Anda di halaman 1dari 16

PERKEMBANGAN MORAL PESERTA DIDIK

Makalah
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Perkembangan Peserta Didik
Yang Diampu oleh Ibu Henny Indreswari, Dra., M.Pd.

Disusun Oleh
Aufa Id'ha Veranda Putri 160121600250
Dini Hapsari 160121606884
Indra Wisnu Perdana 160121600269
Irfan 160121600206
Mohammad Mahdi Fahruly 160121600295
Rinjani Ratnasari Afianto 160121600221

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
S1 TEKNOLOGI PENDIDIKAN
APRIL 2017
Kata Pengatar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini dapat
tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari
pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar
menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan
dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Malang, April 2017

Penyusun
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan anak ada dua proses yang beroperasi secara kontinu, yaitu
pertumbuhan dan perkembangan. Banyak orang yang menggunakan istilah pertumbuhan
dan perkembangan secara bergantian. Kedua proses ini berlangsung secara
interdependensi, artinya saling bergantung satu sama lain. Kedua proses ini tidak bisa
dipisahkan dalam bentuk-bentuk yang secara pilah berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi bisa
dibedakan untuk maksud lebih memperjelas penggunaannya.
Karena pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dilihat dari tahapan
tersebut memiliki kesinambungan yang begitu erat dan penting untuk dibahassama
dengan faktor-faktor dasar perkembangan peserta didik perlu diketahui agar
perkembangan peserta didik dapat diketahui oleh pengajar seperti emosional, kecerdasan,
sosial dan bahasa dapat dikembangkan kearah yang lebih baik lagi.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian moral dan perkembangan moral?
2. Bagaimana tahapan-tahapan perkembangan moral?
3. Bagaimana Perkembangan moral anak Paud?
4. Bagaimana Perkembangan moral anak SD?
5. Bagaimana Perkembangan moral anak Remaja?
6. Bagaimana gangguan moral pada anak dan cara menanggulanginya?
C. Tujuan Materi
1. Untuk mengetahui pengertian dari moral dan perkembangan moral
2. Untuk pengetahui karakteristik perkembangan moral dari Paud sampai remaja
3. Untuk mengetahui gangguan dari moral dan cara Penanggulangannya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Moral dan Perkembangan Moral
Secara etimologi istilah moral berasal dari bahasa Latin mos, moris (adat, istiadat,
kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan) mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak,
akhlak) Banyak ahli menyumbangkan pemikirannya untuk mengartikan kata moral secara
terminologi. Dagobert D. Runes Moral adalah hal yang mendorong manusia untuk
melakukan tindakan-tindakan yang baik sebagai kewajiban atau norma. Helden
(1977) dan Richards (1971) Moral adalah suatu kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan
tindakan dibandingkan dengan tindakan-tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan
terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Atkinson (1969) Moral merupakan pandangan
tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan
Perilaku tak bermoral ialah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan yang sesuai
dengan harapan sosial yang disebabkan dengan ketidaksetujuan dengan standar sosial
atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri.sementara itu perilaku amoral atau
nonmoral adalah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial, akan tetapi hal itu
lebih disebabkan oleh ketidak acuhan terhadap harapan kelompok sosial dari pada
pelanggaran sengaja terhadap standar kelompok.
Setelah kita mengetahui arti dari kedua suku kata yaitu perkembangan dan moral
maka selanjutnya yaitu kita muali memahami arti dari gamungan dua kata tersebut
Perkembangan Moral Santrock (1995) Perkembangan moral adalah perkembangan
yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan
oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Perkembangan moral adalah
perubahan-perubahan perilaku yang terjadi dalam kehidupan anak berkenaan dengan
tatacara, kebiasaan, adat, atau standar nilai yang berlaku dalam kelompok sosial.
B. Tahap-tahap Perkembangan Moral
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang
berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh
Lawrence Kohlberg.
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku
etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti
perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget,
yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan
konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa
proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan
perkembangannya berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang
mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya.
Tahap-tahap perkembangan moral yang sangat dikenal diseluruh dunia adalah yang
dikemukakan oleh Lawrence E. Kohlbert (1995), yaitu sebagai berikut:
1. Tingkat Prakonvensional
Tingkat prakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral masih
ditafsirkan oleh individu/anak berdasarkan akibat fisik yang akan diterimanya baik
berupa sesuatu yang menyakitkan atau kenikmatan. Tingkat prakonvensional
memiliki dua tahap, yaitu:
a. Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan
Pada tahap ini, akibat-akibat fisik pada perubahan menentukan baik buruknya
tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya
semata-mata menghidari hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa
mempersoalkannya.
b. Tahap 2: Orientasi relativis-instrumental
Pada tahap ini, perbuatan dianggap benar adalah perbuatan yang merupakan cara
atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga
kebutuhan orang lain. Hubungan antarmanusia diipandang seperti huubungan di
pasar yang berorientasi pada untung-rugi.
2. Tingkat Konvensional
Tingkat konvensional atau konvensional awal adalah aturan-aturan dan ungkapan-
ungkapan moral dipatuhi atas dasar menuruti harapan keluarga, kelompok, atau
masyarakat.Tingkat konvensional memiliki dua tahap, yaitu:
a. Tahap 3: Orientasi kesepakatan antara pribadi atau disebut orientasi Anak
Manis
Pada tahap ini, perilaku yang dipandang baik adalah yang menyenangkan dan
membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka.
b. Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban
Pada tahap ini, terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap, penjagaan
tata tertib sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban
sendiri, menhormati otoritas, aturan yang tetap, dan penjagaan tata tertib sosial
yang ada. Semua ini dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya.
3. Tingkat Pascakonvensional, Otonom, atau Berdasarkan Prinsip
Tingkat pascakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral
dirumuskan secara jelas berdasarkan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki
keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang
berpegang pada prinsip tersebut dan terlepas pula dari identifikasi diri dengan
kelompok tersebut.Tingkat pascakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:
a. Tahap 5: Orientasi kontrak sosial legalitas
Pada tahap ini, individu pada umumnya sangat bernada utilitarian. Artinya
perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran
individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh
masyarakat. Pada tahap ini terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme
nilai dan pendapat pribadi sesuai dengan relativisme nilai tersebut. Terdapat
penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan, terlepas dari apa
yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, dan hak adalah
masalah nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut
pandang legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah
hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial. Di luar
bidang hukum, persetujuan bebas, dan kontrak merupakan unsur pengikat
kewajiban .
b. Tahap 6: Orientasi prinsip dan etika universal
Pada tahap ini, hak ditentukan oleh suara batin sesuai dengan prinsip-prinsip
etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu kepada komprehensivitas logis,
universalitas, dan konsestensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis,
bukan merupakan peraturan moral konkret. Pada dasarnya inilah prinsip-prinsip
universal keadilan, resiprositas, persamaan hak asasi manusia, serta rasa hormat
kepada manusia sebagai pribadi.
C. Perkembangan Moral pada Anak PAUD
Dalam mempelajari perkembangan sikap moral peserta didik usia sekolah, piaget
(sinolungun, 1997) mengemukakan tiga tahap perkembangan moral sesuai dengan kajian
pada aturan dalam permainan anak.
1. Fase absolut, dimana anak menghayati peraturan sebagai sesuatu hal yang mutlak,
tidak dapat diubah, karena berasal dari otoritas yang dihormati (orang tua, guru, anak
yang lebih berkuasa)
2. Fase realitas, dimana anak menyesuaikan diri untuk menghindari penolakan orang
lain. Dalam permainan, anak menaati aturan yang disepakati bersama sebagai suatu
kenyataan/realitas yang dapat diubah asal disetujui bersama.
3. Fase subjektif, dimana anak memperhatikan motif atau kesengajaandalam memahami
aturan dan gembira mengembangakan sertamenerapkan.
Dalam kategori perkembangan moralnya, kohlberg (gunarsa, 1985) mengemukakan
tiga tingkat dengan enam tahap perkembangan moral.
1. Tingkat 1: prakonvensional.
Pada tingkat ini aturan berisi aturan moral yang dibuat berdasarkan otoritas. Anak
tidak melanggar aturan moral karana takut ancaman atau hukuman dari otoritas.
Tingkat ini dibagi menjadi empat tahap: (1) tahap orientasi terhadap kepatuhan dan
hukuman pada tahap ini anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan ini ditentukan
oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Anak harus menurut, atau
kalau tidak, akan mendapat hukuman. (2) tahap relativistik hedonosme pada tahap
ini anak tidak lagi secara mutlak tergantung pada aturan yang berada di luar dirinya
yang ditentukan orang lain yang memiliki otoritas. Anak mulai sadar bahwa setiap
kejadian mempunyai beberapa segi yang bergantung pada kebutuhan (relativisme)
dan kesenangan seseorang (hedonisme).
2. Tingkat 2: konvensional.
Pada tingkatan ini anak mematuhi aturan yang dibuat bersama agar diterima dalam
kelompoknya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap. (1) tahap orientasi mengenai
anak yang baik. Pada tahap ini anak mulai memperlihatkan orientasi perbuatan yang
dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain atau masyarakat. Sesuatu dikatakan
baik dan benar apabila sikap dan perilakunya dapat diterima oleh orang lain atau
masyarakat. (2) tahap mempertahankan norma sosial dan otoritas. Pada tahap ini
anak menunjukkan perbuatan baik dan benar bukan hanya agar dapat diterima oleh
lingkungan masyarakat di sekitarnya, tetapi juga bertujuan agar dapat ikut
mempertahankan aturan dan norma/ nilai sosial yang ada sebagai kewajiban dan
tanggung jawab moral untuk melaksanakan aturan yang ada.
3. Tingkat 3: pasca konvensional.
Pada tingkat ini anak mematuhi aturan untuk menghindari hukuman kata hatinya.
Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap. (1) tahap orientasi terhadap perjanjian antara
dirinya dengan lingkungan sosial. Pada tahap ini ada hubungan timbal balik antara
dirinya dengan lingkungan sosial dan masyarakat. Seseorang menaati aturan sebagai
kewajiban dan tanggung jawab dirinya dalam menjaga keserasian hidup masyarakat.
(2) tahap universal. Pada tahap ini selain ada norma pribadi yang bersifat subyektif
ada juga norma etik (baik/ buruk, benar/ salah) yang bersifat universal sebagai
sumber menentukan sesuatu perbuatan yang berhubungan dengan moralitas.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg seperti halnya Piaget
menunjukkan bahwa sikap dan perilaku moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang
diperoleh dari kebiasaan yang berhubungan dengan nilai kebudayaan semata-mata. Tetapi
juga terjadi sebagai akibat dari aktivitas spontan yang dipelajari dan berkembang melalui
interaksi sosial anak dengan lingkungannya.
Selain teori perkembangan moral, dalam mempelajari pola perkembangan moral yang
berkaitan dengan ketaatan akan suatu aturan yang berlaku universal, perlu dibahas
mengenai disiplin. Disiplin berasal dari kata disciple yang berarti seseorang yang
belajar dari atau secara sukarela mengikuti seorang pemimpin. Disiplin diperlukan untuk
membentuk perilaku yang sesuai dengan aturan dan peran yang ditetapkan dalam
kelompok budaya tempat orang tersebut menjalani kehidupan. Melalui disiplin, anak
belajar untuk bersikap dan berperilaku yang baik seperti yang diharapkan oleh
masyarakat lingkungan. Disiplin dapat ditanamkan secara otoriter melalui pengendalian
perilaku dengan menggunakan hubungan. Secara permisif/ laissezfaire melalui
kebebbasan yang diberikan kepada anak tanpa adanya hukuman atau secara demokratis
melalui penjelasan, diskusi, dan penalaran mengani peraturan yang berlaku.
Unsur yang berkaitan dengan disiplin adalah sebagai berikut:
1. Peraturan sebagai pola yang ditetapkan untuk perilaku dimana anak hidup.
Mempunyai nilai pendidikan tentang arah yang harus diikuti dan ditaati anak dan
juga membantu mengekang perilaku yang tidak diinginkan.
2. Hukuman diberlakukan apabila anak melakukan kesalahan ataupun bertindak yang
tidak sesuai dengan nilai/ norma yang berlaku dalam masyarakat. Hukuman yang
menghalangi anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang tidak diinginkan,
mendidik anak untuk belajar dari pengalaman dan memotivasi anak untuk
menghindari perilaku yang tidak diterima oleh masyarakat.
3. Penghargaan diberikan apabila anak melakukan sesuatu dengan nilai atau norma
yang berlaku, mendidik anak dan memotivasi anak mengulangi perilaku yang baik
dan benar sesuai harapan masyarakat.
4. Konsistensi atau keajegan dalam melaksanakan aturan dan disiplin sehingga tidak
membingungkan anak dalam memperlajari sesuatu yang benar/ salah, baik/ buruk.
Disiplin bermanfaat apabila ada pengaruh disiplin terhadap perilaku, menimbulkan
kepekaan akan sikap perilaku yang baik, benar, dan adil serta mempengaruhi
kepribadian anak dimana sikap perilaku disiplin merupakan bagian yang
terinternalisasi pada anak secara keseluruhan.
D. Perkembangan Moral pada Anak SD
Menurut Piaget, antara usia lima dan dua belas tahun konsep anak mengenai
keadilan sudah berubah. Pengertian yang kaku dan keras tentang benar dan salah, yang
dipelajari dari orang tua, menjadi berubah dan anak mulai memperhitungkan keadaan-
keadaan khusus di sekitar pelanggaran moral. Jadi, menurut piaget relativitasme moral
menggantikan moral yang kaku. Misalnya bagi anak lima tahun, berbohong selalu buruk,
sedangkan anak yang lebih sadar bahwa dalam bebarapa situasi, berbohong dibenarkan,
dan oleh karena itu, berbohong tidak selalu buruk.
Kohlberg memperluas teori Piaget dan menamakan tingkat kedua dari
perkembangan moral moral akhir masa kanak-kanak sebagai tingkat moralitas
konvensional atau moralitas dari aturan-aturan dan penyesuaian konvensional. Dalam
tahap pertama dari tingkat ini oleh Kohlberg disebutkan moralitas anak baik, anak
mengikuti peraturan untuk mengambil hati orang lain dan untuk mempertahankan
hubungan-hubunganyang baik. Dalam tahap kedua, kohlberg mengatakan bahwa kalau
kelompok sosial menerima peraturan-peraturan yang sesuai bagi semua anggota
kelompok, ia harus menyesuaikan diri dengan peraturan untuk menghindari penolakan
kelompok dan celaan.
Jean Piaget (1950) menyatakan bahwa setiap anak memiliki cara tersendiri dalam
menginterpretasikan dan beradaptasi dengan lingkungannya (teori perkembangan
kognitif). Menurutnya, setiap anak memiliki struktur kognitif yang disebut schemata
yaitu sistem konsep yang ada dalam pikiran sebagai hasil pemahaman terhadap objek
yang ada dalam lingkungannya. Pemahaman tentang objek tersebut berlangsung melalui
proses asimilasi (menghubungkan objek dengan konsep yang sudah ada dalam pikiran)
dan proses akomodasi (proses memanfaatkan konsep-konsep dalam pikiran untuk
menafsirkan objek). Kedua proses tersebut jika berlangsung terus menerus akan membuat
pengetahuan lama dan pengetahuan baru menjadi seimbang. Dengan cara seperti itu
secara bertahap anak dapat membangun pengetahuan melalui interaksi dengan
lingkungannya.
Berdasarkan hal tersebut, maka perilaku belajar anak sangat dipengaruhi oleh
aspek-aspek dari dalam dirinya dan lingkungannya. Kedua hal tersebut tidak mungkin
dipisahkan karena memang proses belajar terjadi dalam konteks interaksi diri anak
dengan lingkungannya.
Anak usia sekolah dasar berada pada tahapan operasi konkret. Pada rentang usia
sekolah dasar tersebut anak mulai menunjukkan perilaku belajar sebagai berikut:
1. Mulai memandang dunia secara objektif, bergeser dari satu aspek situasi ke aspek lain
secara reflektif dan memandang unsur-unsur secara serentak,
2. Mulai berpikir secara operasional,
3. Mempergunakan cara berpikir operasional untuk mengklasifikasikan benda-benda,
4. Membentuk dan mempergunakan keterhubungan aturan-aturan, prinsip ilmiah
sederhana, dan mempergunakan hubungan sebab akibat, dan
5. Memahami konsep substansi, volume zat cair, panjang, lebar, luas, dan berat.

Memperhatikan tahapan perkembangan berpikir tersebut, kecenderungan belajar anak


usia sekolah dasar memiliki tiga ciri, yaitu:

1. Konkrit.
Konkrit mengandung makna proses belajar beranjak dari hal-hal yang konkrit yakni
yang dapat dilihat, didengar, dibaui, diraba, dan diotak atik, dengan titik penekanan
pada pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar. Pemanfaatan lingkungan akan
menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih bermakna dan bernilai, sebab siswa
dihadapkan dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya, keadaan yang alami,
sehingga lebih nyata, lebih faktual, lebih bermakna, dan kebenarannya lebih dapat
dipertanggungjawabkan.
2. Integratif;
Pada tahap usia sekolah dasar anak memandang sesuatu yang dipelajari sebagai suatu
keutuhan, mereka belum mampu memilah-milah konsep dari berbagai disiplin ilmu,
hal ini melukiskan cara berpikir anak yang deduktif yakni dari hal umum ke bagian
demi bagian.
3. Hierarkis; Pada tahapan usia sekolah dasar, cara anak belajar berkembang secara
bertahap mulai dari hal-hal yang sederhana ke hal-hal yang lebih kompleks.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu diperhatikan mengenai urutan logis,
keterkaitan antar materi, dan cakupan keluasan serta kedalaman materi.
E. Perkembangan Moral pada Anak Remaja
Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa
sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir
operasional formal, yaitu mulai mampu berpikir abstrak dan mampu memecahkan
masala-masalah yang bersifat hipotetis maka pemikiran remaja terhadap suatu
permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi juga pada
sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka (Gunarsa,1988).
Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran
akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggap
sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu mempertanggung jawabkannya secara
pribadi (Monks, 1988). Perkembangan moral remaja yang demikian, jika meminjam teori
perkembangan moral dari Kohlberg berarti sudah mencapai tahap konvensioanl. Pada
akhir masa remaja seseorang akan memasuki tahap perkembangan pemikiran moral yang
disebut tahap pascakonvensional ketika orisinilitas pemikiran moral remaja sudah
semakin jelas. Pemikiran moral remaja berkembang sebagai pendirian pribadi yang tidak
tergantung lagi pada pendapat atau pranata yang bersifat konvensional.
Melalui pengalaman atau berinteraksi social dengan orang tua, guru, teman
sebaya atau orang dewasa lainnya, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang jika
dibandingkan dengan usia anak. Mereka sudah lebih mengenal tentang nilai-nilai moral
atau konsep-konsep moralitas, seperti kejujuran, keadilan, kesopanan, dan kedisiplinan.
Pada masa ini muncul dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
dapat dinilai baik oleh orang lain. Remaja berprilaku bukan hanya untuk memenuhi
kepuasan fisiknya, tetapi psikologis (rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian
positif dari orang lain tentang perbuatannya).
Dikaitkan dengan perkembangan moral dari Lawrence Kohlberg, menurut
Kusdwirarti Setiono (Fuad Noshori, Suara Pembaharuan, 7 Maret 1997) pada umunya
remaja berada dalam tingkatan konvensional, atau berada dalam tahap ketiga (berprilaku
sesuai dengan tuntutan dan harapan kelompok), dan keempat (loyalitas terhadap norma
atau peratutan yang berlaku dan diyakininya).
Dengan masih adanya siswa SMU (remaja) pada tingkat pra-konvensional atau
konvensional, maka tidaklah heran apabila diantara remaja masih banyak yang
melakukan dekadensi moral atau pelecehan nilai-nilai seperti tawuran, tindak criminal,
meminum minuman keras, dan hubungan seks di luar nikah.
Remaja berprestasi dan tawuran adalah dua hal berbeda yang merupakan
cerminan moral yang dianut remaja.Keragaman tingkat moral remaja disebabkan oleh
factor penentunya yang beragam juga. Salah satu factor penentu atau yang mempengaruhi
perkembangan moral remaja itu adalah orangtua. Manurut Adamm dan Gullotta (183:
172-173) terdapat beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orangtua
mempengaruhi nilai remaja, yaitu sebagai berikut :
1. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat moral remaja dengan tingkat
moral orangtua (Haan, Langer & Kohlberg, 1976).
2. Ibu-ibu remaja yang tidak nakal mempunyai skor yang lebih tinggi dalam tahapan
nalar moralnya daripada ibu-ibu yang anaknya nakal, dan remaja yang tidak nakal
mempunyai skor lebih tinggi dalam kemampuan nalar moralnya daripada remaja
yang nakal (Hudgins & Prentice, 1973).
3. Terdapat dua factor yang dapat meningkatkan perkembangan moral anak atau
remaja , yaitu :
a. Orangtua yang mendorong anak untuk berdiskusi secara demokratik dan terbuka
mengenai berbagai isu, dan
b. Orangtua yang menerapkan disiplin terhadap anak dengan teknik berpikir
induktif (Parikh, 1980).
F. Gangguan Moral dan Cara Penanggulangannya pada Peserta Didik
Ada beberapa masalah dalam penanaman nilai moral pada anak, hal tersebut terkait
dengan gangguan-gangguan yang dialami anak selama tahap pertumbuhannya.
Gangguan-gangguan tersebut akan mempengaruhi usaha-usaha penanaman nilai moral
pada anak. Gangguan-gangguan tersebut, yaitu:
1. Gangguan perkembangan pervasif.
Ditandai dengan masalah awal pada tiga area perkembangan utama: perilaku,
interaksi sosial, dan komunikasi. Terdiri dari:
a. Retardasi mental.
Muncul sebelum usia 18 tahun dan dicirikan dengan keterbatasan substandar
dalam berfungsi, yang dimanifestasikan dengan fungsi intelektual secara
signifikan berada dibawah rata-rata (mis., IQ dibawah 70) dan keterbatasan terkait
dalam dua bidang keterampilan adaptasi atau lebih.
b. Autisme
Dicirikan dengan gangguan yang nyata dalam interaksi sosial dan komunikasi,
serta aktivitas dan minat yang terbatas. Gejala-gejalanya meliputi kurangnya
responsivitas terhadap orang lain, menarik diri dari hubungan sosial, kerusakan
yang menonjol dalam komunikasi, dan respon yang aneh terhadap lingkungan.
c. Gangguan perkembangan spesifik
Dicirikan dengan keterlambatan perkembangan yang mengarah pada kerusakan
fungsional pada bidang-bidang, seperti membaca, aritmetika, bahasa, dan
artikulasi verbal.
2. Defisit perhatian dan gangguan perilaku disruptif.
a. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
Dicirikan dengan tingkat gangguan perhatian, impulsivitas, dan hiperaktivitas
yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan.
b. Gangguan perilaku
Dicirikan dengan perilaku berulang, disruptif, dan kesengajaan untuk tidak patuh,
termasuk melanggar norma dan peraturan sosial. Sebagian besar anak-anak
dengan gangguan ini mengalami penyalahgunaan zat atau gangguan kepribadian
antisosial setelah berusia 18 tahun.
c. Gangguan penyimpangan oposisi
Gangguan ini merupakan bentuk gangguan perilaku yang lebih ringan, meliputi
perilaku yang kurang ekstrim. Perilaku dalam gangguan ini tidak melanggar hak-
hak orang lain sampai tingkat yang terlihat dalam gangguan perilaku.
3. Gangguan ansietas sering terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja dan berlanjut ke
masa dewasa, biasanya berupa :
4. Gangguan obsesif kompulsif, gangguan ansietas umum, dan fobia banyak terjadi pada
anak-anak dan remaja, dengan gejala yang sama dengan yang terlihat pada orang
dewasa.
5. Gangguan ansietas akibat perpisahan adalah gangguan masa kanak-kanak yang
ditandai dengan rasa takut berpisah dari orang yang paling dekat dengannya. Gejala-
gejalanya meliputi menolak pergi ke sekolah, keluhan somatik, ansietas berat
terhadap perpisahan dan khawatir tentang adanya bahaya pada orang-orang yang
mengasuhnya.
Adapun beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam penanaman nilai moral
pada anak, menurut Dwi Siswoyo dkk, (2005:72-81) adalah indoktrinasi, klarifikasi
nilai, teladan atau contoh, dan pembiasaan dalam perilaku.
1. Indoktrinasi
Menurut Kohn (dalam Dwi Siswoyo, 2005:72) menyatakan bahwa untuk
membantu anak-anak supaya dapat tumbuh menjadi dewasa, maka mereka harus
ditanamkan nilai-nilai disiplin sejak dini melalui interaksi guru dan siswa. Dalam
pendekatan ini guru diasumsikan telah memiliki nilai-nilai keutamaan yang
dengan tegas dan konsisten ditanamkan kepada anak. Aturan mana yang boleh
dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan disampaiakan secara tegas, terus
menerus dan konsisten. Jika anak melanggar maka ia dikenai hukuman, akan
tetapi bukan berupa kekerasan.
2. Klarifikasi Nilai
Dalam pendekatan klarifikasi nilai, guru tidak secara langsung menyampaikan
kepada anak mengenai benar salah, baik buruk, tetapi siswa diberi kesempatan
untuk menyampaiakan dan menyatakan nilai-nilai dengan caranya sendiri. Anak
diajak untuk mengungkapkan mengapa perbuatan ini benar atau buruk. Dalam
pendekatan ini anak diajak untuk mendiskusikan isu-isu moral. (Dwi Siswoyo
(2005:76).
3. Teladan atau Contoh
Anak-anak mempunyai kemampuan yang menonjol dalam hal meniru. Oleh
karena itu seorang guru hendaknya dapat dijadikan teladan atau contoh dalam
bidang moral. Baik kebiasaan baik maupun buruk dari guru akan dengan mudah
dilihat dan kemudian diikuti oleh anak. Figur seorang guru sangat penting utuk
pengembangan moral anak. Artinya nilai-nilai yang tujuannya akan ditanamkan
oleh guru kepada anak seyogyanya sudah mendarah daging terlebih dahulu pada
gurunya.
4. Pembiasaan dalam Perilaku
Kurikulum yang terkait dengan penanaman moral, lebih banyak dilakukan melalui
pembiasaan-pembiasaan tingkah laku dalam proses pembelajaran. Ini dapat dilihat
misalnya, pada berdoa sebelum dan sesudah belajar, berdoa sebelum makan dan
minum, mengucap salam kepada guru dan teman, merapikan mainan setelah
belajar, berbaris sebelum masuk kelas dan sebagainya. Pembiasaan ini hendaknya
dilakukan secara konsisten. Jika anak melanggar segera diberi peringatan.
5. Pendekatan lain yang dapat digunakan dalam penanaman nilai moral menurut W.
Huitt (2004) diantaranya adalah inculcation, moral development, analysis,
klarifikasi nilai, dan action learning.
a. Inculcation
Pendekatan ini bertujuan untuk menginternalisasikan nilai tertentu kepada
siswa serta untuk mengubah nilai-nilai dari para siswa yang mereka
refleksikan sebagai nilai tertentu yang diharapkan. Metode yang dapat
digunakan dalam pendekatan ini diantaranya modeling, penguatan positif atau
negatif, alternatif permainan, game dan simulasi, serta role playing.
b. Moral development
Tujuan dari pendekatan ini adalah membantu siswa mengembangkan pola-
pola penalaran yang lebih kompleks berdasarkan seperangkat nilai yang lebih
tinggi, serta untuk mendorong siswa mendiskusikan alasan-alasan pilihan dan
posisi nilai mereka, tidak hanya berbagi dengan lainnya, akan tetapi untuk
membantu perubahan dalam tahap-tahap penalaran moral siswa. Metode yang
dapat digunakan diantaranya episode dilema moral dengan diskusi kelompok
kecil.
c. Analysis
Pendekatan ini bertujuan untuk membantu siswa menggunakan pikiran logis
dan penelitian ilmiah untuk memutuskan masalah dan pertanyaan nilai, untuk
membantu siswa menggunakan pikiran rasional, proses-proses analitik, dalam
menghubungkan dan mengkonseptualisasikan nilai-nilai mereka, serta untuk
membantu siswa menggunakan pikiran rasional dan kesadaran emosional
untuk mengkaji perasaan personal, nilai-nilai dan pola-pola perilakunya.
Metode yang dapat digunakan dalam pendekatan ini diantaranya diskusi
rasional terstruktur yang menuntut aplikasi rasio sama sebagai pembuktian,
pengujian prinsip-prinsip, penganalisaan kasus-kasus analog dan riset serta
debat.
d. Klarifikasi nilai
Tujuan dari pendekatan ini adalah membantu siswa menjadi sadar dan
mengidentifikasi nilai-nilai yang mereka miliki dan juga yang dimiliki oleh
orang lain, membantu siswa mengkomunikasikan secara terbuka dan jujur
dengan orang lain tentang nilai-nilai mereka, dan membantu siswa
menggunakan pikiran rasional dan kesadaran emosional untuk mengkaji
perasaan personal, nilai-nilai dan pola berikutnya.
e. Action learning
Tujuan dari pendekatan ini adalah memberi peluang kepada siswa agar
bertidak secara personal ataupun sosial berdasarkan kepada nilai-nilai mereka,
mendorong siswa agar memandang diri mereka sendiri sebagai makhluk yang
tidak secara otonom interaktif dalam hubungan sosial personal, tetapi anggota
suatu sistem sosial. Metode yang dapat digunakan dalam pendekatan ini
adalah metode-metode didaftar atau diurutkan untuk analisis dan klarifikasi
nilai, proyek-proyek di dalam sekolah dan praktek kemasyarakatan,
keterampilan praktis dalam pengorganisasian kelompok dan hubungan antar
pribadi.
Pendidikan moral tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah oleh guru
saja. Ini dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Tiga
lingkungan yang amat kondusif untuk melaksanakan pendidikan ini, yaitu
lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, dan lingkungan masyarakat.
Diantara ketiganya, merujuk pada Dobbert dan Winkler (1985), lingkungan
keluarga merupakan faktor dominan yang efektif dan terpenting. Peran keluarga
dalam pendidikan nilai adalah mendukung terjadinya proses identifikasi,
internalisasi, panutan, dan reproduksi langsung dari nilai-nilai moral yang hendak
ditanamkan sebagai pola orientasi dari kehidupan keluarga.
Lingkungan keluarga menjadi lahan paling subur untuk
menumbuhkembangkan pendidikan moral. Secara operasional, yang paling perlu
diperhatikan dalam konteks di lingkungan keluarga adalah penanaman nilai-nilai
kejujuran dalam segenap aspek kehidupan keluarga. Contoh sikap dan perilaku
yang baik oleh orang tua dalam pergaulan dan kehidupan mereka dapat menjadi
teladan bagi anak-anaknya.
Hal yang tidak kalah penting, pendidikan moral harus dilaksanakan sejak anak
masih kecil dengan jalan membiasakan mereka kepada peraturan-peraturan dan
sifat-sifat yang baik, serta adil. Sifat-sifat tersebut tidak akan dapat difahami oleh
anak-anak, kecuali dengan pengalaman langsung yang dirasakan akibatnya dan
dari contoh orang tua dalam kehidupannya sehari-hari.
Pendidikan moral yang paling baik sebenarnya terdapat dalam agama, karena
nilai-nilai moral yang dapat dipatuhi dengan kesadaran sendiri tanpa ada paksaan
dari luar, datangnya dari keyakinan beragama yang harus ditanamkan sejak kecil.
Lingkungan pendidikan juga menjadi wahana yang kondusif bagi
pertumbuhan dan perkembangan mental serta moral anak didik. Untuk itu,
sekolah diharapkan dapat berfungsi sebagai kawasan yang sejuk untuk melakukan
sosialisasi bagi anak-anak dalam pengembangan mental, moral sosial dan segala
aspek kepribadiannya. Pelaksanaan pendidikan moral di kelas hendaknya
dipertautkan dengan kehidupan yang ada di luar kelas.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi
mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang
lain.
Daftar Rujukan
1. Eka, Silvya. "Karakteristik Perkembangan Anak Usia SMA. 11 April 2017.
http://silvyaeka12.blogspot.co.id/2015/04/karakteristik-perkembangan-anak-usis-
sma.html
2. Juwita, Herviana. PERKEMBANGAN MORAL ANAK USIA SEKOLAH DASAR. 11
April 2017.
https://www.academia.edu/9444306/PERKEMBANGAN_MORAL_ANAK_USIA_SEK
OLAH_DASAR
3. Raihan, Rini. PERKEMBANGAN MORAL ANAK USIA DINI. 11 April 2017.
https://riniraihan.wordpress.com/2011/04/03/perkembangan-moral-anak-usia-dini/
4. Agustianin. PENGERTIAN PERKEMBANGAN MORAL PADA ANAK. 11 April
2017. https://agustianin1201110021.wordpress.com/artikel/pengertian-perkembangan-
moral-pada-anak/
5. Sulunglahitani. DINAMIKA PENANAMAN MORAL PADA ANAK. 11 April 2017.
https://catatannyasulung.wordpress.com/2011/06/05/dinamika-penanaman-nilai-moral-
pada-anak/

Anda mungkin juga menyukai