Anda di halaman 1dari 28

A.

Definisi Urolithiasis
Urolithiasis merupakan penyakit batu saluran kemih sedangkan nefrolithiasis
merujuk pada penyakit batu ginjal. Urolithiasis merujuk pada adanya batu dalam system
perkemihan. Batu atau kalkuli dibentuk didalam saluran kemih mulai dari ginjal ke kandung
kemih oleh kristalisasi dari substansi ekskresi didalam urin. (Nursalam, 2006)
Teori proses pembentukan batu
Secara teoritis batu dapat berbentuk diseluruh saluran kemih terutama pada tempat-
tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin(statis urin) yaitu pada system kalises
ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises(stenosis uretero pelvis ),
divertikel, obstruksiinfravesika kronis seperti pada hyperplasia benigna prostat, striktura dan
buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya
pembentukan batu. Batu tersebut terdiri atas kristal-kristal yang tersusun bahan-bahan
organic dan anorganik yang terlarut dalam urin. (Purnomo, 2011)
Penghambat Pembentukan Batu Saluran Kemih
Terbentuk atau tidaknya batu saluran kemih ditentukan juga oleh adanya
keseimbangan antara zat pembentuk batu dan inhibitor, yaitu zat yang mampu mencegah
timbulnya batu. Dikenal beberapa zat yang dapat menghambat terbentuknya batu saluran
kemih yang bekerja mulai dari proses reabsorbsi kalsium dalam usus, proses pembentukan
inti batu atau Kristal, proses agregasi kristal hingga retensi kristal. (Purnomo 2011)

B. Klasifikasi Batu
Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsure kalsium oksalat atau
kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat(MAP), Xanhyn, dan sistin, silikat,
dan senyawa lainnya. Data mengenai kandungan/komposisi zat yang terdapat pada batu
sangat penting untuk usaha pencegahan terhadap timbulnya batu residif. Jenis-jenis batu
terdiri dari (Purnomo, 2011 ed. 3):
a. Batu kalsium
Batu jenis ini paling banyak dijumpai, yaotu kurang lebih 70-80% dari seluruh batu
saluran kemih. Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat , kalsium fosfat, atau
campuran kedua unsure tersebut. Factor terjadinya batu kalsium adalah:

1. Hiperkalsiuria
2. Hiperoksaluri
3. Hiperurikosuria
4. Hipositraturia
5. Hipomagnesuria
b. Batu struvit
Disebut juga sebagai batu infeksi karena terbentuknya batu tersebut disebabkan oleh
adanya infeksi saluran kemih. Kuman golongan pemecah urea atau urea splitter yang
menghasilkan urease dan merubah urin menjadi basa melalui proses hidrolisis urea
menjadi amoniak merupakan penyebab terjadinya batu struvit tersebut.
c. Batu Asam Urat
5-10% batu saluran kemih adalah batu asam urat. 75-80% dari batu asam urat terdiri
atas asam urat murni dan sisanya merupakan campuran kalsium oksalat.
d. Batu jenis lain
Batu sistin, batu Xanthin, batu triamteren dan batu silikat sangat jarang dijumpai.
Batu sisten terjadi karena kelainan metabolism sistin dalam absorbs sistin di mukosa
usus, batu xanthin terjadi akibat penyakit bawaan berupa defisiensi enzim xanthin
oksidase yang mengkatalisis hipoxanthin menjadi xanthin kemudian menjadi asam urat.
Selain itu pemakaian silikat yang berlebihan dan dalam jangka panjang dapat
menyebabkan timbulnya batu silikat (Purnomo, 2011 ed.3).
Klasifikasi Batu Berdasarkan Lokasinya:
1. Batu Ginjal dan Batu Ureter
Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal kemudian berada dikaliks infudibulum,
pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal. Batu yang
mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal memberikan gambaran menyerupai
tanduk rusa sehingga disebut batu staghorn. Kelainan atau obstruksi pada system
pelvikalis ginjal akan mempermudah timbulnya batu saluran kemih. Selain itu, batu yang
tidak terlalu besar didorong oleh peristaltic otot-otot system pelvikalis dan turun ke
ureter menjadi batu ureter (Purnomo, 2011 ed.3).

2. Batu Kandung Kemih


Batu kandung kemih sering terjadi pada pasien yang mengalami gangguan
miksi atau terdapat benda asing di buli-buli. Gangguan miksi terjadi pada pasien
dengan hyperplasia prostat, striktura uretra, divertikal buli-buli atau buli-buli
neurogenik. Selain itu, batu kandung kemih juga bisa disebabkan oleh batu ginjal
atau batu ureter yang turun ke kandung kemih. Jika penyebabnya infeksi, biasanya
komposisi batu kandung kemih ini terdiri atas asam urat atau struvit.
3. Batu Uretra
Batu uretra primer sangat jarang terjadi. Pada batu uretra biasanya terjadi
karena batu ginjal, ureter dan kandung kemih yang turun ke uretra. Keluhan yang
biasa di sampaikan pasien adalah miksi tiba-tiba berhenti sehingga terjadi retensi
urin yang mungkin sebelumnya didahului nyeri pinggang.
Klasifikasi batu lain berdasarkan X ray characteristic (Turk, C, T. Knoll, A petrik, K.
Sarika, C. Seitz, A. Skolarikos, M. Straub, 2013 Urolithiasis) :
1. Radioopaque: calcium oksalat dihidrat, kalsium oksalat monohidrat, calcium
fosfat
2. Poor radiopaque: magnesium ammonium fosfat, cystin
3. Radiolucent: asam urat, ammonium urate, Xanthin, 2.8 dihidroxiadenin, drug
stone.
Berdasarkan Etiologi:
1. Batu non infeksi: kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat
2. Batu infeksi: Magnesium ammonium fosfat, karbonat apatit, ammonium urat
3. Batu genetic : Cystine, Xanthin, 2.8-dihidroxy-adenin
4. Batu yang terbentuk karena obat-obatan (drug stone): contoh( indinavir
C. Etiologi
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran
urin, gangguan metabolic, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang
masih belum terungkap (idiopatik). Secara epidemologi terdapat beberapa factor yang
mempermudah terjadinya batu saluran kemih pada seseorang. Factor-faktor itu adalah factor
intrinsic , yaitu keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan factor intrinsic yaitu
pengaruh dari lingkungan sekitarnya. (Purnomo,2011 ed.3)
1. Factor intrinsic
a. Herediter (keturunan) : penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya
b. Umur: sering pada usia 30-50 tahun
c. Jenis kelamin : pasien laki-laki lebih banyak dari perempuan
d. Gangguan Metabolik : Hiperparatiroididsme, Hiperkalsiuria, Hiperuresemia.
2. Factor ekstrinsik
a. Geografi: beberapa daerah menunjukan kejadian batu saluran kemih yang lebih tinggi
daripada daerah lain sehingga dikenal dengan stone belt (sabuk batu) sedangkan
daerah bantu afrika selatan tidak dijumpai batu saluran kemih
b. Iklim dan temperature
c. Asupan air: kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang
dikonsumsi dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih
d. Diet: diet banyak purin , oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit batu
saluran kemih
e. Pekerjaan: sering dijumpai pada klien dengan pekerjaan banyak duduk atau kurang
activitas atau sedentary life
Etiologi berdasarkan klasifikasi : (Turk, C, T. Knoll, A petrik, K. Sarika, C. Seitz, A.
Skolarikos, M. Straub, 2013 Urolithiasis):
1. Batu non infeksi: kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat
2. Batu infeksi: Magnesium ammonium fosfat, karbonat apatit, ammonium urat
3. Batu genetic : Cystine, Xanthin, 2.8-dihidroxy-adenin
4. Batu yang terbentuk karena obat-obatan (drug stone): contoh( indinavir

D. Manifestasi Klinis
Batu di ginjal itu sendiri bersifat asimtomatik kecuali apabila batu tersebut
menyebabkan obstruksi atau timbul infeksi (J. Corwin, 2007). Manifestasi klinis adanya
batu dalam traktus urinarius bergantung pada adanya obsrtuksi, infeksi, dan edema. Ketika
batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi, menyebabkan peningkatan tekanan
hidrostatik dan distensi piala ginjal serta ureter proksimal. Iritasi batu yang terus-menerus
dapat mengakibatkan terjadinya infeksi (pielonefritis dan sistitis) yang sering disertai dengan
keadaan demam, mengggil dan disuria.
1. Batu di piala ginjal (Purnomo, 2011)
a. Menyebabkan rasa sakit yang dalam dan terus-menerus di area kostovertebral.
b. Dapat dijumpai hematuria dan piuria.
c. Kolik renal : Nyeri mendadak menjadi akut, disertai nyeri tekan di seluruh area
kostovertebral, nyeri pinggang, biasanya disertai mual dan muntah
2. Batu di ureter (Purnomo, 2011)
a. Nyeri luar biasa, akut, kolik yang menyebar ke paha & genitalia
b. Sering merasa ingin berkemih, namun hanya sedikit urin yang keluar, dan biasanya
mengandung darah akibat aksi abrasi batu.
3. Batu di kandung kemih (Purnomo, 2011)
a. Nyeri kencing/disuria hingga stranguri
b. Perasaan tidak enak sewaktu kencing
c. Kencing tiba-tiba terhenti kemudian menjadi lancar kembali dengan perubahan posisi
tubuh
d. Nyeri pada saat miksi seringkali dirasakan pada ujung penis, skrotum, perineum,
pinggang, sampai kaki.
4. Batu di uretra (Purnomo, 2011)
a. Miksi tiba-tiba berhenti hingga terjadi retensi urin Nyeri dirasakan pada glans penis
atau pada tempat batu berada. Batu yang berada pada uretra posterior, nyeri dirasakan
di perineum atau rektum
b. Batu yang terdapat di uretra anterior seringkali dapat diraba oleh pasien berupa
benjolan keras di uretra pars bulbosa maupun pendularis atau kadang-kadang tampak
di meatus uretra eksterna

E. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Umamy (2007) Pemeriksaan diagnostik yang bisa dilakukan untuk
mengetahui adanya batu ureter (urolithiasis) adalah sebagai berikut:
1. Uji Laboratorium
a. Analisa urin (Urinanalisis)
Analisa ini digunakan untuk menemukan faktor risiko pembentukan batu selain
itu juga dapat menunjukkan hasil secara umum terkait dengan hal-hal berikut ini:
a) Tes urin lengkap
Warna urin mungkin kuning, coklat gelap, berdarah; secara umum
menunjukkan SDM, SDP, kristal (sistin, asam urat, kalsium oksalat), serpihan,
mineral, bakteri, pus; pH mungkin asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat)
atau alkalin (meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat)
(Borley 2006).
Pemeriksaan ini dikenal dengan pemeriksaan urin rutin dan lengkap yaitu suatu
pemeriksaan makroskopik, mikroskopik dan kimia urin yang meliputi pemeriksaan
protein dan glukosa. Sedangkan yang dimaksud dengan pemeriksaan urin lengkap
adalah pemeriksaan urin rutin yang dilengkapi dengan pemeriksaan benda keton,
bilirubin, urobilinogen, darah samar dan nitrit. Warna urin, adanya eritrosit, bakteri
yang ada di dalam urin.
b) Kultur urin
Pemeriksaan ini dilakukan dengan indikasi kecurigaan pada klien dengan
adanya ISK karena berguna untuk mendeteksi adanya infeksi sekunder ataupun
infeksi saluran kemih (ISK) akibat adanya pertumbuhan kuman pemecah vena
seperti (Stapilococus aureus, Proteus, Klebsiela, Pseudomonas).
3) Tes urin 24 jam
Pengumpulan urin 24 jam ini dilakukan saat klien di rumah pada
lingkungan yang normal. Hal ini berguna untuk mengetahui kadar pH urin,
kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat atau sistin yang mungkin meningkat.
Kadar normal pH urin adalah 4,6-6,8. Jika pH asam maka akan meningkatkan
sistin dan batu asam urat. Sedangkan, apabila pH alkali maka dapat meningkatkan
magnesium, fosfat amonium (batu kalsium fosfat). Kadar BUN normalnya
mencapai 5-20 mg/dl, pada pemeriksaan tujuannya untuk melihat kemampuan
ginjal dalam ekskresi sisa yang bernitrogen. BUN menjelaskan secara kasar
perkiraan Glomerular Filtration Rate (GFR). Hal yang mempengaruhi perubahan
kadar BUN adalah diet tinggi protein serta darah dalam saluran pencernaan yang
mengalami katabolisme (cedera dan infeksi). Sedangkan untuk Kreatinin Serum
memiliki tujuan yang sama dengan pemeriksaan BUN. Kadar normal laki-laki
adalah 0,85-15 mg/dl sedangkan perempuan 0,70-1,25 mg/dl. Jika pada serum
tinggi dan atau urin rendah maka dapat dikatakan sebagai keabnormalitasan
sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal yang dapat menyebabkan
terjadinya iskemia/ nekrosis.
4) Kadar klorida, bikarbonat serum, serta hormon paratiroid
Peningkatan kadar klorida dan penurunan kadar bikarbonat menunjukkan
terjadinya asidosis tubulus ginjal. Selain itu, kadar hormon paratiroid (PTH) juga
mungkin meningkat jika terdapat gagal ginjal. (PTH merangsang reabsorpsi
kalsium dari tulang meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urin).
b. Tes darah lengkap (DL)
Leukosit kemungkinan dapat meningkat, hal ini disebabkan adanya
infeksi/septikemia, namun berbeda dengan eritrosit yang biasanya dalam kadar
normal. Sedangkan Hb/Ht menjadi abnormal bila klien mengalami dehidrasi berat
atau polisitemia (mendorong presipitasi pemadatan) atau anemia (pendarahan,
disfungsi/ gagal ginjal). Periksa juga kadar protein plasma darah serta laju endap
darah.
c. Analisa batu
Analisa ini digunakan untuk pemeriksaan adanya batu pada saluran perkemihan
dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopik sendimen urin. Pemeriksaan ini
juga disebut dengan tes mikroskopik urin, dimana survei ini berguna untuk
menunjukkan adanya sel dan benda berbentuk partikel lainnya seperti bakteri, virus
maupun bukan karena infeksi (perdarahan, gagal ginjal). Pemeriksaan ini juga dapat
dipakai untuk mengetahui ada atau tidaknya leukosituria, hematuria dan kristal-
kristal pembentuk batu seperti yang di bawah ini:
1) Kalsium oksalat
2) Triple fosfat
3) Asam urat.
4) Sistin (Cystine)
5) Leusin dan tirosin
6) Kristal kolesterol
2. Tes Radiologi
a. Foto polos abdomen (BOF, KUB)
Radiologi ini dapat dipakai untuk menunjukkan adanya kalkuli dan atau
perubahan anatomik pada area ginjal maupun sepanjang ureter. Plain-film
radiografi dari ginjal, ureter, dan kandung kemih (KUB) hanya dapat
mendokumentasikan ukuran dan lokasi batu kemih radiopak pada batu kalsium
oksalat dan kalsium fosfat, karena memiliki kandungan kalsium mereka paling
mudah dideteksi oleh radiografi.
Pemeriksaan ini digunakan untuk menunjukkan adanya kalkuli dan/atau
perubahan anatomik pada area ginjal dan sepanjang ureter.
Pertimbangan keperawatan dalam pemeriksaan ini adalah menganjurkan klien
untuk dilakukan Lavement dengan dulcolax sebagai persiapan pemeriksaan.
Selain itu, pemeriksaan ini berperan untuk menilai kandung kemih dan ginjal,
dimana ditentukan dari:
1) Distribusi udara di dalam usus rata atau tidak.
2) Bentuk ginjal.
3) Bayangan batu : dimana dilihat radiopak, radiolusent.
4) Garis M. Psoas simetris. Jika tidak simetris harus dilakukan transplantasi
ginjal.

b. IVP (Intra Vena Pielografi) / IVU (Intravenous Urography)


Memberikan konfirmasi cepat urolithiasis seperti penyebab nyeri abdomen atau
panggul. Tes ini juga dapat menunjukkan abnormalitas pada struktur anatomik
(distensi ureter) dan garis bentuk kalkuli. Saat ini, IVU/IVP memiliki peran yang
terbatas dalam manajemen. IVU/IVP menyediakan informasi yang berguna
mengenai ukuran batu, lokasi, dan radiodensity. Anatomi Calyceal, derajat
obstruksi, serta unit ginjal kontralateral juga dapat dinilai dengan akurasi. IVU/IVP
tersedia secara luas, dan interpretasinya baik standar. Selain itu, IVU/IVP
memungkinkan untuk kalkuli saluran kemih dapat dengan mudah dibedakan dari
radiografi non-urologi.
Keakuratan IVU/IVP dapat dimaksimalkan dengan persiapan usus yang tepat,
dan efek ginjal merugikan dari media kontras dapat diminimalkan dengan
memastikan bahwa klien terhidrasi dengan baik. Langkah-langkah persiapan
membutuhkan waktu dan sering tidak dapat dicapai ketika kondisi klien dalam
situasi darurat. Dibandingkan dengan ultrasonografi abdomen dan KUB radiografi,
IVU/IVP memiliki sensitifitas yang lebih besar (64-87%) dan spesifisitas (92-94%)
untuk mendeteksi batu ginjal. Kontras diperlukan untuk melakukan IVU/IVP. Efek
nefrotoksik kontras didokumentasikan dengan baik dari literatur IVU dan dibahas
secara singkat untuk memudahkan pembaca tentang kesepakatan klinis dengan
situasi di mana penggunaan kontras masih di pertanyaan.
c. Sistoureteroskopi
Visualisasi langsung kandung kemih dan ureter dapat menunjukkan batu dan
atau efek obstruksi (Borley 2006).
d. CT-scan
Pemindaian CT-scan akan menghasilkan gambar yang lebih jelas tentang ukuran
dan lokasi batu. Pemeriksaan ini dipakai untuk mengidentifikasi kalkuli dan masa lain;
ginjal, ureter, dan distensi kandung kemih. Sangat akurat mendiagnosa ureteral kalkuli,
sensitifitas sangat tinggi untuk mengidentifikasi obstruksi. Selain itu, CT-scan juga
sebagai Gold Standart dari pemeriksaan trauma urinari. Mengidentifikasi atau
menggambarkan kalkuli dan massa lain; ginjal, ureter, dan distensi kandung kemih
(Borley 2006).
e. Ultrasound ginjal (USG)
Ultrasonografi Doppler berwarna transabdomen untuk mendeteksi hilangnya
daya pancaran ureter ke dalam kandung kemih juga dianjurkan sebagai
pemeriksaan diagnostik pada klien dengan suspek urolithiasis (Leveno 2009).
USG ginjal digunakan untuk menunjukkan perubahan obstruksi, lokasi batu.
Namun Saat ini, USG memiliki penggunaan yang terbatas dalam diagnosis
urolithiasis dan stone of lower urinary. Ultrasonografi adalah teknik yang dapat
membaca dengan cepat yang memiliki sensitivitas tinggi dalam mendeteksi batu
ginjal. Penggunaan rutin USG paten pada klien yang mengalami kolik ginjal akut
terbatas. Menariknya, jika batu ureter divisualisasikan oleh USG, temuan ini dapat
diandalkan dengan spesifisitas dilaporkan 97%.
Meskipun peran untuk diagnostis terbatas, USG dapat memainkan peran
penting untuk manajemen dan tindak lanjut untuk klien dengan urolithiasis. USG
sangat sensitif terhadap hidronefrosis yang mungkin merupakan manifestasi dari
obstruksi saluran kemih. Selain itu, ultrasonografi abdomen adalah modalitas
penggambaran pilihan untuk evaluasi nyeri ginekologi, yang lebih umum daripada
urolithiasis pada wanita usia subur. Klien dalam kelompok usia anak serta klien
dengan riwayat batu nooradio calculi (asam urat) juga dapat dikelola radiografi
dengan USG (Pearl dan Nakada, 2009).
f. Sistoskopi
Sistoskopi adalah prosedur pemeriksaan dengan menyisipkan sebuah tabung
kecil fleksibel melalui uretra, yang memuat sebuah lensa dan sistem pencahayaan
yang membantu dokter untuk melihat bagian dalam uretra dan kandung kemih untuk
mengetahui kelainan dalam kandung kemih dan saluran kemih bawah.
Dengan prosedur ini, batu ginjal dapat diambil dari ureter, kandung kemih atau
uretra, dan biopsi jaringan dapat dilakukan. Retrograde pielografi adalah pemasukan
zat kontras melalui kateter ke dalam ureter dan pelvis ginjal, yang dapat dilakukan
selama sistoskopi. Dan berguna untuk mengetahui kerusakan dari serabut-serabut
otot pada kandung kemih (Chang 2009). Indikasi pemeriksaan ini yaitu klien dengan
kelainan anomali bladder, saluran kemih, dan batu ginjal.
g. Uroflowmetry dan Urodinamik
Berguna untuk mengukur kecepatan pengeluaran urin, tekanan bladder dan
tekanan abdominal. Serta untuk mendeteksi pancaran kencing sehingga dapat
mengetahui ada tidaknya kelainan pada saluran kencing bawah, seperti adanya
kelainan prostat (BPH) maupun kelainan striktur uretra. Interpretasi yang bisa
dilakukan yaitu dengan cara melihat nilai kecepatan pengeluaran urin (minimal 100
cc urin) sebagai berikut:
1) 0 10 ml/s : Obstruksi
2) 10-15 ml/s : Border line
3) >15 ml/s : Normal

h. Magnetic Resonance Urography (MRU)


Magnetic resonance urography (MRU) memiliki peran minimal dalam
diagnosis dan manajemen urolithiasis. MRU memberikan alternatif untuk NCCT
dalam pengaturan klinis tertentu, termasuk klien anak-anak dan ibu hamil. MRU
memberikan gambaran yang luar biasa dari saluran kemih dan telah terbukti
memiliki akurasi diagnosis batu dari 92,8%. Peran sekarang dari MRU masih
berkembang dan belum dianggap sebagai standar perawatan (Pearl dan Nakada,
2009).
i. Renogram
Pemeriksaan yang dikhususkan untuk klien yang terkena staghorn stone.
Berguna untuk menilai fungsi ginjal (Umamy 2007).

F. Penatalaksanaan Urolithiasis
Tujuan utama penatalaksanaan ini adalah untuk menghilangkan batu, mencegah
kerusakan nefron, dan mengendalikan infeksi, serta mengurangi obstruksi yang terjadi.
Ada beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada batu saluran empedu diantaranya:
1. Terapi konservatif
a. Terapi diet
Terapi diet ini terdiri dari terapi nutrisi dan terapi cairan. Terapi nutrisi berperan
penting dalam mencegah batu renal. Masukan cairan yang adekuat serta menghindari
makanan tertentu dalam diet juga dapat mencegah pembentukan batu. Setiap klien
yang memiliki riwayat batu renal harus minum paling sedikit 8 gelas air (+ 2-3 liter)
dalam sehari untuk mempertahankan urin encer, kecuali dikontraindikasikan.
Natrium selulosa fosfat telah diteliti lebih efektif dalam mencegah batu kalsium.
Adapun makanan yang harus dihindari atau dibatasi antara lain:
1) Makanan kaya vitamin D meningkatkan reabsorbasi kalsium;
2) Garam meja dan makanan tinggi natrium, karena Na+ bersaing dengan Ca2+
dalam reabsorbasinya diginjal.
3) Makanan yang banyak mengandung purin penyebab asam urat adalah JAS
BUKET (Jerohan, Alkohol, Sarden, Burung dara, Unggas, Kaldu, Emping, dan
Tape), maupun BENJOL (Bebek, Emping, Nangka, Jerohan, Otak, dan Lemak).
Menurut Brunner And Suddarth (2002) Daftar makanan dan minuman yang
harus dihindari adalah sebagai berikut:
1) Produk susu : Semua jenis keju, susu dan produk susu lainnya, krim asam.
2) Daging, ikan.
3) Sayuran : Lobak, bayam, buncis, seledri, kedelai.
4) Buah : Kismis, semua jenis beri, anggur.
5) Roti : Roti murni, gandum, catmeal, beras merah, jagung
giling, sereal.
6) Minuman : Teh, coklat, minuman berkarbonat, bir, semua
minuman yang dibuat dari susu atau produk susu.

b. Terapi farmakologi
1) Antispasmodik
Propantelin dapat digunakan untuk mengatasi spasme ureter.
2) Antibiotik
Pemberian antibiotik dilakukan apabila terdapat infeksi saluran kemih atau
pada pengangkatan batu untuk mencegah infeksi sekunder. Setelah dikeluarkan,
batu ginjal dapat dianalisis dan obat tertentu dapat diresepkan untuk mencegah
atau menghambat pembentukan batu berikutnya. Urin yang asam harus dibuat
basa dengan preparat sitrat (Chang 2009).
3) Analgesik
Opioid (injeksi morfin sulfat, petidin hidroklorida) atau obat AINS
(NSAIDs) seperti ketorolak dan naproxen dapat diberikan tergantung pada
intensitas nyeri.
c. Terapi kimiawi
1) Mempertahankan pH urin agar tidak terjadi kristalisasi batu
a) NaCO3- : Membuat urin lebih alkali pada asam
b) Asam askorbat : Membuat urin lebih asam pada alkali pencetus
2) Mengurangi ekskresi dari substansi pembentuk batu
a) Diuretik (tiazid) : Menurunkan eksresi kalsium ke dalam urin dan
menurunkan kadar parathormon. Efek samping gangguan metabolik,
dermatitis, purpura.
b) Alupurinol (zyloprim): Mengatasi batu asam dengan menurunkan kadar asam
urat plasma dan ekskresi asam urat ke dalam urin. Efek samping mual, diare,
vertigo, mengantuk, sakit kepala.
d. Herbal
Jus kulit manggis dan daun sirsak penghancur batu ginjal paling ampuh tanpa
menimbulkan efek samping. Daun sirsak berfungsi sebagai diuretik alami
penghambat terjadinya pembentukan batu yang baru dan penghancur batu yang
telah terbentuk dengan sangat efektif. Selain itu juga sebagai antioksidan yang
sangat tinggi berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh serta dapat mencegah
infeksi dan melancarkan peredaran darah sehingga urin (hasil buangan akhir lebih
sempurna). Serta banyak lagi kandungan daun sirsak seperti acetogenin, annocatin,
annocatalin, annohexocin. annonacin, annomuricin, anomourine, anonol,
caclourine, gentisic acid, gigantetronin, linoleid acid, muricapentosin yang sangat
baik untuk penderita batu ginjal.
Selain daun sirsak, khasiat kulit manggis tidak kalah pentingnya. Kulit
manggis mengandung suatu senyawa xanthone, yaitu zat antioksidan yang dapat
melawan radikal bebas. Senyawa ini baik untuk mengikis endapan di dalam tubuh
seperti batu ginjal, leburan batu ginjal akan terbuang bersama aliran urin.
2. Terapi non invasif
a. Pelarutan Batu
Jenis batu yang dapat dilarutkan adalah jenis batu asam urat. Batu ini hanya
terjadi pada keadaan pH air kemih yang asam (pH 6,2) sehingga hanya dengan
pemberian Natrium Bikarbonat (NaCO3-) disertai dengan makanan alkalis maka batu
akan larut bersama urin. Namun, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa
dengan pemberian NaCO3- bersamaan Allopurinol akan memberikan hasil yang baik
dengan menurunkan kadar asam urat air kemih.
Batu struvit tidak dapat dilarutkan tetapi dapat dicegah pembesarannya bila
diberikan pengobatan dengan pengasaman kemih dan pemberian antiurease. Bila
terdapat kuman, harus segera ditindaklanjuti. Akan tetapi, infeksi pada urolithiasis
sukar dihilangkan karena kuman ini berada di dalam batu yang tidak pernah dapat
dicapai oleh antibiotik. Solutin G merupakan obat yang dapat diberikan langsung ke
batu di kandung kemih. Selain Solutin G. juga dipakai obat Hemiasidrin untuk batu
di ginjal dengan cara irigasi, tetapi hasilnya kurang memuaskan kecuali untuk batu
sisa pasca bedah yang dapat diberikan melalui nefrostomi yang terpasang.
Kemungkinan penyulit dengan pengobatan seperti ini adalah intoksikasi atau infeksi
yang lebih berat (Sjamsuhidajat 2004).
b. Penghancuran batu (Litotripsi)
Batu kandung kemih dapat dipecahkan dengan memakai litotriptor secara
mekanis melalui sistoskopi atau dengan memakai gelombang elektrohidrolik atau
ultrasonik. Sedangkan untuk batu ureter, digunakan ureteroskopi dan batu dapat
dihancurkan memakai gelombang ultrasonik, elektrohidrolik, atau sinar laser. Beda
halnya dengan batu ginjal yang menggunakan litotripsi dilakukan dengan bantuan
nefroskopi perkutan untuk membawa transduser melalui sonde ke batu yang ada di
ginjal. Cara ini disebut nefrolitotripsi perkutan.
Terapi yang sering dipakai pada kasus ini adalah Extracorporeal Shock Wave
Lithotripsy (ESWL). Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL) adalah
prosedur dimana batu ginjal dan ureter dihancurkan menjadi fragmen-fragmen kecil
dengan menggunakan gelombang kejut. Terapi non-invasif ini membuat klien
terbebas dari batu tanpa pembedahan ataupun endoskopi. ESWL merupakan alat
pemecah batu ginjal dengan menggunakan gelombang kejut antara 15-22 kilowatt.
Meskipun hampir semua jenis dan ukuran batu ginjal dapat dipecahkan oleh ESWL,
namun masih perlu ditinjau efektifitas dan efisiensi dari alat ini. ESWL hanya
sesuai untuk menghancurkan batu ginjal dengan ukuran kurang dari 3 cm serta
terletak di ginjal atau saluran kemih antara ginjal dan kandung kemih (kecuali yang
terhalang oleh tulang panggul). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jenis batu
apakah bisa dipecahkan oleh ESWL atau tidak. Batu yang keras (misalnya kalsium
oksalat monohidrat) sulit pecah dan perlu beberapa kali tindakan.

3. URS (Ureter Resection Cytoscopy/ Ureterorenoskopi)


Ureteroskopi adalah pengembangan dari sistoskopi dan berangsur-angsur menjadi
bentuk teknik utama untuk diagnosis dan terapi kelainan di dalam ureter atau bahkan
dengan ureterorenoskop fleksibel dapat dicapai semua kaliks dalam ginjal.
Ureteronoskopi (URS) atau ureteropieloskopi adalah tindakan endoskopi ureter sampai
pelvis renalis dengan menggunakan alat ureteroskop atau ureterorenoskop, dan digunakan
untuk tujuan diagnostik dan intervensi terapetik. Sebenarnya URS merupakan
pengembangan dari teknik sistoskopi. Alat URS dapat dimasukkan secara retrograde
lewat orifisium ureter atau secara antegrade melalui trek nefrotomi.
URS adalah alat pemecah batu saluran kemih yang menggunakan power ultrasonik
atau pneumatik. URS merupakan tindakan invasif secara minimal. Geratan yang
digunakan high frequency sehingga hanya akan merusak batu namun aman bagi jaringan
lunak. URS ini berguna untuk pemeriksaan batu yang letaknya di saluran kemih bagian
bawah ureter dan kandung kemih. Cara penggunaan alat ini dimasukkan melalui penis.
Pada prosedur URS suatu endoskopi semi rigid atau fleksibel dimasukkan ke dalam
ureter bagian lewat buli-buli di bawah anastesi umum atau regional. Dengan ureteroskop
yang flaksibel dapat mencapai batu dalam kaliks ginjal dan dapat dapat diambil atau
dihancurkan dengan semua elektrohidroulik atau laser.
Indikasi URS yaitu besar batu > 4mm sampai 15mm.
4. Metode endurologi
Bidang endourologi menggabungkan keterampilan ahli radiologi dan urologi untuk
mengangkat batu renal tanpa pembedahan mayor. Nefrostomi perkutan dilakukan dan
nefroskopi dimasukkan ke traktus perkutan yang sudah dilebarkan ke dalam parenkim
renal. Batu dapat diangkat dengan forceps atau jaring, tergantung dari ukurannya.
5. Pengangkatan batu dengan pembedahan terbuka
Jika lokasi batu di dalam ginjal, pembedahan dapat dilakukan dengan nefrolitotomi,
atau nefrektomi jika ginjal tidak berfungsi akibat infeksi atau hidronefrosis. Pembedahan
yang sering dilakukan dengan laparoskopi. Pembedahan jenis ini digunakan untuk
mengambil batu saluran kemih. Cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu ureter
diantaranya bedah terbuka:
1) Pielolitotomi atau nefrolitotomi : mengambil batu di saluran ginjal
2) Ureterolitotomi : mengambil batu di ureter.
3) Vesikolitotomi : mengambil batu di vesica urinaria
4) Ureterolitotomi : mengambil batu di uretra.

G. Patofisiologis
Tugas utama ginjal adalah mengeluarkan produk samping metabolisme yang
meliputi kalsium, oksalat, dan asam urat. Ketika konsentrasi mineral tersebut meningkat,
maka batu dapat terbentuk di traktus urinarius. Secara teoritis batu dapat terbentuk diseluruh
saluran kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin
(stasis urin), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Ada tidaknya zat inhibitor dalam
urin, seperti magnesium, pirofosfat, sitrat dan substansi lain juga menjadi faktor yang
menentukan dalam pembentukan batu (Chang 2009), karena substansi tersebut secara
normal mencegah kristalisasi dalam urin (Smeltzer et. al, 2002).
Pembentukan batu urinarius juga dapat terjadi pada penyakit inflamasi usus dan pada
individu dengan ileostomi atau reseksi usus, karena individu ini mengabsorbsi oksalat secara
berlebihan. Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun
anorganik yang terlarut di dalam urin. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan
metastable (tetap terlarut) dalam urin, jika tidak ada keadaan tertentu yang menyebabkan
terjadinya presipitasi kristal.
Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi)
yang kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi
kristal yang lebih besar. Meskipun ukuranya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan
belum cukup mapu membuntu saluran kemih. Oleh karena itu, agregat kristal menempel
pada epitel saluran kemih (membentuk retensi kristal) dan dari sini bahan-bahan lain
diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat
saluran kemih. Kondisi metastable dipengaruhi oleh suhu, PH larutan, adanya koloid di
dalam urin, konsentrasi solut di dalam urin, laju aliran urin didalam saluran kemih, atau
danya korpus alineum di dalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu (Purnomo
2011).
Apabila volume urin sedikit, bahan tersebut membuat urin sangat jenuh hingga
terbentuk kristal, sedangkan pH urin dan status cairan klien dapat mempengaruhhi laju
pembentukan batu karena batu cenderung terjadi pada klien dehidrasi. Selain karena urin
sangat jenuh, pembentukan batu dapat juga terjadi pada individu yang memiliki riwayat batu
sebelumnya atau pada individu yang stasis karena imobilitas (Chang 2009).
Ketika batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi menyebabkan peningkatan
tekanan hidrostatik dan distensi piala ginjal (hidronefrosis) dan ureter proksimal
(hidroureter). Ada pula beberapa batu yang menyebabkan sedikit gejala, namun secara
perlahan merusak unit fungsional (nefron) ginjal, sedangkan yang lain menyebabkan nyeri
yang luar biasa dan ketidaknyamanan. Nyeri yang berasal dari area renal menyebar secara
anterior dan pada wanita ke bawah mendekati kandung kemih, sedangkan pada pria
mendekati testis. Bila nyeri mendadak menjadi akut, disertai nyeri tekan diseluruh area
kostovertebral dan muncul mual dan muntah maka klien sedang mengalami episode kolik
renal (Smeltzer et. al, 2002).
Jenis nyeri ini disertai dengan rasa sakit menetap di daerah kostovertebral (titik di
bagian pungggung yang berhubungan dengan iga ke-12 dan tepi lateral muskulus
sakrospinalis). Gejala gastrointestinal seperti diare dan ketidaknyamanan abdominal dapat
terjadi akibat dari refleks renointestinal dan proksimal anatomik ginjal ke lambung, pankreas
dan usus besar. Gejala kolik ginjal dapat sangat hebat hingga timbul respon saraf simpatik
berupa mual, muntah, kulit pucat, dingin dan lembab (Chang 2009).
Batu yang terjebak di ureter menyebabkan gejala kolik ureteral berupa gelombang
nyeri yang luar biasa, akut dan kolik yang menyebar ke paha dan genitalia. Rasa nyeri hebat
dan bersifat hilang timbul karena spasme yang terjadi pada ureter ketika berupaya untuk
mendorong batu turun (Chang 2009).
Klien sering merasa ingin berkemih namun hanya sedikit urin yang keluar dan
biasanya mengandung darah akibat aksi abrasif batu. Inflamasi kontinu akibat permukaan
batu yang kasar dapat mengakibatkan infeksi ginjal (pielonefritis) atau kandung kemih
(sistitis) sehingga timbul demam, menggigil, sering berkemih, hematuria, rasa sakit dan
terbakar ketika berkemih. Jika batu menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih akan
terjadi retensi urin (Smeltzer et. al, 2002).
Jika batu berukuran kecil, dapat keluar tanpa gejala apa pun, namun jika ukurannya
besar, dapat menimbulkan obstruksi dan trauma. Umumnya klien akan mengaluarkan batu
dengan diameter 0,5 sampai 1 cm secara spontan. Batu dengan diameter lebih dari 1 cm
biasanya harus diangkat atau dihancurkan sehingga dapat diangkat atau dikeluarkan secara
spontan (Smeltzer et. al, 2002).
Purnomo (2011) Menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar urologi
mengenai teori pembentukan batu saluran kemih.
Secara teoritis batu dapat berbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada tempat-
tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin (statis urin) yaitu pada sistem kalises
ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises (stenosis uretero-pelvis),
divertikel, obstruksi infravesika kronis seperti pada hiperplasia benigna prostat, striktura dan
buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya
pembentukan batu. Batu tersebut terdiri atas kristal-kristal yang tersusun bahan-bahan
organik dan anorganik yang terlarut dalam urin.
Terbentuk atau tidaknya batu saluran kemih juga ditentukan oleh adanya
keseimbangan antara zat pembentuk batu dan inhibitor, yaitu zat yang mampu mencegah
timbulnya batu. Dikenal beberapa zat yang dapat menghambat terbentuknya batu saluran
kemih yang bekerja mulai dari proses reabsorbsi kalsium dalam usus, proses pembentukan
inti batu atau Kristal, proses agregasi kristal hingga retensi kristal.
Konsep Asuhan Keperawatan Umum

A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Data demografi
Terdiri dari nama, usia, jenis kelamin, alamat, pendidikan, pekerjaan, diagnosa medis,
agama, suku bangsa klien dan keluarga penanggung jawabnya.
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan dari klien bergantung pada posisi atau letak batu, ukuran batu, dan
penyulit yang ada. Nyeri akibat adanya peningkatan tekanan hidrostatik di daerah
abdomen bagian bawah yakni berawal dari area renal meluas secara anterior dan
pada wanita ke bawah mendekati kandung kemih sedangkan pada pria mendekati
testis. Nyeri yang dirasakan bisa berupa nyeri kolik atupun non kolik. Nyeri kolik
hilang timbul akibat spasme otot polos ureter karena peningkatan aktivitas untuk
mengeluarkan batu. Sedangkan nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul
ureter karena hidronefrosis atau infeksi pada ureter. Apabila urolithiasis disertai
dengan adanya infeksi maka demam juga akan dikeluhkan. Keluhan kencing
seperti disuria, retensi urin atau gangguan miksi lainnya dikeluhkan klien saat
pertama datang ke tenaga kesehatan.
2) Riwayat penyakit sekarang
Klien awalnya mengeluhkan perubahan gangguan eliminasi urin yang
dialami (oliguria, disuria, hematuria). Biasanya seiring berjalannya waktu dan
tingkat keparahan penyakit maka nyeri mulai dirasakan dan nyeri ini bersifat
progresif. Respon dari nyeri itu sendiri yakni munculnya gangguan
gastrointestinal, seperti keluhan anoreksia, mual, dan muntah yang menimbulkan
manfestasi penurunan asupan nutrisi umum. Mengkaji berapa lama dan berapa
kali keluhan tersebut dirasakan, apa yang dilakukan, kapan keluhan tersebut
muncul adalah penting untuk mengetahui riwayat perjalanan penyakit.

3) Riwayat penyakit dahulu


Adanya riwayat batu ginjal sebelumnya, riwayat mengalami gangguan
haluaran urin sebelumnya, riwayat ISK, riwayat hiperkalsemia ataupun
hiperkalsiuria, riwayat hiperparatiroidisme, riwayat penyakit kanker (berhubungan
dengan adanya malignansi), dan riwayat hipertensi yang bisa menjadi faktor
penyulit pada kasus urolithiasis, penderita osteoporosis yang menggunakan obat
dengan kadar kalsium yang tinggi.
4) Riwayat penyakit keluarga
Keluarga pernah menderita urolithiasis, adanya riwayat ISK, riwayat
hipertensi, riwayat kalkulus dalam keluarga, penyakit ginjal, gout, riwayat
penyakit usus halus, riwayat bedah abdomen sebelumnya, hiperparatiroidisme.
c. Riwayat penggunaan obat
Adanya riwayat pengunaan obat-obatan tinggi kalsium, antibiotik, opioda,
antihipertensi, natrium bikarbonat, alupurinol, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan
kalsium dan vitamin.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala dan leher: Kepala normal dan bentuk simetris, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid, tidak ada keterbatasan gerak leher.
b. Mata: Mata normal
c. Hidung: Hidung normal, jalan nafas efektif, tidak menggunakan pernapasan cuping
hidung.
d. Telinga: Fungsi pendengaran kien baik.
e. Mulut dan gigi: mukosa bibir kering atau lembab, tidak ada peradangan pada mulut,
mulut dan lidah bersih.
f. Dada
1) Inspeksi: Dada klien simetris.
2) Palpasi: Dada klien simetris tidak ditemukan adanya benjolan.
3) Perkusi: Tidak ditemukan adanya penumpukan sekret, cairan atau darah di
daerah paru.
4) Auskultasi: Suara napas normal, dan terdengar suara jantung.

g. Abdomen
1) Inspeksi: Warna kulit, turgor kulit baik.
2) Auskultasi: Peristaltik usus 12x/menit
3) Palpasi: Adanya nyeri tekan pada abdomen kiri bawah
4) Perkusi: -
h. Genetalia: Hasil pengkajian keadaan umum dan fungsi genetalia tidak ditemukan
adanya keluhan atau kelainan bentuk anatomi.
i. Pola aktifitas: Perkejaan yang dilakukan monoton seperti sopir bus.
j. Pola sirkulasi: Adanya peningkatan TD/nadi (nyeri, anseitas, gagal ginjal). Kulit
hangat dan kemerahan, pucat.
k. Pola eliminasi: Riwayat adanya ISK Kronis atau obstruksi sebelumnya (kalkulus).
Terjadi penurunan haluaran urin yang ditandai dengan adanya rasa seperti terbakar,
oliguria, hematuria, piuria, perubahan pola berkemih.
l. Pola intake makanan dan cairan: Klien mual dan muntah, nyeri tekan pada
abdomen. Diet rendah purin, kalsium oksalat, dan fosfat. Ketidakcukupan
pemasukan cairan, tidak minum air dengan cukup yang ditandai dengan distensi
abdomen, penurunan suara bising usus.
m. Nyeri: Terjadi secara akut atau bisa juga terjadi nyeri kronik. Lokasi nyeri
tergantung pada lokasi batu, contoh pada panggul di region sudut kostovetebral
(CVA) dan dapat menyebar ke seluruh punggung, abdomen, dan turun ke lipat paha
serta genitalia. Nyeri dangkal konstan menunjukan kalkulus ada di pelvis atau
kalkulus ginjal. Nyeri dapat digambarkan sebagai akut, hebat tidak hilang dengan
posisi atau tindakan lain yang ditandai dengan prilaku distraksi, terjadi demam dan
menggigil.
Pemeriksaan fisik dengan metode ROS:
1. B1 (breathing)
Pola napas cepat dan dalam pada kussmaul menunjukkan adanya asidosis metabolik.
Jika memberat, edema paru bisa ditemukan menjadi penyakit paru uremik (edema
paru nonkardiogenik). Ronkhi terdengar karena beban volume berlebihan pada paru
sebagai akibat dari retensi natrium dan air. Klien sering mengalami infeksi karena
imunosupresi pada gagal ginjal terminal.
2. B2 (blood)
Gagal ginjal kronik bisa memicu gagal jantung kongestif. Sedangkan gagal ginjal
terminal dapat menimbulkan manifestasi anemia karena eritopoiesis. Keadaan hidrasi
klien penting diperiksa pada semua klien dengan masalah kesehatan yang
berhubungan dengan sistem perkemihan.
3. B3 (brain)
Periksa adanya anemia dan ikterus (jarang ditemukan) sebagai akibat dari retensi
nitrogen yang menyebabkan hemolisis. Fetor uremikum (bau amoniak hasil
pemecahan urea di dalam saliva). Stomatitis dan ulkus dapat dijumpai karena ada
penurunan aliran saliva sehingga memunculkan risiko infeksi. Pada sistem persarafan
sendiri, pada klien kronis berat adalah somnolen sampai koma karena retensi nitrogen
atau toksik.
4. B4 (bladder)
a. Inspeksi
a) Amati pembesaran pada daerah pinggang dan abdomen yang mungkin terlihat karena
adanya hidronefrosis.
b) Pemeriksaan eliminasi urin
Perubahan yang terjadi biasanya adalah perubahan pancaran miksi akibat dari obstruksi
pada saluran kemih atau kelainan neurologis atau pascatrauma pada saluran kemih.
c) Pemeriksaan genitalia eksterna
Mencakup genitalia eksternal dan cincin. Melalui inspeksi, perhatikan adanya kelainan
pada penis dan uretra, misalnya mikropenis, makropenis, hipospadia, kordae, epispadia,
stenosis pada meatus eksterna, fimosis/parafimosis, fistel uretrokutan, ulkus, tumor, dan
keganasan penis.
d) Maturitas seksual
Mengkaji kematangan seksual klien, dari ukuran dan bentuk penis dan testis, warm dan
tekstur kulit skrotum dengan karakternya, dan distribusi rambut pubis. Inspeksi juga kulit
yang menutup genitalia untuk kutu,ruam, ekskoriasi, ataupun lesi.
e) Penis
Inspeksi struktur penis, termasuk batang, korona, prepusium, glans, dan meatus uretra
untuk mengkaji adanya lesi. Vena dorsalis harus terlihat saat inspeksi. Lakukan palpasi
untuk mengkaji adanya nyeri ataupun kondisi abnormal.
f) Skrotum
Inspeksi bentuk, ukuran dan kesimetrisan juga adanya lesi dan edema.
b. Auskultasi
Kaji adanya bruit renal dan paling terdengar tepat di atas umbilikus sekitar 2cm dari sisi
kanan atau sisi kiri garis tengah.
c. Perkusi
Memberikan ketokan pada sudut kostovertebra (CVA). Pada klien dengan pielonefritis,
batu ginjal pada pelvis, dan batu ureter akan terasa nyeri.
d. Palpasi
Ginjal teraba unilateral Ginjal teraba bilateral
Hipernefroma (kasrsinoma sel ginjal) Karsinoma sel ginjal bilateral
Hidronefrosis atau pionefrosis
Hidronefrosis atau pionefrosis
bilateral
Ginjal polikistik (dengan pembesaran
Ginjal polikistik
yang asimetris)
Ginjal kanan normal/ginjal soliter Sindrom nefrotik, nefropati diabetika
Pemeriksaan kandung kemih dengan palpasi dan perkusi kandung kemih dilakukan
untuk menentukan batasnya dan adanya nyeri tekan pada area suprasimfisis. Perhatikan
adanya benjolam atau masa atau jaringan parut di suprasimfisis. Masa yang teraba
mungkin merupakan kandung kemih yang penuh sebagai akibat dari retensi urin yang
dialami.
5. B5 (bowel)
Stomatitis dan bau amonia pada klien dengan masalah ginjal dapat menimbulkan
anoreksia yang berpotensi pada penurunan pemenuhan nutrisi tubuh. Selain itu, ulkus
mukosa mulut dan lambung dapat memperberat anoreksia lebih lagi. Kaji adanya asites di
abdomen akibat berkumpulnya cairan karena sindrom nefrotik sebab hipoalbuminemia.
6. B6 (bone)
Kulit dapat kekuningan akibat gagal ginjal kronis atau abu-abu sampai merah tua akibat
desposisi zat besi pada klien yang melakukan transfusi darah multipel. Sedangan kuku
klien biasanya ada leukonikia karena hipoalbumin, yang ditandai dengan proteinuria
berat (>3,5 gr/24jam), kadar albumin serum rendah (<30 g/l) dan edema karena
kerusakan pada glomerulus. Edema ekstremitas (pitting edema) juga mungkin ditemui.

3.2 Analisa Data


N DATA ETIOLOGI MK
O
1. DS: klien mengeluh Urolithiasis Nyeri Akut
nyeri pada pinggang
(S) menjalar sampai Obstruksi pada traktus urinarius
meatus uretra
DO: wajah klien Tekanan hidrostatik meningkat
meringis kesakitan.
P: nyeri timbul Distensi pada ureter proksimal
karena adanya
distensi pada ureter Frekuensi kontraksi ureter
Q: nyeri kolik meningkat
R: pinggang (S)
sampai meatus
uretra Peningkatan tekanan pada
S: skala nyeri 7 (dari dinding ureter
0-10) wajah
meringis kesakitan
dan lutut menekuk
Trauma
untuk menahan sakit
T: nyeri hilang
Terputusnya saraf
timbul dan nyeri
hebat saat berkemih
Melepaskan reseptor nyeri

Nyeri
2. DS: klien Obstruksi pada traktus urinarius Retensi Urin
mengatakan sulit
BAK dan hanya
keluar sedikit serta Penurunan reabsorbsi dan
sering BAK malam sekresi turbulensi ginjal
hari
DO:
1. BAK output 1000
Gangguan fungsi ginjal
cc/hari berwarna
kuning jernih dan
intake cairan 1500
cc/hari. Penurunan produksi urin
2. Distensi abdomen (tertahan di kandung kemih)
bagian bawah
(daerah simpisis)
3. Disuria
4. Hesistensi
5. Retensi urin
3. DS : Suhu tubuh px Urolithiasis Risiko Infeksi
meningkat
DO : Adanya batu di uretra
- Hematuria
- Px menggunakan Batu terdorong oleh urin dan
alat bantu kateter melukai uretra

Pemasangan alat bantu kateter

Hygiene kurang

Infeksi

3.3 Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri akut b.d peningkatan frekuensi dorongan dan gesekan pada saluran kemih
2. Retensi urin b.d obstruksi saluran kemih
3. Risiko infeksi b.d prosedur invasif (Sistoskopi atau penggunaan kateter)

3.3 Intervensi
Diagnosa
No NOC NIC
Keperawatan
1. Nyeri akut b.d Tujuan: MANAJEMEN NYERI
peningkatan Setelah dilakukan perawatan (KONTROL NYERI)
frekuensi 2x24 jam klien melaporkan 1. Kaji nyeri secara komprehensif
dorongan nyeri berkurang atau hilang. meliputi lokasi, karakteristik,
gesekan pada onset, frekuensi, kualitas,
saluran kemih Kriteria hasil: intensitas atau beratnya nyeri dan
1. Nyeri terkontrol yang dilihat faktor presipitasi
dari indikator: 2. Observasi ekspresi klien secara
1) Klien menuliskan gejala nyeri non verbal agar mengetahui
berkurang (skala 1-5) tingkat nyeri
2) Klien dapat menjelaskan faktor 3. Kolaborasi pemberian analgesik
penyebab nyeri sesuai advis dokter dan monitoring
3) Klien dapat mengetahui respon klien
intervensi yang dilakukan untuk 4. Kaji pengetahuan dan perasaan
mengurangi nyeri (farmaka dan klien mengenai nyerinya
non farmaka) 5. Kaji dampak nyeri terhadap
4) Klien melaporkan perubahan kualitas hidup klien (ADL)
gejala nyeri yang terkontrol pada6. Ajak klien untuk mengkaji faktor
tim medis yang dapat memperburuk nyeri
5) Klien mengetahui onset nyeri 7. Kontrol faktor lingkungan yang
2. Level nyeri dapat mempengaruhi
1) Laporan nyeri ketidaknyamanan klien
2) Durasi nyeri 8. Ajarkan teknik nonfarmakologi
3) Ekspresi wajah klien (relaksasi, terapi musik, distraksi,
4) Tidak terjadi diaporesis terapi aktifitas, masase)
3. TTV dalam batas normal (TD:
120/80 mmHg, Nadi: 16-
20x/menit)
4)
2. Retensi urin b.d Tujuan: 1. Urinary Retention Care
obstruksi saluran Setelah dilakukan tindakan 1) Monitor intake dan output
kemih keperawatan 3x24 jam retensi 2) Monitor penggunaan obat
urin klien dapat teratasi. antikolinergik
3) Monitor derajat distensi bladder
Kriteria Hasil: 4) Instruksikan pada klien dan
1. Kandung kemih kosong secara keluarga untuk mencatat output
penuh urine
2. Tidak ada residu urin >100-2005) Sediakan privasi untuk eliminasi
cc 6) Stimulasi refleks bladder dengan
3. Intake cairan dalam rentang kompres dingin pada abdomen.
normal 7) Kateterisaai jika perlu
4. Bebas dari ISK 8) Monitor tanda dan gejala ISK
5. Tidak ada spasme bladder (panas, hematuria, perubahan bau
6. Balance cairan seimbang dan konsistensi urine)
7. Level nyeri 2. Monitoring kadar albumin,
1) Laporan nyeri protein total
3. Lakukan perawatan perineal dan
2) Durasi nyeri
perawatan selang kateter
3) Ekspresi wajah klien
4. Dorong klien untuk berkemih tiap
4) Tidak terjadi diaporesis
2-4 jam dan bila tiba-tiba
8. Eliminasi urin optimal dilihat
dirasakan.
dari indikator: 5. Ajarkan serta demonstrasikan
1) Pola berkemih kepada klien dan anggota keluarga
2) Jumlah urin tentang teknik berkemih yang
3) Warna urin akan digunakan di rumah.
4) Intake cairan Sehingga klien dan keluarga
5) Kejernihan urin mampu melakukannya dengan
6) Bau urin mandiri.
6. Kolaborasikan obat diuretik
3. Risiko infeksi b.d Tujuan: KONTROL INFEKSI
prosedur invasif Setelah dilakukan tindakan Pertahankan teknik aseptif
(Sistoskopi atau keperawatan selama 1x24 jam 2. Cuci tangan setiap sebelum dan
penggunaan infeksi pada klien dapat sesudah tindakan keperawatan
kateter) terkontrol 3. Gunakan baju, sarung tangan
sebagai alat pelindung
4. Gunakan kateter intermiten untuk
Faktor-faktor Kriteria Hasil:
menurunkan infeksi kandung
risiko : 1. Klien bebas dari tanda dan
kemih
1. Prosedur gejala infeksi (tumor, dolor,
5. Tingkatkan intake nutrisi
Invasif rubor, kolor, fungsio laesa) 6. Dorong klien untuk memenuhi
2. Inadekuat 2. Menunjukkan kemampuan intake cairan
7. Berikan terapi antibiotik
pertahanan untuk mencegah timbulnya
sekunder infeksi
PROTEKSI TERHADAP
(penurunan Hb, 3. Jumlah leukosit dalam batas
INFEKSI
Leukopenia, normal (4000 10.000/mm3)
1. Monitoring tanda dan gejala
penekanan respon4. Status imunitas baik dilihat dari
infeksi sistemik dan lokal
inflamasi) indikator: 2. Inspeksi kulit dan membran
c) 1) Suhu tubuh mukosa terhadap kemerahan,
2) Fungsi respirasi panas, drainase
3. Monitoring adanya luka
3) Fungsi gastrointestinal
4. Batasi pengunjung bila perlu
4) Fungsi genitourinaria 5. Dorong klien untuk istirahat
6. Ajarkan klien dan keluarga tanda
5) Integritas kulit
dan gejala infeksi
6) Integritas mukosa
7. Kaji suhu badan pada klien
neutropenia setiap 4 jam
8. Laporkan kecurigaan infeksi

Daftar Pustaka
Blackwell, Wiley. 2014. Nursing Diagnosis: Definitions 7 Classification 2015-2017 Tenth
Edition. UK NANDA International, Inc.
Borley, P. A. (2006). At a Glance Ilmu Bedah Edisi ketiga. Jakarta: Erlangga
Bulecheck G. et al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC) Sixth Edition. Elsevier:
Saunders
Chang, Esther. 2009. Patofisiologi Aplikasi Pada Praktek Keperawatan. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi Ed.3. Jakarta: EGC
Moorhead et al. 2013. Nursing Outcome Classification (NOC) Fifth Edition. Elsevier: Saunders
Nursalam .2006. Sistem Perkemihan.Jakarta : Salemba Medika
Pearl, MS., Nakada, SY. 2009. Medical and Surgical Management of Urolithiasis. Informa: UK
Purnomo, Basuki.2011. Dasar-Dasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta: Sagung Seto
Smeltzer, Suzanne C. dan Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi
8 Vol. 2. Jakarta: EGC
Stoller ML Bolton DM Urinary Stone Disease In: Tanagho EA, Mc Aninch JW Smiths General
Urology,ed.5. New York: Mc Graw-Hill Companie, 2000, 291-316.
Suharyanto, Toto dan Madjid, Abdul. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta Timur: CV. Trans Info Media
Syaifuddin,H. 2011. Anatomi Fisiologi Kurikulum Berbasis Kompetensi Edisi ke tiga.
Jakarta :EGC
Umamy, V. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga by Pierce A. Grace & Neil R. Borley.
Jakarta: Penerbit Erlangga

Anda mungkin juga menyukai