Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang tercatat bahwa jumlah pulau yang ada di
Indonesia adalah 13.466 pulau dengan total garis pantai sepanjang 80.791 km (SLHI, 2013).
Melalui data tersebut dapat diketahui bahwa sebagai negara kepulauan yang tersebar memiliki
kondisi geografis, perekonomian dan budaya beragam. Perbedaan kondisi geografis tersebut
yang menyebabkan Indonesia memiliki karakteristik fisik yang berbeda-beda seperti Kota
Samarinda yang terletak di Kalimantan Timur memiliki kondisi fisik berupa topografi yang
cenderung relatif datar (sumber:). Hal tersebut membuat Kota Samarinda menjadi potensi
untuk melakukan kegiatan pembangunan baik berupa infrastruktur, penambangan, dll. Namun,
terdapat pertentangan pada aspek lingkungan dimana terjadi penurunan kualitas lingkungan.

Dewasa ini, penurunan kualitas lingkungan menjadi topik permasalahan utama yang menjadi
perbincangan para apparat pemerintah. Dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Lingkungan hidup yang baik dan sehat
merupakan hak asasi bagi setiap warga negara Indonesia. Melalui peryantaan tersebut dapat
disimpulkan bahwa setiap masyarakat Indonesia memiliki hak untuk mempunyai lingkungan
sehat, baik dan bersih, sehingga dibutuhkan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana yang
telah diatur pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.

Fakta yang ditemukan secara eksisting, masih terdapat pelanggaran-pelanggaran terhadap


kebijakan pengelolaan lingkungan hidup akibat dari aktivitas-aktivitas manusia dan/atau
pembangunan yang dilakukan pada daerah tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 Tentang Penataan Ruang Pasal 29 dikatakan bahwa proporsi RTH sebanyak 30% dari
total luas daerah yang dibagi kedalam 2(dua) peruntukan 10% untuk RTH privat dan 20% untuk
RTH publik.

Menurut data Bappeda Kota Samarinda menyatakan total RTH Publik di Kota Samarinda
sebesar 5,3% dan RTH privat sebesar 43,1%. Artinya bahwa ketersediaan RTH publik masih
jauh dari angka ideal yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. RTH publik
Kota Samarinda banyak yang diwujudkan dalam hutan kota. Pada tahun 2001 Pemerintah Kota
Samarinda mengatur Hutan Kota Samarinda dalam Perda Nomor 28 Tahun 2003 tentang
ketentuan pengelolaan kawasan lindung wilayah Kota Samarinda. Pada tahun 2005 Walikota
mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 178/HK-KS/2005 tentang penetapan lokasi hutan kota
samarinda yang didalamnya dimuat Kebun Raya Universitas Mulawarman Samarinda seluas
300 Ha.

Kebun Raya Universitas Mulawarman Samarinda (KRUS) terdapat lahan pertambangan yang
milik Koperasi Serba Usaha Putra Mahakam Mandiri (PUMMA) yang terindikasi mencemarkan
air yang mengalir melalui Kebun Raya tersebut. Oleh karena itu, karena terjadi pencemaran
yang dilakukan oleh Koperasi Serba Usaha Putra Mahakam Mandiri (PUMMA) yang terjadi di
Kebun Raya Universitas Mulawarman Samarinda (KRUS), maka perlu dilakukan peninjauan
secara yuridis sehingga dapat ditentukan apakah hal tersebut berpotensi dipidanakan.

1.2 Tujuan dan Manfaat


Adapun tujuan dan manfaat dalam makalah ini, sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi kegiatan penambangan PUMMA yang mengakibatkan pencemaran di
Kebun Raya Universitas Mulawarman
2. Mengidentifikasi ketidaksesuaian kegiatan penambangan PUMMA dengan peraturan
perundangan berlaku.

1.3 Sistematika Pembahasan


Adapun sistematika penyusunan makalah ini, sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN, berisi latar belakang, tujuan dan manfaat penyusunan makalah,
dan sistematika pelaporan.

BAB II PEMBAHASAN, berisi ulasan secara singkat terkait gambaran umum studi kasus,
masalah regulasi, dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan studi kasus.

BAB III PENUTUP, berisi kesimpulan dari pembahasan dan saran dari permasalahan yang
ada.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Gambaran Umum Studi Kasus (Maha)
Kebun Raya Universitas Mulawarman Samarinda atau disingkat menjadi KRUS
adalah sebuah objek wisata alam Kebun Raya yang terletak di Samarinda Utara. Lokasi
tepatnya berada di tepi jalan raya Samarinda-Bontang, kelurahan Tanah Merah,
Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda.

Kebun raya ini berada disebelah utara pusat kota Samarinda dimana jarak yang
ditempuh menuju kebun raya Samarinda ini dari pusat kota Samarinda sekitar 20 kilometer
dalam waktu 30 menit dengan menggunakan perjalanan darat.

Kebun Raya Samarinda merupakan obyek wisata yang memadukan rekreasi


dengan pendidikan seputar alam dan lingkungan. Luas keseluruhan kebun raya ini adalah
300 hektar. Pada awalnya, kebun raya ini merupakan areal HPH CV Kayu Mahakam milik
Ali Akbar Afloes. Pada tahun 1974, pemiliknya menyerahkan 300 hektar di kawasan
Gunung Kapur kepada Rektor Universitas Mulawarman ketika itu, R. Sambas
Wirakusumah untuk dijadikan sebagai hutan konservasi. Gubernur Provinsi Kalimantan
Timur dan Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Timur mendukung penuh menjadikan
kawasan Gunung Kapur sebagai hutan konservasi. Pada tahun 1997, Walikota Samarinda
mendukung program tersebut dengan memfungsikan kebun raya tersebut sebagai hutan
pendidikan dan kebun botani bagi civitas akademik Universitas Mulawarman.

Setelah diresmikan sebagai hutan pendidikan, kawasan tersebut sering digunakan


sebagai tempat kegiatan kemahasiswaan, lokasi penelitian, dan praktik kerja lapangan
(PKL) mahasiswa. Sejak ditandatanganinya kerja sama antara Universitas Mulawarman
dan Pemerintah Kota Samarinda, kawasan ini berubah nama menjadi Kebun Raya
Samarinda. Dalam perkembangan selanjutnya, 62 hektar dari total luas 300 hektar
difungsikan sebagai fasilitas jalan, danau buatan, fasilitas olah raga, dan panggung
hiburan. Kawasan ini juga makin dikembangkan dan difungsikan sebagai obyek wisata dan
rekreasi, seperti adanya kebun binatang, kolam renang, taman burung, taman bunga,
perahu wisata, dan bumi perkemahan.

Pada tahun 2008 terjadi pencemaran lingkungan di Kebun Raya Universitas


Mulawarman yang dilakukan oleh KSU Putra Mahakam Mandiri (PUMMA) Hal ini
disebabkan karena PUMMA membuang limbah mereka ke suatu pipa pembuang yang
dimana aliran pipa pembuang menuju mata air yang ada di Kebun Raya Universitas
Mulawarman tanpa adanya pengelolaan terlebih dahulu. Pencemaran yang dilakukan oleh
KSU Putra Mahakam Mandiri (PUMMA) dapat dilihat dari perubahan warna air yang
mengalir di dalam Kebun Raya. Akibat dari pencemaran ini perdampak langsung dengan
keramba-keramba ikan yang terdapat di Kebun Raya ini dimana terdapat 6 keramba ikan
yang terkena dampaknya dimana jumlah kerugian yang ditimbulkan dari pencemaran ini
terbilang cukup merugikan.

2.2 Masalah Regulasi


Permasalahan yang terjadi di Kebun Raya Universitas Mulawarman disebabkan kurangnya
pengawasan pemerintah atau pengelola dalam melakukan pengedalian kegiatan disekitar
Kebun Raya Universitas Mulawarman. Dalam produk hukum yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota Pasal 18 Ayat 1 yang menyatakan bahwa
pengelolaan hutan kota diserahkan kepada Pemerintah Daerah yang kemudian
disempurnakan pada Pasal 21 Ayat 1. Mengingat produk hukum tersebut, membuat
Universitas Mulawarman dan Badan Pengelola Kebun Raya Universitas Mulawarman tidak
melakukan manajemen yang baik dalam pengelolaannya sesuai dengen keteraturan
hukum.

Selain itu, bahwa berdekatan dengan Kebun Raya Universitas Mulawarman terdapat lahan
pertanian milik Kelompok Tani Putra Mahakam Mandiri (PUMMA) dimana sebagian lahan
mereka memiliki prospek untuk kegiatan penambangan. Hal tersebut juga didukung dengan
adanya penerbitan Kuasa Pertambangan (KP) eksploitasi PT.Lanna Harita dan CV.Cahaya
Tiara, sehingga kelompok tani (PUMMA) tersebut juga mengajukan Kuasa Pertambangan
(KP) kepada Pemerintah Kota Samarinda yang tertuang dalam SK 545/205/KPE/VII/2003
tanggal 21 juli 2013 yang berlokasi di Kelurahan Lempake.

Dalam produk hukum yaitu (ini mau bahas bahwa didekat hutan kota gak boleh ada
kegiatan penambangan) pake UU

Tujuan dan fugsi hutan kota tercantum pada Peraturan Pemerintah No Pasal 2 yang
berbunyi :

Tujuan penyelenggaraan hutan kota adalah untuk kelestarian, keserasian


dankeseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan
budaya.

Serta Pasal 3 yang berbunyi :


Fungsi hutan kota adalah untuk:

a. memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika;

b. meresapkan air;

c. menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota; dan

d. mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.

Sesuai pasal 26 yang berbunyi :

(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan dan atau
penurunan fungsi hutan kota.

(2) Setiap orang dilarang :

a. membakar hutan kota;

b. merambah hutan kota;

c. menebang, memotong, mengambil, dan memusnahkan tanaman dalam hutan kota,


tanpa izin dari pejabat yang berwenang;

d. membuang benda-benda yang dapat mengakibatkan kebakaran atau membahayakan


kelangsungan fungsi hutan kota; dan

e. mengerjakan, menggunakan, atau menduduki hutan kota secara tidak sah.

2.3 Keteraturan Perundangan


Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota Pasal 18 Ayat 1
yang menyatakan bahwa pengelolaan hutan kota diserahkan pada Pemerintah Daerah.
Kemudian disempurnakan melalui Pasal 21 Ayat 1 dimana pengelolaan hutan kota memiliki
tahapan kegiatan sebagai berikut:

a. penyusunan rencana pengelolaan;


b. pemeliharaan;
c. perlindungan dan pengamanan;
d. pemanfaatan; dan
e. pemantauan dan evaluasi.
Dalam hal ini, Pemerintah Kota Samarinda melakukan kerja sama dengan Universitas
Mulawarman (Unmul) untuk melakukan pengelolaan terhadap Kebun Raya Universitas
Mulawarman dalam hal penyusunan rencana pengelolaan, pemeliharaan, perlindungan dan
pengamanan, pemanfaatan, pemantauan dan evaluasi agar membuat Kebun Raya
Universitas Mulawarman dapat dijadikan sebagai Hutan Kota Samarinda. Mengingat bahwa
pada tanggal 17 Februari 2001 telah dilaksanakan penandatangan piagam kerjasama
No.871/OT/2001-556/28/2001 oleh rektor Universitas Mulawarman dan Walikota
Samarinda dalam pengelolaan Kebun Raya Universitas Mulawarman.

Sejak beroperasinya kegiatan penambangan PT.Lanna Harita dan diterbitkannya Kuasa


Pertambangan (KP) Eksploitasi tambang batu baru CV.Cahaya Tiara yang lokasi kedua
penambangan tersebut berdekatan dengan lokasi lahan yang dimiliki anggota kelompok
tani dalam hal ini yang dimaksudkan ialah Kelompok Tani Putra Mahakam Mandiri
(PUMMA). PUMMA merupakan komunitas kelompok tani dimana keanggotaanya memiliki
lahan di wilayah Utara Kota Samarinda dan mayoritas pekerjaan ialah sebagai petani,
sehingga diterbitkanya Surat Keputusan Menteri Koperasi Pengusahan Kecil dan
Menengah Nomor: 188/BH/KDK.17.15/VI/1999.

Melihat adanya kegiatan penambangan yang dilakukan kedua perusahaan tersebut,


anggota kelompok tani tersebut mengajukan permohonan Kuasa Pertambangan (KP)
eksploitasi tambang batu bara. Hal tersebut, dikarenakan lahan yang dimiliki petani
tersebut memiliki potensi untuk dilakukan penambangan dan diberikan Kuasa
Pertambangan (KP) Eksplorasi oleh Walikota Samarinda Nomor: 545/205/KPE/VII/2003
tanggal 21 Juli 203 yang berlokasi di Kelurahan Lempake.

Pada tahun 2008 terjadi pencemaran lingkungan di Kebun Raya Universitas Mulawarman
yang dilakukan oleh KSU Putra Mahakam Mandiri (PUMMA) yang diketahui bahwa
PUMMA melakukan pembuangan limbah secara langsung tanpa pengelolaan limbah
terlebih dahulu. Hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 20
Ayat 3 yang menyatakan bahwa pembuangan limbah ke media lingkungan hidup dapat
dilakukan dengan persyaratan, sebagai berikut:

a. Memenuhi baku mutu lingkungan hidup


b. Mendapat izin dari dari Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangan.

Dalam hal ini, PUMMA membuang limbah pertambangannya tidak sesuai dengan standar
baku mutu lingkungan yang telah diatur dalam perundang-undangan. Kebun Raya
Universitas Mulawarman yang terbagi menjadi 3(tiga) zonasi peruntukan dimana zona
rekreasi merupakan tempat yang tercemar akibat aktivitas penambangan PUMMA.

Menindaklanjuti kegiatan penambangan PUMMA tersebut, maka hukuman atau sanksi


terhadap kegiatan tersebut berupa sanksi pidana dan denda sesuai dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Pasal 100 Ayat 1.

Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku
mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Kemudian saksi pidana dapat dikenakan pada PUMMA jika kalua PUMMA mengabaikan
sanksi administrative atau melakukan pelanggaran terhadap peringatan satu kali,
sebagaimana yang tertuang pada ayat 2 Pasal 100 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Anda mungkin juga menyukai