SINDROMA NEFROTIK
Oleh
Vicky Octaviani
030.11.297
Pembimbing
dr. Thomas Harry Adoe, Sp.A
KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD BEKASI
PERIODE 1 AGUSTUS-8 OKTOBER 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
BAB I
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Pasien
An. R
12 tahun
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Pelajar
Ayah
Tn. E
42 tahun
Kp dua RT 02 RW 01-Bekasi
Karyawan swasta
Ibu
Ny. S
43 tahun
IRT
I. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan
pasien beserta ibu pasien pada tanggal 23 Agustus 2016 di Bangsal Melati
Keluhan utama
Keluhan tambahan
Tidak ada anggota keluarga yang pernah menderita hal serupa, riwayat
penyakit jantung, penyakit liver, talasemia, hemofilia dan kencing
manis dalam keluarga disangkal.
Riwayat Kebiasaan
Os merupakan anak yang aktif. Menurut ibu os sehari-hari pasien
makan 3x sehari dengan nasi dan lauk sayur, tahu/tempe/telur,
daging/ayam. Asupan cairan sehari-hari kurang lebih 1500 mL.
Perawatan antenatal
Setiap bulan di bidan
Penyakit kehamilan
(-)
Kelahiran
Tempat kelahiran
Rumah bersalin
Penolong persalinan
Bidan
Cara persalinan
Spontan
Usia kehamilan
38 minggu
Berat badan lahir
3500 gr
Panjang badan lahir
48 cm
Nilai APGAR
Tidak diketahui
Kelainan bawaan
(-)
Kesan: riwayat kehamilan dan kelahiran baik
Riwayat Makanan
Umur
(bulan)
0-2
2-4
4-6
6-8
8-10
10-12
ASI/PASI
Buah/biskuit
Bubur susu
Nasi tim
ASI
ASI
ASI
ASI + Susu formula
ASI + Susu formula
ASI + Susu formula
Kesan: Pasien mendapatkan ASI ekslusif sejak lahir hingga usia 6 bulan,
dilanjutkan dengan ASI dan PASI setelah berusia 6 bulan.
Vaksin
Hepatitis
Riwayat imunisasi
Umur
Lahir
1 bulan
B
Polio
Lahir
2 bulan
BCG
Lahir
DTP
2 bulan
4 bulan
Campak
9 bulan
Kesan: imunisasi dasar lengkap
6 bulan
4 bulan
6 bulan
6 bulan
Kesadaran
: Compos mentis
Kesan sakit : Tampak sakit sedang, lemah
Tanda vital
o Tekanan darah
: 120/80 mmHg
o Nadi
: 110 x/menit
o Napas
: 30 x/menit
o Suhu
: 36.4 OC
Status gizi
BB
: 39 kg (sebelumnya 35 kg)
TB
: 150 cm
LLA : 21 cm
TB/U: SD 0-+1 normal
+
+
+
+
Status generalis
Kepala
Wajah
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
Leher
Thorax
T1
Kelenjar tidak teraba, nyeri tekan (-)
Inspeksi: Normochest, efloresensi kulit (-) spider nevi (-), gerak napas
simetris statis dan dinamis, pelebaran sela iga (-/-), retraksi iga (-/-)
Palpasi: Gerak napas simetris
Perkusi: Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi:
Cor: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Genitalia
Extremita
s
sulit dinilai
Oedem skrotum(+)
Deformitas (-), akral hangat , oedem, pitting oedem (+), CRT < 2 detik
+
+
III.PEMERIKSAAN PENUNJANG
+
+
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal
19/08/16
Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin
Eritrosit
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Index eritrosit
MCV
MCH
Nilai normal
Hasil
13-17.5 g/dL
4-6 juta/uL
40-54%
5-10 ribu/uL
150-400 ribu/uL
13.1
5.11
30.4
9.9
432
82-92 fL
27-32 pg
79.0
25.7
22/08/16
MCHC
Urin lengkap
Kimia
Warna
Kejernihan
pH
Berat jenis
Albumin urin
Glukosa
Keton
Urobilinogen
Bilirubin
Darah samar
Leukosit esterase
Nitrit
Mikroskopis
Eritrosit
Leukosit
Silinder
Epitel
Kristal
Bakteri
Lain-lain
Hematologi
Hemoglobin
Eritrosit
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
LED
Index eritrosit
MCV
MCH
MCHC
Hitung jenis
Basofil
Eosinofil
Batang
Segmen
Limfosit
Monosit
Kimia klinik
Protein total
Albumin
32-32%
32.5
Kuning
Jernih
5.0-8.0
10005-1030
Negatif
Negatif
Negatif
0.1-1 UE
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Kuning
Agak keruh
7.0
1015
Positif 3 (+++)
Negatif
Negatif
0.2
Negatif
Positif 3 (+++)
Positif 1 (+)
Negatif
2 /lbp
5 / lbp
Negatif
Gepeng (+)
Negatif
Negatif
Negatif
10-15
5-10
Granula (+)
Gepeng (+)
Negatif
Positif 1 (+)
Negatif
13-17.5 g/dL
4-6 juta/uL
40-54%
5-10 ribu/uL
150-400 ribu/uL
1-10 mm
12.5
4.96
38.8
10.0
414
115
82-92 fL
27-32 pg
32-32%
78.1
25.2
32.3
<1
1-13%
2-6%
52-70%
20-40%
2-8%
0
4
2
49
40
5
6.6-80 g/dL
3.5-4.5 g/dL
3.38
1.1
7
Globulin
Fungsi hati
SGOT
SGPT
Fungsi ginjal
Ureum
Kreatinin
Lemak
Trigliserid
Kolesterol total
GDS
Elektrolit
Na
K
Cl
28/08/16 Albumin
29/08/16 Albumin
1.5-30 g/dL
2.7
<37 U/L
<41 U/L
18
5
20-40 mg/dL
0.5-15 mg/dL
20
0.46
<160 mg/dL
<200 mg/dL
60-110 mg/dL
772
575
94
135-145 mmol/L
3.5-5.0 mmol/L
94-111 mmol/L
3.5-4.5 g/dL
134
3.5
92
2.04
3.5-4.5 g/dL
2.08
Pemeriksaan Radiologi
Foto thorax AP
Pulmo: corakan brokovaskular > sepertiga hemithorax kanan dan kiri, tampak
kranialisasi, pelebaran dan penebalan hilus, hilus kiri tampak suram (batas tidak
tegas)
Cor: sulit dinilai dengan foto thorax AP
Kesan: oedema paru
IV. RESUME
An. R, laki-laki, usia 12 tahun, keluhan bengkak pada seluruh tubuh sejak 1
minggu sebelum masuk rumah sakit. Bengkak dimulai dari wajah kemudian
badan, tangan dan kaki. Selain itu os juga mengeluh adanya sesak saat
berbaring sehingga os menggunakan 2 bantal, batuk sejak 2 hari yang lalu dan
os merasa BAK semakin jarang dan berkurang jumlahnya sejak tubuhnya
bengkak. Os mengaku kedua matanya bengkak setiap pagi saat bangun tidur
dan bengkak menghilang saat siang hari. Berat badan os mengalami kenaikan
sebanyak 4 kg sejak bengkak. Riw. Sindrom nefrotik sejak 1 tahun yang lalu.
Pemeriksaan fisik
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Napas: 30 x/menit
Status gizi
BB: 39 kg (sebelumnya 35 kg) TB: 150 cm LLA: 21 cm
Wajah os tampak oedem, oedem palpebra (+/+),
Pemeriksaan thorax terdapat rhonki minimal +/+
Pemeriksaan abdomen terdapat sagging of the flank (+), smiling
umbilicus (+), keras, redup seluruh regio abdomen, shifting dullness
(+),Pada organ genitalia terdapat oedem skrotum(+)
Pada extremitas terdapat oedem, pitting oedem (+)
Pemeriksaan penunjang
Urinalisis: Warna urin agak keruh
Albuminuria positif 3 (+++)
Darah samar Positif 3 (+++)
Eritrosit 10-15
Leukost 5-10
Silinder Granula (+)
LED 115 mm
Protein total 3.38 g/dL
PROGNOSIS
o Ad vitam
: Dubia ad bonam
o Ad sanationam: Dubia ad bonam
o Ad fungtionam: Dubia ad bonam
XI. FOLLOW UP
Tanggal
23/08/201
6
Catatan
Instruksi
Bengkak (+), sesak berkurang, batuk D5% 480cc/hr
Amoxicillin 3x500 mg
berdahak (+), nyeri perut (+), nafsu
Furosemid 2x20 mg
makan
Prednisone 8-5-3 tab
Kes: CM, TSS
Kalium 2x1 tab
BP: 120/80 HR:110 RR: 30 T: 36.4
Infus albumin 125 cc
Wajah: oedem (+)
Mata: oedem palpebra (+)
Thorax: Rh minimal +/+
Abdomen: sagging of the flanks,
smiling umbiilicus (+) keras, BU(+),
NTE (+), redup seluruh abdomen,
shifting dullness (+), LP 75 cm
Ext: oedem (+), pitting (+)
10
24/08/201
6
D5% 480cc/hr
Amoxicillin 3x500 mg
Furosemid 2x20 mg
Prednisone 8-5-3 tab
Kalium 2x1 tab
Cek albumin jika <3
infus albumin 20% 125 cc
25/08/201
6
seluruh
abdomen,
shifting
26/08/201
6
28/08/16
D5% 480cc/hr
Amoxicillin 3x500 mg
Furosemid 2x20 mg
Prednisone 8-5-3 tab
Kalium 2x1 tab
Cek albumin jika >3
stop,
jika
<3
infus
albumin 120 cc
D5% 480cc/hr
Amoxicillin 3x500 mg
Furosemid 1x20 mg
Prednisone 8-5-3 tab
Kalium 2x1 tab
D5% 480cc/hr
Amoxicillin 3x500 mg
Furosemid 1x20 mg
Prednisone 8-5-3 tab
Kalium 2x1 tab
infus albumin 125 cc
LP 55 cm
11
29/08/16
BAB II
ANALISA KASUS
Pada kasus ini ditegakan diagnosis sindrom nefrotik berdasarkan:
1. Anamnesis
Os, jenis kelamin laki-laki datang dengan keluhan bengkak pada
seluruh tubuh (oedem anasarka) sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit
dan bengkak diawali dari wajah diikuti badan, tangan dan kaki.
Bengkak/oedem yang dialami pasien disebabkan karena adanya ekstravasasi
cairan ke ruang interstitial akibat dari penurunan tekanan osmotik yang
berhubungan dengan terjadinya proteinuria masif (albumin), di mana albumin
merupakan protein yang berperan dalam menjaga cairan untuk tetap berada di
dalam vaskular. Selain itu os juga mengaku bahwa mata sering bengkak saat
bangun tidur dan menghilang dengan sendirinya seiring beraktifitas. Bengkak
pada mata ini disebabkan karena jaringan pada palpebra merupakan jairngan
ikat longgar sehingga oedem mudah terjadi di daerah ini, hilangnya oedem
berkaitan dengan gaya gravitasi. Menurut epidemiologi jenis kelamin laki-laki
memiliki angka kejadian sindrom nefrotik lebih banyak dengan perbandingan
2:1.
12
13
cairan
dari
intravaskular
ke
ruang
interstitial.
Kondisi
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Sindrom nefrotik adalahkumplan gejala-gejala yang terdiri dari ke proteinuria masif
(> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin
sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik 2+), hipoalbuminemia (< 2,5 g/dL), edema dan
dapat disertai hiperkolesterolemia (> 200 mg/dL). 6
Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada Sindrom Nefrotik, antara lain : 6
1. Remisi, yaitu proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam)
selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
2. Relaps, yaitu proteinuria 2+ (proteinuria 40 mg/m 2 LPB/jam) selama 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang, yaitu relaps kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah
respons awal atau kurang dari 4x per tahun pengamatan.
4. Relaps sering (frequent relapse), yaitu relaps terjadi 2 kali dalam 6 bulan
pertama atau 4 kali dalam periode satu tahun.
5. Dependen steroid, yaitu relaps 2 kali berurutan pada saat dosis steroid
diturunkan (alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan.
6. Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada pengobatan
prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.
15
7. Sensitif steroid, yaitu remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh
selama 4 minggu.
Epidemiologi
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1) dan
kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling muda
pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa. SNKM terjadi pada 8590% pasien dibawah umur 6 tahun.7 Di Indonesia dilaporkan 6 kasus per 100.000
anak per tahun.
Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Sindrom nefrotik primer (idiopatik)
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara
primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab
lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom
nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, salah satu jenis sindrom
nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia dibawah 1 tahun. Sindrom
nefrotik kongenital diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi
maternofetal dan resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema
pada masa neonatus. Prognosisnya buruk dan biasanya pasien meninggal dalam
bulan-bulan pertama kehidupannya atau pada umur 1 hingga 5 tahun. Faktor
predisposisi kematian sering oleh karena infeksi, malnutrisi atau gagal ginjal.
Pasien bisa diselamatkan dengan terapi agresif atau transplantasi ginjal yang dini.
Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik
idiopatik. Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara histologis :sindrom
nefrotik
kelainan
minimal,
glomerulonephritis
proliferative
(mesangial
16
dan
matriksnya.
Penemuan
pada
mikroskop
Glomerulosklerosis
fokal
segmental
(Focal
segmental
glomerulosclerosis/FSGS)
Pada kasus 10% dari kasus sindrom nefrotik, glomerulus
memperlihatkan proliferasi mesangial dan jaringan parut segmental
pada
pemeriksaan
dengan
mikroskop
biasa.
Mikroskop
17
streptokokus, AIDS
Toksin dan allergen : logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
Henoch-Schinlein, sarkoidosis
Neoplasma : tumor paru, penyakit hodgin, tumor gastrointestinal
Patofisiologi
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah
proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan ini
disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang
18
sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilangnya muatan negatif glikoprotein
dalam dinding kapiler. Akibatnya fungsi mekanisme penghalang yang dimiliki oleh
membran basal glomerulus untuk mencegah kebocoran atau lolosnya protein
terganggu. Mekanisme penghalang tersebut berkerja berdasarkan ukuran molekul dan
muatan listrik. Pada sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran albumin
dan protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu banyak
akibat dari kebocoran glomerulus dan akhirnya diekskresikan dalam urin. Pada
sindrom nefrotik, protein hilang lebih dari 2 g/kgbb/hari yang terutama terdiri dari
albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia. Pada umumnya, edema muncul bila
kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dL. Mekanisme edema belum diketahui
secara fisiologis tetapi kemungkinan edema terjadi karena penurunan tekanan onkotik
atau osmotik intravaskuler yang memungkinkan cairan menembus ke ruangan
interstisial, hal ini disebabkan oleh karena hipoalbuminemia. Keluarnya cairan ke
ruang interstisial menyebabkan edema yang diakibatkan pergeseran cairan. Selain
edema
Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri
menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan
penurunan volume intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi
aliran darah ke ginjal. Hal ini dideteksi lalu mengaktifkan sistem rennin-angiotensinaldosteron (RAAS) yang akan meningkatkan vasokonstriksi dan juga akan
mengakibatkan rangsangan pada reseptor volume intravaskular yang akan
merangsang peningkatan aldosteron yang merangsang reabsorbsi natrium di tubulus
distal dan merangsang pelepasan hormon antidiuretik yang meningkatkan reabsorbsi
air dalam duktus kolektivus, sehingga terjadi retensi natrium dan retensi air.
Karena pengeluaran albumin dalam jumlah banyak di urin maka akan terjadi
hipoalbuminemia yang akan mengakibatkan peningkatan sintesis lipoprotein di hepar
sehingga akan menyebabkan hiperlipoproteinemia
19
20
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:6
1. Urinalisis. Biakan urin dilakukan bila terdapat gejala klinis mengarah ke
infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein / keriatinin
pada urin pertama pagi hari.
3. Pemeriksaan darah antara lain
o Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit, LED)
o Kadar albumin dan kolesterol plasma
o Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau
dengan rumus Schwartz
o Kadar komplemen C3 bila dicurigai Lupus Eritematosus sistemik,
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (Anti nuclear
antibody) dan anti ds-DNA
Biopsi ginjal dilakukan jika terdapat indikasi, antara lain:6
1. Pada presentasi awal
a. Awitan SN usia < 1 tahun atau > 16 tahun
b. Terdapat hematuria nyata, hematuria mikroskopik persisten atau kadar
komplemen C3 serum yang rendah
21
c. Hipertensi menetap
d. Penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh hipovolemia
e. Tersangka sindrom nefrotik sekunder
2. Setelah pengobatan inisial
a. SN resisten steroid
b. Sebelum memulai terapi siklosporin
Tatalaksana
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit
dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum
pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:6
22
23
pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penih, tidak terjadi
remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid
Pengobatan SN relaps
Pada SN relaps diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4
minggu) dilannjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien
SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ++ tetapi tanpa edema,
24
mg/kgBB dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi.
Setelah remisi, prednison diturunkan menjadi 0.8 mg/kgBB secara
alternating, kemudian diturunkan 0.2 mg/kgBB setiap 2 minggu.
Bila relaps terjadi pada dosis predniosn rumat > 0.5 mg/kgBB, alternating,
tetapi < 1 mg/kgBB alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamison selang sehari 2.5 mg/kgBB selama 4-12
bulan, atau langsung dibeikan siklofosfamid (CPA)
2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent, debrikan dengan
dosis 2.5 mg/kgBB dosis tunggal, selang sehari selama 4-12 bulan. Efek
samping lavimisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vaskulitic rash,
neutropenia yang reversibel.
3. Sitostatik
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak
adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. CPA dapat diberikan secara oral
atau intravena dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal maupun secara
puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB yang dilarutkan dalam 250 ml NaCl
0.9% diberikan selama 2 jam. Efek samping CPA adalah mual, muntah,
depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis, hemoragik, azospermia dan dalam
jangka panjang dapat menyebabkan keganasan.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0.2-0.3 mg/kgBB/hari selama 8 minggu.
Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa
kejang dan infeksi.
4. Siklosporin atau mikofenolat mofetil (pilihan terakhir)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan steroid atau sitostatik
dianjurkan
untuk
pemberian
siklosporin
(CyA)
dengan
dosis
4-5
25
26
sehingga
meningkatkan
morbiditas
kardiovaskular
dan
progresivitas glomerulosklerosis.
Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena penggunaan steroid jangka panjang
yang menimbuklkan osteoporosis dan osteopenia dan akibat kebocoran
metabolit vitamin D. pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka
lama (> 3 bulan) diannjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500
mg/hari dan vitamin D 125-250 IU.
Hipovolemia
Pemberiam diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat
terjadi hipovolemi dengan gejala hipotensi, takikardi, ekstremitas dingin dan
sering disertai sakit perut.
Efek samping steroid
Terapi steroid jangka panjang akan menimbulkan efek yang signifikan,
meliputi peningkatan nafsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan
perilaku, peningkatan risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan
demineralisasi pada tulang.
Prognosis
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons yang baik
terhadap pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Prognosis jangka
27
Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6
tahun
Disertai hipertensi
Disertai hematuria
Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal
Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnya
gambaran klinis penyakit.
28
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia. EGC: Jakarta.
2. Alpers A. Sindrom nefrotik. Dalam: (terjemahan) Rudolph AM, Hoffman JI,
Rudolph CD, (penyunting). Buku ajar pediatri Rudolph. Edisi ke-20. Jakarta:
EGC; 2006. hlm. 1503-8.
3. Hull D, Johnston DI. Dasar-dasar pediatri. Edisi ke-3 (terjemahan). Jakarta:
EGC; 2008.
4. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin Ann M. Ilmu kesehatan anak
Nelson. Vol.3; editor edisi bahasa Indonesia, A. Samik Wahab. Edisi ke- 15.
Jakarta: EGC; 2000.
5. Sukandar Enday. Sindrom Nefrotik. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II. Balai Penerbit FKUI . Jakarta : 1998 ; 282 305
6. Trihono, Partiani Pudjiastuti, dkk. 2012. Konsesus Tatalaksana Sindrom
Nefrotik Idiopatik pada Anak. Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta
7. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nelson Textbook
of Pediatric 18th ed. Saunders. Philadelphia.
8. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan
T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak.
Edisi-2. s Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.
9. Mansjoer Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media
Aesculapius : Jakarta.
10. Trihono, Partiani Pudjiastuti, dkk. 2012. Konsesus Tatalaksana Sindrom
Nefrotik Idiopatik pada Anak. Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta.
29
30