menerbitkan akta jual beli tanah, oleh beberapa Hakim Tata Usaha Negara penolakan
Notaris/PPAT dapat digolongkan sebagai Keputusan TUN yang fiktif-negatif.
Dalam perkembangannya pendapat tersebut berubah oleh pendapat Mahkamah Agung, bahwa
Notaris/PPAT tidak dapat digolongkan sebagi Badan atau Pejabat TUN, karena dalam suatu
wilayah adminitrasi Notaris/PPAT terdapat beberapa atau banyak Notaris/PPAT yang diberikan
kewenangan sebagai Pejabat umum di bidang pembuatan akta-akta otentik jual beli tanah di
wilayah adminitrasi yang bersangkutan. Konsekuensi hukumnya bagi orang atau badan hukum
perdata ada pilihan terhadap Notaris/PPAT mana dia akan meminta dibuatkan akta jual beli
tanah. Sehingga penolakan Notaris/PPAT untuk tidak mau membuat akta Notaris/PPAT tidak
berakibat merugikan kepentingan pihak-pihak yang membutuhkan.
Dengan demikian Notaris/PPAT tidak memenuhi kriteria Badan atau Pejabat TUN, karena setiap
wewenang Badan atau Pejabat TUN selalu dibatasi oleh locus, tempus, dan materi. Padahal
dalam wilayah adminitrasi Notaris/PPAT, terdapat lebih dari seorang Notaris/PPAT yang diberi
kewenangan untuk menjalankan profesinya.
Namun, dalam kerangka ius constituendum (dhi. RUU Adminitrasi Pemerintahan) Notaris/PPAT
digolongkan sebagai Pejabat adminitrasi pemerintahan.
3. Pergeseran Pendapat Hukum Dengan Melihat Obyek Gugatan Dan Permasalahan Hukum
Yang Dimintakan Diputus Oleh Hakim.
Pada mulanya Hakim Tata Usaha Negara beranggapan semua produk Keputusan TUN sepanjang
diterbitkan oleh Badan atau Pejabat TUN dapat periksa oleh Hakim Tata Usaha Negara.
Misalnya dalam kasus-kasus yang menyangkut BPPN pada awalnya Hakim TUN tidak
mempersoalkan materi persoalan yang dimintakan diputus oleh Hakim TUN dan hanya melihat
bahwa BPPN sebagai Badan Tata Usaha Negara sehingga produk Keputusan TUN yang diajukan
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diperiksa materi muatannya oleh Hakim Tata
Usaha Negara.
Dalam perkembangannya, Mahkamah Agung berpendapatan dengan melihat pada materi
persoalan yang diminta diselesaikan atau diputus oleh badan peradilan. Jika persoalan yang
diajukan oleh Penggugat adalah menyangkut persoalan-persoalan tentang aspek-aspek
keperdataan, seperti peralihan piutang-piutang (cessie) atau keberatan/ketidakcocokan jumlah
hutang yang ditagihkan atau harus dibayar dan sebagainya, maka Keputusan TUN yang demikian
tidaklah termasuk Keputusan TUN dan lebih bersifat Keputusan TUN yang merupakan
perbuatan hukum perdata (Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004).
Lebih lanjut tentang hal ini lihat Putusan Mahkamah Agung No.447K/TUN/2000.
Masih dalam kaitannya dengan obyek gugutan dan permasalahan hukum yang diminta diputus
oleh Hakim, dalam kasus-kasus yang menyangkut Keputusan TUN yang diterbitkan oleh Kepala
Kantor Lelang Negara, Mahkamah Agung berpendapatan risalah lelang bukan Keputusan TUN
yang dapat dijadikan obyek sengketa Tata Usaha Negara, karena risalah lelang hanya
merupakan catatan tentang jalannya pelelangan dan tentang pelelangan adalah perbuatan hukum
keperdataan, maka jika terhadap hal itu ada pihak-pihak yang dirugikan dapat mengajukan
gugatan perdata pada Peradilan Umum dengan mendasarkan pada pasal 1365 KUH Perdata
sebagai perbuatan melawan hukum oleh Penguasa (OOD) kepada kantor lelang yang
bersangkutan.
Lebih lanjut tentang hal ini lihat Putusan Mahkamah Agung No.151K/TUN/1999.
4. Pergeseran Pendapat Oleh Pengaruh Doktrin Hukum Dan Perubahan Norma Hukum Positif
Dalam Undang-Undang.
a. Pada awalnya Keputusan-Keputusan TUN yang menyangkut prosedur pemilihan baik di pusat
maupun di daerah sepanjang tidak mengenai Keputusan Panitia Pemilihan sebagaimana
dimaksud oleh pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986, Hakim TUN berpendapat
Keputusan TUN tersebut menjadi kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara.
Dalam perkembangannya Mahkamah Agung berpendapat, sesuai doktrin hukum adminitrasi,
keputusan-keputusan di bidang politik tidak termasuk Keputusan TUN, sehingga dengan melihat
pada tindakan-tindakan yang mendasari diterbitkannya Keputusan TUN dalam rangka pemilihan,
baik dari segi prosedur maupun materinya tidak dapat digolongkan sebagai tindakan di bidang
fungsi penyelenggaraan urusan pemerintahan, maka produk Keputusan TUN nya tidak dapat
dinilai oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (lihak SEMA No.8 Tahun 2005 Jo. Putusan
Mahkamah Agung No.482K/TUN/2003).
b. Di samping itu ada perubahan norma hukum positif dalam undang-undang, yaitu ketentuan
Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 diubah oleh ketentuan Pasal 2 huruf g
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, yang menyatakan Keputusan KPU baik di pusat maupun
di daerah mengenai hasil Pemilihan Umum tidak termasuk dalam pengertian Keputusan TUN.
Dengan demikian, menyangkut kasus-kasus dibidang politik seperti Keputusan TUN obyek
sengketa tentang pengesahan kepengurusan Partai Politik, pemecatan anggota atau pengurus
Partai Politik tertentu oleh DPP/DPD Partai Politik yang bersangkutan, bukanlah termasuk
Keputusan Badan atau Pejabat TUN menurut ketentuan pasal 1 butir (3) Undang-Undang
PERATUN, karena kegiatan partai politik tidak dapat digolongkan sebagai kegiatan fungsi
urusan pemerintah.
Untuk hal ini lebih lanjut lihat Putusan Mahkamah Agung No.190K/TUN 1997 Jo. No. 77/BGDG.PD/PT. TUN-MDN/1996 Jo. No. 06/G/1996/ PTUN-PDG.
5. Teori Melebur.
Pada awalnya Hakim TUN tidak melihat pada jangkauan yang dituju oleh Keputusan TUN yang
menjadi obyek gugatan, padahal di dalam praktek dijumpai Keputusan TUN yang materi
muatannya bertujuan untuk mengakhiri atau melahirkan hak-hak keperdataan terhadap seseorang