Anda di halaman 1dari 14

Pembentukan Siswa dalam Praktik Laboratorium Menggunakan

Kamera Infra Merah


ABSTRAK

Ilmu panas sangat menantang bagi siswa karena sifatnya yang sebagian besar tidak
terlihat. Handheld infrared cameras (kamera genggam infra merah) menawarkan
pembelajaran bagi siswa untuk melihat fenomena panas yang bersifat invisible (tak
terlihat). Dalam penelitian ini, siswa SMK teknologi (N = 30) mengikuti empat
praktik laboratorium kamera-IR (kamera infra merah), dirancang dengan
pendekatan White and Gunstone yaitu memprediksi, mengamati, dan menjelaskan
(predict-observe-explain). Kegiatan tersebut meliputi konsep pokok panas yang
fokus pada konduksi panas dan proses disipatif seperti gesekan dan tumbukan.
Interaksi siswa dalam setiap kegiatan direkam dan analisis berfokus pada
bagaimana kelompok yang terpilih dari tiga siswa terlibat dalam latihan. Sebagai
dasar untuk menginterpretasikan, disediakan deskripsi narasi yang tebal tentang
kemampuan epistemologi dan konseptual siswa dalam latihan dan bagaimana siswa
mengambil manfaat berkenaan tentang affordances kamera-IR dalam bidang ilmu
panas. Data hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar siswa membagi
kemampuan konseptual pada empat kegiatan, namun berbeda pada setiap
kemampuan epistemology mereka masing-masing., misalnya, dalam hal seberapa
dalam mereka menemukan hubungan penyimpangan dari petunjuk laboratorium
ketika menyelidiki fenomena panas. Kesimpulannya, penelitian ini membuka
affordances berkenaan dengan kamera inframerah, dalam arti penggunaannya
dalam menyediakan akses pengetahuan tentang ilmu panas makroskopik.

I. PENDAHULUAN
Ilmu termal, tetap menatang bagi siswa karena sulit untuk memahami dan
memanipulasi fenomena-fenomena termal. Perkembangan terbaru kamera
infrared yang mudah digunakan menawarkan kesempatan pedagogis untuk
mengatasi tantangan belajar mengajar ilmu termal, dengan membuat
sesuatu yang tak terlihat menjadi terlihat.
Xie, seorang developer solusi teknologi pendidikan, salah satunya membuat
kamera IR (infrared), membandingkan teknologi IR dengan alat ukur
termomoter tradisional. Dengan thermometer kita hanya mendapatkan satu
poin data saja pada waktu itu. Tetapi, dengan kamera IR kita dapat
mendapatkan ribuan titik data temperatur sekaligus dan data titik-titik yang
langsung digunakan untuk membuat gambar yang mudah dipahami di layar
kamera. Cara menggunakannya sebagaimana kamera konvensional.

Tujuan daripada penelitian ini adalah untuk menginvestigasi dan


mendskripsikan bagaimana sekelompok siswa menengah atas melakukan
praktik fisika menggunakan IR. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif untuk menganalisis data karena kami sangat tertarik bagaimana
praktik dan teknologi yang digunakan mempengaruhi bagaimana atensi
siswa terhadap apa yang telah mereka temukan dalam aktvitas sehari-hari.
Dengan kata lain bagaimana siswa membingkai praktikumnya. Dengan
demikian, penelitian ini dilakukan sebagai respon terhadap pertanyaan
berikut ini:
Bagaimana caranya sekelompok siswa menengah atas membingkai
satu set praktikum fisikia berbasis IR kamera?
Penelitian ini kami telah meninjau penelitian sebelumnya pada ide-ide siswa
yang berkaitan dengan panas dan fenomena disipasi dan penggunaan
kamera IR di lingkungan pendidikan. Pada bagian 2a, pembingkaian
diperkenalkan sebagai kerangka analitis untuk penelitian. Pada bagian 3,
penguraian metodologi, termasuk menggambarkan konteks penelitian dan
pendekatan analisis data. Pada bagian 4, hasil penelitian disajikan dalam
bentuk tebal alias detail, membuat naran asi mengenai bagaimana
sekelompok siswa melaksanakan praktikum. Pada bagian 5, kami menyajikan
kesimpulan dari penelitian dengan kembali pada pertanyaan penelitian. Dan
akhirnya, kami menunjukkan beberpa implikasi pendidikan dari temuan
tersebut.

A. Ide-ide siswa tentang sifat panas dan konduksi panas

Konsep panas di kalangan siswa dari berbagai usia, dan pada konsep
konduksi panas tertentu, telah menjadi fokus penelitian selama beberapa
dekade ini, dan selanjutnya terungkap sebagai sebuah masalah.
Engel Clough dan Driver telah mewawancarai anak usia 12-16 tahun
terhadap ide-ide mereka terhadap konduksi panas. Dengan pertanyaan
seperti, Mengapa logam sendok ketika dicelupkan ke dalam air panas terasa
lebih hangat dibandingkan dengan kayu atau plastik? Bagaimana suhu dari
logam dan piring plastik yang telah ditinggalkan di kamar semalam, dan
mengapa pelat logam terasa dingin? Mengapa bagian logam dari stang
sepeda merasa lebih dingin dari bagian plastik? Sementara sebagian besar
siswa dapat menjelaskan mengapa sendok terasa hangat dalam hal konduksi
panas melalui logam, ini jauh lebih menantang dalam kaitannya dengan

pelat logam dingin dan setang. Engel Clough and Driver menyimpulkan
sebagai berikut: " sebagian siswa merasa sulit untuk memikirkan konduksi
panas ketika mereka merasakan benda yang dingin ".
Menariknya, dalam perbandingan mengapa sendok logam mengalami panas
begitu efisien, lima dari siswa diusulkan bahwa panas berkonsentrasi di
permukaan tetapi tidak menembus logam. Secara keseluruhan, kita
cenderung percaya (walaupun sering menyesatkan) bahwa rasa sentuhan
kita mengandalkan termometer. Sebagai reaksi tantangan tersebut, Erickson
[3] (. P 59) mengusulkan sebagai berikut: Jika murid mampu 'melihat'
fenomena ini [bahwa logam terasa dingin] dalam hal transfer energi dari
tubuh mereka ke objek, situasi pendek semacam ini mungkin akan menjadi
tidak begitu bermasalah dari tampaknya saat ini.
Dalam sebuah wawancara antara siswa kelas 9 dan mahasiswa non-science,
Wiser dan Kipman [12] mengungkapkan konsep panas yang menyamakan
karakteristik dari jumlah fisik panas, energi, dan suhu tetapi mengingatkan
model sejarah panas [13]. Siswa pada kedua tingkatan mengekspresikan ide
panas baik secara intensif, karena memiliki suhu tertentu dan merasa
"panas," dan secara ekstensif, karena benda panas yang besar memiliki efek
yang lebih besar pada lingkungan daripada yang lebih kecil, tetapi mereka
"tidak memiliki konsep perhitungan panas secara estensif".
Selain itu, Wiser dan Kipman mengklaim bahwa "konsep tak dibeda-bedakan
ini tahan terhadap perubahan: konsep panas telah diartikulasikan dengan
baik oleh siswa, kaya dan koheren" (p 3.). Dalam rangka untuk membantu
siswa membedakan antara panas dan suhu, mereka mengembangkan
laboratorium praktik berbasis komputer yang melibatkan model molekul,
tetapi masih tetap sulit untuk siswa kelas 9 dan kelas 11 untuk mengadopsi
pandangan ilimiah yang akurat terhadap panas dalam hal transfer energi.
Sebagaiman hasil ini, Wiser dan Amin berpendapat bahwa dalam
pembelajaran mengenai panas sebagai kuantitas fisik, yaitu, transfer energi
objek dengan teperatur tinggi menuju objek dengan temperatur lebih
rendah. Inti daripada batu sandungan aalah ontologis: konsep panas
daripada siswa adalah bukan panas. Pandangan ilmiah dan prasangka siswa
tidak dapat dipertemukan, karena energi tidaklah panas.
Dalam rangka mendorong siswa untuk memiliki pandangan secara fisika
terhadap panas dalam hal transfer energi, Wiser dan Amin mengembangkan
simulasi komputer untuk konduksi dimana energi ditukarkan antara wajan
panas ke sebuah metal dengan cara interaksi molekul. Dalam salah satu

mode penggambaran, unit energi yang direpresentasikan dengan E,


dimana jumlah panas diwakili sebagai jumlah E dalam transfer, dan suhu
adalah kepadatan mereka. Salah satu komponen penting pada urutan
pengajaran adalah mempromosikan pembelajaran mengenai makna ilmiah
panas sebagaimana mempelajari arti lain dari kata tesebut.
Sebagai bagian dari pengembangan kerangka integrasi pengetahuan, Linn
dan Eylon [15]memberikan laporan kegiatan mengajar yang dibantu
computer untuk 8 kelas pada materi kalor. Pendekatan berfokus pada aliran
panas untuk menjelaskan kesetimbangan termal, konduksi panas dan isolasi.
Lewis dan Linn memberikan tes tertulis pada 150 siswa kelas 8 (12-14 tahun)
sebelum dan setelah pembelajaran kalor. Mereka jua mewawancarai 37
mahasiswa yang belum pernah kursus, 9 pemuda dan 8 ilmuwan (fisikawan
dan kimiawan) untuk menilai pemahaman intuitif mereka terhadap
fenomena kalor. Sebelum kursus, mayoritas siwa menyatakan piring logam
akan memiliki suhu yang berbeda dibandingkan dengan piring styorofoam
setelah ditinggalkan di ruang dalam beberapa waktu dan membungkus soda
dengan alumunium foil akan efektif menjaga dingin. Hasil post test
menunjukkan peningkatan yang nyata dalam pemahaman siswa setelah
kursus, dengan fokus pada konduktivitas panas dari bahan yang berbeda.
Pemahaman intuitif orang dewasa pemula ditemukam mirip dengan siswa
sebelum kursus. Seorang pemula menjelaskan bahwa satu set objek pada
sebuah nampan akan memiliki suhu yang sama setelah beberapa waktu,
namun akan merasa berbeda saat terjadi konduksi panas yang berbeda.
Ketika diukur dengan termometer digital, beberapa orang dewasa
mempertanyakan pengukuran, serta akurasi dan presisi dari alat ukur.
Dalam inisiatif integrasi pengetahuan, Clark dan Jorde [16] merancang
simulasi komputer untuk memvisualisasikan fenomena termal, termasuk
suhu, aliran panas, dan kesetimbangan termal untuk kelas 8. Dalam sebuah
tes kelompok, lingkungan komputer yang dilengkapi dengan informasi
tentang bagaimana objek dari bahan yang berbeda akan memiliki
temperatur yang berbeda. Misalnya, simulasi menyentuh meja logam pada
80 C disajikan bersama-sama , mereka menyatakan, "Ini terasa sangat
panas!" Menggunakan simulasi, murid secara signifikan lebih baik dalam
menjelaskan mengapa benda terasa panas dan memperhitungkan
kesetimbangan termal daripada kelompok kontrol yang berinteraksi dengan
lingkungan yang sama, tetapi tanpa indikasi tersebut. Salah satu alasan
untuk menggunakan virtual daripada lingkungan laboratorium fisik adalah
bahwa murid cenderung sangat fokus pada perbedaan kecil dalam
pembacaan suhu, misalnya, sepotong logam menjadi 0,2 C lebih hangat

daripada sepotong kayu, bukan malah mengganggap keduanya dalam


kisaran suhu yang sama. Clark melanjutkan untuk melakukan studi di mana
ia mewawancarai siswa kelas 8 pada lima kesempatan selama pengajaran
modul termodinamika, dan dua sampai empat tahun kemudian, mengenai
pemahaman mereka tentang fenomena termal, dan melaporkannya. Clark
[17] menemukan bahwa siswa kadang-kadang saling berbeda pendapat
tentang panas. Seperti "logam terasa dingin" berdasarkan pengalamannya
sementara yang lain tidak merasakan yang sama. Misalnya, salah satu siswa
mencoba untuk menemukan fakta bahwa logam terasa dingin pada suhu
kamar dengan mengembangkan penjelasan terkait dengan permukaan halus
dari benda logam.
B. Ide siswa tentang transformasi energi dalam proses disipasi

Pemahaman konsep siswa tentang energi dan isu-isu seputar energi harus
diajarkan pada usia yang berbeda dalam penelitian pendidikan sains.
Duit mengusulkan empat sub pokok bahasan energi yang perlu diajarkan:
-

Transfer energi (energi dapat berpindah dari satu tempat ke tempat


lain)
Konversi atau Transformasi energi ( energi dapat berubah bentuk)
Konservasi energi (Hukum I Termodinamika, jumlah total energi adalah
tetap)
Degradasi energi (berkaitan dengan hukum II Termodinamika dan
peningkatan entropi)

Duit [19] menunjukkan lebih lanjut bahwa konsep konservasi energi adalah
berlawanan dengan siswa, tidak sedikit dari perspektif pengalaman hidup
sehari-hari, di mana itu dianggap sebagai masalah menghindari pemborosan
energi untuk alasan lingkungan, daripada melihat energi sebagai kuantitas
konstan. Berbeda dengan fokus umum pada konservasi energi saja, ia
menunjukkan bahwa degradasi energi bisa diperkenalkan sebelumnya dalam
mengajar.
Dalam rangka untuk menilai pemahaman hukum kedua termodinamika
untuk siswa yang lebih muda, Kesidou dan Duit melakukan wawancara klinis
dengan siswa kelas 10 (usia 15-16 tahun) tentang pemahaman konsep
umum termodinamika terkait proses ireversibel. Sejalan dengan Wiser dan
Kipman, kebanyakan siswa menganggap panas sebagai kuantitas yang luas.
Hanya sebagian yang dapat menjelaskan fenomena dengan model partikel
dan tingkat makroskopik. Misalnya, seorang mahasiswa mengalami panas
yang dihasilkan karena gesekan antarmolekul. Secara intuitif, siswa

memahami suatu pendulum yang berayun kemudian terhenti. Namun,


mereka jarang mampu menjelaskan fenomena tersebut dalam hal
transformasi energy menjadi energy panas dan bahwa gesekan akan
menghasilkan kenaikan suhu. Berdasarkan kerangka Duit dalam
pengembangan kemajuan belajar energi, Neumann et al. menyelidiki
pemahaman siswa kelas 6-10 tentang aspek energy melalui pertanyaan
pilihan ganda. Mereka menemukan bahwa pemahaman awal siswa adalah
energi berasal dari sumber yang berbeda. Mereka mampu menampilkan
pemahaman tentang perpindahan energy dan transformasi, juga tentang
degradasi energy. Berbeda dengan temuan Kesidou dan Duit, menyatakan
bahwa bebrapa energy diubah menjadi energy panas dalam proses disipasi,
misalnya dengan cara gesekan. Namun demikian, pada kelas 10, hanya
sebagian kecil siswa yang telah mengembangkan pemahaman tentang
konservasi energy. Dalam penelitian pendidikan fisika, Scherr dkk telah
mengembangkan kegiatan professional bagi guru sains dalam proyek energi,
termasuk membuat proses fisik iyaitu teater energy dimana setiap peserta
mewakili satu unit energi. Daane, Vokos, dan Scherr telah memelajari
partisipasi guru dalam diskusi tentang degradasi energy, dalam hal
transformasi energi kinetik menjadi energi panas atau penyebaran energi.
Dalam proses tersebut, energy biasanya dianggap kurang berguna dan
cenderung berubah menjadi energy panas. Daane dkk mempertimbangkan
ide-ide seperti daya produktif untuk mengembangkan pemahaman
mendalam tentang hukum kedua termodinamika. Daane et al. lebih fokus
pada proses disipasi dimana transformasi energi menjadi energi panas tidak
terlihat secara jelas atau kenaikan suhunya dapat diukur. Dalam hal ini,
mereka memberikan contoh yang mencolok (p 3.):
Perubahan energi mekanik dari sekitar 1 joule (misalnya, mengangkat bola
basket 1/4 m), tetapi jika semua energi yang diubah menjadi energi panas,
itu hanya akan meningkatkan suhu ruang (50 meter kubik) sekitar 10-5 K
(10-5 F).
skenario lain yang diangkat oleh penulis yang sama adalah transformasi tak
terlihat dari energi kinetik ke energi panas dari rollercoaster karena
hambatan udara, atau pendulum yang akhirnya berhenti. Tanpa indikator
jelas, para guru yang berpartisipasi rawan untuk menolak gagasan
transformasi
dari
kinetik
ke
energi
panas
dan
gagal
untuk
mempertimbangkan konservasi energi. Beberapa guru mengatasinya dengan
membayangkan skenario yang lebih ekstrim, di mana akan ada kenaikan
suhu jelas, seperti membandingkan rollercoaster untuk pesawat ruang
angkasa memasuki kembali atmosfer.

C. Kegiatan laboratorium dalam pendidikan fisika: kasus kamera infra


merah untuk pembelajaran

Strategi pengajaran, alat penilaian, dan sumber belajar yang efektif dalam
membantu guru dan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang
terpenting adalah
-

melibatkan siswa dengan kemampuan yang berbeda, gaya belajar,


pola motivasi, dan konteks budaya;
melibatkan
para
siswa
dalam
menggunakan
penyelidikan
memberdayakan alat dan strategi;
melibatkan siswa dalam membenarkan pernyatan dengan pendekatan
ilmiah.

Dalam menanggapi tantangan kegiatan laboratorium, pencitraan inframerah


atau termografi memiliki prospek menjanjikan untuk kegiatan belajar
mengajar
materi kalor di laboratorium [29-34]. Pencitraan inframerah
didasarkan pada fenomena bahwa semua benda dengan suhu diatas 0 K
dapat memancarkan radiasi elektromagnetik, spektrum yang terletak pada
gelombang inframerah dengan suhu dibawah 1000K. Kamera IR mendeteksi
spektrum radiasi inframerah dari berbagai sisi benda padat maupun cair.
Pada saat yang sama, suhu dihitung berdasarakan hukum Planck tentang
radiasi benda hitam, dimodifikasi dengan asumsi emisitvitas () dari
permukaan tertentu. Suhu pada bagian yang berbeda dari sebuah
permukaan kemudian divisualkan melalui gambar pada layar, dimana
kisaran suhu diwakili oleh berbagai warna[30]. Kamera IR mudah digunakan
dan dapat digenggam kuat seperti pada i3, E4, dan model C2 dari FLIR,
kemudian dikembangkan untuk aplikasi professional, sperti untuk
mendeteksi kebocoran panas dari bangunan. Dengan aksesoris kamera IR
untuk smartphone spperti FLIRONE, pencitraan IR menjadi pilihan yang
semakin layak untuk aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi pendidikan.
Vollmer dan rekan [29-31] telah melahirkan potensi pencitraan IR dalam
sains dan teknik pendidikan, dalam mata pelajaran seperti termodinamika
dan mekanika. Demikian pula, Xie dan Hazzard [32,33] telah menggunakan
IRcameras untuk menginspirasi pendekatan berbasis penyelidikan dalam
pendidikan fisika dan kimia, dan Xie [6] telah menciptakan rangkaian
eksperimen IR dalam bidang pendidikan. Secara keseluruhan, pencitraan IR
dapat mewujudkan visi Erickson [3] , karena siswa dapat benar-benar
melihat panas, tidak hanya di pikiran mereka, tapi dapat divisualisasikan.

Pendrill, Karlsteen, dan Rdjegrd [35] menggunakan kamera IR untuk


mengukur perubahan suhu sisi rollercoaster dari pengereman magnetik
sampai berhenti. Data suhu yang didapat digunakan untuk memodelkan
perlambatan
kereta,
kemudian
dibandingkan
dengan
pengukuran
accelerometer. Dengan cara ini, melalui penggunaan kamera IR, siswa dapat
memodelkan transformasi energi dari energy potensial menjadi energy
kinetic, dimana Daane et al. [24] konteks rollercoasters menunjukkan hal
yang menantang.
Dalam hal penggunaan kamera IR oleh mahasiswa dalam praktik, Cabello et
al. [36] menjelaskan penggunaan kamera IR di laboratorium teknik panas
untuk membantu siswa menghubungkan teori dan fenomena panas yang
nyata. Selain itu, Naghedolfeizi, Arora, dan Glover [37] hasil belajar
mengenai sifat pekerjaan laboratorium dan pengukuran ketika mahasiswa
mengukur pertukaran panas dengan menggunakan pencitraan IR-kamera
dan simulasi komputer. Demikian pula, dalam pengembangan mereka pada
latihan laboratorium dengan pendekatan inquiri dan open ended pada
mahasiswa dalam kursus termodinamika, Melander, Gustavsson, dan
Weiszflog [10] telah menawarkan siswa untuk menggunakan kamera IR
dalam penyelidikan pada beberapa alat yang berbeda, seperti pompa panas.
Selanjutnya, Atkins et al. [38] telah dikembangkan dan dipelajari pameran
museum sains yang melibatkan kamera IR. Mereka menemukan petunjuk
tugas rinci untuk menghambat bagi pengunjung, yang cenderung lebih
menggunakan cara imajinatif mereka sendiri untuk menggunakan kamera
tanpa mengikuti petunjuk yang disediakan, dipengaruhi sebagian besar oleh
pengalaman sehari-hari mereka dari fenomena termal. Contohnya
melakukan pengukuran termal dengan menggosok tangan mereka saat
mengamati salju yang mencair di luar.
Dalam pendidikan menengah, Cazzaniga, Gilberti, dan Ludwig [39]
memperkenalkan penggunaan kamera IR untuk mendeteksi cacat bangunan.
Urutan pengajaran dikembangkan dengan tujuan untuk menghubungkan
konsep-konsep fisika dengan aplikasi praktis dari teknologi baru, serta
tantangan lingkungan saat ini. Sebagai hasil, siswa mencari berbagai
penjelasan untuk pembuangan panas dan tersedia evaluasi yang sangat
menguntungkan dari keseluruhan kegiatan. Kroger [40] telah merancang
serangkaian percobaan laboratorium untuk mendukung perkembangan
pembelajaran energi untuk kelas
6-10. Beberapa percobaan yang
disarankan melibatkan kamera IR, termasuk mengukur peningkatan suhu
karena gesekan pada blok yang meluncur turun daei pesawat dan

peningkatan suhu pada bola logam yang jatuh dari ketinggian 1,5 m.
Demikian pula, Dexter [41] telah mengembangkan serangkaian percobaan
IR-kamera yang dirancang untuk mengekspos tiga mekanisme perpindahan
panas: konduksi, konveksi, dan radiasi. Dua belas murid di kelas 6 dan 7
diundang untuk melaksanakan eksperimen di mana mereka menganalisis
citra infra merah dan grafik waktu yang dihasilkan dari suhu objek yang
diamati, termasuk batang alumunium yang ditempatkan dalam air mendidih.
Dalam evaluasi nya, Dexter menyoroti kesempatan untuk melihat panas
secara langsung dan mudah digunakan sebagai keuntungan yang jelas dari
penerapan teknologi, meskipun biaya keuangan tinggi peralatan tersebut
dilihat sebagai kelemahan utama untuk implementasi di sekolah .
Meiringer [42] mewawancarai siswa dari berbagai usia dalam kaitannya
dengan gambar IR-kamera, untuk mempelajari konsep mereka tentang
teknologi dan radiasi sebagai sebuah fenomena. Ia menemukan bahwa siswa
berjuang untuk memahami fungsi dari kamera IR. Hal ini sangat menantang
untuk memahami skala suhu. Pada gilirannya, ini mungkin telah
menyebabkan miskonsepsi pada radiasi inframerah. Namun demikian,
Neumann [43] juga melihat peluang yang signifikan dalam menggunakan
kamera IR untuk mengurangi miskonsepsi siwa.
Sebagai bagian dari penelitian kami sendiri, kami telah melakukan studi
kualitatif skala kecil di mana delapan siswa kelas 7 melakukan kegiatan
eksperimen memprediksi-amati-jelaskan (POE) [44] yang melibatkan pisau
logam dan sepotong kayu, yang telah ditinggalkan di kelas untuk beberapa
waktu [9]. Menggunakan pendekatan POE, siswa pertama kali diminta untuk
memprediksi hasil dari suatu peristiwa, biasanya latihan laboratorium atau
demonstrasi. Semua siswa didorong untuk mengekspresikan apa yang
mereka pikirkan akan terjadi, dan perbedaan pandangan yang menunjukkan
dan mendiskusikannya. Selanjutnya, siswa diminta untuk mengamati
kasusnya. Akhirnya, siswa didorong untuk menjelaskan hasil dari kegiatan
tersebut dan menghubungkan apa yang mereka alami dengan prediksi
mereka. Dalam studi tersebut, siswa pertama kali diminta untuk menyentuh
dan
memprediksi
suhu
benda,
dan
kemudian
diminta
untuk
mempertahankan kontak dengan benda-benda dengan ibu jari mereka
selama 2 menit dan sekaligus mengukur suhu dengan kamera IR atau
termometer digital, atau menganalisis gambar IR. Para siswa mengalami
konflik kognitif emosional [45], sebagai logam merasa lebih dingin dari kayu
terlepas dari pengukuran mereka menunjukkan kedua benda menjadi sama
dengan ruang temperature.siswa tidak berhasil menyelesaikan konflik ini

sepanjang eksperimen, yang kemungkinan disebabkan kurangnya model


aliran panas, yang bisa digunakan untuk menjelaskan persepsi mereka.
Selanjutnya, kami melakukan studi selama 3 hari pada ilmu termal di kelas 4
sebanyak dua kelas, yang melibatkan presentasi tentang kalor, dan latihan
laboratorium-kelompok kecil dengan kamera IR [8]. Berdasarkan pengalaman
dengan siswa kelas
7, intervensi ini dimodifikasi untuk menyertakan
pengenalan eksplisit model aliran kalor [15]. Latihan laboratorium yang
terlibat mempelajari skenario berikut dengan kamera IR: memegang logam
dan objek kayu; menempatkan satu tangan dalam air hangat, dan yang
lainnya di air dingin, dan kemudian menempatkan keduanya secara
bersamaan dalam air hangat, dan merasakan perbedaan kehangatan; dan
menuangkan air panas ke dalam cangkir keramik dan gelas plastik tipis.
Secara keseluruhan, mengingat usia muda mereka, siswa mengadopsi
teknologi dan model aliran kalor dengan cara yang mengesankan. Secara
khusus, penelitian kami pada satu kelompok dengan latihan cangkir
mengungkapkan fokus berkelanjutan pada mengamati cangkir pertama
hangat dan kemudian pendinginan, dinyatakan sebagai panas yang keluar
dari [8] cangkir. Dalam mengamati skenario, murid juga mengambil inisiatif
menarik dalam melakukan penyelidikan spontan, seperti menggunakan
kamera IR untuk mengamati apa yang terjadi ketika mereka meniup di
permukaan air atau meletakkan pensil dalam air. Hal ini ditafsirkan sebagai
kasus penyelidikan instan , yaitu, murid bertindak segera setelah
"bagaimana jika" pertanyaan didorong oleh rasa ingin tahu mereka.
Menariknya, sebagai reaksi terhadap inisiatif tersebut, ada beberapa
ketidaksepakatan awal di antara murid, apakah penyelidikan tersebut
relevan.

II. PEMBINGKAIAN SEBAGAI KERANGKA ANALISIS


Framing melibatkan proses menafsirkan sesuatu yang spesifik-baik itu suatu
tindakan atau ucapan-dengan latar belakang pemahaman yang lebih umum
dari apa yang terjadi, atau hanya menempatkan, interpretasi kami "Apa yang
terjadi di sini?" Tannen [47] menghbungkan framing dengan harapan kami
dari apa yang akan atau mungkin terjadi dalam situasi tertentu, yang, pada
gilirannya, mempengaruhi apa yang kita perhatikan, dan keputusan dan
tindakan dalam kaitannya dengan apa yang kita perhatikan. Selanjutnya,
framing terjadi di berbagai tingkatan, termasuk menentukan pengaturan
secara keseluruhan serta penafsiran peristiwa individu
di dalamnya.

Akibatnya, individu dengan pengalaman pribadi dan latar belakang budaya


yang berbeda cenderung membingkai situasi mereka dihadapkan dengan
cara yang berbeda, yang dapat menyebabkan ketidakcocokan dalam apa
yang mereka perhatikan dan bagaimana hal itu ditafsirkan. Sebagai contoh,
perempuan muda dari Amerika Serikat dan Yunani diminta untuk menonton
film pendek 6-min, yang melibatkan (antara acara lainnya) seorang pria
berjalan dalam pengaturan sisi negara dengan kambing oleh peserta
side.The nya diperintahkan untuk menjelaskan apa yang mereka diamati
dalam film. Di sini, pada tingkat keseluruhan, framing melibatkan situasi
menceritakan seseorang tentang sebuah film yang Anda lihat. Pada tingkat
yang lebih rendah, ada interpretasi apa yang sebenarnya terjadi dalam
contoh movie.For, mata pelajaran Amerika berkomentar bahwa ada seekor
kambing berjalan di samping seorang pria. Sebaliknya, sebagian besar mata
pelajaran Yunani tidak menyebutkan kambing. Sementara kambing muncul
sebagai sesuatu yang tak terduga ke Amerika, tidak diketahui layak untuk
orang-orang Yunani, untuk yang terakhir, itu hanyalah bagian dari kerangka
pengaturan pedesaan archetypical: Mereka tidak melihat kambing. Contoh
lain yang luar biasa tentang bagaimana framing dari situasi mempengaruhi
interpretasi disediakan dalam percobaan oleh Simons dan Chabris [48], di
mana subjek diminta untuk menghitung berapa kali sekelompok pemain
basket melewati bola antara mereka. Diberikan instruksi untuk fokus pada
tugas kognitif menuntut ini, banyak mata pelajaran gagal melihat orang
berpakaian sebagai gorila perlahan berjalan langsung melalui kelompok. Hal
ini dianggap sebagai kasus kebutaan inattentional. bangunan sebagian besar
Membangun sebagian besar pada Tannen [47], Redish, Hammer, dan rekan
[49-52] telah mengadopsi ide framing sebagai perspektif interpretatif dalam
penelitian pendidikan fisika. Hammer et al. [49] Berkenaan "framing sebagai
aktivasi lokal seperangkat sumber daya, di mana oleh 'lokal yang koheren'
kita berarti bahwa pada saat di tangan aktivasi saling konsisten dan
memperkuat "(hal. 99). Mereka mengambil minat khusus dalam framing
epistemologis siswa, dalam arti apa jenis pengetahuan dipandang sebagai
relevan untuk menggambar di dalam situasi tertentu. Contoh kasus di mana
framing epistemologis merupakan penghalang bagi proses belajar siswa
disediakan oleh Lising dan Elby [53]. Mereka menggambarkan seorang
mahasiswa yang berjuang untuk menghubungkan konten diajarkan untuk
out-of-sekolah pengalaman, ketika melakukan latihan fisika pada bidang
listrik dan optik geometris. framing epistemologis siswa "menempatkan
penghalang antara penalaran formal dan sehari-hari" (hal.376), sehingga
sumber daya yang berpotensi kuat yang tidak digunakan. Redish [51]

menjelaskan framing epistemologis menyediakan struktur kontrol untuk


memilih pengetahuan yang relevan dalam situasi tertentu. Lebih lanjut ia
memperkenalkan gagasan pesan untuk menggambarkan sensitivitas individu
untuk masukan eksternal dalam framing mereka. Pesan tersebut dapat
berupa terbuka, seperti dalam contoh menerima instruksi lisan atau tertulis
eksplisit, atau rahasia, seperti dalam harapan tak tertulis guru tentang
bagaimana siswa harus bersikap.
Van de Sande and Greeno [54] telah menganalisis proses pembentukan
pemahaman peserta di seluruh kelas atau kelompok kecil dalam pemecahan
masalah, melalui perpanjangan perspektif framing yang dikemukakan oleh
Hammer et al. [49]. Mereka berpendapat bahwa pemahaman tersebut
tergantung
tidak
hanya
pada
framing
epistemology
tapi
juga
memperhitungkan framing posisi, misalnya,
apakah peserta
adalah
"pendengar" atau "sumber" informasi, dan framing konseptual mereka.
Dalam hal ini, konseptual framing "mengacu pada struktur informasi yang
berbeda, termasuk apa yang menjadi fokus utama dan bagaimana
memahami keterkaitan antar komponen. Melalui reanalysis data dari
Roschelle [55], van de Sande dan Greeno menunjukkan bagaimana sepasang
siswa datang untuk menyesuaikan pemahaman mereka tentang bagaimana
vektor percepatan berhubungan dengan vektor kecepatan dalam arti
perubahan pengemasan konseptual, meskipun frame epistemologis dibagi
dan tetap tidak berubah sepanjang latihan. Dalam pandangan kami,
kekhawatiran framing epistemologis apa jenis pengetahuan dipandang
relevan dalam situasi tertentu, sementara kekhawatiran framing konseptual
apa pengetahuan yang relevan. Dalam hal ini, contoh lain dari framing
konseptual disediakan oleh Chi, Feltovich, dan Glaser [56], dalam studi
mereka bagaimana ahli mengkategorikan pendekatan pemecahan masalah
yang cocok, dengan mempertimbangkan konservasi energi, atau hukum
kedua Newton. Tidak ada keraguan bahwa ahli memiliki pengetahuan yang
diperlukan untuk kedua pendekatan; itu lebih merupakan masalah
mengetahui apa pendekatan yang relevan untuk masalah tertentu.
Penelitian oleh Atkins et al. [38] pada pengalaman sehari-hari dengan IRkamera pada pameran di museum ilmu pengetahuan (dengan atau tanpa
petunjuk) memberikan kasus pengemasan yang menarik. Mereka
menyimpulkan bahwa ketika instruksi eksplisit yang tersedia, pengunjung
dibuat dalam situasi seperti pelajaran sekolah tradisional, di mana satu
orang dewasa sebagai seorang guru; tidak ada peran alami untuk orang
dewasa lainnya dalam dialog, atau ruang untuk inisiatif dianggap tidak

relevan. Sebaliknya, tanpa petunjuk pengunjung menafsirkan pameran


memiliki alat yang canggih, estetis dan menarik.
Penelitian kami sebelumnya tentang penggunaan kamera IR oleh siswa
dalam laboratorium dapat dijelaskan dari sudut pandang pengemasannya.
Dalam studi pada anak-anak kelas 7 [9], peserta memiliki konseptual framing
ketika terlibat melihat langsung kasus peningkatan suhu pisau, daripada
kasus konduksi panas. Sebaliknya, situasi pada siswa kelas 4 dengan kamera
IR yang terlibat framing epistemologis. Berdasarkan temuan Atkins et al.
[38], siswa dinegosiasikan tindakan yang relevan dalam kaitannya dengan
latihan dan peralatan: Seberapa jauh mereka bisa menyimpang dari instruksi
worksheet, tanpa kehilangan fokus pada tujuan keseluruhan dari tugas?
Akhirnya, Gibson [57] memberikan gagasan bahwa kemampuan dapat
menjadi tambahan yang berarti untuk menganalisis pengaruh kondisi
lingkungan belajar tertentu pada pengemasan siswa dari situasi tertentu.
Untuk apa interpretasi dan interaksi siswa dalam sebuah sistem?
Kemampuan membagikan fokus pada sensitivitas individu pada gangguan
eksternal, namun menekankan interaksi antara individu dan sekitarnya.
Dalam kasus kami, keadaan yang menguntungkan diberikan, siswa dapat
mengambil keuntungan dari kemampuan disiplin [58,59] menggunakan
kamera IR, dalam hal "potensi yang melekat dari [a] representasi untuk
memberikan akses ke pengetahuan " [58] (p. 658) dalam domain termal

III.METODOLOGI
A. Konteks penyelidikan
Kami akan menekankan dan mendorong mereka untuk mengikuti alur memprediksiamati-menjelaskan dari setiap latihan. Kelompok-kelompok siswa tersebut yang
terdiri dari tiga atau empat siswa, kemudian diputar antara empat stasiun
laboratorium yang melibatkan kamera IR. Pada masing-masing stasiun ini siswa
diberi lembar kerja kegiatan berdasarkan pendekatan POE. Pertama siswa diminta
untuk secara lisan memprediksi apa yang akan terjadi dalam skenario yang
diberikan, kemudian mengamati bagaimana skenario sebenarnya dimainkan, dan
akhirnya menjelaskan apa yang mereka amati, termasuk mengekspresikan dan
menalar tentang setiap perbedaan yang muncul antara prediksi dan pengamatan
mereka.
Siswa diberikan pengenalan singkat fungsi dari teknologi kamera IR. Mereka
diberitahu bahwa kamera mendeteksi radiasi IR yang dipancarkan dari permukaan
padat dan cair dan membuat suhu mereka sebagai gambar 2D. Di stasiun pertama,

di mana worksheet berjudul "Gesekan," siswa diajak untuk menyelidiki gesekan,


sebagai contoh bagaimana kamera IR dapat digunakan untuk memvisualisasikan
fenomena disipatif. Di sini, para siswa diminta untuk mengeksplorasi citra yang
dihasilkan oleh kamera IR ketika penghapus digosok-gosok diatas meja dan ketika
salah satu siswa berjalan atau berlari di lantai (lihat Gambar. 1).
Stasiun kedua, berjudul "Konservasi energi," disajikan fenomena disipatif:
menjatuhkan bola logam 1 kg ke aspal dari ketinggian sekitar 3m. Di stasiun ini,
siswa didorong untuk berpikir tentang apa yang terjadi pada energi kinetiknya (lihat
Gambar. 2). Kamera IR dapat digunakan untuk memberikan indikator jelas seperti
pada transformasi menjadi energi panas, yang biasanya sulit untuk dilakukan di
dalam kelas.
Stasiun ketiga, dengan judul "Objek pada suhu kamar" dan "Objek tersentuh
tangan," masing-masing siswa diminta untuk menjelaskan mengapa logam terasa
dingin pada suhu kamar. Di sini, siswa diminta untuk memprediksi dan mengukur
suhu sepotong kayu, pisau logam lembaran, dan wol, yang telah ditempatkan di
ruangan untuk beberapa waktu, kemudian ujung kayu dan pisau dipegang dengan
tangan selama 2 menit. Pada akhir stasiun (keempat), berjudul "Dua cangkir yang
berbeda", siswa diminta untuk mengeksplorasi apa yang terjadi ketika air panas
dituangkan secara bersamaan ke dalam cangkir kopi keramik dan gelas plastik tipis.
B. Pengumpulan data dan analisis data

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Gesekan: apa yang menghasilkan panas?
B. Tumbukan: energi kinetik berpindah ke suatu tempat; saya menduga
energi itu berubah menjadi panas
C. Kayu dan pisau: Its an other-way-around machine!
D. Cangkir: Mug keramik akan menyerap panas, tapi mug plastic akan
memancarkan panas secara langsung

V. KESIMPULAN
VI.

IMPLIKASI

Anda mungkin juga menyukai