02/05/2014
oleh Rahmansyah
http://mrahmansyah.weebly.com/artikel/kerja-sama-operasi-bagaimana-aspek-perpajakannya
Kerjasama Operasi atau yang lazimnya disebut Joint Operation tidak selalu terdiri dari 2 (dua)
pengusaha. Kerjasama Operasi (selanjutnya disebut KSO) juga dapat terdiri dari 3 (tiga) atau
lebih pengusaha yang melangsungkan usaha atau proyek yang cenderung bersifat sementara.
Secara garis besar, terdapat 2 (dua) jenis KSO, yaitu KSO yang terpisah dari anggotanya dan
KSO yang tidak terpisah dari anggotanya. KSO yang terpisah dari anggotanya sering disebut
sebagai KSO Administratif, artinya administrasi usaha sepenuhnya dilakukan atas nama KSO,
mulai dari pengajuan tender, penandatanganan kontrak kerja hingga penagihan hasil kerja atau
penerbitan invoice kepada customer.
KSO yang kedua sering disebut sebagai KSO Non Administratif. Kontrak kerja dilakukan atas
nama masing-masing anggota KSO dan tanggungjawab kerja ada pada masing-masing anggota
KSO. Atau dengan kata lain, dalam hal ini KSO hanya ditujukan sebagai alat koordinasi para
anggotanya saja.
KSO Administratif
Sebagai entitas yang terpisah dari anggotanya, KSO Administratif harus memiliki NPWP sendiri.
Adapun untuk memperoleh NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan NPPKP (Nomor
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak), KSO harus mengisi formulir Permohonan Pendaftaran dan
Perubahan Data Wajib Pajak yang telah diisi dan menandatanganinya. Tidak hanya mengisi dan
menandatangani formulir yang sesuai, dokumen-dokumen di bawah ini juga wajib dilampirkan
pada formulir pendaftaran NPWP KSO:
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia, atau Paspor ditambah surat
keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang (sekurang-kurangnya lurah atau
kepala desa bagi orang asing), dari salah seorang pengurus KSO.
Karena KSO Administratif merupakan entitas yang berbeda dari para anggotanya, maka setiap
penyerahan barang atau jasa anggota kepada KSO -ataupun sebaliknya- dapat memiliki implikasi
perpajakan. Dengan demikian jika KSO telah memiliki NPWP dan menjadi Pengusaha Kena
Pajak (PKP), KSO wajib:
1. Memotong pajak atas pembayaran yang menjadi Objek Pemotongan PPh kepada anggota
KSO, ataupun sebaliknya; dan
2. Memungut PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak
(JKP) kepada anggota KSO, ataupun sebaliknya.
Seiring dengan kepemilikan NPWP, KSO Administratif harus menyelenggarakan pembukuan
sendiri yang terpisah dari para anggotanya, dimana pembukuan tersebut pada dasarnya adalah
sama dengan pembukuan perusahaan-perusahaan lain.
KSO Non Administratif
Karena tidak menjadi entitas usaha yang terpisah dari anggotanya, KSO Non Administratif tidak
perlu didaftarkan untuk memiliki NPWP. Dan karena tidak menjadi entitas yang berbeda dari
para anggotanya, tidak ada aspek perpajakan atas setiap penyerahan barang dan/atau jasa dari
anggota KSO ke KSO ataupun sebaliknya.
Mengingat KSO Non Administratif bukan entitas usaha yang berdiri sendiri, KSO Non
Administratif dapat mengabaikan penyelenggaraan pembukuan yang khusus bagi KSO.
Pembukuan dapat dicatat oleh masing-masing anggota KSO. Namun akan lebih baik jika
pembukuan khusus untuk KSO MBA tetap diselenggarakan, antara lain agar:
Masing-masing anggota KSO dapat mengetahui jumlah dan jenis kontribusi yang
diberikan terhadap KSO;
Tidak berani menanggung resiko sendiri untuk proyek usaha yang cenderung tidak permanen?
Sah-sah saja jika Anda membentuk KSO!
Untuk Kewajiban PPNnya, mengingat KSO merupakan PKP, apabila konsep kerja samanya
salah satu pihak menyerahkan aset berupa tanah dan menerima bagi hasil atas penjualan real
estate, maka penyerahan tanah dari Pihak yang mempunyai tanah ke KSO terutang PPN dan
KSO dapat mengkreditkannya di laporan PPNnya. Kemudian atas penjualan real estatenya
merupakan PPN keluaran KSO.
Konsorsium bukan subjek pajak menurut Pajak Penghasilan. Tetapi subjek pajak badan
menurut Pajak Pertambahan Nilai. Walaupun bukan subjek pajak, konsorsium wajib
mendaftarkan diri dan memiliki NPWP karena terhadap konsorsium tetap ada kewajiban
PPh atas pemotongan dan pemungutan (Potput) PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh
Pasal 26. Juga Wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Konsorsium sering disebut Joint Operation (JO). Konsorsium atau JO merupakan
operasi dua badan atau lebih yang sifatnya sementara hanya untuk melaksanakan
suatu proyek tertentu sampai proyek tersebut selesai dikerjakan.
Dari pengertian tersebut, dapat kita "cirikan" karakteristik konsorsium:
1. kumpulan dua badan atau lebih,
2. bersifat sementara dan didirikan tidak untuk selamanya,
3. bertujuan untuk melaksanakan suatu proyek.
Kesementaraan konsorsium ditentukan oleh proyek. Artinya, konsorsium ada selama
proyek sedang dikerjakan. Jika sudah selesai, maka konsorsium bubar. NPWP harus
dihapus.
PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN
Kewajiban perpajakan konsorsium dari sisi Pajak Penghasilan bisa dibagi dua:
Konsorsium bukan subjek pajak sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) huruf b UU
PPh. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPb berbunyi:
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Sampai dengan saat ini, tidak ada peraturan baik tingkat menteri keuangan maupun
direktur jenderal yang menyebut bahwa konsorsium atau JO bukan subjek pajak.
Penyataan bahwa JO bukan subjek pajak hanya pada surat korespondensi antara
Wajib Pajak dengan DJP. Dan surat yang sering menjadi rujukan adalah S823/PJ.312/2002 tanggal 24 Oktober 2002.
Karena bukan subjek pajak maka konsorsium tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan
dan membayar PPh Badan. Tentu saja tidak ada kewajiban PPh Pasal 25 atau PPh
Pasal 29.
Konsekuensi dari bukan subjek pajak maka:
Penghasilan Bruto dikenakan di masing-masing anggota konsorsium (badanbadan yang berkumpul sebagai konsorsium).
Dengan demikian, mulai biaya-biaya yang timbul, penghasilan bruto yang diterima, dan
kredit pajak (Bukti Potong) diperhitungkan di SPT Tahunan PPh Badan masing-masing
anggota JO.
Dalam praktek, ada konsorsium yang memiliki kantor dan administrasi. Konsorsium
jenis ini sering disebut administrative JO. Menurut Ruston Tambunan, administrative JO
memiliki ciri-ciri:
kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas
nama JO
Dalam hal konsorsium memiliki "manajemen" dan memiliki laporan keuangan maka
seharusnya konsorsium memiliki kewajiban PPh Badan. Konsorsium seperti ini
diperlakukan sebagai subjek pajak.
Kenapa harus diperlakukan sebagai subjek pajak? Karena:
Kenapa penghasilan bruto konsorsium yang bukan subjek pajak harus dibagi habis ke
anggota? Karena Indonesia menganut classical system yaitu sistem pemisahan yang
tegas antara entitas usaha di satu sisi dengan pemilik modal di sisi lain. Baik entitas
usaha maupun pemilik modal masing-masing sebagai subjek pajak terpisah. Masingmasing memiliki kewajiban pelaporan SPT Tahunan. Masing-masing menghitung
penghasilan neto.
KEWAJIBAN WITHHOLDING TAXES
Sekarang kita fokuskan konsorsium sebagai pemberi penghasilan. Contoh konsorsium
sebagai pemberi penghasilan:
membayar jasa lainnya yang merupakan objek PPh Pasal 23, dan
Kewajiban konsorsium dalam hal withholding taxes atau POTPUT sama saja dengan
subjek pajak. Artinya, konsorsium wajib memotong PPh atas penghasilan yang
diberikan kepada subjek pajak lain. PPh yang sudah dipotong tersebut kemudian
disetorkan ke Kas Negara melalui bank persepsi. Kemudian konsorsium membuat bukti
potong, SPT Masa PPh dan melaporkan ke KPP terdaftar.
KEWAJIBAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 secara tegas mengatakan bahwa Kerja
Sama Operasi atau Joint Operation termasuk dalam pengertian badan dan wajib
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 berbunyi:
Bentuk kerja sama operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak atas nama bentuk kerja
sama operasi.
Bagian penjelasan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012
memberikan contoh-contoh bagaimana perlakukan perpajakan untuk JO. Berikut
kutipan
penjelasan Pasal 3 ayat (2) :
Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang wajib untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak:
PT ABC dan PT DEF membuat perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek).
Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT ABC dan PT DEF membentuk joint operation.
Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek) diatur bahwa semua
transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada
pelanggan (pemilik proyek) dilakukan atas nama joint operation.
Berdasarkan hal di atas:
a. joint operation wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada
pelanggan (pemilik proyek), joint operation wajib menerbitkan Faktur Pajak;
c. apabila dalam rangka joint operation tersebut, PT ABC atau PT DEF atas nama
joint operation melakukan penyerahan langsung kepada pelanggan (pemilik proyek),
maka penyerahan tersebut dianggap sebagai penyerahan dari PT ABC atau PT DEF
kepada joint operation, sehingga PT ABC atau PT DEF harus membuat Faktur Pajak
kepada joint operation dan joint operation membuat Faktur Pajak kepada pelanggan
(pemilik proyek).
Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang tidak wajib untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:
PT X dan PT Y membuat perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek).
Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT X dan PT Y membentuk joint operation.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya semua transaksi dan dokumentasi terkait
dengan perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek) tersebut secara
nyata hanya dilakukan atas nama PT X.
Karena joint operation secara nyata tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pihak lain, maka dalam hal ini joint operation tidak
wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO, bukan pada
masing-masing anggota JO.
Masalah pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek, pengadaan peralatan, tenaga kerja,
biaya bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit sharing) sehubungan dengan
pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan (scope of work) masing-masing yang
disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement.
Contoh: KSO Pembangunan Jaya Property, yaitu perjanjian KSO antara PT Pembangunan Jaya
Ancol, Tbk dengan PT Jaya Real Property, Tbk.
b. Non-Administrative JO
JO dengan tipe ini dalam prakteknya di kalangan pengusaha jasa konstruksi sering disebut
sebagai Konsorsium di mana kontrak dengan pihak Project Owner di buat langsung atas nama
masing-masing perusahaan anggota. Dalam hal ini JO hanya bersifat sebagai alat koordinasi.
Tanggung jawab pekerjaan terhadap Project Owner berada pada masing-masing anggota.
Contoh Non-Administrative JO yang bersifat konsorsium adalah pembangunan PLTU 1 Jawa
Barat, Indramayu ditanda tangani pada tanggal 12 Maret 2007 oleh PT PLN (Persero) dan
Konsorsium dari China yaitu:
a) National Machenery Industry (SINOMACH) pengadaan mesin pembangkit
b) China National Electric Equipment Corporation (CNEEC) instalasi jaringan listrik dan
c) Perusahaan Lokal PT Penta Adi Samudera (SCP & JO ) menangani keamanan proyek, serta
urusan koordinasi yang terkait dengan institusi pemerintah maupun swasta lainnya.
Di Indonesia Kerja Sama Operasi umumnya terjadi pada bidang konstruksi. Untuk dapat
mengerjakan proyek konstruksi, perusahaan harus mempunyai Surat Izin Usaha Jasa
Konstruksi (SIUJK). Perusahaan biasanya melakukan KSO dengan melakukan penggabungan
atas kepemilikan sumber daya:
1. Personel yaitu Sumber Daya Manusia atau Personil Inti/Tenaga Ahli yang cukup
2. modal perusahaan atau Kekayaan Bersih
3. Peralatan Utama dan Fasilitas lain, yang diperlukan dalam pengadaan barang/jasa;
1. Personel yaitu: Sumber Daya Manusia atau Personil Inti/Tenaga Ahli yang cukup
Salah satu persyaratan guna memperoleh SIUJK dengan Klasifikasi Kecil adalah perusahaan
harus mempunyai pekerja yang mempunyai Sertifikat Tenaga Terampil (SKT) dengan ijazah
SMU/STM . Sedangkan SIUJK dengan Klasifikasi Besar, perusahaan harus mempuiyai pekerja
dengan Sertifikat Tenaga Ahli STA) dengan ijazah S1 sesuai bidanng keahliannya (Sipil,
Elektrik, Arsitek).
2. Modal perusahaan atau Kekayaan Bersih
Untuk dapat melaksanakan proyek besar, biasanya pemilik proyek mensyaratkan bahwa vendor
harus memiliki modal bersih yang cukup (diatas Rp 1 milyar)
3. Peralatan Utama dan Fasilitas lain, yang diperlukan dalam pengadaan barang/jasa;
a) Adakalanya perusahaan mempunyai peralatan utama untuk mengerjakan proyek (seperti:
traktor, buldoser, dan alat berat lainnya) namun tidak memiliki dana yang cukup untuk
melaksanakan proyek konstruksi.
b) Fasilitas Lain adalah priviliege yang diberikan oleh pemerintah kepada pengusaha local bahwa
Badan Usaha asing dalam melakukan kegiatannya di Indonesia harus membentuk kerjasama
operasi (joint operation) dengan Badan Usaha nasional yang berbadan hukum berbentuk
Perseroan Terbatas (PT) sebagaimana diatur dalam Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi Nomor 11a Tahun 2008 tentang Registrasi Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi.
Bentuk joint operation adalah merupakan perkumpulan dua badan atau lebih yang bergabung
untuk menyelesaikan suatu proyek, penggabungan ini bersifat sementara sampai proyek
tersebut selesai.
Bentuk penggabungan demikian bukanlah merupakan subyek dari pengenaan PPh Badan,
namun pengenaan PPh Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada masingmasing badan yang bergabung tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau
penghasilan yang diterimanya.
Pemberian NPWP terhadap joint operation adalah semata-mata untuk keperluan pemungutan
dan pemotongan PPh Pasal 21, Pasal 23/26 dan PPN.
Dalam rangka menentukan dan memperhitungkan besarnya PPh yang terhutang untuk
Badan-badan tersebut, pembukuan yang terpisah dari masing-masing Badan yang bergabung
dalam joint operation dapat dilakukan. Ketentuan ini juga mencakup dan berlaku bagi
penghasilan yang diterima dari proyek bantuan luar negeri.
Karena Joint Operation tidak termasuk Subjek Pajak PPh, maka penghasilan yang diterima
suatu Joint Operation sebenarnya adalah penghasilan para anggota yang besarnya bagian
masing-masing ditentukan sesuai perjanjian.
Jika atas penghasilan berupa bunga, sewa dan lain-lain yang diterima atau diperoleh Joint
Operation (J.O.) dari WP Badan Dalam Negeri dan Perseorangan yang ditunjuk (selanjutnya
disebut : Pemberi Hasil), dipotong PPh Ps. 4 ayat(2), maka bukti potong PPh Pasal 4 ayat(2)
tersebut harus dipecah untuk masing-masing anggota Joint Operation agar dapat dikreditkan.
Adapun besarnya PPh Pasal 4 ayat(2) untuk masing-masing anggota Joint Operation sesuai
dengan perjanjian J.O.A (joint operation agreement) yang telah disepakati bersama.
Joint Operation tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan dan membayar
PPh Pasal 25 dan Pasal 29. Kewajiban yang ada hanya sebagai pemotong/pemungut PPh
Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 dan PPN.
Tata cara pemecahan bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sebagai berikut:
1. Dalam hal penerima jasa sudah melakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas nama JO,
JO dapat mengajukan permohonan pemecahan bukti pemotongan ke Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) dimana JO terdaftar. Selanjutnya KPP dimana JO terdaftar melakukan pemindahbukuan
ke KPP dimana masing-masing anggota JO terdaftar sesuai proporsi bagi hasil;
2. Dalam hal penerima jasa belum melakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2), JO dapat
mengajukan pemecahan bukti potong kepada penerima jasa yang selanjutnya akan
menerbitkan bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas nama JO qq. Masing-masing anggota
JO sesuai dengan proporsi bagi hasil.
4. Kewajiban Pajak Pertambahan Nilai
Dalam penjelasan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2012 Administrative JO
(yang melakukan kontrak/perjanjian atas nama JO) wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
Konsekuensi logis dari hal tersebut JO bentuk ini mempunyai kewajiban PPN secara penuh
yaitu mendaftar, menghitung, membayar dan melapor.
5. Kewajiban pembukuan memenuhi ketentuan Pasal 28 UU KUP
Tujuan utama dari pembukuan/pencatatan dalam pasal 28 UU KUP adalah agar pajak terutang
dapat dihitung. Untuk memenuhi hal tersebut JO wajib membuat catatan mengenai peredaran
usaha (merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi dan PPN) dan biaya yang
dikeluarkan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang harus dipotong oleh JO.
Dengan begitu Non-Administrative JO tidak perlu mendaftarkan diri untuk mempunyai NPWP
dan tidak perlu juga dikukuhkan sebagai PKP.
Pada dasarnya JO dapat terbagi menjadi dua tipe yaitu Administrative dan Non-Administrative
JO.
a. Administrative JO
Tipe JO ini sering juga disebut sebagai Kerja Sama Operasi (KSO) di mana kontrak dengan
pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas nama JO. Dalam hal ini JO dianggap
seolah-olah merupakan entitas tersendiri terpisah dari perusahaan para anggotanya.
Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO, bukan pada masingmasing anggota JO. Masalah pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek, pengadaan
peralatan, tenaga kerja, biaya bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit sharing)
sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan (scope of works)
masing-masing yang disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement.
b. Non-Administrative JO
JO dengan tipe ini dalam prakteknya di kalangan pengusaha jasa konstruksi sering disebut
sebagai Konsorsium di mana kontrak dengan pihak Project Owner di buat langsung atas nama
masing-masing perusahaan anggota. Dalam hal ini JO hanya bersifat sebagai alat koordinasi.
Tanggung jawab pekerjaan terhadap Project Owner berada pada masing-masing anggota.
Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) atas JO Konstruksi
Kecuali kontrak investasi kolektif (KIK), penjelasan pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh tidak
secara spesifik menyebutkan bentuk apa saja yang termasuk dalam pengertian Bentuk Badan
Lainnya sebagai Subyek Pajak Namun dalam surat-surat penegasan yang diterbitkan oleh Dirjen
Pajak dinyatakan bahwa JO bukan merupakan Subyek PPh Badan sehingga tidak diwajibkan
menyampaikan SPT PPh Badan.
a. Aspek PPh - Administrative JO.
Meskipun bukan merupakan Subyek PPh Badan, JO wajib memiliki NPWP yang semata-mata
diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban PPN dan Withholding Tax (kewajiban memotong
PPh pasal 21, pasal 23, pasal 26, pasal 4 ayat 2 dan pasal 15). Kewajiban PPh Badan tetap
dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada masing-masing badan (perusahaan) yang
menjadi anggota JO tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau penghasilan yang
diterimanya.
Oleh karena statusnya bukan Subyek PPh Badan maka JO tidak terutang PPh pasal 4 ayat(2) atau
PPh Final yang dipotong oleh Project Owner pada saat pembayaran uang muka dan termin atas
tahapan penyelesaian pekerjaan konstruksi. Sejak terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 51
tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 2009, atas
penghasilan yang diperoleh dari usaha jasa konstruksi seluruhnya telah dikenakan PPh Pasal 4
ayat (2) yang bersifat final dengan tarif:
a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
memiliki kualifikasi kecil
b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
tidak memiliki kualifikasi usaha
c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain
Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
e. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan
oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
Agar masing-masing anggota JO dapat memanfaatkan bukti potong PPh Final tersebut sebagai
bukti pelunasan pajak terutang, dengan menganalogikan perlakuan pada Surat Edaran Dirjen
Pajak No.SE-44/PJ./1994 yang mengatur mekanisme pemecahan bukti potong PPh pasal 23,
maka:
1). Dalam hal Project Owner belum melakukan pembayaran dan / atau pemotongan PPh Pasal 4
ayat (2), maka JO dapat mengajukan permohonan pemecahan bukti potong kepada Project
Owner yang selanjutnya akan membuat bukti potong PPh Pasal 4 ayat (2) atas nama JO.qq.
perusahaan anggota berdasarkan porsi masing-masing yang telah disepakati sebelumnya.
2). Dalam hal Project Owner terlanjur memotong PPh pasal 4 ayat(2) atas nama JO, maka JO
dapat mengajukan permohonan pemecahan bukti potong PPh pasal 4 ayat (2) kepada pihak
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di mana JO terdaftar sebagai Wajib Pajak untuk kemudian
dilakukan pemindahbukuan ke masing-masing anggota JO.
Selanjutnya Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-214/PJ./2001 (belum dicabut hingga saat ini)
mengatur bahwa pada saat menyampaikan SPT PPh pasal 21, JO harus melampirkan Laporan
Keuangan atas kegiatan JO. Dengan pemahaman di mana Laporan Keuangan merupakan hasil
akhir dari suatu proses pembukuan maka dapat diambil kesimpulan bahwa Administrative JO
wajib menyelenggarakan pembukuan. Pembukuan JO diatur dalam PSAK 12 yang memberikan
pilihan penggunaan metode proportionate consolidation atau metode equity.
b. Aspek PPh Non-Administrative JO
Non-Administrative JO tidak wajib memiliki NPWP dan tidak wajib menyelenggarakan
pembukuan. Pendapatan dan biaya proyek dibukukan oleh masing-masing anggota JO. Tagihan
ke Project Owner diajukan sendiri oleh masing-masing anggota JO atau dapat juga diajukan
melalui JO namun Commercial Invoice, Faktur Pajak dan bukti potong PPh pasal 4 ayat (2) tetap
atas nama perusahaan masing-masing anggota JO (konsorsium).
Perlakuan PPN Atas JO
Berdasarkan pasal 1 angka 13 UU PPN juncto pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 143
Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2002 diatur
bahwa dalam rangka pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak, bentuk Kerjasama Operasi
termasuk dalam kategori Bentuk Badan Lainnya. Berbeda halnya dengan Non-Administrative JO
yang pemenuhan kewajiban PPNnya menjadi tanggungjawab masing-masing anggota,
AdministrativeJO wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP). Sebagai PKP tentu JO wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN.
Inkonsistensi Beberapa Surat Penegasan Dirjen Pajak Tentang Pemajakan Atas JO
Menimbulkan Ketidakpastian
SE-44/PJ./1994 tentang mekanisme pemecahan bukti potong PPh pasal 23 merupakan satusatunya SE Dirjen Pajak yang pernah diterbitkan terkait dengan pemajakan JO. Selebihnya hanya
berupa surat-surat penegasan sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh
Wajib Pajak. Karena merupakan Surat (private ruling) maka hal ini tentu saja tidak selalu
dapat menjadi acuan umum.
Beberapa surat penegasan yang diterbitkan Dirjen Pajak ternyata tidak konsisten antara satu dan
lainnya sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Wajib Pajak. Hal tersebut terlihat dalam
beberapa contoh Surat Dirjen Pajak berikut ini.
- S-752/PJ.52/1990
Surat ini menegaskan bahwa JO dianggap sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) apabila JO
menutup kontrak atas namanya. Apakah kontrak pekerjaan (proyek) dibuat dan ditandatangani
antara Project Owner dengan JO menjadi penentu apakah JO harus menjadi PKP atau tidak.
Dengan kata lain, apabila kontrak ditandatangani oleh Project Owner dengan masing-masing
anggota JO maka JO tidak merupakan PKP dan tentu saja tidak wajib memiliki NPWP. Dalam
hal ini fiskus tampaknya lebih mementingkan bentuk hukum (legal form).
- S-823/PJ.312/2002
Ditegaskan dalam Surat ini bahwa JO harus memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai PKP
apabila dalam transaksinya dengan pihak lain secara nyata-nyata dilakukan atas nama JO. Frase
secara nyata-nyata menekankan pentingnya hakekat atau substansi dari transaksi (substance).
Hal ini berbeda dengan S-752/PJ.52/1990 yang lebih menekankan legal form-nya. Bisa jadi
sebagian Wajib Pajak menginterpretasikan bahwa meskipun secara legal kontrak pekerjaan
ditandatangani atas nama JO seperti layaknya Administrative JO, apabila kenyataannya proyek
dikerjakan bukan atas nama JO melainkan oleh masing-masing anggota sesuai scope pekerjaan
yang disepakati layaknya Non-Administrative JO, maka seyogianya JO tidak harus menjadi PKP.
Hal ini dapat menimbulkan perbedaan interpretasi antara fiskus dan Wajib Pajak, antar Wajib
Pajak, bahkan mungkin antar aparat pelaksana (fiskus) sendiri. Jelas dalam hal ini Surat Dirjen
Pajak No. S-823/PJ.312/2002 tidak selaras dengan Surat No. S-752/PJ.52/1990.
- S-956/PJ.53/2005
Surat ini tidak menyinggung masalah bentuk hukum maupun substansinya namun semakin
menimbulkan keragu-raguan dan ketidakpastian. Ditegaskan bahwa apabila sebagian anggota JO
melaksanakan pekerjaan atas nama JO maka :
Atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari JO kepada Project Owner
terutang PPN dan dilaporkan di SPT Masa PPN atas nama JO sebagai Pajak Keluaran.
Atas Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak oleh anggota JO dalam rangka
kerjasama operasi (JO) kepada Project Owner merupakan penyerahan Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak dari anggota JO kepada JO.
Penyerahan tersebut terutang PPN dan anggota JO harus membuat Faktur Pajak kepada JO.
Bagi anggota JO, PPN dalam Faktur Pajak itu merupakan Pajak Keluaran dan bagi JO, PPN
tersebut merupakan Pajak Masukan.
Perlakuan tersebut malah mengacaukan konsep JO sebagaimana dijelaskan sebelumnya dan
sepertinya mencampuradukkan Administrative JO dan Non-Administrative JO. Keharusan JO
menjadi PKP dan kewajiban melaporkan PPN yang dipungut atas nama JO dalam SPT Masa
PPN adalah merupakan karakteristik dari Administrative JO. Selanjutnya anggota JO yang
melaksanakan pekerjaan atas nama JO tetapi diharuskan juga membuat Faktur Pajak kepada JO
seolah-olah masing-masing anggota JO mengerjakan sendiri scope pekerjaannya adalah
merupakan ciri Non-Administrative JO.
Surat Penegasan tersebut juga akan membawa dampak terhadap aspek pemotongan PPh pasal 23
( yang berlaku sekarang adalah PPh pasal 4 ayat(2) atau PPh Final khusus untuk penghasilan dari
usaha jasa konstruksi). JO akan memotong PPh pasal 4 ayat (2) atas setiap pembayaran tagihan
pekerjaan konstruksi yang diajukan oleh masing-masing anggota JO. Selanjutnya pihak Project
Owner juga akan melakukan pemotongan PPh pasal 4 ayat (2) atas tagihan dari JO yang pada
hakekatnya adalah merupakan jumlah tagihan yang sama dengan yang diajukan oleh anggota JO
kepada JO. Singkatnya, terjadi dua kali pemotongan PPh pasal 4 ayat (2) atas penghasilan yang
sama.
Kesimpulan
Beberapa surat penegasan mengenai perlakuan perpajakan JO tidak konsisten antara satu dan
lainnya sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Wajib Pajak. Pemerintah dalam hal ini
Direktorat Jenderal Pajak perlu mengatur lebih tegas perlakuan atas JO tersebut mengingat
semakin meningkatnya pelaksanaan pekerjaan proyek konstruksi dengan pola kerjasama operasi
saat ini dan di masa mendatang. Apakah memilih substance over form atau form over substance
dalam pemajakan JO haruslah lebih jelas.
Selanjutnya ketentuan pemajakan hendaknya dituangkan secara pasti dalam bentuk ketentuan
hukum yang dapat menjadi acuan umum dalam pelaksanaannya, Hal ini akan mengurangi
permintaan penegasan atau private ruling oleh para Wajib Pajak sekaligus menghindari terbitnya
surat-surat jawaban dari Dirjen Pajak yang justru menimbulkan ambigu. Khusus untuk
penghasilan atas usaha jasa konstruksi yang sekarang seluruhnya telah terkena PPh Final
sebaiknya diterbitkan ketentuan khusus terkait masalah pemecahan bukti potong karena SE44/PJ./1994 tidak lagi relevan.
Ruston Tambunan, Ak., M.Si., M.Int.Tax,BKP
CITASCO-Registered Tax Consultants
www.citasco.com
ruston@citasco.com