Anda di halaman 1dari 15

PRINSIP PENGAWETAN MAKANAN

A. PENGAWETAN MAKANAN DENGAN PENGATURAN NILAI OSMOSIS


Pengawetan makanan pada dasarnya membuat makanan lebih tahan lama dengan
menahan laju pertumbuhan mikroorganisme pada makanan tersebut. Prinsip pengawetan
makanan adalah member perlakuan terhadap makanan sehingga dapat tercapai salah satu hal
sebagai berikut.
1. Mengurangi jumlah sel awal mikroorganisme dalam makanan.
Mengurangi jumlah kontaminan awal dapat dilakukan dengan mencuci bahan makanan
dan memotong bagian-bagian yang kotor.
2. Memperpanjang fase adaptasi semaksimum mungkin sehingga pertumbuhan
mikroorganisme dapat diperlambat.
Prinsip ini dapat dilakukan dengan menurunkan kelembabab air dengan penambahan gula,
pengeringan, pendinginan, penurunan pH yang dapat dilakukan dengan pengasaman atau
fermentasi.
3. Memperlambat fase pertumbuhan logaritmik.
Memperlambat atau menunda fase logaritmik dapat dilakukan dengan pengepakan vakum
yang bertujuan untuk menghilangkan oksigen atau dengan menambah zat penghambat.
4. Mempercepat fase kematian sel.
Prinsip mempercepat fase kematian dapat dilakukan dengan pemanasan atau pengeringan.
Pengawetan makanan dengan pengaturan kadar osmosis dilakukan dengan tujuan
untuk memperpanjang fase adaptasi dalam pertumbuhan mikroba. Tekanan osmotik sangat
mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Tekanan osmotik terjadi akibat perbandingan zat terlarut
di dalam dan di luar sel (substratnya) tidak sama. Secara umum ada tiga keadaan yang
berhubungan dengan tekanan osmotik, yaitu.
1. Hipertonik, keadaan pada saat konsentrasi zat terlarut di lingkungan lebih tinggi daripada
konsentrasi zat terlarut dalam sel. Pada umumnya larutan hipertonik menghambat
pertumbuhan mikroba karena dapat menyebabkan plasmolisis. Perbedaan konsentrasi
tersebut menyebabkan cairan dalam sel mikroorganisme mengalir keluar, sehingga
mengakibatkan dehidrasi dan pengkerutan sel mikrooreganisme (plasmolisis).
2. Hipotonik, keadaan saat konsentrasi zat terlarut di lingkungan lebih rendah dari pada
konsentrasi zat terlarut di dalam sel. Keadaan ini akan menyebabkan pelarut di lingkungan
masuk ke dalam sel. Bila cairan yang masuk terlampau banyak, sel mikroorganisme akan
pecah (plasmoptisis). Sel mikroorganisme dapat membengkak tanpa menjadi pecah,

1
namun sel mikroorganisme dengan dinding sel yang tidak kuat misalnya bakteri gram
negatif dapat pecah disebabkan masuknya cairan ke dalam sel (Pratiwi, 2009).
3. Isotonik, keadaan konsentrasi zat terlarut di lingkungan seimbang dengan konsentrasi zat
terlarut di dalam sel. Keadaan ini adalah keadaan yang paling baik untuk pertumbuhan
dari suatu jenis organisme. Kondisi ini juga dikenal sebagai kondisi keseimbangan
osmotik (Umam, 2008).
Pengawetan makanan dengan pengaturan kadar osmosis dapat dilakukan misalnya
dengan cara penggaraman dan pemanisan atau pembuatan manisan.
1. Penggaraman
Salah satu cara pengawetan kimia yang sering dilakukan adalah dengan penggaraman.
Contoh dari penggunaan metode penggaraman ini adalah pembuatan ikan asin. Pembuatan
ikan asin dapat dilakukan dengan terlebih dahulu membersihkan ikan segar yang akan dibuat
ikan asin kemudian memberikan garam dengan rata (biasanya ditambahkan juga asam untuk
menghilangkan bau amis) dan terakhir penjemuran sampai kering. Mikroba penyebab
kerusakan pada ikan antara lain: Pseudomonas spp, Chromobacterium dan Plavobacterium.
Penggaraman akan mengakibatkan bahan makanan seperti pada ikan akan menjadi lebih tahan
lama sehingga bisa dikonsumsi untuk jangka waktu tertentu.
Mekanisme pengawetan kimia dengan teknik penggaraman ini adalah sebagai berikut:
Air akan ditarik keluar dari sel mikroorganisme bila sel tersebut dimasukkan kedalam larutan
yang mengandung sejumlah besar substansi terlarut seperti garam (Pelczar dan Chan, 2005:
917). Dengan kata lain sel mengalami dehidrasi, metabolisme terhenti dengan demikian
memperlambat atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Garam memberikan
sejumlah pengaruh bila ditambahkan pada bahan hasil pertanian, senyawa ini berperan
selektif pada mikroorganisme pencemar tertentu. Mikroorganisme pembusuk atau
mikroorganisme proteolitik dan juga pembentuk spora, adalah yang paling mudah terpengaruh
walaupun dengan kadar garam yang rendah sekalipun sampai 6%. Mikroba pathogen kecuali
Streptococcus aureus dapat dihambat oleh kadar garam hingga 10-12 %. Pengolahan bahan
makanan yang dilakukan dengan pemberian garam NaCl pada konsentrasi tinggi, dapat
mencegah kerusakan bahan.
Mekanisme pengawetan NaCl: dengan memecahkan (plasmolisis) membrane sel
mikroba, karena NaCl mempunyai tekanan osmotic yang tinggi, disamping itu NaCl bersifat
higroskopis sehingga dapat menyerap air dari bahan yang mengakibatkan aw (aktifitas air)
dari bahan tersebut menjadi rendah. Selain itu NaCl dapat mengurangi kelarutan oksigen,

2
sehingga mikroba aerob dapat dicegah pertumbuhannya. Penggunaan garam berperan sebagai
penghambat selektif terhadap mikroorganisme pencemar tertentu seperti mikroorgansisme
pembusuk atau proteolitik. NaCl efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri pembentuk
spora, kecuali S auereus pertumbuhanya akan terhambat pada konsentrasi 10 - 12 % .
Walaupun khamir dan kapang relatif resistensi terhadap perubahan osmotic tetapi
proses-proses pengawetan makanan pangan yang didasarkan pada prinsip ini hanya dapat
menghambat pertumbuhan mikroba dan tidak untuk mematikan mikroorganisme.
Contoh lain pengawetan makanan melalui proses penggaraman juga kita jumpai pada
olahan telur asin, kita tahu bahwa pada telur mengandung mengandung zat-zat gizi yang
dibutuhkan oleh suatu makhluk hidup seperti protein, lemak, vitamin dan mineral dalam
jumlah yang cukup terutama tebanyak pada kuning telurnya. Telur meskipun masih utuh dapat
mengalami kerusakan, baik kerusakan fisik maupun kerusakan yang disebabkan oleh
pertumbuhan mikroba. Mikroba dapat masuk ke dalam telur melalui pori-pori yang terdapat
pada kulit telur, baik melalui air, udara, maupun kotoran ayam. Mikroba perusak yang dapat
mendekomposisi bahan pangan ini antara lain Pseudomonas, Aloaligenes Escherichia dan
Salmonella. Penggaraman pada telur ini bertujuan untuk meingakatkan mutu daya simpan
sehingga mtelur tidak cepat mengalami kerusakan akibat kontaminasi oleh mikroba.
Mekanisme pengawetan telur asin ini dengan melakukan penambahan NaCl.
Pencampuran NaCl dan bahan lain seperti batu bata dan air digunakan untuk melapisi
cangkang telur, cangkang telur yang berpori ini memungkinkan ion natrium dan ion klorida
bisa masuk ke dalam telur melewati kulit telur. Selanjutnya ion ion ini akan berikatan kembali
membentuk senyawa garam yang kemudian akan tersebar merata pada seluruh bagian telur.
Kandungan garam yang tinggi pada telur akan mengakibatkannya tidak memungkinkan untuk
ditumbuhi oleh mikroorganisme.

3
2. Pemanisan
Pemanisan merupakan cara pengawetan makanan dengan menambahkan makanan ke
dalam medium yang mengandung gula dengan konsentrasi tertentu. Gula digunakan sebagai
pengawet dan lebih efektif bila dipakai dengan tujuan menghambat pertumbuhan bakteri.
Sebagai bahan pengawet, pengunaan gula pasir minimal 3% atau 30 gram/kg bahan (Winarno,
1972). Sedangkan Buckle, (1985) mengatakan bahwa daya larut yang tinggi dari gula dan
daya mengikatnya air merupakan sifat-sifat yang menyebabkan gula sering digunakan dalam
pengawetan bahan pangan. Konsentrasi gula yang cukup tinggi pada olahan pangan dapat
mencegah pertumbuhan mikrobia, sehingga dapat berperan sebagai pengawet.
Respon mikroba berbeda dalam merespon konsentrasi hipertonik gula. Kapang dan
khamir lebih toleran dari pada bakteri. Beberapa kapang dan khamir dapat tumbuh pada
konsentrasi 60% gula sedangkan bakteri terhambat pertumbuhannya pada konsentrasi yang
lebih rendah (Aruan, 2001).
Menurut Tampubolon (2006) contoh produk awetan makanan dengan pemanisan
adalah manisan buah. Manisan buah ada 2 jenis, yaitu manisan buah basah dan manisan buah
kering.
a. Manisan buah basah
Manisan buah basah adalah manisan buah yang masih mengandung air gula. Untuk
membuat manisan buah basah, setelah dikupas buah direndam dalam larutan garam
kemudian dimasukkan ke dalam larutan gula dan ditiriskan.
b. Manisan buah kering
Manisan buah kering tidak mengandung air gula lagi. Untuk membuat manisan kering,
setelah buah direndam dalam larutan gula selama semalam, buah ditiriskan lalu ditaburi
gula pasir dan dikeringkan dengan cara dijemur di bawah terik matahari. Lamanya
menjemur biasanya 3 hari dan tiap hari ditaburi kembali dengan gula pasir. Daya awet
manisan buah kering lebih lama dibandingkan manisan buah basah karena manisan buah
kering lebih rendah kadar airnya dan lebih tinggi kandungan gulanya.

B. PENGAWETAN MAKANAN DENGAN TEKNIK PENGERINGAN


Pengeringan adalah proses pemindahan panas dan uap air secara simultan, yang
memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air yang dipindahkan dari
permukaan bahan yang dikeringkan oleh media pengering yang biasanya berupa panas
(Naynienay, 2007). Pengeringan juga didefinisikan sebagai proses pengeluaran air dari bahan
sehingga tercipta kondisi dimana kapang, jamur, dan bakteri yang menyebabkan pembusukan
tidak dapat tumbuh (Henderson dan Perry, 1976). Panas pada proses pengeringan

4
menyebabkan penurunan jumlah mikroorganime dalam produk, tetapi pengaruhnya berbeda
pada masing-masing jenis organisme. Biasanya semua kapang dan sebagian besar bakteri
mati, tetapi spora bakteri dan jamur umumnya dapat bertahan, seperti yang dilakukan
beberapa sel vegetatif sedikit spesies bakteri tahan panas (heat resistant bacteria). Pengeringan
beku dapat membunuh lebih banyak mikroorganisme daripada pengeringan biasa (Frazier dan
Westhoff, 1978).
Selanjutnya menurut Taib et al. (1987) pengeringan adalah proses pemindahan panas
dan uap air secara simultan. Adapun tujuan proses pengeringan ini adalah untuk mengurangi
kadar air bahan sampai batas tertentu yang menghambat kerusakan bahan. Kelebihan teknik
pengeringan adalah bahan pangan kering adalah biaya produksinya lebih murah, proses
pengeringan juga membutuhkan tenaga kerja yang tidak terlalu banyak, dapat diolah dengan
peralatan yang terbatas, serta menghemat penyimpanan dan pengangkutan (Desrosier, 1988).
1. Prinsip Pengeringan
Prinsip pengeringan adalah mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana
perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan
terhambat atau terhenti. Dengan demikian bahan yang dikeringkan dapat mempunyai waktu
simpan yang lebih lama (Hall, 1980). Keuntungan dari pengeringan bahan adalah
mengawetkan bahan dengan volume yang lebih kecil sehingga mempermudah dan
menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan, berat bahan juga menjadi berkurang
sehingga memudahkan pengangkutan, dengan demikian diharapkan biaya produksi menjadi
lebih murah (Winarno et al., 1980).
2. Macam-macam Pengeringan
Metode pengeringan pangan maupun non-pangan yang umum dilakukan antara lain
adalah pengeringan matahari (sun drying), rumah kaca (greenhouse), oven, iradiasi surya
(solar drying), dan pengeringan beku (freeze drying). Pangan dapat dikeringkan dengan
beberapa cara yaitu menggunakan matahari, oven, atau microwave. Penjelasan pada masing-
masing metode adalah.
a. Pengeringan Matahari (Sun Drying)
Pengeringan matahari (sun drying) merupakan salah satu metode pengeringan
tradisional karena menggunakan panas langsung dari matahari dan pergerakan udara
lingkungan. Pengeringan ini mempunyai laju yang lambat dan memerlukan perhatian lebih.
Bahan harus dilindungi dari serangan serangga dan ditutupi pada malam hari. Selain itu
pengeringan matahari sangat rentan terhadap resiko kontaminasi lingkungan, sehingga

5
pengeringan sebaiknya jauh dari jalan raya atau udara yang kotor (Toftgruben, 1977).
Pengeringan matahari tergantung pada iklim dengan matahari yang panas dan udara atmosfer
yang kering, dan biasanya dilakukan untuk pengeringan buah-buahan (Frazier dan Westhoff,
1978). Pengeringan merupakan kegiatan yang penting dalam pengawetan bahan atau dalam
industri pengolahan. Pada pengeringan makanan suhu yang digunakan adalah 65 - 70C
supaya kadar air dalam bahan dapat cepat turun (Troftgruben, 1977).
b. Pengeringan Rumah Kaca (Greenhouse)
Pengering efek rumah kaca adalah alat pengering berenergi surya yang memanfaatkan
efek rumah kaca yang terjadi karena adanya penutup transparan pada dinding bangunan serta
plat absorber sebagai pengumpul panas untuk menaikkan suhu udara ruang pengering.
Lapisan transparan memungkinkan radiasi gelombang pendek dari matahari masuk ke dalam
dan mengenai elemen-elemen bangunan. Hal ini menyebabkan radiasi gelombang pendek
yang terpantul berubah menjadi gelombang panjang dan terperangkap dalam bangunan karena
tidak dapat menembus penutup transparan sehingga menyebabkan suhu menjadi tinggi. Proses
inilah yang dinamakan efek rumah kaca. (Kamaruddin et al., 1996).
c. Pengeringan Oven
Pengeringan oven (oven drying) untuk produk pangan yang membutuhkan sedikit
biaya investasi, dapat melindungi pangan dari serangan serangga dan debu, dan tidak
tergantung pada cuaca. Namun, pengeringan oven tidak disarankan untuk pengeringan pangan
karena energi yang digunakan kurang efisien daripada alat pengering (dehydrator). Selain itu
sulit mengontrol suhu rendah pada oven dan pangan yang dikeringkan dengan oven lebih
rentan hangus (Hughes dan Willenberg, 1994).
d. Pengeringan Iradiasi Surya (Solar Drying)
Solar drying merupakan modifikasi dari sun drying yang menggunakan kolektor sinar
matahari yang didesain khusus dengan ventilasi untuk keluarnya uap air (Hughes dan
Willenberg, 1994). Energi matahari dikumpulkan menggunakan pengumpul energi yang
berupa piringan tipis (flat plate) yang biasanya terbuat dari plastik transparan (Bala, 1997).
Solar drying disebut juga iradiasi surya. Suhu pada pengeringan jenis ini umumnya 20 sampai
30C lebih tinggi dari pada di tempat terbuka (open sun drying) dengan waktu pengeringan
yang lebih singkat. Solar drying memiliki beberapa kelebihan daripada sun drying, tetapi
terdapat kelemahan pada ketersediaan cahaya matahari (Bala, 1997) dan keduanya memiliki
kekurangan pada control cuaca (Hughes dan Willenberg, 1994). Sistem solar drying juga
digunakan pada pengeringan bijian, selain (Bala, 1997).

C. TEKNIK PENGAWETAN MAKANAN DENGAN PENGALENGAN


6
Pengalengan merupakan cara pengawetan bahan pangan dalam wadah yang tertutup
rapat (hermetis) dan disterilisasi dengan panas (Desrosier, 1978 dalam Utami, 2012). Setelah
proses sterilisasi harus segera dilakukan proses pendinginan untuk mencegah terjadinya over
cooking pada makanan dan tumbuhnya kembali bakteri termofilik (Winarno dan Fardiaz,
1980). Berikut adalah gambar beberapa produk pengawetan makanan dengan teknik
pengalengan:

Pada umumnya proses pengalengan bahan pangan terdiri atas beberapa tahap,
diantaranya persiapan bahan, pengisian bahan ke dalam kaleng, pengisian medium,
exhausting, sterilisasi, pendinginan, dan penyimpanan (Desrosier, 1978 dalam Utami, 2012).
Persiapan bahan dilakukan dengan pemilihan bahan-bahan yang akan dikalengkan,
pencucian, pemotongan menjadi bagian-bagian tertentu, dan persiapan bahan untuk
pengolahan selanjutnya (Luh dan Woodroof (1975) dalam Utami (2012)). Pencucian
bertujuan untuk memisahkan bahan dari material asing yang tidak diinginkan, seperti kotoran,
minyak, tanah, dan sebagainya serta diharapkan dapat mengurangi jumlah mikroba awal yang
sangat berguna dalam efektivitas proses sterilisasi (Lopez, 1981 dalam Utami, 2012).
Pengisian bahan pangan ke dalam wadah harus memperhatikan ruangan pada bagian
dalam atas kaleng (head space). Head space adalah ruang kosong antara permukaan produk
dengan tutup yang berfungsi sebagai ruang cadangan untuk pengembangan produk selama
disterilisasi, agar tidak menekan wadah karena akan menyebabkan kaleng menjadi
menggelembung. Besarnya head space bervariasi tergantung jenis produk dan jenis wadah.
Umumnya untuk produk cair dalam kaleng, tingginya head space adalah sekitar 0.25 inci,
sedangkan bila wadah yang digunakan adalah gelas jar, direkomendasikan head space yang
lebih besar. Bila dalam pengalengan tersebut ditambahkan medium pengalengan, tinggi head
space tidak boleh kurang dari 0.25 inci, tetapi bila produk dikalengkan tanpa penambahan
medium, diperkenankan produk diisikan sampai hampir penuh dengan meninggalkan sedikit
ruang head space (Muchtadi, 1994). Pengisian bahan ke dalam harus seragam dengan tujuan
untuk mempertahankan keseragaman rongga udara (head space), memperoleh produk yang
konsisten, dan menjaga berat bahan secara tetap.
Menurut Muchtadi (1994), penghampaan udara (exhausting) adalah proses
pengeluaran sebagian besar oksigen dan gas-gas lain dari dalam wadah agar tidak bereaksi
dengan produk sehingga dapat mempengaruhi mutu, nilai gizi, dan umur simpan produk
kalengan. Exhausting juga dilakukan untuk memberikan ruang bagi pengembangan produk
7
selama proses sterilisasi sehingga kerusakan wadah akibat tekanan dapat dihindari dan untuk
meningkatkan suhu produk di dalam wadah sampai mencapai suhu awal (initial temperature).
Penutupan wadah dilakukan setelah proses penghampaan udara (exhausting) yang bertujuan
untuk mencegah terjadinya pembusukan.
Proses termal merupakan suatu ilmu yang berkembang sejak termokopel digunakan
untuk mengukur suhu. Secara industri, teknik pengemasan untuk mengawetkan makanan
sudah sangat berkembang, sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk pangan
hingga waktu beberapa bulan hingga beberapa tahun. Menurut Hariyadi (2000) dalam Utami
(2012), ada beberapa keuntungan dari proses termal. Keuntungan dari proses pemanasan atau
pemasakan ini adalah :
a terbentuknya tekstur dan cita rasa yang khas dan disukai,
b rusak atau hilangnya beberapa komponen anti gizi,
c peningkatan ketersediaan beberapa zat gizi, misalnya peningkatan daya cerna protein
dan karbohidrat,
d terbunuhnya mikroorganisme sehingga meningkatkan keamanan dan keawetan
pangan, dan
e menyebabkan inaktifnya enzim-enzim perusak, sehingga mutu produk lebih stabil
selama penyimpanan.
Namun, ada pula kerugian yang diakibatkan oleh proses pemanasan, antara lain
adanya kemungkinan rusaknya beberapa zat gizi dan mutu (umumnya yang berkaitan dengan
mutu organoleptik, seperti tekstur, warna, dan lain-lain), terutama jika proses pemanasan tidak
terkontrol dengan baik. Oleh karena itu, proses pengolahan dengan suhu tinggi perlu
dikendalikan dengan baik. Kontrol terpenting dalam pemanasan adalah kontrol suhu dan
waktu.
Selama pemanasan terdapat dua hal penting yang terjadi, yaitu destruksi atau reduksi
mikroba dan inaktivasi enzim yang tidak dikehendaki. Proses pemanasan untuk meningkatkan
daya simpan, dilakukan dengan cara blansir, pasteurisasi, dan sterilisisasi.
Menurut Muchtadi (1994), sterilisasi adalah operasi yang paling penting dalam
pengalengan makanan. Sterilisasi tidak hanya bertujuan untuk menghancurkan mikroba
pembusuk dan patogen, tetapi juga berguna untuk membuat produk menjadi cukup masak,
yaitu dilihat dari penampilannya, teksturnya, dan citarasa sesuai yang diinginkan. Oleh karena
itu, proses pemanasan ini harus dilakukan pada suhu yang cukup tinggi untuk menghancurkan
mikroba, tetapi tidak boleh terlalu tinggi sehingga membuat produk menjadi terlalu masak.
8
Sterilisasi pada sebagian besar makanan kaleng biasanya dilakukan secara komersial.
Sterilisasi komersial adalah sterilisasi yang biasanya dilakukan terhadap sebagian besar
makanan di dalam kaleng, plastik, atau botol. Bahan pangan yang disterilkan secara komersial
berarti semua mikroba penyebab penyakit dan pembentuk racun (toksin) dalam makanan
tersebut telah dimatikan, demikian juga mikroba pembusuk. Spora bakteri non-patogen yang
tahan panas mungkin saja masih ada di dalam makanan setelah proses pemanasan, tetapi
bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif berproduksi), sehingga keberadaannya tidak
membahayakan jika produk tersebut disimpan dalam kondisi normal (Hariyadi, 2000 dalam
Utami, 2012). Makanan yang telah dilakukan sterilisasi komersial memiliki daya simpan yang
tinggi.
Menurut Muchtadi (1994), sterilisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
1 jenis mikroba yang dihancurkan,
2 kecepatan perambatan panas ke dalam titik dingin,
3 suhu awal bahan pangan di dalam wadah,
4 ukuran dan jenis wadah yang digunakan,
5 suhu dan tekanan yang digunakan untuk proses sterilisasi, dan
6 keasaman atau pH produk yang dikalengkan.

D. PENGAWETAN MAKANAN DENGAN FERMENTASI ALKOHOLIK


1. Pengertian Fermentasi Alkoholik
Kata fermentasi berasal dari Bahasa Latin fervere yang berarti merebus (to boil),
kondisi cairan bergelembung atau mendidih. Keadaan ini disebabkan adanya aktivitas ragi
pada ekstraksi buah-buahan atau biji-bijian. Gelembung-gelembung karbondioksida
dihasilkan dari katabolisme anaerobik terhadap kandungan gula. Fermentasi mempunyai
pengertian suatu proses terjadinya perubahan kimia pada suatu substrat organik melalui
aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Suprihatin, 2010)
Proses fermentasi dalam pengolahan pangan adalah proses pengolahan pangan dengan
menggunakan aktivitas mikroorganisme secara terkontrol untuk meningkatkan keawetan
pangan dengan dioproduksinya asam dan/atau alkohol, untuk menghasilkan produk dengan
karekateristik flavor dan aroma yang khas, atau untuk menghasilkan pangan dengan mutu dan
nilai yang lebih baik. Contoh-contoh produk pangan fermentasi ini bermacam-macam; mulai

9
dari produk tradisional (misalnya tempe, tauco, tape, dll) sampai kepada produk yang modern
(misalnya salami dan yoghurt).
Fermentasi etanol, juga disebut sebagai fermentasi alkoholik, adalah proses biologi
dimana gula seperti glukosa, fruktosa, dan sukrosa diubah menjadi energi seluler dan juga
menghasilkan etanol dan karbon dioksida sebagai produk sampingan. Karena proses ini tidak
membutuhkan oksigen, melainkan khamir yang melakukannya, maka fermentasi etanol
digolongkan sebagai respirasi anaerob. Fermentasi etanol digunakan pada pembuatan
minuman beralkohol dan bahan bakar etanol, juga dalam mengembangkan adonan roti
(Lubert, 1975).
Biasanya dalam proses fermentasi alkoholik digunakan khamir murni dari strain
Saccharomyces cerevisiae, Torulopsis sp. dan Torulla sp. Strain dari S. ellipsodes juga sering
digunakan. Khamir ini dapat mengubah glukosa menjadi alkohol dan CO 2. Ciri-ciri kultur
yang baik menurut Hidayat (2006) adalah:
1 Mudah tumbuh
2 Tahan alkohol dan gula tinggi, efisien dalam mengubah karbohidrat menjadi alkohol.
3 Suhu pertumbuhan maksimum adalah 900C dan tidak banyak berubah karena adanya
perubahan pH, suhu dan tekanan osmosis.

2. Prinsip Fermentasi Alkoholik


Pada prinsipnya reaksi dalam proses pembuatan alkohol dengan fermentasi adalah
sebagai berikut.
C6H12O6 2 C2H2O5 +CO2
Jika digunakan disakarida seperti isakarosa, reaksinya adalah sebagai berikut:
Reaksi hidrolisis reaksi fermentasi sama seperti penggunaan monosakarida.
invertase
C12H22O11 + H2O 2 C6H12O6

10
Gambar 2.9.
Reaksi fermentasi
alkoholik.
Khamir tidak
dapat langsung

memfermentasi pati. Sehingga tahap yang penting adalah proses sakarifikasi, yaitu perubahan
pati menjadi maltosa atau glukosa dengan menggunakan enzim atau asam. Tahapan proses
perubahan pati menjadi alkohol sebagai berikut.
1 Hidrasi pati: biji-bijian digiling dan serbuk biji-bijian diberi air sehingga terjadi dispersi.
2 Gelatinisasi pati: ditentukan oleh tipe dari pati, hubungan antara suhu dan waktu, ukuran-
ukuran partikel dan konsentrasi bubur.
3 Hidrolisis pati: konversi pati untuk menghasilkan maltosa dan dekstrin yang tidak
terfermentasi terjadi karena hidrolisis enzimatis. Reaksi ini mencapai kesetimbangan bila
telah mencapai rasio antara maltosa-dekstrin yang dikendalikan oleh komposisi kimia
dari pati. Komposisi kimia pati adalah amilosa (polimer dari glukosa yang merupakan
rantai lurus dan secara kuantitatif dapat dihidrolisis menghasilkan maltosa) dan
amilopektin (polimer dari glukosa yang merupakan rantai lurus dan secara kuantitatif
dapat terhidrolisis sebagian).
4 Konversi gula menjadi alkohol dengan cara fermentasi : khamir dapat menfermentasikan
glukosa, manosa, dan galaktosa dan tidak dapat memecah pentosa. Disakarida seperti
sukrosa dan maltosa difermentasikan dengan cepat oleh khamir karena mempunyai enzim
sukrase atau invertase dan maltase untuk mengubah maltosa menjadi heksosa (Hidayat,
2006).
Prinsip dari sebuah fermentasi alkoholik adalah memperbanyak jumlah\
mikroorganisme terutama khamir dan menggiatkan metabolismenya dalam bahan pangan.
Kondisi lingkungan yang diperlukan bagi pertumbuhan dan produksi maksimum dalam
fermentasi harus sesuai, terutama faktor-faktor berikut ini: suhu inkubasi, pH medium,
oksigen, cahaya, dan agitasi. Prinsip pengawetan dengan fermentasi didasarkan pada:
1 Menggiatkan pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme penghasil alkohol.

11
2 Menekan/mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme proteolitik dan lipolitik oleh
alkohol atau asam organik yang dihasilkan dan bila populasinya sudah tinggi melalui
persaingan akan zat gizi yang terdapat pada substrat (Tjahjadi, 2011).

E. PENGAWETAN MAKANAN DENGAN FERMENTASI NON-ALKOHOLIK


Fermentasi non-alkoholik atau fermentasi asam laktat yaitu fermentasi dimana hasil
akhirnya adalah asam laktat, dan tidak menghasilkan alkohol. Misalnya, pada pembuatan
yoghurt, keju dan tempe.
Reaksinya: C6H12O6 2 C2H5OCOOH + Energi
enzim

Prosesnya adalah:
1. Glukosa asam piruvat (proses Glikolisis)
enzim
C6H12O6 2 C2H3OCOOH + Energi
enzim

2. Dehidrogenasi asam piruvat akan terbentuk asam laktat.


2 C2H3OCOOH + 2 NADH2 2 C2H5OCOOH + 2 NAD
Piruvat
dehidrogenas
e

Gambar 2.13. Bagan fermentasi asam laktat

Jalur biokimia yang terjadi, sebenarnya bervariasi tergantung jenis gula yang
terlibat, tetapi umumnya melibatkan jalur glikolisis, yang merupakan bagian dari tahap

12
awal respirasi aerobik pada sebagian besar organisme. Jalur terakhir akan bervariasi
tergantung produk akhir yang dihasilkan (Suprihatin, 2010).

Salah satu contoh fermentasi non-alkoholik yang banyak diterapkan di masyarakat


adalah pembuatan tempe dan yogurt.
1 Tempe

Tempe adalah makanan yang dibuat dari fermentasi terhadap biji kedelai atau
beberapa bahan lain yang menggunakan beberapa jenis kapang Rhizopus,
seperti Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer (kapang roti),
atau Rhizopus arrhizus, sehingga membentuk padatan kompak berwarna putih. Sediaan
fermentasi ini secara umum dikenal sebagai ragi tempe. Warna putih pada tempe
disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada permukaan biji kedelai. Tekstur
kompak juga disebabkan oleh mise1ia jamur yang menghubungkan biji-biji kedelai
tersebut. Banyak sekali jamur yang aktif selama fermentasi, tetapi umumnya para peneliti
menganggap bahwa Rhizopus sp merupakan jamur yang paling dominan. Jamur yang
tumbuh pada kedelai tersebut menghasilkan enzim-enzim yang mampu merombak
senyawa organik kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga senyawa
tersebut dengan cepat dapat dipergunakan oleh tubuh (Suprihatin, 2010).

Jamur Rhizopus oryzae merupakan jamur yang sering digunakan dalam pembuatan
tempe. Jamur Rhizopus oryzae aman dikonsumsi karena tidak menghasilkan toksin dan
mampu menghasilkan asam laktat. Jamur Rhizopus oryzae mempunyai kemampuan
mengurai lemak kompleks menjadi trigliserida dan asam amino. Selain itu jamur Rhizopus
oryzae mampu menghasilkan protease. Rhizopus sp tumbuh baik pada kisaran pH 3,4-6.
Pada penelitian semakin lama waktu fermentasi, pH tempe semakin meningkat sampai pH
8,4, sehinggajamur semakin menurun karena pH tinggi kurang sesuai untuk pertumbuhan
jamur. Secara umum jamur juga membutuhkan air untuk pertumbuhannya, tetapi
kebutuhan air jamur lebih sedikit dibandingkan dengan bakteri. Selain pH dan kadar air
yang kurang sesuai untuk pertumbuhan jamur, jumlah nutrien dalam bahan, juga
dibutuhkan oleh jamur (Suprihatin, 2010).

A. Kesimpulan

13
1. Pengawetan makanan dengan pengaturan kadar osmosis dilakukan dengan tujuan untuk
memperpanjang fase adaptasi dalam pertumbuhan mikroba. Pengawetan makanan dengan
pengaturan kadar osmosis dilakukan dengan penambahan zat tertentu dalam medium
makanan. Pengawetan makanan dengan pengaturan kadar osmosis dapat dilakukan
misalnya dengan cara penggaraman dan pemanisan atau pembuatan manisan.
2. Pengawetan makanan juga dapat dilakukan dengan teknik pengeringan dan pengalengan
makanan, serta dengan cara fermentasi, baik alkoholik maupun non-alkoholik.

DAFTAR RUJUKAN

Aruan, B. 2001. Pengaruh jenis bahan pengawet selama penyimpanan terhadap mutu sirup
lidah buaya. Skripsi tidak diterbitlan. Medan: Jurusan teknologi hasil pertanian.
Fakultas pertanian Universitas katolik santo Thomas. Sumatra utara.

Buckle, K.A. 1985. Ilmu Pangan. Diterjemahkan oleh Purnomo dan Adiono. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia.

Hidayat, N. 2006. Mikrobiologi Industri. Yogyakarta: Penerbit ANDI.

Hunzuu, R. 2010. Koumiss (online). http://hunzu-lintasan-mimpiku. blogspot.com /2010 /


11/koumiss.html. Diakses 1 Desember 2013

Litbang Pertanian. 2007. Kefir, Susu Fermentasi yang Menyegarkan dan Menyembuhkan.
Kementrian Pertanian Republik Indonesia.

Muchtadi, D. 1994. Teknologi dan Mutu Makanan Kaleng. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Pelczar, M. J. dan E. S. Chan. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi (Diterjemahkan oleh : Ratna


Siri Hadioetomo). Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia

Pratiwi, A. 2009. Pengaruh Faktor Fisika dan Kimia Terhadap Mikroba Laut (Online)
(http://www.scribd.com/doc/50076130/Pengaruh-faktor-fisika-dan-kimia-terhadap-
mikroba-laut), diakses tanggal 23 Oktober 2013.

Possumah, D.H.C. 2012. Tahap Pembuatan Sake (online). http://dannypossumah.


blog.unissula.ac.id/2012/02/05/tahap-pembuatan-sake/. Diakses 1 Desember 2013

Stryer, Lubert. 1975. Biochemistry. W. H. Freeman and Company

Suprihatin. 2010. Teknologi Fermentasi. Surabaya: Unesa Press

Tampubolon, S.D. 2006. Pengaruh Konsentrasi Gula nan Lama Penyimpanan terhadap Mutu
Manisan Cabai Basah. Jurnal penelitian bidang ilmu pertanian. 4 (1): 7-10. (Online)
(http://repository.usu.ac.id/.../1/kpt-apr2006-%20(2).pdf), diakses tanggal 23 Oktober
2013.

14
Umam, AH. 2008. Pengaruh Faktor Luar terhadap Pertumbuhan Bakteri. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada.

Utami, R. 2012. Karakteristik Pemanasan Pada Proses Pengalengan Gel Cincau Hitam
(Mesona Palustris). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Winarno, F.G. 1974. Perkembangan Ilmu Teknologi Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Winarno, F. G. 1980. Sterilisasi Komersial Produk Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta

15

Anda mungkin juga menyukai