Anda di halaman 1dari 30

CASE REPORT

SINDROMA NEFROTIK

Oleh
Vicky Octaviani
030.11.297

Pembimbing
dr. Thomas Harry Adoe, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD BEKASI
PERIODE 1 AGUSTUS-8 OKTOBER 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI

BAB I
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Pasien
An. R
12 tahun

Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan

Pelajar

Ayah
Tn. E
42 tahun
Kp dua RT 02 RW 01-Bekasi
Karyawan swasta

Ibu
Ny. S
43 tahun
IRT

I. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan
pasien beserta ibu pasien pada tanggal 23 Agustus 2016 di Bangsal Melati
Keluhan utama

: Bengkak seluruh tubuh

Keluhan tambahan

: Sesak , mual, muntah, batuk, BAK berkurang

Riwayat Penyakit Sekarang


Os datang ke poli anak RSUD Bekasi dengan keluhan bengkak pada
seluruh tubuh sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Bengkak
dimulai dari wajah kemudian badan, tangan dan kaki. Selain itu os juga
mengeluh adanya sesak saat berbaring sehingga os menggunakan 2
bantal, batuk sejak 2 hari yang lalu dan os merasa BAK semakin jarang
dan berkurang jumlahnya sejak tubuhnya bengkak. Keluhan demam,
nyeri perut, nyeri ulu hati disangkal. Nafsu makan pasien masih baik.
BAK kuning jernih, tidak nyeri, lancar. BAB tidak ada keluhan. Os
mengaku kedua matanya bengkak setiap pagi saat bangun tidur dan
bengkak menghilang saat siang hari. Berat badan os mengalami
kenaikan sebanyak 4 kg sejak bengkak.

Riwayat Penyakit Dahulu


Os didiagnosis menderita sindrom nefrotik dan pernah dirawat karena
keluhan yang sama 1 tahun yang lalu

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang pernah menderita hal serupa, riwayat
penyakit jantung, penyakit liver, talasemia, hemofilia dan kencing
manis dalam keluarga disangkal.

Riwayat Kebiasaan
Os merupakan anak yang aktif. Menurut ibu os sehari-hari pasien
makan 3x sehari dengan nasi dan lauk sayur, tahu/tempe/telur,
daging/ayam. Asupan cairan sehari-hari kurang lebih 1500 mL.

Riwayat kehamilan dan kelahiran


Kehamilan

Perawatan antenatal
Setiap bulan di bidan
Penyakit kehamilan
(-)
Kelahiran
Tempat kelahiran
Rumah bersalin
Penolong persalinan
Bidan
Cara persalinan
Spontan
Usia kehamilan
38 minggu
Berat badan lahir
3500 gr
Panjang badan lahir
48 cm
Nilai APGAR
Tidak diketahui
Kelainan bawaan
(-)
Kesan: riwayat kehamilan dan kelahiran baik

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :


Pertumbuhan gigi pertama
: 5 bulan
Tengkurap dan berbalik sendiri
: 6 bulan
Duduk
: 7 bulan
Merangkak
: 8 bulan
Berdiri
: 10 bulan
Berjalan
: 11 bulan
Berbicara
: 12 bulan
Gangguan perkembangan
:Kesan: Baik (pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan usia)

Riwayat Makanan
Umur
(bulan)
0-2
2-4
4-6
6-8
8-10
10-12

ASI/PASI

Buah/biskuit

Bubur susu

Nasi tim

ASI
ASI
ASI
ASI + Susu formula
ASI + Susu formula
ASI + Susu formula

Kesan: Pasien mendapatkan ASI ekslusif sejak lahir hingga usia 6 bulan,
dilanjutkan dengan ASI dan PASI setelah berusia 6 bulan.

Vaksin
Hepatitis

Riwayat imunisasi
Umur
Lahir

1 bulan

B
Polio
Lahir
2 bulan
BCG
Lahir
DTP
2 bulan
4 bulan
Campak
9 bulan
Kesan: imunisasi dasar lengkap

6 bulan
4 bulan

6 bulan

6 bulan

II. PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran
: Compos mentis
Kesan sakit : Tampak sakit sedang, lemah
Tanda vital
o Tekanan darah
: 120/80 mmHg
o Nadi
: 110 x/menit
o Napas
: 30 x/menit
o Suhu
: 36.4 OC
Status gizi
BB
: 39 kg (sebelumnya 35 kg)
TB
: 150 cm
LLA : 21 cm
TB/U: SD 0-+1 normal

+
+

+
+

Status generalis

Kepala
Wajah
Mata

Normocephali, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut


Tampak oedem
CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra (+/+), pupil bulat isokor, reflek

Telinga
Hidung
Mulut

cahaya langsung (+/+), reflek cahaya tidak langsung (+/+)


Normotia, sekret (-), nyeri tekan (-)
Simetris, deformitas (-), sekret (-), pernapasan cuping hidung (-)
Mukosa bibir tidak kering, sianosis (-), faring hiperemis (-), T1 /

Leher
Thorax

T1
Kelenjar tidak teraba, nyeri tekan (-)
Inspeksi: Normochest, efloresensi kulit (-) spider nevi (-), gerak napas
simetris statis dan dinamis, pelebaran sela iga (-/-), retraksi iga (-/-)
Palpasi: Gerak napas simetris
Perkusi: Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi:
Cor: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Pulmo: SNV (+/+), rhonki minimal +/+ , wheezing (-/-)


Inspeksi: sagging of the flank (+), warna kulit sama dengan sekitar,
striae (-), venektasi vena (-), smiling umbilicus (+)
Auskultasi: Bising usus (+) 3x/menit
Palpasi: keras, nyeri tekan (+) hepar dan lien sulit dinilai
Perkusi: redup seluruh regio abdomen, shifting dullness (+), hepar

Genitalia
Extremita
s

sulit dinilai
Oedem skrotum(+)
Deformitas (-), akral hangat , oedem, pitting oedem (+), CRT < 2 detik

+
+
III.PEMERIKSAAN PENUNJANG

+
+

Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal
19/08/16

Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin
Eritrosit
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Index eritrosit
MCV
MCH

Nilai normal

Hasil

13-17.5 g/dL
4-6 juta/uL
40-54%
5-10 ribu/uL
150-400 ribu/uL

13.1
5.11
30.4
9.9
432

82-92 fL
27-32 pg

79.0
25.7

22/08/16

MCHC
Urin lengkap
Kimia
Warna
Kejernihan
pH
Berat jenis
Albumin urin
Glukosa
Keton
Urobilinogen
Bilirubin
Darah samar
Leukosit esterase
Nitrit
Mikroskopis
Eritrosit
Leukosit
Silinder
Epitel
Kristal
Bakteri
Lain-lain
Hematologi
Hemoglobin
Eritrosit
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
LED
Index eritrosit
MCV
MCH
MCHC
Hitung jenis
Basofil
Eosinofil
Batang
Segmen
Limfosit
Monosit
Kimia klinik
Protein total
Albumin

32-32%

32.5

Kuning
Jernih
5.0-8.0
10005-1030
Negatif
Negatif
Negatif
0.1-1 UE
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

Kuning
Agak keruh
7.0
1015
Positif 3 (+++)
Negatif
Negatif
0.2
Negatif
Positif 3 (+++)
Positif 1 (+)
Negatif

2 /lbp
5 / lbp
Negatif
Gepeng (+)
Negatif
Negatif
Negatif

10-15
5-10
Granula (+)
Gepeng (+)
Negatif
Positif 1 (+)
Negatif

13-17.5 g/dL
4-6 juta/uL
40-54%
5-10 ribu/uL
150-400 ribu/uL
1-10 mm

12.5
4.96
38.8
10.0
414
115

82-92 fL
27-32 pg
32-32%

78.1
25.2
32.3

<1
1-13%
2-6%
52-70%
20-40%
2-8%

0
4
2
49
40
5

6.6-80 g/dL
3.5-4.5 g/dL

3.38
1.1
7

Globulin
Fungsi hati
SGOT
SGPT
Fungsi ginjal
Ureum
Kreatinin
Lemak
Trigliserid
Kolesterol total
GDS
Elektrolit
Na
K
Cl
28/08/16 Albumin
29/08/16 Albumin

1.5-30 g/dL

2.7

<37 U/L
<41 U/L

18
5

20-40 mg/dL
0.5-15 mg/dL

20
0.46

<160 mg/dL
<200 mg/dL
60-110 mg/dL

772
575
94

135-145 mmol/L
3.5-5.0 mmol/L
94-111 mmol/L
3.5-4.5 g/dL

134
3.5
92
2.04

3.5-4.5 g/dL

2.08

Pemeriksaan Radiologi
Foto thorax AP

Pulmo: corakan brokovaskular > sepertiga hemithorax kanan dan kiri, tampak
kranialisasi, pelebaran dan penebalan hilus, hilus kiri tampak suram (batas tidak
tegas)
Cor: sulit dinilai dengan foto thorax AP
Kesan: oedema paru
IV. RESUME
An. R, laki-laki, usia 12 tahun, keluhan bengkak pada seluruh tubuh sejak 1
minggu sebelum masuk rumah sakit. Bengkak dimulai dari wajah kemudian
badan, tangan dan kaki. Selain itu os juga mengeluh adanya sesak saat
berbaring sehingga os menggunakan 2 bantal, batuk sejak 2 hari yang lalu dan
os merasa BAK semakin jarang dan berkurang jumlahnya sejak tubuhnya
bengkak. Os mengaku kedua matanya bengkak setiap pagi saat bangun tidur
dan bengkak menghilang saat siang hari. Berat badan os mengalami kenaikan
sebanyak 4 kg sejak bengkak. Riw. Sindrom nefrotik sejak 1 tahun yang lalu.
Pemeriksaan fisik
Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Napas: 30 x/menit

Nadi: 110 x/menit


Suhu: 36.4 OC

Status gizi
BB: 39 kg (sebelumnya 35 kg) TB: 150 cm LLA: 21 cm
Wajah os tampak oedem, oedem palpebra (+/+),
Pemeriksaan thorax terdapat rhonki minimal +/+
Pemeriksaan abdomen terdapat sagging of the flank (+), smiling
umbilicus (+), keras, redup seluruh regio abdomen, shifting dullness
(+),Pada organ genitalia terdapat oedem skrotum(+)
Pada extremitas terdapat oedem, pitting oedem (+)
Pemeriksaan penunjang
Urinalisis: Warna urin agak keruh
Albuminuria positif 3 (+++)
Darah samar Positif 3 (+++)
Eritrosit 10-15
Leukost 5-10
Silinder Granula (+)
LED 115 mm
Protein total 3.38 g/dL

Albumin 1.12.042.08 g/dL


Kolesterol total 772 mg/dL
Trigliserid 575 mg/dL
Radiologi: gambaran oedem paru (+)
V. DIAGNOSIS BANDING
o Edema anasarka ec sindrom nefrotik
o Glomerulonefritis
VI. DIAGNOSIS KERJA
o Edema anasarka ec sindrom nefrotik
XI. TATALAKSANA
Tirah baring
Nutrisi: diet protein 1.5-2 gr/kgBB/hari
diet rendah garam 1-2 gr/hari
IVFD Dextrose 5% 480 cc/hari
Amoxicillin 25-40 mg/kgBB/hari 3x500 mg
Furosemide 1 mg/kgBB/hari 2x20 mg
Prednison 2mg/kgBB/hari 78 mg (@5mg16 tab/hari)
Suplemen kalium @ 300 mg
Infus albumin
XII.

PROGNOSIS
o Ad vitam
: Dubia ad bonam
o Ad sanationam: Dubia ad bonam
o Ad fungtionam: Dubia ad bonam

XI. FOLLOW UP
Tanggal
23/08/201
6

Catatan
Instruksi
Bengkak (+), sesak berkurang, batuk D5% 480cc/hr
Amoxicillin 3x500 mg
berdahak (+), nyeri perut (+), nafsu
Furosemid 2x20 mg
makan
Prednisone 8-5-3 tab
Kes: CM, TSS
Kalium 2x1 tab
BP: 120/80 HR:110 RR: 30 T: 36.4
Infus albumin 125 cc
Wajah: oedem (+)
Mata: oedem palpebra (+)
Thorax: Rh minimal +/+
Abdomen: sagging of the flanks,
smiling umbiilicus (+) keras, BU(+),
NTE (+), redup seluruh abdomen,
shifting dullness (+), LP 75 cm
Ext: oedem (+), pitting (+)

10

24/08/201
6

Bengkak berkurang, sesak berkurang


Kes: CM, TSS
BP: 110/70 HR:110 RR: 28 T: 36
Wajah: oedem (+)
Mata: oedem palpebra (+)
Thorax: Rh minimal +/+
Abdomen: sagging of the flanks,

D5% 480cc/hr
Amoxicillin 3x500 mg
Furosemid 2x20 mg
Prednisone 8-5-3 tab
Kalium 2x1 tab
Cek albumin jika <3
infus albumin 20% 125 cc

smiling umbilicus (+), keras BU(+),


redup

25/08/201
6

seluruh

abdomen,

shifting

dullness (+), LP 70.5 cm


Ext: oedem (+), pitting (+)
Sesak (-) batuk (-)
Kes: CM, TSS
BP: 110/80 HR: 115 RR: 24 T: 36.7
Wajah: oedem (-)
Mata: oedem palpebra (-)
Thorax: Rh -/Abdomen: datar, supel, BU(+), timpani,
shifting dullness (-), LP 64.5 cm
Ext: oedem (+)

26/08/201
6

28/08/16

Sesak (-) batuk (-)


Kes: CM, TSS
BP: 120/80 HR: 120 RR: 22 T: 36.1
Wajah: oedem (-)
Mata: oedem palpebra (-)
Thorax: Rh -/Abdomen: datar, supel, BU(+), timpani,
shifting dullness (-), LP 58 cm
Extremitas: oedem (-)
Tidak ada keluhan
Kes: CM, TSS
BP: 110/70 HR: 98 RR: 18 T: 36.6
Wajah: oedem (-)
Mata: oedem palpebra (-)
Thorax: Rh -/Abdomen: datar, supel, BU(+), timpani,

D5% 480cc/hr
Amoxicillin 3x500 mg
Furosemid 2x20 mg
Prednisone 8-5-3 tab
Kalium 2x1 tab
Cek albumin jika >3
stop,

jika

<3

infus

albumin 120 cc

D5% 480cc/hr
Amoxicillin 3x500 mg
Furosemid 1x20 mg
Prednisone 8-5-3 tab
Kalium 2x1 tab

D5% 480cc/hr
Amoxicillin 3x500 mg
Furosemid 1x20 mg
Prednisone 8-5-3 tab
Kalium 2x1 tab
infus albumin 125 cc

LP 55 cm
11

29/08/16

Extremitas: oedem (-)


Alb: 2.04
Tidak ada keluhan
Boleh Pulang
Kes: CM, TSS
Prednison 8-5-3 1
BP: 110/80 HR: 90 RR: 18 T: 36.4
minggu
Abdomen: datar, supel, BU(+), timpani
Extremitas: oedem (-)
Alb: 2.08

Foto perubahan pasien saat selesai dirawat di RS

BAB II
ANALISA KASUS
Pada kasus ini ditegakan diagnosis sindrom nefrotik berdasarkan:
1. Anamnesis
Os, jenis kelamin laki-laki datang dengan keluhan bengkak pada
seluruh tubuh (oedem anasarka) sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit
dan bengkak diawali dari wajah diikuti badan, tangan dan kaki.
Bengkak/oedem yang dialami pasien disebabkan karena adanya ekstravasasi
cairan ke ruang interstitial akibat dari penurunan tekanan osmotik yang
berhubungan dengan terjadinya proteinuria masif (albumin), di mana albumin
merupakan protein yang berperan dalam menjaga cairan untuk tetap berada di
dalam vaskular. Selain itu os juga mengaku bahwa mata sering bengkak saat
bangun tidur dan menghilang dengan sendirinya seiring beraktifitas. Bengkak
pada mata ini disebabkan karena jaringan pada palpebra merupakan jairngan
ikat longgar sehingga oedem mudah terjadi di daerah ini, hilangnya oedem
berkaitan dengan gaya gravitasi. Menurut epidemiologi jenis kelamin laki-laki
memiliki angka kejadian sindrom nefrotik lebih banyak dengan perbandingan
2:1.

12

Keluhan sesak saat berbaring dikarenakan adanya kebocoran cairan ke


jaringan paru yang mengakibatkan terjadinya oedem paru dan sesak berkurang
jika os menggunakan 2 bantal, selain itu adanya gaya gravitasi juga
menyebabkan sesak saat berbaring.
Batuk merupakan manifestasi dari adanya oedem paru, kemungkinan
batuk dari infeksi saluran pernapasan dapat disingkirkan karena tidak terdapat
tanda-tanda infeksi pada pasien seperti demam.
Oligouria didasari oleh penurunan volume intravaskular yang akan
menyebabkan penurunan perfusi ginjal sehingga menstimulasi pelepasan
hormon antidiuretik (ADH) yang akan meningkatkan reabsorpsi air di tubulus
kolektivus dan teraktivasinya sistem renin angiotensin aldosteron (RAA).
Ginjal akan melepaskan renin dalam jumlah yang banyak, renin bekerja
sebagai enzim yang mengaktifkan angiotensinogen menjadi angiotensin I dan
kemudian diubah menjadi angiotensin II oleh angiotensin converting enzyme
(ACE). Angiotensin II akan merangsang korteks adrenal untuk sekresi hormon
aldosteron yang akan memberikan efek peningkatan reabsorpsi Na +. Selain itu
angiotensin II juga akan meningkatkan rasa haus (meningkatkan asupan
cairan), menyebabkan vasokonstriksi arteriol dan merangsang hormon
vasopressin yang akan meningkatkan retensi H2O.1
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik tanda vital ditemukan adanya takipnoe
(30x/menit) dan takikardi (110x/menit) yang merupakan akibat dari sesak.
Pada pemeriksaan auskultasi thorax ditemukan adanya rhonki minimal pada
kedua lapang paru yang merupakan manifestasi dari oedem paru. Pada
pemeriksaan abdomen tampak besar dan melebar ke sisi samping atau disebut
sagging of the flank, smiling umbilicus, keras pada palpasi, redup pada
seluruh regio abdomen dan shifting dullnes (+) yang dikarenakan akumulasi
cairan yang cukup banyak pada rongga abdomen. Oedem pada extremitas
dan scrotum disertai dengan pitting oedem menunjukan adanya perpindahan
cairan ke interstitial.
3. Pemeriksaan penunjang
Hipoalbuminemia (1.1 g/dL) disebabkan oleh hilangnya albumin
melalui urin di mana pada pasien ini terjadi proteuria masif (positif 3).
Kebocoran albumin pada urin dengan jumlah yang banyak dikarenakan

13

adanya kerusakan glomerulus akibat kehilangan muatan negatif pada


glikoprotein membran basal yang berfungsi untuk mempertahankan agar
protein plasma (albumin) tidak melalui proses filtrasi. sherwood Hipoalbuminemia
akan menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga terjadi
transudasi

cairan

dari

intravaskular

ke

ruang

interstitial.

Kondisi

hipoalbuminemia berkaitan dengan hipoproteinemia, pada pasien ini


didapatkan kadar protein total menurun (3.38 g/dL). Selain karena
kebocoran ginjal, terdapat faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya
hipoalbuminemia, diantaranya penurunan sintesis, peningkatan katabolisme
serta peningkatan kehilangan melalui saluran cerna.2,3,4 Pada kondisi
hipoalbunemia sintesis albumin di hepar akan meningkat termasuk pada SN
(dan anak dengan hipoalbuminemia dengan penyebab non hepatik lainnya)
namun kapasitas peningkatan sintesis hati terhadap albumin tidak cukup untuk
mengkompensasi laju kehilangan albumin yang abnormal.4 LED meningkat
menunjukkan adanya proses inflamasi kronis.
Hiperkolesterol (kolesterol total 572 mg/dL) dan hipertrigliserid
(772 mg/dL) .Pada sebagian besar pasien sindrom nefrotik
ditemukan kenaikan kadar total kolesterol. Hal ini terjadi
akibat penurunan albumin serum dan penurunan tekanan
onkotik yang akhirnya merangsang sel hati untuk membentuk
lipoprotein lipid atau lipogenesis.5
Dari pemeriksaan urinalisa didapatkan warna urin keruh, urin
berwarna keruh ini disebabkan karena hadirnya leukosit dalam jumlah yang
banyak di dalam urin dan adanya proteinuria masif.
Proteinuria merupakan dasar kelainan pada sindrom nefrotik, dari
hasil urinalisa pasien ditemukan proteinuria +3 yang disebabkan kebocoran
glomerulus. Proteiuria +3 (masif) merupakan salah satu indikator utama
diagnosis sindrom nefrotik. Proteinuria pada penyakit ginjal kronis merupakan
tanda penting kerusakan ginjal. Proteinuria berperan dalam penurunan fungsi
ginjal karena protein yang melintasi dinding kapiler glomerulus berdampak
toksik sehingga terjadi migrasi monosit/makrofag dan dengan peran berbagai
sitokin dan akan menyebabkan kerusakan ginjal lebih lanjut.5 pemeriksaan urin
secara mikroskopis didapatkan eritrosit 10-15 dan leukosit 5-10 granula

14

dikarenakan kerusakan glomerulus yang dimana normalnya hanya plasma


darah yang melalui proses filtrasi, namun pada kerusakan glomerulus eritrosit,
leukosit, protein dan zat-zat lain dalam darah dapat ikut terfiltrasi. Hadirnya
leukosit dalam urin juga dapat diakibatkan adanya proses inflamasi pada
sistem urinarius.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Sindrom nefrotik adalahkumplan gejala-gejala yang terdiri dari ke proteinuria masif
(> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin
sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik 2+), hipoalbuminemia (< 2,5 g/dL), edema dan
dapat disertai hiperkolesterolemia (> 200 mg/dL). 6
Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada Sindrom Nefrotik, antara lain : 6
1. Remisi, yaitu proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam)
selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
2. Relaps, yaitu proteinuria 2+ (proteinuria 40 mg/m 2 LPB/jam) selama 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang, yaitu relaps kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah
respons awal atau kurang dari 4x per tahun pengamatan.
4. Relaps sering (frequent relapse), yaitu relaps terjadi 2 kali dalam 6 bulan
pertama atau 4 kali dalam periode satu tahun.
5. Dependen steroid, yaitu relaps 2 kali berurutan pada saat dosis steroid
diturunkan (alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan.
6. Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada pengobatan
prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.
15

7. Sensitif steroid, yaitu remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh
selama 4 minggu.
Epidemiologi
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1) dan
kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling muda
pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa. SNKM terjadi pada 8590% pasien dibawah umur 6 tahun.7 Di Indonesia dilaporkan 6 kasus per 100.000
anak per tahun.
Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Sindrom nefrotik primer (idiopatik)
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara
primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab
lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom
nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, salah satu jenis sindrom
nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia dibawah 1 tahun. Sindrom
nefrotik kongenital diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi
maternofetal dan resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema
pada masa neonatus. Prognosisnya buruk dan biasanya pasien meninggal dalam
bulan-bulan pertama kehidupannya atau pada umur 1 hingga 5 tahun. Faktor
predisposisi kematian sering oleh karena infeksi, malnutrisi atau gagal ginjal.
Pasien bisa diselamatkan dengan terapi agresif atau transplantasi ginjal yang dini.
Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik
idiopatik. Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara histologis :sindrom
nefrotik

kelainan

minimal,

glomerulonephritis

proliferative

(mesangial

proliferation), dan glomerulosklerosis fokal segmental. Ketiga gangguan ini dapat


mewakili 3 penyakit berbeda dengan manifestasi klinis yang serupa; dengan kata
lain, ketiga gangguan ini mewakili suatu spektrum dari satu penyakit tunggal.
Klasifikasi

Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)

16

Pada 85% dari kasus sindrom nefrotik pada anak, glomerulus


terlihat normal atau memperlihatkan peningkatan minimal pada sel
mesangial

dan

matriksnya.

Penemuan

pada

mikroskop

immunofluorescence biasanya negatif, dan mikroskop elektron hanya


memperlihatkan hilangnya epithelial cell foot processes (podosit)
pada glomerulus. Lebih dari 95% anak dengan SNKM berespon
dengan terapi kortikosteroid.

Glomerulonephritis proliferative (Mesangial proliferation)


Pada 5% dari total kasus sindrom nefrotik ditandai dengan
adanya peningkatan sel mesangial yang difus dan matriks pada
pemeriksaan mikroskop biasa. Mikroskop immunofluorescence dapat
memperlihatkan jejak 1+ IgM mesangial dan/atau IgA. Mikroskop
elektron memperlihatkan peningkatan dari sel mesangial dan matriks
diikuti dengan menghilangnya sel podosit. Sekitar 50% pasien dengan
lesi histologis ini berespon dengan terapi kortikosteroid.

Glomerulosklerosis

fokal

segmental

(Focal

segmental

glomerulosclerosis/FSGS)
Pada kasus 10% dari kasus sindrom nefrotik, glomerulus
memperlihatkan proliferasi mesangial dan jaringan parut segmental
pada

pemeriksaan

dengan

mikroskop

biasa.

Mikroskop

immunofluorescence menunjukkan adanya IgM dan C3 pada area


yang mengalami sklerosis. Pada pemeriksaan dengan mikroskop
elektron, dapat dilihat jaringan parut segmental pada glomerular tuft
disertai dengan kerusakan pada lumen kapiler glomerulus. Lesi
serupa dapat terlihat pula pada infeksi HIC, refluks vesicoureteral,
dan penyalahgunaan heroin intravena. Hanya 20% pasien dengan
FSGS yang berespon dengan terapi prednisone. Penyakit ini biasanya
bersifat progresif, pada akhirnya dapat melibatkan semua glomeruli,
dan menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir (end stage renal
disease) pada kebanyakan pasien.

Glomerulonefritis membrano proliferative (GNMP)

17

Ditandai dengan penebalan membrane basalis dan proliferasi


seluler (hiperselularitas), serta infiltrasi sel PMN. Dengan mikroskop
cahaya, MBG menebal dan terdapat proliferasi difus sel-sel mesangial
dan suatu penambahan matriks mesangial. Perluasan mesangium
berlanjut ke dalam kumparan kapiler perifer, menyebabkan
reduplikasi membrane basalis (jejak-trem atau kontur lengkap).
Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi
streptococcus yang progresif dan pada sindrom nefrotik. Ada MPGN
tipe I dan tipe II.

Glomerulopati membranosa (GM)


Penyakit progresif lambat pada dewasa dan usia pertengahan
secara morfologi khas oleh kelainan berbatas jelas pada MBG. Jarang
ditemukan pada anak-anak. Mengenai beberapa lobus glomerulus,
sedangkan yang lain masih normal. Perubahan histologik terutama
adalah penebalan membrane basalis yang terlihat baik dengan
mikroskop cahaya maupun elektron.

2. Sindrom nefrotik sekunder


Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang
sering dijumpai adalah :
Penyakit metabolic atau kongenital : diabetes mellitus, amiloidosis,

sindrom Alport, miksedema


Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,

streptokokus, AIDS
Toksin dan allergen : logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun

serangga, bisa ular


Penyakit sistemik imunologik : lupus eritematosus sistemik, purpura

Henoch-Schinlein, sarkoidosis
Neoplasma : tumor paru, penyakit hodgin, tumor gastrointestinal

Patofisiologi
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah
proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan ini
disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang

18

sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilangnya muatan negatif glikoprotein
dalam dinding kapiler. Akibatnya fungsi mekanisme penghalang yang dimiliki oleh
membran basal glomerulus untuk mencegah kebocoran atau lolosnya protein
terganggu. Mekanisme penghalang tersebut berkerja berdasarkan ukuran molekul dan
muatan listrik. Pada sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran albumin
dan protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu banyak
akibat dari kebocoran glomerulus dan akhirnya diekskresikan dalam urin. Pada
sindrom nefrotik, protein hilang lebih dari 2 g/kgbb/hari yang terutama terdiri dari
albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia. Pada umumnya, edema muncul bila
kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dL. Mekanisme edema belum diketahui
secara fisiologis tetapi kemungkinan edema terjadi karena penurunan tekanan onkotik
atau osmotik intravaskuler yang memungkinkan cairan menembus ke ruangan
interstisial, hal ini disebabkan oleh karena hipoalbuminemia. Keluarnya cairan ke
ruang interstisial menyebabkan edema yang diakibatkan pergeseran cairan. Selain
edema
Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri
menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan
penurunan volume intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi
aliran darah ke ginjal. Hal ini dideteksi lalu mengaktifkan sistem rennin-angiotensinaldosteron (RAAS) yang akan meningkatkan vasokonstriksi dan juga akan
mengakibatkan rangsangan pada reseptor volume intravaskular yang akan
merangsang peningkatan aldosteron yang merangsang reabsorbsi natrium di tubulus
distal dan merangsang pelepasan hormon antidiuretik yang meningkatkan reabsorbsi
air dalam duktus kolektivus, sehingga terjadi retensi natrium dan retensi air.
Karena pengeluaran albumin dalam jumlah banyak di urin maka akan terjadi
hipoalbuminemia yang akan mengakibatkan peningkatan sintesis lipoprotein di hepar
sehingga akan menyebabkan hiperlipoproteinemia

19

Manifestasi Klinis 7,8,9


Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah edema yang menyeluruh dan
terdistribusi mengikuti gaya gravitasi bumi. Edema sering ditemukan dimulai dari
daerah wajah dan kelopak mata pada pagi hari, yang kemudian menghilang,
digantikan oleh edema di daerah pretibial pada sore hari.
Anak biasanya datang dengan keluhan edema ringan, diamana awalnya terjadi
disekitar mata dan ekstremitas bawah. Sindrom nefrotik pada mulanya diduga sebagai
gangguan alergi karena pembengkakan periorbital yang menurun dari hari kehari.
Seiring waktu, edema semakin meluas, dengan pembentukan asites, efusi pleura, dan
edema genital. Anorexia, iritabilitas, nyeri perut, dan diare sering terjadi. Hipertensi
dan hematuria jarang ditemukan. Differensial diagnosis untuk anak dengan edema
adalah penyakit hati, penyakit jantung kongenital, glomerulonefritis akut atau kronis,
dan malnutrisi protein.
Asites sering ditemukan tanpa odem anasarka, terutama pada anak kecil dan
bayi yang jaringannya lebih resisten terhadap pembentukan edema interstisial
dibandingkan anak yang lebih besar. Efusi transudat lain sering ditemukan, seperti
efusi pleura. Bila tidak diobati edema dapat menjadi anasarka, sampai ke skrotum atau
daerah vulva.
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan,
lingkar perut, dan tekanan darah. Tekanan darah umumnya normal atau rendah,

20

namun 21 % pasien mempunyai tekanan darah tinggi yang sifatnya sementara,


terutama pada pasien yang pernah mengalami deplesi volume intravaskuler berat.
Keadaan ini disebabkan oleh sekresi renin berlebihan, sekresi aldosteron, dan
vasokonstriktor lainnya, sebagai respon tubuh terhadap hipovolemia. Pada sindrom
nefrotik kelainan minimal (SNKM) dan glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
jarang ditemukan hipertensi yang menetap. Dalam laporan ISKDC (International
Study of Kidney Diseases in Children), pada SNKM ditemukan 22% disertai
hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan
kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara. Pasien sindrom nefrotik
perlu diwaspadai sebagai gejala syok dikarenakan kekurangan perfusi ke daerah
splanchnik atau akibat peritonitis.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:6
1. Urinalisis. Biakan urin dilakukan bila terdapat gejala klinis mengarah ke
infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein / keriatinin
pada urin pertama pagi hari.
3. Pemeriksaan darah antara lain
o Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit, LED)
o Kadar albumin dan kolesterol plasma
o Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau
dengan rumus Schwartz
o Kadar komplemen C3 bila dicurigai Lupus Eritematosus sistemik,
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (Anti nuclear
antibody) dan anti ds-DNA
Biopsi ginjal dilakukan jika terdapat indikasi, antara lain:6
1. Pada presentasi awal
a. Awitan SN usia < 1 tahun atau > 16 tahun
b. Terdapat hematuria nyata, hematuria mikroskopik persisten atau kadar
komplemen C3 serum yang rendah

21

c. Hipertensi menetap
d. Penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh hipovolemia
e. Tersangka sindrom nefrotik sekunder
2. Setelah pengobatan inisial
a. SN resisten steroid
b. Sebelum memulai terapi siklosporin
Tatalaksana
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit
dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum
pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:6

1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan


2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch- Schonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap
infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH
selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan
obat antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau
syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan
kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah.
Diet
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiper
ltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan

22

terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan


anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended
daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya
diperlukan selama anak menderita edema.6
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic
seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton
(antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian
diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih
dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah. Bila
pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat ( 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin
20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan
interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila
pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara
pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi
jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk
memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites
sedemikian berat sehingga mengganggu intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak
mampu dari segi biaya, dapat pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.6
Kortikosteroid
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada

kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.


Terapi inisial
Pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid
sesuai dengan anjuran ISKDC adalah prednison 60 mg/m 2 LBP/hari atau 2
mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi
remisi. Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu.
Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilannjutkan dengan 4 minggu
kedua dengan dosis 40 mg/m2 LBP/hari (2/3 dosis awal) atau 1.5
mg/kgBB/hari secara alternating (selang seling), 1 kali sehari setelah makan

23

pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penih, tidak terjadi
remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid

Pengobatan SN relaps
Pada SN relaps diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4
minggu) dilannjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien
SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ++ tetapi tanpa edema,

sebelum pemberian prednison, dicari terlabih dahulu pemicunya, biasanya


infeksi saluran napas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari,
dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak peru diberikan pengobaan
relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ++ disertai edema, maka
diagnosis relaps dapat ditegakkan dan prednison mulai diberikan.6
Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid
Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid, antara
lain:6
1. Steroid jangka panjang
Setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan denan steroid dosis
1.5 mg/kgBB secara alternating. Kemudian dosis ini diturunkan bertahap 1.2
mg/kgBB setiap 2 minggu. Penurunan dosis dilakukan sampai dosis terkecil
yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0.1-0.5 mg/kgBB alternating.
Dosis ini disebut dosis treshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan,
kemudian coba dihentikan. Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0.10.5 mg/kgBB alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1

24

mg/kgBB dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi.
Setelah remisi, prednison diturunkan menjadi 0.8 mg/kgBB secara
alternating, kemudian diturunkan 0.2 mg/kgBB setiap 2 minggu.
Bila relaps terjadi pada dosis predniosn rumat > 0.5 mg/kgBB, alternating,
tetapi < 1 mg/kgBB alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamison selang sehari 2.5 mg/kgBB selama 4-12
bulan, atau langsung dibeikan siklofosfamid (CPA)
2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent, debrikan dengan
dosis 2.5 mg/kgBB dosis tunggal, selang sehari selama 4-12 bulan. Efek
samping lavimisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vaskulitic rash,
neutropenia yang reversibel.
3. Sitostatik
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak
adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. CPA dapat diberikan secara oral
atau intravena dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal maupun secara
puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB yang dilarutkan dalam 250 ml NaCl
0.9% diberikan selama 2 jam. Efek samping CPA adalah mual, muntah,
depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis, hemoragik, azospermia dan dalam
jangka panjang dapat menyebabkan keganasan.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0.2-0.3 mg/kgBB/hari selama 8 minggu.
Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa
kejang dan infeksi.
4. Siklosporin atau mikofenolat mofetil (pilihan terakhir)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan steroid atau sitostatik
dianjurkan

untuk

pemberian

siklosporin

(CyA)

dengan

dosis

4-5

mg/kgBB/hari. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat


menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat
dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan biasanya akan relaps
kembali.
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik
dapat diberikan mikofenolat mofetil (MMF) dengan dosis 25-30 mg/kgBB
bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12-24 bulan.

25

Pengobatan SN resisten steroid


Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan.
Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi
ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi karena dapat mempengaruhi
prognosis. Obat-obat yang dapat diberikan pada SNRS antara lain CPA, CyA,
metilprednisolon puls, imunosupresif lain seperti vinkristin, takrolimus dan
MMF. Namun karena laporan dalam literatur yang masih sporadik dan tidak
dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belium direkomendasikan di
Indonesia.
Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi yang sering terjadi pada sindrom nefrotik baik
akibat dari penyakitnya sendiri maupun akibat dari terapi yang diberikan, antara
lain:6p
Infeksi
Pasien SN sangat rentan terhadap infeksi, terutama selulitis dan peritonitis
primer. Bila terjadi infeksi pada pasien SN perlu segera diberikan antibiotik.
Infeksi lain yang sering ditemukan pada anak dengan SN adalah pneumonia
dan infeksi saluran napas atas karena virus.
Trombosis

26

Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan bukti


defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat
trombosis pembuluh vaskular paru yang asimptomatik. Bila diagnosis
trombosis telah ditegakkan dengan pemeriksaan fisik dna radiologis, berikan
heparin subkutan dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih.
Pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah, saat ini
tidak dianjurkan.
Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan
penyakit SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan
inhibitor ACE, ARB, CCB, atau antagonis beta adrenergik sampai tekanan
darah di bawah persentil 90.
Hiperlipidemia
Pada SN replaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan
VLDL kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol
HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan
trombogenik,

sehingga

meningkatkan

morbiditas

kardiovaskular

dan

progresivitas glomerulosklerosis.
Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena penggunaan steroid jangka panjang
yang menimbuklkan osteoporosis dan osteopenia dan akibat kebocoran
metabolit vitamin D. pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka
lama (> 3 bulan) diannjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500
mg/hari dan vitamin D 125-250 IU.
Hipovolemia
Pemberiam diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat
terjadi hipovolemi dengan gejala hipotensi, takikardi, ekstremitas dingin dan
sering disertai sakit perut.
Efek samping steroid
Terapi steroid jangka panjang akan menimbulkan efek yang signifikan,
meliputi peningkatan nafsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan
perilaku, peningkatan risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan
demineralisasi pada tulang.
Prognosis
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons yang baik
terhadap pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Prognosis jangka
27

panjang sindrom nefrotik kelainan minimal selama pengamatan 20 tahun menunjukan


hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada glomerulosklerosis, 25%
menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun, dan pada sebagian besar lainnya disertai
penurunan fungsi ginjal. Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan
sebagai berikut :

Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6

tahun
Disertai hipertensi
Disertai hematuria
Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal
Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnya
gambaran klinis penyakit.

28

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia. EGC: Jakarta.
2. Alpers A. Sindrom nefrotik. Dalam: (terjemahan) Rudolph AM, Hoffman JI,
Rudolph CD, (penyunting). Buku ajar pediatri Rudolph. Edisi ke-20. Jakarta:
EGC; 2006. hlm. 1503-8.
3. Hull D, Johnston DI. Dasar-dasar pediatri. Edisi ke-3 (terjemahan). Jakarta:
EGC; 2008.
4. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin Ann M. Ilmu kesehatan anak
Nelson. Vol.3; editor edisi bahasa Indonesia, A. Samik Wahab. Edisi ke- 15.
Jakarta: EGC; 2000.
5. Sukandar Enday. Sindrom Nefrotik. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II. Balai Penerbit FKUI . Jakarta : 1998 ; 282 305
6. Trihono, Partiani Pudjiastuti, dkk. 2012. Konsesus Tatalaksana Sindrom
Nefrotik Idiopatik pada Anak. Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta
7. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nelson Textbook
of Pediatric 18th ed. Saunders. Philadelphia.
8. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan
T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak.
Edisi-2. s Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.
9. Mansjoer Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media
Aesculapius : Jakarta.
10. Trihono, Partiani Pudjiastuti, dkk. 2012. Konsesus Tatalaksana Sindrom
Nefrotik Idiopatik pada Anak. Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta.

29

30

Anda mungkin juga menyukai