Anda di halaman 1dari 15

A.

Ius Constitutum dan Ius Constituendum


Ius constitutum
Ius constitutum (hukum positif) yaitu hukum yang berlaku sekarang
bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.Singkatnya,
Hukum yang berlaku bagi suatu masyarakat pada suatu waktu, dalam suatu
tempat tertentu.contohnya seperti undang undang dasar 1945.
"ada sarjana yang menamakan hukum yang berlaku bagi suatu
masyarakat tertentu pada suatu waktu, dalam suatu tempat tertentu hukum
positif ini "Tata Hukum". (kansil 1982:71)
Ius Constituendum
Ius constituendum adalah hukum yang dicita-citakan oleh pergaulan
hidup dan Negara, tetapi belum merupakan kaidah dalam bentuk undangundang atau berbagai ketentuan lain. Pendapat yang demikian juga
diketengahkan oleh Sudiman Kartohadiprojo (Purnadi Purbacaraka-Soerjono
Soekanto, 1980). Ius Constituendum juga bisa diartikan hukum yang
diharapkan berlaku pada waktu yang akan datang.
Proses Perubahan Ius Constitutum menjadi Ius Constituendum
Ius constitutum dapat menjadi Ius constituendum dengan beberapa
proses yang dilakukan, yaitu :
1.

Unsur-unsur Ius Constituendum


Ius constitutum suatu ketentuan hukum, ketentuan hukum itu memilki
beberapa unsur di dalamnya. Ius constitutum secara harfiah memang berarti
hukum yang telah ditetapkan. Namun dalam proses politik hukum ius
constitutum itu diartikan juga ketentuan hukum yang belum ditetapkan atau
ketentuan hukum yang belum ada. Contoh peraturan tentang yayasan.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 yang merupakan ius constitutum adalah
pasal 1 ayat 1 Indische staatsregeling yang menetapkan bahwa
pelaksanaan pemerintahan hindia belanda dilakukan oleh gubernur jenderal
atas nama raja, dilakukan sesuai dengan ketentuan IS ini dan dengan

memperhatikan petunjuk raja. Dalam ketentuan tersebut mengandung


unsur-unsur:

pelaksanaan pemerintahan umum hindia belanda dilakukan oleh gubernur

jenderal.
gubernur jenderal dalam melaksanakan tugasnya dilakukan atas nama raja.
gubernur jenderal dalam melaksanakan tugasnya harus berdasarkan pada
ketentuan IS dan petunjuk raja.

2.

Unsur-unsur perubahan kehidupan masyarakat


Perubahan kehidupan masyarakat yang terjadi pada tanggal 17
Agustus 1945 mengandung unsur:

proklamasi kemerdekaan adanya pernyataan melepaskan diri dari

kekuasaan negara lain.


dengan melepaskan diri dari penjajahan bangsa lain, bangsa Indonesia

menetapkan mengambil kekuasaan atas dirinya dii tangannya sendiri.


bangsa Indonesia berubah dari bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka.

3.

Membandingkan unsur-unsur Ius Constitutum dengan unsur-unsur


perubahan masyarakat
Ius constitutum pada saat Indonesia merdeka adalah pasal 1 ayat 1 IS,
yang diatur oleh raja Belanda, sedangkan perubahan kehidupan masyarakat
yang terjadi waktu itu dengan adanya proklamasi kemerdekaan telah
menegaskan bahwa Indonesia tidak lagi dijajah dan sudah memegang
sendiri kedaulatannya.
Pelaksanaan pemerintahan umum Hindia Belanda, yang telah berubah
menjadi Indonesia, oleh gubernur jenderal, yang melakukan pemerintahan
atas nama raja Belanda tidaklah sesuai dengan kemerdekaan bangsa
Indonesia, yang telah melepaskan diri dari kekuasaan bangsa asing.

4.

Pelaku proses politik hukum

Pelaku proses politik hukum adalah alat pemerintahan dalam arti luas,
yakni alat pemerintahan dalam bidang legislatif, alat pemerintahan dalam
bidang yudikatif.
Ius Constituendum
Pengertian
a.

ius constituendum adalah hukum yang diharapkan berlaku pada waktu


yang akan datang.

b.

Secara harfiah ius constituendum adalah hukum yang seharusnya berlaku,


yang meliputi dua pengertian, yakni apa dan bagaimana hukum yang harus
ditetapkan serta apa dan bagaimana penetapan hukum itu.
Bentuk bentuk Ius Constituendum
Kebanyakan ketentuan hukum itu dirumuskan dalam bentuk kalimat
berita, kalimat bersyarat (hipotesis), kalimat mengharuskan, dan kalimat
larangan.

1.

Bahasa sehari-hari dan bahasa hukum


Seharusnya bahasa yang digunakan dalam kehidupan hukum
seharusnya bahasa sehari-hari, yakni bahasa yang digunakan masyarakat
tempat berlakunya hukum tersebut. Namun kenyataannya dalam
pembentukan hukum para ahli sering menggunakan bahasa khusus,
katakanlah bahasa hukum sesuai kekhususan hukum yang bersangkutan.

2.

Peraturan dan ketetapan


Ketentuan hukum yang berlaku umum lazim disebut peraturan, dan

ketentuan hukum yang berlaku khusus lazim disebut ketetapan.


3. Proses penetapan ketentuan hukum
Proses pembentukan hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat
pada prinsipnya ada dua macam, yaitu perundang-undangan dan kebiasaan.
Sahnya Ius Constituendum
Hukum yang seharusnya berlaku ditetapkan dalam proses politik
hukum haruslah merupakan hukum yang sah, yang berarti berlaku menurut

hukum (rechtsgelding). Agar suatu ketentuan hukum itu merupakan hukum


atas ketentuan hukum yang sah, harus memenuhi beberapa syarat:
a.

ditetapkan oleh alat pemerintahan yang berwenang

b.

penetapan hukum atau ketentuan hukum itu tanpa cacat kehendak

c.

bentuk penetapan hukum atau ketentuan hukum itu sesuai dengan bentuk
yang ditetapkan peraturan yang menjadi dasar penetapan hukum.

d.

isi dan tujuan penetapan hukum atau ketentuan hukum itu sesuai dengan
isi dan tujuan yang ditetapkan peraturan yang menjadi dasar penetapan
hukum tersebut.

B. Hukum Alam dan Hukum Positif


Hukum Alam
Pada saat dewasa ini kebanyakan dari manusia lebih cederung
beranggapan bahwa ide keadilan merekalah yang paling benar. Berbagai
macam cara tindakan emisionalnya di perjuangkan demi terlaksananya ideide pemikiran yang mereka anggap rasional, hingga berani mengambil resiko
untuk menipu dirinya sendiri. Maka dasar pemikiran yang di landaskan dari
kehendak manusia adalah sebenarnya datang dari sebuah ideologi peraturan
tertentu tentang tingkah laku manusia yang berasal dari alam yakni dari
hakikat suatu benda dan hakikat mahkluk hidup melalui penalaran yang di
kehendaki tuhan. Dalam asumsi ini terkandung sebuah esensi doktrin yang
di sebut hukum alam. Doktrin ini beranggapan bahwa ada suatu
keteraturan hubungan-hubungan perilaku manusia yang lebih baik dari
hukum positif yakni lebih adil dan sepenuhnya shahih Karena berasal dari
alam, dari penalaran manusia atau kehendak manusia yang semuanya itu
berasal dari kehendak tuhan.
Kehendak tuhan- menurut doktrin hukum alam -sama dengan alam
apabila kita mempercayai bahwa alam adalah ciptaan tuhan. Dengan
demikian

peraturan-peraturan

yang

di

lahirkan

alam

yakni

adanya

keikutsertaan alam dalam mengatur tingkah laku manusia. Dan hukum alam
tersebut merupakan ungkapan dari kehendak tuhan.
Pada abad ke-18 Blackstone (seorang penganut hukum alam dari
inggris) menuliskan penjelasan mengenai hukum alam, bahwa: hukum,
dalam pengertiannya yang umum dan komprehensif, menunjuk kepada
suatu peraturan tentang perilaku; dan di gunakan dengan tanpa bulu kepada
semua jenis perilaku, apakah yang bernyawa atau tidak bernyawa, rasional
atau irasional( hukum gerak, gravitasi, optik, atau mekanika, dan juga
hukum-hukum alam dan bangsa). Dan hukum tentang perilaku yang di
perintahkan oleh yang lebih tinggi, dan yang lebih rendah terikat untuk
mematuhinya. Jadi ketika yang maha tinggi menciptakan alam semesta, dan
menciptakan zat dari tiada. Dia mencamkan prinsip-prinsip tertentu kepada
zat tersebut, dari padanya zat ini tidak pernah dapat menyimpang dan
tanpanya zat ini akan berhenti keberadaanya. Dan ketika dia memasukkan
zat tersebut kedalam gerak, dia menetapkan hukum-hukm gerak tertentu,
terhadap hukum gerak mana semua benda yang dapat bergerak harus dapat
menyesuaikan. Dengan demikian ini adalah signifikan umum dari hukum,
suatu peraturan tentang perilaku yang diperintahkan oleh Zat yang Maha
Tinggi: dan ciptaan-ciptaan yang tidak memiliki kekuasaan untuk berfikir dan
berkehendak itu, hukum-hukum seperti itu harus di patuhi tanpa kecuali,
selama ciptaan-ciptaan itu hidup. Di dalam pengertiannya yang lebih
terbatas,

dan

menjadi

mempertimbangkannya,

urusan

menunjuk

kita

kepada

sekarang

ini

peraturan-peraturan,

untuk
bukan

tentang perilaku pada umumnya, melainkan tentang perilaku manusia:


yakni, aturan-aturan yang berhadapan dengan aturan-aturan manusia itu
sendiri, yang paling mulia di antara segenap mahkluk. Mahkluk yang di
berkati dengan akal (penalaran) dan kehendak yang bebas, diperintahkan
untuk menggunakan kemampuan-kemampuan tersebut di dalam peraturan
umum dalam perilakunya. karena

manusia

mutlak

bergantung

pada

penciptanya atas segala hal, maka dia perlu dalam segala hal mematuhi

kehendak penciptanya. Kehendak penciptaanya itu di sebut hukum alam.[1]

Sejarah Hukum Alam (Natural Law)


Sama halnya dengan banyak bidang studi lainnya, sejarah hukum dari
alam (the law of nature) dimulai pada zaman Yunani. Filsafat Yunani
melahirkan standar yang absolut mengenai hak dan keadilan. Hal ini
didasarkan pada kepercayaan pada berlakunya kekuasaan supernatural atas
hukum, di mana manusia seharusnya mematuhinya. Reaksi dari ajaran ini
datang pada abad-abad berikutnya dimana ada perbedaan dan kemungkinan
timbulnya konflik antara Hukum Alam (Natural Law) dan hukum yang dibuat
manusia.
Pada zaman Yunani, Aritoteles dan Plato membangun kembali Hukum
Alam (Natural Law). Sampai hari ini hanya Aristoteles yang mempunyai
pengaruh terbesar dalam doktrin Hukum Alam (Natural Law). Aristoteles
menganggap manusia adalah bagian dari alam, bagian dari sesuatu, tetapi
juga, di ikuti dengan akal yang cemerlang, yang membuat manusia sesuatu
yang istimewa dan memberikannya kekhususan yang menonjol. Pengakuan
terhadap akal manusia membentuk dasar bagi konsepsi Stoic mengenai
Hukum Alam (Natural Law). Stoic mengatakan, akal berlaku terhadap semua
bagian dari alam semesta dan manusia adalah bagian dari alam semesta,
diperintah akal. Manusia hidup pada dasarnya jika ia hidup menurut akalnya.
Doktrin Hukum Alam (Natural Law) kemudian sampai pada tingkat di mana
alam universal memimpin, melalui akal dan kritik yang dijalankan oleh
manusia, langsung kepada tingkah laku yang seharusnya secara normatif
dijalankan. Keharusan yang normatif ini dianggap bagian yang integral dan
didukung oleh moral. Stoic menambahkan unsur agama dalam tingkah laku
manusia.
Era cemerlang dari Hukum Alam (Natural Law) lahir dari doktrin
hukum agama dari Thomas Aquinas. Pada masa itu Tuhan dari agama Kristen

dianggap sebagai sumber kekuatan akal yang berasal dari Tuhan. Misalnya
hal ini diketemukan dalam 10 Perintah Tuhan.
Sekuralisasi

dari

Hukum

Alam

(Natural

Law)

kemudian

datang

belakangan pada masa Thomas Hobbes dan Grotius. Ahli-ahli filsafat abad
ke-17 ini pada umumnya menolak konsepsi bahwa Tuhan adalah sumber
tertinggi dari hukum, mereka berpendapat Hukum Alam (Natural Law) itu
mengindikasikan bahwa tindakan manusia itu datang dari kesepakatan
mereka atau ketidak sepakatan mereka, berdasarkan akal atau kebutuhan
moral, dan akibatnya perbuatan itu dilarang atau diperintahkan oleh Tuhan.
Menghubungkannya dengan sikap modern terhadap Hukum Alam yang
memusatkan perhatian kepada aspek spesifik tertentu tentang isinya, Hard
berpendapat isi minimum dari Hukum Alam adalah core of good sence
(perasaan yang baik). Hard berpendapat Hukum Alam bisa diketemukan
melalui akal, dan apa hubungannya dengan hukum manusia dan moralitas.
Dalam hubungan ini, pertanyaan mengenai bagaimana manusia hidup
bersama, harus kita asumsikan bahwa keinginan mereka, dalam garis
besarnya adalah untuk hidup. Pada abad ke-18 terjadi perdebatan antara
Blackstone dan Bentham yang mempengaruhi Teori Hukum (Legal Theory).
Blackstone adalah penganut Hukum Alam dari Inggris, sebaliknya Bentham
adalah pengkritik Hukum Alam. Menurut Blackstone hukum itu adalah rule of
action, aturan untuk berbuat yang diterapkan secara tidak diskriminatif
kepada semua macam tindakan apakah animate or inanimate, rasional atau
tidak rasional. Rule of action dilakukan oleh yang superior di mana yang
inferior terikat untuk menaatinya. Hukum dari alam menurut Blackstone
adalah kehendak dari Penciptanya (Maker).
Hukum Positif
Hukum positif merupakan dasar bagi konsep keadilan sosial yang
mencoba untuk menumbangkan hukum alam dan menciptakan kesetaraan
buatan melalui peraturan atau kekuatan. Ini bertentangan dengan esensi

dari sifat manusia. Dengan kata lain, hukum yang diciptakan oleh laki-laki
selalu sekunder hukum alam yang berasal dari kodrat manusia itu sendiri.
Hukum Positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada
saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan
ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan.. Tiap-tiap bangsa
memiliki hukumnya sendiri, seperti terhadap bahasa dikenal tata bahasa,
demikian juga terhadap hukum dikenal juga tata hukum. Tiap-tiap bangsa
mempunyai tata hukumnya sendiri. Hukum merupakan positivasi nilai moral
yang berkaitan dengan kebenaran, keadilan, kesamaan derajat, kebebasan,
tanggung jawab, dan hati nurani manusia. Hukum sebagai positivasi nilai
moral adalah legitimasi karena adil bagi semua orang.
Sejarah hukum positif di Indonesia
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum
Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut,
baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental,
khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang
merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (NederlandschIndie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia
menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak
terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di
Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundangundangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan
setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah
Nusantara
Pada saat baru lahir ditahun 1945, negara bayi bernama Indonesia
mengunifikasi serta mengkodifikasi hukum positif buatan Belanda yang
diberlakukan bagi masyarakat di Hindia Belanda yang terdiri dari berbagai
etnik saat itu bangsa Eropa, bangsa Cina, dan bangsa Timur Jauh bukan
Cina yaitu bangsa Arab dan India serta masyarakat pribumi/inlander bangsa

Nusantara. Dasar dari peraturan Belanda tersebut sebenarnya adalah hukum


buatan

VOC

(Verenige

Oost

Indische

Companie),

yang

merupakan

multinational company pertama di Nusantara.


Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat
dan hukum publik (C.S.T Kansil). Hukum privat adalah hukum yg mengatur
hubungan orang perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yg
mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum
perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari
hukum publik. Hukum perdata Indonesia Salah satu bidang hukum yang
mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan
hubungan antara subyek hukum, dan juga mengatur hubungan antara
penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan
seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda,
kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya. Hukum
perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya
hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Hukum perdata Belanda
sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan
beberapa penyesuaian.
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana
terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana
formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana,
pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Hukum pidana formil mengatur
tentang pelaksanaan hukum pidana materiil.
Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur tentang negara,
yaitu antara lain dasar pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan
lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak dan kewajiban) antar
lembaga negara, wilayah dan warga negara.
Hukum tata usaha (administrasi) negara adalah hukum yang mengatur
kegiatan administrasi Negara. Yaitu hukum yang mengatur tata pelaksanaan
pemerintah dalam menjalankan tugasnya.

C. Hukum Imperatif dan fakultatif


Hukum Imperatif
Hukum imperatif adalah hukum yang memaksa, yang bisa diartikan
juga merupakan hukum yang dalam keadaan konkret harus ditaati atau
hukum yang tidak boleh ditinggalkan oleh para pihak dan harus diikuti.
Ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa itu berlaku bagi para
pihak yang bersangkutan maupun hakim sehingga hukum itu sendiri harus
diterapkan meskipun para pihak mengatur sendiri hubungan mereka.
Sebagai contoh adalah ketentuan pasal 913 Burgerlijk wetboek Indonesia
(dikutip dari Pengantar Ilmu Hukum Prof.dr. Mahmud Marzuki, SH.MS.LL.M)
yang berbunyi:
Legitieme Portie atau bagian warisan menurut undang-undang
ialah suatu bagian dari harta benda yang harus diberikan kepada
ahli

waris

dalam

garis

lurus

menurut

undang-undang,

yang

terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menentukan


sesuatu, baik secara hibah antara orang-orang yang masih hidup
maupun sebagai wasiat.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pewaris dengan testamen sekalipun
tidak di bolehkan untuk mengurangi bagian terkecil dari ahli waris sekecil
apapun.hal ini akan terjadi pada kasus kematian seseorang,ketika dia
meninggal dan mennggalkan sebuah harta, katakanlah si mayat punya 3
anak, dan dia juga punya wanita simpanan yang ia cintai, sebelum
meninggal dia telah mewasiatkan seluruh harta bendanya kepada wanita
simpanan tersebut. Kerena testamen atau wasiat tersebut bertentangan
dengan ketentuan pasal 913 BW, maka testaman itu tidak dapat di eksekusi.
Disini

yang

di

haruskan

terjadi

ialah

ketiga

anak

tersebut

harus

mendapatkan warisan sesuai dangan pasal 914 BW tentang besarnya


legitieme portie yang berhak di terima oleh ketiga anak tersebut, barulah
sisanya kemudian dapat di wariskan kepada wanita simpanan tersebut.
Hukum Fakultatif

Hukum fakultatif adalah hukum yang mengatur, yang bisa di artikan


juga sebagai hukum pelangkap yang artinya dalam keadaan kongkret,
hukum tersebut dapat di kesampingkan oleh perjanjian yang diadakan oleh
para pihak dan dengan kata lain ini merupakan hukum secara apiori tidaklah
mengikat

atau

wajib

di

taati.

Sebagai contoh dalam pasal 119 KUH Perdata berbunyi:


Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum, berlakulah persatuan
bulat antara harta kekayaan suami dan harta kekayaan istri, sekadar
mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak di adakan ketentuan lain.
Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh di tiadakan atau di ubah
dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri.
(di kutip dari Dasar-Dasar Ilmu Hukum Ishaq SH.M Hum).
Jadi, dalam hal ini sebenarnya kedua belah
mengesampingkan

peraturan

ini,

jika

kedua

belah

pihak

pihak

dapat

membuat

persetujuan-persetujuan lain yang sekiranya dapat membuat kedunya saling


menyepakati

persetujuan

atau

perjanjian

tersebut.

misalnya

dengan

membuat harta mereka terpisah satu sama lain, atau sebagainya.

D. Hukum Substantif Dan Hukum Ajektif


Secara ensiklopedia dapat dijelaskan bahwa hukum substantif
adalah bagian dari hukum yang menciptakan dan mengatur difines, dan
hukum ajektif adalah bagian dari hukum yang menyediakan metode untuk
mempertahankan atau ganti rugi atas invasiop mereka. Yang secara singkat
dijelaskan oleh Zwarensteyn bahwa substantive law regulates our rights
and duties where ajective law regulaes the methods enforcing right and
duties[2] . Inti dari rumusan-rumusan tersebut di atas adalah pada hak-hak
dan kewajiban-kewajiban subyek hukum.
Di dalam hukum substantif hal tersebut dirumuskan sedangkan hukum
ajektif

memberikan

pedoman

bagaimana

penegakannya,

atau

mempertahankannya di dalam prakteknya, termasuk bagaimana mengatasi


pelanggaran terhadap hak-hak dan kewajiban tersebut.

Dari uraian di atas jelas kiranya bahwa pembedaan antara hukum


substantif dan hukum ajektif terletak pada yang satu memberi petunjuk,
bahkan penjabarannya dari yang lain, dalam hal ini substantif dijelaskan oleh
ajektif, sehingga perumusannya adalah sebagai berikut :
Hukum substantif,
Hukum substantif adalah rangkaian kaidah yang merumuskan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban dari subyek hukum yang terkait dalam hubungan
hukum. Hukum substantif juga bisa berarti perundang-undangan atau hukum
tertulis yang mengatur hak dan kewajiban orang-orang yang tunduk pada
hukum

tersebut.

Hukum

substantif

mendefinisikan

hubungan

hukum

seseorang dengan orang lain atau diantara mereka dengan Negara.


Menurut pendapat lain hukum substantif atau hukum material adalah
hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur kepentingankepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah-perintah dan
larangan-larangan.
Contoh Hukum Substantif (Material) :
Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Dagang dan lain-lain. Jika
orang berbicara tentang Hukum Pidana, Hukum Perdata, maka yang
dimaksudkan adalah Hukum Pidana Material dan Hukum Perdata Material.
Hukum ajektif
Hukum ajektif adalah serangkaian kaidah yang memberi petunjuk
dengan jelas tentang bagaimana kaidah-kaidah materil dan hukum substantif
ditegakan.
Hukum ajektif atau Hukum formal (Hukum Proses atau Hukum Acara),
yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana
cara-cara

melaksanakan

dan

mempertahankan

hukum

material

atau

peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana bagaiman cara-caranya


mengajukan sesuatu perkara ke muka Pengadilan dan bagaimana caranya
Hakim memberikan putusan.
Contoh Hukum ajektif (Formal) :

Hukum

Acara

Pidana, yaitu peraturan-peraturan hukum yang

mengatur bagaimana cara memelihara dan mempertahankan Hukum Pidana


Material atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya
mengajukan sesuatu perkara-pidana ke muka Pengadilan Pidana dan
bagaimana caranya hakim pidana memberikan putusan.
Hukum Acara Perdata, yaitu peraturan-peraturan hukum yang
mengatur bagaimana cara-cara memelihara dan mempertahankan Hukum
Perdata Material atau peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya
mengajukan sesuatu perkara-perdata ke muka Pengadilan Perdata dan
bagaimana caranya hakim perdata memberikan putusan.

E. Hukum Tertulis dan Tidak Tertulis


Hukum Tertulis
Hukum yang dicantumkan dalam berbagai perundang-undangan.
Hukum tertulis juga bisa diartikan dengan peraturan.
Hukum tertulis dibagi lagi dalam bagian yaitu, hukum tertulis yang
dikodifikasikan dan yang tidak dikodifikasikan
a.

hukum tertulis yang dikodifikasikan artinya hukum tersebut dibukukan


dalam lembaran Negara dan diundangkan atau diumumkan.
Contoh hukum tertulis yang dikodifikasikan, yaitu:

hukum pidana yang telah dikodifikasikan adalah kitab undang-undang

hukum pidana (KUHP) tahun 1918


hukum sipil yang telah dikodifikasikan dalam kitab undang-undang hukum

sipil (KUHD) pada tahun 1847


hukum dagang yang telah dikodifikasikan dalam kitab undang-undang
hukum dagang (KUHD) pada tahun 1847

b.

hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan


contoh hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan, yaitu:

peraturan
peraturan
peraturan
peraturan

undang-undang
undang-undang
undang-undang
undang-undang

hak
hak
hak
hak

merek perdagangan
oktroi/hak menemukan di bidang industry
cipta
ikatan perkreditan

kelebihan dan kekurangan hukum tertulis yang dikodifikasikan


v kelebihan dari hukum tertulis yang dikodifikasikan adalah adanya kepastian
hukum dan penyerdahanaan hukum serta kesatuan hukum.
v kekurangan dari hukum tertulis yang dikodifikasikan adalah hukum tersebut
bila dikonotasikan bergeraknya lambat atau tidak dapat mengikuti hal-hal
yang terus bergerak maju.

contoh hukum tertulis

KUHP (kitab undang-undang hukum pidana)

KUHPer (kitab undang-undang hukum perdata).


Hukum tidak Tertulis
Semua aturan yang walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah, tetapi
ditaati oleh rakyat, karena mereka yakin bahwa aturan itu berlaku sebagai
hukum. Agar kebiasaan memiliki kekuatan yang berlaku dan sekaligus
menjadi sumber hukum.
Maka syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu :

Harus ada perbuatan atau tindakan tertentu yang dilakukan berulangkali


dalam hal yang sama dan diikuti oleh orang banyak/ umum.

Harus ada keyakinan hukum dari orang-orang/ golongan-golongan yang


berkepentingan. dalam arti harus terdapat keyakinan bahwa aturan-aturan
yang ditimbulkan oleh kebiasaan itu mengandung/ memuat hal-hal yang baik
dan layak untuk diikuti/ ditaati serta mempunyai kekuatan mengikat.
Contoh dari hukum tidak tertulis

Hukum adat tidak dituliskan atau tidak dicantumkan pada perundangundangan tetapi dipatuhi oleh daerah tertentu

Hukum kebiasaan.

Kesimpulan
Maka keduanya adalah komplementer yang saling mengisi. Ini berarti pula
bahwa hukum substantif adalah hukum materil, sedangkan hukum ajektif
adalah hukum formil.

Anda mungkin juga menyukai