Anda di halaman 1dari 34

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hormon Tiroid
1. Fisiologi Hormon Tiroid
Hormon tiroid adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar tiroid berupa
T3 (triiodotironin) dan T4 (tiroksin). Unit fungsional dari struktur kelenjar tiroid
adalah folikel, struktur yang berbentuk bulat seperti kista berukuran 0,02-9 mm.
Setiap folikel terdiri dari kumpulan pusat koloid yang dikelilingi oleh epitel
berlapis tunggal sel folikel (tirosit) yang terletak pada lamina basal (Gambar.1).
Jaringan interstitial yang kaya dengan aliran pembuluh kapiler dan limfatik
memisahkan folikel ini dengan sekitarnya. Sel-sel folikel dapat bervariasi bentuk
dari skuamos, kuboid hingga kolumnar, tergantung pada tingkat aktivitas, yang
berada di bawah pengaruh dari Thyrotropin Stimulating Hormone (TSH). Saat
istirahat tanpa stimulasi TSH, folikel tampak besar, dilapisi oleh skuamosa atau
epitel kuboid yang berlimpah koloid luminal. Tirosit aktif adalah sel kolumnar
yang memiliki aktivitas yang sangat terpolarisasi. Sintesis dan eksositosis dari
tiroglobulin terjadi pada apeks sel, sementara endositosis tiroglobulin dari
penyimpanan koloid terjadi pada permukaan basal. Sekresi TSH menyebabkan
endositosis koloid di epitel luminal (Standing, 2005; Ganong, 2008).

Folikel tiroid

commit to user
Gambar 2.1. Struktur kelenjar tiroid (Standing, 2005)

5
perpustakaan.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id

Fungsi utama dari kelenjar tiroid adalah untuk mensintesis dua hormon,
triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4), yang memainkan peran penting dalam
regulasi berbagai fungsi metabolisme seluruh tubuh. Tidak seperti hormon
lainnya, T3 dan T4 mengandung iodium, yang merupakan bahan baku penting dan
terdiri dari sekitar 65% dari berat T4. Mereka dibebaskan dari tiroid menanggapi
mekanisme umpan balik pada sumbu hipofisis-hipotalamus. TSH menstimulasi
sekresi hormon tiroid, TSH disekresi oleh lobus anterior dari kelenjar pituitari.
Sekresi TSH oleh hipofisis diatur oleh Thyrotropin-Releasing Hormone (TRH)
yang disekresi oleh hipotalamus seperti terlihat pada Gambar 2.2. (Standing,
2005; Ganong, 2008; Loevner dan Laurie, 2011).

Gambar 2.2. Mekanisme kontrol produksi hormon tiroid


(Standing, 2005)

Kebanyakan iodium diet diubah menjadi iodida (I-) sebelum penyerapan


melalui usus, hal ini terutama terjadi di dalam usus kecil. Konsentrasi plasma
normal iodida kurang dari 10 mg/L. Tiroid dan ginjal mengeluarkan sebagian
besar iodida plasma dan total clearance efektif adalah sekitar 45 sampai 60 mg/
menit, yang sesuai dengan penurunan iodida plasma sekitar 12% per jam. Selain
itu, kelenjar ludah, lambung, pleksus koroid, keringat, mengeluarkan sejumlah
kecil iodida. ASI juga mengandung sejumlah besar iodida, dan susu ini adalah
sumber dari hampir semua iodium bayi yang baru lahir. Setelah diserap oleh usus,
iodida beredar secara aktif dan terkonsentrasi di basal-lateral membran plasma
dari tirosit dengan menggunakancommit to user
Natrium Iodida Symporter (NIS). NIS adalah
perpustakaan.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id

kunci protein membran plasma yang membentang di membran sel dan


mengkatalisis akumulasi aktif iodida dalam kelenjar tiroid. Ini adalah langkah
penting pertama dalam biosintesis hormon tiroid dan proses ini diperkuat oleh
TSH seperti terlihat pada Gambar 2.3. (Standing, 2005).

B
Gambar 2.3. Arsitektur sel folikel tiroid (Standing, 2005)
A. Struktur histologi kelenjar tiroid
B. Fisiologi hormon
committiroid.
to user
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

Tiroid, kelenjar ludah dan mukosa lambung berbagi derivasi embriologi


umum dari saluran pencernaan primitif, dan di daerah masing-masing, transportasi
iodida dihambat oleh tiosianat, perklorat, dan glikosida jantung. Dengan
demikian, mekanisme transpor aktif iodida ditingkatkan oleh TSH atau diblokir
oleh perklorat atau tiosianat. Setelah iodida berada dalam tirosit, dia diangkut ke
permukaan membran plasma apikal dari sel, dekat lumen folikel. Retikulum
endoplasma dari tirosit mensintesis protein kunci yaitu thyroid perokxidase (TPO)
dan thyroglobulin (TG), yang mana tyrosyls ini berfungsi sebagai substrat untuk
iodinasi dan fungsi hormon. Dengan demikian, fungsi utama TG adalah untuk
menyediakan backbone polipeptida untuk sintesis dan penyimpanan hormon
tiroid. Hal ini juga berfungsi sebagai depot penyimpanan iodium dan pengambilan
iodium ketika ketersediaan iodium eksternal langka atau tidak teratur. TPO
mengurangi peroksida, meningkatkan keadaan oksidasi iodida (I-) menjadi iodin
(I+), dan menempelkan (I+) ke tyrosyls di TG. Oksidasi iodida ini dihambat oleh
prophylthiouracil dan turunan imidazol. Artinya, obat antitiroid ini terutama
bertindak dengan mengganggu oksidasi iodida. Kelainan genetik pada NIS, TPO,
dan TG juga dapat mengganggu proses ini dan menyebabkan gondok dan
hipotiroidisme. Iodinasi awal TG menghasilkan monoiodinated tiroglobulin
(MIT) dan diiodinated tiroglobulin (DIT). Pasangan iodinasi lanjutan dua residu
dari DIT membentuk T4, sedangkan MIT dan DIT menghasilkan T3 terlihat pada
gambar 2.4. (Loevner dan Laurie, 2011).

Gambar 2.4. Diagram produksi hormon tiroid dari tirosin


(Loevner dan Laurie, 2011)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

Sebuah Tiroglobulin mengandung sekitar 0,5% iodium, 5 residu dari MIT,


5 residu dari DIT, 2,5 residu dari T4, dan 0,7 residu dari T3. Peningkatan iodium
meningkatkan rasio DIT/MIT dan T4/T3, sementara kekurangan iodium
mengurangi rasio ini. Iodinasi Tyrosyl dapat diblokir oleh turunan sulfonamide.
TSH mengikat reseptor di membran plasma basal dari tirosit dan ini menginduksi
pembentukan pseudopod pada permukaan sel apikal. Hal ini menyebabkan
endositosis tetesan koloid dan meningkatkan kecepatan di mana TG ditarik
kembali ke tirosit tersebut. Setelah T3 dan T4 yang mengandung TG berada
dalam sel, selanjutnya disampaikan kepada endosomes dan lisosom, dan dicerna
oleh protease. Setelah diproses, T4 dan T3 dilepaskan ke dalam sirkulasi.
Pelepasan enzim proteolitik T3 dan T4 dari TG diaktifkan oleh TSH dan dihambat
oleh sejumlah besar iodium. Sebagian besar kontrol TSH pada tiroid adalah
dengan ekspresi gen protein kunci. Pasokan iodium yang terlalu besar atau terlalu
kecil juga mengganggu sintesis yang adekuat. Kelenjar tiroid normal
mempertahankan konsentrasi iodida bebas 20 sampai 50 kali lebih tinggi dari
konsentrasi plasma. Pada kelenjar tiroid juga terdapat ion lainnya termasuk
bromida, astatine, pertechnetate, fenat, dan klorat (Loevner dan Laurie, 2011).
Meskipun kelenjar tiroid normal memproduksi sekitar 80% T4 dan 20% T3,
T3 memiliki sekitar empat kali potensi hormon T4. T4 terdapat dalam darah
dalam konsentrasi yang 20 sampai 50 kali lipat lebih besar dari T3. Dalam
sirkulasi terdapat beberapa protein pembawa yang mengangkut hormon tiroid.
Tiroksin binding globulin (TBG) membawa sekitar 70% dari T3 dan T4 (terutama
T4), tiroksin binding preglobulin membawa sekitar 5% dari T3 dan 25% dari T4,
dan albumin membawa hormon yang tersisa (terutama T3). Bentuk aktif dari T3
dan T4 adalah bentuk bebas, yang hanya mewakili 0,3% dari T3 dan 0,03% dari
T4 dalam keseimbangan dengan hormon terikat tidak aktif. Hanya T3 dan T4
bebas ini yang tersedia di jaringan perifer untuk fungsi hormon tiroid. Tiroksin
binding globulin meningkat selama kehamilan dan dengan pemberian estrogen
serta menurun dengan pemberian androgen. T4 dikonversi dalam jaringan oleh sel
target menjadi T3, hormon kuat yang mengikat inti protein reseptor protein di
sitoplasma. Kompleks protein reseptor hormon ini kemudian mengikat elemen
commit
respon hormon yang sesuai pada DNA.toHal
userini secara langsung berpengaruh
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

terhadap tingkat transkripsi, yang mengarah ke peningkatan messenger RNA


(mRNA) dan sintesis protein. Hormon tiroid memiliki banyak efek fisiologis
diantaranya seperti tertera dalam tabel 2.1. berikut :

Tabel 2.1. Efek fisiologis hormon tiroid


Jaringan Pengaruh Mekanisme
Sasaran
Jantung Kronotropik Meningkatkan jumlah dan afinitas reseptor B-
adrenergik
Inotropik Meningkatkan respon terhadap katekolamin
Meningkatkan proporsi alfa-miosin rantai berat
Jaringan Katabolik Merangsang lipolisis
adiposa
Otot Katabolik Meningkatkan pemecahan protein
Tulang Perkembangan Mempromosikan pertumbuhan normal dan
dan metabolik tulang
Mempercepat pertukaran (turnover) tulang
Sistem saraf Perkembangan Mempromosikan perkembangan otak normal
Usus Metabolik Meningkatkan laju serapan karbohidrat
Lipoprotein Metabolik Merangsang pembentukan reseptor LDL
Lain-lain Kalorigenik Merangsang konsumsi oksigen oleh jaringan
aktif yang aktif secara metabolik (kecuali testis,
uterus, Kelnjar limfe, limpa, hipofisis anteriot)
Meningkatkan laju metabolik
Sumber : Barret, 2010

Dua lobus tiroid pada janin dapat diketahui saat usia kehamilan 7 minggu,
sedangkan karakteristik sel folikel tiroid dan pembentukan koloid terlihat pada
usia 10 minggu. Sintesis tiroglobulin terjadi mulai minggu ke 4 dan serapan
iodium terjadi pada 8-10 minggu, sedangkan sintesis dan sekresi tiroksin (T4) dan
triiodothyronine (T3) terjadi pada usia kehamilan 12 minggu (LaFranche, 2011).
Pengaruh hormon tiroid pada fungsi fisiologis jantung sangat dipengaruhi oleh
kadar serum T3. Hal ini karena jantung tidak mempunyai aktivitas 5’-
monodeiodinase, sehingga ambilan T3 dari peredaran darah merupakan sumber
hormon tiroid utama pada kardiomiosit (Klein I, 2007). T3 bekerja pada
kardiomiosit secara genomik dan non-genomik. T3 bekerja secara genomik
melalui ikatan dengan TR yang terletak dalam nukleus kardiomiosit. Aktivasi
kompleks TR-RXR-TRE oleh T3 meningkatkan proses transkripsi dan ekspresi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

gen-gen yang menyandi protein-protein struktural dan pengatur beserta enzim-


enzim penting dalam kardiomiosit (Dillmann, 2010).
Gen-gen pada kardiomiosit yang ekspresinya dipengaruhi oleh kompleks
Triiodotironin-Thyroid Receptor- Retinoid X Receptor-T3 response element (T3-
TR-RXR-TRE) dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis. Jenis pertama adalah gen
yang diatur secara positif, yaitu gen-gen yang mengalami peningkatan aktivitas
transkripsi akibat T3. Gen ini antara lain gen alfa-miosin rantai berat, Ca2+-
ATPase retikulum sarkoplasma, Na+-K+-ATPase, reseptor adrenergik beta-1,
atrial natriuretic hormone (ANP), dan voltage-gated potassium channels (Klein I,
2007). Gen alfa-miosin rantai berat menyandi protein kontraktil rantai berat
alfamiosin yang merupakan serabut otot tipe cepat dalam filamen tebal pada
kardiomiosit. Gen Ca2+-ATPase retikulum sarkoplasma menyandi protein
Sarcoplasmic Reticulum Calsium (SERCa2+) dalam membran retikulum
sarkoplasma, yang mengatur ambilan kalsium dari sitoplasma ke dalam retikulum
sarkoplasma selama fase diastolik jantung (Dillmann, 2010).
Ambilan kalsium ini menurunkan kadar kalsium dalam sitoplasma yang
penting dalam memperlama fase diastolik. Kedua gen tersebut berperan dalam
pengaturan fungsi sistolik dan diastolik jantung. Gen Na+/K+-ATPase dan voltage-
gated potassium channels mengatur respons elektrik dan kimiawi kardiomiosit.
T3 meningkatkan ekspresi protein pengatur transportasi ion tersebut yang
berperan dalam menghantarkan aktivitas elektrik kardiomiosit. Gen reseptor
adrenergik beta-1 menyandi protein reseptor beta-1 pada membran plasma
kardiomiosit, yang berfungsi sebagai penghantar respons jantung terhadap pacuan
simpatis dan adrenergik (Klein, 2007; Dillmann, 2010). Ekspresi reseptor beta-1
mengalami peningkatan akibat pengaruh T3. Jenis kedua adalah gen yang diatur
secara negatif, yaitu gen-gen yang mengalami penurunan aktivitas transkripsi
akibat T3. Gen ini antara lain gen beta-miosin rantai berat, fosfolamban, adenilil
siklase tipe V dan VI, thyroid hormone receptor-1, dan Na+/Ca2+ exchanger. Gen
beta-miosin rantai berat menyandi protein miosin rantai berat tipe beta pada
filamen tebal yang merupakan ATPase miosin tipe lambat. T3 menurunkan
ekspresi gen beta-miosin rantai berat sekaligus menaikkan ekspresi alfa-miosin
commit
rantai berat, menghasilkan efek to user dan peningkatan kontraktilitas
hipertrofi
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

kardiomiosit (Dahl, 2008). Fosfolamban merupakan penghambat Ca2+-ATPase


retikulum endoplasma dalam memompa kalsium ke dalam retikulum sarkoplasma.
T3 menurunkan ekspresi gen fosfolamban dan sekaligus meningkatkan aktivitas
SERCa2+. Pada hipotiroidisme, ekspresi fosfolamban pada kardiomiosit
meningkat, menyebabkan hambatan ambilan kalsium ke dalam retikulum
sarkoplasma sehingga kalsium sitoplasma meningkat dan mengganggu fase
diastolik (Dillmann, 2010). Kadar nilai rujukan hormon tiroid tergantung dari usia
seperti tertera dalam tabel 2.2.

Tabel 2.2. Nilai rujukan hormon tiroid

Free Thyroxine
Free Triiodo Thyroid
Thyroxine Triido Binding
Usia Thyroxine thyronine Stimulating
(mcq/dl) thyronine Globulin
(ng/dl) (ng/dl) Hormone
(ng/dl) (mg/dl)

Cord
blood 0,6-17,5 1,03-1,73 14-86 0,09-0,36 0,7-4,7 <2,5-17,4

1-3 hr 11,0-21.3 0,6-2,0 100-380 0,17-0,57 <2,5-13,3


1-4 mgg 8,2-16,6 0,7-1,7 99-310 0,17-0,65 0,5-4,5 0,6-10,0
1-12 bln 7,2-15,6 0,8-1,8 102-264 0,24-0,65 1,6-3,6 0,6-6,3
1-5 th 7,3-15 1,0-2,1 105-269 0,29-0,9 1,3-2,8 0,6-6,3
6-10 th 6,4-13,3 0,8-1,9 94-241 0,34-0,72 1,4-2,6
11-15 th 5,6-11,7 0,59-2,45 83-213 0,37-0,7 1,4-2,6 0,6-6,3
16-20 th 4,2-11,9 0,54-2,23 90-210 0,42-0,68 1,4-2,6 0,2-7,6

Sumber : Lamia, 2014

2. Patofisiologi Euthyroid Sick Syndrome Pada Kondisi Sakit Kritis


Kondisi sakit kritis akan mempengaruhi kerja dari hormon tiroid yang
tadinya normal. Keadaan ini disebut sebagai Euthyroid Sick Syndrome (ESS) atau
Non Thyroidal Illness (NTI) atau low T3 syndrome atau low T3-low T4 Syndrome
yang mana terjadi gangguan pada aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid yang terjadi
selama sakit kritis dan menghasilkan penurunan kadar hormon tiroid tanpa bukti
ada penyakit tiroid atau hipotalamus-hipofisis sebelumnya. Setelah pemulihan
dari ESS, hasil tes kelainan fungsi tiroid ini harus kembali normal. Perubahan
yang paling menonjol adalah triiodotironin serum rendah (T3) dan peningkatan
reverse T3 (rT3), yang mengarah ke istilah umum "sindrom low T3." Thyroid
Stimulating Hormone (TSH), tiroksin (T4), T4 bebas (FT4) juga dipengaruhi
commit to user
dalam derajat yang berbeda berdasarkan tingkat keparahan dan durasi dari ESS.
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

Ketika berat penyakit meningkat maka derajat keparahan ESS pun meningkat dan
secara bertahap akan normal kembali ketika pasien pulih, seperti yang
ditunjukkan pada gambar 2.5. dan 2.6. (Serhat, 2015).

Gambar 2.5. Euthyroid Sick Syndrome (Serhat, 2015).

Gambar 2.6. Hubungan antara konsentrasi serum hormon tiroid dan


tingkat keparahan Euthyroid Sick Syndrome.
(Serhat, 2015).

Kadar TSH dapat tinggi, sedang ataupun rendah dipengaruhi oleh derajat
penyakit, tetapi sebagian besar kadar TSH pasien adalah di atas 0,05 μIU/mL.
Pada pasien di rumah sakit yang mengalami NTI, sekitar 10% memiliki nilai
TSH abnormal rendah, insiden tertinggi terjadi pada kelompok pasien dengan
tingkat keparahan paling tinggi. Pada pasien dengan tingkat keparahan paling
tinggi yang nyata terlihat adalah kadar T4 rendah. Tiroid menghasilkan T4 dalam
jumlah signifikan lebih besar dari T3 aktif, dalam rasio 17:1 (T4:T3). Tingkat
commit
masing-masing hormon yang beredar to user
juga ditentukan oleh konversi extra tiroid
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

T4 ke T3, yang pada manusia sehat menyumbang lebih dari 80% dari produksi
T3. Aktivasi dan inaktivasi hormon tiroid dilakukan oleh kelompok tiga
iodothyronine deiodinase, yang masing-masing merupakan selenoprotein, yang
dikodekan oleh gen terpisah. Deiodinase D1, D2 dan D3 memiliki distribusi
jaringan, afinitas substrat dan peran fisiologis yang berbeda (Bianco dan Kim,
2006).
Semua deiodinase adalah membran integral protein, dan meskipun lokasi
selular mereka bervariasi, semua domain katalitik mereka berada di dalam sitosol
sel (Friesema EC et al., 2006). D1 dan D2 mengaktifkan T4 dengan menghapus
atom iodium dari cincin luarnya (5'deiodinasi), membentuk T3. Di sisi lain, D3
menginaktifasi baik T3 dan T4 dengan menghapus atom iodium dari inner ring
(5-deiodinasi) menghasilkan masing-masing T2 dan rT3, reaksi yang juga dapat
dikatalisasi oleh D1. Isoenzim D1 dan D3 terletak dalam membran plasma,
sementara D2 masih dipertahankan dalam retikulum endoplasma. T3 dihasilkan
dari D2 sehingga berpotensi memiliki akses ke inti karena lebih dekat, sementara
T3 diproduksi oleh D1 lebih mudah diekspor ke plasma (Seth, 2009). Perbedaan-
perbedaan dalam lokasi intraseluler mungkin menjelaskan mengapa D2 muncul
memasok T3 untuk penggunaan lokal dalam inti sel terutama dalam jaringan
seperti otak, hipofisis dan jaringan adiposa. Sementara jaringan yang
mengekspresikan tinggi D1 seperti hati dan ginjal mengekspor T3 yang di
hasilkan ke plasma (Bianco dan Kim, 2006).

Gambar 2.7. Reaksi deiodonasi (Bianco dan Kim, 2006)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

Perbedaan tipe deiodenase terlihat pada tabel 2.3.

Tabel 2.3. Perbedaan Deiodinasi tipe 1,2 dan 3


Tipe Deiodinasi D1 D2 D3
Substrat rT3>T4>t3 T4>rT3 T3>T4

Distribusi Hati, ginjal, otot, Otak, Pituitari Otak, plasenta,


kelenjar tiroid jaringan fetus
Fungsi Produksi T3 Produksi T3 lokal Degradasi T3
plasma
Hipotiroid Menurun Meningkat Menurun
Hipertiroid Meningkat Menurun Meningkat

Sumber : Cooper, 2008

Pada pasien yang memiliki penyakit non tiroid yang berat, tingkat TSH
dapat menurun (derajat penurunan berhubungan dengan tingkat keparahan
penyakit) dan biasanya kembali normal atau normal rendah dalam 24-48 jam
meskipun mungkin tetap rendah dengan penyakit yang berkepanjangan dan berat.
Saat sakit terjadi penurunan cepat dalam FT3 (maksimal dalam 4 hari) dan
proporsional untuk keparahan penyakit dan peningkatan rT3 (maksimal pada 12
jam) dan tidak berhubungan dengan keparahan penyakit serta sering kembali
normal dalam waktu 2 minggu. Hal ini disebabkan oleh penghambatan dari 5-
monodeiodination perifer (karena peningkatan inhibisi oleh sitokin yang beredar,
meningkatnya level kortisol dan starvation) yang mengurangi konversi perifer T4
menjadi T3 dan mengurangi clearance rT3. Tingkat T4 total normal atau rendah
pada pasien yang sakit berat dan waktu paruh plasma T4 berkurang dari 7 hari ke
1-5 hari. Tidak adanya peningkatan TSH akibat T3 yang rendah disebabkan oleh
perubahan di set-point pada tingkat hipotalamus-hipofisis dengan hasil akhir
serum TSH oleh pengaruh TRH adalah normal. Meskipun kadar FT3 menurun
namun keadaan klinis eutiroid dipertahankan dengan cara peningkatan sintesis
reseptor T3 jaringan. Selama fase pemulihan penyakit, sering ada peningkatan
sementara kadar TSH sampai FT4 dan kadar FT3 kembali ke normal (Yu dan
Koenig, 2006).
Umumnya, fungsi tes tiroid abnormal pada pasien yang sakit akut (atau
selama kelaparan), tanpa disertai tanda-tanda klinis dari penyakit tiroid yang perlu
diobati. Studi fungsi tiroid sebaiknya diulang setelah penyakit akut telah
commit to user
membaik. rT3 biasanya meningkat pada penyakit non-tiroid dan rendah pada
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

pasien hipotiroid yang sakit, namun kadar tingkat rT3 belum andal untuk
membedakan antara dua gangguan ini. Tingkat TSH sering memberikan refleksi
yang wajar dari status fungsi tiroid bahkan pada pasien dengan penyakit akut
(Zeold et al., 2006). Skema dibawah (gambar 2.8.) ini menggambarakan
perubahan pada aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid hormon yang terjadi selama
proses sakit kritis.

Gambar 2.8. Aksis Hipotalamus-hipofisis-tiroid saat sehat dan sakit


(Mebis dan Berghe, 2009).

Tingkat keparahan Euthyroid Sick Syndrome (ESS) atau Non Thyroidal Illness
(NTI) dapat ditunjukkan dengan hasil laboratorium hormon tiroid sesuai tabel 2.4.
berikut.

Tabel 2.4. Derajat keparahan NTI


Derajat beratnya Hormon
penyakit fT3 fT4 rT3 TSH
Ringan ↓ N ↑ N
Sedang ↓↓ N, ↓, ↑ ↑↑ N, ↓
Berat ↓↓↓ ↓ ↑ ↓↓
Masa kesembuhan ↓ ↓ ↑ ↑
Sumber : Mehrdad et al., 2013; Larsen et al., 2008

Sedangkan untuk membedakan kondisi ESS/NTI dengan kondisi hipotiroid,


commit
interpretasi hasil pemeriksaan hormon to user
tiroid dapat dilihat dalam tabel 2.5. berikut.
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

Tabel 2.5. Perubahan hormon tiroid pada kondisi ESS/NTI dan hipotiroid
Primary Central Non-thyroidal
hypothyroidsm hypothyroidsm illness
T4 Rendah Rendah Normal atau
rendah
T3 Rendah atau Rendah atau Rendah
mendekati normal mendekati normal
rT3 Rendah atau Rendah atau Meningkat atau
normal normal normal
TSH
- Single Meningkat Rendah atau Normal
sample normal
- Pulsatile Meningkat Rendah Rendah
secretion
Sumber : Mebis dan Berghe, 2009

Masih merupakan kontroversi, apakah perubahan kadar hormon tiroid pada


sakit kritis atau ESS merupakan suatu proses respon adaptif atau maladaptif pada
penyakit. Beberapa penjelasan untuk mencari penyebab ESS diantaranya adalah
akurasi tes uji di ESS, sitokin, deiodinasi, penghambatan sekresi TRH dan TSH,
penghambatan transportasi plasma membran iodotironin, penurunan atau desialasi
Thyroid-binding, pengurangan ekspresi Thyroid Receptor (TR) serta DNA-binding
dan obat-obatan yang mempengaruhi fungsi tiroid. Perubahan-perubahan dalam
hasil tes fungsi tiroid dapat diamati pada sebagian besar penyakit akut dan
kronis.
Tabel 2.6. Contoh penyakit dengan gangguan fungsi tiroid
 Gastrointestinal diseases
 Pulmonary diseases
 Cardiovascular diseases
 Renal diseases
 Infiltrative and metabolic disorders
 Inflammatory conditions
 Myocardial infarction
 Starvation
 Sepsis
 Burns
 Trauma
 Surgery
 Malignancy
 Bone marrow transplantation
Sumber : Tognini et al.,commit to user et al., 2006
2009; Friesema
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

Secara umun patofisiologi terjadinya Euthyroid Sick Syndrome adalah (Seth,


2009) :
a. Penurunan aktivitas enzim iodothyronin 5’-monodeiodinase tipe 1 yang
menghasilkan penurunan konversi T4 menjadi T3 di perifer dan penurunan
metabolisme dari rT3. Deiodinase tipe I adalah sebuah selenoprotein, dan
kekurangan selenium adalah hal umum yang terjadi pada pasien sakit kritis.
Beberapa penulis berpendapat bahwa kekurangan selenium dapat berkontribusi
terhadap kerusakan enzim deiodinase tipe I. Sitokin (misalnya, IL-1 beta, TNF-
alpha, interferon-gamma) menurunkan deiodinase tipe I messenger RNA
(mRNA) in vitro. Deiodinase tipe I tidak ada di hipofisis, di mana tingkat T3
berada dalam kisaran referensi, karena peningkatan deiodinasi lokal. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan konversi T4 ke T3 intrapituitari ada karena
jenis deiodinase tipe II yang spesifik di hipofisis dan otak. Dari data yang ada
diduga D1 dan D2 tidak esensial untuk maintenance dari kadar T3. Mereka
lebih berperan penting dalam homeosatis hormon tiroid. D2 menjadi penting
dalam produksi T3 lokal dan D1 berperan penting dalam konservasi iodium di
jaringan perifer dan tiroid (Galton et al., 2009).
b. Perubahan fungsi di hipotalamus dan hipofisis menghasilkan penurunan sekresi
hormon TRH (Thyrotropin Releasing Hormon) dan TSH (Thyrotropin
Stimulating Hormon). Sitokin, kortisol, dan leptin, serta perubahan dalam
metabolisme hormon tiroid otak, mempengaruhi dalam penghambatan dan
sekresi TRH dan TSH.
c. Peningkatan level sitokin, interleukin-6 (IL-6) dan interleukin-1 (IL-1) dan
penurunan level leptin juga berperan dalam patofisiologi ESS. Sitokin
diperkirakan memainkan peran dalam ESS terutama IL-1, IL-6, Tumor
Necrosis Factor (TNF)-alpha, dan interferon-beta. Sitokin diperkirakan
mempengaruhi hipotalamus, hipofisis, atau jaringan lain, menghambat
produksi TSH, hormon pelepas tiroid (TRH), tiroglobulin, T3 dan tiroid
binding globulin. Sitokin juga diperkirakan menurunkan aktivitas deiodinase
tipe I dan mengurangi kapasitas mengikat inti reseptor T3. IL-1 memblok
kemampuan T3 untuk menginduksi D1 pada hepar tikus (Yu dan Koenig,
2006). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

d. Pemakaian dopamin, bedah pintas kardiopulmonal diduga berhubungan dengan


kejadian ESS. Dopamin diberikan dalam mendukung fungsi ginjal dan fungsi
jantung pada banyak pasien sakit kritis. Dopamin menghambat sekresi TSH
langsung, menekan produksi hormon tiroid yang sudah tidak normal.
Penghentian infus dopamin diikuti dengan peningkatan dramatis yang cepat
dari TSH, kenaikan T4 dan T3, dan peningkatan rasio T3 / rT3 (Ng, S.M. et
al., 2014). Kadar hormon tiroid turun selama dilakukan bedah bypass
cardiopulmonal pada anak (Shiva et al., 2011) dan pemberian T3 pasca bedah
bypass kardiopulmonal memperikan efek positif pada fungsi jantung (Haas dan
Camphausen. 2006).
Kondisi yang mempengaruhi hasil tes fungsi tiroid adalah (Serhat, 2015):
a. Pemakaian obat-obatan
Tabel 2.7. Obat-obatan yang mempengaruhi fungsi tiroid
Obat Mekanisme
Hipotiroidism Thionamide, lithium, perchlorate, Penghambatan sintesis hormon
aminoglutethimede, thalidomide tiroid
iodine and obat dgn kandungan iodine:
 Amiodarone
 Kontras radiografi
 Ekspektoran
 Kalium Iodine
 Betadin kumur
Antiseptik topikal

Cholestyramine, colestipol, aluminium hydroxide, Penurunan absorbsi T4


kalsium karbonat, sukralfat, iron sulfate,
raloxifine, omeprazole, lansoprazole, sevelame,
lanthanum carbonate

Interferon-alpha, interleukin-2 Immuno-dysregulation


Dopamine Supresi TSH
Sunitinib Possible destructive thyroiditis
Bexarotene Peningkatan clerance T4 &
supresi TSH

Hipertiroidism iodine,amiodarone stimulasi sintesis hormon tiroid


interfero-alpha, interleukin-2 Immuno-dysregulation

Obat penyebab tes androgens, danazol, glucocorticoids, nicotinic Kadar TBG serum yang rendah
acid
fungsi tiroid L-asparaginase Kadar TBG serum yang tinggi
abnormal tanpa estrogen, tamoxifen’raloxifene, methadine,
disfungsi kelenjar 5-fluouracil, clofibrate,heroin, mitotane
tiroid Salicylate, salsalate, furosemide, heparin, NSAIDs Penurunan T4 binding TBG
Phenytoin, carbamazepine, rifampin, Peningkatan clearance T4
phenobarbital
Dobutamine, glucocortikoid, ocreotid Supresi sekresi TSH
Amiodarone, glucocorticoids, agen kontras Kegagalan konversi T4 menjadi
(mis. Iopanoic acid), propylthiouracil, propanolol T3
Sumber : Economidou et al., 2011commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

b. Luka bakar
Pasien dengan luka bakar yang signifikan menunjukkan nilai-nilai khas profil
ESS, yaitu T3 dan FT3 rendah dengan peningkatan rT3, total T4 dan tingkat
FT4 mungkin sedikit menurun tetapi normal kembali setelah beberapa hari.
Sekresi TSH basal tidak berubah. Dalam sebuah studi dari sick eutiroid
syndrome pada pasien luka bakar, Gangemi dkk menemukan secara signifikan
tingkat lebih rendah FT3 dan TSH pada pasien cedera yang meninggal
dibandingkan pada mereka yang bertahan hidup. Sebuah hubungan yang
bermakna juga ditemukan antara konsentrasi FT3 dan keparahan luka bakar
pasien (Gangemi et al., 2008).
c. Puasa
Jumlah T4 biasanya tetap tidak berubah, tetapi sekresi tiroid mungkin
berkurang. T4 bebas dapat tetap, atau mungkin meningkat akibat penurunan
pengikatan T4 sekunder untuk peningkatan asam lemak bebas, yang meningkat
selama kelaparan. Total T3 dan T3 bebas serum menurun secara dramatis, rT3
umumnya meningkat, dan sekresi TSH basal, serta respon TSH untuk TRH
juga berkurang.
d. Malnutrisi kalori protein
Kelaparan mengubah hasil tes fungsi tiroid. Selama kelaparan jumlah T4
berkurang, T4 bebas tidak berubah, jumlah T3 berkurang secara signifikan, T3
bebas berkurang, dan rT3 naik secara signifikan. TSH basal tidak berubah atau
meningkat dan terjadi penundaan stimulasi TSH ke TRH. Semakin berat
malnutrisi yang terjadi, semakin rendah kadar T3 dan T4 pasien tersebut
(Kumar, et al., 2009).
e. Bedah
Jumlah T3 akan turun secara dramatis pada hari operasi dan tetap secara
signifikan menurun pasca operasi. Tingkat penurunan adalah terkait dengan
keparahan trauma bedah. Konsentrasi T3 bebas cepat turun ke tingkat rendah
pasca operasi, sejalan dengan penurunan total T3. T4 biasanya tidak berubah
pada hari operasi. Satu studi menunjukkan bahwa jumlah T4 menurun selama
operasi dengan anestesi epidural tetapi meningkat dengan anestesi umum.
commit to user
Persentase dari T4 bebas meningkat selama operasi dan pasca operasi akan
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

berkurang. Kadar TSH ditemukan tidak berubah selama operasi, kecuali


dengan operasi hipotermia, di mana TSH meningkat (Velissaris et al., 2009).
f. Penyakit ginjal
Hormon tiroid dapat dipengaruhi oleh fungsi ginjal dalam berbagai cara
mengingat heterogenitas disfungsi ginjal dan variasi dalam fungsi ginjal, yang
mungkin memiliki efek mendalam pada tiroid. Pada gagal ginjal kronis,
jumlah T4 dan T4 bebas dapat normal atau meningkat, jumlah T3 berkurang
secara signifikan, T3 bebas berkurang, rT3 tidak berubah, TSH basal dapat
berubah atau meningkat, dan respon stimulasi TSH ke TRH menurun. Banyak
kelainan dibalik ini membaik dengan transplantasi ginjal. Pada sindrom
nefrotik, presentasi klinis dan temuan tes fungsi tiroid seperti hipotiroidisme.
Total T4 dan T4 bebas bisa normal atau berkurang. Proteinuria yang signifikan
atau kehilangan TBG dan penggunaan steroid, bersamaan dapat menjelaskan
berkurangnya T4. Jumlah T3 berkurang secara signifikan, T3 bebas berkurang,
dan rT3 tidak berubah. Berbeda dengan hipotiroidisme primer, TSH basal
tidak berubah atau sedikit meningkat, sementara respon TSH untuk TRH
menurun (Iglesias, 2009; Hekmat dan Javadi, 2010).
g. Penyakit hati
Kelainan hasil tes fungsi tiroid umum terjadi pada pasien dengan penyakit
hati. Kelainan ini bervariasi tergantung pada jenis dan tingkat keparahan
penyakit hati. Hati adalah tempat yang paling penting untuk konversi T4 ke T3.
Penurunan T3 mungkin mencerminkan efek langsung dari penyakit hati pada
proses deiodinasi daripada efek tidak langsung dari penyakit sistemik. Penyakit
hati mempengaruhi transportasi hormon tiroid dalam darah secara signifikan
karena sintesis dari semua protein binding, yaitu, TBG, TBPA, dan albumin
terjadi di hati. Pada sirosis, hasil kelainan fungsi tes tiroid tergantung pada
jumlah jaringan hati residual fungsional. Umumnya, jumlah T4 tidak berubah
atau berkurang, FT4 tidak berubah atau meningkat, T3 bebas berkurang atau
tidak berubah, dan rT3 naik. Berbeda dengan sebagian besar kategori sindrom
T3 rendah lainnya, TSH basal mungkin meningkat. Pada Infeksi hepatitis yang
menular, kelainan yang terjadi tidaklah umum. Pada infeksi hepatitis jumlah
commit
T4 sering berubah, jumlah T4 to userketika TBG meningkat, T4 bebas
meningkat
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

dapat turun, jumlah T3 meningkat, T3 bebas menurun, rT3 tidak berubah, dan
TSH basal meningkat. Terjadi respon TSH akibat perangsangan TRH yang
berlebihan. Dalam kasus hepatitis aktif kronis dan primary biliary cirrhosis
tingkat serum TBG meningkat, sehingga terjadi peningkatan kadar total T4 dan
T3 dan penurunan serapan resin T3. Pada pasien sirosis yang berhubungan
hepatitis B dan C, penurunan kadar T3 berhubungan dengan derajat kerusakan
hepar (Ghanaei, 2012).
h. Infeksi
Pada manusia, kadar T4 dan T3 serum turun tak lama setelah timbulnya
infeksi klinis. Ini mencerminkan penurunan stimulasi TSH dari tiroid,
penurunan sekresi T4 tiroid dan infeksi menghambat hormon pengikat untuk
mengangkut protein. Saat pemulihan, pengeluaran TSH bertambah, dan tingkat
T4 dan T3 semakin meningkat. Pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala atau
AIDS dan tanpa infeksi oportunistik atau disfungsi hati, memiliki konsentrasi
T4 serum dan T3 dalam rentang referensi. Nilai FTI dan konsentrasi T4 bebas
juga berada dalam kisaran referensi atau sedikit rendah. Beberapa pasien
mungkin telah memiliki konsentrasi TBG sedikit lebih tinggi, yang cenderung
berbanding terbalik dengan persentase sel CD4. Beberapa pasien mungkin
memiliki peningkatan kecil dalam konsentrasi TSH serum. Pasien AIDS
dengan infeksi pneumonia carinii atau infeksi serius lainnya memiliki
perubahan fungsi tiroid khas NTI berat lainnya (Unachukwu dan Uchenna,
2009).
i. Penyakit jiwa
Perubahan dalam hasil tes fungsi tiroid pada penyakit jiwa bervariasi dan
membingungkan. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan dalam hasil tes
fungsi tiroid, seperti penyakit jiwa tertentu, usia pasien, stadium penyakit
pasien, obat yang bersamaan, dan adanya penyakit tiroid lain dan ESS. Dalam
depresi primer, jumlah T4 dapat meningkat atau tidak berubah, FT4 dapat
meningkat atau tidak berubah, jumlah T3 tidak berubah, FT3 tidak berubah,
rT3 naik, TSH basal tidak berubah, dan respon TSH oleh TRH menurun. Salah
satu kelainan yang paling umum dalam temuan tes fungsi tiroid pada gangguan
commit
kejiwaan akut adalah kenaikan FTIto(7-9%
user dari pasien). Ini adalah akibat
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

sekunder untuk peningkatan sementara T4, yang jarang pada penyakit lainnya.
Total T4 tinggi dan FTI normal setelah pengobatan. Respon TRH tumpul pada
depresi tetapi tidak dalam skizofrenia. Dalam studi tahun 2006, dari 250 subjek
dengan depresi kejiwaan utama, 6,4% memperlihatkan sindrom T3 rendah dan
ini tidak dianggap berasal dari kekurangan gizi atau penyakit lain dan
parameter metabolik semua normal. Penyakit Anorexia nervosa memiliki aspek
mirip dengan kelaparan dan hipotiroidisme. Kulit kering, bradikardia,
hipotermia, sembelit, dan amenore dapat menjadi tanda dan gejala adanya cacat
hipotalamus dalam sekresi TRH. Dalam gangguan ini, jumlah T4 menurun, dan
T4 bebas biasanya tidak berubah. Jumlah T3 berkurang secara signifikan, tetapi
T3 bebas biasanya tidak berubah, rT3 tinggi, dan TSH basal tidak berubah,
tetapi terjadi puncak TSH yang lambat sebagai respon perangsangan TRH
(Remachandra dan Kabir, 2006).

Gambaran perubahan profil hormon tiroid pada beberapa penyakit dapat terlihat
dalam tabel 2.8. berikut.

Tabel 2.8. Perubahan hormon tiroid pada penyakit dengan ESS


T3 serum rT3 serum T4 serum fT4 serum TSH serum
Puasa ↓ ↑ = = ↓
Penyakit ringan ↓ ↑ = =↑ =
Penyakit kritis ↓ ↑ ↓ =↓ ↓
Surgical trauma burn ↓ ↑ ↓ ↓ =↓
Chroic renal failure ↓ = =↓ =↓ =↓
Hepatitis =↑ =↑ =↑ =↓ =
Infeksi HIV = ↓ = =↓ =↑
Depresi =↓ =↑ =↑ =↑ =↓
Sumber : Wiersinga, 2005

Pengaruh Euthyroid Sick Syndome pada kondisi sakit kritis diantaranya adalah :
a. Gangguan sistem respirasi
Kondisi ESS pada pasien gagal napas memiliki risiko tinggi untuk
memerlukan bantuan ventilasi mekanik yang lama (Yasar et al., 2015).
Supplementasi hormon tiroid pada kondisi ini terbukti memberikn efek yang
bermanfaat. Beberapa mekanisme yang menerangkan hubungan kondisi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

hipotiroid dan gagal napas adalah : perubahan respon normal pernapasan


terhadap kondisi hipoksia ataupun hiperkapnia, kelemahan otot-otot
pernapasan, efusi pleura dan obstruksi sleep apnea (Johnson, 2011).
Penelitian oleh Plikat dkk secara retrospektif pada pasien yang masuk ke ICU
menunjukkan dari 220 orang yang memerlukan ventilator, 40% dengan
kondisi eutiroid, 50% dengan T3 rendah, dan 83% dengan kondisi FT3/FT4
rendah (Plikat et al., 2007). Penelitian lain menujukkan bahwa kondisi ESS
merupakan faktor risiko independen pada penggunaan ventilator yang
berkepanjangan (OR, 2,25; 95% CI, 1.18-4.29; p=0.01) (Bello et al., 2010).
b. Gangguan sistem kardiovaskuler
Hormon tiroid memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap
sistem kardiovaskuler sebagai hasil binding T3 terhadap reseptor inti di
miosit dan binding dengan reseptor kanal ion kalsium, kalium dan natrium.
Efek yang timbul adalah peningkatan inotropik dan kronotropik, peningkatan
oksigenasi jaringan, peningkatan tekanan darah dan penurunan resistensi
perifer sebagai efek langsung T3 pada otot polos (Klein dan Danzi, 2007).
Penurunan kadar hormon tiroid pada kondisi sakit jantung mungkin akan
memperburuk kondisi penyakitnya, tetapi beberapa penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian oleh Pingitore dkk
menunjukkan bahwa pemberian hormon tiroid untuk pasien dengan
kardiomiopati dilatasi dan ESS meningkatkan secara signifikan stroke
volume dan volume akhir diastolik ventrikel kiri serta penurunan denyut
jantung (Pingitore et al., 2008). Suplementasi T3 oral dengan dosis 0,5
mcg/kg tiap 12 jam selama 3 hari pasca operasi jantung terbuka pada bayi dan
anak kurang dari 2 tahun dapat menjaga kadar T3 dalam batas normal
(Marwali et al., 2013).
Coceani meneliti apakah rendahnya tingkat T3 pada pasien eutiroid terkait
dengan kehadiran dan prognosis penyakit arteri koroner (CAD). Para penulis
menilai data dari 1.047 pasien eutiroid yang telah menjalani angiografi
koroner untuk tersangka CAD. Hasilnya, sebelum dan setelah analisis regresi
logistik multivariat, menunjukkan bahwa ada hubungan antara rendahnya
tingkat T3 bebas (FT3) dancommit to user
adanya CAD baik single atau multivessel.
perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

Dengan rata-rata 31 bulan follow-up, tingkat kematian total dan episode sakit
jantung, sebelum dan sesudah analisis regresi Cox multivariat, lebih tinggi
pada pasien dengan sindrom rendah T3 (analisis Cox: Jumlah HR mortality =
1.80; cardiac mortality HR = 2.58). Para penulis menyimpulkan bahwa dalam
studi kohort, tingkat FT3 rendah dan sindrom T3 rendah, bahkan pada pasien
yang tidak memiliki riwayat infark miokard atau gagal jantung kronis,
berhubungan, masing-masing, dengan kehadiran dan prognosis yang
merugikan bagi pasien CAD (Coceani dan Iervasi, 2009). Gambar 2.9.
berikut ini menunjukkan survival rate dari pasien Euthyroid Sisk Syndrome
(Plikat et al., 2007).

Gambar 2.9. Euthyroid Sisk Syndrome (ESS) Survival Rate


(Plikat et al., 2007)

B. Mortalitas Pasien Anak Sakit Kritis


1. Definisi Sakit Kritis
Sakit kritis adalah setiap proses penyakit yang menyebabkan
ketidakstabilan fisiologis yang mengarah ke cacat atau kematian dalam beberapa
menit atau jam (Frost dan Wise, 2007). Pengenalan dan manajemen sakit kritis
sangat sulit pada bayi dan anak-anak, karena perbedaan usia tertentu dalam jenis
penyakit dan rentang nilai fisiologis, keterampilan yang diperlukan untuk
melakukan prosedur pada anak-anak kecil, dan penurunan kondisi mendadak yang
tak terduga terutama pada bayi yang memiliki keterbatasan kapasitas kompensasi.
Pepatah lama bahwa “anak-anak commit
bukan orang dewasa yang kecil” tetap berlaku,
to user
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

dan nilai pengetahuan khusus dan pelatihan manajemen perawatan kritis anak
oleh personil yang bersangkutan tidak dapat abaikan. Anak sakit kritis ada dalam
situasi yang beragam, termasuk pra rumah sakit (dokter perawatan primer,
puskesmas dan keadaan yang muncul tak terduga ) dan lingkungan rumah sakit
(gawat darurat, bangsal dan fasilitas perawatan intensif). Termasuk kondisi kritis
adalah masalah infeksi dan sepsis, pernapasan, jantung dan keadaan darurat
saraf, trauma dan perawatan suportif pasca bedah. Hasil dari penyakit kritis pada
anak bergantung pada pengenalan awal, antisipasi intervensi yang cepat dan
pengobatan definitif (Jones et al., 2005).
Di Amerika Serikat perkiraan data nasional dari keseluruhan penggunaan
layanan ICU untuk anak-anak sangat terbatas. Dari survei yang dilakukan pada
tahun 2001 oleh Randolph dan rekan untuk melaporkan jumlah tahunan dari
penerimaan PICU mereka, lebih dari 230.000 anak-anak dirawat di PICU per
tahun. Pasien-pasien ini mewakili 6,6% dari pasien anak yang di rawat di rumah
sakit. Angka kematiannya adalah 2,4% (atau lebih dari 11.000 kematian nasional)
(Randolph et al., 2004). Pollack dkk melakukan penelitian di Amerika Serikat
dengan melibatkan 8 PICU pada Desember 2011 hingga Agustus 2012
mendapatkan hasil angka mortalitas di PICU sebesar 2% (Pollack et al., 2014).
Di Pakistan data pada tahun 2007 menunjukkan jumlah mortalitas pasien yang
masuk PICU dari 314 pasien, yang meninggal sebanyak 14% (Haque dan Bano,
2009). Mortalitas pasien anak yang masuk ke ICU di negara Ethiopia di RS
Ethiopia University Hospital menunjukkan dari 170 pasien anak yang masuk ke
ICU, 40% diantaranya meninggal (Abebe et al., 2015).
Dalam penelitian, kriteria penyakit kritis pada anak didefinisikan sebagai
kondisi apapun yang mengarah ke kerusakan satu atau lebih sistem organ yang
membutuhkan dukungan untuk mempertahankan fungsi vital baik dengan terapi
mekanik atau farmakologi yaitu: ventilasi mekanis, > 60% oksigen inspirasi oleh
masker, dopamin > 5 mcg / kg / menit, setiap dosis adrenalin, urin < 1 ml/kg/jam,
kreatinin serum > 3,4 mg / dl, trombosit < 100.000 / mm3 (Suvarna dan Fande,
2009). Kondisi sakit kritis yang menjadi kriteria rawat di ruang intensif, yaitu
kegawatan jantung (gagal jantung, disritmia kordis), kegawatan respirasi (gagal
napas akut, status asmatikus),commit to user neurologis (koma, penurunan
kegawatan
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

kesadaran), kegawatan sirkulasi / homeostasis (gagal sirkulasi, gangguan


keseimbangan elektrolit, gagal ginjal akut, ketoasidosis diabetikum), kegawatan
khusus (status konvulsivus/epileptikus), memerlukan pemantauan khusus / ketat
(obat-obatan yang perlu titrasi, pasca operasi kepala, toraks atau abdomen (dengan
kecenderungan gagal napas dan gagal jantung) (Gausche et al., 2004).
Adanya gangguan homeostasis tubuh merupakan gambaran karakteristik
pada pasien sakit berat termasuk sepsis. Baik pada orang dewasa maupun anak
gangguan ini dapat diperkirakan dengan menilai sebagian atau beberapa variabel
fisiologis dari nilai normal. Penilaian dapat dilakukan dengan sistem skoring
seperti Pediatric Risk of Mortality (PRISM), Pediatric Index of Mortality (PIM)
dan Pediatric Logistic Organ Dysfunction (PELOD), skor dibuat dengan
menjumlahkan nilai beberapa variabel. Skor tersebut digunakan untuk
menggambarkan derajat beratnya sakit dari kelompok pasien dengan sakit berat.
Nilai ini mempertimbangkan beberapa komorbiditas dan gangguan fisiologis yang
ada pada saat perawatan di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) (Bambang et
al., 2014).

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mortalitas Anak Sakit Kritis


a. Usia
Penelitian yang dilakukan oleh Siddiqui et al. (2015) di PICU pada anak 1-
16 tahun umur rata-rata pasien yang meninggal terjadi di umur 2,8 tahun atau
dibawah 5 tahun. Usia berpengaruh terhadap mortalitas karena berhubungan
dengan maturitas dari sistem imun. Respon imun terdiri dari adaptif dan respon
imun alamiah. Respon imun adaptif akan membentuk suatu antibodi atau
imunoglobulin pada penyakit tertentu. Pembentukan antibodi akan berkembang
sesuai dengan usia. Imunoglobulin M akan sama nilainya dengan dewasa setelah
anak berumur 2 tahun sama halnya dengan sel B yang mensekresi
immunoglobulin mulai umur 2 tahun. Sedangkan immunoglobulin A akan mulai
disekresi pada anak mulai usia 5 tahun (Achkar et al., 2012).
b. Status nutrisi
Status nutrisi beperngaruh terhadap mortalitas pasien di ruang intensif.
commit
Kondisi malnutrisi akan menambah to user
mortalitas pasien hal ini berhubungan dengan
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

lama rawat dan respon terhadap penyakit. Pasien dengan malnutrisi memiliki
gangguan homeostasis imun karena terjadi penekanan dari fungsi limfosit T,
peningkatan sitokin antiinflamasi dan perlindungan sel terhadap kerusakan
sehingga bila fungsi sistem terganggu, mortalitas pasien akan meningkat. Pada
kondisi malnutrisi terjadi peningkatan sitokin inflamasi seperti IL6 dan CRP
dimana CRP dan IL6 dapat memicu terjadinya hiperkatabolisme yang
menyebabkan proteolisis (Wischmeyer, 2011).
Pasien dengan penyakit kritis memiliki risiko besar untuk terjadinya
malnutrisi. Peningkatan proteolisis untuk membentuk glukosa dan proses lipolisis
karena pengaruh adrenergik meningkat pada pasien dengan penyakit kritis.
(Wischmeyer, 2011) Insidensi terjadinya malnutrisi pada anak dengan sakit kritis
berkisar 25-70% cukup banyak karena anak dengan malnutrisi terjadi
hiperkatabolisme, gangguan metabolisme dan terjadi penurunan suplai nutrisi ke
jaringan tubuh. (Prieto et al., 2011). Kondisi malnutrisi pada penyakit kritis
mempengaruhi mortalitas pasien dengan penyakit kritis, pasien dengan malnutrisi
lebih banyak mengalami sepsis, menggunakan vasopressor sampai dengan terjadi
kegagalan fungsi organ. Mortalitas pasien dengan malnutrisi dua kali lipat lebih
tinggi dibandingkan pasien tanpa malnutrisi (Mongensen et al., 2015). Penelitian
lain pada pasien anak dengan penyakit kritis didapatkan pasien dengan malnutrisi
memiliki mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa malnutrisi dan
durasi penggunaan ventilator lebih lama pada pasien dengan malnutrisi (Menezes
et al., 2012).
c. Jenis penyakit
Pasien yang dirawat di ruang intensif terdiri dari pasien dengan berbagai
macam penyakit. Berdasarkan penelitian, jenis penyakit dapat mempengaruhi
mortalitas pasien yang dirawat di ruang intensif. Penelitian yang dilakukan oleh
Handayani et al. (2014) pada pasien di ruang intensif, pasien non bedah memiliki
mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan pasien bedah. Berbeda halnya dengan
penelitian Handayani et al, penelitian lain melaporkan mortalitas pasien yang
dirawat di ruang intensif yang paling banyak adalah pasien bedah mayor.
(Hardisman, 2015). Kasus bedah yang dirawat di ruang rawat intensif berbagai
macam diantaranya adalah bedahcommit
jantungtopada
user penyakit jantung bawaan, bedah
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

saraf, bedah ortopedi, transplantasi, urologi dan kasus bedah umum yang paling
banyak seperti apendisitis, kasus kelainan bawaan seperti stenosis pilorus, hernia
diagfragma, solid tumor, atresia biliaris dan kasus bedah lain. Mortalitas dari
masing-masing kasus bedah berbeda-beda paling banyak mortalitas adalah kasus
bedah jantung pada penyakit jantung bawaan (Mc Ateer et al., 2013).
d. Sepsis
Hasil studi oleh Wolfler (2006) pada anak yang dirawat di PICU
menunjukkan bahwa anak dengan diagnosis sepsis memiliki angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi dibandingkan yang tanpa sepsis. Kondisi severe sepsis dan
syok sepsis memiliki mortalitas berturut-turut 17,7% dan 50,8%. Tanurahardja et
al (2014) melaporkan 14 (46%) dari 30 anak yang mengalami sepsis di PICU
meninggal dunia, sedangkan Kaur et al. (2014) dari 50 anak yang dirawat di
PICU, 28 diantaranya meninggal dunia.
e. Penggunaan inotropik
Penelitian oleh Alshuheel et al. (2014) yang menyatakan kelompok pasien di
PICU yang menggunakan inotropik lebih banyak yang meninggal dibandingkan
dengan yang tidak menggunakan inotropik (p<0,001). Volakli et al. (2011)
melaporkan bahwa penggunaan inotropik merupakan faktor risiko mortalitas (OR
32.31; 95% CI: 7.11 hingga 146.85; p=<0.001). Hal ini kemungkinan berkaitan
dengan derajat keparahan penyakit yang melibatkan atau mengakibatkan
disfungsi otot jantung, hingga pasien memerlukan topangan inotropik
f. Skor PELOD
Derajat disgungsi organ pada pasien sakit kritis dapat dinilai menggunakan
skor PELOD. Semakin tinggi nilai skor PELOD, semakin tinggi pila risiko
mortalitas pasien. Skoring PELOD > 20 maka risiko pasien meninggal > 50%.
g. Perubahan kadar hormon tiroid/ Euthyroid Sick Syndrom (ESS)
ESS diduga berkaitan dengan mortalitas pasien anak sakit kritis. Penelitian di
India pada pasien dewasa sakit kritis yang dirawat di ICU mendapatkan bahwa
kadar T3 yang rendah merupakan predikor mortalitas, sedangan TSH dan FT4
tidak berbeda bermakna antara kelompok pasien yang hidup (survivors) dan
meninggal (nonsurvivors) (Kumar et al., 2013).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

3. Skor PELOD Pada Anak Sakit Kritis


Salah satu indikator outcome yang sering dipakai di Pediatic Intensive Care
Unit (PICU) adalah Pediatric Logistic Organ Dysfunction (PELOD) Score.
Penelitian di Bali Indonesia dan di Banglore India menunjukkan skor PELOD
dapat dengan baik memprediksi mortalitas pasien yang dirawat di unit Perawatan
Intensif Anak dengan prediksi terbaik pada hari ke-3 perawatan (Salim et al.,
2014; Jyotirmanju et al., 2013). Skor PELOD adalah skor yang digunakan untuk
menilai berat penyakit dan prediksi kematian berdasarkan atas kelainan yang
didapat pada pemeriksaan fisis dan laboratorium.
Tabel 2.9. Skor PELOD diperoleh dari skor fungsi organ
Variabel Skor

Kardiovaskular a. Denyut a. Usia < 12  195 0


Jantung tahun > 195 10
b. Usia  12  150 0
tahun > 150 10
b. Tekanan a. Usia < 1 > 65 0
sistolik bulan 35-65 10
<35 20
b. Usia 1 > 75 0
bulan – 1 35-75 10
tahun <35 20
c. Usia 1 > 85 0
tahun – 12 45-85 10
tahun < 45 20
d. Usia  12 > 95 0
tahun 55-95 10
<5 20
Pernafasan a. PaO2/FiO2 (tanpa > 70 mm Hg 0
memperhatikan mode  70 mm Hg 10
ventilasi mekanik)
b. PaCO2 (tanpa  90 mm Hg 0
memperhatikan mode > 90 mm Hg 10
ventilasi mekanik)
c. Ventilasi mekanik Membutuhkan ventilasi 0
(termasuk mask ventilation) mekanik
Tidak membutuhkan ventilasi 1
mekanik
Neurologi a. Skala koma Glasgow (nilai 12-15 0
terendah sebelum dilakukan 7-11 1
sedasi) 4-6 10
3 20
b. Reaksi pupil Keduanya reaktif 0
Keduanya terfiksasi 10
Hematologi a. Jumlah Leukosit  4,5 x 109/L 0
1,5-4,4 x 109/L 1
< 1,5 x 109/L 10
b. Jumlah trombosit  3,5 x 109/L 0
commit to user < 3,5 x109/L 1
perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

Variabel Skor

Hepar a. SGOT < 950 UI/L 0


 950 UI/L 1
b. Masa thrombin atau INR PT > 60% atau INR < 1,4 0
PT  60% atau INR  1,4 1
Ginjal Kadar a. Usia < 7 hari < 1,59 mg/dl 0
kreatinin  1,59 mg/dl 10
b. Usia 7 hari – 1 < 0,62 mg/dl 0
tahun  0,62 mg/dl 10
c. Usia 1 tahun – < 1,13 mg/dl 0
12 tahun  1,13 mg/dl 10
d. Usia > 12 < 1,59 mg/dl 0
tahun  1,59/dl 10
Sumber : Leteurtre et al., 2003

Nilai skor setiap sistim organ ditentukan oleh skor tertinggi pengukuran dari
setiap sistim organ. Nilai PELOD merupakan jumlah seluruh skor sistim organ.
Penyesuaian skala koma Glasgow untuk anak di bawah usia 5 tahun dapat
mengikuti tabel 2.10. berikut :

Tabel 2.10. Skala koma Glasgow


≥ 5 tahun < 5 tahun
Eye opening E4 Spontan Seperti anak > 5 tahun
(membuka mata) E3 Terhdap rangsang verbal Seperti anak > 5 tahun
E2 Terhadap rangsang nyeri Seperti anak > 5 tahun
E1 Tak ada respon Seperti anak > 5 tahun

Verbal V5 Terorientasi Sadar atau mengeluarkan suara


sesuai kemampuan sehari-hari
V4 Kacau (Confused) Kurang dari kemampuannya
sehari-hari atau menangis
iritabel
V3 Kata-kata tidak adekuat Menangis bila nyeri
V2 Suara tidak komprehensif Mengerang bila nyeri
V1 Tak ada respon terhadap nyeri Tak ada respon terhadap nyeri

Grimace G5 Aktifitas muka dan mulut


(menggantikan normal, contohnya batuk,
penilaian verbal menghisap pipa endotrakeal
pada anak yang G4 Aktifitas spontan berkurang
terintubasi) atau hanya berespon terhadap
sentuhan
G3 Menyeringai kuat pada nyeri
G2 Menyeringai lemah atau
perubahan ekspresi muka pada
nyeri
G1
Tak ada respon pada nyeri
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

≥ 5 tahun < 5 tahun


Motor M6 Menurut perintah Gerakan spontan normal
M5 Dapat melokasikan nyeri Seperti anak > 5 tahun atau
menghindar terhadap sentuhan
M4 Menghindar dari nyeri Seperti anak > 5 tahun
M3 Fleksi abnormal terhadap nyeri Seperti anak > 5 tahun
M2 Ekstensi abnormal terhadap Seperti anak > 5 tahun
nyeri
M1 Tak ada respon terhadap nyeri Seperti anak > 5 tahun
Sumber : Tatman et al., 1997

Prediksi kematian dihitung berdasar rumus:


1) Logit = -7,64+0,30 (jumlah skor PELOD)
2) Prediksi kematian = 1/(1+e-Logit)

Risiko meninggal pada pasien sengan skor PELOD ≥ 20 adalah 15 kali lebih
besar dibandingkan dengan yang memiliki skor PELOD < 20 (p=0.012)
(Tanurahardja et al., 2014). Penelitian di Bandung menunjukkan skor PELOD
maupun PIM2 mempunyai korelasi positif dengan outcome pasien dihitung
dengan menggunakan Spearman’s correlation, r=0,288 (p=0,001) (Linda et al.
2008). Bila dibandingkan, Skor PELOD dan PRISM III merupakan alat yang
baik untuk memprediksi kematian pasien anak dengue syok syndrome yang
dirawat di ruang intensif anak. Skor PELOD sedikit lebih baik dari skor PRISM
III (Iskandar et al. 2011). Skor PELOD mempunyai keunggulan lain dari skor
PRISM III yaitu dapat menggambarkan banyak dan derajat sistem organ yang
terganggu serta dapat digunakan gratis secara online (Leteurtre et al., 2006).

C. Pengaruh Euthyroid Sick Syndrome Terhadap Mortalitas Anak Sakit


Kritis.
Beberapa penelitian mencoba menghubungkan Euthyroid Sick Syndrome
dan luaran pasien yang dirawat dengan sakit kritis. Melalui review sistematik
Angelousi menghubungkan fungsi tiroid saat pasien masuk dengan luaran pada
pasien sepsis atau syok sepsis dengan hasil didapatkan bahwa penurunan fungsi
tiroid saat masuk rumah sakit berkaitan dengan luaran yang buruk dari pasien
dimana dari 9 studi, 7 diantaranya melibatkan usia anak-anak dan neonatus
(Angelousi et al., 2011). Pada penelitian dengan subjek orang dewasa di ICU
commit
oleh Plikat dkk, telah dibuktikan to user
bahwa Non Thyroidal Illness Syndrome
perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

berhubungan dengan mortalitas, lama rawat, dan penggunaan ventilator dan


penurunan FT4 bersamaan dengan FT3 dianggap sebagai proses maladaptif yang
ditunjukkan dengan perburukan pasien (Plikat et al., 2007). Sedangkan Feillong
Wang menemukan bahwa FT3 secara independen merupakan prediktor
mortalitas pada pasien yang dirawat di ICU (Wang et al., 2012). Penelitian dari di
India pada pasien dewasa sakit kritis yang dirawat di ICU mendapatkan bahwa
kadar T3 yang rendah merupakan predikor mortalitas, sedangan TSH dan FT4
tidak berbeda bermakna antara kelompok pasien yang hidup (survivors) dan
meninggal (nonsurvivors), seperti terlihat dalam tabel 2.11. dan gambar 2.10.
berikut (Kumar et al., 2013).

Tabel 2.11. Parameter endokrin pasien yang hidup (suvivors) dan


meninggal (nonsurvivors) di ICU
Survivors Nonsurvivors P value
Age Years 58.5 (15.9) 59.2 (18.7) 0.8746
ICU stay Days 2.7 (3.2) 2.1 (1.8) 0.3031
Hospital stay Days 7.4 (4.8) 6.5 (5.8) 0.0624
HbA1c % 5.9 (1.3) 6.05 (1.5) 0.6990
Glucose mg/dL 112 (12.4) 108.7 (14.3) 0.4667
Prolactin ng/mL 21,5 (17.8) 28.8 (37.7) 0.7737
T3 ng/dL 66.2 (30.1) 49.1 (32,7) 0.0044
T4 µg/dL 7.5 (2.3) 6.8 (2.6) 0.5442
TSH mIU/L 3.2 (4.2) 2.4 (3) 0.2083
Sumber : Kumar et al., 2013

Gambar 2.10. Kadar T3 pada pasien survivors dan nonsurvivors


Sumber : Kumar et al., 2013

Penelitian tenteng profil hormon tiroid pada anak sepsis dihubungkan


commit to user
dengan outcome dengan seting di PICU di RSCM Jakarta tahun 2014 menunjukan
perpustakaan.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

tidak ada perbedaan skor PELOD (p=0,218) yang signifikan antara kadar TSH
rendah (T3 rendah, FT4/TSH rendah, T3 rendah/FT4 rendah) dan TSH tinggi
(T3 rendah, T3 rendah/FT4 rendah) dengan outcome pasien meninggal ataupun
bertahan hidup (p=0,55). Peneliti berkesimpulan hormon tiroid menurun pada
anak-anak sepsis dengan mayoritas memiliki T3 yang rendah tetapi tidak
berhubungan dengan kadar TSH ( Tanurahardja et al., 2014). Sedangkan di
Semarang mendapatkan hasil yang berbeda, dimana kadar hormon TSH, T3 dan
T4 pasien tidak berbeda bermakna pada anak sepsis dengan luaran perbaikan atau
perburukan (Bambang et al., 2014).
Penurunan kadar T3 dan T4 adalah proporsional sesuai tingkat keparahan
penyakit dan mungkin berkaitan dengan prediktor outcome yang buruk pada
pasien sakit kritis. Pada anak-anak, penelitian oleh Jyoti tentang hubungan profil
hormon tiroid dengan derajat penyakit dan outcome klinis menunjukkan adanya
kadar T3 yang rendah merefleksikan status klinis yang buruk pada pasien dan
kadar T4 dapat memprediksi survival. Penelitian ini menggunakan kelompok
kasus anak yang dirawat di PICU dengan kelompok kontrol anak sehat.
Pengambilan sampel kelopok kasus dilakukan dua kali yaitu saat pertama kali
masuk PICU dan saat keluar PICU atau sesaaat sebelum meninggal, dengan hasil
seperti terlihat dalam tabel berikut (Suvarna dan Fande, 2009) :

Tabel 2.12. Profil tiroid pada kasus sakit kritis dan luaran pasien
Thyroid parameter Outcome N Mean±SD 95%CI Pvaluea P value paired testb
Survived Expired
T3 (first sample) ng/dL Survived 22 59.3 ± 29.2 46.9-71.7 0.020 <0.001* 0.538
Expired 8 38.9 ± 14.8 28.5-49.3
T3 (second sample)ng/dL Survived 22 95.6 ± 40.2 78.6-112.9 0.002
Expired 8 43.0 ± 21.3 28-58
T4 (first sample)mcg/dL Survived 22 6.3 ± 3.0 5.1-7.5 0.208 0.007* 0.963
Expired 8 4.8 ± 2.7 3.0-6.6
T4 (first sample)mcg/dL Survived 22 8.0 ± 2.5 7-9 0.009
Expired 8 4.8 ± 3.3 2.6-7
TSH (first sample)µU/mL Survived 22 2.1 ± 2.4 1.1-3-1 0.239 0.009* 0.338
Expired 8 1.0 ± 1.0 0.4-1.6
T3 (first sample)µU/mL Survived 22 4.1 ± 2.9 2.9-5.3 0.359
Expired 8 2.7 ± 4.7 -0.5-5.9
a
p value for comparison brttween thr thyroid parameters in case and the outcome (survived/expired)
b
p value for the comparison between the thyrois parameters in the first and second samples of the survived and expired
cases
* p<0.05 is significant;SD: standart deviation; CI: confience interval

Sumber : Suvarna dan Fande, 2009


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

Penelitian oleh Hebbar tahun 2009 tentang disfungsi endokrin pada pasien anak
sakit kritis (sepsis dan non sepsis) menunjukkan hasil dimana keduanya memiliki
perbedaan pada skor PELOD dan low T3 syndrome, terlihat dalam tabel 2.13.
berikut.
Tabel 2.13. Profil tiroid pada pasien anak sakit kritis sepsis dan non sepsis
Hormone All Patients Septic Non Septic P value
(Range in Healthy Subjects) Median (range) Patients Patiens (Septic Vs
n Median (range) Median (range) Non Septic
n n
Adrenocortivotropin hormone 13 (4-863) (0.5-62) (4-863) 0.87
(6-48 pg/mL) 51 18 33
Cortisol (0,5-49.7 mcg/dL) 22.2 (1.8-141.6) 24.6 (1.8-141.6) 21.5 (2.7-230) 0.32
71 29 44
Arginine vasopresin (0-31 pg/mL) 1.75 (0.5-31.5) 1.5 (0.06-4.6) 2.05 (0.5-31.5) 0.33
45 18 27
TSH (0.3-5 UIU/mL) 0.58 (0.03-16.59) 0.45 (0.06-4.60 0.77 (0.03-16.59) 0.08
70 28 42
T4 (4.9-11.7 mcg/dL) 7.2 (<0.3-13.7) 7.4 (3.2-13.7) 6.9 (3.7-12.7) 0.86
67 25 42
T3 (0.6-1.6 ng/dL) 0.59 (0.3-1.8) 0.47 (0.04-2.2) 0.68 (0.3-1.3) 0.09
68 25 42
rT3 (10-50 ng/dL) 52.5 (0.1-136) 70.5 (14-137) 38 (0.1-136) 0.0002a
68 22 46
a statistical significant between septic and nonseptic median values by chi-square test
Sumber : Hebbar et al., 2009

Tabel 2.14. Skor PELOD pada pasien anak sakit kritis sepsis dan non sepsis
Total patients All Septic Nonseptic p value
Patients Patients Patients (septic vs
73 29 44 Nonseptic)
Median age in month (range) 72 (3-228) 60 (3-204) 102 (6-228) 0.19
Race
Caucasian 38 (52%) 15 (52%) 23 (52%) 0.67
African American 33 (45%) 12 (41%) 21 (48%)
Hispanic 2 (3%) 2 (7%) 0
Other 0 0 0
Sex
Male 40 (55%) 16 (55%) 24 (55%) 0.958
Female 33 (45%) 13 (45%) 20 (45%)
Diagnostic condition
Sepsis 29 (40%) N/A N/A
Respiratory 36 (49%) 14 (48%) 22 (50%) 0.89
Renal failure 8 (8%) 6 (21%) 2 (5%) 0.05
Cardiac 7 (9.5%) 0 7 (16%) 0.04
Oncologic 19 (26%) 7 (24%) 12 (27%) 0.77
Hemoglobin SS 4 (5%) 0 4 (9%) 0.15
Neurologic 5 (7%) 0 5 (11%) 0.15
Miscellaneous 13 (18%) 0 13 (30%) 0.001
DKA 6 0 6 (14%) 0.08
Median PELOD (range) 12 (0-51) 20 (0-51) 11 (0-51%) 0.02
Median PRISM (range) 12 (0-35) 14 (2-35) 10 (0-30%) 0.007
Sumber : Hebbar et al., 2009

Mortalitas dan morbiditas pada pasien sakit kritis tergantung pada penyakit
yang mendasari, tingkat keparahan, dan, mungkin durasi penyakit. Besarnya
kelainan hasil tes fungsi tiroid tampaknya tergantung pada tingkat keparahan,
commit to user
daripada jenis penyakit. T4 turun secara proporsional dengan tingkat keparahan
perpustakaan.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id

penyakit. Probabilitas kematian berkorelasi dengan tingkat T4. Ketika turun, Total
kadar T4 serum di bawah 4 mcg / dL, kemungkinan kematian adalah sekitar 50%;
dengan tingkat T4 serum di bawah 2 mcg / dL, kemungkinan kematian mencapai
80% (Tognini et al., 2009).

D. Kerangka Teori

Kondisi sakit
kritis

 Asupan turun
 Keparahan penyakit
 Penggunaan obat pada tiroid

 Enzim 5’deiodinase turun


 Sekresi TRH-TSH turun
 TBG turun
 Sekresi IL-1, IL-6, TNFα , INFβ
meningkat

Gangguan fungsi tiroid /


Euthyroid Sick Syndrome (ESS)
TSH ↓ / N, FT4 ↓ / N, FT3 ↓

Gangguan sistem Gangguan sistem


kardiovaskuler respirasi

Efek inotropik & Pelemahan otot napas


kronotropik turun, Kebutuhan ventilator
SVR meningkat meningkat

Cardiac output Ventilasi-oksigenasi


turun tidak adekuat

Meningkatkan
Mortalitas

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id

E. Kerangka Konsep

Pasien anak
sakit kritis

Gangguan fungsi tiroid ?

Tidak
Ya

Euthyroid Sick Syndrome (ESS)


TSH ↓ / N, FT4 ↓ / N, FT3 ↓ Bukan ESS

Skor PELOD
Meningkatkan Status gizi
Mortalitas Usia
Jenis Penyakit
Penggunaan inotropik
Sepsis
Keterangan :

: ranah penelitian
: variabel perancu
: variabel perantara

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id

F. Penjelasan Kerangka Teori dan Kerangka Konsep


Pada kondisi sakit kritis terjadi asupan yang turun dan pengingkatan level
sitokin serta penggunaan obat-obatan tertentu yang dapat mempengaruhi fungsi
tiroid. Hal tersebut mengakibatkan penurunan aktifitas dari enzim 5’ mono
deiodinase dan penurunan sekresi TRH-TSH dengan hasil akhit penurunan dari
T3 atau T4 atau Euthyroid Sick Syndrome. Penurunan T3 dan T4 akan
mengganggu fungsi kardiorespirasi berupa penurunan efek inotropik, kronotropik
dan cardiac output. Pada keadaaan ini juga terjadi kelemahan otot-otot
pernapasan yang berakibat oksigenasi berkurang dan secara keseluruhan
mengganggu proses metabolisme tubuh. Keadaan sakit kritis dan penurunan
fungsi tiroid akan meningkatkan risiko mortalitas dari pasien. Usia, status gizi,
jenis penyakit, penggunaan inotropik, sepsis dan Skor PELOD merupakan faktor
risiko yang dapat mempengaruhi mortalitas pasien anak sakit kritis.

G. Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah :
1. Terdapat pengaruh Euhtyroid Sick Syndrome terhadap peningkatan
mortalitas anak sakit kritis.
2. Terdapat hubungan kadar hormon tiroid dengan skor PELOD dan
mortalitas pada anak sakit kritis.
3. Terdapat hubungan usia, jenis penyakit, skor PELOD, sepsis dan
penggunaan inotropik dengan mortalitas pada anak sakit kritis.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai