Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
LNG adalah singkatan dari Liquefied Natural Gas. LNG pada dasarnya adalah
metana, bahan bakar hidrokarbon yang paling sederhana dan paling berlimpah. Metana
terdiri dari satu karbon dan empat atom hidrogen (CH4).
LNG berasal dari gas alam yang telah melewati proses pencairan dan
penghilangan impuritis. Di Indonesia sendiri, gas alam merupakan salah satu kekayaan
alam yang melimpah. Di beberapa daerah telah memproses gas alam menjadi LNG.
LNG dimanfaatkan sebagai sumber energi. Menurut HansonLNG Tbk Company (2013),
LNG merupakan bentuk cair dari gas yang digunakan untuk memasak dan
memanaskan. Gas alam dan komponen-komponennya digunakan sebagai bahan bakar
untuk menghasilkan listrik dan sebagai bahan baku untuk memproduksi berbagai
macam produk, dari serabut (fibers) untuk pakaian.
LNG adalah salah satu sumber energi non-renewable. LNG berasal dari gas
alam terdiri dari hidrokarbon dan kontaminan-kontaminan berupa gas-gas impuritis.
Impuritis-impuritis tersebut adalah uap air, N2, Hg, CO2, dan H2S. Permasalahan pada
gas alam yang paling utama terdapat pada kandungan CO2 dan H2S yang sangat besar,
yaitu dengan kandungan CO2 sebesar 21,576% mol dan H2S sebesar 600 ppm dari
keseluruhan komposisi gas alam.
Adanya impurities-impuritis pada gas alam tersebut akan memberikan dampak
buruk pada saat pemrosesan LNG. Dampak buruk tersebut berakibat fatal dan dapat
menghambat proses. Sehingga impuritis-impuritis tersebut harus dihilangkan agar tidak
mengganggu proses pencairan gas alam menjadi LNG. Berbagai cara dilakukan untuk
memurnikan gas alam dari impuritis-impuritis tersebut.
Dari penanganan impuritis-impuritis yang ada pada gas alam, CO 2 dan H2S
ditangani dengan cara absorpsi. Absorben yang digunakan antara lain absorben amine.
Salah satu absorben amine yang pernah digunakan adalah MEA (monoethanolamine).
Pada penggunaan MEA ternyata memiliki banyak kekurangan dan resiko. Penggunaan
MEA yang kurang effisien ini memberikan pengembangan untuk mencari absorben lain
yang lebih aman dan tidak terlalu beresiko sepert. Sebagai gantinya digunakan absorben
amine lain yaitu MDEA (methyldiethanolamine). MDEA jauh lebih aman dan tidak
memiliki banyak resiko dalam penggunaannya untuk mengabsorpsi impuritis berupa
CO2 dan H2S pada pemrosesan LNG.
1.2 Tujuan
1

Untuk mengetahui dampak CO2 dan H2S dalam pemrosesan LNG


Untuk mengetahui kekurangan MEA sebagai absorben CO2 dan H2S pada

pemrosesan LNG
Untuk mengetahui kelebihan dan cara kerja MDEA sebagai absorben CO2 dan
H2S pada pemrosesan LNG

1.3 Manfaat
Memahami dampak CO2 dan H2S dalam pemrosesan gas alam cair (LNG)
Memahami kekurangan MEA sebagai absorben CO2 dan H2S pada pemrosesan

LNG
Memahami kelebihan dan cara kerja MDEA sebagai absorben CO 2 dan H2S
pada pemrosesan gas alam menjadi LNG

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gas Alam
Gas alam adalah bahan bakar fosil berbentuk gas yang terutama terdiri dari
metana dan juga memiliki jumlah yang signifikan dari etana, propana, butana, pentana,
karbon dioksida, nitrogen, helium dan hidrogen sulfida. Pada 1950-an, cerita tentang
gas alam mulai membangkitkan minat seluruh dunia tetapi tidak dapat bersaing dengan
minyak karena itu sulit untuk mengeksploitasi karena ukuran investasi dan transportasi
biaya kepada pengguna akhir.
Kemudian pada tahun 1960, penemuan gas dan proliferasi proyek gas
menyebabkan naik curam dalam produksi dunia. Setelah sepuluh tahun pertumbuhan,
baik dalam produksi dan cadangan terbukti, gas alam tidak lagi menjadi sumber energi
2

kedua-tingkat. Pada 1970-an, produksinya mendekati angka tonggak dari satu miliar ton
setara minyak (1,109 kaki) dan yang berfungsi naik menjadi sekitar setengah dari
cadangan yang ada.
Krisis minyak dari tahun 1973 sampai 1979 menyebabkan permintaan dunia
untuk minyak mentah menyusut drastis, sementara permintaan gas alam terus tumbuh,
tapi pada kecepatan yang lebih lambat.
Gas telah terus naik pada minyak, seperti dalam istilah energi kesetaraan, gas
dunia produksi tumbuh dari 37% menjadi 58% dibandingkan dengan produksi minyak
antara tahun 1970 dan 1994. Akibatnya, biaya produksi gas dan sistem transportasi dari
memproduksi baik kepada pengguna akhir meningkat dan membuat lebih sulit bagi
alam gas untuk bersaing dengan energi primer lainnya seperti minyak mentah. Dalam
kondisi ini, penelitian dan pengembangan proses yang lebih efisien dan teknologi telah
dirancang untuk mengurangi biaya produksi, pengolahan, dan transportasi untuk gas
alam.
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang mempunyai cadangan gas
alam yang cukup besar. Selain gas-gas hidrokarbon, di dalam komposisi gas alam juga
terkandung kontaminan berupa gas-gas impurities. Impuritis impurities tersebut
adalah uap air, N2, Hg, CO2, dan H2S. Permasalahan pada gas alam yang paling utama
terdapat pada kandungan CO2 dan H2S yang sangat besar, yaitu dengan kandungan CO 2
sebesar 21,576% mol dan H2S sebesar 600 ppm dari keseluruhan komposisi gas alam.
CO2 akan membeku pada suhu yang sangat rendah, sehingga dapat menyumbat
peralatan dan perpipaan pada unit pencairan. Selain itu, CO2 tidak mempunyai nilai
bakar, jadi keberadaannya dalam gas alam akan menurunkan nilai bakar atau heating
value gas alam. Sedangkan Hidrogen sulfida (H 2S) adalah gas yang tidak berwarna,
beracun, mudah terbakar dan berbau seperti telur busuk. H 2S merupakan gas beracun
yang sangat korosif terhadap peralatan di proses kilang. Dampak yang paling besar
yaitu CO2 dan H2S dianggap sebagai penyumbang emisi terbesar sehingga
menyebabkan global warming. Oleh karena itu perlu penghilangan kandungan CO2 dan
H2S dalam gas alam. Untuk menangkap CO 2 dan H2S yang lepas ke udara banyak
usaha yang dilakukan misalnya dengan menggunakan: membran, cryogenics, adsorpsi
dan absorpsi kedalam larutan kimia. Cara pemisahan dengan menggunakan membran
sangat sulit dilaksanakan, cara cryogenics membutuhkan tekanan tinggi dimana CO2
dan H2S yang dihasilkan berupa larutan, sedangkan dengan proses adsorpsi
kapasitasnya terlalu kecil dengan selektivitas CO2 dan H2S yang sangat rendah. Saat ini
yang paling banyak digunakan untuk menangkap CO2 dan H2S adalah proses absorpsi.
3

Tabel 1.1 di bawah ini menunjukkan sifat-sifat gas alam pada suhu kamar.

Molecular Formula
Molar Mass
Appearance
Density
Boiling Point
Flash Point

Natural Gas
CH4.C2H6
16 g/ml, 30 g/mol
Colourless gas
0.747 kg/Sm3
-162C
-187C

2.2 Dampak CO2 dan H2S pada gas alam dalam pemrosesan LNG
Gas H2S merugikan pada pemrosesan LNG, karena:
a) Gas yang tidak berwarna, beracun, mudah terbakar dan berbau, seperti telur
busuk. H2S merupakan gas beracun yang sangat korosif terhadap peralatan di
proses kilang.
b) Penyumbang emisi global warming.
Gas CO2 merugikan pada pemrosesan LNG, karena:
a) Bersifat asam, maka dari itu disebut gas asam (acid gas), gas CO2 tergolong gas
impurities (kontaminan atau pengotor) pada gas alam
b) Berifat korosif, dapat merusak bagian dalam utilitas pabri dan sistem pemipaan.
Gas CO2 akan bersifat korosif jika di dalam gas alam terkandung uap air yang
dapat mengasamkan CO2 menjadi H2CO3. Sifat korosif CO2 akan muncul pada
daerah - daerah yang menyediakan penurunan temperatur dan tekanan, seperti
pada bagian elbow pipa, tubing-tubing, cooler, dan injektor turbin
c) Di dalam fasilitas turbin, CO2 akan mengakibatkan penurunan nilai kalor
pembakaran turbin, karena CO2 dan H2O merupakan produk dari pembakaran,
sehingga CO2 dan H2O tidak dapat dibakar karena tidak mempunyai nilai bakar
Menurunnya kalor pembakaran akan mengurangi tegangan listrik yang
dihasilkan turbin

d) Dalam proses pencairan gas alam, CO2 bersifat merugikan, karena pada suhu
sangat rendah CO2 akan menjadi padat (icing), sehingga mengakibatkan
tersumbatnya sistem perpipaan dan merusak tubing-tubing pada main heat
exchanger
e) CO2 akan membeku pada suhu yang sangat rendah, sehingga dapat menyumbat
peralatan dan perpipaan pada unit pencairan
f) Penyumbang emisi global warming.
2.3 Penggunaan Alkanolamines sebagai Solvent untuk Proses Absorbsi CO2 dan H2S
Absorpsi CO2 dan H2S dengan menggunakan pelarut kimia seperti larutan
alkanolamines merupakan salah satu metode yang paling efektif. Penambahan amine
primer dan sekunder sebagai larutan banyak ditemukan dalam absorpsi untuk
menghilangkan CO2 dan H2S dari gas alam yang akan dijadikan bahan baku dari suatu
industri kimia. Dengan adanya amine primer dan sekunder menyebabkan laju absorpsi
tinggi dan panas reaksinya rendah.
Banyak penelitian yang telah dilakukan, seperti Rinker, et al. (1995)
mempelajari kinetika dan modeling dari absorbsi CO2 dalam larutan N-MDEA, Pacheco
et al. (1998) menyatakan bahwa absorpsi CO 2 menggunakan Methyldiethanolamine
(MDEA) dalam packed column jumlah gas yang diserap dikendalikan oleh diffusi reaksi
cepat dan tidak dipengaruhi oleh tahanan gas-film, Huttenhuis (2007) mempelajari
kelarutan gas H2S dan CO2 dalam pelarut N-MDEA. MDEA dipilih sebagai absorben
karena mempunyai beberapa keuntungan yaitu: vapor pressure rendah, tidak mudah
degradasi, sedikit korosif, panas reaksi rendah, selectivity terhadap H2S tinggi, dan lebih
atraktif.
Absorbsi gas CO2 yang dilakukan dalam Tray Column merupakan pilihan yang
lebih baik dari pada packed column yaitu untuk menghindari masalah distribusi liquid
di dalam kolom yang berdiameter besar dan untuk mengurangi ketidakpastian dalam
pembesaran skala. Pada penelitian sebelumnya Lin, dkk (1999) menyatakan
penggunaan packed column mempunyai efisiensi perpindahan massa yang lebih tinggi
dari pada menggunakan tray column tanpa memperhatikan transfer energy yang
dibutuhkan, Van Loo et al. (2007) menyatakan bahwa absorpsi CO 2 menggunakan
MDEA didalam tray column mampu menurunkan kebutuhan jumlah tray dari 40
menjadi 25 tray. Bani adam et al (2009), mempelajari permodelan matematis absorbsi
CO2 dan H2S ke dalam MDEA pada kolom type tray (sieve tray) dengan menggunakan
non-equilibrium Rate Based Model yang dikombinasikan dengan two film theory
5

untuk mengetahui profil konsentrasi komponen gas dan liquid pada tiap tray, serta
membandingkan hasil prediksi penelitian dengan data industry. Akan tetapi, penelitianpenelitian tersebut tidak memperhitungkan persen recovery dalam proses absorpsi CO 2
dan H2S serta tidak memaparkan pengaruh variable konsentrasi pelarut, tekanan, dan
suhu terhadap persen recovery. Oleh karena itu, penelitian simulasi ini ditujukan untuk
memperoleh persamaan persen recovery CO 2 dan H2S dengan memperhatikan
konsentrasi pelarut MDEA, tekanan dan temperatur input ke kolom dengan laju alir gas
dan liquid konstan, sehingga dapat diperoleh kondisi operasi yang sesuai untuk
mendapatkan gas CO2 dan H2S yang relative murni dan dapat diketahui profil
konsentrasi pada setiap tray sesuai dengan variable yang digunakan.
Pemilihan jenis absorbent dalam hal ini amine tergantung dari tujuan proses dan
karakteristik dari tipe absorbent, antara lain selektivity untuk H 2S, CO2, pengendalian
kandungan air di umpan gas, pengontrolan kandungan air di sirkulasi absorbent, cost,
suplai absorbent, thermal stability, dll. Pemilihan absorbent juga ditentukan oleh
kondisi operasi seperti tekanan dan temperature dari umpan gas, komposisinya, dan
purity dari produk gas yang diinginkan serta penghilangan secara simultan gas H2S dan
CO2 atau hanya selektif H2S dihilangkan. Secara garis besar proses gas treating dapat
berdampak ke semua fasilitas pemrosesan gas termasuk pembuangan gas asam, sulfur
recovery dehydration, absorbent recovery dll. Untuk proses tertentu, beberapa faktor
dibawah ini perlu diperhatikan :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

Peraturan mengenai polusi udara sehubungan dengan pembuangan H2S


Jenis dan konsentrasi dari impuritas dalam umpan gas
Spesifikasi dari produk gas (treated gas)
Temperature dan tekanan umpan gas / treated gas
Volume umpan gas yang akan ditreating (kapasitas unit)
Komposisi hidrokarbon dalam umpan gas
Selektivity gas yang akan dibuang
Sirkulasi larutan amine bisa diturunkan dengan pemilihan tipe amine yang tepat
Konsumsi energy
Permasalahan degradasi dan korosi

2.4 Penghilangan CO2 dan H2S pada Gas Alam dalam Pemrosesan LNG
PLANT 1 - GAS PURIFICATION
Proses di Plant 1 adalah pemurnian gas dengan pemisahan kandungan CO2
(Karbon Dioksida) dari gas alam. Kandungan CO2 tersebut harus dipisahkan agar tidak
mengganggu proses selanjutnya. Pemisahan CO2 dilakukan dengan proses absorbsi
6

larutan Mono Ethanol Amine (MEA), yang sekarang diganti dengan Methyl De Ethanol
Amine (MDEA) produksi Ucarsol. Proses ini dapat mengurangi CO2 sampai di bawah
50 ppm dari aliran gas alam. Batas maksimum kandungan CO 2 pada proses selanjutnya
adalah 50 ppm.
PLANT 2 - GAS DEHYDRATION AND MERCURY REMOVAL
Selain CO2, gas alam juga mengandung uap air (H2O) dan Mercury (Hg) yang
akan menghambat proses pencairan pada suhu rendah. Pada Plant 2, kandungan H2O
dan Hg dipisahkan dari gas alam.
Kandungan H2O pada gas alam tersebut akan menjadi padat dan akan
menghambat pada proses pendinginan gas alam selanjutnya. Pemisahan kandungan H2O
(Gas Dehydration) dilakukan dengan cara absorbsi menggunakan molecullar sieve
hingga kandungan H2O maksimum 0,5 ppm. Kandungan mercury (Hg) pada gas alam
tersebut jika terkena peralatan yang terbuat dari aluminium akan terbentuk amalgam.
Sedangkan tube pada Main Heat Exchanger 5E-1 yang merupakan alat pendingin dan
pencairan utama untuk memproduksi LNG adalah terbuat dari aluminium. Pemisahan
kandungan Hg (Mercury Removal) dilakukan dengan cara absorbsi senyawa belerang
menggunakan molecullar sieve hingga kandungan Hg maksimum 0,1 ppm.
Menurut Kohl dan Riesenfeld (1985), senyawa alkanolamine dikelompokkan
dalam 4 kelompok yaitu primary amine (contoh MEA dan DGA); secondary amine
(DEA dan DIPA); tertiary amine (TEA dan MDEA) dan hindered amine (AMP).
Senyawa alkanolamine memiliki keunggulan dalam mengabsorpsi CO2 karena laju
absorpsinya cepat, biaya murah tetapi panas absorpsinya tinggi (20-25 kcal/mol). Oleh
karena

senyawa alkanolamine bersifat korosif, biasanya ditambahkan inhibitor.

Senyawa alkanolamine dengan inhibitor menyebabkan foaming. Selain itu, kekuatan


ion alkanolamine dalam mengikat CO2 tinggi (tergantung senyawa alkanolamine nya).
Makin kuat senyawa alkanolamine tersebut mengikat CO2, maka akan butuh heat
energi yang lebih besar pada saat regenerasi di kolom

stripper, akibatnya akan

menaikkan kebutuhan steam yang ada di reboiler. Kelemahan senyawa alkanolamine


terutama kelompok primary dan secondary adalah terbentuknya senyawa carbamate
yang stabil dan tidak dapatnya memisahkan senyawa-senyawa mercaptan, serta
hilangnya uap yang besar menyebabkan tekanan uap yang tinggi.
Kelemahan yang lain dari senyawa alkanolamine adalah terdegradasi pada
overheating (> 100oC) dan terjadi reaksi lebih lanjut dimana menghasilkan produk
samping yang tidak bisa diregenerasi (Bartoo dan Ruzicka, 1991). Polasek (1994) telah
7

membandingkan senyawa MDEA dengan senyawa alkanolamine yang lain, hasilnya


konsentrasi larutan bisa tinggi ( mencapai 50-55%), loading gas asam tinggi, korosifitas
lebih rendah, ketahanan degradasi lebih tinggi, panas reaksi lebih rendah serta
kehilangan tekanan uap rendah.
2.5 Alternatif Awal Menggunakan Absorbent MEA (Monoetanolamine)
Salah satu solvent yang dapat dipakai untuk menyerap gas CO 2
dalam gas adalah Monoethanolamine (MEA). Cullinane (2005) menyatakan
bahwa Monoethanolamine (MEA) memiliki keunggulan karena laju absorpsi
dan kapasitas untuk CO2 tinggi. Penelitian Aboudheir (1998) memberikan
gambaran tentang proses absorpsi CO 2 dalam larutan MEA yang sangat
pekat (39 kmol/m3). Hasil yang diperoleh menyatakan bahwa kapasitas
absorpsi larutan amina akan meningkat seiring dengan peningkatan
konsentrasi nya. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa seiring dengan
peningkatan laju alir liquid, maka efisiensi penghilangan dari CO 2 juga akan
meningkat. Kenaikan kapasitas absorpsi dapat dilihat dari kenaikan harga
koefisien perpindahan massa, serta luas interfacialnya.
Proses absorpsi CO2 menggunakan MEA sebagai pelarut merupakan
absorpsi yang disertai dengan reaksi. Adapun reaksi kimia antara CO 2
dengan MEA adalah
CO2(g) + 2RNH2(aq) RNHCOO- (aq) + RNH3+(aq)
Dengan R = MEA = HOCH2CH2- dan dengan persamaan laju reaksi : R = k
CCO2 CMEA
Reaksi kimia antara CO2 dan MEA merupakan reaksi irreversible
dimana gas CO2 berdifusi dalam cairan MEA, langsung habis bereaksi
menjadi produk. Reaksi ini terjadi di interface di lapisan film liquid dalam
waktu yang sangat cepat sehingga hanya terjadi perpindahan massa.
Dengan absorpsi kimia menggunakan monoethanolamin (MEA)
dengan konsentrasi 10%, dapat mengurangi konsentrasi CO 2 dari 40%
menjadi 0,5-1% volume CO2 di dalam gas.
Kelemahan MEA antara lain:
a) Enthalpy reaksi dengan CO2 besar sehingga konsumsi energi untuk
desorpsi CO2 tinggi.
b) Terbentuknya senyawa karbamat yang stabil, dan tidak dapatnya
memisahkan senyawa-senyawa mercaptan

c) Hilangnya uap yang besar menyebabkan tekanan uap yang tinggi,


dan lebih korosif dari pada alkanolamine yang lain sehingga
kebutuhan corrosion inhibitor lebih besar.
d) Karena MEA merupakan basa, reaksinya dengan CO 2 tinggi, namun
bersifat korosif.
e) Dalam penggunaannya MEA memerlukan energi yang cukup besar
karena MEA bekerja pada tekanan uap tinggi. Hal ini menyebabkan
biaya pemrosesan menjadi lebih tidak efisien.
f) MEA juga sulit untuk diregenerasi.
g) Selain itu, proses ini cukup mahal dikarenakan ketersediaan bahan
baku dan harga MEA.

2.6 Alternatif

Lebih

Efisien

Menggunakan

Absorbent MDEA (Methyldietanolamine)


Stabilitas
Salah satu pertimbangan yang paling
penting dalam merancang unit scrubbing adalah
tingkat H2S/CO2 selektivitas yang kompatibel
dengan komposisi gas baku dan spesifikasi
untuk mengolah gas. Dalam batas-batas yang ditetapkan oleh kedua parameter,
memaksimalkan selektivitas biasanya diinginkan, sebagai ukuran gas mengobati
tanaman dapat disimpan relatif kecil. Hal ini dapat mengakibatkan berkurang biaya
modal. Karena CO2 tambahan tidak harus dilucuti dalam regenerator, penggunaan
energi berkurang. Jika diinginkan, CO2 dapat dihapus dalam unit hilir untuk keperluan
seperti enhanced oil recovery (EOR). Dengan meningkatkan konten H 2S dari feed gas
asam, Claus unit recovery sulfur dapat dioperasikan dengan efisiensi yang lebih besar
dan biaya yang lebih rendah. Dari semua amina saat ini digunakan oleh industri
mengobati gas, MDEA adalah yang paling selektif untuk H 2S. MDEA tidak bereaksi
dengan, CO2 untuk membentuk karbamat stabil.
MDEA dipilih sebagai absorben, karena:
a. vapor pressure rendah
b. sebagai pelarut yang dapat meningkatkan efisiensi penghilangan CO 2 di gas
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

alam dan gas sintesis


dapat meminimalisasi penyabunan dan korosi di unit amine
tidak mudah degradasi
tidak terlalu korosif
panas reaksi rendah
selectivity terhadap H2S tinggi daripada amina yang lain
kemampuan penyerapan yang lebih tinggi
lebih atraktif, fouling, dan foaming.
9

Kelemahan utama MDEA adalah:


a. Laju reaksi dengan CO2 berlangsung lambat
b. kecenderungan untuk berlangsung pada konsentrasi tinggi
c. Biaya lebih tinggi.
a. Sistem Reaksi Kimia H2S
Sedangkan reaksi terhadap H2S yang terjadi di badan liquid juga
merupakan reaksi reversible seperti berikut:
H2S + MDEA HS- + MDEAH+
b. Sistem Reaksi Kimia CO2
Reaksi stoichiometri yang terjadi pada absorpsi CO 2 dalam larutan
absorbent secara umum adalah:
CO3- + H2O + CO2(aq) 2HCO3-

(1)

Reaksi yang menentukan kecepatan reaksi adalah:


CO2 + OH- HCO3(2)
CO2 + H2O HCO3- + H+
(3)
Reaksi pertama cepat sedang reaksi kedua berlangsung lambat. Bila
sejumlah kecil MDEA ditambahkan dalam larutan absorbent , laju absorpsi
akan meningkat dengan mekanisme reaksi berikut (Augugliaro dan Rizzuti,
1987)
CO2 + MDEA + H2O MDEAH + HCO3MDEAH+ + OH- MDEA + H2O
HCO3- + OH- CO3- + H2O

(4)
(5)
(6)

Di dalam campuran gas terdapat gas H2S selain CO2. Reaksi antara gas
H2S dengan K2CO3 dan MDEA dinyatakan berikut ini:
H2S + CO32- HS- + HCO3H2S + MDEA HS- + MDEAH-

Teknik Pengabsorpsian Kimia

10

(7)
(8)

Absorpsi CO2 pada Kondisi Isothermal

Gambar 3.1 Pengaruh temperatur dan konsentrasi MDEA terhadap persen recovery CO2
pada tekanan 60 atm.
Pada gambar 3.1 terlihat persen recovery meningkat sesuai dengan naiknya
temperature. untuk konsentrasi 35%, 45% dan 55% menunjukan semakin tinggi
temperature maka semakin tinggi persen recovery gas CO 2 yang diperoleh. Konsentrasi
larutan MDEA berpengaruh terhadap persen recovery dimana semakin besar
konsentrasi larutan MDEA maka semakin tinggi pula persen recovery gas CO 2 yang
dicapai. Namun peningkatan persen recovery CO2 mengalami penurunan dengan
naiknya konsentrasi MDEA. Selain itu, dari hasil penelitian ini juga menunjukkan
bahwa semakin tinggi tekanan operasi kolom absorpsi maka persen recovery gas CO 2
juga semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena semakin tingginya tekanan, maka
kelarutan CO2 dalam larutan MDEA juga semakin besar.
Absorpsi H2S pada Kondisi Isothermal

11

Gambar 3.2 Pengaruh temperatur dan konsentrasi larutan MDEA terhadap persen
recovery H2S pada temperature 60 atm
Pada gambar 3.2 terlihat bahwa persen recovery H2S meningkat dengan naiknya
temperature. Kenaikan temperature akan menyebabkan kenaikan kecepatan reaksi yang
tentunya juga akan menyebabkan terjadinya kenaikan laju penyerapan gas H 2S ke
dalam larutan MDEA. Selain itu juga menunjukkan bahwa semakin tinggi tekanan
operasi kolom absorpsi maka persen recovery gas H2S juga semakin tinggi.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan makalah yang telah dibuat, dapat disimpulkan bahwa:
1. Dampak CO2 dan H2S dalam gas alam cair yang paling adalah membuat
tersumbatnya pipa-pipa akibat korosi dan membekunya CO2 pada pipa pencairan.
Hal ini akan membuat terganggunya pemrosesan tingkat selanjutnya.
2. Dalam pemrosesan gas alam cair menjadi LNG, larutan absorbent MEA diganti
dengan MDEA karena masalah yang paling utama, yaitu korosif.
3. Kelemahan MEA sebagai absorbent adalah sifatnya yang lebih korosif sehingga
membuat pipa-pipa saluran menjadi rusak dan membutuhkan perawatan yang lebih
ekstra.
4. Kelebihan MDEA vapor pressure rendah, sebagai pelarut yang dapat meningkatkan
efisiensi penghilangan CO2 di gas alam dan gas sintesis, dapat meminimalisasi
12

penyabunan dan korosi di unit amine, tidak mudah degradasi, tidak terlalu korosif,
panas reaksi rendah, selectivity terhadap H2S tinggi daripada amina yang lain,
kemampuan penyerapan yang lebih tinggi, lebih atraktif, fouling, dan foaming.
5. Semakin besar konsentrasi larutan MDEA maka semakin tinggi pula persen
recovery gas CO2 yang dicapai.
6. Semakin besar konsentrasi larutan MDEA maka semakin tinggi pula persen
recovery gas H2S yang dicapai.
3.2 Saran
Untuk memaksimalkan dan mengefisienkan pengarbsopsian CO2 dan H2O pada
pemrosesan gas alam cair menjadi LPG, perlu digunakan absorbent yang efektif dalam
kinerjanya. Absorbent ini harus mendukung banyak hal positif dan meminimalisasi
kerugian-kerugian yang kemungkinan terjadi, seperti penyumbatan pada pipa, korosi,
dan penambahan biaya-biaya lain untuk perawatan alat. Sehingga untuk menghindari
kerugian-kerugian tersebut perlu menggunakan salah satu absorbent aminolamine yaitu
MDEA yang dapat meminimalisasi kekorosifan dan lebih efekti dalam penyerapan zatzat impurities, karena MDEA ini termasuk tersier amien yang mempunyai daya
keefektifan dalam menyerap zat impurities lebih tinggi.
DAFTAR ISI
Daftar Isi .. i
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan . 2
1.3 Manfaat ... 2
BAB II Tinjauan Pustaka
2.1 Gas Alam ......... 3
2.2 Dampak CO2 dan H2S pada gas alam
dalam pemrosesan LNG 5
2.3 Penggunaan Alkanolamines sebagai Solvent
untuk Proses Absorpsi CO2 dan H2S 5
2.4 Penghilangan CO2 dan H2S pada Gas
Alam dalam Pemrosesan LNG . 7
2.5 Alternatif Awal Menggunakan Absorbent
MEA (Monoetanolamine) . 9
2.6 Alternatif Lebih Efisien Menggunakan Absorbent
MDEA (Metildietanolamine) ... 10
BAB III Penutup
13

3.1 Kesimpulan 14
3.2 Saran .14
Daftar Pustaka .................... ii

DAFTAR PUSTAKA
i

Alie, Coline. F. 2004. CO2 Capture with MEA: Incegrating the Absorption Process and
Steam Cycle of an Existing Coal-Fired Power Plant. Canada: University of
Waterloo.
Arkema. 2000. MDEA, Proven Technology for Gas Treating System. Philadelphia:
Arkema, Inc.
Asyraq, Muhammad. 2009. Experimental Study on Acid Gas Removal Using
Absorption-Adsorption Unit. Malaysia: Universitas Malaysia Pahang.
GAS/SPEC Technology Group. 2000. Successful MDEA Conversion. Houston: INEOS,
LLC.
Lathifah, Narisma dan Deery Adrian. 2009. Simulasi Absorpsi CO2 dan H2S dari Gas
Alam Menggunakan Larutan MDEA pada Tray Column. Surabaya: ITS.
Naibaho, Antonius Eriek Afindo. 2012. Absorpsi CO2 melalui Kontrakor Membran
Serat Berongga Menggunakan Larutan Penyerap Campuran Senyawa Amina
(MEA/DEA): Variasi Komposisi Amina. Jakarta: Universitas Indonesia.
Ningsih, Erlinda, dkk. 2012. Simulasi Absorpsi Multi Komponen Gas dalam Larutan
K2CO3 dengan Promotor MDEA pada Packed Column. Surabaya: Institut
Sepuluh November.
Rizky, Pratama Putri. 2011. Simulasi Absorpsi Gas CO2 dalam Larutan K2CO3 dengan
Promotor MDEA pada Packed Column. Surabaya: Institut Sepuluh
November.
S. van Loo, E.P. van Elk, and G.F. Versteg. 2005. The Removal of Carbon Dioxide with
Actived Solutions of Methyl Diethanol Amine (MDEA). Netherland: Elsevier.
Srihari, Endang, dkk. 2011. Absorpsi Gas CO2 Menggunakan Monoetanolamine.
Surabaya: Universitas Surabaya.

14
ii

Anda mungkin juga menyukai