia. http://wiadnyadgr.lecture.ub.ac.id//. Diakses Hari Selasa, 20 Oktober
2015 Pukul 06.10 WIB
LAPORAN PRAKTIKUM
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK : 2
PRODI
:Ilmu Kelautan
ASISTEN
:Dinda Puspa M
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mengenai pembahasan Stakeholder Marine Protected Area (MPA) stakeholder,
sebelumnya kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan Stakeholder. Stakeholder
merupakan individu, sekelompok manusia, komunitas atau masyarakat baik secara
keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki hubungan serta kepentingan terhadap
perusahaan. Individu, kelompok, maupun komunitas dan masyarakat dapat dikatakan
sebagai stakeholder jika memiliki karakteristik yaitu mempunyai kekuasaan, legitimasi,
dan kepentingan terhadap perusahaan. Stakeholder dalam pengertian singkat juga dapat
diartikan sebagai orang yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh wilayah MPA.
Menurut Dahuri, Rais, Ginting, dan Sitepu (2001) dalam Abubakar et al. bahwa
rancangan pengelolaan harus terpadu baik dari aspek keilmuan, sektoral dan keterkaitan
ekologis. Untuk menjawab keterpaduan dan keberlanjutan tersebut, maka penelitian ini
harus dirancang sedemikian rupa sehingga pengelolaannya terpadu dan berkelanjutan.
Rancangan itu harus dijawab berdasarkan atas analisis dampak ekonomi, sosial dan
lingkungan. Segala keputusan yang diambil dalam pengelolaan kawasan ini harus
melibatkan partisipasi stakeholders. Stakeholders juga yang memantau dan mengevaluasi
pengelolaannya. Berdasarkan hal tersebut di atas maka telah dilakukan penelitian dengan
tujuan (1) untuk merancang skenario strategi pengembangan pengelolaan kawasan
konservasi laut Gili Sulat yang berdimensi terpadu dan berkelanjutan (2) Memperkirakan
dampak ekonomi, sosial dan ekologi pada pengelolaan kawasan konservasi laut Gili Sulat
berkelanjutan. Pengelolaan kawasan konservasi laut baik dalam jangka menengah
maupun dalam jangka panjang harus terpadu dan berkelanjutan.
Stakeholder yang dekat dengan kekuasaan dan memiliki ketergantungan politik
secara vertikal menggulirkan isu tersebut secara vertikal. Resistensi beberapa stakeholder
tersebut dikarenakan kekhawatiran akan berkurangnya penghasilan akibat berkurangnya
hasil tangkapan karena terlalu luasnya zona inti KKLD Kab.Pangkep. Karena adanya
resistensi dari stakeholder tersebut sehingga penataan tapal batas KKLD Kab.Pangkep
belum bisa dilakukan. Hal inilah yang mendasari sehingga dinamika otonomi daerah
dirasakan sangat berpengaruh terhadap proses pengelolaan kawasan konservasi laut.
Kepentingan stakeholder yang bertabrakan diupayakan untuk disinkronisasi secara
harmonis agar tidak terjadi konflik kepentingan. Disadari atau tidak, sistem demokrasi
politik di Indonesia belum dewasa sehingga kebijakan selalu disandarkan pada
kepentingan sebagian kecil orang yang memiliki kekuatan ekonomi politik meski harus
mengorbankan kepentingan perlindungan sumberdaya laut.
2. METODOLOGI
2.1 Skema Kerja Praktikum
Praktikan datang 15 menit sebelum praktikum dimulai
No.
Legitimasi
Power
Urgensi
(1-3)
(1-3)
(1-3)
Stakeholder
Skor
Akademisi
BKSDA
Kepala Daerah
Keterangan
No.
Stakeholder
Akademisi
BKSDA
Kepala
Daerah
Legitimasi
Power
Urgensi
(1-3)
(1-3)
(1-3)
Skor
Keterangan
N
O
STAKEHOLDERS
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
LEGITIMAC
Y
(1 - 3)
POWE
R
(1 - 3)
URGENC
Y
(1 - 3)
Akademisi
Badan Lingkungan Hidup Denpasar
Birokrat
BKSDA
Bupati Denpasar
Coral Triangle Initiative
Dinas Kelautan Perikanan Denpasar
Dinas Pariwisata
Dinas Pekerjaan Umum Denpasar
Kelompok Nelayan
Media
Pedagang
Pemuka Adat
Pengelola Wisata
Polisi Air dan Udara
Resort Owner
TNI Angkatan Laut
Turtle Conservation and Education
Center
Wisatawan
World Wildlife Fund
SCOR
E
SCORE =
Badan lingkungan hidup kota Denpasar dan BKSDA (Badan Konsevasi Sumber
Daya Alam) memiliki rangking terbesar pada Stakeholder Ranking. Dalam Stakeholder
Ranking yang memiliki nilai score 7-9 merupakan bagian dari Definitif yang merupakan
individu atau kelompok yang menentukan suatu keptusan. Dalam pelaksanaan tugasnya.
BKSDA bertanggungjawab terhadap kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya di dalam dan di luar kawasan konservasi untuk mendukung mutu
kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Memiliki tujuan memantapkan efektifitas
pengelolaan kawasan konservasi sesuai dengan fungsinya, memantapkan perlindungan
kawasan konservasi dan keanekaragaman sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,
meningkatkan pemanfaatan kawasan konservasi secara lestari sesuai dengan fungsinya
dan meningkatkan kelembagaan, kemitraan dan partisipasi konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya (BKSDAkaltim, 2015).
Badan lingkungan hidup kota Denpasar sebagai penjabaran yang bertugas untuk
mendukung terwujudnya visi pembangunan kota Denpasar berwawasan lingkungan
yamg berbudaya, mencakup mewujudkan pembangunan lingkungan kota Denpasar
berkelanjutan yang berwawasan budaya. Menumbuh Kembangkan kemampuan
masyarakat kota Denpasar, mengelola Lingkungan yang berwawasan lingkungan.
Membangun pelayanan public dan informasi lingkungan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Kegiatan konservasi dan MPAs manajemen pun sangat
dipengaruhi oleh Badan Lingkungan Hidup (BLHDenpasar, 2014).
Tabel 8 Tugas 2
NO
STAKEHOLDER
LEGITIMACY
1.
Akedemisi
(1-3)
POWER
(1-3)
URGENCY
(1-3)
SCORE
3
2.
3.
Badan Lingkungan 2
Hidup Denpsar
Birokrat
3
3
1
BKSDA
Bupati Denpasar
6.
7.
8.
Coral
Initiviate
Triangle 1
3
Dinas Pariwisata
Dinas
Pekerjaan 2
Umum Denpasar
4
4
1
2
7
6
2
2
2
9.
4
5
Dinas
Kelautan
Perikanan Denpasar
8
9
1
5.
3
3
1
4.
2
22
5
6
NO
STAKEHOLDER
LEGITIMACY
(1-3)
POWER
(1-3)
URGENCY
(1-3)
SCORE
10.
Kelompok Nelayan
11.
Media
12.
Pedagang
13.
Pemuka Adat
14.
Pengelola Wisata
2
1
2
2
16.
19.
Turtle
and
Center
Coservation
Education
Wisatawan
2
3
1
3
8
7
1
1
3
7
3
3
1
2
3
8
4
3
20.
3
3
3
18.
3
1
8
7
1
3
17.
6
7
3
1
2
Polisi
Air
dan 1
Udara
Resort Owner
1
3
1
7
5
2
1
15.
2
3
9
6
Dari hasil praktiku, kami mendapatkan stakeholder tertingi yang tergolong dalam
Silent Majority group adalah Birokrat dan BKSDA. Dimana Birokrat sendiri adalah
sebuah susunan tertinggi disuatu provinsi maupun didaerah tersebut, jadi birokrat dapat
mempengaruhi atau dapat memerintah langsung dan membuat kebijakan tentang
peraturan dalam konservasi sumberdaya kelautan. Dan yang kedua adalah BKSDA,
dimana BKSDA ini adalah sebuah balai konservasi yang ada di daerah tersebut. Otomatis,
balai tersebut mempunyai peraturan dan kebijakan tentang konservasi.
Dan stakeholder yang tertinggi yang tergolong pada vocal minority group adalah
wisatawan dan pedagang. Yang pertama adalah wisatwan, karena wisatawan merupakan
pengunjung suatu tempat wilayah konservasi, para wisatawan ini juga dapat memberi
pendapat dan timbal balik apa yang mereka rasakan di wilayah konservasi tersebut. Yang
ke dua adlah pedagang, sama halnya dengan wisatawan, peddagang juga dapat
memberikan timbal balik dengan kepuasan pedagang tersebut yang berdagang di sekitar
wilayah konservasi.
Dari hasil praktiku sesuai dari tabel yang kita kerjakan, stakeholder tertinggi yang
tergolong expectent ada pertama yaitu bupati, karena bupate yang akan memberikan
perizinan dalam proses semua ini, bupati yang memberikan legalitas dalam hal keputusan
sesuai dengan peraturan. Selain bupati, ada juga resort owner, karena mereka
Terjadi
hubungan
saling
Hubungan potensial antara anggota lain dari sistem pemangku kepentingan dan
pemangku kepentingan dengan dua dari tiga atribut pemangku kepentingan
mengidentifikasi mewakili kualitatif berbeda (lebih terlibat) zona arti-penting. Dengan
demikian, menganalisis situasi di mana dua dari tiga atribut: kekuatan, legitimasi dan
urgensi, yang hadir, salah satu tidak bisa membantu tetapi melihat perubahan momentum
yang mencirikan kondisi ini. Sedangkan "satu-atribut" lowsalience stakeholder
diantisipasi untuk memiliki status laten di stakeholder sistem, "dua-atribut" stakeholder
moderat-arti-penting terlihat menjadi "Mengharapkan sesuatu" karena kombinasi dari dua
atribut memimpin pemangku untuk aktif versus sikap pasif, dengan sesuai peningkatan
sistem pemangku kepentingan tanggap terhadap kepentingan stakeholder. Tiga kelas
expectent (dominan, tergantung dan berbahaya). (Ronald, 2000)
Dan stakeholder yang tergolong latent adalah wisatawan dan pedagang. Untuk
wisatawan hanya menikmati apa yang di berikan dan sedikit memberikan pengaruh dan
lebih kepada penikmat kalau cuman sebatas wisatawan, wisatawan datang membayar
tiket masuk kalau ada dan hanya mendapat sedikit hak dalam keputusan. Untuk
pedagang, pedagang hanya akan mengikuti peraturan apa yang di berikan stakeholder
yang lebih penting lainya. Pedagang hanya menjadi stakeholder latent juga karena
terbatas dengan perturan dan perjanjian yang ada dan hanya berhubungan dengan
wisatawan.
Dengan waktu yang terbatas, energi dan sumber daya lainnya yang dibutuhkan
untuk melacak pemangku kepentingan perilaku dan untuk mengelola hubungan, orang
mungkin melakukan apa-apa tentang pemangku kepentingan bahwa mereka percaya
memiliki hanya satu dari atribut mengidentifikasi, dan bahkan tidak mungkin pergi sejauh
untuk mengakui keberadaan mereka. Demikian pula, laten pemangku kepentingan tidak
mungkin untuk memberikan perhatian atau pengakuan kepada orang lain di bagian lebih
aktif dari sistem stakeholder. Dalam beberapa berikutnya paragraf, alasan di balik
harapan ini yang berlaku untuk masing-masing kelas stakeholder laten dijelaskan dan
implikasi dibahas. (Ronald, 2000)
4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum Konservasi Sumberdaya
Kelautandan perikanan dengan materi Stakeholder Involvement in MPAs Management
adalah sebagai berikut:
1. Penilaian tipe manajemen MPA berdasarkan kemampuan mempengaruhi
dibedakan menjadi Vocal Minority Group dan Silent Majority Group.
Berdasarkan penilaian tergolong dalam Silent Majority group adalah Birokrat dan
BKSDA. Stakeholder dengan nilai tertinggi yang tergolong pada Vocal Minority
Group adalah wisatawan dan pedagang.
2. Tipe stakeholder berdasarkan atributnya dibedakan menjadi tiga, yaitu Definitive,
Expectent, dan Latent. Berdasarkan penilaian hasil praktikum yang tergolong
Definitive yaitu Badan Linghungan Hidup Denpasar (nilai 9) dan BKSDA (nilai
7). Tipe Expectant yaitu Bupati (nilai 6) dan Resort Owner (nilai 6). Tipe Latent
yaitu wisatawan (nilai 3) dan pedagang (nilai 3).
4.2 Saran
Dalam pelaksanaan praktikum mata kuliah Konservasi Sumberdaya Kelautan dan
Perikanan sebaiknya tidak seperti kelas pada umumnya, sehingga kesannya seperti kuliah
bukan praktikum. Kami berharap pada praktikum generasi praktikan selanjutnya dapat
turun langsung ke lapang dan melakukan wawancara terhadap Stakeholder.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar et al. Strategi Pengembangan Pengelolaan Berkelanjutan Kawasan Konservasi
Laut Gili Sulat: Suatu Pendekatan Stakeholders. Jurnal Bumi Lestari, Volume 10
No. 2, Agustus 2010 hlm. 256-262
Bksdakaltim. 2015. Bksdakaltim. http://bksdakaltim.dephut.go.id/. Diakses pada hari
Selasa, 27 oktober 2015 pukul 16.00 WIB
BLHDenpasar. 2014. Visi Dan Misi BLH Kota Denpasar. http://lh.denpasarkota.go.id/.
Dikases pada hari Selasa, 27 oktober 2015 pukul 18.00 WIB
Nessa, Natsir dkk.2014. Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut (Bunga Rampai).
Ronald K. Mitchell, 2000. Assessing Stakeholder Interests in Prosperity and Cultural
Well-being.University of Victoria Winspear Chair in Public Policy and Business
10
LAPORAN PRAKTIKUM
:2
PRODI
:Ilmu Kelautan
ASISTEN
:Dinda Puspa M
1. PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
mahasiswa mampu memahami dasar dasar tahapan pengelolaan sumberdaya alam melalui
pendekatan 5 S. 5S terdiri dari System ( target konservasi ), Stress ( Ancaman ), Source of
Stress ( Sumber masalah ), Strategy ( rencana pengelolaan ), dan Succes ( monitoring
keberhasilan ).
Tujuan praktikum dengan materi 5 S Framework in MPA adalah mahasiswa
mampu menyusun, memahami dan menerapkan prinsip 5S dalam pengelolaan kawasan
MPA. Dalam pengelolaannya sendiri mahasiswa diharapkan mampu menghubungkan dari
ke lima point tersebut dalam kehidupan sehari hari. Dengan prinsip 5S ini diharapkan
pengelolaan MPA menjadi lebih jelas dan terarah.Tujuan praktikum dengan materi 5 S
Framework in MPA adalah mahasiswa mampu Memahami serta menilai pengelolaan
sumberdaya alam secara struktural dengan pendekatan 5 S. yang dimana pengetahuan
awal sebelum mnggunakan perangkat lunak Miradi dalam penyusunannya.
1.3
METODOLOGI
1.4
ANALISA PROSEDUR
Jenis sumberdaya
2.
Kategori
konservasi
ekosistem, spesies,
atau genetik
3.
Status
4.
Status*
2. STRESS
*tekanan yang dihadapi oleh sumberdaya yang akan dikelola
No.
Kisi-kisi
Analisis
Status*
Aktivitas manusia
yang terkait
1.
langsung dengan
pemanfaatan
sumberdaya
Ancaman yang
dihadapi oleh
2.
sumberdaya :
a. Alami
b. Antropik
3.
Kerusakan yang
ditimbulkan
terhadap
sumberdaya
3. SOURCE OF STRESS
*akar masalah penyebab stress
No.
Kisis-kisi
1.
Alasan yang
menyebabkan
terjadinya
perusakan
2.
Analisis
Status*
Pemahaman
tentang perangkat
perundangan
tentang konservasi
3.
Keterkaitan antara
tekanan
sumberdaya
dengan kondisi
sosial ekonomi
4.
Ketersediaan
sarana
patroli/pengawasan
4. STRATEGY
*upaya untuk menanggulangi setiap akar masalah
5. SUCCESS
*Indikator keberhasilan program
System
Sistem dalam konservasi adalah perangkat yang terlibat dalam suatu
konservasi. Dalam hal ini, konservasi yang dimaksud adalah konservasi lautan.
Dimana sistemnya terdiri dari mangrove, terumbu karang maupun, hal-hal yang
menyangkut perangkat konservasi tersebut. Dalam sistem konservasi ino
semuanya tergolong penting karena antara sistem satu dengan yang lainnya sangat
berhubungan. Kebanyakan konservasi sistem yang dilikan adalah konservasi
terumbu karang. Dimana terumbu karang sendiri ada;ah merupakan tempat
banyaknya ikan tinggal di sana dan tempat mencari makan mereka. Dan banyak
juga beberapa hewan yang hanya sekedar tinggal sementara untuk tinggal di sana.
Jika terumbu karang hilang, otomatis ikan-ikan dapat hilang juga dikarenakan
banyaknya ikan atau organisme yang mencari makan disekitar terumbu karang.
Stress
Stress merupakan kerusakan atau degradasi pada system yang menyebabkan
berkurangnya kemampuan system untuk bertahan dan berkembang. Kerusakan
bisa terjadi langsung pada target atau proses ekologi penting bagi target untuk
melangsungkan kehidupannya. Faktor-faktor yang berupa tekanan yang dihadapi
oleh sumberdaya yang akan dikelola. Dapat juga disebut sebagai masalah dalam
proses konservasi yang dilakukan. Terntunya hal ini muncul akibat dari
ketidakseimbangan yang terjadi dalam segala aspek yang ada (PERHUTANI,
2012).
No.
1
Kisi-Kisi
Analisi manusia terkait
langsung dengan
pemanfaatan sumberdaya
Kerusakan yang
ditimbulkan terhadap
sumberdaya
Analisis
Aktivitas yang berkaitan
langsung adalah penyelaman
yang dilakukan oleh para
wisatawan
a. Alami : Gelombang
yang tinggi dan juga
terjadinya perubahan
iklim
b. Antropogenik :
Limbah dari kegiatan
pariwisata dan bahan
kimia oleh aktifitas
rumah tangga, karena
banyak terdapat hotel
disana
Karang mengalami penyakit
dan lebih mudah mengalami
kematian
Status*
Sedang
Sedang
Tinggi
Sedang
Source Of Stress
Source of stress merupakan akar masalah penyebab terjadinya stress. Halhal yang menyebabkan munculnya ketidakseimbangnya aspek maupun proses
yang ada dalam konservasi. Baik dari masyarakat, kelembagaan, pemerintah
maupun lingkungan. Suatu kegiatan yang menyebabkan terjadinya perubahan
pada kondisi system yang bisa berupa ketidak sesuaian penggunaan lahan, air dan
sumber daya alam lainnya, atau suatu kegiatan yang menyebabkan terjadinya
tekanan. Soure of stress ini bisa berupa aktivitas yang sedang berjalan atau active
dan juga bisa berupa aktivitas yang sudah berlalu atau histories tetapi masih
Kisi-Kisi
Alasan yang menyebabkan
terjadinya kerusakan
Pemahamanterhadap
perangkat perundandan
tentang konservasi
Analisis
Alasan utama didaerah ini
adalah adanya wisata di
wilayah tersebut, sehingga
berpotensi merusak karang
Pemahaman perangkat yang
kurang terhadap UU
disebabkan oleh keterlambatan
pengetahuan adanya MPA
yang dilakukan
Karena karang disana masih
bdalam kondisi baik sehingga
masyarakat memanfaatkan
ekosistem terumbu karang
yang ada yang dapat
menyebabkan kerusakan pada
ekositem tersebut
Kurang adanya patroli. Hal ini
terbukti dari baru dimulainya
proses pembuatan MPA
Status*
Sedang
Tinggi
Tinggi
Rendah
Stategy
o
10
3. PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan
Perikanan dengan materi 5 S Framework for Succes MPA Management adalah sebagai
berikut :
1. Penyusunan Rencana Pengelolaan MPA dilakukan dengan pendekatan 5S (5S
approach) yaitu : System, Stress, Source of stress, Strategy, dan Success
berdasarkan kisi kisi yang telah dibuat.
2. Berdasarkan hasil praktikum didapatkan hasil Strategi dan Succes dalam
pengelolaan MPA.
Stategy :
Pengawasan terhadap kawasan MPA
a. Pemberian sosialisasi UU pada wisatawan
b. Pembuatan regulasi dalam pemanfaatan sumberdaya
c.
Succes :
a. Kawasan tersebut semakin terjaga dari eksploitasi yang berlebih
b. Memberikan pengetahuan dasar yang nantinya membuat wisatawan
paham terhadap aturan yang berlaku
c. Memenejemen dengan baik sumberdaya tersebut
d. Membuat sebuah sistem yang saling menguntungkan antara pihak-pihak
stake holder
3.2
SARAN
11
DAFTAR PUSTAKA
KPH Kendal. 2012. Laporan Monitoring Dan Evaluasi Kawasan Bernilai Konservasi
Tinggi Tahun 2011. Perhutani
Mukhlis, Muhammad. 2011. Konservasi Laut dan Pemanfaatannya. Jakarta : Gramedia
PERHUTANI. 2012. Monitoring Dan Evaluasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi
Tahun 2011. Kendal : KPH Kendal
Setiawan et,al, 2014. MONITORING KONVENSIONAL DAN MONITORING
MODERN. Jember : Univ. Jember
Wiadnya, DGR. 2012. Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan.
Malang
12
LAPORAN PRAKTIKUM
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK
:2
PRODI
:Ilmu Kelautan
ASISTEN
:Dinda Puspa M
13
1. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Miradi adalah perangkat lunak manajemen proyek yang dirancang olehpraktisi
konservasi, untuk praktisikonservasi. Miradi menggunakan wizards, contoh, dan
beberapapemandangan bantuan proyek timdesain, rencana, menerapkan, danmemantau
proyek-proyek konservasiyang kuat. Miradi menyediakan sebuahproses yang sederhana,
langkah
demi
langkah
untuk
konservasi
tim
untukmenerapkan
konservasi
oleh
langkah-langkahkonservasi
kemitraan
(CMP),
danperbaikan
perangkat
lunak.
Miradihanya
masuk
akal
jika
METODOLOGI
Untuk membuat sebuah projek baru, klik create. Lalu beri nama MPA Nusa
Dua, Bali kemudian next.
Isi data project, data tim, data organisasi (jika ada) dengan mengisi form yang
tersedia dengan mengklik pada menu.
Isi pula form scope dan location berdasarkan analisa yang telah dilakukan
sebelumnya terhadap wilayah yang akan dikonservasikan di Nusa Dua, Bali.
Kemudian, isi form planning dengan rencana yang akan dilakukan terhadap
wilayah konservasi yang menjadi projek.
Setelah formnya terisi, lanjutkan memilih diagram pada tab Summary untuk
membuat diagram perencanaanya juga agar mempermudah pelaksanaan dan
monitoring.
Desain yang telah dibuat mampu mewakili konsep yang telah dibuat untuk
kemudian dilaksanakan dan di monitoring.
dan kerusakan pada ekosistem. Hal-hal tersebut harus berjalan disertai sosialisasi pada
masyarakat, baik mengenai alat tangkap yang baik cara pemakaiannya maupun akan
pentingnya kegiatan konservasi. Diharapkan statergi tersebut dapat mengurangi
kegagalan dalam kegiatan konservasi sehingga MPA dapat berjalan dengan baik dan
dapat mencapai tujuan.
Keindahan alam KKP Nusa Penida yang merupakan pesona utama yang menarik
perhatian para turis harus dijaga untuk menjamin keberlangsungan KKP Nusa Penida.
Sebagian besar turis setuju untuk membayar biaya masuk ke KKP Nusa Penida guna
membantu pendanaan pengelolaan KKP Nusa Penida. Namun, penetapan biaya masuk di
KKP Nusa Penida dapat menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, penetapan biaya
masuk dapat menambah pemasukan KKP Nusa Penida yang memungkinkan peningkatan
standar hidup masyarakat dan konservasi lingkungan laut, serta perbaikan infrastruktur.
Namun di sisi lain, penetapan biaya masuk juga dapat mengurangi jumlah turis yang
datang ke KKP Nusa Penida. Pengurangan jumlah turis ini kembali memiliki sisi negatif
dan positif. Sisi negatifnya adalah berkurangnya pemasukan KKP Nusa Penida,
sementara sisi positifnya adalah pengontrolan jumlah turis yang akan memasuki KKP
Nusa Penida yang dapat berujung pada lingkungan alam yang lebih sehat dan terjaga
(Tania dkk, 2011).
Berdasarkan pada beberapa kelemahan yang ditemukan di destinasi pariwisata
Nusa Lembongan apalagi dihadapkan dengan tantangan pariwisata global yang terjadi
saat ini menimbulkan kekhawatiran akan kelangsungan hidup pariwisatanya. Di samping
itu, tingginya tingkat pembangunan fasilitas dan usaha jasa pariwisata lainnya jika tidak
dikontrol dengan baik ditengarai dapat menimbulkan dampak negatif, baik dilihat dari
segi lingkungan fisik, sosial budaya, maupun ekonomi terutama bagi masyarakat lokal.
Hal tersebut sangat menarik untuk diteliti lebih jauh agar diperoleh strategi pengendalian
terhadap dampak negatif yang muncul sedini mungkin yang nantinya dapat
direkomendasikan kepada seluruh stakeholders pariwisata (Sumariadhi, 2012).
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
?????
4.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA
2013.
http://www.psp.wa.gov/downloads/Funding/2013-60%20Miradi%20