Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN MENINGIOMA

DIRUANG SERUNI RSUD. ULIN BANJARMASIN

DISUSUN OLEH :
Nama : Siti Khadijah
Nim : 14.IK.414

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SARIMULIA


BANJARMASIN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
2017
LEMBAR PERSETUJUAN

JUDUL KASUS : MENINGIOMA


TEMPAT PENGAMBILAN KASUS : RUANG SERUNI
NAMA : SITI KHADIJAH

Banjarmasin, Februari 2017

Menyetujui,

RSUD. Ulin Banjarmasin Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK)


STIKES Sari Mulia
Preseptor Klinik (PK) Preseptor Akademik (PA)

...... ......

NIK. NIK.
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL KASUS : MENINGIOMA


TEMPAT PENGAMBILAN KASUS : RUANG SERUNI
NAMA : SITI KHADIJAH

Banjarmasin, Februari 2017

Menyetujui,

RSUD.Ulin Banjarmasin Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK)


STIKES Sari Mulia
Preseptor Klinik (PK) Preseptor Akademik (PA)

...... ......
NIK. NIK.
A. Pengertian
Meningioma adalah adalah tumor pada meningens, yang merupakan
selaput pelindung otak dan medulla spinalis. Meningioma dapat timbul pada
tempat yang melindungi otak dan medulla spinalis. Meningioma dapat timbul
pada tempat manapun dibagian otak maupun medulla spinalis, tetapi
umumnya terjadi di hemisfer otak semua lobusnya. Kebanyakan mengioma
bersifat jinak (benign). Mardjono, 2003)
Kraniotomi adalah mencakup pada pembukaan tengkorak melalui
pembedahan untuk meningkatkan akses pada struktur intracranial. Prosedur
ini dilakukan untuk menghilangkan tumor, mengurangi tekanan intrakranial,
mengevaluasi bekuan darah dan mengontrol haemoragi. (Brunner &
Studdarth, 2002)
Klasifikasi tumor otak
Berdasarkan jenis tumor:
a. Jinak
1. Acoustic neuroma
2. Meningioma
Sebagian besar tumor bersifat jinak, berkapsul, dan tidak
menginfiltrasi jaringan sekitarnya tetapi menekan struktur yang
berada di bawahnya. Pasien usia tua sering terkena dan perempuan
lebih sering terkena dari pada laki-laki. Tumor ini sering kali memiliki
banyak pembuluh darah sehingga mampu menyerap isotop radioaktif
saat dilakukan pemeriksaan CT scan otak.
3. Pituitary adenoma
4. Astrocytoma (grade I)
b. Malignant
1. Astrocytoma (grade 2,3,4)
2. Oligodendroglioma
Tumor ini dapat timbul sebagai gangguan kejang parsial yang dapat
muncul hingga 10 tahun.Secara klinis bersifat agresif dan
menyebabkan simptomatologi bermakna akibat peningkatan tekanan
intrakranial dan merupakan keganasan pada manusia yang paling
bersifat kemosensitif.
3. Apendymoma
Tumor ganas yang jarang terjadi dan berasal dari hubungan erat
pada ependim yang menutup ventrikel.Pada fosa posterior paling
sering terjadi tetapi dapat terjadi di setiap bagian
fosaventrikularis.Tumor ini lebih sering terjadi pada anak-anak
daripada dewasa. Dua faktor utama yang mempengaruhi
keberhasilan reseksi tumor dan kemampuan bertahan hidup jangka
panjang adalah usia dan letak anatomi tumor. Makin muda usia
pasien maka makin buruk progmosisnya.
Berdasarkan lokasi
a. Tumor supratentorial
Hemisfer otak, terbagi lagi :
1. Glioma :
a) Glioblastomamultiforme
Tumor ini dapat timbul dimana saja tetapi paling sering terjadi di
hemisfer otak dan sering menyebar kesisi kontra lateral melalui
korpuskolosum.
b) Astroscytoma
c) Oligodendroglioma
Merupakan lesi yang tumbuh lambat menyerupai astrositoma
tetapi terdiri dari sel-sel oligodendroglia.Tumor relative avaskuler
dan cenderung mengalami klasifikasi biasanya dijumpai pada
hemisfer otak orang dewasa muda.
2. Meningioma
Meningioma merupakan tumor terpenting yang berasal dari
meningen, sel-sel mesotel, dan sel-sel jaringan penyambung
araknoid dan dura.
Tumor ini umumnya berbentuk bulat atau oval dengan
perlekatanduramater yang lebar (broad base) berbatas tegas karena
adanya psedokapsul dari membran araknoid. Pada
kompartemensupratentorium tumbuh sekitar 90%, terletak dekat
dengan tulang dan kadang disertai reaksi tulang berupa hiperostosis.
Karena merupakan massa ekstraaksial lokasi meningioma disebut
sesuai dengan tempat perlekatannya pada duramater, seperti Falk
(25%), Sphenoid ridge (20%), Konveksitas (20%), Olfactory groove
(10%), Tuberculumsellae (10%), Konveksitasserebellum (5%), dan
Cerebello-Pontine angle. Karena tumbuh lambat defisit neurologik
yang terjadi juga berkembang lambat (disebabkan oleh pendesakan
struktur otak di sekitar tumor atau letak timbulnya tumor). Pada
meningioma konveksitas 70% ada di regiofrontalis dan asimptomatik
sampai berukuran besar sekali. Sedangkan di basis kranii sekitar
sellaturcika (tuberkulumsellae, planumsphenoidalis, sisi medial
sphenoid ridge) tumor akan segera mendesak saraf optik dan
menyebabkan gangguan visus yang progresif.
b. Tumor infratentorial
1. Schwanomaakustikus
2. Tumor metastasisc
Lesi-lesi metastasis menyebabkan sekitar 5 % 10 % dari seluruh
tumor otak dan dapat berasal dari setiap tempat primer.Tumor primer
paling sering berasal dari paru-paru dan payudara.Namun
neoplasma dari saluran kemih kelamin, saluran cerna, tulang dan
tiroid dapat juga bermetastasis ke otak.
3. Hemangioblastoma
Neoplasma yang terdiri dari unsur-unsur vaskulerembriologis yang
paling sering dijumpai dalam serebelum.

B. Etiologi
Faktor-faktor terpenting sebagai penyebab meningioma adalah trauma,
kehamilan, dan virus. Pada penyelidikan dilaporkan 1/3 dari meningioma
mengalami trauma. Pada beberapa kasus ada hubungan langsung antara
tempat terjadinya trauma dengan tempat timbulnya tumor. Sehingga
disimpulkan bahwa penyebab timbulnya meningioma adalah trauma.
Beberapa penyelidikan berpendapat hanya sedikit bukti yang menunjukkan
adanya hubungan antara meningioma dengan trauma.
Penyebab tumor masih sangat sedikit yang diketahui. Meningioma
sedikit lebih banyak pada wanita. Neurofibroma. Neurilema dan glioma
sering berhubungan dengan neurofibromatosis. Sementara itu
neurofibromatosis tergolong pada kelainan perkembangan dari
neuroektoderm dan mesoderm yang disebut fakomatosa. Contoh
fakomatosa lain misalnya tuberosklerosis yang selalu disertai peningkatan
insidensi tumor otak.
Radiasi merupakan satu faktor untuk timbulnya tumor otak. Trauma,
infeksi dan toksin belum dapat dibuktikan sebagai penyebab timbulnya
tumor otak. Tetapi bahan insdustri tertentu seperti nitrosourea adalah
karsinogen yang paten, setidak tidaknya pada kelinci percobaan. Limfoma
lebih sering terdapat pada mereka yang mendapat imunosupresan seperti
pada transplantasi ginjal, sumsum tulang dan pada AIDS.
Dilaporkan juga bahwa meningioma ini sering timbul pada akhir
kehamilan, mungkin hal ini dapat dijelaskan atas dasar adanya hidrasi otak
yang meningkat pada saat itu. Para ahli tidak memastikan apa penyebab
tumor meningioma, namun beberapa teori telah diteliti dan sebagian besar
menyetujui bahwa kromoson yang jelek yang meyebabkan timbulnya
meningioma. Faktor-faktor terpenting sebagai penyebab meningioma adalah
trauma, kehamilan, dan virus. Pada penyelidikan dilaporkan 1/3 dari
meningioma mengalami trauma, Pada beberapa kasus ada hubungan
langsung antara tempat terjadinya trauma dengan tempat timbulnya tumor.
Sehingga disimpulkan bahwa penyebab timbulnya meningioma adalah
trauma. Beberapa penyelidikan berpendapat hanya sedikit bukti yang
menunjukkan adanya hubungan antara meningioma dengan trauma.
Teori lain menyatakan bahwa virus dapat juga sebagai penyebabnya.
Pada penyelidikan dengan light microscope ditemukan virus like inclusion
bodies dalam nuclei dari meningioma. Tetapi penyelidikan ini kemudian
dibantah bahwa pemeriksaan electron misroscope inclusion bodies ini
adalah proyeksi cytoplasma yang berada dalam membran inti.

C. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya meningioma sampai saat ini masih belum jelas.
Kaskade eikosanoid diduga memainkan peranan dalam tumorogenesis dan
perkembangan edema peritumoral. Dari lokalisasinya Sebagian besar
meningioma terletak di daerah supratentorial. Insidens ini meningkat
terutama ada daerah yang mengandung granulatio Pacchioni. Lokalisasi
terbanyak pada daerah parasagital dan yang paling sedikit pada fossa
posterior.
Tumor otak menyebabkan timbulnya ganguan neurologik progresif.
Gejala-gejalanya timbul dalam rangkaian kesatuan sehingga menekankan
pentingnya anamnesis dalam pemeriksaan penderita. Gejala-gejala
sebaiknya dibicarakan dalam suatu perspektif waktu. Gangguan neurologik
pada tumor otak biasanya dianggap disebabkan oleh dua faktor : gangguan
fokal akibat tumor dan kenaikan tekanan intra kranial. Gangguan fokal terjadi
apabila terdapat penekanan pada jaringan otak, dan infiltrasi atau infasi
langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan neural. Disfungsi
terbesar terjadi pada tumor infiltratif yang tumbuh paling cepat (glioblastoma
multiforma).
Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor yang bertumbuh
menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada
umumnya bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara akut dan mungkin
dapat dikacaukan dengan gangguan serebrovaskuler primer. Serangan
kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuron dihubungkan
dengan kompresi, infasi, dan perubahan suplai darah kejaringan otak.
Bebrapa tumor membentuk kista yang juga menekan parenkim otak
sekitarnya sehingga memperberat gangguan neurologis fokal.
Meningioma juga berhubungan dengan hormon seks dan seperti
halnya faktor etiologi lainnya mekanisme hormon sex hingga memicu
meningioma hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Pada sekitar 2/3
kasus meningioma ditemukan reseptor progesterone. Tidak hanya
progesteron, reseptor hormon lain juga ditemukan pada tumor ini termasuk
estrogen, androgen, dopamine, dan reseptor untuk platelet derived growth
factor. Beberapa reseptor hormon sex diekspressikan oleh meningioma.
Dengan teknik imunohistokimia yang spesifik dan teknik biologi molekuler
diketahui bahwa estrogen diekspresikan dalam konsentrasi yang rendah.
Reseptor progesteron dapat ditemukan dalam sitosol dari meningioma.
Reseptor somatostatin juga ditemukan konsisten pada meningioma.
Pada meningioma multiple, reseptor progesteron lebih tinggi
dibandingkan pada meningioma soliter. Reseptor progesteron yang
ditemukan pada meningioma sama dengan yang ditemukan pada karsinoma
mammae. Jacobs dkk (10) melaporkan meningioma secara bermakna tidak
berhubungan dengan karsinoma mammae, tapi beberapa penelitian lainnya
melaporkan hubungan karsinoma mammae dengan meningioma.
Meningioma merupakan tumor otak yang pertumbuhannya lambat dan
tidak menginvasi otak maupun medulla spinalis. Stimulus hormon
merupakan faktor yang penting dalam pertumbuhan meningioma.
Pertumbuhan meningioma dapat menjadi cepat selama periode peningkatan
hormon, fase luteal pada siklus menstruasi dan kehamilan.

Pathways (Terlampir)

D. Manifestasi Klinis
Menurut lokasi tumor:
a. Lobus Frontalis
Gangguan mental / gangguan kepribadian ringan: depresi, bingung,
tingkah laku aneh, sulit memberi argumentasi/menilai benar atau tidak,
hemipresis, ataksia, dan gangguan bicara.
b. Kortekpresentalis Posterior
Kelemahan/kelumpuhan pada otot-otot wajah, lidah dan jari
c. Lobus parasentralis
Kelemahan/kelumpuhan pada ekstremitas bawah
d. Lobus Oksipitalis
Kejang, gangguan penglihatan
e. Lobus Temporalis
Tinnitus, halusinasi pendengaran, afasiasensorik, kelumpuhan otot wajah
f. Lobus Parietalis
Hilang fungsi sensorik, kortikalis, gangguan lokasi sensorik, gangguan
penglihatan.
g. Cerebellum
Papiloedema, nyeri kepala, gangguan motorik, hipotonia,
hiperekstremitassendi
Tanda dan Gejala Umum:
a. Nyeri kepala berat pada pagi hari, semakib bertambah bila batuk atau
membungkuk
b. Kejang
c. Tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial: pandangan kabur, mual,
muntah, penurunan fungsi pendengaran, perubahan tanda-tanda vital,
afasia.
d. Perubahan kepribadian
e. Gangguan memori
f. Gangguan alam perasaan
Menurut Brunner dan Studdarth (2000) gejala-gejala yang ditimbulkan pada
klien dengan craniotomy antara lain:
a. Penurunan kesadaran, nyeri kepala hebat, dan pusing
b. Bila hematoma semakin meluas akan timbul gejala deserbrasi dan
gangguan tanda vital an fungsi pernafasan.
c. Terjadinya peningkatan TIK setelah pembedahan ditandai dengan muntah
proyektil, pusing, dan peningkatan tanda-tanda vital.

E. Komplikasi
a. Edema serebral
b. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral
c. Syok hipovolemik
d. Hydrocephalus
e. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
f. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis
g. Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi.
Bahaya besar trombo phlebitis timbul bila darah tersebut lepas dari
dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke
paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki
post operasi, ambulatif dini.
h. Infeksi
i. Infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi. Organisme
yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapylococus aureus,
organisme garam positif stapylococus mengakibatkan pernanahan, untuk
menghindari infeksi luka yang paling penting adalah perawatan luka
dengan memperhatikan aseptic dan antiseptic.
j. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau
eviserasi. Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi
luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab
dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu
pembedahan.

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan post craniotomy
meliputi hal-hal yang dibawah ini:
a. Pemeriksaan tengkorak dengan sinar X, CT scan atau MRI dapat dengan
cermat mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler,
dan perubahan jaringan otak. Untuk mengetahui adanya infark/iskemia
jangan dilakukan pada 24-72 jam setelah injuri.
b. Angiografi serebral
Menunjukkan anomaly sirkulasi cerebral, seperti: perubahan jaringan otak
sekunder menjadi oedema, perdarahan, trauma.
c. EEG berkala
Electroencephalogram (EEG) adalah suatu test untuk mendeteksi
kelainan aktivitas elektrik otak.
d. Foto rontgen, mendeteksi perdarahan struktur tulang (fraktur) perubahan
struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
e. PET (Post Emission Tomograph), mendeteksi perubahan aktivitas
metabolism otak
f. Kadar Elektrolit, untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
peningkatan tekanan intracranial
g. Skrining toksikologi, untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.
h. Analisa Gas Darah
Adalah suatu test diagnostic untuk menentukan status respirasi. Status
respirsi dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah
oksigenasi dan status asam basa.

G. Penatalaksanaan
Adapun penatalaksanaan post operasi craniotomy mencakup:
a. Mengurangi edema serebral
Pemberian manitol, yang meningkatkan osmolalitas serum dan menarik
air bebas dari area otak. Cairan ini kemudian disekresikan melalui
dieresis osmotic. Deksametason dapat diberikan melalui intravena setiap
6 jam selama 24 jam sampai 72 jam, selanjutnya dosisnya dikurangi
secara bertahap.
b. Meredakan nyeri dan mencegah kejang
Asetaminofen biasanya diberikan selama suhu diatas 37,5 C dan untuk
nyeri. Sering kali pasien mengalami sakit kepala setelah craniotomy,
biasanya sebagai akibat saraf kulit kepala diregangkan dan diiritsi selama
pembedahan. Kodein diberikan lewat parenteral, biasanya cukup untuk
menghilangkan sakit kepala.
c. Memantau TIK. Kateter ventrikel atau beberapa tipe drainase sering
dipasang pada pasien yang menjalani pembedahan untuk tumor fossa
posterior.

Penatalaksanaan Pokok:
a. Perbaiki dan jaga jalan nafas
b. Yakinkan bahwa ventilasi dan oksigenasi adekuat
c. Lakukan pembedahan segera jika terdapat tanda-tanda penting dari
hematoma (< 4 jam )
d. Pertahankan normovolemik dan normotensi untuk mempertahankan
aliran darah ke serebral.
e. Terapi cedera cepat jika terjadi peningkatan TIK dan ulangi CT Scan jika
terjadi kemunduruan secara klinis.
f. Terapi cedera-cedera lainnya dengan tepat
g. Awasi adanya komplikasi-komplikasi sistemik.
- Pendarahann sistem pencernaan
- DIC
- Edema paru neurogenik
- Abnormallitas hormone endokrin
h. Perawatan Secara Umum:
- Baringkan pasien dengan posisi kepala ditinggikan 15 - 30 ganti
posisi secara berkala
- Observasi GCS/respon pupil tiap jam
- Lakukan suction minimal 1 kali tiap shift dan sesuai kebutuhan
- Beri analgesic sesuai kebutuhan
- Berikan nutrisi yang adekuat
- Hilangkan infeksi
- Profilaksis untuk kejang

i. Ventilasi
- Mode control SIM V dengan RR yang dibutuhkan untuk memberi
dukungan secara penuh. Tujuan diberikan ventilator: PO2 > 80
mmHg, PCO2 < 35 mmHg
- Hiperventilasi (PCO2 < 35)
- Acute: menurunnya aliran darah serebral, menurunnya tekanan darah
intracranial
- 4-8 jam: ditoleransi
- > 8 jam: berulang, meningkatnya tekanan intracranial jika PCO2
meningkat
- Kronik: akibatnya sangat buruk karena hal tersebut mengakibatkan
menurunnya aliran darah serebral.
- PEEP: kadar rendah, tidak disukai karena dapat meningkatkan
tekanan intracranial
- Gunakan 10 cm H2O jika : paru-paru colaps, FIO2 50%
- Hindari penggunaan PEEP > 0 cm H2O tanpa dilakukan monitoring
tekanan intracranial
- Dapat menaikkan pemberian sedative atau lognocain sebelum suction
dilakukan
j. Sirkulasi
- Peratahankan tekanan darah dalam batas normal
- Pertahankan normovolemik = jangan batasi cairan kecuali terjadi
SIADH
- Hindari pemberian dextrose pada terapi cairan
- Kontrol tekanan darah
- Tekanan Perfusi Serebral (CPP)
CPP = MAP-ICP
- Hasil yang diharapkan CPP > 60
- Jika tekanan intrakranial pasien tidak diketahui pertahankan MAP 90
mmHg.

H. Pengkajian Primer
a. Airway
Perlu dikaji apakah ada sumbatan/benda asing, massa leher, tonsil yang
membesar yang dapat menghambat jalan napas pasien.
b. Breathing
Kaji apakah terjadi perubahan pola nafas, adanya bunyi napas tambahan,
stridor, tersedak, ronkhi, mengi, positif.
c. Circulation
Pantau adanya perubahan tekanan darah atau perubahan frekuensi
jantung dan klasifikasi perdarahan yang terjadi.
d. Disability
Yang dikaji adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Dalam
mengkaji dapat menggunakan GCS maupun AVPU. Biasanya pasien
mengalami kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,
vertigo, sirkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstremitas.
perubahan dalam penglihatan, gangguan pengecapan dan juga
penciuman. Selain itu juga kehilangan penginderaan seperti pengecapan,
penciuman, pendengaran, sangat sensitif terhadap sentuhan dan getaran,
kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi
tubuh
e. Exposure
Kaji adanya jejas atau luka lain di seluruh tubuh pasien, ukur suhu tubuh
pasien.

I. Pengkajian Sekunder
a. Pemeriksaan Fisik Head to Toe
Periksa adanya lesi, perdarahan, laserasi, memar, maupun hematom.
Observasi adanya gigi yang tanggal maupun gigi palsu. Cek adanya
fraktur pada daerah servikal, dada, pelvis, tulang belakang, dan
ekstremitas.
b. Aktivitas / istirahat
Dikaji apakah pasien mengalami gangguan/keluhan dalam melakukan
aktivitasnya saat menderita suatu penyakit (dalam hal ini adalah setelah
didiagnosa mengalami alergi) atau saat menjalani perawatan di RS.
c. Sirkulasi
Riwayat penyakit jantung, polisitemia, hipotensi postural, hipertensi
arterial, frekuensi nadi yang bervariasi, disritmia, perubahan irama EKG,
Bruits pada arteri karotis, femoralis, iliaka yang abnormal
d. Integritas Ego
Perasaan tidak berdaya, putus asa, emosi yang labil, kesulitan untuk
mengekspresikan diri
e. Eliminasi
Perubahan pola berkemih seperti inkontinensia urin, anuria, distensi
abdomen, bising usus
f. Makanan/cairan
Kemampuan untuk makan/menelan, perubahan nafsu makan, mual
muntah, kehilangan sensasi pada lidah, pipi, tenggorokan, disfagia,
adanya riwayat DM, penngkatan lemak dalam darah, obesitas.
g. Neurosensori
Lima area pengkajian neurologik yaitu:
1. Fungsi serebral meliputi status mental, fungsi intelektual, daya pikir,
status emosional, persepsi, kemampuan motorik, kemampuan
bahasa.
2. Fungsi syaraf cranial meliputi nervus cranial I sampai XII
3. Fungsi sensori meliputi sensasi taktil, sensasi nyeri dan suhu, vibrasi
dan propiosepsi, merasakan posisi, dan integrasi sensasi
4. Fungsi motorik meliputi ukuran otot, tonus otot, kekuatan otot,
keseimbangan dan koordinasi
5. Fungsi Refleks meliputi refleks brakoiradialis, patella, ankle, kontraksi
abdominal, dan babinski.

h. Nyeri / kenyamanan
Dikaji kondisi pasien yang berhubungan dengan gejala-gejala
penyakitnya, misalnya pasien merasa nyeri di perut bagian kanan atas
(dikaji dengan PQRST : faktor penyebabnya, kualitas/kuantitasnya, lokasi,
lamanya dan skala nyeri)
i. Keamanan
Dikaji apakah pasien merasa cemas akan setiap tindakan keperawatan
yang diberikan kepadanya, dan apakah pasien merasa lebih aman saat
ditemani keluarganya selama di RS
j. Interaksi social
Masalah bicara, ketidakmampuan dalam berkomunikasi

J. Diagnosa Keperawatan yang Sering Muncul


1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan gangguan integritas
jaringan otak, hipoksemia (dampak dari anestesi), edema cerebral, area
pembedahan di sekitar medulla oblongata atau pons.
2. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan edema jaringan
cerebral, penurunan perfusi sistemik atau hilangnya perfusi cerebral
karena embolus atau sumbatan aliran darah cerebral.
3. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan tonus otot
sensori, kerusakan neuromuskular akibat perdarahan otak.
4. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan tindakan invasif
(craniotomy) dan luka insisi yang buruk.
5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, kerusakan
neuromuskular (akibat perdarahan otak).
6. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif, penurunan tingkat
kesadaran, lama dan tipe tindakan pembedahan.

K. Rencana Keperawatan

DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI


NO.
KEPERAWATAN HASIL KEPERAWATAN

1. Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji frekuensi,


nafas berhubungan keperawatan selama 3 x 24 kedalaman, keteraturan
dengan gangguan jam, pola nafas dapat pernafasan dan
integritas jaringan efektif dengan kriteria hasil: ekspansi dada
1. Oksigenasi yang 2. Kaji bunyi nafas setiap
otak, hipoksemia
adekuat dapat 2-4 jam
(dampak dari
3. Evaluasi nilai AGD
dipertahankan
anestesi), edema
2. Menunjukkan jalan sesuai kebutuhan
cerebral, area 4. Gunakan oksimetri yang
nafas yang paten
pembedahan di tersedia untukmemantau
(irama dan frekuensi
sekitar medulla saturasi oksigen dan
dalam rentang normal:
oblongata atau pons. pantau CO2
18-25 x/menit tanpa
5. Pertahankan
ada suara nafas
hiperventilasi jika
tambahan)
diperlukan ventilator
3. Tanda-tanda vital
mekanik
dalam rentang normal:
6. Waspada terhadap
TD: 120/80 - 130/90
dampak obat-obat
mmHg
HR: 60-100 x/menit depresan
RR: 18-25 x/menit 7. Lakukan suction sesuai
t: 36-37 oC
kebutuhan, berikan
hiperventilasi sebelum
prosedur dilakukan
2. Gangguan perfusi Setelah dilakukan tindakan 1. Ukur TIK dengan akurat
jaringan cerebral keperawatan selama 3 x 24 dan pantau hasil
berhubungan dengan jam, gangguan perfusi pengukuran secara
edema jaringan jaringan cerebral dapat kontinyu
2. Tinggikan bagian kepala
cerebral, penurunan teratasi dengan kriteria
tempat tidur 15o - 30o
perfusi sistemik atau hasil:
1. Tingkat kesadaran sepanjang waktu
hilangnya perfusi
3. Gunakan sistem
meningkat (GCS > 9)
cerebral karena
2. Tidak ada tanda-tanda pengkajian neurologi
embolus atau
peningkatan tekanan secara konsisten, misal
sumbatan aliran
itrakranial ( 15 skala koma Glasglow
darah cerebral. 4. Evaluasi hal-hal berikut
mmHg)
3. Tekanan darah dalam setiap 1 jam:
a. Tingkat kesadaran
rentang normal (120/80
b. Ukuran pupil, reaksi
130/90 mmHg)
pupil terhadap
cahaya
c. Kesamaan pupil
d. Gerakan ekstremitas
e. Beri sedikit stimlasi
untuk mendapatkan
reaksi pasien
f. Kesesuaian respon
pasien terhadap
lingkunagan atau
stimulasi
g. Ada tidaknya refleks
refleks
h. Semua gerakan
involunter seperti
kejang, kedutan atau
fungsi motorik
asimetris
i. Tekanan darah
j. Frekuensi dan irama
jantung
k. Frekuensi dan irama
pernafasan
l. Parameter
hemodinamik
5. Hindari peningkatan
tekanan intrathoraks,
batuk, muntah dan
valsava manuver
6. Jika ventilasi dikontrol
oleh ventilator mekanik,
pertahankan PCO2 yang
rendah (18-25) untuk
mencegah vasodolatasi
cerebral
7. Berikan obat
kontikosteroid sesuai
instruksi dokter
8. Beri diuretik yang
menurunkan volume
jaringan (seperti manitol)
sesuai instruksi dokter
3. Gangguan persepsi Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kesadaran klien
2. Pantau perubahan
sensori berhubungan keperawatan selama 3 x 24
orientasi klien
dengan penurunan jam, gangguan persepsi
3. Catat adanya perubahan
kesadaran (tonus otot sensori dapat teratasi
spesifik yang terjadi pada
sensori), kerusakan dengan kriteria hasil:
klien
1. Kesadaran mulai
neuromuskular akibat 4. Berikan stimulasi yang
membaik
perdarahan otak bermanfaat bagi klien
2. Tingkat kesadaran
meningkat (GCS > 9)
4. Gangguan rasa Setelah dilakukan tindakan 1. Jelaskan dan bantu klien
nyaman: nyeri keperawatan selama 3 x 24 dengan tindakan pereda
berhubungan dengan jam, nyeri dapat teratasi nyeri nonfarmakologi dan
tindakan invasif dengan kriteria hasil: invasif
1. Klien tidak gelisah 2. Ajarkan teknik relaksasi:
(craniotomy) dan luka
2. Secara subyektif
teknik-teknik untuk
insisi yang buruk
melaporkan nyeri
menurunkan ketegangan
berkurang
otot rangka, yang dapat
3. Dapat mengidentifikasi
menurunkan intensitas
aktivitas yang dapat
nyeri dan tingkatkan
menurunkan skala relaksasi masase
3. Anjurkan istirahat bila
nyeri
terasa nyeri dan berikan
posisi yang nyaman
4. Kolaborasi pemberian
analgesik
5. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji derajat imobilisasi
fisik berhubungan keperawatan selama 3 x 24 pasien
2. Ubah posisi pasien
dengan kelemahan, jam, gangguan mobilitas
secara teratur
kerusakan fisik dapat teratasi dengan
3. Bantu pasien untuk
neuromuskular kriteria hasil:
melakukan latihan
1. Mempertahankan
(akibat perdarahan
rentang gerak
posisi yang optimal
otak) 4. Sokong kepala dan
2. Mempertahankan
badan
kekuatan dan fungsi
bagian tubuh yang
sakit
6. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan 1. Gunakan teknik steril
berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 yang ketat selama
tindakan invasif, jam, resiko infeksi dapat pemantauan TIK dan
penurunan tingkat teratasi dengan kriteria pertahankan sistem
kesadaran, lama dan hasil: drainase ventrikuler
1. Tidak terjadi infeksi
tipe tindakan eksternal
nosokomial 2. Lakukan dressing dengan
pembedahan
2. Jumlah leukosit dalam
teknik steril
batas normal (4,8-10,8 3. Kaji gejala-gejala infeksi
x 103/l) SSP
4. Berikan antibiotik sesuai
pesanan
5. Pantau dan catat adanya
kebocoran CSS dari
hidung, telinga atau
daerah tempat
pemasaran pemantauan
TIK
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien


Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8.


Jakarta: EGC

Denizot, Y., Armas, R., Durand, K., Robert, S., JacquesMoreau, J., dan Caire, F.
2009. Analysis of Several PLA2 mRNA in HumanMeningiomas. Artikel
Online: Hindawi Publishing Corporation Mediators of Inflammation Volume
2009, Article ID 689430, 8 pages

Doenges, M. 2000. Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk perencanaan


dan pendokumentasian perawatan pasien. (edisi ke-3). Jakarta: EGC

Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis, Edisi: Pertama. Jakarta: EGC
Harsono. 2000. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Herdman, T. Heather. 2011. NANDA International : Diagnosa Keperawatan ;


Definisi dan Klasifikasi 2012 2014. Jakarta: EGC

Hudak, Carolyn M. 2010. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Edisi: 6


Volume 2. Jakarta: EGC

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 2. Jakarta: FKUI

Mardjono, M. & Sidharta, P. 2003. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Universtas Indonesia

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Nurarif, H.A. & Kusuma, H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Media Action
Publishing

Pierce dan Borley. 2006. Ilmu Bedah, Edisi 3. Jakarta: Penerbit Erlangga

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit, Edisi:
6 Volume 2. Jakarta: EGC

Reeves, C. J. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika

Smeltzer, S.C. 2010. Buku Ajar Medikal Bedah Brunner-Suddarth Edisi 8.


Jakarta: EGC

Weiner, Howard L. 2001. Buku Saku Neurolologi. Jakarta: EGC

Widagdo, Wahyu. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta: Trans Info Media
PATHWAYS Pembedahan

Prosedur operasi Perdarahan Prosedur


invasif

Aliran darah Penekanan pada


Luka insisi Kerusakan
ke otak sumsum saraf pusat
buruk neuromuskule
(SSP)
(stimulasi Trauma r
jaringan
Mengaktivasi Gangguan Penurunan Penekanan Penekanan pada
reseptor nyeri metabolism suplay O2 ke pusat sistem
Penurunan e otak pernafasan cardiovaskuler
Paraliti
s tonus otot
Melalui sistem Penurunan sensori Asam Penurunan Penurunan
Hipoksia
saraf asceden kelembaban laktat kerja organ Cardiac Output
jaringan
reseptor nyeri luka pernafasan (COP)
Kelemaha Perubahan
n persepsi
Infasi Oedem Penurunan Suplai darah
pergeraka sensori Penurunan RR
bakteri otak ekspansi paru berkurang
Merangsang n sendi
thalamus & korteks
Kontraktu
serebri
r
Resiko Infeksi Gangguan Ketidakadekuata Penurunan
perfusi jaringan n suplai O2 aliran darah
Muncul Gangguan
sensasi mobilitas fisik
nyeri Pola nafas
tidak
efektif
Gangguan rasa
nyaman: nyeri
KASUS SEMINAR

LAPORAN PENDAHULUAN
MENINGIOMA
RSUD KRATON PEKALONGAN

Disusun Oleh:

Diana Rahmawati 220201111300

Anggi Faizal Handuto 220201111300

Nita Rachmawati 220201111300

Yeni Kiki Simarmata 22020111140110

Fikih Diah Kusuma 22020111130098

PRAKTIK KLINIK TAHAP AKADEMIK


KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2014

Anda mungkin juga menyukai