Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

Nama Penderita

: Tn. IA

Kelamin

: Laki-laki

Tanggal Lahir

: 10/03/1999

Alamat

: Perumahan Pesona Prima Griya E1

No. RM

: 12-70-82

Tanggal Masuk

: 02/06/2016

Nama RS

: RSI. Faisal

Dokter Penanggung Jawab : Dr. dr. H. Hasyim Kasim, Sp.PD-KGH


I. SUBJEKTIF
Keluhan Utama

: Demam

Anamnesis Terpimpin

Dialami sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, demam berlangsung


terus-menerus, demam biasanya lebih tinggi pada sore-malam hari. Keluhan
disertai menggigil, sakit kepala ada kadang-kadang. Pasien juga mengeluh mual
dan sempat muntah 1x berisi air. Batuk tidak ada, sesak dan nyeri dada juga
disangkal. Nyeri ulu hati tidak ada tetapi pasien mengeluh susah BAB sejak 2 hari
sebelum masuk RS. BAK lancar seperti biasa. Riwayat perdarahan spontan tidak
ada.
Riwayat penyakit sebelumnya:
Riwayat pernah sakit tifoid tidak ada
Riwayat DM dan hipertensi tidak ada
Riwayat keluarga:

Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga (-).

Riwayat pengobatan:

Pasien belum pernah berobat sebelumnya.

II. OBJEKTIF
Status Pasien
: Sakit Sedang/Gizi cukup/Composmentis
Tanda Vital
:
o Tensi
: 120/80 mmHg
o Nadi
: 80 x/menit
o Pernapasan : 20 x/menit, tipe thoracoabdominal
o Suhu
: 38,2C
Kepala
o Ekspresi
: Biasa
o Simetris muka : Simetris kiri=kanan
o Deformitas
: tidak ada
o Rambut
: Hitam, lurus, sukar dicabut
Mata
o Eksoftalmus/enoftalmus
: tidak ada
o Gerakan
: Dalam batas normal
o Tekanan bola mata
: Dalam batas normal
o Kelopak mata
: Edema +/+
o Konjungtiva
: Anemis -/o Kornea
: Jernih
o Sklera
: Ikterus -/o Pupil
: Bulat, isokor, 2,5mm/ 2,5mm
Telinga
o Tophi
: tidak ada
o Pendengaran
: Dalam batas normal
o Nyeri tekan di prosessus mastoideus : tidak ada
Hidung
o Perdarahan
: tidak ada
o Sekret
: tidak ada
Mulut
o Bibir
: tidak sianosis, kering
o Tonsil
: T1-T1, hiperemis (-)
o Farings
: tidak hiperemis
o Gusi
: Perdarahan tidak ada
o Lidah
: ada lidah kotor

Leher
o
o
o
o

Kelenjar getah bening :


Kelenjar gondok
:
DVS
:
Pembuluh darah
:

Tidak ada pembesaran


Tidak ada pembesaran
R-2 cmH2O
Tidak ada kelainan

o Kaku kuduk
: (-)
o Tumor
: (-)
Dada
o Inspeksi
Bentuk
: Normochest, simetris kiri=kanan
Pembuluh darah : Tidak ada pembesaran
Buah dada
: Sela iga
: Dalam batas normal
Lain lain
: Tidak ada kelainan
Paru
o Palpasi
Fremitus raba
: Kiri=kanan
Nyeri tekan
: (-)
o Perkusi
Paru kiri
: Sonor
Paru kanan
: Sonor
Batas paru hepar
: ICS VI dextra anterior
Batas paru belakang kanan
: CV Th. IX dextra
Batas paru belakang kiri
: CV Th. XI sinistra
o Auskultasi
Bunyi pernapasan : Vesikuler
Bunyi tambahan : Rh -/- Wh -/Jantung
o Inspeksi
: Ictus Cordis tidak tampak
o Palpasi
: Ictus Cordis teraba
o Perkusi
: Pekak

o Auskultasi
Perut
o Inspeksi
o Palpasi
Hepar
Lien
Ginjal
o Perkusi
o Auskultasi
Punggung

: Batas kanan

: Linea parasternalis dextra

: Batas Kiri

: Linea midclavicula sinistra

: Batas Atas

: ICS II sinistra

: Batas Bawah

: ICS V sinistra

: BJ I/II murni regular, bising (-)


:
:
:
:
:
:
:
:

Datar, ikut gerak napas


Nyeri tekan tidak ada, massa tumor (-)
Tidak teraba
Tidak teraba
Tidak ada Ballotement
Timpani (+)
Peristaltik (+), kesan normal

o Palpasi
o Nyeri ketok
o Auskultasi
o Gerakan
o Lain lain
Alat Kelamin
Anus dan Rektum
Ekstremitas

Laboratorium:

:
:
:
:
:
:
:
:

Nyeri tekan (-), massa tumor (-), deformitas (-).


(-)
BP: vesicular, Rh -/- Wh -/Dalam batas normal
(-)
Tidak dilakukan pemeriksaan.
Tidak dilakukan pemeriksaan.
Pitting edema -/-

02 Juni 2016
Darah rutin

Tubex TF

: Hb
Leukosit

6.400 mm3

Eritrosit

5,1 juta /uL

Trombosit

73.000 /uL

Hematokrit

42,0%

Skala 7

03 Juni 2016
Darah rutin : Hb

Faal Hati

14,2 gr/dl

13,1 gr/dl

Leukosit

3200 mm3

Eritrosit

4,6 juta/uL

Trombosit

58.000 /uL

Hematokrit

37,8%

: SGOT Opt

59 U/L

SGPT Opt

47 U/L

Imunoserologi : Dengue NS 1 Antigen

positif

06 Juni 2016
Darah rutin : Hb

15,4 gr/dl

Leukosit

7100 mm3

Eritrosit

6,4 juta/uL

Trombosit

15.000 /uL

Hematokrit

44,1%

III.ASSESSMENT
Demam typhoid
DHF grade 1
IV. PLANNING
Pengobatan

: Tirah baring
IVFD RL 30 tpm
Ampicilin 200 mg
Gentamicin A/IV
Metoclopramide 1/3 A/IV
Skin test Vicciline
Inj. Vicciline 200mg/IV

Rencana Pemeriksaan : Darah rutin/hari

V. PROGNOSIS

Ad Functionam

: Bonam

Ad Sanationam

: Bonam

Ad Vitam

: Bonam

VI. FOLLOW UP
TANGGAL
PERJALANAN PENYAKIT
INSTRUKSI DOKTER
JAM
12/6/2016
S:
P/
T: 120/90
- Demam (+), kejang (+)
- Tirah baring
N: 72 x/i
- Nyeri kepala (+)
P: 24 x/i
- Batuk (-), lendir (-), sesak (-)
- IVFD Asering 20
S: 38,8C
- Mual (+), muntah (-)
tpm
- Anak mau makan dan minum
- BAK: kurang lancar, warna
- Ampicillin 200 mg
coklat

Gentamicin A/ iv
5

O:

Metoclopramide

1/3

T : 12O/80

A/iv

N : 84 x/ menit

Skintest Vicciline

P : 26 x/ menit

Inj. Vicciline 200mg /

S : 37,8c

Tonsil : T1 T1, hiperemis (-)

Anemia (-), ikterus (-), lidah

iv
-

Hasil lab (+)

kotor (-)
-

BP: vesikuler, BT: Rh -/- Wh


-/-, BJ I/II murni reguler BT:
(-)

Peristaltik (+) kesan normal,


Hepar: tidak teraba
Lien: tidak teraba

Extremitas: edema -/-

Wajah : edema palpebra +/+

A:
- GNAPS / Sindrom Nefritik
13/06/2016
T: 110/80
N: 92x/i
P: 36 x/i
S: 38,7 C

S:

P/
-

f
Tiba-tiba kejang sesaat 1

detik
Respon nyeri (-), respon buka

mata (-)
Muntah

minum
Demam (+)

KU: SS/GC/CM

Anemia (-), ikterus (-)

BP: vesikuler, BT: Rh -/- Wh

(+)

setiap

Tirah baring

IVFD Asering 20 tpm

Levofloxacin
500mg/24 jam/IV (3)

habis

O:

-/-, BJ I/II murni reguler, BT:

(-)
-

Peristaltik (+) kesan normal,


Hepar: tidak teraba
Lien: tidak teraba
Wajah : edema palpebra +/+

A:
- GNAPS / Sindrom Nefritik Akut
05/06/2016
T: 110/70
N: 62 x/i
P: 20 x/i
S: 37,5 C

S:

P/
-

Demam (-)
Lidah kotor (-)
Perdarahan gusi (+)

KU: SS/GC/CM

Anemia (-), ikterus (-), lidah

Tirah baring

IVFD RL 36 tetes per

O:

menit

kotor (-)
-

3x1 (KP)
-

BP: vesikuler, BT: Rh -/- Wh


-/-, BJ I/II murni regular, BT:
Peristaltik (+) kesan normal,

Gelofusin 1 kolf/24
jam/drips

Hepar: tidak teraba


Lien: tidak teraba

Levofloxacin
500mg/24 jam/IV (4)

(-)
-

Paracetamol 500 mg

Metilprednisolon 125
mg/24 jam

Adona 1 amp/drips

Extremitas: edema -/-

A:
- Demam tifoid
- DHF grade 2
06/06/2016
T: 120/80
N: 64 x/i
P: 20 x/i
S: 36 C

S:

P/
-

Demam (-)
Lidah kotor (-)

O:
-

KU: SS/GC/CM

Anemia (-), ikterus (-), lidah

Tirah baring

IVFD RL 36 tetes per


menit

kotor (-)
-

BP: vesikuler, BT: Rh -/- Wh


-/-, BJ I/II murni regular, BT:

Paracetamol 500 mg
3x1 (KP)

Levofloxacin

500

mg/24 jam/drips (5)

(-)
-

Peristaltik (+) kesan normal,


Hepar: tidak teraba

Metilprednisolon 125
mg/24 jam/IV

Lien: tidak teraba


-

Extremitas: edema -/-

A:
- Demam tifoid
- DHF grade 2
VII.

RESUME

Seorang pria berusia 17 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan demam yang
dialami sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, demam berlangsung terusmenerus, demam biasanya lebih tinggi pada sore-malam hari. Keluhan disertai
menggigil, sakit kepala ada kadang-kadang. Pasien juga mengeluh mual dan
sempat muntah 1x berisi air. Batuk tidak ada, sesak dan nyeri dada juga disangkal.
Nyeri ulu hati tidak ada tetapi pasien mengeluh susah BAB sejak 2 hari sebelum
masuk RS. BAK lancar seperti biasa. Riwayat perdarahan spontan tidak ada.
Riwayat pernah sakit tifoid disangkal. Riwayat penyakit yang sama dalam
keluarga disangkal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan, keadaan umum pasien: sakit sedang,
gizi baik, composmentis. Tanda vital tensi 110/70 mmHg, nadi 80x/i, pernafasan
22x/i dan suhu 39,10C. Pada pemeriksaan fisis didapatkan rambut kering, mudah
dicabut, bibir kering ada, lidah kotor ada. Pada pemeriksaan thoraks dan abdomen
dalam batas normal. Hasil laboratorium darah rutin menunjukkan pasien tersebut
trombositopenia

dengan

trombosit

berturut-turut

73.000/uL,

58.000/uL,

12.000/uL, dan 15.000 /uL. Tubex TF IgM Salmonella +7 (positif kuat).


Pemeriksaan Anti-Dengue positif. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis
serta pemeriksaan penunjang, maka pasien ini didiagnosis Demam typhoid dan
DHF grade 1. Namun setelah 2 hari perawatan, pasien kemudian mengalami
epistaksis sehingga diagnosis pasien demam tifoid dan DHF grade 2. Saat ini
pasien telah mendapatkan terapi berupa tirah baring, IVFD RL 36 Tpm,

paracetamol 1 gr/8 jam/IV, levofloxacin 500 mg/24 jam/IV. Prognosis pada pasien
ini ad functionam bonam, ad sanationam bonam dan ad vitam bonam.

VIII. DISKUSI
Pasien masuk dengan keluhan demam, maka kita dapat memikirkan
berbagai kemungkinan. Ada banyak penyakit yang dapat menimbulkan keluhan
demam, misalnya DHF, demam tifoid, malaria, ISPA, Tonsilofaringitis, ISK dan
penyakit-penyakit lain. Dari hasil anamnesis pada pasien, demam dialami sejak
4 hari yang lalu sebelum masuk RS. Demam dirasakan terus-menerus terutama
pada waktu sore menjelang malam hari yang merupakan sifat demam pada demam
tifoid. Pasien juga mengeluh nyeri kepala, mual, muntah, serta gangguan saluran
cerna yakni obstipasi yang merupakan gejala klinis demam tifoid.
Pada pemeriksaan fisis, ditemukan bradikardi relatif dimana peningkatan
suhu tubuh tidak diikuti oleh peningkatan denyut nadi. Adanya lidah kotor disertai
tepi yang hiperemis dan Tubex TF positif dengan IgM Salmonella = +8 positif.
Hal tersebut sesuai dengan kriteria diagnosis untuk demam typhoid. Selain itu dari
hasil pemeriksaan laboratoriuSm menunjukkan pasien tersebut trombositopenia
dengan trombosit berturut-turut 73.000/uL, 58.000/uL, 12.000/uL, dan 15.000 /uL
serta pada pemeriksaan Anti Dengue juga ditemukan hasil positif, ini juga
menunjukkan bahwa selain pasien mengalami demam tifoid, pasien juga
mengalami Demam berdarah dengue atau Dengue Hemoragic Fever.
Pengobatan pada pasien ini dengan tirah baring, IVFD RL 36 Tpm,
paracetamol 1 gr/8 jam/IV, levofloxacin 500 mg/24 jam/IV

TINJAUAN PUSTAKA
A. DEMAM TIFOID
I. DEFINISI
Demam typhoid adalah sistemik akut yang disebabkan oleh bakteri
salmonella typhi dan salmonella paratyphi.1
II. ETIOLOGI
Salmonella typhi merupakan basil gram-negatif, bersifat aerobic, bergerak
dengan rambut getar dan bersifat tidak berspora. Kuman ini mempunyai 3 macam
antigen 1
Antigen O (somatik), terletak pada lapisan luar yang mempunyai komponen
protein, lipopolisakarida (LPS) dan lipid. Sering disebut endotoksin.
Antiegn H (flagella), terdapat pada flagella, fimbriae dan pili dari kuman ,
berstruktur kimia protein.
Antigen Vi (antigen permukaan), pada selaput dinding kuman untuk melindungi
fagositosis dan berstruktur kimia protein.
III.EPIDEMIOLOGI
Surveilans Departemen Kesehatan RI. Frekuensi kejadian demam tifoid di
Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 peningkatan
frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di
Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan
jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. 2
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait
dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural (jawa barat) 157 kasus per 100.000
10

penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk.


Perbedaan insidensi di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih
yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang
kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. 2
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun
1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.2
IV. PATOGENESIS
Demam tifoid dan paratifoid tipe A, B, dan C disebabkan oleh Salmonella
enterica serovar typhi (S.typhi) dan serovar paratyphi A,B,dan C. Demam tifoid
yang disebabkan oleh S.typhi sangat menarik terutama oleh antigen yang terdapat
pada permukaan kapsulnya. Terdapat empat komponen antigenic pada S.typhi 1)
capsular Vi polyasaccharide yang terdapat pada lapisan luar yang kedua adalah
Lipopolyscacharidae (LPS) mangandung 2 determinan antigen dikenal sebagai
endotoksin merupakan rantai heteropolisakarida unit oligosakarida (O antigen)
yang terjalin ke inti melalui asam heteroligosakarida yang kovalen dalam
rangkaian lipiodal, acetylated glucosamine disaccharidae (lipid A) yang ketiga
adalah Flagella protein dikenal sebagai antigen H, mempunyai 2 bentuk fase 1 dan
fase 2, fase 1 antigennya lebih spesifik untuk S.typhi, flagella mengandung protein
disebut flagellin yang merupakan bagian yang penting dalam respon imun dan
yang ke empat adalah Outer Membrane Proteins (OMPs) proteinya terdiri atas
porin dan nonporin, protein porin berada di antara 2 lapis lipid pada permukaan
S.typhi berperan langsung pada proses pathogenesis dan merupakan antigen yang
penting terhadap respon imun host. Termasuk protein porin OmpB, C, D dan F
yang bersifat hidrofilik. Protein nonporin terdiri atas OmpA, termasuk lipoprotein
yang berperan sebagai reseptor bakteriosin dan juga mempunyai peran penting
untuk mempertahankan morfologi serta intergritas, membrane luar berinteraksi
dengan peptidoglikan. Munculnya penyakit infeksi demam tifoid terkait dengan
kelemahan sistem imun. Tingkat respon ini dipengaruhi oleh beberapa faktor

11

yaitu: intensitas infeksi, faktorfaktor yang berkaitan dengan intensitas respons,


imun dari host, keadaan status sel T, fungsi sel T dan mungkin yang terpenting
adalah faktor genetik yang berinteraksi dengan faktor lain untuk menentukan hasil
akhir dari penyakit. Human leukocyte antigens (HLA) mempunyai pernan penting
dalam interkasi dari sel ke sel dalam kerangka sisten imun. 1

Gambar 1 : Diagram patogenesis demam tyfoid


Kuman Salmonella typhi masuk kedalam tubuh manusia melalui makanan
yang tecemar, kemudian kuman menembus mukosa usus masuk ke kelenjar limfe
usus. Kuman berkembang biak, kemudian melalui duktus torasikus masuk ke

12

dalam peredaran darah menuju sistem retikuloendotelial seperti hati, limfa dan
sumsusm tulang. Ini merupakan bakteremia yang pertama terjadi dalam 24-72 jam
setelah kuman masuk dan biasanya jarang terdiagnosis oleh karena penderita
belum menunjukkan gejala klinis. Bakteremia yang pertama yang hanya
sementara dan segera berakhir setelah kuman ini tidak hancur oleh fagositosis
oleh karena terlindung oleh kapsul Vi. Di dalam organ-organ ini kuman masih
terus berkembang biak dengan pesat, proses ini berlangsung selama 7 sampai 10
hari. Selanjutnya kuman masuk kembali kedalam peredaran darah dan
menimbulkan bakteremia yang kedua. 1,5,6
Adanya antigen dari kuman ini akan merangsang limfosit T mengeluarkan
suatu zat machrophag activating factor (MAF) yang mempengaruhi perubahan
morfologi pada makrofag dan mengakibatkan metabolisme yang sangat aktif,
lebih giat mematikan dan mencernakan bakteri. Makrofag pada keadaan ini
disebut angry macrofag. Pada mulanya kuman Salmonella typhi sangat sukar
difagositosis karena melindungi kapsel Vi, baru setelah beberapa lama kuman
berada didalam tubuh penderita terjadi perubahan pada kapsel Vi, (tidak diketahiu
sebabnya) sehingga kuman sekarang berhasil difagositosis (dicerna) oleh
makrofag. 1
Pada stadium bakteremia yang kedua ini kuman yang hancur akan
melepaskan endotoksin yaitu suatu kompleks lipopolisaksarida yang selanjutnya
akan mengaktifkan komplemen dan merangsang pelepasan pirogen endogen dari
sel PMN, makrofag dan sel sistem retikuloendotelial lainnya. Pirogen endogen ini
akan mempengaruhi pusat pengaturan suhu tubuh di hipotalamus dan
menimbulkan gejala demam. Secara singkat bahwa S.typhi menembus mukosa
yang rusak melalui bercak peyer dan kelenjar getah bening mesenterium untuk
masuk kedalam alirah darah dan menyebabkan infeksi sistemik , dan nakteri yang
berkembang bika dalam lumen usus atau kandung mepedu tidak dapat diakses
oleh pertahanan imun penjam, termasukIgA sekretorik. 1,7
Makrofag yang telah aktif memfagosit kuman akan mengeluarkan
interleukin-1 (IL-1 ; Limphocyte activating factor) yang akan merangsang T
helper cell dan menghasilkan menghasilkan interleukin-2 (IL-2 ; T cell growth

13

factor) yang selanjutnya akan menstimulasi limfosit T untuk lebih giat


berproliferasi dan berdiferensiasi. IL-1 mempunyai efek biologis sebagai bahan
pirogen sehingga dapat pula menimbulkan demam. 1
Sebagai reaksi pertahanan tubuh terhadap endotoksin selanjutnya adalah
timbulnya sistem imunitas sistemik, baik melalui aktivasi komplemen juga
melalui sel limfosit B yang oleh rangsangan endotoksin akan berubah menjadi sel
plasma dan membuat agglutinin O. seperti diketahui lipopolisakarida (endotoksin)
merupakan antigen yang T-cell independent sehingga O antigen ini setelah
diproses oleh makrofag dapat langsung merangsang limfosit B menjadi sel plasma
yang selanjutnya menghasilkan agglutinin O tanpa melauli limfosit T, sebaliknya
antigen Vi dan antigen H yang merupakan antigen yang T cell independent harus
merangsang limfosit T dahulu sebelum merangsang limfosit B untuk berubah
menjadi sel plasma dan membuat agglutinin H dan agglutinin Vi. Dengan
demikian maka agglutinin O terbentuk lebih dahulu daripada agglutinin H dan
agglutinin Vi. Agglutinin Ocepat menghilang dalam beberapa tahun. Sedangkan
agglutinin Vi menghilang setelah penderita sembuh tetapi cenderung menetap
pada karier. 1
V. GEJALA KLINIS
Gejala klinis yang sering terjadi merupakan dampak dari sitokin
proinflomatori serta berbagai mediator kimia, maka muncul panas yang
berkepanjangan lebih dari 1 minggu, tipe panas stepladder yang mencapai 39-40 ,
kemudian panasnya berlangsung persiten, kontinu atau tipe remitten. Bersamaan
dengan munculnya gejala panas sering disertai dengan keluhan saluran cerna
seperti mual muntah, nyeri abdominal, diare dan konstipasi. Bakteremia kedua
terjadi setelah beberapa hari timbul gejala, lalu diperburuk dengan timbulnya
panas dingin atau anoreksia. Gejala ini disebut dengan demam tifoid akut dan
antibody spesifik yang terbentuk adalah antibodi IgM yang bertahan yang
selanjutnya digantikan dengan antibody IgG. Pada kondisi ini dapat terjadi sepsis
dan syok septik yang menyebabkan kematian jika tidak diobati (15%),
kekambuhan (10%), terjadi pada penderita yang tidak mendapatkan pengobatan

14

adekuat, menjadi karier pada 1-4%. Gejala yang tidak spesifik seperti malaise,
mengigil, sakit kepala, myalgia, dan batuk yang muncul pada awal perjalanan
penyakit. Apatis dan delirium terjadi pada 10-45%, bradikardia relatif, lidah kotor,
bercak Ros yang muncul pada awal penyakit namun lebih sering ditemukan pada
orang kulit putih . Hepatomegali lebih sering daripada splenomegaly biasanya
muncul pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua. Pada pemeriksaan
abdomen di dapatkan rasa nyeri lokal, maupun difus, terkadang juga disertai
dengan penurunan bising usus. 1
Keluhan dan gejala Demam tifoid
Periode Penyakit Keluhan
Gejala
Patologi
Minggu Pertama Panas berlangsung Gangguan saluran Bacteremia
insidious,

tipe cerna

panas stepladder,

Mingu Kedua

mengigil,

nyeri

kepala
Rash,

nyeri Rose

abdomen,

diare, splenomegaly,

konstipasi

hepatomegaly

spots, Vaskulitis,
hyperplasia
peyer

pada

patches,

nodul tifoid pada


Minggu Ketiga

Komplikasi

: Melena, ileus

limpa dan hati


Ulserasi
pada

perdarahan saluran

peyer

cerna,

peritonitis

perforasi,

patches,

syok
Minggu keempat Keluhan menurun, Tampak sakit berat Carrier kronik
dst

relaps,

penurun

BB
Tabel 1 : Gejala klinis demam typhoid
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis tifoid dapat di tegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisis/jasmani, pemeriksaan bekteriologi/ pemeriksaan laboratorium, radiologi. 5
a. Pemeriksaan laboratorium

15

1) Uji widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman s.tiphi. pada
uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.tiphy dengan
antibodi yang di sebut agglutinin. Antigen yang di gunakan pada uji widal adalah
suspense salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratrium. Maksud uji
widal adalah untuk menentukan adanya aglutini dalam serum penderita tersangka
demam tifoid yaitu: Aglutini O (dari tubuh kuman), Aglutini H(flagel kuman),
Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutini tersebut hanya aglutini O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini. Hasil dari tes widal dapat diinterpretasikan sebagai berikut, 8
-

Titer O yang tinggi atau kenaikan titer (1:160 atau lebih) menunjukkan

adanya ifensi aktif


Titer H yang tinggi (1:160 atau lebih ) menunjukka bahwa penderita pernah

divaksinasi atau pernah terkena infeksi


Titer Vi yang tinggi tedapat pada carrier
Pembentuk agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,

kemudian meningkat secara cepat pada minggu ke empat , dan tetap tinggi selama
beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul agglutinin O, kemudian di
ikuti dengan agglutinin H. pada orang yang telah sembuh agglutinin O masih tetap
di jumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H menetap lebih lama antara 912 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan
penyakit.
Adanya beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu:
-

Pengobatan dini dengan antibiotic,


Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid,
Waktu pengambilan darah,
Daerah endemic atau non endemic,
Riwayat vaksinasi,
Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan

demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi,
Faktor teknik pemeriksaan antara laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan
strain salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.

16

Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglitinin yang
bermakna diagtnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya
kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di
berbagai laboratorium setempat.2
2) Uji Typhidot
Uji tyhphidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada
protein membrane luar

salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot

didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dam dapat mengidentifikasi secara spesifik
antibodi IgM dan IgG terhadap antigen s.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada
strip nitroselulosa. 5 Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifitas sebesar
76,6% dan efisiansi uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh
Gopalakhrisnan dkk (2002) yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid. Pada
penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitifitas dan
spesifitas uji ini hamper sama dengan uji tubex yaitu 79% dan 89% degan 78%
dan 89%.5
Pada kasus reinfeksi, respons imun skunder (IgG) terinveksi secara
berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun
sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara
infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer.
Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan
menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama
uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang
ada pada serum pasien. Studi evaluasi yang dilakukan oleh Khoo KE dkk pada
tahun 1997 terhadap uji Typhidot-M menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih
sensitive (sensitivitas mencapai 100%) dan lebih cepat (3jam) dilakukan bila
dibandingkan dengan kultur. 5
3) Uji Tubex
Uji tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat
(beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi antiS.typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM antiO9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida

17

s.typhi yang terkinjugasi pada partikel megnetiklatex. Hasil positif uji tubex ini
menunjukkan terdapat infeksi salmonella serogroup D walau tidak secara spesifik
menunjuk pada S.typhi. infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negatif. 5
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat
merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan merangsang
mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap
anti-gen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakuakn
lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari 3-2 untuk infeksi
sekunder. Perlu diketahui bahwa uji tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak
dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk
mendeteksi infeksi lampau. 5
Pemeriksaan ini dilakkukan dengan menggunakan 3 macam komponen,
meliputi: 1). Tabung berbentuk V, yang juga berfungi untuk meningkatkan
sensitivitas, 2). Reagen A, yang mengandung partikel magnetic yang diselubungi
dengan antigen S.typhi O9, 3). Reagen B yang mengandung partikel lateks
berwarna biru yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi
dengan antibodi monoclonal spesifik untuk antigen O9. Untuk melakuakan
prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum (25 L) dicampurkan ke dalam tabung
dengan satu tetes (25 L) reagen A. setelah itu reagen B (50 L) di tambahkan
kedalam tabung. Hal tersebut di lakukan pada kelima tabung lainnya. Tabungtabung tersebut kemudian di letakkan pada rak tabung yang mengandung magnet
dan di putar selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm. Interpretasi hasil
dilakukan berdasarkan warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari
kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna larutan campuran yang dapat
bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna inilah ditentukan
skor, yang interpretasinya dapat dilihat pada table berikut. 5
Skor
<2
3

Inter pretasi
negatif
borderline

Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif


Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi pengujian,
apabila

masih

meragukan

lakukan

pengulangan

18

4-5
>6

beberapa hari kemudian.


posotif
Menunjukkan infeksi tifoid aktif
positif
Indikasi kuat infeksi tifoid
Tabel 2 : Interpretasi uji tubex
Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum

tidak mengandung antibodi terhadap O9, reagen B ini bereaksi dengan reagen A.
jika diletakkan pada daerah mengandung medan magnet (magnet rak), komponen
magnet yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan
membawa sserta pewarna yang dikandung oleh reagen B. sebagai akibatnya
terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya merupakan gambaran serum
yang lisis. Sebaliknya, bila serum mengandung antibodi terhadap O9, antibodi
pasien akan berikatan dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada
megnet rak dan memberikan warna biru pada larutan. 5
4) Uji IgM dipstick
Uji ini secara khusus mendeteksi sntibodi IgM spesifik terhadap S.typhi
pada specimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang
mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S.typhi dan anti IgM (sebagai
kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan
lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum di inkubasi dengan reagen dan
serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil untuk di
simpanselama 2 tahun pada suhu 4-25 C di tempat kering tanpa paparan sinar
matahari. Pemeriksaan di muali dengan inkubasi strip pada larutan campuran
reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip
dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan
penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference stri.
Garis control harus terwarna dengan baik. 5
House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 meneliti mengenai
penggunaan uji ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di Indonesia
dan melaporkan sensitivitas sebesar 65-77% dan spesifisitas sebesar 95-100%.
Pemeriksaan ini mudah da cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus

19

apapun, namun akurasi hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu


setelah timbulnya gejala.
5) Kultur darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi
hasil negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan
beberapa hal sbb: 1). Telah mendapat terapi antibiotic. Bila pasien sebelum
dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam
media biakan terhambat dan hasil mungkin negative; 2). Volume darah yang
kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang dibiakkan terlalu
sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside
langsung dimasukkan kedalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan
kuman; 3). Riwayat vaksinisasi. Vaksinisasi di masa yang lampau menimbulkan
antibodi dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia
hingga biakan darah dapat negatif; 4). Saat pengambilan darah setekah minggu
pertama, pada saat agglutinin semakin meningkat. 5
VII.

PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini masih dianut trilogy penatalaksanaan demam tifoid yaitu :

1.

Istirahat

dan

perawatan,

dengan

tujuan

mencegah

komplikasi

dan

mempercepat penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di


tempat seperti makan, minum, mandi, BAK dan BAB akan membantu dan
mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu dijaga kebersihan
tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu
diawasi untuk mencegah decubitus dan pneumonia ortostatik serta hegiene
perorangan. Mobilisasi pada pasien tifoid setelah 5 hari bebas demam adalah:5
Hari 1 duduk 2 x 15 menit
Hari 2 duduk 2 x 30 menit
Hari 3 jalan
Hari 4 pulang
2. Diet dan terapi penunjang, dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan
kesehatan pasien secara optimal. Diet merupakan hal yang cukup penting
dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang
kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin

20

turun dan proses penyembuhan menjadi lama. Di masa lampau penderita tifoid
diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan
akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet tersebut disesuaikan dengan
tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk
menghindari perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. 5
3. Pemberian Antibiotik, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran
kuman. Obat obat anti mikroba yang sering digunakan untuk mengobati
tifoid antaralain adalah sebagai berikut 5
- Klomrafenikol. di indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan
utama untuk memgobati demam tifoid dengan dosis yang diberikan adalah
4x500mg secara per oral atau IV. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas
-

panas.
Tiamfenikol : dosis dan efektivitas dari timafenikol pada demam tifoid
hampir sama dengan kloramfenikol akan tetapi komplikasi hematologinya

lebih rendah, dosis tiamfenikol adalah 4x500mg.


Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini dilaporkan

sama

dengan

klomrafenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet ( 1 tablet


mengandung sulfametoksazol 400mg dan 80 mg trimethoprim) diberikan
-

selama 2 minggu.
Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan
demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol dosis yang

dianjurkan adalah 50-150mg/kgBB digunakan selama 2 minggu


Sefalosporin generasi ketiga hingga saat ini golongan sefalosporin
generasi ketiga yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah
seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah 3-4 gr dalam dekstrosa 100cc
diberikan selama jam perinfus sekali sehari diberikan selama 3 5 hari.
Selain memberikan terapi dengan antibiotik kita juga perlu memperhatikan

tuntutan tubuh lainnya yaitu


1. Kondisi hipermetabolik selama infeksi dengan pemenuhan nutrisi yang
adekuat, tinggi kalori dan protein serta memperhatikan keseimbangan
elektrolit
2. Suplemen yang mengandung beta karoten, vitamin C, E serta trace elemen
(misal Zn) guna mendongkrak kinerja seperoksidase dismutase (SOD),

21

katalase, dan gluthatione (GSH) di sitosol dan meredam peran TNF


sehingga dapat menghadang laju proses kematian sel patologis dipercepat
akibat dampak negative dari ROS. ROS dapat mencetuskan timbulnya
krisis scavenger enzyme akibat defist berbagai komponen micronutrient
seperti Fe, Zn, selenium, vitamin C, vitamin B6, vitamin E atau
ketidakseimbangan beberapa zat makanan, seperti asam amino esensial
dapat pula menyebabkan rusaknya komponen system kekebalan tubuh
VIII. KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi pada sekitar 10-15% pasien terutama dalam minggu ke
dua atau lebih . Komplikasi utama adalah perdarahan saluran cerna, perforasi
usus, dan ensefalopati tifoid. Relaps dialami oleh 5 10% pasien dan terjadi 2 3
minggu steralah demam turun. Komplikasi demam tifoid 1, 5
Abdomen : Perforasi usus terutama ileum, perdarahan saluran cerna,
Hepatitis, kholestitis
Kardiovaskuler : Miokarditis
Neuropskiatri: ensefalopati, delirium, psikotik, meningitis, gangguan

koordinasi
Respirasi : Bronchitis, Pneumonia
Hematologi: Anemia dan koagulasi intravascular diseminata KID
Komplikasi ginjal : glomerulonephritis, pielonefritis, perinefritis
Komplikasi tulang : osteomyelitis, periostitis, atritis
Lain lain abses fokal, Faringitis, Relaps , karier kronik

IX. PENCEGAHAN
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan
karena akan berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian
akibat demam tifoid, menurunkan anggaran pengobatan pribadi maupun Negara,
mendatangkan devisa Negara yang bersal dari wisatawan mancanegara karena
telah hilangnya predikat Negara endemic dan hiperendemik sehingga mereka
tidak takut lagi terserang tifoid saat berada di daerah kunjungan wisata. 5

22

Preventing dan control penularan, tindakan preventif sebagai upaya


penularan dan peledakan kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak
aspek, mulai dari segi kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan factor
penjamu (host) serta lingkungan. Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk
memutuskan transmisi tifoid yaitu
1. Identifikasi dan eredikasi salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid
maupun kasus karier tifoid.
2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S.typhi akut maupun
karier
3. Proteksi pada orang yang beseiko terinfeksi
Identifikasi dan eradikasi S.typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karier
dan akut. Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S.typhi ini
cukup sulit dan memerlukan biaya yang cukup besar baik ditinjau dari pribadi
maupun skala nasional. Cara pelaksanaanya dapat secara aktif yaitu mendatangi
sasaran maupun pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instasi atau
swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi populasi tertentu seperti
pengelola sarana makanan minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran,
hotel sampai pabrik serta distributornya. Sasaran lainnya adalah yang terkait
dengan pelayanan pelayanan masyarakat yaitu petugas kesehatan, guru, petugas
kebersihan, pengelola sarana umum lainnya. 5
Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut
maupun karier dapat dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan
lingkingan sekita orang yang telah diketahui mengidap kuman S. typhi. 5
Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi. Sarana
proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah
endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya endemis
atau non endemis, tingkat resiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan
perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu beresiko yaitu
golongan imunokompromais maupun golongan rentan.5
Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu
Daerah non endemic. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemic

23

Sanitasi air dan kebersihan lingkungan


Penyaringan pengelola pembuatan/ distributor/ penjual makanan minuman
Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier
Bila ada kejadian epidemik tifoid
Pencarian dan eliminasi sumber penularan
Pemeriksaan air minum dan mandi cuci kakus
Penyuluhan higien dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut
Daerah endemik
Memasyarkatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi
standar prosedur kesehatan
Pengunjung kedaerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,
menjauhi makanan segar.

2. DEMAM BERDARAH DENGUE


I. DEFINISI
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. DBD
adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue.

24

Gambar 2.1. Spektrum klinis infeksi virus dengue


Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut (Gambar
2.1.):
1. Demam tidak terdiferensiasi
2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari,
ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri
retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie atau
uji bendung positif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau
ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD
pada lokasi dan waktu yang sama
3. DBD (dengan atau tanpa renjatan).

II. ETIOLOGI
Virus dengue yang termasuk kelompok Arthropod Borne Virus
(Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, familio flavivisidae
dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4.
Di Indonesia pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di
beberapa Rumah Sakit menunjukkan keempat serotipe di temukan dan

25

bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN 3 merupakan serotype yang


dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang
berat.

Gambar 2.2. Vektor nyamuk aedes aegypti dan struktur virus dengue

III. PATOGENESI
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan
kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes
albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga
menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk
Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia
yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur
berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum
dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Sekali
virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut
akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus
memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat

26

terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2
hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel
hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel
manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan
protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya
tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya
tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat
menimbulkan kematian.
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan
masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD
adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau
hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung
bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus
dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita
DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus
lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi
yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leokosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh
tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu
proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel
mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary
heterologous infection dapat dilihat pada gambar 2.3. yang dirumuskan oleh
Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang
berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi

27

dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit


dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu,
replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan
akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang
selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan
C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang
ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang
sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma
ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar
natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok
yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia,
yang dapat berakhir fatal. Oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna
mencegah kematian.
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus
binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.
Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai
potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai
kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut
didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.

28

Gambar 2.3. Patofisiologi terjadinya syok pada DBD


Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit
dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh
darah (gambar 2.4.). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada
DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigenantibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di
phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan
trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.

29

Gambar 2.4. Patofisiologi perdarahan pada DBD


Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi
aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang
dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD
diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID),
kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya,
perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.

30

IV. MANIFESTASI KLINIS


Demam
Demam tinggi yang mendadak, terus menerus berlangsung
selama 2 7 hari, naik turun (demam bifasik). Kadang kadang suhu
tubuh sangat tinggi sampai 40 oC dan dapat terjadi kejang demam. Akhir
fase demam merupakan fase kritis pada demam berdarah dengue. Pada
saat fase demam sudah mulai menurun hatihati karena fase tersebut
sebagai awal kejadian syok, biasanya pada hari ketiga dari demam.
Tanda-tanda perdarahan
Penyebab perdarahan pada pasien demam berdarah adalah
vaskulopati, trombositopenia, gangguan fungsi trombosit serta koagulasi
intravaskuler yang menyeluruh. Jenis perdarahan terbanyak adalah
perdarahan bawah kulit seperti ptekia, purpura, ekimosis dan perdarahan
konjungtiva. Ptekia merupakan tanda perdarahan yang sering ditemukan.
Muncul pada hari pertama demam tetepai dapat pula dijumpai pada hari ke
3,4,5 demam. Perdarahan lain yaitu, epitaksis, perdarahan gusi, melena
dan hematemesis.
Hepatomegali
Pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit
bervariasi dari hanya sekedar diraba sampai 24 cm di bawah arcus costa
kanan. Derajat hepatomegali tidak sejajar dengan beratnya penyakit,
namun nyeri tekan pada daerah tepi hepar berhubungan dengan adanya
perdarahan.
Syok
Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda dan gejala klinis
menghilang setelah demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan
pada denyut nadi dan tekanan darah, akral teraba dingin disertai dengan
kongesti kulit. Perubahan ini memperlihatkan gejala gangguan sirkulasi,
sebagai akibat dari perembesan plasma yang dapat bersifat ringan atau
sementara. Pada kasus berat, keadaan umum pasien mendadak menjadi
buruk setelah beberapa hari demam pada saat atau beberapa saat setelah
suhu turun, antara 37, terdapat tanda kegagalan sirkulasi, kulit teraba

31

dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar
mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat, lemah kecil sampai tidak teraba.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif
disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia
umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi
dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya
gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah
albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara
tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi
virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu
yang lama (lebih dari 12 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena
keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler
dengan

deteksi

materi

transcriptionpolymerase

genetik

virus

chain reaction

melalui

pemeriksaan

reverse

(RT-PCR). Pemeriksaan

RT-PCR

memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan
isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami
kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan
yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan
mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai
hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari.
Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi
sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.

32

Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan)


dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada
hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat
ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi
dengan USG.
VI. DIAGNOSIS
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua
hal ini terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif,
petekie, ekimosis, atau purpura, perdarahan mukosa, hematemesis dan
melena
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ mm3)
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan
jenis kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:
Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah uji torniquet.
Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit
dan perdarahan lain.
Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau
hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab,
tampak gelisah.
Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur.

33

Keempat derajat tersebut dapat digambarkan pada gambar 2.5. berikut.

VII. DIAGNOSIS BANDING


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Demam thyphoid
Malaria
Morbili
Demam Chikungunya
Leptospirosis
Idiophatic Thrombocytopenia Purpura (ITP)

VIII. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran
plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.
Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah

34

pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan
terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak
demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan
cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada
kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai
apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap
kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun
asites yang masif perlu selalu diwaspadai.
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang
cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran
cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol,
serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin
ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko
terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum).
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan
DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini
terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar 2.6).
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (gambar
2.7).
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% (gambar
2.8).
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa.
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 2.9).

35

Gambar 2.6. Penanganan tersangka DBD tanpa syok

Gambar 2.7. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

36

Gambar 2.8. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%

37

Gambar 2.9. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa


38

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan
khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis
cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan.
Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang
intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan
salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid
sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid,
kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang
sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan
lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu
sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan
efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan
kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan
hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam
pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan
menyebabkan efek penambahan volume vascular hanya dalam waktu yang singkat
sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular)
dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu
jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke
dalam ruang interstisial. Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa
keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga
terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan
dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa
keunggulan yaitu pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi
volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih
lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan
oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa
kekurangan yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko

39

anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid
terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh:
hetastarch). Penelitian cairan koloid dibandingkan kristaloid pada sindrom
renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi
hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada
kedua jenis cairan. Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan
penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di
Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi.
Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya
kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan
berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan
rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma.
Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg,
adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma
yang terjadi sebanyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam.
Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang stabil
adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar
hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih
berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau
masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis
pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi
hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau
tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil
secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil
(lihat protokol pada gambar 2.8 dan 2.9). Pada kondisi di mana terapi cairan telah
diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan
kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan
terjadinya perdarahan internal

40

IX. PROGNOSIS
Dubia ad bonam
X. PENCEGAHAN
Memutuskan rantai penularan dengan cara :
1. Menggunakan insektisida
Malathion (adultisida) dengan pengasapan
Temephos (larvasida) dimasukkan ketempat penampungan air
bersih.
2. Tanpa insektisida
Menguras bak mandi dan tempat penampungan air bersih minimal
1x seminggu.
Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.
Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas, botolbotol pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk
bersarang.

41

DAFTAR PUSTAKA
1. Nasronudin.Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini & Mendatang.
Airangga University Press. Surabaya. 2011: Hal 187 198.
2. Sloane ethel.Anatomi dan Fisologi untuk Pemula. EGC. Jakarta. 2005:
Hal 283-289.
3. W.F.Ganong. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.EGC.Jakarta.2005: Hal 288
- 284
4. Sherwood Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. EGC.
Jakarta. 2012: Hal 116 - 118
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.Buku Ajar Ilmu
Penyakit dalam. Interna Publishing. Jakarta.2010: Hal 2797-2805.
6. Unknown.typhoid abdominalis. 2012 [cited 2014februari 18];. Available
from

http://www.findthatdoc.com/search-105702971-hPDF/download-

documents-jtptunimus-gdl-sitimuasar-5257-1-bab1-pdf.htm.
7. Robbins. Buku Ajar Patologi Edisi 7 Volume 1.EGC.Jakarta.2007: hal 343
8. E.jawetz, Jl. meknick. Mikrobiologi Kedokteran Buku 1. EGC. Jakarta.
2005: Hal 189 195
9. Gibbons RV, Vaughn DW. Dengue:an escalating problem. BMJ
2002;324:1563-6
10. World Health Organization. Prevention and control of dengue and dengue
haemorrhagic fever: comprihensive guidelines. New Delhi, 2001.p.5-17
11. World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic fever and
dengue shock syndrome in the context of the integrated management of
childhood illness. Department of Child and Adolescent Health and
Development. WHO/FCH/CAH/05.13. Geneva, 2005
12. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan RI. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan. Jakarta, 2007
13. Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di
sarana pelayanan kesehatan, 2005.p.19-34
14. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue.
Dalam: Sudoyo, A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Edisi 4. Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.1774-9

42

15. Rani, A. Soegondo, S. dan Nasir, AU. (ed). Panduan Pelayanan Medik
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta:Pusat
Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.137-8
16. Hadinegoro SRH, et al. (editor). Tata laksana demam berdarah dengue di
Indonesia. Depkes RI dan Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2004

43

Anda mungkin juga menyukai