id
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hormon Tiroid
1. Fisiologi Hormon Tiroid
Hormon tiroid adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar tiroid berupa
T3 (triiodotironin) dan T4 (tiroksin). Unit fungsional dari struktur kelenjar tiroid
adalah folikel, struktur yang berbentuk bulat seperti kista berukuran 0,02-9 mm.
Setiap folikel terdiri dari kumpulan pusat koloid yang dikelilingi oleh epitel
berlapis tunggal sel folikel (tirosit) yang terletak pada lamina basal (Gambar.1).
Jaringan interstitial yang kaya dengan aliran pembuluh kapiler dan limfatik
memisahkan folikel ini dengan sekitarnya. Sel-sel folikel dapat bervariasi bentuk
dari skuamos, kuboid hingga kolumnar, tergantung pada tingkat aktivitas, yang
berada di bawah pengaruh dari Thyrotropin Stimulating Hormone (TSH). Saat
istirahat tanpa stimulasi TSH, folikel tampak besar, dilapisi oleh skuamosa atau
epitel kuboid yang berlimpah koloid luminal. Tirosit aktif adalah sel kolumnar
yang memiliki aktivitas yang sangat terpolarisasi. Sintesis dan eksositosis dari
tiroglobulin terjadi pada apeks sel, sementara endositosis tiroglobulin dari
penyimpanan koloid terjadi pada permukaan basal. Sekresi TSH menyebabkan
endositosis koloid di epitel luminal (Standing, 2005; Ganong, 2008).
Folikel tiroid
commit to user
Gambar 2.1. Struktur kelenjar tiroid (Standing, 2005)
5
perpustakaan.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id
Fungsi utama dari kelenjar tiroid adalah untuk mensintesis dua hormon,
triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4), yang memainkan peran penting dalam
regulasi berbagai fungsi metabolisme seluruh tubuh. Tidak seperti hormon
lainnya, T3 dan T4 mengandung iodium, yang merupakan bahan baku penting dan
terdiri dari sekitar 65% dari berat T4. Mereka dibebaskan dari tiroid menanggapi
mekanisme umpan balik pada sumbu hipofisis-hipotalamus. TSH menstimulasi
sekresi hormon tiroid, TSH disekresi oleh lobus anterior dari kelenjar pituitari.
Sekresi TSH oleh hipofisis diatur oleh Thyrotropin-Releasing Hormone (TRH)
yang disekresi oleh hipotalamus seperti terlihat pada Gambar 2.2. (Standing,
2005; Ganong, 2008; Loevner dan Laurie, 2011).
B
Gambar 2.3. Arsitektur sel folikel tiroid (Standing, 2005)
A. Struktur histologi kelenjar tiroid
B. Fisiologi hormon
committiroid.
to user
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id
Dua lobus tiroid pada janin dapat diketahui saat usia kehamilan 7 minggu,
sedangkan karakteristik sel folikel tiroid dan pembentukan koloid terlihat pada
usia 10 minggu. Sintesis tiroglobulin terjadi mulai minggu ke 4 dan serapan
iodium terjadi pada 8-10 minggu, sedangkan sintesis dan sekresi tiroksin (T4) dan
triiodothyronine (T3) terjadi pada usia kehamilan 12 minggu (LaFranche, 2011).
Pengaruh hormon tiroid pada fungsi fisiologis jantung sangat dipengaruhi oleh
kadar serum T3. Hal ini karena jantung tidak mempunyai aktivitas 5’-
monodeiodinase, sehingga ambilan T3 dari peredaran darah merupakan sumber
hormon tiroid utama pada kardiomiosit (Klein I, 2007). T3 bekerja pada
kardiomiosit secara genomik dan non-genomik. T3 bekerja secara genomik
melalui ikatan dengan TR yang terletak dalam nukleus kardiomiosit. Aktivasi
kompleks TR-RXR-TRE oleh T3 meningkatkan proses transkripsi dan ekspresi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id
Free Thyroxine
Free Triiodo Thyroid
Thyroxine Triido Binding
Usia Thyroxine thyronine Stimulating
(mcq/dl) thyronine Globulin
(ng/dl) (ng/dl) Hormone
(ng/dl) (mg/dl)
Cord
blood 0,6-17,5 1,03-1,73 14-86 0,09-0,36 0,7-4,7 <2,5-17,4
Ketika berat penyakit meningkat maka derajat keparahan ESS pun meningkat dan
secara bertahap akan normal kembali ketika pasien pulih, seperti yang
ditunjukkan pada gambar 2.5. dan 2.6. (Serhat, 2015).
Kadar TSH dapat tinggi, sedang ataupun rendah dipengaruhi oleh derajat
penyakit, tetapi sebagian besar kadar TSH pasien adalah di atas 0,05 μIU/mL.
Pada pasien di rumah sakit yang mengalami NTI, sekitar 10% memiliki nilai
TSH abnormal rendah, insiden tertinggi terjadi pada kelompok pasien dengan
tingkat keparahan paling tinggi. Pada pasien dengan tingkat keparahan paling
tinggi yang nyata terlihat adalah kadar T4 rendah. Tiroid menghasilkan T4 dalam
jumlah signifikan lebih besar dari T3 aktif, dalam rasio 17:1 (T4:T3). Tingkat
commit
masing-masing hormon yang beredar to user
juga ditentukan oleh konversi extra tiroid
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id
T4 ke T3, yang pada manusia sehat menyumbang lebih dari 80% dari produksi
T3. Aktivasi dan inaktivasi hormon tiroid dilakukan oleh kelompok tiga
iodothyronine deiodinase, yang masing-masing merupakan selenoprotein, yang
dikodekan oleh gen terpisah. Deiodinase D1, D2 dan D3 memiliki distribusi
jaringan, afinitas substrat dan peran fisiologis yang berbeda (Bianco dan Kim,
2006).
Semua deiodinase adalah membran integral protein, dan meskipun lokasi
selular mereka bervariasi, semua domain katalitik mereka berada di dalam sitosol
sel (Friesema EC et al., 2006). D1 dan D2 mengaktifkan T4 dengan menghapus
atom iodium dari cincin luarnya (5'deiodinasi), membentuk T3. Di sisi lain, D3
menginaktifasi baik T3 dan T4 dengan menghapus atom iodium dari inner ring
(5-deiodinasi) menghasilkan masing-masing T2 dan rT3, reaksi yang juga dapat
dikatalisasi oleh D1. Isoenzim D1 dan D3 terletak dalam membran plasma,
sementara D2 masih dipertahankan dalam retikulum endoplasma. T3 dihasilkan
dari D2 sehingga berpotensi memiliki akses ke inti karena lebih dekat, sementara
T3 diproduksi oleh D1 lebih mudah diekspor ke plasma (Seth, 2009). Perbedaan-
perbedaan dalam lokasi intraseluler mungkin menjelaskan mengapa D2 muncul
memasok T3 untuk penggunaan lokal dalam inti sel terutama dalam jaringan
seperti otak, hipofisis dan jaringan adiposa. Sementara jaringan yang
mengekspresikan tinggi D1 seperti hati dan ginjal mengekspor T3 yang di
hasilkan ke plasma (Bianco dan Kim, 2006).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id
Pada pasien yang memiliki penyakit non tiroid yang berat, tingkat TSH
dapat menurun (derajat penurunan berhubungan dengan tingkat keparahan
penyakit) dan biasanya kembali normal atau normal rendah dalam 24-48 jam
meskipun mungkin tetap rendah dengan penyakit yang berkepanjangan dan berat.
Saat sakit terjadi penurunan cepat dalam FT3 (maksimal dalam 4 hari) dan
proporsional untuk keparahan penyakit dan peningkatan rT3 (maksimal pada 12
jam) dan tidak berhubungan dengan keparahan penyakit serta sering kembali
normal dalam waktu 2 minggu. Hal ini disebabkan oleh penghambatan dari 5-
monodeiodination perifer (karena peningkatan inhibisi oleh sitokin yang beredar,
meningkatnya level kortisol dan starvation) yang mengurangi konversi perifer T4
menjadi T3 dan mengurangi clearance rT3. Tingkat T4 total normal atau rendah
pada pasien yang sakit berat dan waktu paruh plasma T4 berkurang dari 7 hari ke
1-5 hari. Tidak adanya peningkatan TSH akibat T3 yang rendah disebabkan oleh
perubahan di set-point pada tingkat hipotalamus-hipofisis dengan hasil akhir
serum TSH oleh pengaruh TRH adalah normal. Meskipun kadar FT3 menurun
namun keadaan klinis eutiroid dipertahankan dengan cara peningkatan sintesis
reseptor T3 jaringan. Selama fase pemulihan penyakit, sering ada peningkatan
sementara kadar TSH sampai FT4 dan kadar FT3 kembali ke normal (Yu dan
Koenig, 2006).
Umumnya, fungsi tes tiroid abnormal pada pasien yang sakit akut (atau
selama kelaparan), tanpa disertai tanda-tanda klinis dari penyakit tiroid yang perlu
diobati. Studi fungsi tiroid sebaiknya diulang setelah penyakit akut telah
commit to user
membaik. rT3 biasanya meningkat pada penyakit non-tiroid dan rendah pada
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id
pasien hipotiroid yang sakit, namun kadar tingkat rT3 belum andal untuk
membedakan antara dua gangguan ini. Tingkat TSH sering memberikan refleksi
yang wajar dari status fungsi tiroid bahkan pada pasien dengan penyakit akut
(Zeold et al., 2006). Skema dibawah (gambar 2.8.) ini menggambarakan
perubahan pada aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid hormon yang terjadi selama
proses sakit kritis.
Tingkat keparahan Euthyroid Sick Syndrome (ESS) atau Non Thyroidal Illness
(NTI) dapat ditunjukkan dengan hasil laboratorium hormon tiroid sesuai tabel 2.4.
berikut.
Tabel 2.5. Perubahan hormon tiroid pada kondisi ESS/NTI dan hipotiroid
Primary Central Non-thyroidal
hypothyroidsm hypothyroidsm illness
T4 Rendah Rendah Normal atau
rendah
T3 Rendah atau Rendah atau Rendah
mendekati normal mendekati normal
rT3 Rendah atau Rendah atau Meningkat atau
normal normal normal
TSH
- Single Meningkat Rendah atau Normal
sample normal
- Pulsatile Meningkat Rendah Rendah
secretion
Sumber : Mebis dan Berghe, 2009
Obat penyebab tes androgens, danazol, glucocorticoids, nicotinic Kadar TBG serum yang rendah
acid
fungsi tiroid L-asparaginase Kadar TBG serum yang tinggi
abnormal tanpa estrogen, tamoxifen’raloxifene, methadine,
disfungsi kelenjar 5-fluouracil, clofibrate,heroin, mitotane
tiroid Salicylate, salsalate, furosemide, heparin, NSAIDs Penurunan T4 binding TBG
Phenytoin, carbamazepine, rifampin, Peningkatan clearance T4
phenobarbital
Dobutamine, glucocortikoid, ocreotid Supresi sekresi TSH
Amiodarone, glucocorticoids, agen kontras Kegagalan konversi T4 menjadi
(mis. Iopanoic acid), propylthiouracil, propanolol T3
Sumber : Economidou et al., 2011commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id
b. Luka bakar
Pasien dengan luka bakar yang signifikan menunjukkan nilai-nilai khas profil
ESS, yaitu T3 dan FT3 rendah dengan peningkatan rT3, total T4 dan tingkat
FT4 mungkin sedikit menurun tetapi normal kembali setelah beberapa hari.
Sekresi TSH basal tidak berubah. Dalam sebuah studi dari sick eutiroid
syndrome pada pasien luka bakar, Gangemi dkk menemukan secara signifikan
tingkat lebih rendah FT3 dan TSH pada pasien cedera yang meninggal
dibandingkan pada mereka yang bertahan hidup. Sebuah hubungan yang
bermakna juga ditemukan antara konsentrasi FT3 dan keparahan luka bakar
pasien (Gangemi et al., 2008).
c. Puasa
Jumlah T4 biasanya tetap tidak berubah, tetapi sekresi tiroid mungkin
berkurang. T4 bebas dapat tetap, atau mungkin meningkat akibat penurunan
pengikatan T4 sekunder untuk peningkatan asam lemak bebas, yang meningkat
selama kelaparan. Total T3 dan T3 bebas serum menurun secara dramatis, rT3
umumnya meningkat, dan sekresi TSH basal, serta respon TSH untuk TRH
juga berkurang.
d. Malnutrisi kalori protein
Kelaparan mengubah hasil tes fungsi tiroid. Selama kelaparan jumlah T4
berkurang, T4 bebas tidak berubah, jumlah T3 berkurang secara signifikan, T3
bebas berkurang, dan rT3 naik secara signifikan. TSH basal tidak berubah atau
meningkat dan terjadi penundaan stimulasi TSH ke TRH. Semakin berat
malnutrisi yang terjadi, semakin rendah kadar T3 dan T4 pasien tersebut
(Kumar, et al., 2009).
e. Bedah
Jumlah T3 akan turun secara dramatis pada hari operasi dan tetap secara
signifikan menurun pasca operasi. Tingkat penurunan adalah terkait dengan
keparahan trauma bedah. Konsentrasi T3 bebas cepat turun ke tingkat rendah
pasca operasi, sejalan dengan penurunan total T3. T4 biasanya tidak berubah
pada hari operasi. Satu studi menunjukkan bahwa jumlah T4 menurun selama
operasi dengan anestesi epidural tetapi meningkat dengan anestesi umum.
commit to user
Persentase dari T4 bebas meningkat selama operasi dan pasca operasi akan
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id
dapat turun, jumlah T3 meningkat, T3 bebas menurun, rT3 tidak berubah, dan
TSH basal meningkat. Terjadi respon TSH akibat perangsangan TRH yang
berlebihan. Dalam kasus hepatitis aktif kronis dan primary biliary cirrhosis
tingkat serum TBG meningkat, sehingga terjadi peningkatan kadar total T4 dan
T3 dan penurunan serapan resin T3. Pada pasien sirosis yang berhubungan
hepatitis B dan C, penurunan kadar T3 berhubungan dengan derajat kerusakan
hepar (Ghanaei, 2012).
h. Infeksi
Pada manusia, kadar T4 dan T3 serum turun tak lama setelah timbulnya
infeksi klinis. Ini mencerminkan penurunan stimulasi TSH dari tiroid,
penurunan sekresi T4 tiroid dan infeksi menghambat hormon pengikat untuk
mengangkut protein. Saat pemulihan, pengeluaran TSH bertambah, dan tingkat
T4 dan T3 semakin meningkat. Pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala atau
AIDS dan tanpa infeksi oportunistik atau disfungsi hati, memiliki konsentrasi
T4 serum dan T3 dalam rentang referensi. Nilai FTI dan konsentrasi T4 bebas
juga berada dalam kisaran referensi atau sedikit rendah. Beberapa pasien
mungkin telah memiliki konsentrasi TBG sedikit lebih tinggi, yang cenderung
berbanding terbalik dengan persentase sel CD4. Beberapa pasien mungkin
memiliki peningkatan kecil dalam konsentrasi TSH serum. Pasien AIDS
dengan infeksi pneumonia carinii atau infeksi serius lainnya memiliki
perubahan fungsi tiroid khas NTI berat lainnya (Unachukwu dan Uchenna,
2009).
i. Penyakit jiwa
Perubahan dalam hasil tes fungsi tiroid pada penyakit jiwa bervariasi dan
membingungkan. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan dalam hasil tes
fungsi tiroid, seperti penyakit jiwa tertentu, usia pasien, stadium penyakit
pasien, obat yang bersamaan, dan adanya penyakit tiroid lain dan ESS. Dalam
depresi primer, jumlah T4 dapat meningkat atau tidak berubah, FT4 dapat
meningkat atau tidak berubah, jumlah T3 tidak berubah, FT3 tidak berubah,
rT3 naik, TSH basal tidak berubah, dan respon TSH oleh TRH menurun. Salah
satu kelainan yang paling umum dalam temuan tes fungsi tiroid pada gangguan
commit
kejiwaan akut adalah kenaikan FTIto(7-9%
user dari pasien). Ini adalah akibat
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id
sekunder untuk peningkatan sementara T4, yang jarang pada penyakit lainnya.
Total T4 tinggi dan FTI normal setelah pengobatan. Respon TRH tumpul pada
depresi tetapi tidak dalam skizofrenia. Dalam studi tahun 2006, dari 250 subjek
dengan depresi kejiwaan utama, 6,4% memperlihatkan sindrom T3 rendah dan
ini tidak dianggap berasal dari kekurangan gizi atau penyakit lain dan
parameter metabolik semua normal. Penyakit Anorexia nervosa memiliki aspek
mirip dengan kelaparan dan hipotiroidisme. Kulit kering, bradikardia,
hipotermia, sembelit, dan amenore dapat menjadi tanda dan gejala adanya cacat
hipotalamus dalam sekresi TRH. Dalam gangguan ini, jumlah T4 menurun, dan
T4 bebas biasanya tidak berubah. Jumlah T3 berkurang secara signifikan, tetapi
T3 bebas biasanya tidak berubah, rT3 tinggi, dan TSH basal tidak berubah,
tetapi terjadi puncak TSH yang lambat sebagai respon perangsangan TRH
(Remachandra dan Kabir, 2006).
Gambaran perubahan profil hormon tiroid pada beberapa penyakit dapat terlihat
dalam tabel 2.8. berikut.
Pengaruh Euthyroid Sick Syndome pada kondisi sakit kritis diantaranya adalah :
a. Gangguan sistem respirasi
Kondisi ESS pada pasien gagal napas memiliki risiko tinggi untuk
memerlukan bantuan ventilasi mekanik yang lama (Yasar et al., 2015).
Supplementasi hormon tiroid pada kondisi ini terbukti memberikn efek yang
bermanfaat. Beberapa mekanisme yang menerangkan hubungan kondisi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id
Dengan rata-rata 31 bulan follow-up, tingkat kematian total dan episode sakit
jantung, sebelum dan sesudah analisis regresi Cox multivariat, lebih tinggi
pada pasien dengan sindrom rendah T3 (analisis Cox: Jumlah HR mortality =
1.80; cardiac mortality HR = 2.58). Para penulis menyimpulkan bahwa dalam
studi kohort, tingkat FT3 rendah dan sindrom T3 rendah, bahkan pada pasien
yang tidak memiliki riwayat infark miokard atau gagal jantung kronis,
berhubungan, masing-masing, dengan kehadiran dan prognosis yang
merugikan bagi pasien CAD (Coceani dan Iervasi, 2009). Gambar 2.9.
berikut ini menunjukkan survival rate dari pasien Euthyroid Sisk Syndrome
(Plikat et al., 2007).
dan nilai pengetahuan khusus dan pelatihan manajemen perawatan kritis anak
oleh personil yang bersangkutan tidak dapat abaikan. Anak sakit kritis ada dalam
situasi yang beragam, termasuk pra rumah sakit (dokter perawatan primer,
puskesmas dan keadaan yang muncul tak terduga ) dan lingkungan rumah sakit
(gawat darurat, bangsal dan fasilitas perawatan intensif). Termasuk kondisi kritis
adalah masalah infeksi dan sepsis, pernapasan, jantung dan keadaan darurat
saraf, trauma dan perawatan suportif pasca bedah. Hasil dari penyakit kritis pada
anak bergantung pada pengenalan awal, antisipasi intervensi yang cepat dan
pengobatan definitif (Jones et al., 2005).
Di Amerika Serikat perkiraan data nasional dari keseluruhan penggunaan
layanan ICU untuk anak-anak sangat terbatas. Dari survei yang dilakukan pada
tahun 2001 oleh Randolph dan rekan untuk melaporkan jumlah tahunan dari
penerimaan PICU mereka, lebih dari 230.000 anak-anak dirawat di PICU per
tahun. Pasien-pasien ini mewakili 6,6% dari pasien anak yang di rawat di rumah
sakit. Angka kematiannya adalah 2,4% (atau lebih dari 11.000 kematian nasional)
(Randolph et al., 2004). Pollack dkk melakukan penelitian di Amerika Serikat
dengan melibatkan 8 PICU pada Desember 2011 hingga Agustus 2012
mendapatkan hasil angka mortalitas di PICU sebesar 2% (Pollack et al., 2014).
Di Pakistan data pada tahun 2007 menunjukkan jumlah mortalitas pasien yang
masuk PICU dari 314 pasien, yang meninggal sebanyak 14% (Haque dan Bano,
2009). Mortalitas pasien anak yang masuk ke ICU di negara Ethiopia di RS
Ethiopia University Hospital menunjukkan dari 170 pasien anak yang masuk ke
ICU, 40% diantaranya meninggal (Abebe et al., 2015).
Dalam penelitian, kriteria penyakit kritis pada anak didefinisikan sebagai
kondisi apapun yang mengarah ke kerusakan satu atau lebih sistem organ yang
membutuhkan dukungan untuk mempertahankan fungsi vital baik dengan terapi
mekanik atau farmakologi yaitu: ventilasi mekanis, > 60% oksigen inspirasi oleh
masker, dopamin > 5 mcg / kg / menit, setiap dosis adrenalin, urin < 1 ml/kg/jam,
kreatinin serum > 3,4 mg / dl, trombosit < 100.000 / mm3 (Suvarna dan Fande,
2009). Kondisi sakit kritis yang menjadi kriteria rawat di ruang intensif, yaitu
kegawatan jantung (gagal jantung, disritmia kordis), kegawatan respirasi (gagal
napas akut, status asmatikus),commit to user neurologis (koma, penurunan
kegawatan
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id
lama rawat dan respon terhadap penyakit. Pasien dengan malnutrisi memiliki
gangguan homeostasis imun karena terjadi penekanan dari fungsi limfosit T,
peningkatan sitokin antiinflamasi dan perlindungan sel terhadap kerusakan
sehingga bila fungsi sistem terganggu, mortalitas pasien akan meningkat. Pada
kondisi malnutrisi terjadi peningkatan sitokin inflamasi seperti IL6 dan CRP
dimana CRP dan IL6 dapat memicu terjadinya hiperkatabolisme yang
menyebabkan proteolisis (Wischmeyer, 2011).
Pasien dengan penyakit kritis memiliki risiko besar untuk terjadinya
malnutrisi. Peningkatan proteolisis untuk membentuk glukosa dan proses lipolisis
karena pengaruh adrenergik meningkat pada pasien dengan penyakit kritis.
(Wischmeyer, 2011) Insidensi terjadinya malnutrisi pada anak dengan sakit kritis
berkisar 25-70% cukup banyak karena anak dengan malnutrisi terjadi
hiperkatabolisme, gangguan metabolisme dan terjadi penurunan suplai nutrisi ke
jaringan tubuh. (Prieto et al., 2011). Kondisi malnutrisi pada penyakit kritis
mempengaruhi mortalitas pasien dengan penyakit kritis, pasien dengan malnutrisi
lebih banyak mengalami sepsis, menggunakan vasopressor sampai dengan terjadi
kegagalan fungsi organ. Mortalitas pasien dengan malnutrisi dua kali lipat lebih
tinggi dibandingkan pasien tanpa malnutrisi (Mongensen et al., 2015). Penelitian
lain pada pasien anak dengan penyakit kritis didapatkan pasien dengan malnutrisi
memiliki mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa malnutrisi dan
durasi penggunaan ventilator lebih lama pada pasien dengan malnutrisi (Menezes
et al., 2012).
c. Jenis penyakit
Pasien yang dirawat di ruang intensif terdiri dari pasien dengan berbagai
macam penyakit. Berdasarkan penelitian, jenis penyakit dapat mempengaruhi
mortalitas pasien yang dirawat di ruang intensif. Penelitian yang dilakukan oleh
Handayani et al. (2014) pada pasien di ruang intensif, pasien non bedah memiliki
mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan pasien bedah. Berbeda halnya dengan
penelitian Handayani et al, penelitian lain melaporkan mortalitas pasien yang
dirawat di ruang intensif yang paling banyak adalah pasien bedah mayor.
(Hardisman, 2015). Kasus bedah yang dirawat di ruang rawat intensif berbagai
macam diantaranya adalah bedahcommit
jantungtopada
user penyakit jantung bawaan, bedah
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id
saraf, bedah ortopedi, transplantasi, urologi dan kasus bedah umum yang paling
banyak seperti apendisitis, kasus kelainan bawaan seperti stenosis pilorus, hernia
diagfragma, solid tumor, atresia biliaris dan kasus bedah lain. Mortalitas dari
masing-masing kasus bedah berbeda-beda paling banyak mortalitas adalah kasus
bedah jantung pada penyakit jantung bawaan (Mc Ateer et al., 2013).
d. Sepsis
Hasil studi oleh Wolfler (2006) pada anak yang dirawat di PICU
menunjukkan bahwa anak dengan diagnosis sepsis memiliki angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi dibandingkan yang tanpa sepsis. Kondisi severe sepsis dan
syok sepsis memiliki mortalitas berturut-turut 17,7% dan 50,8%. Tanurahardja et
al (2014) melaporkan 14 (46%) dari 30 anak yang mengalami sepsis di PICU
meninggal dunia, sedangkan Kaur et al. (2014) dari 50 anak yang dirawat di
PICU, 28 diantaranya meninggal dunia.
e. Penggunaan inotropik
Penelitian oleh Alshuheel et al. (2014) yang menyatakan kelompok pasien di
PICU yang menggunakan inotropik lebih banyak yang meninggal dibandingkan
dengan yang tidak menggunakan inotropik (p<0,001). Volakli et al. (2011)
melaporkan bahwa penggunaan inotropik merupakan faktor risiko mortalitas (OR
32.31; 95% CI: 7.11 hingga 146.85; p=<0.001). Hal ini kemungkinan berkaitan
dengan derajat keparahan penyakit yang melibatkan atau mengakibatkan
disfungsi otot jantung, hingga pasien memerlukan topangan inotropik
f. Skor PELOD
Derajat disgungsi organ pada pasien sakit kritis dapat dinilai menggunakan
skor PELOD. Semakin tinggi nilai skor PELOD, semakin tinggi pila risiko
mortalitas pasien. Skoring PELOD > 20 maka risiko pasien meninggal > 50%.
g. Perubahan kadar hormon tiroid/ Euthyroid Sick Syndrom (ESS)
ESS diduga berkaitan dengan mortalitas pasien anak sakit kritis. Penelitian di
India pada pasien dewasa sakit kritis yang dirawat di ICU mendapatkan bahwa
kadar T3 yang rendah merupakan predikor mortalitas, sedangan TSH dan FT4
tidak berbeda bermakna antara kelompok pasien yang hidup (survivors) dan
meninggal (nonsurvivors) (Kumar et al., 2013).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id
Variabel Skor
Nilai skor setiap sistim organ ditentukan oleh skor tertinggi pengukuran dari
setiap sistim organ. Nilai PELOD merupakan jumlah seluruh skor sistim organ.
Penyesuaian skala koma Glasgow untuk anak di bawah usia 5 tahun dapat
mengikuti tabel 2.10. berikut :
Risiko meninggal pada pasien sengan skor PELOD ≥ 20 adalah 15 kali lebih
besar dibandingkan dengan yang memiliki skor PELOD < 20 (p=0.012)
(Tanurahardja et al., 2014). Penelitian di Bandung menunjukkan skor PELOD
maupun PIM2 mempunyai korelasi positif dengan outcome pasien dihitung
dengan menggunakan Spearman’s correlation, r=0,288 (p=0,001) (Linda et al.
2008). Bila dibandingkan, Skor PELOD dan PRISM III merupakan alat yang
baik untuk memprediksi kematian pasien anak dengue syok syndrome yang
dirawat di ruang intensif anak. Skor PELOD sedikit lebih baik dari skor PRISM
III (Iskandar et al. 2011). Skor PELOD mempunyai keunggulan lain dari skor
PRISM III yaitu dapat menggambarkan banyak dan derajat sistem organ yang
terganggu serta dapat digunakan gratis secara online (Leteurtre et al., 2006).
tidak ada perbedaan skor PELOD (p=0,218) yang signifikan antara kadar TSH
rendah (T3 rendah, FT4/TSH rendah, T3 rendah/FT4 rendah) dan TSH tinggi
(T3 rendah, T3 rendah/FT4 rendah) dengan outcome pasien meninggal ataupun
bertahan hidup (p=0,55). Peneliti berkesimpulan hormon tiroid menurun pada
anak-anak sepsis dengan mayoritas memiliki T3 yang rendah tetapi tidak
berhubungan dengan kadar TSH ( Tanurahardja et al., 2014). Sedangkan di
Semarang mendapatkan hasil yang berbeda, dimana kadar hormon TSH, T3 dan
T4 pasien tidak berbeda bermakna pada anak sepsis dengan luaran perbaikan atau
perburukan (Bambang et al., 2014).
Penurunan kadar T3 dan T4 adalah proporsional sesuai tingkat keparahan
penyakit dan mungkin berkaitan dengan prediktor outcome yang buruk pada
pasien sakit kritis. Pada anak-anak, penelitian oleh Jyoti tentang hubungan profil
hormon tiroid dengan derajat penyakit dan outcome klinis menunjukkan adanya
kadar T3 yang rendah merefleksikan status klinis yang buruk pada pasien dan
kadar T4 dapat memprediksi survival. Penelitian ini menggunakan kelompok
kasus anak yang dirawat di PICU dengan kelompok kontrol anak sehat.
Pengambilan sampel kelopok kasus dilakukan dua kali yaitu saat pertama kali
masuk PICU dan saat keluar PICU atau sesaaat sebelum meninggal, dengan hasil
seperti terlihat dalam tabel berikut (Suvarna dan Fande, 2009) :
Tabel 2.12. Profil tiroid pada kasus sakit kritis dan luaran pasien
Thyroid parameter Outcome N Mean±SD 95%CI Pvaluea P value paired testb
Survived Expired
T3 (first sample) ng/dL Survived 22 59.3 ± 29.2 46.9-71.7 0.020 <0.001* 0.538
Expired 8 38.9 ± 14.8 28.5-49.3
T3 (second sample)ng/dL Survived 22 95.6 ± 40.2 78.6-112.9 0.002
Expired 8 43.0 ± 21.3 28-58
T4 (first sample)mcg/dL Survived 22 6.3 ± 3.0 5.1-7.5 0.208 0.007* 0.963
Expired 8 4.8 ± 2.7 3.0-6.6
T4 (first sample)mcg/dL Survived 22 8.0 ± 2.5 7-9 0.009
Expired 8 4.8 ± 3.3 2.6-7
TSH (first sample)µU/mL Survived 22 2.1 ± 2.4 1.1-3-1 0.239 0.009* 0.338
Expired 8 1.0 ± 1.0 0.4-1.6
T3 (first sample)µU/mL Survived 22 4.1 ± 2.9 2.9-5.3 0.359
Expired 8 2.7 ± 4.7 -0.5-5.9
a
p value for comparison brttween thr thyroid parameters in case and the outcome (survived/expired)
b
p value for the comparison between the thyrois parameters in the first and second samples of the survived and expired
cases
* p<0.05 is significant;SD: standart deviation; CI: confience interval
Penelitian oleh Hebbar tahun 2009 tentang disfungsi endokrin pada pasien anak
sakit kritis (sepsis dan non sepsis) menunjukkan hasil dimana keduanya memiliki
perbedaan pada skor PELOD dan low T3 syndrome, terlihat dalam tabel 2.13.
berikut.
Tabel 2.13. Profil tiroid pada pasien anak sakit kritis sepsis dan non sepsis
Hormone All Patients Septic Non Septic P value
(Range in Healthy Subjects) Median (range) Patients Patiens (Septic Vs
n Median (range) Median (range) Non Septic
n n
Adrenocortivotropin hormone 13 (4-863) (0.5-62) (4-863) 0.87
(6-48 pg/mL) 51 18 33
Cortisol (0,5-49.7 mcg/dL) 22.2 (1.8-141.6) 24.6 (1.8-141.6) 21.5 (2.7-230) 0.32
71 29 44
Arginine vasopresin (0-31 pg/mL) 1.75 (0.5-31.5) 1.5 (0.06-4.6) 2.05 (0.5-31.5) 0.33
45 18 27
TSH (0.3-5 UIU/mL) 0.58 (0.03-16.59) 0.45 (0.06-4.60 0.77 (0.03-16.59) 0.08
70 28 42
T4 (4.9-11.7 mcg/dL) 7.2 (<0.3-13.7) 7.4 (3.2-13.7) 6.9 (3.7-12.7) 0.86
67 25 42
T3 (0.6-1.6 ng/dL) 0.59 (0.3-1.8) 0.47 (0.04-2.2) 0.68 (0.3-1.3) 0.09
68 25 42
rT3 (10-50 ng/dL) 52.5 (0.1-136) 70.5 (14-137) 38 (0.1-136) 0.0002a
68 22 46
a statistical significant between septic and nonseptic median values by chi-square test
Sumber : Hebbar et al., 2009
Tabel 2.14. Skor PELOD pada pasien anak sakit kritis sepsis dan non sepsis
Total patients All Septic Nonseptic p value
Patients Patients Patients (septic vs
73 29 44 Nonseptic)
Median age in month (range) 72 (3-228) 60 (3-204) 102 (6-228) 0.19
Race
Caucasian 38 (52%) 15 (52%) 23 (52%) 0.67
African American 33 (45%) 12 (41%) 21 (48%)
Hispanic 2 (3%) 2 (7%) 0
Other 0 0 0
Sex
Male 40 (55%) 16 (55%) 24 (55%) 0.958
Female 33 (45%) 13 (45%) 20 (45%)
Diagnostic condition
Sepsis 29 (40%) N/A N/A
Respiratory 36 (49%) 14 (48%) 22 (50%) 0.89
Renal failure 8 (8%) 6 (21%) 2 (5%) 0.05
Cardiac 7 (9.5%) 0 7 (16%) 0.04
Oncologic 19 (26%) 7 (24%) 12 (27%) 0.77
Hemoglobin SS 4 (5%) 0 4 (9%) 0.15
Neurologic 5 (7%) 0 5 (11%) 0.15
Miscellaneous 13 (18%) 0 13 (30%) 0.001
DKA 6 0 6 (14%) 0.08
Median PELOD (range) 12 (0-51) 20 (0-51) 11 (0-51%) 0.02
Median PRISM (range) 12 (0-35) 14 (2-35) 10 (0-30%) 0.007
Sumber : Hebbar et al., 2009
Mortalitas dan morbiditas pada pasien sakit kritis tergantung pada penyakit
yang mendasari, tingkat keparahan, dan, mungkin durasi penyakit. Besarnya
kelainan hasil tes fungsi tiroid tampaknya tergantung pada tingkat keparahan,
commit to user
daripada jenis penyakit. T4 turun secara proporsional dengan tingkat keparahan
perpustakaan.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id
penyakit. Probabilitas kematian berkorelasi dengan tingkat T4. Ketika turun, Total
kadar T4 serum di bawah 4 mcg / dL, kemungkinan kematian adalah sekitar 50%;
dengan tingkat T4 serum di bawah 2 mcg / dL, kemungkinan kematian mencapai
80% (Tognini et al., 2009).
D. Kerangka Teori
Kondisi sakit
kritis
Asupan turun
Keparahan penyakit
Penggunaan obat pada tiroid
Meningkatkan
Mortalitas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id
E. Kerangka Konsep
Pasien anak
sakit kritis
Tidak
Ya
Skor PELOD
Meningkatkan Status gizi
Mortalitas Usia
Jenis Penyakit
Penggunaan inotropik
Sepsis
Keterangan :
: ranah penelitian
: variabel perancu
: variabel perantara
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id
G. Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah :
1. Terdapat pengaruh Euhtyroid Sick Syndrome terhadap peningkatan
mortalitas anak sakit kritis.
2. Terdapat hubungan kadar hormon tiroid dengan skor PELOD dan
mortalitas pada anak sakit kritis.
3. Terdapat hubungan usia, jenis penyakit, skor PELOD, sepsis dan
penggunaan inotropik dengan mortalitas pada anak sakit kritis.
commit to user