Nama Penderita
: Tn. IA
Kelamin
: Laki-laki
Tanggal Lahir
: 10/03/1999
Alamat
No. RM
: 12-70-82
Tanggal Masuk
: 02/06/2016
Nama RS
: RSI. Faisal
: Demam
Anamnesis Terpimpin
Riwayat pengobatan:
II. OBJEKTIF
Status Pasien
: Sakit Sedang/Gizi cukup/Composmentis
Tanda Vital
:
o Tensi
: 120/80 mmHg
o Nadi
: 80 x/menit
o Pernapasan : 20 x/menit, tipe thoracoabdominal
o Suhu
: 38,2C
Kepala
o Ekspresi
: Biasa
o Simetris muka : Simetris kiri=kanan
o Deformitas
: tidak ada
o Rambut
: Hitam, lurus, sukar dicabut
Mata
o Eksoftalmus/enoftalmus
: tidak ada
o Gerakan
: Dalam batas normal
o Tekanan bola mata
: Dalam batas normal
o Kelopak mata
: Edema +/+
o Konjungtiva
: Anemis -/o Kornea
: Jernih
o Sklera
: Ikterus -/o Pupil
: Bulat, isokor, 2,5mm/ 2,5mm
Telinga
o Tophi
: tidak ada
o Pendengaran
: Dalam batas normal
o Nyeri tekan di prosessus mastoideus : tidak ada
Hidung
o Perdarahan
: tidak ada
o Sekret
: tidak ada
Mulut
o Bibir
: tidak sianosis, kering
o Tonsil
: T1-T1, hiperemis (-)
o Farings
: tidak hiperemis
o Gusi
: Perdarahan tidak ada
o Lidah
: ada lidah kotor
Leher
o
o
o
o
o Kaku kuduk
: (-)
o Tumor
: (-)
Dada
o Inspeksi
Bentuk
: Normochest, simetris kiri=kanan
Pembuluh darah : Tidak ada pembesaran
Buah dada
: Sela iga
: Dalam batas normal
Lain lain
: Tidak ada kelainan
Paru
o Palpasi
Fremitus raba
: Kiri=kanan
Nyeri tekan
: (-)
o Perkusi
Paru kiri
: Sonor
Paru kanan
: Sonor
Batas paru hepar
: ICS VI dextra anterior
Batas paru belakang kanan
: CV Th. IX dextra
Batas paru belakang kiri
: CV Th. XI sinistra
o Auskultasi
Bunyi pernapasan : Vesikuler
Bunyi tambahan : Rh -/- Wh -/Jantung
o Inspeksi
: Ictus Cordis tidak tampak
o Palpasi
: Ictus Cordis teraba
o Perkusi
: Pekak
o Auskultasi
Perut
o Inspeksi
o Palpasi
Hepar
Lien
Ginjal
o Perkusi
o Auskultasi
Punggung
: Batas kanan
: Batas Kiri
: Batas Atas
: ICS II sinistra
: Batas Bawah
: ICS V sinistra
o Palpasi
o Nyeri ketok
o Auskultasi
o Gerakan
o Lain lain
Alat Kelamin
Anus dan Rektum
Ekstremitas
Laboratorium:
:
:
:
:
:
:
:
:
02 Juni 2016
Darah rutin
Tubex TF
: Hb
Leukosit
6.400 mm3
Eritrosit
Trombosit
73.000 /uL
Hematokrit
42,0%
Skala 7
03 Juni 2016
Darah rutin : Hb
Faal Hati
14,2 gr/dl
13,1 gr/dl
Leukosit
3200 mm3
Eritrosit
4,6 juta/uL
Trombosit
58.000 /uL
Hematokrit
37,8%
: SGOT Opt
59 U/L
SGPT Opt
47 U/L
positif
06 Juni 2016
Darah rutin : Hb
15,4 gr/dl
Leukosit
7100 mm3
Eritrosit
6,4 juta/uL
Trombosit
15.000 /uL
Hematokrit
44,1%
III.ASSESSMENT
Demam typhoid
DHF grade 1
IV. PLANNING
Pengobatan
: Tirah baring
IVFD RL 30 tpm
Ampicilin 200 mg
Gentamicin A/IV
Metoclopramide 1/3 A/IV
Skin test Vicciline
Inj. Vicciline 200mg/IV
V. PROGNOSIS
Ad Functionam
: Bonam
Ad Sanationam
: Bonam
Ad Vitam
: Bonam
VI. FOLLOW UP
TANGGAL
PERJALANAN PENYAKIT
INSTRUKSI DOKTER
JAM
12/6/2016
S:
P/
T: 120/90
- Demam (+), kejang (+)
- Tirah baring
N: 72 x/i
- Nyeri kepala (+)
P: 24 x/i
- Batuk (-), lendir (-), sesak (-)
- IVFD Asering 20
S: 38,8C
- Mual (+), muntah (-)
tpm
- Anak mau makan dan minum
- BAK: kurang lancar, warna
- Ampicillin 200 mg
coklat
Gentamicin A/ iv
5
O:
Metoclopramide
1/3
T : 12O/80
A/iv
N : 84 x/ menit
Skintest Vicciline
P : 26 x/ menit
S : 37,8c
iv
-
kotor (-)
-
A:
- GNAPS / Sindrom Nefritik
13/06/2016
T: 110/80
N: 92x/i
P: 36 x/i
S: 38,7 C
S:
P/
-
f
Tiba-tiba kejang sesaat 1
detik
Respon nyeri (-), respon buka
mata (-)
Muntah
minum
Demam (+)
KU: SS/GC/CM
(+)
setiap
Tirah baring
Levofloxacin
500mg/24 jam/IV (3)
habis
O:
(-)
-
A:
- GNAPS / Sindrom Nefritik Akut
05/06/2016
T: 110/70
N: 62 x/i
P: 20 x/i
S: 37,5 C
S:
P/
-
Demam (-)
Lidah kotor (-)
Perdarahan gusi (+)
KU: SS/GC/CM
Tirah baring
O:
menit
kotor (-)
-
3x1 (KP)
-
Gelofusin 1 kolf/24
jam/drips
Levofloxacin
500mg/24 jam/IV (4)
(-)
-
Paracetamol 500 mg
Metilprednisolon 125
mg/24 jam
Adona 1 amp/drips
A:
- Demam tifoid
- DHF grade 2
06/06/2016
T: 120/80
N: 64 x/i
P: 20 x/i
S: 36 C
S:
P/
-
Demam (-)
Lidah kotor (-)
O:
-
KU: SS/GC/CM
Tirah baring
kotor (-)
-
Paracetamol 500 mg
3x1 (KP)
Levofloxacin
500
(-)
-
Metilprednisolon 125
mg/24 jam/IV
A:
- Demam tifoid
- DHF grade 2
VII.
RESUME
Seorang pria berusia 17 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan demam yang
dialami sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, demam berlangsung terusmenerus, demam biasanya lebih tinggi pada sore-malam hari. Keluhan disertai
menggigil, sakit kepala ada kadang-kadang. Pasien juga mengeluh mual dan
sempat muntah 1x berisi air. Batuk tidak ada, sesak dan nyeri dada juga disangkal.
Nyeri ulu hati tidak ada tetapi pasien mengeluh susah BAB sejak 2 hari sebelum
masuk RS. BAK lancar seperti biasa. Riwayat perdarahan spontan tidak ada.
Riwayat pernah sakit tifoid disangkal. Riwayat penyakit yang sama dalam
keluarga disangkal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan, keadaan umum pasien: sakit sedang,
gizi baik, composmentis. Tanda vital tensi 110/70 mmHg, nadi 80x/i, pernafasan
22x/i dan suhu 39,10C. Pada pemeriksaan fisis didapatkan rambut kering, mudah
dicabut, bibir kering ada, lidah kotor ada. Pada pemeriksaan thoraks dan abdomen
dalam batas normal. Hasil laboratorium darah rutin menunjukkan pasien tersebut
trombositopenia
dengan
trombosit
berturut-turut
73.000/uL,
58.000/uL,
paracetamol 1 gr/8 jam/IV, levofloxacin 500 mg/24 jam/IV. Prognosis pada pasien
ini ad functionam bonam, ad sanationam bonam dan ad vitam bonam.
VIII. DISKUSI
Pasien masuk dengan keluhan demam, maka kita dapat memikirkan
berbagai kemungkinan. Ada banyak penyakit yang dapat menimbulkan keluhan
demam, misalnya DHF, demam tifoid, malaria, ISPA, Tonsilofaringitis, ISK dan
penyakit-penyakit lain. Dari hasil anamnesis pada pasien, demam dialami sejak
4 hari yang lalu sebelum masuk RS. Demam dirasakan terus-menerus terutama
pada waktu sore menjelang malam hari yang merupakan sifat demam pada demam
tifoid. Pasien juga mengeluh nyeri kepala, mual, muntah, serta gangguan saluran
cerna yakni obstipasi yang merupakan gejala klinis demam tifoid.
Pada pemeriksaan fisis, ditemukan bradikardi relatif dimana peningkatan
suhu tubuh tidak diikuti oleh peningkatan denyut nadi. Adanya lidah kotor disertai
tepi yang hiperemis dan Tubex TF positif dengan IgM Salmonella = +8 positif.
Hal tersebut sesuai dengan kriteria diagnosis untuk demam typhoid. Selain itu dari
hasil pemeriksaan laboratoriuSm menunjukkan pasien tersebut trombositopenia
dengan trombosit berturut-turut 73.000/uL, 58.000/uL, 12.000/uL, dan 15.000 /uL
serta pada pemeriksaan Anti Dengue juga ditemukan hasil positif, ini juga
menunjukkan bahwa selain pasien mengalami demam tifoid, pasien juga
mengalami Demam berdarah dengue atau Dengue Hemoragic Fever.
Pengobatan pada pasien ini dengan tirah baring, IVFD RL 36 Tpm,
paracetamol 1 gr/8 jam/IV, levofloxacin 500 mg/24 jam/IV
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEMAM TIFOID
I. DEFINISI
Demam typhoid adalah sistemik akut yang disebabkan oleh bakteri
salmonella typhi dan salmonella paratyphi.1
II. ETIOLOGI
Salmonella typhi merupakan basil gram-negatif, bersifat aerobic, bergerak
dengan rambut getar dan bersifat tidak berspora. Kuman ini mempunyai 3 macam
antigen 1
Antigen O (somatik), terletak pada lapisan luar yang mempunyai komponen
protein, lipopolisakarida (LPS) dan lipid. Sering disebut endotoksin.
Antiegn H (flagella), terdapat pada flagella, fimbriae dan pili dari kuman ,
berstruktur kimia protein.
Antigen Vi (antigen permukaan), pada selaput dinding kuman untuk melindungi
fagositosis dan berstruktur kimia protein.
III.EPIDEMIOLOGI
Surveilans Departemen Kesehatan RI. Frekuensi kejadian demam tifoid di
Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 peningkatan
frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di
Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan
jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. 2
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait
dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural (jawa barat) 157 kasus per 100.000
10
11
12
dalam peredaran darah menuju sistem retikuloendotelial seperti hati, limfa dan
sumsusm tulang. Ini merupakan bakteremia yang pertama terjadi dalam 24-72 jam
setelah kuman masuk dan biasanya jarang terdiagnosis oleh karena penderita
belum menunjukkan gejala klinis. Bakteremia yang pertama yang hanya
sementara dan segera berakhir setelah kuman ini tidak hancur oleh fagositosis
oleh karena terlindung oleh kapsul Vi. Di dalam organ-organ ini kuman masih
terus berkembang biak dengan pesat, proses ini berlangsung selama 7 sampai 10
hari. Selanjutnya kuman masuk kembali kedalam peredaran darah dan
menimbulkan bakteremia yang kedua. 1,5,6
Adanya antigen dari kuman ini akan merangsang limfosit T mengeluarkan
suatu zat machrophag activating factor (MAF) yang mempengaruhi perubahan
morfologi pada makrofag dan mengakibatkan metabolisme yang sangat aktif,
lebih giat mematikan dan mencernakan bakteri. Makrofag pada keadaan ini
disebut angry macrofag. Pada mulanya kuman Salmonella typhi sangat sukar
difagositosis karena melindungi kapsel Vi, baru setelah beberapa lama kuman
berada didalam tubuh penderita terjadi perubahan pada kapsel Vi, (tidak diketahiu
sebabnya) sehingga kuman sekarang berhasil difagositosis (dicerna) oleh
makrofag. 1
Pada stadium bakteremia yang kedua ini kuman yang hancur akan
melepaskan endotoksin yaitu suatu kompleks lipopolisaksarida yang selanjutnya
akan mengaktifkan komplemen dan merangsang pelepasan pirogen endogen dari
sel PMN, makrofag dan sel sistem retikuloendotelial lainnya. Pirogen endogen ini
akan mempengaruhi pusat pengaturan suhu tubuh di hipotalamus dan
menimbulkan gejala demam. Secara singkat bahwa S.typhi menembus mukosa
yang rusak melalui bercak peyer dan kelenjar getah bening mesenterium untuk
masuk kedalam alirah darah dan menyebabkan infeksi sistemik , dan nakteri yang
berkembang bika dalam lumen usus atau kandung mepedu tidak dapat diakses
oleh pertahanan imun penjam, termasukIgA sekretorik. 1,7
Makrofag yang telah aktif memfagosit kuman akan mengeluarkan
interleukin-1 (IL-1 ; Limphocyte activating factor) yang akan merangsang T
helper cell dan menghasilkan menghasilkan interleukin-2 (IL-2 ; T cell growth
13
14
adekuat, menjadi karier pada 1-4%. Gejala yang tidak spesifik seperti malaise,
mengigil, sakit kepala, myalgia, dan batuk yang muncul pada awal perjalanan
penyakit. Apatis dan delirium terjadi pada 10-45%, bradikardia relatif, lidah kotor,
bercak Ros yang muncul pada awal penyakit namun lebih sering ditemukan pada
orang kulit putih . Hepatomegali lebih sering daripada splenomegaly biasanya
muncul pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua. Pada pemeriksaan
abdomen di dapatkan rasa nyeri lokal, maupun difus, terkadang juga disertai
dengan penurunan bising usus. 1
Keluhan dan gejala Demam tifoid
Periode Penyakit Keluhan
Gejala
Patologi
Minggu Pertama Panas berlangsung Gangguan saluran Bacteremia
insidious,
tipe cerna
panas stepladder,
Mingu Kedua
mengigil,
nyeri
kepala
Rash,
nyeri Rose
abdomen,
diare, splenomegaly,
konstipasi
hepatomegaly
spots, Vaskulitis,
hyperplasia
peyer
pada
patches,
Komplikasi
: Melena, ileus
perdarahan saluran
peyer
cerna,
peritonitis
perforasi,
patches,
syok
Minggu keempat Keluhan menurun, Tampak sakit berat Carrier kronik
dst
relaps,
penurun
BB
Tabel 1 : Gejala klinis demam typhoid
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis tifoid dapat di tegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisis/jasmani, pemeriksaan bekteriologi/ pemeriksaan laboratorium, radiologi. 5
a. Pemeriksaan laboratorium
15
1) Uji widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman s.tiphi. pada
uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.tiphy dengan
antibodi yang di sebut agglutinin. Antigen yang di gunakan pada uji widal adalah
suspense salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratrium. Maksud uji
widal adalah untuk menentukan adanya aglutini dalam serum penderita tersangka
demam tifoid yaitu: Aglutini O (dari tubuh kuman), Aglutini H(flagel kuman),
Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutini tersebut hanya aglutini O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini. Hasil dari tes widal dapat diinterpretasikan sebagai berikut, 8
-
Titer O yang tinggi atau kenaikan titer (1:160 atau lebih) menunjukkan
kemudian meningkat secara cepat pada minggu ke empat , dan tetap tinggi selama
beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul agglutinin O, kemudian di
ikuti dengan agglutinin H. pada orang yang telah sembuh agglutinin O masih tetap
di jumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H menetap lebih lama antara 912 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan
penyakit.
Adanya beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu:
-
demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi,
Faktor teknik pemeriksaan antara laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan
strain salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.
16
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglitinin yang
bermakna diagtnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya
kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di
berbagai laboratorium setempat.2
2) Uji Typhidot
Uji tyhphidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada
protein membrane luar
didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dam dapat mengidentifikasi secara spesifik
antibodi IgM dan IgG terhadap antigen s.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada
strip nitroselulosa. 5 Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifitas sebesar
76,6% dan efisiansi uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh
Gopalakhrisnan dkk (2002) yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid. Pada
penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitifitas dan
spesifitas uji ini hamper sama dengan uji tubex yaitu 79% dan 89% degan 78%
dan 89%.5
Pada kasus reinfeksi, respons imun skunder (IgG) terinveksi secara
berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun
sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara
infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer.
Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan
menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama
uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang
ada pada serum pasien. Studi evaluasi yang dilakukan oleh Khoo KE dkk pada
tahun 1997 terhadap uji Typhidot-M menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih
sensitive (sensitivitas mencapai 100%) dan lebih cepat (3jam) dilakukan bila
dibandingkan dengan kultur. 5
3) Uji Tubex
Uji tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat
(beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi antiS.typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM antiO9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida
17
s.typhi yang terkinjugasi pada partikel megnetiklatex. Hasil positif uji tubex ini
menunjukkan terdapat infeksi salmonella serogroup D walau tidak secara spesifik
menunjuk pada S.typhi. infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negatif. 5
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat
merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan merangsang
mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap
anti-gen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakuakn
lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari 3-2 untuk infeksi
sekunder. Perlu diketahui bahwa uji tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak
dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk
mendeteksi infeksi lampau. 5
Pemeriksaan ini dilakkukan dengan menggunakan 3 macam komponen,
meliputi: 1). Tabung berbentuk V, yang juga berfungi untuk meningkatkan
sensitivitas, 2). Reagen A, yang mengandung partikel magnetic yang diselubungi
dengan antigen S.typhi O9, 3). Reagen B yang mengandung partikel lateks
berwarna biru yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi
dengan antibodi monoclonal spesifik untuk antigen O9. Untuk melakuakan
prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum (25 L) dicampurkan ke dalam tabung
dengan satu tetes (25 L) reagen A. setelah itu reagen B (50 L) di tambahkan
kedalam tabung. Hal tersebut di lakukan pada kelima tabung lainnya. Tabungtabung tersebut kemudian di letakkan pada rak tabung yang mengandung magnet
dan di putar selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm. Interpretasi hasil
dilakukan berdasarkan warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari
kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna larutan campuran yang dapat
bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna inilah ditentukan
skor, yang interpretasinya dapat dilihat pada table berikut. 5
Skor
<2
3
Inter pretasi
negatif
borderline
masih
meragukan
lakukan
pengulangan
18
4-5
>6
tidak mengandung antibodi terhadap O9, reagen B ini bereaksi dengan reagen A.
jika diletakkan pada daerah mengandung medan magnet (magnet rak), komponen
magnet yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan
membawa sserta pewarna yang dikandung oleh reagen B. sebagai akibatnya
terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya merupakan gambaran serum
yang lisis. Sebaliknya, bila serum mengandung antibodi terhadap O9, antibodi
pasien akan berikatan dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada
megnet rak dan memberikan warna biru pada larutan. 5
4) Uji IgM dipstick
Uji ini secara khusus mendeteksi sntibodi IgM spesifik terhadap S.typhi
pada specimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang
mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S.typhi dan anti IgM (sebagai
kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan
lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum di inkubasi dengan reagen dan
serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil untuk di
simpanselama 2 tahun pada suhu 4-25 C di tempat kering tanpa paparan sinar
matahari. Pemeriksaan di muali dengan inkubasi strip pada larutan campuran
reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip
dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan
penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference stri.
Garis control harus terwarna dengan baik. 5
House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 meneliti mengenai
penggunaan uji ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di Indonesia
dan melaporkan sensitivitas sebesar 65-77% dan spesifisitas sebesar 95-100%.
Pemeriksaan ini mudah da cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus
19
PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini masih dianut trilogy penatalaksanaan demam tifoid yaitu :
1.
Istirahat
dan
perawatan,
dengan
tujuan
mencegah
komplikasi
dan
20
turun dan proses penyembuhan menjadi lama. Di masa lampau penderita tifoid
diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan
akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet tersebut disesuaikan dengan
tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk
menghindari perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. 5
3. Pemberian Antibiotik, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran
kuman. Obat obat anti mikroba yang sering digunakan untuk mengobati
tifoid antaralain adalah sebagai berikut 5
- Klomrafenikol. di indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan
utama untuk memgobati demam tifoid dengan dosis yang diberikan adalah
4x500mg secara per oral atau IV. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas
-
panas.
Tiamfenikol : dosis dan efektivitas dari timafenikol pada demam tifoid
hampir sama dengan kloramfenikol akan tetapi komplikasi hematologinya
sama
dengan
selama 2 minggu.
Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan
demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol dosis yang
21
koordinasi
Respirasi : Bronchitis, Pneumonia
Hematologi: Anemia dan koagulasi intravascular diseminata KID
Komplikasi ginjal : glomerulonephritis, pielonefritis, perinefritis
Komplikasi tulang : osteomyelitis, periostitis, atritis
Lain lain abses fokal, Faringitis, Relaps , karier kronik
IX. PENCEGAHAN
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan
karena akan berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian
akibat demam tifoid, menurunkan anggaran pengobatan pribadi maupun Negara,
mendatangkan devisa Negara yang bersal dari wisatawan mancanegara karena
telah hilangnya predikat Negara endemic dan hiperendemik sehingga mereka
tidak takut lagi terserang tifoid saat berada di daerah kunjungan wisata. 5
22
23
24
II. ETIOLOGI
Virus dengue yang termasuk kelompok Arthropod Borne Virus
(Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, familio flavivisidae
dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4.
Di Indonesia pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di
beberapa Rumah Sakit menunjukkan keempat serotipe di temukan dan
25
Gambar 2.2. Vektor nyamuk aedes aegypti dan struktur virus dengue
III. PATOGENESI
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan
kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes
albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga
menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk
Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia
yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur
berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum
dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Sekali
virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut
akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus
memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat
26
terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2
hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel
hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel
manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan
protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya
tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya
tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat
menimbulkan kematian.
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan
masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD
adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau
hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung
bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus
dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita
DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus
lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi
yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leokosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh
tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu
proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel
mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary
heterologous infection dapat dilihat pada gambar 2.3. yang dirumuskan oleh
Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang
berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi
27
28
29
30
31
dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar
mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat, lemah kecil sampai tidak teraba.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif
disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia
umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi
dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya
gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah
albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara
tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi
virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu
yang lama (lebih dari 12 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena
keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler
dengan
deteksi
materi
transcriptionpolymerase
genetik
virus
chain reaction
melalui
pemeriksaan
reverse
(RT-PCR). Pemeriksaan
RT-PCR
memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan
isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami
kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan
yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan
mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai
hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari.
Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi
sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.
32
33
Demam thyphoid
Malaria
Morbili
Demam Chikungunya
Leptospirosis
Idiophatic Thrombocytopenia Purpura (ITP)
VIII. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran
plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.
Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah
34
pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan
terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak
demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan
cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada
kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai
apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap
kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun
asites yang masif perlu selalu diwaspadai.
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang
cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran
cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol,
serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin
ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko
terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum).
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan
DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini
terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar 2.6).
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (gambar
2.7).
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% (gambar
2.8).
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa.
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 2.9).
35
Gambar 2.7. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
36
37
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan
khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis
cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan.
Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang
intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan
salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid
sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid,
kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang
sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan
lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu
sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan
efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan
kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan
hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam
pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan
menyebabkan efek penambahan volume vascular hanya dalam waktu yang singkat
sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular)
dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu
jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke
dalam ruang interstisial. Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa
keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga
terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan
dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa
keunggulan yaitu pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi
volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih
lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan
oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa
kekurangan yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko
39
anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid
terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh:
hetastarch). Penelitian cairan koloid dibandingkan kristaloid pada sindrom
renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi
hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada
kedua jenis cairan. Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan
penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di
Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi.
Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya
kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan
berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan
rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma.
Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg,
adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma
yang terjadi sebanyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam.
Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang stabil
adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar
hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih
berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau
masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis
pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi
hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau
tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil
secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil
(lihat protokol pada gambar 2.8 dan 2.9). Pada kondisi di mana terapi cairan telah
diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan
kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan
terjadinya perdarahan internal
40
IX. PROGNOSIS
Dubia ad bonam
X. PENCEGAHAN
Memutuskan rantai penularan dengan cara :
1. Menggunakan insektisida
Malathion (adultisida) dengan pengasapan
Temephos (larvasida) dimasukkan ketempat penampungan air
bersih.
2. Tanpa insektisida
Menguras bak mandi dan tempat penampungan air bersih minimal
1x seminggu.
Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.
Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas, botolbotol pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk
bersarang.
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Nasronudin.Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini & Mendatang.
Airangga University Press. Surabaya. 2011: Hal 187 198.
2. Sloane ethel.Anatomi dan Fisologi untuk Pemula. EGC. Jakarta. 2005:
Hal 283-289.
3. W.F.Ganong. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.EGC.Jakarta.2005: Hal 288
- 284
4. Sherwood Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. EGC.
Jakarta. 2012: Hal 116 - 118
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.Buku Ajar Ilmu
Penyakit dalam. Interna Publishing. Jakarta.2010: Hal 2797-2805.
6. Unknown.typhoid abdominalis. 2012 [cited 2014februari 18];. Available
from
http://www.findthatdoc.com/search-105702971-hPDF/download-
documents-jtptunimus-gdl-sitimuasar-5257-1-bab1-pdf.htm.
7. Robbins. Buku Ajar Patologi Edisi 7 Volume 1.EGC.Jakarta.2007: hal 343
8. E.jawetz, Jl. meknick. Mikrobiologi Kedokteran Buku 1. EGC. Jakarta.
2005: Hal 189 195
9. Gibbons RV, Vaughn DW. Dengue:an escalating problem. BMJ
2002;324:1563-6
10. World Health Organization. Prevention and control of dengue and dengue
haemorrhagic fever: comprihensive guidelines. New Delhi, 2001.p.5-17
11. World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic fever and
dengue shock syndrome in the context of the integrated management of
childhood illness. Department of Child and Adolescent Health and
Development. WHO/FCH/CAH/05.13. Geneva, 2005
12. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan RI. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan. Jakarta, 2007
13. Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di
sarana pelayanan kesehatan, 2005.p.19-34
14. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue.
Dalam: Sudoyo, A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Edisi 4. Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.1774-9
42
15. Rani, A. Soegondo, S. dan Nasir, AU. (ed). Panduan Pelayanan Medik
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta:Pusat
Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.137-8
16. Hadinegoro SRH, et al. (editor). Tata laksana demam berdarah dengue di
Indonesia. Depkes RI dan Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2004
43