Anda di halaman 1dari 20

Abstrak Etnopedagogi merupakan praktik pendidikan berbasis kearifan lokal dan bersumber dari

nilai-nilai kultural suatu etnis dan menjadi standar perilaku. Sebagaimana kelompok-kelompok budaya
pedalaman Papua lainnya, umumnya tingkat pendidikan (formal) dan kesadaran untuk menimba ilmu
kelompok budaya Dani masih rendah. Oleh karena itu, pengkajian mendalam mengenai kelompok
budaya Dani perlu dilakukan untuk mengungkap kearifan lokal atau nilai pendidikan yang ada dalam
kelompok budaya ini (indigenous science) yang diharapkan dapat diintegrasikan dalam pembelajaran.
Hal ini merupakan salah satu upaya untuk menciptakan perubahan positif di masyarakat setempat
betapa pentingnya pendidikan untuk kemajuan peradaban dan tingkat kesejahteraan hidup manusia.
Hasil kajian literatur menunjukkan bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam kearifan lokal kelompok
budaya Dani antara lain masyarakat Dani hidup dalam kebersamaan yang dipimpin oleh seorang
pemimpin adat. Orang Dani memandang dunia mereka sebagai suatu alam semesta yang hidup yang
harus diperlakukan dengan rasa hormat yang besar. Orang Dani selain menjunjung tinggi
kebersamaan, juga menjunjung tinggi gotong-royong, saling membantu dan rasa kekerabatan yang
tinggi yang terlihat pada kegiatan bakar batu dan peristiwa potong jari. Kelompok budaya Dani
memanfaatkan lingkungan alamnya untuk keberlangsungan hidupnya dengan mengelompokkan
tanam-tanaman sesuai dengan kegunaannya. Banyak istilah (pelebelan) yang digunakan masyarakat
Dani untuk merujuk pada tumbuhan maka semakin menunjukkan nilai penting tumbuhan tersebut bagi
masyarakat setempat sekaligus memperlihatkan adanya penekanan budaya pada area tersebut.
Masyarakat Dani memiliki kesadaran untuk menjaga keseimbangan alam yaitu usaha untuk konservasi
tanah kebun di lereng bukit yang memang sensitif terhadap erosi dan longsor. Terdapat pula
pengetahuan masyarakat setempat (indigenous science) yang memanfaatkan tumbuhan sebagi bahan
obat misalnya buah merah dan sayur lilin. Akhirnya, melalui kajian ini, diharapkan dapat memberi
masukan bagi pendidik maupun pemerintah daerah di kabupaten Wamena dan sekitarnya untuk dapat
meningkatkan kualitas hidup masyarakat Dani dengan mengangkat nilai-nilai positif yang sudah
dibangun dan diwariskan secara turun-temurun di dalam kelompok budaya ini.
Kata Kunci Kearifan Lokal, Kelompok Budaya Dani, Lembah Baliem, Papua

1.

Pendahuluan
Etnopedagogi merupakan praktik pendidikan berbasis kearifan lokal dan bersumber dari

nilai-nilai kultural suatu etnis dan menjadi standar perilaku (Rustaman, 2014). Etnopedagogi
merupakan landasan dalam pendidikan sebagaimana sejalan dengan salah satu landasan
filosofi pengembangan kurikulum 2013 yaitu pendidikan berakar pada budaya bangsa masa
kini dan masa yang akan datang (Permen No. 69 tahun 2013). Sejalan dengan hal tersebut,
Alwasilah et al. (2009) memandang etnopedagogi sebagai praktik pendidikan berbasis
kearifan lokal dalam berbagai ranah serta menekankan pengetahuan atau kearifan lokal
sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan
masyarakat. Kearifan lokal tersebut terkait dengan bagaimana pengetahuan dihasilkan,
disimpan, diterapkan, dikelola dan diwariskan.

Etnopedagogi yang mengkaji kearifan lokal kelompok budaya tertentu tentunya dapat
mendorong perkembangan dalam bidang pendidikan dan penelitian sains. Jika sainssekolah
dan sains masyarakat dikaji secara lebih apresiatif dan integratif maka diharapkan melahirkan
sikap dan tindakan yang lebih harmonis dengan alam, bukan mengeksploitasi dan bahkan
merusak alam. Oleh karena itu, semua unsur praktisi pendidikan sains diharapkan menyadari
peran sains dalam konteks yang luas, tidak hanya di sekolah. Untuk itu perlu digali
perkembangan pengetahuan di luar sekolah agar dapat diberdayakan sebagai modal budaya
untuk meningkatkan pendidikan sains. Semakin terungkap fenomena kemasyarakatan
melalui etnografi pendidikan, semakin tertantang proses pendidikan untuk menciptakan
perubahan positif di masyarakat agar terbentuk budaya baru untuk kemajuan pendidikan
sains dan kesejahteraan hidup manusia (Djulia, 2005).
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan dengan tingkat keberagaman kelompok
budayanya yang sangat tinggi. Di bagian timur Indonesia, terdapat sebuah pulau besar yaitu
Papua. Papua memang memiliki daya tarik dan eksotisme tersendiri. Selain memiliki
pemandangan yang luar biasa sebagai pemanja mata, provinsi paling terujung Indonesia ini
memiliki aneka ragam budaya. Pada sisi timur dataran tinggi Jayawijaya Wamena Papua
terletak Lembah Baliem. Di tengah lembah itu mengalir sungai Baliem. Sebagian lembah ini
disebut Lembah Besar dan disinilah terutama berdiam kelompok budaya Dani. Lembah ini
terlihat seperti hamparan keeping-keping selimut kebun-kebun lama dan baru dengan paritparit serta pagar-pagarnya. Di dekat kebun-kebun itu, tersembunyi di dalam hutan-hutan kecil
dan antara daerah-daerah yang dibudidayakan itu, terbentang dataran-dataran luas dan
terbuka, yang tidak dihuni orang.

Gambar 1. Lokasi Lembah Baliem Wamena Papua

Sebagaimana kelompok-kelompok budaya pedalaman Papua lainnya, umumnya tingkat


pendidikan (formal) dan kesadaran untuk menimba ilmu kelompok budaya Dani masih rendah.
Oleh karena itu, pengkajian mendalam mengenai kelompok budaya Dani perlu dilakukan
untuk mengungkap kearifan lokal atau nilai pendidikan yang ada dalam kelompok budaya ini
(indigenous science) yang diharapkan dapat diintegrasikan dalam pembelajaran. Hal ini
merupakan salah satu upaya untuk menciptakan perubahan positif di masyarakat setempat
betapa pentingnya pendidikan untuk kemajuan peradaban dan tingkat kesejahteraan hidup
manusia. Hasil kajian literatur mengenai beberapa kearifan lokal kelompok budaya Dani
Wamena Papua diuraikan dalam makalah ini.
2.

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan mengkaji

literatur yang berkenaan dengan kelompok budaya Dani Wamena Papua.


3.

Hasil dan Pembahasan


3.1 Dari kehidupan sehari-hari Kelompok Budaya Dani
Kelompok budaya Dani terbagi menjadi dua paruhan eksogam (Wita dan Waya), yang
masing-masing terdiri atas sejumlah klen (Boelaars, 1986). Tiap-tiap klen terbagi lagi
menjadi keturunan-keturunan dan ini menjadi rumah tangga-rumah tangga. Bagian-bagian
berbagai klen itu tinggal bersama-sama dan membentuk pemukiman-pemukiman. Di
dalam pemukiman-pemukiman yang dipagari ini kita akan menemukan lagi pekaranganpekarangan yang dipagari dan di dalam pekarangan-pekarangan itu seorang ayah dan
anak laki-lakinya dan mungkin juga saudara-saudaranya bersama anak laki-laki mereka
mendiami sebuah rumah kaum pria (honai), bersama-sama memiliki sebuah dapur besar
dan sebuah kandang babi, sedangkan untuk istri mereka masing-masing disediakan
pondok-pondok rumah tangga (ebeai). Seringkali pada dinding belakang rumah kaum pria
terdapat sebuah lemari kecil yang terkunci, tempat tersimpan benda-benda sakral
kelompok itu, yaitu batu-batu, kayu pemukul, jala-jala gendongan (kaneke). Rumah
kelompok budaya Dani terbuat dari bambu serta jerami yang memiliki bentuk seperti jamur.
Satu rumah honai dapat dihuni sampai 5 orang atau lebih. Kelompok ini tidak mengenal
sistem keluarga batih ketika menempati honai.

Gambar 2. Honai

Berbagai keturunan di dalam suatu klen bersama-sama memiliki sebidang tanah.


Wewenang atas milik ini berada di tangan orang yang paling berkuasa di dalam kelompok
(disebut kain atau ap kain). Dialah yang membagi-bagi tanah itu dan setelah orang-orang
pria itu bersama-sama memagari bidang tanah yang luas itu supaya aman terhadap
gangguan babi, mereka secara berkelompok menggali selokan-selokan, sementara istriistri atau saudari-saudari mereka meninggikan pematang-pematang, menanam benih,
dan memetik hasil. Begitulah caranya rumah tangga-rumah tangga dipelihara. Orang
Dani bahkan mengenal suatu sistem pengairan yang diperluas. Tanahnya cukup subur.
Pemimpin kelompok ini menjaga agar masyarakatnya selalu hidup secara rukun dan
damai dengan menjunjung semangat kebersamaan. Dia dipilih secara turun temurun.
Untuk menjalankan tugasnya, Ap Kain dibantu oleh tiga kepala suku yang lain di bawah
kedudukannya. Mereka ini mendapat julukan Ap Menteg, Ap Horeg dan Ap Ubaik. Tugas
mereka adalah mengurus perawatan kebun dan binatang ternak babi. Selain itu juga
menjadi penengah sekaligus hakim ketika ada perselisihan antar kelompok budaya
Dani.Meski dipilih melalui jalur keturunan, ketua kelompok yang terpilih tetap harus
memenuhi berbagai syarat. Antara lain adalah memiliki pengetahuan tinggi tentang ilmu
pertanian, ramah dan rendah hati, terampil berburu, punya nyali yang tinggi, bisa
melakukan komunikasi dengan baik dan punya keberanian tinggi untuk melakukan
perang ketika ada masalah dengan suku lain. Masih banyak keunikan tradisi warisan
leluhur yang tersimpan pada kelompok budaya Dani yang dijaga dengan sangat baik oleh
warganya. Mereka percaya bahwa menghormati para nenek moyang serta leluhur
merupakan cara yang tepat dalam menghargai alam serta isinya.
Kaum pria memiliki babi-babi, jumlah babi-babi itu malah menentukan kedudukan
mereka. Babi-babi ini jarang disembelih begitu saja untuk kebutuhan akan daging. Orang

memakan daging babi, dan memang sampai kenyang, pada kesempatan-kesempatan


pesta. Masih ada lagi benda-benda bernilai lainnya untuk kepentingan tukar-menukar
pada orang Dani. Kecuali babi, ada pula pita-pita yang dihiasi dengan siput-siput kauri,
jala-jala gendongan dan jala yang dipakai sebagai pakaian. Terdapat juga batu-batu datar
yang besar tertentu. Orang menukar benda-benda bernilai ini dengan klen-klen dari
paruhan suku lainnya (dalam kaitan dengan hubungan perkawinan). Di samping itu orang
berdagang dalam ukuran yang lebih kecil dan biasanya hanya dengan suku-suku lain
yang memiliki bahan-bahan yang tidak terdapat di Baliem (misalnya jenis kayu tertentu
untuk membuat busur. Namun pada perkembangannya, masyarakat Dani telah mengenal
uang sebagai alat tukar dalam kehidupan sehari-hari.
Keturunan berbagai klen, yang tinggal berdampingan, membentuk kesatuankesatuan yang saling membantu dalam pertempuran melawan kesatuan-kesatuan lain
yang serupa. Pelbagai kesatuan yang dihimpun bersama demikian sama-sama
menghadapi satu musuh tradisional. Federasi banyak kesatuan membentuk suatu
persekutuan perang. Lembah itu dibagi menjadi sekurang-kurangnya 17 persekutuan
semacam itu. Di antara daerah-daerah berbagai persekutuan itu terbentang tanah-tanah
tak bertuan. Ada tiga hal yang mengakibatkan kelompok budaya Dani berperang, yaitu
ladang, babi serta wanita. Senjatanya bermacam, dari mulai tombak, panah sampai
kampak.
Dari uraian di atas, ada lima hal terkait kehidupan keseharian orang Dani yaitu
pertama, orang Dani tidak mengenal sistem keluarga batih. Kedua, orang Dani dipimpin
oleh seorang pemimpin yang disebut kain. Pemimpin ini yang mengatur kepemilikin tanah
berbagai keturunan dalam suatu klen. Ketiga, jumlah babi yang dimiliki pria Dani
menentukan

kedudukannya.

Keempat,

orang

Dani

sebelum

mengenal

uang,

menggunakan benda-benda tertentu sebagai alat tukar. Kelima, ladang (tanah), babi
serta wanita merupakan faktor pemicu terjadinya peperangan di antara persekutuan
kesatuan klen-klen. Makna yang dapat ditangkap dari kehidupan keseharian orang Dani
adalah hidup dalam kebersamaan yang dipimpin oleh seorang pemimpin adat. Orang
Dani lebih mementingkan hidup kebersamaan dan kurang mengenal kehidupan keluarga
inti (ayah, ibu dan anak).Mereka adalah masyarakat komunal. Jika rumah dipandang
sebagai suatu kesatuan fisik yang menampung aktivitas-aktivitas pribadi para
penghuninya, dalam masyarakat Dani unit rumah tersebut adalah sili. Pendidikan anak
laki-laki diajarkan dalam hidup bersama dengan ayahnya atau saudara laki-laki ayahnya
dalam rumah pria (honai). Pendidikan anak perempuan diajarkan dalam hidup bersama
dengan ibunya dalam rumah perempuan (ebeai). Orang Dani memandang tanah sebagai
warisan nenek moyang yang tidak untuk diperjualbelikan. Oleh karena itu orang Dani siap

berperang bila ada yang hendak merebut tanah miliknya. Peperangan dilakukan dalam
kesatuan berbagai klen yang saling membantu melawan musuh.
Nilai kebersamaan dalam persamaan (laki-laki dengan laki-laki dan perempuan
dengan perempuan) yang merupakan warisan turun-temurun masyarakat Dani dapat
diangkat dalam membangun suatu sistem pendidikan bagi kelompok budaya ini.
Pemerintah bisa saja membangun sekolah dengan pola asrama di daerah ini dengan
memisahkan sekolah laki-laki dan sekolah perempuan yang mencerminkan kehidupan
kelompok budaya ini.
3.2.Pandangan Hidup Kelompok Budaya Dani
Orang Dani memandang dunia mereka sebagai suatu alam semesta yang hidup.
Seluruh alam semesta itu ibarat seorang ibu-asal, yang menampakkan diri paling paling
jelas sebagai matahari. Dia diperlakukan dengan rasa hormat yang besar. Pada waktu
panen pertama suatu kebun baru orang menyisihkan beberapa ubi yang besar untuk
dikembalikan kepada alam. Matahari pada malam hari kembali ke rumahnya di suatu
lembah tertentu. Matahari dipandang sebagai wanita tetapi dia juga juga menyandang
perlengkapan perang laki-laki.
Kepercayaan turun-temurum masyarakat Dani tentang alam semesta adalah langit
dan bumi pada mulanya terletak berdampingan seperti dua buah tangan. Di dalam
sebuah lubang di dalam bumi hiduplah manusia dan hewan bersama-sama. Manusia
pertama, Nekmaturi membuat Guntur dan memisahkan langit dari bumi. Matahari
mengantar para penghuni lubang itu melalui pegunungan sampai dekat Apulakma (atau
Seinma), tempat mereka itu muncul. Semuanya menikmati perdamaian. Kemudian ketika
manusia mulai saling berkelahi, matahari menarik diri, pergi berdiri di langit dan tidak mau
memperdulikan lagi manusia. Dia hanya memandang manusia itu.
Manuisia pada mulanya hidup bersama hewan-hewan. Tetapi hewan-hewan itu
bertanya kepada manusia pertama, siapa gerangan mereka. Dia lalu membagi-bagi
mereka menurut jenis, terpisah dari bangsa manusia. Maka berkatalah hewan-hewan itu:
Kami juga tidak menyukai manusia, kami ingin berdiri sendiri. Namun hubungan
manusia dengan burung-burung tetap hidup terus, sebab tiap klen yang bermacammacam itu mengikat diri pada suatu pantangan makanan terhadap burung tertentu. Arwah
para pejuang yang terbunuh disebut sebagai burung-burung yang mati. Tari-tarian dan
perhiasan-perhiasan disebut meniru burung-burung. Orang Dani meyakini bahwa dunia
yang asli meliputi juga makhluk-makhluk sangat kecil, yang pada mulanya tinggal
bersama manusia di dalam lubang itu, tetapi kemudian keluar dan mendapat tempat
tinggal di angkasa. Di sana mereka itu hidup sama seperti manusia. Mereka itu turun

melalui seutas tali ke bumi, mencuri babi-babi dan wanita-wanita, sampai ada seorang
memutuskan tali itu karena marahnya.
Mencermati uraian di atas, orang Dani memaknai penciptaan alam semesta,
pandangan tentang kesatuan bangsa manusia, pengetahuan tentang perbedaan
manusia dan hewan, matahari dan peredaran matahari berbeda dengan sains
modern.Ketika siswa (orang Dani) mempelajari materi tentang hakekat alam semesta
(kosmos), bumi dan antariksa serta makhluk hidup tentunya akan menimbulkan konflik
kognitif diantara prinsip budaya aslinya dengan prinsip sains modern (sains barat).
Akibatnya proses pembentukan konsep ilmiah terjadi secara berdampingan (side by
side), dengan interferensi dan reaksi yang lemah terhadap konsep asli yang dimilikinya.
Peristiwa seperti itu disebut dengan belajar kolateral (Jegede dalam Aikenhead dan
Jegede, 1999). Oleh karena itu pengajar sains diharapkan dapat membantu siswanya
memperoleh

pengetahuan

ilmiahnya

tanpa

mengesampingkan

keyakinan

dan

pengalaman-pengalamannya. Pembelajaran sains yang efektif menurut Ogawa


(Aikenhead dan Jegede, 1999) ketika siswa menyadari akan sains pribadi dan indigenous
science. Secara implisit Ogawa mengakui belajar kolateral dan menyarankan menjadikan
siswa menyadari tentang konflik skematanya.
3.3.Bakar batu
Selain pandangan hidup orang Dani yang telah diuraikan di atas, terdapat aktivitasaktivitas masyarakat Dani yang mencerminkan nilai yang ada dalam komunitas mereka.
Bakar batu yaitu satu perayaan atau pesta yang umum dikerjakan kelompok budaya Dani
waktu menyongsong kelahiran, pernikahan, sinyal berkelompok budaya, upacara
kematian, sampai pesta sesudah perang selesai. Proses bakar batu diuraikan berikut ini.
Pertama, beberapa mama (sebutan untuk wanita tua di Papua) mempersiapkan ubi-ubi,
jerami serta daun-daun, dan kayu serta batu. Kedua, seseorang pria kelompok budaya
Dani membuat api dengan menggesekan dua buah kayu sampai menimbulkan api serta
lantas dipakai untuk membakar batu. Ketiga, Saat batu telah dirasa panas, lalu
dimasukanlah batu-batu ke lubang yang telah di isi rumput. Keempat, ubi dimasukkan
serta disusun supaya dapat masak, ubi ditutup kembali memakai rumput serta batu-batu
panas. Bakar batu merupakan salah satu contoh lain dari aktivitas orang Dani yang
menjunjung tinggi kebersamaan, gotong-royong dan saling membantu.Nilai-nilai ini perlu
diwariskan turun-temurun namun perlu pula adanya pembaharuan bahwa nilai ini tidak
hanya antara sesama orang Dani tapi berlaku juga untuk seluruh umat manusia lainnya
tanpa memandang asal budaya, agama, dan lain sebagainya.

Gambar 2. Bakar Batu

3.4.Potong Jari
Selain bakar batu, kebiasaan potong jari adalah kebiasaan lain yang dilakukan
masyarakat Dani ketika keluarga mengalami kedukaan. Potong jari adalah bentuk bela
sungkawa dari anggota keluarga yang wafat. Kebiasaan potong jari cuma dilakukan oleh
beberapa wanita kelompok budaya Dani yang telah beristri. Saat ada anggota
keluarganya yang wafat, jadi jari mereka bakal dipotong dengan kampak batu. Jika
potong jarinya tidak dapat dilakukan, maka yang dipotong yaitu daun telinga atau
dimaksud Ikipalek. Walau demikian, mereka mengatur anak, ladang serta memasak.Hal
ini merupakan bentuk bela sungkawa yang terdalam. Untuk mereka, rasa sakit dari jari
yang dipotong tidak seberapa dengan rasa sakit yang ditinggalkan keluarga terkasih
Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik
Pedoman dasar hidup bersama dalam satu keluarga, satu marga, satu honai
(rumah), satu suku, satu leluhur, satu bahasa, satu sejarah/asal-muasal, dan
sebagainya.Kebersamaan sangatlah penting bagi masyarakat Pegunungan Tengah.
Memaknai adat potong jari ini, masyarakat Dani memandang penting artinya kehadiran
kerabat atau keluarga sehingga mengharapkan tidak adanya kematian yang memisahkan
mereka. Selanjutnya, bagaimana pengetahuan masyarakat Dani dalam memanfaatkan
alam sekitarnya untuk kelangsungan hidupnya?
3.5.Jenis Tanaman yang dimanfaatkan oleh Masyarakat Dani
Arobaya & Pattiselanno (2007) telah melakukan penelitian berupa dua buah studi
lapangan yang dilakukan terpisah di Lembah Baliem Papua untuk mengidentifikasi jenisjenis tanaman berguna bagi orang Dani yang hidup di lembah tersebut. Kedua studi
lapangan ini telah berhasil mengidentifikasi minimal 35 jenis tanaman berguna yang
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, contohnya bahan konstruksi, kayu bakar,
pangan, peralatan dapur dari berburu serta sebagai ornamen budaya atau ritual tertentu.

Tujuh jenis tanaman diidentifikasi sebagai bahan bangunan yang umum digunakan
oleh masyarakat Dani. Misalnya untuk bahan bangunan banyak digunakan Podocarpus
papuana sebagai panel dinding bagian dalam, sedangkan bagian luar terbuat dari
Araucaria cunninghamii, Paraserianthes faltacaria dan beberapa jenis kayu keras lainnya.
Imperata cylindrica atau daun palem (Calamus sp) dimanfaatkan baik untuk atap rumah
maupun kandang ternak babi. Pemanfaatan jenis tanaman tertentu sebagai kayu bakar
merupakan hal yang umum dilakukan oleh kelompok masyarakat yang mendiami daerah
sekitar hutan. Dalam penenlitian ini ditemukan 17 jenis tanaman digunakan secara luas
oleh masyarakat Dani sebagai sumber kayu bakar.
Jika ditinjau menurut aspek ketahanan pangan, meskipun tidak terlalu banyak yang
diungkap selama pengamatan karena terbatasnya waktu, beberapa jenis tanaman
berhasil teridentifikasi dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan secara khusus
bagian buahnya antara lain Ipomoea batatas, Lagenaria siceraria, dan Pandanus
julianettii. Penelitian ini juga berhasil mengidentifikasi Sembilan jenis tanaman yang
dimanfaatkan untuk tujuan sosial budaya misalnya sebagai ornamen dalam ritual budaya
setempat. Studi ini hanya sedikit menemukan jenis tanaman obat tradisional karena
memang focus pengamatan lebih banyak tertuju pada jenis tanaman yang digunakan
sehari-hari seperti kayu bakar dan bahan konstruksi. Berikut ini jenis tanaman yang
dimanfaatkan kelompok budaya Dani dalam aktivitas hariannya.
Tabel 1. Jenis Tanaman yang Dimanfaatkan Kelompok Budaya Dani dalam aktivitas hariannya
(Arobaya & Pattiselanno, 2007)
Species
Acalypha amentaceae

Nama local
Lesane

Alpinia brevituba

Jewi

Araucaria cunninghamii

Sien

Alyxia floribunda

Ilak-ilak

Baeckea frustescens
Bischofia javanica
Calamus prattianus

Wileh-wileh
Pum
Mul

Castanopis
acuminatissima
Casuarina sp.
Cordyline terminalis

Heye

Dacydium elatum
Dawsonia beccari

Wapi
Wurigi

Eleocharis dulchis

Sali

Kasuari
Jabe

Pemanfaatan
Daun kering untuk menggulung tembakau,
ranting keras untuk kayu bakar, kulit elastis
untuk keranjang dan bahan rajutan untuk tas
serta bahan untuk pakaian wanita.
Bumbu mempunyai aroma special seperti
jahe
Bahan konstruksi, kayu bakar dan peralatan
berburu.
Kulit digunakan untuk bahan rajutan tas
wanita
Bahan kayu bakar
Bahan kayu bakar yang baik
Bahan pe,buat tali, keranjang, peralatan
pertanian dan alat berburu (panah dan
busur)
Buahnya dapat dimakan, kayu untuk
konstruksi, pagar dan kayu bakar
Bahan kayu bakar yang baik
Dahan dan ranting untuk kayu bakar, dan
daun digunakan dalam tarian upacara adat
Kayu bakar
Dahan keras digunakan untuk bahan rajutan
rok wanita
Bahan rok wanita

Ficus aderosperma

Hule

Greviela papuana
Helichrysum
bracteatum
Imperata cylindrica
Ipomoea batatas
Lagenaria siceraria

Wip
Bunga Kurulu

Metrosideros pullei

Selon

Mussaenda
reindwardtiana

Pit-pit engka

Pandanus conoideus

Saik-eken

Pandanus julianettii

Saluke

Pandanus pectinatus

Saim

Paraserianthes faltcaria

Wiki

Piper gibbilimbum

Yelika

Pittosporum ramiflorum

Munika

Podocarpus papuana
Setaria palmifolia

Farahab
Sowa

Wendlandia paniculata

Sugun

Wikstroemia venosa

Henawun

Alang-alang
Hipere
Sika/holim

Kayu kering digunakan untuk pagar dan


kayu bakar, sedangkan kulit kayu sebagai
bahan rok wanita
Kayu bakar
Bunga dengan nilai jual tinggi
Bahan atap rumah dan kandang ternak
Sumber makanan utama Dani
Buahnya
dikonsumsi,
bunga
kering
berbentuk seperti botol digunakan sebagai
tempat menyimpan air dan darah dalam
upacara adat. Buah yang berbentuk panjang
dan lurus digunakan sebagai koteka
pelindung penis
Kayu keras yang digunakan sebagai bahan
konstruksi, pagar, alat penggali, tombak dan
kayu bakar
Daun muda digunakan sebagai bahan alas
noken keranjang yang sering digunakan
untuk memikul barang
Minyak digunakan untuk memasak bahan
makanan dan ampasnya merupakan pakan
ternak babi
Buahnya dikonsumsi sedangkan daun
biasanya digunakan sebagai paying dan
bahan atap pondok di hutan
Daun menggantikan fungsi paying dan
sebagai bahan tikar
Terkadang digunakan sebagai bahan pagar
tetapi umumnya dimanfaatkan untuk kayu
bakar
Biasanya dipakai sebagai pengganti piring
atau gelas
Kayu dimanfaatkan sebagai kayu bakar dan
bijinya dipakai anak-anak untuk bermain
perang-perangan
Kayu bakar dan komponen konstruksi
Daun dikonsumsi, dimasak dengan cara
bakar batu yaitu cara tradisional memasak
dengan batu yang panas.
Dahan dan ranting kering digunakan sebagai
pagar dan kayu bakar
Kulit yang elastis digunakan sebagai tali
untuk merajut keranjang dan bahan rok
wanita.

Data di atas menunjukkan bahwa kelompok budaya Dani memanfaatkan lingkungan


alamnya untuk keberlangsungan hidupnya dengan mengelompokkan tanam-tanaman
sesuai dengan kegunaannya. Tidak semua tanaman digunakan sebagai kayu bakar atau
bahan konstruksi. Semakin spesifik dan semakin banyak istilah (pelebelan) yang
digunakan masyarakat Dani untuk merujuk pada tumbuhan maka semakin menunjukkan
nilai penting tumbuhan tersebut bagi masyarakat setempat sekaligus memperlihatkan
adanya penekanan budaya pada area tersebut.

Kita telah mengenal koteka sebagai salah satu jenis tanaman yang dimanfaatkan
masyarakat Dani (pria Dani) sebagi pelindung bagian tertentu dari tubuhnya. Sementara
itu, perempuan Dani mengenakan wah. Sebelum kelompok budaya Dani mengenal
pakaian, masyarakat Dani memanfaatkan alam untuk menutup tubuhnya.Kenapa
beberapa pria kelompok budaya Dani menggenakan koteka? Hal semacam itu tidak
terlepas dari lokasi yang mereka menempati. Wamena yaitu lokasi perbukitan yang
beberapa besar masih tetap tertutup rimba rimba. Dengan menggunakan koteka,
beberapa pria kelompok budaya Dani leluasa bergerak didalam rimba untuk berburu atau
menuai tumbuhan. Beberapa pria yang menggunakan koteka di kelompok budaya Dani
cuma tinggal beberapa orang tua saja. Anak-anak muda disana telah mengenakan
pakaian, walau masih tetap menggunakan koteka untuk festival atau acara-acara adat.
Koteka terbuat dari buah labu yang memiliki bentuk lonjong. Isinya dibuang serta lantas
dipanaskan diatas api. Sesudah mengeras, buah labu itu diikat dengan tali kecil yang
dihubungkan ke sisi punggung pria. Koteka cuma menutupi alat kelamin pria saja.
3.6.Teknologi indegeneous Wen Hipere Kelompok Budaya Dani dan Peranan Wanita
Dani dalam Mempertahankan Kelangsungan Ubijalar Sebagai Makanan Pokok
Seperti yang telah diuraikan di atas, Orang Dani bahkan mengenal suatu sistem
pengairan yang diperluas. Tanahnya cukup subur. Masyarakat di lembah Baliem
merupakan masyarakat agraris dengan bercocok tanam secara tradisional. Makanan
pokok bagi masyarakat lokal yaitu ubi jalar atau biasa disebut Hipere. Mereka
menjadikan ipere sebagai makanan pokok sejak nenek moyang mereka karena mudah
dibudidayakan. Orang Dani di lembah Baliem memiliki ciri kebun yang spesifik yaitu
kebun (wen) hipere dikelilingi parit dalam setinggi sekitar 1 meter, lebar 1 meter. Pada
bedengan ditanami ubi jalar dalam kuming-kuming ubi jalar. Mengapa orang Dani
membuat kebun sedemikian rupa? Orang Dani yang terkenal piawai dalam mengolah
lahan dengan menggunakan spade (sekop tanil) mempunyai tujuan. Pertama, mencegah
kelebihan air yang dapat merusak tanaman dan umbi di musim hujan dan menyediakan
air ketika musim kering. Kedua, parit besar juga merupakan perangkap babi yang akan
merusak kebun yang dinamakan sown. Ketiga, saat hujan lebat air sungai Baliem yang
besar dan membelah Lembah Baliem kerap kali meluap dan menghanyutkan ikan ke
dalam parit di kebun yang berdekatan dengan sungai Baliem. Masyarakat Dani
menggunakan tongkat sederhana sebagai cangkul pengolah lahan kebun ubi. Sadar atau
tidak, penggunaan teknologi sederhana ini berfungsi dalam konservasi tanah kebun di
lereng bukit (yang memang senstif terhadap erosi dan longsor). Cara lain yang mereka
lakukan untuk mengkonservasi lahan di lereng bukit adalah dengan sistem bera, yaitu
mengistirahatkan lahan kebun bertahun-tahun (bisa sampai 10 tahun) setelah digunakan

selam dua siklus penanaman secara berturut-turut. Dan masih terdapat beberapa tradisi
yang merupakan wujud sistem pengetahuan lokal terhadap lingkungan.
Meskipun saat ini, cara tersebut kurang efisien dengan perkembangan masyarakat.
Selain produktivitas lahan rendah (sekitar 25% penggunahan lahan untuk parit), juga
karena kurang efisien dalam penerimaan petani. Pendapatan petani hanya dari ubi jalar
yang hanya dapat dipasarkan sebanyak 25% selebihnya untuk konsumsi keluarga,
sementara itu curahan tenaga untuk pengolahan lahan sedemikian cukup besar (BPTP
Papua, 2011). Saat ini BPTP Papua mengintroduksi ikan dalam sistem usaha tani ubi alar
petani Dani yaitu dengan memperbaiki konstruksi parit agar memenuhi syarat teknis
dalam pemeliharaan ikan. Teknologi ini selanjutnya diberi nama Mina Wen Hipere. Kata
mina berarti ikan. Inovasi ini tidak merubah kebiasaan petani, hanya menyempurnakan
sehingga dapat lebih produktif.Fenomena ini menunjukkan adanya pemahaman
masyarakat Dani dalam bidang pertanian yaitu bagaimana membudidayakan ubijalar.
Penelitian yang telah dilakukan Widyastuti (1994) menunjukkan sisi lain dari peran
penting wanita Dani dalam mempertahankan kelangsungan ubijalar sebagai makanan
pokok. Sebutan ubijalar sebagai tanaman wanita didasarkan pada sebagian besar
pekerjaan dalam budidaya ubijalar di Jayawijaya yang dilakukan oleh wanita. Sementara
itu, pria pada umumnya bertugas membuka kebun, membuat pagar, mengolah tanah dan
membuat saluran air. Setelah itu, tugas selanjutnya dilakukan oleh wanita, meliputi
penyiapan stek untuk tanam, penanaman, penyiangan, panen dan pengolahan hasil.
Penyiapan stek untuk ditanam biasanya dilakukan dengan cara memotong stek,
panjangnya sekitar 50-60 cm. dalam penyiapan stek ini mereka memperhatikan jumlah
anggota keluarga (dewasa dan anak-anak) dan jumlah ternaknya. Disamping itu, karena
ubijalar merupakan makanan pokok, mereka juga mempertimbangkan jenis yang cukup
banyak agar tidak bosan, karena setiap jenis mempunyai rasa yang khas. Penyiapan stek
dilakukan sehari sebelum tanam. Selama satu hari tersebut, stek disimpan dalam lubang
yang ditutupi rumput. Hal ini dimaksudkan agar stek tidak layu pada saat akan ditanam
pada keesokan harinya. Stek diambil dari kebun yang sudah agak tua, tetapi masih
terdapat sulur yang baik atau diambil dari tanaman yang sudah dibuang ke saluran.
Terdapat dua cara penanaman yang umum dilakukan oleh wanita yaitu dalam bentuk
mound dan menanam langsung di atas bedengan. Menanam dalam bentuk mound biasa
mereka lakukan di kebun yang datar dan kebun pada lereng yang kecuramannya tidak
terlalu tajam. Sedangkan untuk kebun di lereng yang mempunyai kecuraman cukup
tajam, mereka biasa menanam langsung di bedengan dengan kerapatan yang tinggi. Hal
ini mereka lakukan untuk menghindari erosi. Mereka melakukan penanaman biasanya

pada pagi hari, dan sesudahnya mereka melakukan kegiatan lainnya seperti menggali
ubi, mencari sayur dan sebagainya.
Ada hal yang menarik dari wanita-wanita ini dalam teknik menanam ubijalar yaitu
mereka biasanya merambatkan ubijalar yang bersulur panjang dan letaknya di tengah.
Wanita tahu persis jenis ubi yang dapat dirambatkan dan yang tidak dapat dirambatkan.
Tanaman yang dirambatkan itu umumnya tanaman pada baris tengah atau baris kedua
dari tengah, agar tidak menutupi tanaman yang lain. Selain itu, tanaman yang paling
pinggir telah mendapat sinar matahari cukup besar, sehingga dirambatkan. Tujuan dari
merambatkan ubijalar ini adalah supaya semua ubinya menjadi besar semua karena
masing-masing tanaman tidak saling menutupi. Untuk ubi adat (ubi adat adalah ubi yang
dibiarkan sampai besar, yang nantinya akan diberikan pada babi dan babi tersebut akan
disembelih sebagai babi adat).
Penyiangan yang dilakukan oleh wanita, bersamaan dengan pengambilan daun
untuk sayur dan pemanenan umbi. Penyiangan pertama bersamaan dengan
pengambilan daun. Penyiangan kedua dan seterusnya mereka lakukan bersamaan
dengan pemanenan. Jadi penyiangan dilakukan tidak hanya dua kali, tetapi tergantung
dari frekuensi pemanenan ubi satu tanaman. Apabila tanaman sudah agak tua, maka
mereka membuangnya ke saluran. Tujuan pembuangan ini supaya tumbuh lagi sulur
yang muda yang dapat dimanfaatkan sebagai cadangan untuk sayur, makanan babi atau
cadangan stek untuk penanaman berikutnya. Berbeda dengan daerah lain seperti Tiom
karena tidak ada saluran yang dalam, maka pemotongan sulur yang tua hanya untuk
makanan babi atau dibuang.
Cara panen yang dilakukan oleh wanita di kabupaten Jayawijaya berbeda dengan
yang biasa dilakukan di daerah lain. Mereka melakukan panen dengan alat yang disebut
sege (yaitu semacam tongkat dengan ujung runcing sepanjang sekitar satu meter).
Pemanenan dilakukan dengan cara menusukkan sege ke bawah tanaman sampai terasa
ada ubi yang cukup besar untuk dipanen. Setelah itu baru mereka menggalinya, dan
mengambil hanya satu atau dua. Sisanya mereka timbun lagi dan dibentuk mound yang
baru. Bersamaan dengan panen tersebut mereka membersihkan rumput-rumput atau
tanaman lain yang ada di sekitarnya. Dalam panen ini, wanita mempertimbangkan berapa
anggota keluarga yang harus diberi makan dan berapa jumlah ternak (babi) yang
dipelihara. Kalau ada acara adat, berapa yang menyumbang ubi.
Ada beberap cara yang biasanya dilakukan oleh wanita Jayawijaya untuk mengolah
ubijalar. Cara yang paling sering dilakukan adalah membakar dalam abu, bakar batu dan
merebusnya. Pada umumnya wanita Dani, bekerja terus sampai mereka tua atau tidak
dapat berjalan lagi. Pada saat hamil, mereka tetap bekerja. Baru pada saat melahirkan

mereka tidak ke kebun selama dua minggu. Apabila mereka sedang sakit atau
melahirkan, maka pekerjaannya dibantu oleh saudara perempuan atau kalu orang tua
maka akan dibantu oleh anak menantunya.
Wanita di Jayawijaya mempunyai pengetahuan lebih luas mengenai ubijalar
dibandingkan wanita dari daerah lain di Papua. Kelebihan tersebut antara lain, mereka
dapat membedakan jenis ubi sesuai dengan kegunaan, umur, karakteristik dan sebaran
dari jenis ubi tersebut. Dengan demikian, wanita ini secara tidak langsung berperanan
sangat penting dalam menentukan apakah suatu cultivar akan terus ditanam atau tidak.
Karena wanitalah yang menentukan jenis apa yang akan ditanam, dengan
mempertimbangkan jumlah keluarganya, dewasa atau anak-anak dan berapa jumlah
ternak babi yang dia beri makan.
Di daerah Jayawijaya ini, secara turun temurun wanita sudah mengetahui jenis apa
yang cocok untuk makanan orang dewasa, anak-anak dan orang sakit maupun untuk
babi. Untuk anak-anak dan bayi mereka biasa memberikan jenis ubi yang lembek, tidak
berserat, manis dan berwarna, contohnya ubi yang berwarna jingga seperti wortel yang
mengandung beta karoten. Jenis ubi untuk babi biasanya berserat, keras dan ubinya
besar-besar. Apabila babi diberi makan dengan jenis ubi yang khusus ini, maka babinya
akan cepat besar. Selain itu, wanita juga mengetahui umur panen pertama dari masingmasing jenis ubijalar. Wanita di daerah Jayawijaya juga mengetahui jenis-jenis ubijalar
yang dapat ditanam dan tumbuh baik di daerah lereng atau daerah lembah. Jadi secara
tidak langsung mereka juga telah melakukan seleksi terhadap jenis-jenis ubi yang cocok
untuk suatu daerah.
Ogawa (Snively & Corsiglia, 2001), mendefinisikan indigenous knowledge (IK)
sebagai suatu kesadaran rasional terhadap realita dari masyarakat. Perolehan IK dari
suatu masyarakat dibutuhkan waktu yang panjang melalui interaksinya dengan alam
dimana mereka berada. IK dapat meliputi pengetahuan tentang bahasa, system
klasifikasi dan tata nama, penggunaan sumber daya alam, ritual/upacara adat,
spiritualitas, dan pandangan terhadap alam semesta. Ceteje (Quigley, 2009) menyatakan
bahwa IK merupakan suatu budaya yang kelestariannya dijaga turun-temurun dari satu
generasi ke generasi berikutnya. IK kadang-kadang dinyatakan sebagai ethnoscience
yang menunjukkan pengetahuan lokal yang mempunyai karakter khas dimana
perolehannya berdasarkan observasi terhadap peristiwa alam, klasifikasi, dan
pemecahan masalah. Ethnoscience meliputi pengetahuan dalam bidang pertanian,
astronomi, pelayaran, matematika, pengobatan, kemiliteran, rekayasa, arsitektur dan
ekologi (Snivley & Coesiglia, 2001).

Warisan turun-temurun teknologi masyarakat setempat dalam mengolah kebun


ubijalar khususnya pengetahuan serta pengalaman wanita Dani dalam mengolah ubijalar
perlu dilestarikan dan dapat diintegrasikan ke dalam pembelajaran.Pemerintah provinsi
Papua dapat memasukkan mata pelajaran pendidikan lingkungan hidup (muatan lokal)
pada level sekolah dasar atau sekolah menengah di kabupaten Jayawijaya. Siswa bisa
saja diajak untuk melihat langsung cara masyarakat setempat membudidayakan ubijalar
dan bagaimana upaya masyarakat setempatuntuk tetap menjaga keseimbangan
lingkungan. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan minat dan motivasi
masyarakat Dani terhadap pendidikan. Sejalan dengan hal ini, di negara non barat
banyak siswa merasa kesulitan dalam belajar sains, hal itu bidang sains sarat dengan
muatan nilai budaya barat. Ogunniyi (Barker et al, 1995) berpendapat bahwa sains dan
pengetahuan tradisional memiliki cara pandang berpikir yang berbeda. Oleh sebab itu di
negara-negara non barat kurikulum sains yang dibuat sebaiknya disesuaikan dengan
latar belakang budaya siswa dan bukan hanya mengimpor kurikulum dari negara barat
sehingga diperkirakan siswa akan sukses dalam mengikuti pelajaran sains.
Lebih lanjut, adakah pengetahuan masyarakat setempat terhadap tanaman obatobatan?
3.7.Pemanfaatan Tanaman Lilin ( Setaria palmifolia ) Sebagai Obat Tradisional
Di tanah Papua, terutama di daerah Pegunungan Tengah, terdapat tanaman Setaria
palmifolia, yang lebih dikenal sebagai tanaman sayur lilin. Tanaman ini dibudidaya secara
tradisional sebagai tanaman sayuran. Tanaman sayur lilin dapat digolongkan dalam sayur
non komersial, dan hanya dijadikan atau dimanfaatkan sebagai tanaman sayur untuk
dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Dari informasi yang diturunkan secara turun
temurun diketahui bawah selain dimanfaatkan sebagai bahan makanan yang dikonsumsi,
juga tanaman ini digunakan oleh masyarakat setempat untuk ibu-ibu yang baru
melahirkan, mengkonsumsi untuk membersihkan dalam kandungan, mengembalikan
stamina dalam jaringan sel tubuh manusia dan digunakan sebagai obat Keluarga
Berencana (KB) alamiah (Weya, 2010).
Masyarakat Dani menyebut tanaman sayur lilin adalah Soaa . Manfaat sayur lilin
di kalangan kelompok budaya Dani akan dikaji berikut ini. Masyarakat Dani
memanfaatkan sayur lilin sebagai Keluarga Berencana (KB) alamiah dari turun temurun.
Caranya adalah sayur lilin setelah dimasak sebelum dikonsumsi dicampur dengan sejenis
daun yang hanya tumbuh dibelantara. Setelah diambil daun tersebut, dikonsumsi
bersamaan dengan sayur lilin yang telah dimasak oleh ibu-ibu selama 3 (tiga) hari pagi,
siang dan sore. Pada saat pengambilan atau pemetikan daun dari belantara inipun tidak
boleh disentuh oleh tangan manusia.Sebelum mengkonsumsi, kepala suku atau orang

tua Adat yang dipercaya oleh masyarakat setempat mengadakan ritual adat menentukan
waktu kapan ibu tersebut dapat reproduksi lagi (hamil). Maksud dari ritual ini, agar ibu
tersebut terjamin akan kondisi kesehatannya, karena di daerah pedalaman pada
umumnya (Suku Dani) ibu-ibu usia produktif banyak yang meninggal dunia karena
melahirkan.
Sayur lilin sangat baik juga untuk ibu yang sakit karena persalinan dan sulit bersalin.
Caranya adalah sayur lilin dimasak bersamaan dengan sayur gedi, dan dikonsumsi oleh
ibu yang sakit sehingga mempermudah persalinan. Sayur gedi mengandung zat pelicin
yang dapat merangsang keluarnya bayi dari rahim. Bila seorang ibu telah melahirkan
(bersalin) tetapi plasentanya tertahan di dalam Rahim, ibu tersebut dapat mengkonsumsi
sayur lilin dan tulang belut yang telah dihancurkan. Caranya adalah sayur lilin ditumbuk
agak hancur dan dicampur dengan tulang ikan belut yang telah dihancurkan dan
dibungkus dengan daun pisang serta dipanggang diatas bara api. Setelah matang,
didinginkan lalu dikonsumsi oleh ibu tersebut. Selang beberapa waktu, plasenta dengan
sendirinya keluar dari rahim ibu tanpa keluhan atau kesakitan.
Sayur lilin sangat bermanfaat bagi masyarakat Papua yang hidup di daerah
pegunungan. Mereka mempercayai bahwa sebuah tumbuhan atau obat yang di
takdirkan Tuhan tumbuh untuk menyelamatkan orang asli Papua dari berbagai sakit
penyakit yang menimpa kehidupan masyarakat. Hal ini pernah disampaikan oleh
beberapa misionaris (Iwin) dari Belanda dan (Tondies) dari Amerika, ketika mereka
membawa Injil masuk dan tinggal di Tanah Papua, khususnya di daerah Pegunungan
Papua.
Kepercayaan masyarakat Papua khususnya kelompok budaya Dani mengenai
tumbuhan obat merupakan sebuah kearifan lokal yang perlu dilestarikan. Tentunya tidak
hanya bermanfaat bagi masayarakat Papua tapi juga dapat di manfaatkan oleh
masyarakat umum. Nilai yang terkandung dalam kepercayaan ini adalah adanya
pengetahuan masyarakat setempat (indigenous science) yang memanfaatkan tumbuhan
sebagi bahan obat. Namun perlu adanya perhatian dari pemerintah dan berbagai pihak
yang terkait baik akademisi maupun dinas kesehatan untuk melakukan riset lebih lanjut,
mengalisis kandungan bahan kimia yang terdapat dalam tanaman obat tersebut dan
menguji efektifitas atau kinerja bahan kimia sebagai obat. Tujuannya untuk mengetahui
apakah bahan obat tersebut memenuhi standar kesehatan (telah teruji secara klinis), agar
terhindar dari efek samping bahan obat dan mengetahui secara ilmiah komposisi, dosis
atau takaran yang tepat ketika hendak dikonsumsi oleh penderita atau pasien.

3.8.Buah Merah
Buah Merah adalah sejenis buah tradisional dari Papua. Oleh masyarakat Wamena,
Papua, buah ini disebut kuansu. Nama ilmiahnya Pandanus conoideus karena tanaman
Buah Merah termasuk tanaman keluarga pandan-pandanan dengan pohon menyerupai
pandan, namun tinggi tanaman dapat mencapai 16 meter dengan tinggi batang bebas
cabang sendiri setinggi 5-8 m yang diperkokoh akar-akar tunjang pada batang sebelah
bawah.Kultivar buah berbentuk lonjong dengan kuncup tertutup daun buah. Buah Merah
sendiri panjang buahnya mencapai 55 cm, diameter 10-15 cm, dan bobot 2-3 kg.
Warnanya saat matang berwarna merah marun terang, walau sebenarnya ada jenis
tanaman ini yang berbuah berwarna coklat dan coklat kekuningan.

Gambar 3. Salah Satu Jenis Buah Merah (Pandanus conoideus)

Bagi masyarakat di Wamena, Buah Merah disajikan untuk makanan pada pesta adat
bakar batu. Namun, banyak pula yang memanfaatkannya sebagai obat. Secara
tradisional, Buah Merah dari zaman dahulu secara turun temurun sudah dikonsumsi
karena berkhasiat banyak dalam menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti
mencegah penyakit mata, cacingan, kulit, dan meningkatkan stamina.Adapun penelitian
tentang khasiat pengobatan Buah Merah pertama kali dilakukan oleh Drs. I Made Budi
M.Si. yang sempat mengamati secara seksama kebiasaan masyarakat tradisional di
Wamena, Timika dan desa-desa kawasan pegunungan Jayawijaya yang mengonsumsi
Buah Merah. Pengamatan atas masyarakat lokal berbadan lebih kekar dan berstamina
tinggi, padahal hidup sehari-hari secara asli tradisional yang serba terbatas dan terbuka
dalam berbusana dalam kondisi alam yang keras serta kadang-kadang bercuaca cukup
dingin di ketinggian pegunungan. Keistimewaan fisik penduduk lain yakni jarang yang
terkena penyakit degeneratif seperti hipertensi, diabetes, penyakit jantung dan
kanker,dan lain-lain.
Dengan meneliti kandungan komposisi gizinya, ternyata dalam wujud sari Buah
Merah itu banyak mengandung antioksidan (karoten, betakaroten dan tokoferol).

Terdapat pula beberapa zat lain yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain:
asam oleat, asam linoleat, asam linolenat, dekanoat, Omega 3 dan Omega 9 yang
semuanya merupakan senyawa aktif penangkal terbentuknya radikal bebas dalam
tubuh.Hasil penelitian tentang buah merah ini dapat digunakan oleh guru kimia atau
dosen kimia ketika membahas materi kimia misalnya pemisahan campuran dan
penentuan struktur senyawa organik bahan alam. Prinsip-prinsip pemisahan campuran
untuk mendapat sari atau minyak buah merah dapat diperkenalkan kepada siswa atau
mahasiswa. Isolasi senyawa-senyawa non polar biji buah merah dilakukan dengan
ekstraksi sokhlet dengan pelarut petroleum eter. Residu dimaserasi dengan etanol untuk
mengisolasi senyawa-senyawa yang lebih polar. Identifikasi awal golongan senyawa
dalam ekstrak petroleum eter dan ekstrak etanol dilakukan dengan metode skrining
fitokimia dan uji penegasan dengan KLT. Fraksinasi ekstrak petroleum eter dilakukan
dengan KCV. Analisis lanjut tentang fraksi yang dominan dari ekstrak petroleum eter
diidentifikasi

menggunakaninstrumen

GC-MS

(Gas

Chromatography-

Mass

Spectroscopy). Kebiasaan turun-temurun masyarakat Dani mengkonsumsi buah merah


untuk kesehatan dapat dijadikan konteks dalam pembelajaran untuk memotivasi peserta
didik asal kelompok budaya Dani dalam mempelajari prinsip-prinsip kimia yang
digunakan untuk mengkaji lebih jauh fenomena tersebut.
4. Simpulan
Masyarakat Dani hidup dalam kebersamaan yang dipimpin oleh seorang pemimpin
adat. Orang Dani lebih mementingkan hidup dalam kebersamaan dalam persamaan. Nilai
kebersamaan dalam persamaan (laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan
perempuan) yang merupakan warisan turun-temurun masyarakat Dani dapat diangkat dalam
membangun suatu sistem pendidikan bagi kelompok budaya ini.

Pemerintah bisa saja

membangun sekolah dengan pola asrama di daerah ini dengan memisahkan sekolah laki-laki
dan sekolah perempuan yang mencerminkan kehidupan kelompok budaya ini.
Orang Dani memandang dunia mereka sebagai suatu alam semesta yang hidup.
Seluruh alam semesta itu ibarat seorang ibu-asal, yang menampakkan diri paling paling jelas
sebagai matahari. Dia diperlakukan dengan rasa hormat yang besar. Pada waktu panen
pertama suatu kebun baru orang menyisihkan beberapa ubi yang besar untuk dikembalikan
kepada alam. Matahari pada malam hari kembali ke rumahnya di suatu lembah tertentu.
Matahari dipandang sebagai wanita tetapi dia juga juga menyandang perlengkapan perang
laki-laki. Hal ini dapat dimaknai bahwa ketika manusia merusak alam maka alam dapat
memberi hukuman kepada umat manusia misalnya lewat bencana alam.
Nilai orang Dani dalam memaknai penciptaan alam semesta, pandangan tentang
kesatuan bangsa manusia, pengetahuan tentang perbedaan manusia dan hewan, matahari

dan peredaran matahari berbeda dengan sains modern. Oleh karena itu pengajar sains
diharapkan dapat membantu siswanya memperoleh pengetahuan ilmiahnya tanpa
mengesampingkan keyakinan dan pengalaman-pengalamannya.
Orang Dani selain menjunjung tinggi kebersamaan, juga menjunjung tinggi gotongroyong, saling membantu dan rasa kekerabatan yang tinggi. Hal ini tergambar dalam kegiatan
bakar batu saat dilakukan pesta adat dan peristiwa potong jari sebagai bentuk bela sungkawa
dari anggota keluarga yang wafat.
Kelompok budaya Dani memanfaatkan lingkungan alamnya untuk keberlangsungan
hidupnya dengan mengelompokkan tanam-tanaman sesuai dengan kegunaannya. Semakin
spesifik dan semakin banyak istilah (pelebelan) yang digunakan masyarakat Dani untuk
merujuk pada tumbuhan maka semakin menunjukkan nilai penting tumbuhan tersebut bagi
masyarakat setempat sekaligus memperlihatkan adanya penekanan budaya pada area
tersebut.
Masyarakat Dani menggunakan tongkat sederhana sebagai cangkul pengolah lahan
kebun ubi. Sadar atau tidak, penggunaan teknologi sederhana ini berfungsi dalam konservasi
tanah kebun di lereng bukit (yang memang senstif terhadap erosi dan longsor). Cara lain yang
mereka lakukan untuk mengkonservasi lahan di lereng bukit adalah dengan sistem bera, yaitu
mengistirahatkan lahan kebun bertahun-tahun (bisa sampai 10 tahun) setelah digunakan
selam dua siklus penanaman secara berturut-turut. Wanita Dani memiliki peran yang sangat
penting dalam mempertahankan kelangsungan ubijalar sebagai makan pokok. Nilai yang
dibangun masyarakat Dani ini adalah kesadaran untuk menjaga keseimbangan alam yaitu
usaha untuk konservasi tanah kebun di lereng bukit yang memang sensitif terhadap erosi dan
longsor.
Sayur lilin dan buah merah sangat bermanfaat bagi masyarakat Papua yang hidup di
daerah pegunungan. Mereka mempercayai bahwa sebuah tumbuhan atau obat yang di
takdirkan Tuhan tumbuh untuk menyelamatkan orang asli Papua dari berbagai sakit penyakit
yang menimpa kehidupan masyarakat.Nilai yang terkandung dalam kepercayaan ini adalah
adanya pengetahuan masyarakat setempat (indigenous science) yang memanfaatkan
tumbuhan sebagi bahan obat.
5. Daftar Pustaka
Aikenhead, G. S., et.al. (1999). Cross-Cultural Science Education: A Cognitive Explanation of
a Cultural Phenomenon. Journal of Research in Science Teaching. 36, 269-287.
Alwasilah, A. C., et.al. (2009). Etnopedagogi: Landasan Praktek Pendidikan Dan Pendidikan
Guru. Kiblat Buku Utama, Bandung.
Arobaya, et.al. (2007). Jenis Tanaman Berguna bagi Suku Dani di Lembah Baliem, Papua.
Biota, Vol 12 (3), 192-195.

Barker, D., et.al. (1995). The Effect of Culture on the Learning of Science in Non-Western
Countries. The Result of an Integrated Research Review. International Journal
Science Education, 17, (60, 695-704.
Boelaars, J. (1986). Manusia Irian Dahulu, Sekarang, Masa Depan. Jakarta: PT Gramedia.
BPTP Papua. (2011). Usaha Tani Mina Wen Hipere. Teknologi Indegeneous Wen Hipere
Suku Dani di Kabupaten Jayawijaya. Edisi khusus Penas XIII.
Djulia, E. (2005). Peran Budaya Lokal dalam Pembentukan Sains. Studi tentang
Pembentukan Sains Siswa Kelompok Budaya Sundan Tentang Fotosintesis dan
Respirasi Tumbuhan dalam Konteks Sekolah dan Lingkungan Pertanian. Disertasi
UPI. Tidak Diterbitkan.
Permendikbud Nomor 69 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum
Sekolah Menengah Atas/Aliyah.
Quigley, C. (2009). Globalization and Science Education: The Implication for Indigenous
Knowledge Systems. International Education Studies, 2, (1), 76-86.
Rustaman, N. (2014). Ethnopedagogy, Ethnoscience & Indigneous Science. Materi
Perkuliahan Etnosains dalam bentuk Power Point.
Snively, G., et.al. (2001). Discovery Indigenous Science Implications for Science. Science
Education, 85, 6-34.
Weya, P. (2010). Pemanfaatan Tanaman Lilin (Setaria palmifolia) Sebagai Obat Tradisional
dalam Kehidupan Beberapa Suku di Kabupaten Puncak Jaya Papua. [Online]:
http://sayurlilin.blogspot.com/p/pemanfaatan-lilin-setaria-palmifolia.html. Akses: 20
Desember 2014.
Widyastuti, C. A. (1994). Peran Wanita Suku Dani dalam Mempertahankan Kelangsungan
Ubijalar Sebagai Makanan Pokok di Kabupaten Jayawijaya, Irian Jaya. Edisi khusus
Balittan Malang, 3, 353-360.

Anda mungkin juga menyukai