Anda di halaman 1dari 49

OBAT GANGGUAN ENDOKRIN

TIROID

Disusun oleh:
Kelompok 4
A.A Sagung Weni K D

1306377442

Afi Fauziyah Darajat

1306376534

Afifah Patriani

1306377581

Ganesya Rita Putri

1306480446

Hana Rosanna

1306405465

Lidya Kartika Marsaulina S

1306396901

Mia Yuliana Pratiwi

1306377524

Muhammad Fridho Damora

1306480591

Nurvita Ulfa Saraswati

1306480263

Rd Roro Altrista Y K

1306397160

Sung Endah Permatasari

1306479886

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
2015

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah berjudul Obat Gangguan Endokrin - Tiroid. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada bapak Anton Bachtiar, M.Si., Ph.D., Apt. yang telah membimbing dalam
proses pembuatan makalah ini. Penulis juga berterima kasih atas bantuan semua pihak yang
secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan dukungan moril maupun materi
kepada penulis sehingga penulis dapat membuat makalah ini dengan baik dan benar.
Penulis berharap informasi-informasi yang terdapat dalam makalah ini dapat berguna
bagi pembaca. Sebelumnya penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak
kekurangan. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran
untuk memperbaiki makalah ini.

Jakarta, 6 September 2015

Penulis

DAFTAR ISI
Kata Pengantar .................................................................................................. I
Daftar Isi ........................................................................................................... II
BAB I
Pendahuluan...................................................................................................... III
BAB II
Fisiologi Kelenjar Tiroid....................................................................................... 1
Patofisiologis Kelenjar Tiroid............................................................................. 15
Farmakologi Kelenjar Tiroid............................................................................... 21
Farmakoterapi Kelenjar Tiroid...........................................................................36
BAB III
Penutup dan Kesimpulan.................................................................................. 43
Daftar Pustaka.................................................................................................. 44

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kelenjar tiroid adalah salah satu dari kelenjar endokrin terbesar pada tubuh manusia
terletak di atas trakea dan persis di bawah laring. Fungsi nya untuk mensekresikan
hormone Thyroxine (T4) dan Triiodothyronine (T3). Kelenjar tiroid mempertahankan
proses metabolisme di jaringan, agar optimal dan berfungsi secara normal. Hormon tiroid
mempengaruhi hampir semua sel di dalam tubuh, dapat meningkatkan laju konsumsi
oksigen dan energy, membantu mengatur metabolisme lemak dan karbohidrat dan penting
untuk pertumbuhan. Kekurangan kelenjar tiroid dapat menyebabkan hipotiroidisme yang
dapat menghambat pertumbuhan mental dan fisik.sekresi hormone tiroid yang berlebihan
menyebabkan hipertiroidisme menyebabkan badan menjadi kurus, gelisah, takikardi,
tremor, dan kelebihan pembentukan panas. Penyakit penyakit akibat kelebihan dan
kekurangan hormon tiroid dapat di terapi oleh obat yang dapat mempengaruhi kelenjar
tiroid, yang akan di jelaskan lebih rinci pada bab selanjutnya.
1.3. METODE PENULISAN
Penulisan makalah ini menggunakan metode studi pustaka. Studi pustaka dilakukan dari
beberapa sumber seperti artikel, jurnal, dan e-book maupun text book. Dalam pengumpulan
data dan teori ini, penulis lebih banyak mengacu pada buku.
1.4. TUJUAN PENULISAN
1) Pemenuhan tugas mata kuliah Obat Gangguan Endokrin dan Saluran Cerna
2) Mengetahui fisiologi kelenjar tiroid
3) Mengetahui kondisi patofisiologi kelenjar tiroid
4) Mengetahui farmakologi dari gangguan pada kelenjar tiroid
5) Mengetahui farmakoterapi dari gangguan pada kelenjar tiroid
1.5. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Metode Penulisan
1.5 Sistematika Penulisan

BAB II ISI
2.1 Fisiologi Kelenjear Tiroid
2.2 Patofisiologi Kelenjar Tiroid
2.3 Farmakologi
2.4 Farmakoterapi

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan

BAB 2
2.1 FISIOLOGI

ANATOMI KELENJAR TIROID


Kelenjar tiroid merupakan kelenjar yang terletak diantara trakea dan laring, tepatnya
dibawah laring dan diatas trakea. Kelenjar ini memiliki bentuk menyerupai dasi kupu-kupu,
yang terdiri dari dua lobus yang dihubungkan oleh bagian sempit kelenjar yang disebut
Ismus. Kelenjar tiroid memiliki 2 sel endokrin yaitu sel C yang akan mensekresikan
kalsitonin dan sel folikel. (Sherwood, 2010)
Sel utama yang mengeluarkan hormon tiroid tersusun membentuk bola-bola berongga
yang masing masing membentuk satu unit fungsional yang dinamai folikel. Sel-sel folikel
mengelilingi suatu lumen di bagiaan dalam yang berisi koloid yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan ekstrasel untuk hormon tiroid. Koloid tidak berkontak langsung dengan cairan
ekstrasel yang mengelilingi sel folikel. (Sherwood, 2010)
Konstituen utama koloid adalah molekul besar dan kompleks yang disebut dengan
Tiroglobulin (Tg) yang berikatan dengan hormon tiroid dalam berbagai stadium sintesis.
Tiroglobulin dihasilkan oleh kompleks golgi sel folikel tiroid. Tirosin menyatu saat
tiroglobulin ini diproduksi. Kemudian tiroglobulin yang mengandung tirosin dikeluarkan dari
sel folikel ke dalam koloid melalui eksositosis. (Sherwood, 2010)

Gambar 1.
Gambaran mikroskopik sel-sel
folikel
(S

dalam

ilverthorn, 2010)

kelenjar tiroid.

Gambar 2. Gambaran anatomi kelenjar tiroid (Tortora et al., 2009)

HORMON TIROKSIN
Hormon utama yang disekresikan dari kelenjar tiroid adalah hormon tiroid. Hormon
tiroid berasal dari asam amino tirosin yang mengandung iodium. Tirosin merupakan asam
amino non esensial sehingga diproduksi dalam tubuh dalam konsentrasi yang cukup. Hormon
tiroid yang disintesis terdiri dari dua jenis hormon yaitu hormon tetraiodotironin (T4 atau
Tiroksin) dan triiodotironin (T3). Kedua hormon ini dibedakan atas jumlah iodium yang
dikandungnya. Hormon lain yang berasal dari asam amino tirosin adalah katekolamin.
(Sherwood, 2010)

Gambar 3. Hormon yang berasal dari asam amino tirosin. (Tortora et al., 2009)

BIOSINTESIS HORMON TIROID


Bahan dasar sintesis hormon tiroid adalah asam amino tirosin dan iodium. Tirosin
merupakan asam amino non esensial sehingga diproduksi dalam tubuh dalam jumlah yang
memadai. Sebaliknya, iodium diperoleh dari makanan. Iodium dalam makanan direduksi
menjadi iodida untuk dapat diabsorpsi oleh usus halus. (Sherwood, 2010) Iodida yang
diabsorpsi dari makanan, akan dioksidasi dan berikatan ke posisi karbon 3 residu tirosin yang
merupakan bagian dari tiroglobulin di koloid. Tiroglobulin merupakan suatu senyawa
glikoprotein yang mengandung 123 residu tirosin, tetapi hanya 4-8 residu yang secara normal
bergabung menjadi hormon tiroid. (Ganong,2008)
1.

Pembentukkan Tiroglobulin
Tahapan sintesis hormon tiroid berlangsung di molekul tiroglobulin di dalam
koloid. Tiroglobulin sendiri diproduksi oleh kompleks golgi / reticulum endoplasma
sel folikel dimana tiroglobulin ini akan dimasuki asam mino tirosin ketika yang
terakhir diproduksi . Selanjutnya, tiroglobulin yang mengandung tirosin akan
dikeluarkan dari sel folikel menuju lumen dengan mekanisme eksositosis.(Sherwood,
2010)

Gambar 4. Tahapan Biosintesis Tiroid (Sherwood, 2010)

2.

Pengangkutan iodida dari Sistemik


Sebelum melakukan biosintesis hormon tiroid, Iodium yang terkandung dalam
makanan harus diubah dalam bentuk iodida. Kemudian ion iodida ini diangkut oleh
simporter natrium-iodida (Sodium iodide symporter) atau pompa iodida yang berada
di permukaan membran sel tiroid yang berhadapan dengan pembuluh kapiler.
Mekanisme yang digunakan adalah transpor aktif sehingga membutuhkan ATP karena
perpindahannya melawan gradien konsentrasi. Mekanisme ini distimulasi oleh adanya
hormon tirotropin (Thyroid Stimulating Hormon) dan dihambat oleh anion seperti
tiosianat (SCN-), perklorat (ClO4-) dan perteknetat (TcO4-). (Goodman and Gilman,
2006; Sherwood, 2010)

3.

Oksidasi dan iodinasi oleh Enzim Thyroperoksidase


Iodida akan dioksidasi oleh enzim thyroperoksidase menjadi iodin (bentuk
aktifnya). Enzim ini terikat pada membran apikal sel folikel. Iodin akan mengiodinasi
residu-residu tirosin yang terkandung dalam tiroglobulin menjadi monoiodotirosin
(MIT). Kemudian MIT yang mengalami iodinasi di posisi karbon 5 membentuk
diiodotirosin (DIT). Proses ini disebut organifikasi iodida dimana enzim
thyroperoksidase juga berperan. (Katzung et al., 2006; Sherwood, 2010)

4.

Pembentukan Hormon Tiroid (Tiroksin dan Triiodotironin)


Monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin (DIT) mengalami kondensasi oksidatif
untuk membentuk tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3 ) yang dikatalisis oleh enzim
peroksidase.(Goodman and Gilman, 2006) Selanjutnya, penggabungan dua residu DIT
akan

membentuk hormon tiroksin (T4 ) dan penggabungan MIT dan DIT akan

membentuk hormon triiodotironin (T3 ) Namun, tidak terjadi penggabungan antara


MIT dan MIT.(Sherwood, 2010)
5. Sekresi Hormon-Hormon Tiroid
Sekresi hormon tiroid ke dalam sistemik merupakan proses yang cukup rumit. Hal
ini dikarenakan 1) T4 dan T3 masih terikat dalam molekul tiroglobulin, dan 2) Kedua
hormon tersimpan dalam lumen folikel yang merupakan bagian ekstrasel sel folikel
sehingga untuk mencapai kapiler hormon akan diangkut terlebih dahulu melalui sel
folikel. (Sherwood, 2010)
Proses proteolisis merupakan proses penting untuk mensekresikan hormon tiroid.
Proses ini diawali dengan endositosis koloid yang mengandung tiroglobullin.
Tiroglobulin yang masuk ke dalam sel membawa produk aktif (hormon tiroid)
ataupun produk inaktif (MIT dan DIT) yang mana masuk dengan terbungkus
membrane membentuk suatu droplets. (Sherwood, 2010) Selanjutnya, droplets koloid
ini melebur dengan lisosom yang mengandung enzim proteolisis. Tiroglobulin
dipecah menjadi asam-asam amino penyusunnya sehingga hormon tiroid dapat
dilepaskan ke sitoplasma (Goodman and Gillman,2001).
Tirosin beriodium atau bentuk inaktif (DIT dan MIT) akan mengalami deiodinasi
oleh enzim deiodinase, enzim ini akan melepaskan iodium untuk digunakan kembali
dalam pembentukkan hormon tiroid di lumen (koloid). Sedangkan hormon T4 serta T3
masuk ke dalam sirkulasi melalui mekanisme difusi karena sifatnya yang cukup
lipofilik. (Sherwood, 2010)
Transport Hormon Tiroid dalam Darah
Hormon tiroid yang telah disekresikan diedarkan dalam darah baik dalam bentuk
bebas ataupun terikat protein plasma. Sebagian besar hormon tiroid berikatan secara kovalen
dengan Thyroxine-Binding globulin (TBG). TBG merupakan protein plasma yang
digunakan sebagai transport utama hormon tiroid. TBG berikatan dengan satu molekul T 4
dengan afinitias kuat, tetapi afinitasnya lebih lemah dengan T3. Hormon T4 dapat pula
berikatan dengan transhyretin (TBA atau Thyroxine-binding prealbumin). Transhyretin
terdapat dalam konsentrasi yang lebih tinggi daripada TBG tetapi afinitasya lebih lemah.

Albumin juga dapat mengikat T4 ketika ikatan hormon tiroid dengan transporter lainnya sudah
jenuh. (Goodman and Gilman, 2006)
Hormon tiroid yang terikat dengan protein plasma akan meningkatkan waktu paruh
dalam sirkulasi sistemik karena ikatannya dengan protein plasma dapat melindungi hormon
tiroid dari proses metabolisme serta ekskresi. Hormon tiroid bebas dalam sistemik hanya
sekitar 0,03% untuk tiroksin dan 0,3 % untuk triiodotironin dari total hormon di plasma.
(Goodman and Gilman, 2006)
KONVERSI TIROKSIN MENJADI TRIIODOTIRONIN DI JARINGAN PERIFER.

Secara normal, produksi tiroksin setiap hari diperkirakan sekitar 70 dan 90 g,


sedangkan triiodotironin antara 15 dan 30 g. Walaupun jumlah tiroksin yang diproduksi
lebih banyak dibandingkan dengan triiodotironin, tetapi bentuk triiodotironin lah yang
merupakan hormon yang aktif. Maka dari itu, tiroksin akan dikonversi menjadi bentuk aktif
yaitu triiodotironin di jarangan perifer dari 80% hormon T 3 yang beredar dalam sistemik.
(Goodman and Gilman, 2006)
Organ utama yang berperan dalam proses konversi tiroksin menjadi triiodotironin
adalah hati melalui proses monodeiodinasi dengan bantuan enzim iodotironin 5deiodinase.
Enzim yang berfungsi dalam konversi tiroksin menjadi triiodotironin ini memiliki tiga tipe ,
yaitu :
1. Tipe 1 (D1 atau enzim iodotironin 5deiodinase) terdapat di hati, ginjal, dan
tiroid yang berperan dalam konversi tiroksin menjadi triiodotironin sebagai
bentuk aktif yang digunakan oleh sebagian besar jaringan perifer. Enzim tipe
1berperan dalam mengkatalisi 5-deiodinasi.
2. Tipe 2 (D2 atau enzim iodotironin 5deiodinase) terdapat di otak, hipofisis, otot
rangka dan jantung yang berfungsi untuk menyediakan triiodotironin intrasel ke
jaringan.

3. Tipe 3 (D3 atau enzim iodotironin 5 deiodinase) yang terdapat di plasenta, kulit,
dan otak yang mengubah tiroksin menjadi bentuk triiodotironin yang tidak aktif.
(Goodman and Gillman, 2006).

Ga
mbar 5. Fungsi dan Letak Enzim Deiodinase yang berperan dalam konversi T4 menjadi T3. (Goodman
and Gilman, 2006)

Deiodinasi iodin pada posisi 5 mengakibatkan terbentuknya triiodotironin yang


merupakan jalur metabolisme pengaktivasi. Sebaliknya, deiodinasi pada posisi 5 akan
menghasilkan 3,3,5-triiodotironin yang merupakab bentuk tidak aktif yang disebut
sebagai reverse T3 (rT3). Dalam keadaan normal 41 % tiroksin diubah menjadi
triiodotironin, 38 % diubah menjadi rT3, dan sisanya dimetabolisme melalui berbagai
jalur lain, seperti konjugasi di hati dan ekresi di empedu. (Goodman and
Gillman,2006).
RESEPTOR TIROID
Reseptor hormon tiroid (TR/thyroid receptor) terletak dari sitoplasma sampai nukleus
dan berinteraksi dengan T3 dalam nukleus, serta gen target dan protein lain yang diperlukan
untuk transkripsi gen dependen T3 dan basal. Reseptor Hormon Tiroid (TR) berasal dari
2 gen, yaitu TR (1) dan TR (1 dan 2), dengan beberapa isoform yang telah teridentifikasi
pada manusia dan hewan. Berdasarkan letaknya, TR1 dan TR1 ditemukan hampir di
semua jaringan yang merespon hormon tiroid, TR2 ditemukan hanya di hipofisis anterior,
dan c-erb A 2 ditemukan berlimpah di otak.

Gambar 6. Isoform Reseptor Hormon Tiroid (Goodman and Gilman, 2006)

Mekanisme Aksi Hormon Tiroid Pada Reseptor Hormon Nukleus

Gambar 7. Reseptor Horom Tiroid

Hormon tiroid yang berikatan dengan protein transport di dalam kapiler darah
dilepaskan dalam bentuk hormone bebas. Hormon larut air itu kemudian berdifusi ke dalam
sel. Kompleks hormon-reseptor yang teraktivasi akan menyebabkan perubahan pada ekspresi
gen. Hormon T3 memiliki afinitas yang tinggi pada reseptor nuclear, sehingga akan berikatan
dengan sequence DNA spesifik ( TREs) pada tempat promote gen target dan memodulasi
transkripsi gen. mRNA yang dihasilkan akan mencetuskan sintesis protein dalam ribosom dan
hasil proteinnya nantinya akan menyebabkan perubahan pada aktivitas sel.
DEGRADASI DAN EKSRESI

Tiroksin (T4) dieliminasi secara perlahan dalam tubuh dengan waktu paruh 6 8 hari.
Pada hipertiroid, waktu paruh dipersingkat menjadi 3-4 hari, sementara pada hipotiroid waktu
paruhnya diperpanjang menjadi 9-10 hari. Hati merupakan tempat utama degradasi nondeiodinative dari Hormon Tiroid.
Hormon Tiroid memiliki jalur metabolisme yang nantinya akan membuat hormon tiroid
tersebut dieksresikan dari dalam tubuh. Pada jalur yang pertama, Tiroksin dapat mengalami
deiodinasi (kehilangan satu atom I-) menjadi T3 atau rT3. Selanjutnya keduanya akan
mengalami deiodinasi kembali menjadi T2s yang selanjutnya dapat dieksresian bersama urin.
Hal yang sama terjadi pada Triiodotironin.
Jalur kedua, hormon tiroid mengalami konjugasi dengan asam sulfat dan asam glukuronat
menjadi T4S dan T3S, apabila dengan asam sulfat, dan T4G dan T3S , apabila dengan asam
glukuronat. Hasil konjugasi ini menjadikan hormon tiroid menjadi senyawa yang polar,
mudah larut air, sehingga dapat dieksresikan bersama urin.
Jalur ketiga, T3 dan T4 mengalami dekarboksilasi oksidatif sebagai salah satu proses
metabolisme yang selanjutnya akan digunakan untu menghasilkan energi pada tahap terakhir
yaitu transfer elektron.

Gambar 8. Jalur Metabolisme Hormon Tiroid. (Goodman and Gilman, 2006)

FUNGSI HORMON TIROID

Hormon T4 dan T3 dinyatakan sebagai hormon tiroid, namun T4 merupakan hormon


tiroid inaktif yang harus mengalami iodonisasi terlebih dahulu agar dapat menjadi hormon
triiodotironin (T3) yang aktif. Fungsi utama hormon T3 (triiodotironin) adalah sebagai
regulator penting bagi laju metabolisme basal keseluruhan dan juga penting untuk
pertumbuhan dan perkembangan tubuh serta fungsi sistem saraf. Secara umum, hormon
tiroksin (T4) memiliki fungsi untuk meningkatkan laju pelepasan energi dari karbohidrat,
meningkatkan laju sintesis protein, mempercepat pertumbuhan, merangsang aktivitas sistem
saraf. Hormon triiodotironin (T3) juga memiliki fungsi yang sama namun dengan intensitas 5
kali lebih kuat dari tiroksin.
Fungsi hormon tiroid dalam peningkatan laju metabolisme tubuh, yang turut berperan
dalam katabolisme dan anabolisme karbohidrat, lipid, dan protein, menyebabkan hormon ini
juga dapat mepengaruhi atau memberikan efek kepada beberapa fungsi yang lain, yaitu:

1. Efek pada laju metabolisme


T3 memiliki efek pada peningkatan laju metabolisme tubuh karena fungsinya
yang dapat meningkatkan berbagai reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh. T3
berfungsi meningkatkan proses glukoneogenesis yang akan memecah sumber-sumber
simpanan di hati seperti glikogen, dan lemak di jaringan adiposa untuk menghasilkan
sumber tenaga menjadi glukosa darah yang akan digunakan sebagai energi siap
pakai. Beberapa fungsi dari efek ini diantaranya yaitu: menstimulasi sintesis protein,
meningkatkan penggunaan glukosa dan asam lemak untuk menghasilkan ATP,
meningkatkan lipolisis, dan mengatur kadar kolesterol dalam darah.
2. Efek kalorigenik
Triiodotironin bekerja pada pompa Na K ATPase yang menggunakan banyak
ATP untuk mengeluarkan Na dari sitosol ke cairan ekstraselular dan ion K dari cairan
ektraselular ke dalam sitosol. Karena tiroid meningkatkan laju metabolisme basal,
ketika laju meningkat, maka terjadi stimulasi sel O2 untuk memproduksi ATP
sehingga metabolisme karbohidrat, lipid dan protein meningkat. ATP yang banyak
diproduksi digunakan untuk mengeluarkan sodium ion Na+ dari sitosol menuju ke
cairan ekstraselular dan ion potassium (K). ATP memerikan banyak energi panas,
menyebabkan suhu tubuh naik. Fenomena ini disebut sebagai efek kalorigenik. (John
E, 2015)
3. Efek Pada Kardiovaskular
Di dalam kardiomiosit, T3 akan masuk ke dalam nukleus lalu berikatan
dengan reseptornya yaitu reseptor nuclear (TR) , yang selanjutnya akan berikatan
dengan Thyroid hormone Response Element (TRE) pada gen target. Aktivasi dari
kompleks (TR-RXR-TRE) tersebut akan meningkatkan proses transkripsi dan
ekspresi gen-gen yang menyandi berbagai protein struktural beserta enzim-enzim
penting dalam kardiomiosit. Gen-gen yang ekspresinya dipengaruhi oleh kompleks
T3-TR-RXR-TRE dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu gen yang diatur secara postif
dan negatif.

Pada tahap ini, apabila ekspresi gen

mengalami peningkatan aktivitas transkiripsi akibat keberadaan T3 maka


dinyatakan sebagai regulasi positif dan apabila ekspresi gen mengalami penurunan
aktivitas transkripsi akibat adanya T3 disebut dengan regulasi negatif.
Regulasi Positif
Gen alfa-miosin rantai berat menyandi protein kontraktil rantai berat
alfamiosin yang merupakan serabut otot tipe cepat dalam fi lamen tebal pada
kardiomiosit.
Gen Ca2+-ATPase retikulum sarkoplasma menyandi protein SERCa2 dalam
membran retikulum sarkoplasma, yang mengatur ambilan kalsium dari
sitoplasma ke dalam retikulum sarkoplasma selama fase diastolik jantung.
Gen Na+/K+- ATPase dan voltage-gated potassium channels mengatur
respons elektrik dan kimiawi kardiomiosit.
Gen reseptor adrenergik beta-1 menyandi protein reseptor beta-1 pada
membran

plasma

kardiomiosit,

yang

berfungsi

sebagai

responsrespons jantung terhadap pacuan simpatis dan adrenergik.


Regulasi Negatif

penghantar

Gen beta-miosin rantai berat. T3 menurunkan ekspresi gen beta-miosin


rantai berat sekaligus menaikkan ekspresi alfa-miosin rantai berat,
menghasilkan efek hipertrofi dan peningkatan kontraktilitas kardiomiosit.
Fosfolamban merupakan penghambat Ca2+-ATPase retikulum endoplasma
dalam memompa kalsium ke dalam retikulum sarkoplasma. T3 menurunkan
ekspresi gen fosfolamban dan sekaligus meningkatkan aktivitas SERCa2.
4. Efek Pada Pertumbuhan
Hormon tiroid penting bagi pertumbuhan normal karena efeknya pada hormon
pertumbuhan (GH) dan IGF-I. Efek GH baru bermanifestasi secara penuh jika
terdapat jumlah hormon tiroid dalam jumlah memadai. Tidak saja merangsang sekresi
GH dan meningkatkan produksi IGF-I oleh hati, tetapi juga mendorong efek GH dan
IGF-I pada sintesis protein struktural baru dan pada pertumbuhan tulang.
Pertumbuhan anak dengan hipotiroid akan terganggu.
Terganggunya pertumbuhan anak dengan gangguan hipotiroid berbeda dengan
anak dengan defisiensi hormon pertumbuhan (GH). Anak yang mengalami defisiensi
hormon pertumbuhan (GH) akan menderita penyakit dwarfism (cebol). Gambaran
utama adalah tubuh pendek karena pertumbuhan tulang yang terhambat. Karakteristik
yang relatif kurang tampak adalah otot yang kurang berkembang (berkurangnya
sintesis protein otot) dan lemak subkutis yang berlebihan (mobilisasi lemak kurang).
Sementara anak dengan gangguang hipotiroid akan menderita penyakit kretinisme
(kerdil) atau miksedema (terjadi pada orang dewasa). Gambaran utamanya, anak
menjadi kerdil dengan ekstremitas pendek, keterbelakangan mental, tidak aktif, tidak
mengeluh, dan lesu.
5. Efek Pada Saraf
Hormon tiroid berperan penting dalam perkembangan normal sistem saraf,
khususnya SSP, suatu efek yang terganggu pada anak dengan defisiensi tiroid sejak
lahir. Hormon tiroid juga esensial untuk aktivitas normal SSP pada orang dewasa.

X. REGULASI HORMON TIROID

1. Thyrotrphin-releasing hormone (TRH) yang berasal dari Hipotalamus mengontrol


sekresi hormon thyrotrophin, yang di kenal sebagai thyroid-stimulating hormone
(TSH) , yang berada pada kelenjar pituitari anterior.
2. Selanjutnya, TSH akan merangsang kelenjar tiroid untuk sintesis hormon.
3. Terbentuklah T3 dan T4. Kebanyakan T4 selanjutnya akan dikonversi menjadi T3
karena memiliki efek metabolik dalam sistemik.
4. Hormon tiroid secara normal memiliki sinyal negatif feedback. Jadi setelah hormon
tiroid disintesis, maka hormon tiroid akan memblok TRH dan TSH untuk
menghentikan rangsangan pelepasan hormon tiroid.

2.2 Patofisiologi
1. HIPOTIROIDISME
Hipotiroidisme terjadi karena penurunan kadar hormone tiroid yang bersirkulasi,
ditandai dengan adanya miksedema, edema non-pitting dan boggy disekitar mata, kaki,

tangan dan menginfiltrasi jaringan lain. Pada orang dengan hipotiroidisme sejak lahir timbul
keadaan yang disebut kretinisme. Karena kadar hormone tiroid yang memadai esensial untuk
pertumbuhan normal dan perkembangan SSP maka kretinisme ini ditandai dengan tubuh
cebol (dwarfisme) dan retardasi mental serta gejala-umum lain defisiensi tiroid. Klasifikasi
penyebab hipotiroidisme :
1. Hipotiroidisme yang disebabkan malfungsi kelenjar tiroid
Ditandai dengan kadar TH rendah, sedangkan kadar TRH dan TSH yang tinggi akibat
tidak adanya umpan balik negatif oleh TH pada hipotalamus dan hipofisis.
2. Hipotiroidisme yang disebabkan malfungsi hipofisis
Ditandai dengan kadar TH rendah yang disebabkan karena kadar TSH rendah,
sedangkan kadar TRH di hipotalamus tinggi karena tidak adanya umpan balik negatif
pada pelepasannya oleh TSH dan TH.
3. Hipotiroidisme yang disebabkan malfungsi hipotalamus
Ditandai dengan kadar TH, TSH dan TRH yang rendah.

a. Penyebab Hipotiroidisme
Penyebab turunnya pelepasan hormon tiroid (hipotiroidisme) biasanya disebabkan oleh
kelenjar tiroid itu sendiri. Sintesis abnormal dari hormon tiroid terjadi dalam langkah-langkah
dalam proses sintesisnya, antara lain :

Kekurangan asupan iodium dalam makanan.


Gangguan pada saat penyerapan iodium di sel tiroid (genetik atau adanya hambatan

transportasi oleh perklorat, nitrat, tiosianat/rhodanine).


Defisiensi peroxidase (genetik) atau adanya hambatan peroksidasi oleh thiouracil atau

iodium berlebih.
Abnormalitas pemecahan tiroglobulin
Gangguan pada proses penggabungan iodium (pelekatan iodin ke tirosin)
Gangguan pada proses penggabungan dua residu tirosin (pada saat pembentukan T 3

dan T4).
Ketidakmampuan untuk melepaskan tiroksin dan triiodothyronine dari tiroglobulin.
Kurangnya kepekaan organ target karena cacat reseptor atau konversi yang tidak
memadai untuk mengubah dari bentuk T4 menjadi T3 yang lebih aktif.

Dua penyebab yang sangat umum dari hipotiroidisme adalah kerusakan pada kelenjar
tiroid atau operasi pengangkata kelenjar (akibat kanker tiroid), lebih jarang hipotiroidmse

ini disebabkan oleh defisiensi TSH/TRH (insufisiensi hipofisis atau kerusakan pada
hipotalamus).
b. Penyakit Hipotiroidisme
1. Hashimotos disease/tiroiditis autoimun
Terjadi akibat destruksi autoantibodi jaringan kelenjar tiroid. Menyebabkan
penurunan TH dan peningkatan kadar TSH dan TRH akibat umpan balik negatif yang
minimal. Penyebabnya tidak diketahui, namun tampak adanya kecenderungan
merupakan penyakit genetik.

2. Goiter endemic
Goiter merupakan pembesaran kelenjar tiroid. Terjadi akibat defisiensi iodide
dalam makanan, defisiensi terjadi karena sel tiroid menjadi over aktif dan mengalami
pembesaran (hipertrofik) dalam rangka usaha memisahkan semua iodida yang
mungkin ada dari aliran darah. Kadar TH rendah ini disertai dengan tingginya kadar
TRH dan TSH akibat umpan balik negatif yang minimal.

3. Karsinoma tiroid
Penyakit ini dapat menyebabkan hipotiroidisme atau pun hipertiroidisme.
Terapi untuk jenis kanler ini menggunakan tiroidektomi, obat supresi TSH atau terapi
iodin radioaktif untuk menghancurkan jaringan tiroidnya. Semua terapi ini dapat
meyebabkan hipotiroidisme. Pajanan radiasi pada masa kanak-kanak yang

menyebabkan kanker tiroid, defisiensi iodin meningkatkan risiko perkembangan


kanker tiroid, karena defisiensi iodin akan menstimulasi proliferasi dan hyperplasia
tiroid.
c. Diagnosis klinis
Riwayat dan pemeriksaan fisik yang baik akan membantu mendiagnosis

hipotiroidisme.
Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar TH (T3 dan T4). TSH dan TRH akan
memungkinkan diagnosis kondisi dan lokalisasi masalah di tingkat sistem saraf pusat
atau kelenjar tiroid.

d. Manifestasi Klinis
a. Pembengkakan dan edema kulit terutama di bawah mata dan pergelangan kaki
b. Penurunan tingkat metabolisme, penurunan kebutuhan kalori, penurunan nafsu
makan dan penyerapan nutrisi di usus
c. Intoleransi terhadap suhu dingin
d. Penurunan denyut jantung, myxedemic heart, dan penurunan curah jantung
e. Lemah, berpikir lambat, kaku, pergerakan lambat
f. Sembelit
g. Perubahan fungsi reproduksi
e. Komplikasi
a. Koma miksedema, ditandai dengan pemburukan semua gejala hipotiroidisme
termasuk hipotermia tanpa menggigil, hipotensi, hipoglikemia, hipoventilasi,
koma
b. Tidak adanya penggantian TH dan stabilisasi gejala dapat menyebabkan
kematian
c. Terapi memiliki risiko mencakup penggantian hormon yang berlebihan,
kecemasan, atrofi otot, osteoporosis, fibrilasi atrium
f.

Pengobatan
Biasanya terapi mencakup penggantian hormone tiroid dengan tiroksin sinetik.
Pada goiter endemik dengan cara penggantian iodide dapat mengurangi gejala.
Apabila penyebabnya berkaitan dengan tumor sistem saraf pusat, pengobatan dapat
dilakukan dengan cara kemoterapi, radiasi atau pembedahan.

2. HIPERTIROIDISME
Hipertiroidisme adalah keadaan ketika hormon tiroid (yang bersirkulasi) berlebihan.
Gangguan ini bisa terjadi karena disfungsi dari kelenjar tiroid, hipofisis, atau hipotalamus.
(Corwin,2008).
1. Patofisiologi
Peningkatan hormon tiroid disebabkan oleh kerusakan kelenjar tiroid disertai
dengan menurunnya TSH dan TRF, akibat umpan balik negatif pada pelepasan
keduanya oleh TH. Hipertiroidisme yang disebabkan oleh kerusakan hipofisis
menyebabkan kadar TH dan TSH yang tinggi. TRF rendah karena umpan balik
negatif dari TH dan TSH. Hipertiroidisme yang disebabkan oleh kerusakan dari
hipotalamus menunjukkan TH yang tinggi disertai dengan kelebihan TSH dan TRH.
Penyakit hipertiroidisme dapat menghambat pertumbuhan organ seksual jika
terjadi sebelum pubertas. Jika terjadi setelah pubertas, akan menghasilkan penurunan
libido pada laki-laki atau perempuan. Perempuan bisa mengalami ketidakteraturan
menstruasi dan penurunan fertilitas
2. Penyakit hipertiroidisme
a) Penyakit Graves
Gangguan autoimun yang biasanya ditandai dengan produksi autoantibodi
yang mirip kerja TSH pada kelenjar tiroid. Antibodi merangsang sel-sel untuk
menghasilkan hormon yang berlebihan.
Penyakit Graves juga dapat terjadi pada Neonatus. Disebabkan karena
masuknya TSH-R Ab ibu melalui plasenta yang akan merangsang kelenjar tiroid
neonatus. Penyakit ini dapat terjadi juga karena adanya faktor genetik . Dalam hal
ini terjadi peningkatan tiroksin bebas (T3) dan TSH yang rendah, dimana pada
bayi normal terjadi peningkatan TSH pada saat lahir.

b) Goiter nodular
Peningkatan ukuran kelenjar tiroid akibat peningkatan kebutuhan akan hormon
tiroid. Kelenjar berusaha memenuhi induksi TSH yang berlebihan.
3. Gambaran Klinis
Peningkatan denyut jantung
Peningkatan tonus otot, tremor, iritabilitas, peningkatan kepekaan terhadap

katekolamin
Peningkatan laju metabolisme basal dan produksi panas, intoleransi terhadap

panas, kelebihan keringat


Penurunan berat badan, meningkatkan rasa lapar
Melotot
Dapat terjadi eksoftalmus (penonjolan bola mata)
Peningkatan frekuensi buang air besar
Gondok (biasanya), yang merupakan peningkatan ukuran kelenjar tiroid
Perubahan kulit dan kondisi rambut dapat terjadi
Gangguan reproduksi

2.3 FARMAKOLOGI
1. Obat Antitiroid
Obat-obatan antitiroid sering disebut sebagai agen antitiroid. Obat ini meliputi
golongan tiourea. Obat antitiroid memiliki tujuan utama sebagai terapi hipertiroidisme
(Goodman et al., 2011). Hipertiroidisme dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit
lainnya dan akibat keadaan, seperti :
a. Kurangnya jumlah TSH
b. Peningkatan jumlah T4 dan T3 bebas
Mekanisme kerja golongan obat antitiroid berfokus pada mekanisme terbentuknya T4 dan T3
(hormon antitiroid).
Golongan obat antitiroid mula-mula diujikan kepada tikus dengan memberikan derivat
tiourea. Hasilnya, tikus menjadi hipotiroid dan tidak ada hormon yang terbentuk. Hal ini
menjadikan thiourea sebagai terapi hipertiroidisme. (Goodman et al., 2011)
Saat ini, terdapat tiga derivat utama tiourea yang dijadikan sebagai pengobatan
hipertiroidisme, yakni :

(Goodman et al., 2011)


1.1

Contoh Sediaan
Mekanisme kerja utama obat tersebut adalah menginhibisi pembentukan hormon tiroid

(Goodman et al., 2011). Hal tersebut dilakukan beberapa cara seperti berikut, sesuai dengan
derivat obat yang terdapat di dalamnya.
A.

Methimazole
Methimazole bekerja dengan cara berikatan dengan thyroid peroksidase sehingga dapat

mencegah konversi iodida menjadi iodine. (Drugbank.ca, 2015) Seperti yang diketahui,
fungsi utama thyroid peroksidase adalah :
Mengkonversi iodida menjadi iodine (hidrogen peroksida berfungsi sebagai kofaktor)
yang dihasilkan
Mengkatalisis penggabungan molekul iodida yang dihasilkan ke posisi 3 dan/atau 5 dari
cincin fenol pada tyrosine yang ada di dalam thyroglobulin Thyroglobulin kemudian
akan mengalami degradasi untuk dapat menghasilkan thyroxine (T4) dan triiodothronine (T3) (Drugbank.ca, 2015)

Data farmakologi dari Methimazole adalah sebagai berikut:


a)
Indikasi
Pengobatan hipertiroidisme, goiter, graves disease, dan psosiaris
b)
Farmakodinamik

Menghinhibisi sintesis hormon tiroid


c)

Absorpsi
Diabsorpsi cepat dengan bioavaibilitas mencapai 93%
d)
Metabolisme
Metabolisme utama berlangsung di dalam hepar
e)
Toksisitas

Oral LD50 terhadap tikus adalah 2250 mg/kg

Gejala overdosis meliputi : mual, muntah, sakit kepala,


nyeri sendi, dsb
f)

Peringatan
Menembus plasenta sehingga dapat membahayakan janin penggunaan bagi wanita
hamil sebaiknya diganti jenis obat, atau menggunakan dosis terkecil. Selain itu,

terdistribusi ke dalam ASI.


Interaksi obat
Antikoagulan oral, adrenergic blocking agents, glikosida digitalis, theofilin
h)
Dosis

Dewasa : Dosis mula-mula : 15 mg untuk hipertiroidisme


g)

ringan, 30 49 mg untuk hipertiroidisme sedang, 60 mg untuk hipertiroidisme berat.


Dibagi menjadi 3 kali pemberian dengan interval 8 jam. Dosis pemeliharaan : 5 15
mg sehari

Pediatri : 0.4 mg/kg bb , dibagi menjadi 3 kali pemberian


dengan interval 8 jam. Dosis pemeliharan kurang lebih dosis awal.
Berikut contoh sediaan yang terdapat di pasaran :

B.

Propiltiourasil (PTU)
PTU bekerja dengan cara :
Menginhibisi TPO sehingga

coupling

residu

iodotyrosyl

dalam

pembentukannya menjadi iodothryonines terhambat (Drugbank.ca, 2015)

proses

Menginhibisi parsial area sekitar deiodinasi (periperhal deiodination) T4 menjadi T3


melalui penghambatannya terhadap enzim-enzim iodothryonine deiodinase (Goodman
et al., 2011)
Enzim iodothryonine deiodinase dapat dijelaskan sebagai berikut (Kuiper, Kester,
Peeters, Visser, 2005) :
Terdapat tiga jenis : D1, D2, D3
Tipe 1 (D1) dan tipe 2 (D2) mampu mengkonversi T4 menjadi T3 . Tipe 1 bekerja
dengan cara mengkonversi T4 ke T3 melalui aktivitas inner ring deiodination (IRD)
lemah dan outer ring deiodination (ORD) . Tipe 2 mengkonversi T4 dengan cara outer
ring deiodination (ORD) sehingga mampu membioaktivasi T3.
Tipe 3 hanya memiliki aktivitas inner ring deiodination (IRD) yang membuatnya
mampu menginaktivasi T3.

PTU bekerja dengan cara menginhibisi enzim D1 dan D2 karena kedua enzim tersebut
berfungsi dalam pembentukan T3 yang merupakan hormon tiroid yang paling aktif.

Data farmakologis PTU ditunjukkan sebagai berikut :


a) Indikasi
Pengobatan hipertiroidisme akibat aktivitas berlebih dari thyroid akibat Graves disease
b) Farmakodinamik
Menghinhibisi enzim TPO dan Deiodinase sehingga menghambat terbentuknya T4 dan T3
c) Absorbsi
Diabsorpsi dengan baik melalui rute oral
d) Rute Eliminasi
Kurang lebih 35% diekskresikan ke dalam urine dalam waktu 24 jam
e) Waktu Paruh
2 jam
f) Peringatan
Liver toxicity PUT dilaporkan telah menimbulkan beberapa kerusakan hati bahkan
kematian. Oleh karena itu, pemberian PUT kepada pasien pediatric tidak disarankan ,
kecuali bila Methimazole tidak memberikan efek yang diinginkan
Dapat menyebabkan agrunolositosis
Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan hipotoriodisime
g) Interaksi obat
Antikoagulan oral, adrenergic blocking agents, glikosida digitalis, theofilin
h) Dosis obat
Dewasa : Dosis awal : 300 mg. Pada pasien dengan hipertiroidisme berat, dosis 400 mg
per hari, untuk pasien yang sudah sering menerima PUT , dosis mula-mula ditingkatkan
menjadi 600 900 mg per hari. Dosis pemeliharaan : 100 150 mg per hari
Pediatric : 50 mg per hari dengan pengawasan yang ketat
Berikut contoh sediaan yang terdapat di pasaran :

C.

Carbimazole
Carbimazole merupakan carbethoxy derivate (prodrug) dari methimazole. Setelah

diabsorpsi ke dalam tubuh, Carbimazole akan mengalami perubahan menjadi methimazole


sehingga mekanisme kerjanya sama seperti Methimazole.
Data farmakologis carbimazole ditunjukkan sebagai berikut :
a) Indikasi
Pengobatan hipertiroidisme dan thyrotoksikosis
b) Farmakodinamik
Carbethoxy derivat dari methimazole sehinnga memiliki mekanisme kerja sama seperti
methimazole
c) Absorbsi
Diabsorbsi cepat, 1-2 jam, setelah pemberian oral, menjadi thiamazole
d) Rute Eliminasi
90% diekskresikan di urine sebagai thiamazole atau metabolitnya.
10% terdapat di sirkulasi enterohepatic
e) Dosis
Dosis mula-mula : 20 -60 mg, dalam dosis terbagi dua sampai tiga kali
Dosis pemeliharan : 5 15 mg per hari, dapat diminum dalam satu kali dosis, diberikan
paling sedikit 6 bulan sampai dengan 18 bulan
Berikut contoh sediaan yang terdapat di pasaran :

2. Inhibitor Ionik
Senyawa yang berhubungan dengan konsentrasi iodida di kelenjar tiroid. Effective
agents berupa anion (resemble iodide) yang bersifat monovalen, hydrated anions dengan
ukuran yang mirip dengan iodida.
Berikut ini adalah contoh dari inhibitor ionik yang dapat digunakan :
a) thiocyanate yang dalam konsentrasi besar dapat menginhibisi ogranifikasi iodine
b) perchlorate (ClO4-) yang sepuluh kali lebih aktif dibandingkan thiocyanate bekerja
dengan memblok masuknya iodide ke kel. tiroid dengan menginhibisi secara kompetitif
NIS. Dosisnya 750 mg/hari untuk pengobatan Graves disease dan amiodarone-iodine
induced . Thyrotoxicosis. Perchlorate

dapat digunakan untuk menghilangkan muatan

iodida anorganik dari kelenjar tiroid dalam tes diagnostik organifikasi iodida.
c) Fluoborate (BF4-) yang sama efektifnya dengan perklorat
d) Lithium, prinsip utamanya menurunkan sekresi dari tiroksin dan triiodotironin (Takami,
1994) yang dapat menyebabkan hipotiroidisme

3. Iodida
Pendahuluan
Iodida adalah obat tertua untuk gangguan kelenjar tiroid. Sebelum obat antitiroid
digunakan, iodida merupakan satu-satunya senyawa yang tersedia untuk mengendalikan
tanda-tanda dan gejala hipertiroidisme. Meskipun iodida dalam jumlah kecil diperlukan untuk
biosintesis hormon tiroid, akan tetapi dalam jumlah besar dapat menyebabkan goiter dan
hipotiroidisme pada orang sehat.
Asupan iodida harian yang dianjurkan pada orang dewasa adalah 150 mcg (200 mcg
selama kehamilan). Iodida dengan konsentrasi yang tinggi tampaknya mempegaruhi hampir
semua aspek penting dan metabolisme iodin oleh kelenjar tiroid.
Kelenjar tiroid mengeluarkan sekitar 75 mcg iodida per hari dari kompartemen cairan
ekstrasel untuk sisntesis hormon dan sisanya dieksresikan ke dalam urin. Pada membran sel
apikal, iodida dioksidasi oleh enzim tiroid peroksidase menjadi iodine. Bentuk ini akan cepat
menimbulkan

iodinasi

residu-residu

tirosin

dalam

molekul

tiroglobulin

menjadi

monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin (DIT). Proses ini dinamakan organifikasi iodida.
Peroksidase tiroid dihambat secara secara transier oleh iodida berkadar tinggi dan dihambat
secara persisen oleh obat golongan tioamida. MIT dan DIT membentuk T3, sementara DIT
dan DIT membentuk t4. Pelepasan hormon ke dalam darah dalam bentuk T3 dan T4 yang
sudah dibentuk.
3.1

Farmakodinamika
Iodida mengambat organifikasi dan vaskulasi kelenjar tiroid yang hiperplastik. Pada

individu yang rentan dapat menginduksi hipertiroidisme atau mencetuskan hipotiroidisme.


Pada dosis farmakologik (>6 mg per hari). Efek utama iodida adalah menghambat
pelepasan hormon, melalui penghambatan proteolisis tiroglobulin.
3.2

Penatalaksanaan Terapi
Pemberian iodida pada pasien hipertiroid menghasilkan efek terapi yang nyata, dimana

iodida mampu menekan fungsi tiroid. Goiter yang terjadi karena pemberian antitiroid, dapat
diperbaiki dengan pemberian sediaan tiroid dan iodide.
Peran iodida dalam tiroid

Iodium diperlukan untuk biosintesis hormon tiroid


Iodida menghambat proses transport aktifnya sendiri ke dalam tiroid

Bila Iodium di dalam tiroid dalam jumlah cukup banyak terjadi hambatan sintesis
Iodotironin dan Iodotirosin akibat penghambatan kerja enzim tiroid peroksidase
(terdapat Wolf-Chaikoff effect)
Iodida dalam pengobatan hipertiroidisme digunakan dalam periode praoperasi untuk
tiroidektomi dan digunakan dalam pengobatan krisis tirotoksik yang dikombinasi dengan obat
antitiroid dan propanolol.
Sebelum pembedahan, iodida kadang-kadang diberikan tersendiri, akan tetapi diberikan
setelah gejala hipertiroidisme diatasi dengan antitiroid, yaitu biasanya diberikan selama 10
hari sebelum operasi dilakukan.
Alasan mengapa iodida tidak digunakan sebagai terapi tunggal adalah karena terapi
dengan menggunakan iodida saja tidak dapat sepenuhnya mengendalikan terapi
hipertirodisme. Hambatan pada kelenjar tiroid akan hilang dalam waktu 2-8 minggu dan bila
terapi iodida dihentikan, gejala hipertiroidisme dapat terjadi lagi, bahkan memberat, misalnya
timbul reaksi eksaserbasi tirotoksis. Iodida tidak diberikan pada wanita hamil karena dapat
menembus sawar darah plasenta dan menyebabkan goiter pada fetus.
Peningkatan simpanan iodin dalam kelenjar yang dapat memperlambat mula kerja
terapi dengan tioamida atau mencegah efektivitas terapi dengan iodin radioaktif selama
beberapa minggu. Jadi, pemberian iodida harus dimulai setelah dimulainya terapi tioamida
dan pemberian iodida harus dihindari dalam jangka waktu yang berdekatan dengan terapi
iodin radioaktif.
Pada individu yang eutiroid, pemberian dosis iodida 1,5-150 mg per hari
mengakibatkan sedikit penurunan konsentrasi tiroksin dan triiodotironin dalam plasma serta
diimbangi dengan sedikit peningkatan nilai TSH serum. Namun, pasien eutiroid dengan
riwayat berbagai gangguan tiroid mungkin akan mengalami hipotiroidisme yang diinduksi
oleh iodin jika diberi iodin dalam jumlah besar yang ada dalam obat-obat yang diresepkan.
3.3

Reaksi-reaksi yang Merugikan


Terkadang orang menunjukkan sensitivitas yang nyata terhadap iodida atau sediaan

organik yang mengandung iodin ketika dibiarkan secara intravena. Onset reaksi akut dapat
terjadi dengan segera atau beberapa jam setelah pemberian.
Angioedema adalah gejala yang menonjol, dan pembengkakan laring dapat
menyebabkan kematian karena tidak dapat bernapas. Berbagai hemoragia pada kulit dapat
muncul. Manifestasi jenis penyakit hipersensitivitas serum seperti demam, artalgia,

pembengkakan nodus limfe, dan eosinophilia juga dapat terjadi. Purpura trombositopenik
trombotik dan nodosa periarteritis yang fatal akibat hipersensitivitas terhadap iodida juga
terjadi.
Keparahan gejala intoksikasi kronis iodida (iodisme) berhubungan dengan dosis.
Gejalanya dimulai dengan rasa seperti tembaga yang tidak enak dan rasa terbakar pada mulut
dan tenggorokan, serta rasa sakit pada gigi dan gusi. Teramati pula peningkatan salivasi.
Koriza (rhinitis akut), bersin, dan iritasi pada mata disertai pembengkakan kelopak mata
biasanya juga terjadi, Keadaan iodisme ringan mirip dengan head cold. Pasien sering
mengeluh sakit kepala yang hebat yang berasal dari sinus frontal. Iritasi kelenjar mukosa
pada saluran pernafasan menyebabkan batuk produktif. Transudasi berlebihan ke dalam
batang bronkus menyebabkan edema paru-paru. Selain itu, kelenjar parotid dan submaksilari
dapat membengkak dan melunak, serta sindrom tersebut mungkin keliru dengan parotitis
gondong (mumps parotitis). Mungkin juga terjadi radang pada faring, laring dan tonsil.
Lesi kulit juga biasa terjadi dengan berbagai tipe dan intensitas, biasanya berbentuk
jerawat ringan dan terdistribusi pada daerah yang mengalami seborea. Meskipun jarang,
erupsi yang parah dan terkadang fatal (ioderma) dapat terjadi setelah pemakaian iodida dalam
jangka lama. Lesi yang timbul tampak aneh, mirip dengan lesi yang disebabkan oleh
bromisme, suatu masalah yang jarang terjadi, dan seperti biasanya, hilang dengan cepat
ketika pemberian iodida dihentikan. Gejala iritasi lambung biasa terjadi, dan diare yang
kadang-kadang berdarah, dapat terjadi.
Untungnya gejala iodisme menghilang dengan sendirinya dalam waktu beberapa hari
setalah pemberian iodide dihentikan. Iodisme berat dapat diatasi dengan meningkatkan
eksresi I- dan Cl-, misalnya dengan dieresis osmotik, diuretik kloruretik dan pemberian
muatan garam.
3.4

Contoh Sediaan
OBAT

KANDUNGAN IODIN
ORAL atau LOKAL

Amiodaron

75 mg/tablet

CaI (Cth : Sirup Calcidrine)

26 mg/ml

Iodokuinol (diiodohidroksikuin)

134-416 mg/tablet

Larutan oftalmik iodida ekotiofat

5-41 g/tetes

Sirup asam hidriodat

13-15 mg/ml

Iodoklorhidrosikuin

104 mg/tablet

Vitamin mengandung iodine

0,15 mg/tablet

Larutan oftalmik idoksuridin

18 g/tetes

Kelp

0,15 mg/tablet

Kalium Iodida (Contoh: Quadrinal)

145 mg/tablet

Larutan lugol

6,3 mg/tetes

Niasinamid hidroiodida + KI (Cth:


Iodo-Niacin)

115 mg/tablet

Pelembab nasal PONARIS

5 mg/0,8 ml

Larutan jenuh Kalium Iodida

38 mg/tetes

SEDIAAN PARENTERAL
Natrium iodida, larutan 10%

85 mg/ml

ANTISEPTIK TOPIKAL
Krim iodokuinol
(diiodohidrosikuin)

6 mg/g

Tingtur iodine

40 mg/ml

Krim iodoklorhidroksikuin

12 mg/ml

Kabut iodoform

4,8 mg/100 mg kabut

Povidon iodine

10 mg/ml
SENYAWA KONTRAS RADIOLOGI

Diatrizoat meglumin natrium

370 mg/ml

Propiliodon

340 mg/ml

Asam iopanoat

333 mg/tablet

Ipodat

308 mg/kapsul

Iotalamat

480 mg/ml

Metrizamida

483 mg/ml sebelum diencerkan

Ioheksol

463 mg/ml

4. Iodin Radioaktif
Pendahuluan
Iodin memiliki beberapa isotop radioaktif. Isotop radioakif yang paling banyak
digunakan dalam pengobatan adalah Isotop 131 atau

131

I. Isotop 131 memiliki waktu paruh

sebanyak 8 hari. Hal ini menyebabkan lebih dari 99% radiasi dipancarkan dalam waktu 56
hari. Emisi radioaktif 131I terdiri dari sinar dan partikel .
Mekanisme Kerja
Isotop

131

I secara cepat dan efisien akan ditangkap oleh kelenjar tiroid, digabungkan ke

dalam asam iodoamino, dan disimpan dalam koloid folikel. Dari folikel tersebut

131

I akan

dilepaskan secara lambat.


Natrium iodida 131 yang terperangkap di dalam koloid pada kelenjar tiroid akan
mengganggu sintesis hormon dengan bergabung pada hormon tiroid, T3 (triiodotironin) dan
T4 (tiroksin), serta Tg (tiroglobulin)
Partikel destruktif yang berasal dari dalam folikel akan bekerja eksklusif pada sel-sel
parenkim tiroid sehingga dapat menyebabkan sedikit/tanpa kerusakan pada jaringan sekitar.
Radiasi melewati jaringan dan dapat dikuantifikasi dengan pendeteksian dari luar tubuh.
Efek radiasi yang ditimbulkan akan bergantung pada dosis yang diberikan. Pemberian
dosis kecil tidak menggangu fungsi tiroid. Namun, bila diberikan pada jumlah yang besar,
nantinya dikhawatirkan dapat menimbulkan efek sitotoksik seperti terjadinya piknosis dan
nekrosis sel-sel folikel dengan hilangnya kolid dan fibrosis pada kelenjar. Oleh karena itu,
pemilihan dosis harus diperhatikan. Setelah pemberian dosis kecil, biasanya pada sebagian
folikel (biasanya pada perifer kelenjar) akan tetap mempertahankan fungsinya.
Indikasi
Indikasi untuk pengobatan ini adalah hipertiroidisme pada pasien geriatri dan pasien
yang memiliki penyakit jantung. Penggunaan iodin radioaktif juga dianggap merupakan
pengobatan terbaik untuk penyakit Grave yang tetap ada atau kambuh setelah dilakukan
tiroidektomi subtotal dan jika pengobatan dengan obat antitiroid pada jangka waktu yang
lama tidak menimbulkan efek. Iodin radioaktif juga dapat digunakan untuk pengobatan
gondok nodular toksik dengan pemberian dosis yang lebih besar.
Dosis dan Penggunaan

Natrium iodida I 131 tersedia dalam bentuk larutan atau dalam kapsul yang
mengandung

131

I bebas dengan pembawa yang cocok untuk pemberian oral. Dosis yang

diberikan berbeda-beda untuk tiap pasien. Pemilihan dosis bergantung pada ukuran tiroid,
uptake iodin oleh kelenjar, dan kecepatan pelepasasn RAI dari kelenjar setelah penyimpanan
dalam koloid. Dosis total lazimnya adalah 4-15 mCi
Pemberian dosis rendah disarankan untuk menurunkan angka kejadian hipotiroidisme.
Pemberian antitiroid atau iodida dapat digunakan untuk mempercepat pengendalian
hipertiroidisme. Obat antitiroid harus dihentikan selama beberapa hari sebelum dan sesudah
pemberian dosis terapeutik 131I.
Kontraindikasi
Tidak boleh diberikan pada ibu hamil setelah trisemester pertama, tiroid janin akan
mengkonsentrasi isotop sehingga mengalami kerusakan [Pregnancy Category X]
Jarang bahkan tidak digunakan untuk pasien muda dan anak-anak dikhawatirkan
dapat menyebabkan kanker dan efek pada sel-sel seksual
Efek Samping
Jangka pendek tiroidal ringan dan disfalgia
Jangka panjang karsinoma tiroid, leukimia, hingga cacat kongenital
Contoh Sediaan
Nama dagang
Nama generik
Bentuk sediaan

: Hicon Kit
: Natrium Iodida I-131 mCi dalam 1 ml
: larutan dan kapsul

a) Farmakokinetika
Absorpsi
Distribusi

: Mudah diserap di GIT


: Terdistribusi dalam cairan ekstraseluler. Terperangkap
oleh tiroid meningkat pada hipertiroidisme.
Mekanisme uptake RAI merupakan fungsi untuk
Menstabilkan konsentrasi Iodida dalam darah dan
functional state pada tiroid.
Metabolisme
: Iodida yang terperangkap dioksidasi menjadi iodium.
Iodida yang terperangkap di tiroid mengandung kurang
dari 0,2% iodida bebas.
Ekskresi
: Diekskresikan oleh ginjal sebanyak 37-75%.
b)
Dosis
Untuk antihipertiroid diberikan kepada pasien sebanyak 4 sampai 10 mCi. Perlu
disampaikan kepada pasien bahwa pasien dianjurkan minum yang cukup, baik sebelum
dan setalah pemberian obat. Hal ini dilakukan agar obat yang tidak diserap oleh kelenjar
c)

tiroid dapat cepat keluar.


Penggunaan
Pada saat akan menggunakan, lihat dahulu waktu kadaluwarsa pada kemasan. Periksa
dahulu larutan secara visual. Larutan tidak boleh digunakan jika terlihat agak berawan,
berubah warna, atau terkandung partikel-partikel kecil.
Gunakan sarung tangan tahan air selama penanganan.
Penggunaan larutan :
1. Menggunakan jarum suntik yang steril
2. Mengambil sejumlah volume obat ang dibutuhkan dan tambahkan larutan pengencer.
Larutan pengencer yang dianjurkan adalah Purified water USP yang mengandung
0,2% Sodium Thiosulfate USP
Penggunaan kapsul :
1. Kit terdiri dari 1 kapsul besar yang kosong) dan 1 kapsul kecil yang berisi 300 mg
Dibasic Sodium Phosphate anhidrat USP sebagai buffer penyerap.
2. Menghitung volume yang dibutuhkan
3. Membuka 1 kapsul besar dengan menarik kapsul menjadi 2 bagian
4. Masukkan kapsul kecil yang belum dibuka ke bagian kapsul besar yang kosong
5. Mengambil volume obat yang dibutuhkan dari botol yang berisi cairan obat
6. Injeksikan ke pusat kapsul kecil melalui bagian atas
7. Tutup kapsul besar hingga kapsul kecil tertutupi. Tekan perlahan-lahan hingga
terkunci

8. Kapsul diletakkan dalam wadah polipropilen yang cocok dan tutup dalam wadah lagi.
Kapsul harus digunakan dalam waktu tujuh hari

2.4. FARMAKOTERAPI
1. Hipotiroid

Pada pasien dengan indikasi hipotiroid kadar TSH mengalami kenaikan, kemudian
dilakukan pengukuran kadar T4 dalam tubuh. Apabila rendah indikasi pasien ESS atau
hipotiroid primer. Apabila kadar T4 tinggi indikasi pasien resisten TSH, resisten dari hormon
tiroid itu sendiri. Apabila T4 rendah indikasi pasien mengalami ESS, subklinik hipotiroid dan
yiroid autoimun. Dengan adanya ketiga keadaan tersebut perlu dilakukan peninjauan ulang
tentang tiroid antibodies serta keberadaan triiodotironin (T3). Apabila T3 menunjukkan hasil
yang normal maka perlu peninjauan kembali penyebab dari hipotiroid itu sendiri, apabila T3
menunjukkan hasil yang rendah maka diberikan terapi T3. Sedangkan jika antibodi
menunjukkan hasil yang positif mengindikasikan pasien mengalami aoutoimun hipotiroid,
jika antibody menunjukkan hasil yang negatif mengindikasikan pasien mengalami perlu
ditinjau lagi enyebab dari hipotiroid itu sendiri.
Tujuan pengobatan dari hipotiroid dan hipertiroid ini adalah untuk menormalkan
hormon tiroid konsentrasi dalam jaringan, memberukan bantuan untuk identifikasi gejala
sedini mungkin, mencegah defisit neurologis pada bayi baru lahir dan anak-anak, dan
membalikkan kelainan biokimia baik dari hipotiroid maupun hipertiroid. Penggunaan
teraupetik hormon tiroid sebagai indikasi untuk terapi sulih hormon pada pasien dengan
hipotiroidisme atau kretinisme dan untuk terapi supresi TSH pada pasien dengan kanker
tiroid dan pasien dengan gondok nontoksik. Garam natrium sebagai isomer alami dari
hormon tiroid. Natrium levotiroksin (L-T4, SYNTHROID, LEVOXYL, LEVOTHROID, UNITHROID) tersedia dalam
bentuk tablet dalam berbagai dosis dan sebai serbuk terliofilisasi untuk injeksi dan memiliki
indeks teraupetik yang sempit. Natrium liotironin (L-T 3) tersedia dalam bentuk tablet
, bentuk injeksi

(CYTOMEL)

(TRIOSTAT).

Campuran L-T3 dan L-T4

dipasarkan sebagai liotriks

(THYROLAR). Sediaan tiroid yang didesikasi, berasal dari tiroid binatang utuh dan
mengandung T4 dan T3, memiliki aktivitas biologis yang sangat beragam. Interaksi obat
yang mengganggu absorpsi koletiramin, suplemen besi dan kalsium, alumunium hidroksida,
produk kedelai. Interaksi obat yang menginduksi CYP hati dan eksresi empedu meningkat
interaksi obat fenitoin, karbamazepin, rifampisin. Merupakan ekspresi berlebihan
hipotiroidisme yang parah dan bertahan lama. Ciri utama dari koma miksedema adalah sebgai
berikut, Hiportemia, yang dapat menonjol, depresi pernapasan, ketidaksadaran.
Penanganan dari koma miksedema dapat dilakukan dengan berdasarkan absorpsi oral
yang tidak pasti, hormon tiroid biasanya diberikan secara parentral (dosis muatan L-T4 200300 g secara intravena diikuti oleh dosis kedua 100 g 24 jam selanjutnya). Onset kerja
lebih cepat, beberapa ahli klinis menambah L-T3 (10 g secara intravena setiap 8 jam).
Sedangkan penanganan untuk kretinisme dapat dilakukan dengan dosis awal LT4 10-15 g

untuk menormalisasi konsentrasi T4 serum secara cepat. Dosis tunggal disesuaikan pada
interval 4-6 minggu selama 6 bulan pertama, interval 2 bulan selama 6-18 bulan. Interval 3-6
bulan mempertahankan T4 bebas serum lebih dari setengah normal, dengan TSH normal.
Penanganan nodul-ndul tiroid dapat dilakukan dengan Hormon tiroid digunakan untuk
menekan pertumbuhan pasien dengan nodul tiroid tunggal tumor jinak dan TSH normal.
Terapi supresi tidak berguna bila nodul bersifat otonom, diindikasikan TSH subnormal.Terapi
supresi tidak boleh digunakan pada pasien yang diketahui menderita arteri koroner, risiko
kejadian aritmia jantung/angina yang tidak terduga. Untuk penanganan kanker tiroid dapat
dilakukan dengan Terapi LT4 menekan stimulasi TSH untuk pertumbuha kanker tiroid
terdiferensiasi. Pada tumor ciri prognostik yang lebih mengkhawatirkan tujuannya menekan
TSH hingga kadar yang tidak dapat terdeteksi.Tumor berisiko rendah dosis LT4 disesuaikan
sehingga TSH dibawah rentang normal, namun masih terdeteksi.
Evaluasi dari hasil terapi diharapkan konsentrasi TSH mengalami pemantauan yang
paling sensitif dan akurat serta menggunakan parameter yang spesifik untuk penyesuaian
penggunaan dosis levothyroxine. Konsentrasi TSH dan T4 harus diperiksa setiap 6 minggu
sampai tercapai keadaan euthyroid. Konsentrasi serum T4 dapat berguna dalam mendeteksi
ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan, malabsorpsi atau perpindahan bioekivalensi produk
levothyroxine. TSH juga dapat digunakan untuk membantu mengidentifikasi ketidakpatuhan.
Pada pasien hipotiroid disebabkan oleh hipotalamus atau kegagalan hipofisis, pengentasan
sindrom klinis dan pemulihan serum T4 ke rentang normal adalah satu-satunya kriteria yang
tersedia untuk memperkirakan ketepatan atau penggantian dosis levothyroxine.

2. HIPERTIOIDISME

Gambar 1. Algoritme evaluasi hasil laboratorium thyroid


Algoritme evaluasi hasil laboratorium untuk penyakit thyroid adalah sebagai berikut (Souza & Souza,
2005) :
1. Apakah pasien mengalami salah satu dari gejala disfungsi tiroid sebagai berikut atau kriteria
di bawah
a. Hipotiroidisme : kenaikan berat badan, kebingungan, intoleransi dingin, konstipasi,
myalgia, dan paraesthasias.
Hipertiroidisme : restlessness, insomnia, intoleransi panasm palpitasi,
ophthalmopathy, diare, lemah, tremor, dan takikardi.
b. Prevalensi sebesar 4% pada pasien lebih dari 60 tahun dan 13% dari psychiatric
patients memiliki kadar tiroid yang tidak normal.
c. Beberapa penelitian membuktikan bahwa hipotiroid subklinis dapat menyebabkan
disfungsi ventrikel, penurunan pendengaran, dan peningkatan permeabilitas kapiler,
namun hanya 1 dari 4 pasien membutuhkan pengobatan lebih lanjut.
d. Hashimotos disease berhubungan dengan penyakit autoimun seperti anemia
pernisiosa, lupus, dan thrombocytopenic purpura. Pengobatan dilakukan dengan Lthyroxine.
2. Jika pasien memiliki salah satu dari kriteria di no 1, lakukan uji ultrasensitive thyroid
stimulating hormone (uTSH)
3. Jika tidak, periksa kembali apakah pasien memiliki penyakit autoimun, memiliki keluarga
dengan penyakit tiroid, atau pernah mendapatkan pengobatan penyakit tiroid, jika iya lakukan

uji ultrasensitive thyroid stimulating hormone (uTSH), namun jika tidak, tidak perlu
pengujian lebih lanjut.
4. Ketika kadar TSH rendah, lakukan pemeriksaan kadar FT 3 (Free T3) dan FT4 (Free T4)
dengan thyroid autoantibody panel. Jika hasilnya adalah TSH rendah dan FT 3 atau FT4
meningkat maka pasien mengalami hipertiroid, kemungkinan mengalami Graves disease.
Jika kadar TSH rendah namun FT 3 dan FT4 normal maka pasien mengalami hipertiroid
subklinik. Jika TSH rendah, normal ataupun tinggi dengan FT 4 yang rendah lanjutkan
pemeriksaan dengan penyakit hipotalamus atau pituitary. Pada pasien pederita hipertiroid,
ditemukan beberapa keadaan seperti anemia makrositik, peningkatan kreatinin fosfat,
hiperlipidemia, hiperkalsemia, peningkatan alkalin fosfatase, dan penurunan granulosit.
5. Ketika kadar TSH tinggi, lakukan pemeriksaan kadar FT 4 dengan thyroid autoantibody panel.
Jika hasilnya normal maka pasien mengalami hipotiroid subklinis, namun jika hasilnya
rendah maka pasien mengalami hipotiroidisme.

Gambar 2. Algoritme terapi Hipertiroidisme


TERAPI HIPERTIROIDISME
Terapi Nonfarmakologi/Pembedahan:
Operasi penghilangan kelenjar tiroid (thyroidectomy) dilakukan untuk pasien dengan berat
kelenjar >80 g, severe ophtalmopathy, atau tidak mentolerir obat antitiroid
Jika thyroidectomy dilakukan, maka pasien diberikan propylthiouracil (PTU) atau methimazole
(MMI) sampai pasien secara biokimia euthyroid (sekitar 6-8 minggu), dilanjutkan dengan
pemberian iodide (500mg/hari) selama 10-14 hari sebelum operasi untuk menurunkan
vaskularitas dari kelenjar. Levotiroksin juga dapat diberikan untuk mempertahankan keadaan
euthyroid saat thionamides dilanjutkan

Penggunaan propanolol beberapa minggu sebelum operasi dan sekitar 7-10 hari setelah operasi
bertujuan agar detak jantung pasien kurang dari 100 detak/menit, kadang dikombinasikan
propanolol dan potassium iodide. Untuk pasien asma dapat menggunakan diltiazem 60 mg 4 kali
sehari atau 120 mg tiga kali sehari
Komplikasi yang terjadi akibat pembedahan diantaranya adalah hipotiroidisme yang persistent
atau recurrent (0,6-18%), hipotiroidisme (sampai 49%), hipoparatiroidisme (sampai 4%), dan
kelainan pita suara (sampai 5%). Hipotiroidisme yang sering terjadi setelah pembedahan
mmebutuhkan follow-up secara berkala untuk identifikasi dan pengobatan.

Terapi Farmakologi:
Pasien hipertiroidisme dengan nodular goiter, pasien Graves disease dengan ophthalmopathy,
pasien geriatri, pasien yang tidak mentolerir obat antitiroid dapat diobati dengan radioactive
iodine (RAI).
Pasien hipertiroidsime dengan Graves disease tanpa ophthalmopathy diobati dengan methimazole
30-40 mg per hari.
Dilakukan evaluasi terhadap efek samping dari penggunaan obat. Jika tidak terjadi efek samping
lanjutkan penggunaan obat dengan mengevaluasi kadar FT 4 dalam tubuh 4-6 minggu kemudian,
jika kadar hormone thyroid sudah stabil (euthyroid) lanjutkan pengobatan dengan maintenance
dosis yaitu methimazole 5-10 mg per hari. Jika hasil lab menunjukkan hypothyroid maka
pertimbangkan penggunaan levotiroksin 75-100 mcg per hari.
Jika terjadi efek samping berupa kemerahan pada kulit (mucopapular rash) yang ringan maka
lanjutkan terapi methimazole dengan penambahan antihistamin, namun jika persisten, ganti
methimazole dengan golongan thioamida lainnya, jika tidak terjadi resolusi maka pertimbangkan
penggunaan radioactive iodine atau pembedahan.
Jika terjadi efek samping berupa sore throat, demam, dan ISPA kecuali pasien agranulositosis,
hentikan pemberian methimazole, lakukan pemeriksaan WBC (Whole Blood Cells) dan LFT
(Liver Function Test), jika tidak terjadi resolusi maka pertimbangkan penggunaan radioactive
iodine atau pembedahan.
Jika terjadi efek samping berupa mual, muntah, dan nyeri abdomen, kecuali pasien dengan
penyakit hepatitis, maka hentikan pemberian methimazole, lakukan pemeriksaan WBC (Whole
Blood Cells) dan LFT (Liver Function Test), jika tidak terjadi resolusi maka pertimbangkan
penggunaan radioactive iodine atau pembedahan.

BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Yang berpengaruh terhadap pelepasan hormon tiroid dari kelenjar tiroid adalah
hipotalamus. Pembentukan, penyimpanan dan sekresi hormon tiroid melibatkan langkahlangkah penyerapan iodida, sintesis triglobulin, oksidasi iodida, iodinasi tirosin,
penggabungan T1 T2, pinositosis, sekresi hormon tiroid, dan transpor di darah
Penyakit/kelainan yang dapat terjadi pada hormon tiroid adalah hipertiroidisme dan
hipotiroidisme. Obat yang dapat digunakan dalam pengobatan penyakit/kelainan pada pada
hormon tiroid adalah tioamida, iodida, adrenoreseptor blocking agent, radioaktif iodin, dan
inhibitor ion (penghambat ion iodida)

DAFTAR PUSTAKA

Ganong, William F.2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22 (Terj) Ganongs Review
Of Medical Phsyiology (22nd ed.). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Goodman and Gilman. (2006). Goodman and Gilmans: The Pharmacological Basis of
Therapeutics. (K. L. P. Laurence L.Brunton , John S.Lazo, Ed.) (11th ed.). United States
of America: Mc Graw Hill. http://doi.org/10.1036/0071422803
Katzung, B. G., Francisco, S., Akporiaye, E. T., Aminoff, M. J., Francisco, S., Basbaum, A. I.,
Chrousos, G. P. (2006). Basic and Clinical Pharmacology (10th ed.). San Fransisco:
Mc Graw Hill.
Sherwood, L. (2010). Human Physiology: From Cells to Systems (7th ed.). USA: Yolanda
Cossio.
Silverthorn, D. U. (2010). Human Pshysiology: An Integrated Approach (5th ed.). San
Fransisco: Pearson Benjamin Cummings.
Tortora, G. J., Wiley, J., Roesch, B., Wojcik, L., Salisbury, B., Gerdes, K., & Grossman, H.
(2009). Principles Of Anatomy And Physiology (12th ed.). United States: John Wiley and
Sons, Inc.
Drugbank.ca, (2015). DrugBank: Carbimazole (DB00389). [online] Available at:
http://www.drugbank.ca/drugs/DB00389 [Accessed 3 Oct. 2015].
Drugbank.ca, (2015).

DrugBank: Methimazole

(DB00763). [online] Available

at:

http://www.drugbank.ca/drugs/db00763 [Accessed 3 Oct. 2015].


Drugbank.ca, (2015). DrugBank: Propylthiouracil (DB00550). [online] Available at:
http://www.drugbank.ca/drugs/DB00550 [Accessed 3 Oct. 2015].
Drugs.com, (2015). Methimazole - FDA prescribing information, side effects and uses.
[online] Available at: http://www.drugs.com/pro/methimazole.html [Accessed 3 Oct.
2015].
Drugs.com, (2015). Propylthiouracil - FDA prescribing information, side effects and uses.
[online] Available at: http://www.drugs.com/pro/propylthiouracil.html [Accessed 3 Oct.
2015].
Goodman, L., Brunton, L., Chabner, B. and Knollmann, B. (2011). Goodman & Gilman's
pharmacological basis of therapeutics. New York: McGraw-Hill.
Helms, R. (2006). Textbook of therapeutics. Philadelphia, Pa.: Lippincott Williams &
Wilkins.

Kuiper, G., Kester, M., Peeters, R. and Visser, T. (2005). Biochemical Mechanisms of
Thyroid Hormone Deiodination. Thyroid, 15(8).
Medicines.org.uk, (2015). Carbimazole 5 mg Tablets - Summary of Product Characteristics
(SPC)

(eMC).

[online]

Available

at:

https://www.medicines.org.uk/emc/medicine/26934 [Accessed 3 Oct. 2015].


Helms, R. (2006). Textbook of therapeutics. Philadelphia, Pa.: Lippincott Williams & Wilkins
Souza, T., & Souza, T. (2005). Differential diagnosis and management for the chiropractor.
Sudbury, Mass.: Jones and Bartlett Publishers
.

Anda mungkin juga menyukai