Laporan Pendahuluan Meningioma FIX
Laporan Pendahuluan Meningioma FIX
DISUSUN OLEH :
Nama : Siti Khadijah
Nim : 14.IK.414
Menyetujui,
...... ......
NIK. NIK.
LEMBAR PENGESAHAN
Menyetujui,
...... ......
NIK. NIK.
A. Pengertian
Meningioma adalah adalah tumor pada meningens, yang merupakan
selaput pelindung otak dan medulla spinalis. Meningioma dapat timbul pada
tempat yang melindungi otak dan medulla spinalis. Meningioma dapat timbul
pada tempat manapun dibagian otak maupun medulla spinalis, tetapi
umumnya terjadi di hemisfer otak semua lobusnya. Kebanyakan mengioma
bersifat jinak (benign). Mardjono, 2003)
Kraniotomi adalah mencakup pada pembukaan tengkorak melalui
pembedahan untuk meningkatkan akses pada struktur intracranial. Prosedur
ini dilakukan untuk menghilangkan tumor, mengurangi tekanan intrakranial,
mengevaluasi bekuan darah dan mengontrol haemoragi. (Brunner &
Studdarth, 2002)
Klasifikasi tumor otak
Berdasarkan jenis tumor:
a. Jinak
1. Acoustic neuroma
2. Meningioma
Sebagian besar tumor bersifat jinak, berkapsul, dan tidak
menginfiltrasi jaringan sekitarnya tetapi menekan struktur yang
berada di bawahnya. Pasien usia tua sering terkena dan perempuan
lebih sering terkena dari pada laki-laki. Tumor ini sering kali memiliki
banyak pembuluh darah sehingga mampu menyerap isotop radioaktif
saat dilakukan pemeriksaan CT scan otak.
3. Pituitary adenoma
4. Astrocytoma (grade I)
b. Malignant
1. Astrocytoma (grade 2,3,4)
2. Oligodendroglioma
Tumor ini dapat timbul sebagai gangguan kejang parsial yang dapat
muncul hingga 10 tahun.Secara klinis bersifat agresif dan
menyebabkan simptomatologi bermakna akibat peningkatan tekanan
intrakranial dan merupakan keganasan pada manusia yang paling
bersifat kemosensitif.
3. Apendymoma
Tumor ganas yang jarang terjadi dan berasal dari hubungan erat
pada ependim yang menutup ventrikel.Pada fosa posterior paling
sering terjadi tetapi dapat terjadi di setiap bagian
fosaventrikularis.Tumor ini lebih sering terjadi pada anak-anak
daripada dewasa. Dua faktor utama yang mempengaruhi
keberhasilan reseksi tumor dan kemampuan bertahan hidup jangka
panjang adalah usia dan letak anatomi tumor. Makin muda usia
pasien maka makin buruk progmosisnya.
Berdasarkan lokasi
a. Tumor supratentorial
Hemisfer otak, terbagi lagi :
1. Glioma :
a) Glioblastomamultiforme
Tumor ini dapat timbul dimana saja tetapi paling sering terjadi di
hemisfer otak dan sering menyebar kesisi kontra lateral melalui
korpuskolosum.
b) Astroscytoma
c) Oligodendroglioma
Merupakan lesi yang tumbuh lambat menyerupai astrositoma
tetapi terdiri dari sel-sel oligodendroglia.Tumor relative avaskuler
dan cenderung mengalami klasifikasi biasanya dijumpai pada
hemisfer otak orang dewasa muda.
2. Meningioma
Meningioma merupakan tumor terpenting yang berasal dari
meningen, sel-sel mesotel, dan sel-sel jaringan penyambung
araknoid dan dura.
Tumor ini umumnya berbentuk bulat atau oval dengan
perlekatanduramater yang lebar (broad base) berbatas tegas karena
adanya psedokapsul dari membran araknoid. Pada
kompartemensupratentorium tumbuh sekitar 90%, terletak dekat
dengan tulang dan kadang disertai reaksi tulang berupa hiperostosis.
Karena merupakan massa ekstraaksial lokasi meningioma disebut
sesuai dengan tempat perlekatannya pada duramater, seperti Falk
(25%), Sphenoid ridge (20%), Konveksitas (20%), Olfactory groove
(10%), Tuberculumsellae (10%), Konveksitasserebellum (5%), dan
Cerebello-Pontine angle. Karena tumbuh lambat defisit neurologik
yang terjadi juga berkembang lambat (disebabkan oleh pendesakan
struktur otak di sekitar tumor atau letak timbulnya tumor). Pada
meningioma konveksitas 70% ada di regiofrontalis dan asimptomatik
sampai berukuran besar sekali. Sedangkan di basis kranii sekitar
sellaturcika (tuberkulumsellae, planumsphenoidalis, sisi medial
sphenoid ridge) tumor akan segera mendesak saraf optik dan
menyebabkan gangguan visus yang progresif.
b. Tumor infratentorial
1. Schwanomaakustikus
2. Tumor metastasisc
Lesi-lesi metastasis menyebabkan sekitar 5 % 10 % dari seluruh
tumor otak dan dapat berasal dari setiap tempat primer.Tumor primer
paling sering berasal dari paru-paru dan payudara.Namun
neoplasma dari saluran kemih kelamin, saluran cerna, tulang dan
tiroid dapat juga bermetastasis ke otak.
3. Hemangioblastoma
Neoplasma yang terdiri dari unsur-unsur vaskulerembriologis yang
paling sering dijumpai dalam serebelum.
B. Etiologi
Faktor-faktor terpenting sebagai penyebab meningioma adalah trauma,
kehamilan, dan virus. Pada penyelidikan dilaporkan 1/3 dari meningioma
mengalami trauma. Pada beberapa kasus ada hubungan langsung antara
tempat terjadinya trauma dengan tempat timbulnya tumor. Sehingga
disimpulkan bahwa penyebab timbulnya meningioma adalah trauma.
Beberapa penyelidikan berpendapat hanya sedikit bukti yang menunjukkan
adanya hubungan antara meningioma dengan trauma.
Penyebab tumor masih sangat sedikit yang diketahui. Meningioma
sedikit lebih banyak pada wanita. Neurofibroma. Neurilema dan glioma
sering berhubungan dengan neurofibromatosis. Sementara itu
neurofibromatosis tergolong pada kelainan perkembangan dari
neuroektoderm dan mesoderm yang disebut fakomatosa. Contoh
fakomatosa lain misalnya tuberosklerosis yang selalu disertai peningkatan
insidensi tumor otak.
Radiasi merupakan satu faktor untuk timbulnya tumor otak. Trauma,
infeksi dan toksin belum dapat dibuktikan sebagai penyebab timbulnya
tumor otak. Tetapi bahan insdustri tertentu seperti nitrosourea adalah
karsinogen yang paten, setidak tidaknya pada kelinci percobaan. Limfoma
lebih sering terdapat pada mereka yang mendapat imunosupresan seperti
pada transplantasi ginjal, sumsum tulang dan pada AIDS.
Dilaporkan juga bahwa meningioma ini sering timbul pada akhir
kehamilan, mungkin hal ini dapat dijelaskan atas dasar adanya hidrasi otak
yang meningkat pada saat itu. Para ahli tidak memastikan apa penyebab
tumor meningioma, namun beberapa teori telah diteliti dan sebagian besar
menyetujui bahwa kromoson yang jelek yang meyebabkan timbulnya
meningioma. Faktor-faktor terpenting sebagai penyebab meningioma adalah
trauma, kehamilan, dan virus. Pada penyelidikan dilaporkan 1/3 dari
meningioma mengalami trauma, Pada beberapa kasus ada hubungan
langsung antara tempat terjadinya trauma dengan tempat timbulnya tumor.
Sehingga disimpulkan bahwa penyebab timbulnya meningioma adalah
trauma. Beberapa penyelidikan berpendapat hanya sedikit bukti yang
menunjukkan adanya hubungan antara meningioma dengan trauma.
Teori lain menyatakan bahwa virus dapat juga sebagai penyebabnya.
Pada penyelidikan dengan light microscope ditemukan virus like inclusion
bodies dalam nuclei dari meningioma. Tetapi penyelidikan ini kemudian
dibantah bahwa pemeriksaan electron misroscope inclusion bodies ini
adalah proyeksi cytoplasma yang berada dalam membran inti.
C. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya meningioma sampai saat ini masih belum jelas.
Kaskade eikosanoid diduga memainkan peranan dalam tumorogenesis dan
perkembangan edema peritumoral. Dari lokalisasinya Sebagian besar
meningioma terletak di daerah supratentorial. Insidens ini meningkat
terutama ada daerah yang mengandung granulatio Pacchioni. Lokalisasi
terbanyak pada daerah parasagital dan yang paling sedikit pada fossa
posterior.
Tumor otak menyebabkan timbulnya ganguan neurologik progresif.
Gejala-gejalanya timbul dalam rangkaian kesatuan sehingga menekankan
pentingnya anamnesis dalam pemeriksaan penderita. Gejala-gejala
sebaiknya dibicarakan dalam suatu perspektif waktu. Gangguan neurologik
pada tumor otak biasanya dianggap disebabkan oleh dua faktor : gangguan
fokal akibat tumor dan kenaikan tekanan intra kranial. Gangguan fokal terjadi
apabila terdapat penekanan pada jaringan otak, dan infiltrasi atau infasi
langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan neural. Disfungsi
terbesar terjadi pada tumor infiltratif yang tumbuh paling cepat (glioblastoma
multiforma).
Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor yang bertumbuh
menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada
umumnya bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara akut dan mungkin
dapat dikacaukan dengan gangguan serebrovaskuler primer. Serangan
kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuron dihubungkan
dengan kompresi, infasi, dan perubahan suplai darah kejaringan otak.
Bebrapa tumor membentuk kista yang juga menekan parenkim otak
sekitarnya sehingga memperberat gangguan neurologis fokal.
Meningioma juga berhubungan dengan hormon seks dan seperti
halnya faktor etiologi lainnya mekanisme hormon sex hingga memicu
meningioma hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Pada sekitar 2/3
kasus meningioma ditemukan reseptor progesterone. Tidak hanya
progesteron, reseptor hormon lain juga ditemukan pada tumor ini termasuk
estrogen, androgen, dopamine, dan reseptor untuk platelet derived growth
factor. Beberapa reseptor hormon sex diekspressikan oleh meningioma.
Dengan teknik imunohistokimia yang spesifik dan teknik biologi molekuler
diketahui bahwa estrogen diekspresikan dalam konsentrasi yang rendah.
Reseptor progesteron dapat ditemukan dalam sitosol dari meningioma.
Reseptor somatostatin juga ditemukan konsisten pada meningioma.
Pada meningioma multiple, reseptor progesteron lebih tinggi
dibandingkan pada meningioma soliter. Reseptor progesteron yang
ditemukan pada meningioma sama dengan yang ditemukan pada karsinoma
mammae. Jacobs dkk (10) melaporkan meningioma secara bermakna tidak
berhubungan dengan karsinoma mammae, tapi beberapa penelitian lainnya
melaporkan hubungan karsinoma mammae dengan meningioma.
Meningioma merupakan tumor otak yang pertumbuhannya lambat dan
tidak menginvasi otak maupun medulla spinalis. Stimulus hormon
merupakan faktor yang penting dalam pertumbuhan meningioma.
Pertumbuhan meningioma dapat menjadi cepat selama periode peningkatan
hormon, fase luteal pada siklus menstruasi dan kehamilan.
Pathways (Terlampir)
D. Manifestasi Klinis
Menurut lokasi tumor:
a. Lobus Frontalis
Gangguan mental / gangguan kepribadian ringan: depresi, bingung,
tingkah laku aneh, sulit memberi argumentasi/menilai benar atau tidak,
hemipresis, ataksia, dan gangguan bicara.
b. Kortekpresentalis Posterior
Kelemahan/kelumpuhan pada otot-otot wajah, lidah dan jari
c. Lobus parasentralis
Kelemahan/kelumpuhan pada ekstremitas bawah
d. Lobus Oksipitalis
Kejang, gangguan penglihatan
e. Lobus Temporalis
Tinnitus, halusinasi pendengaran, afasiasensorik, kelumpuhan otot wajah
f. Lobus Parietalis
Hilang fungsi sensorik, kortikalis, gangguan lokasi sensorik, gangguan
penglihatan.
g. Cerebellum
Papiloedema, nyeri kepala, gangguan motorik, hipotonia,
hiperekstremitassendi
Tanda dan Gejala Umum:
a. Nyeri kepala berat pada pagi hari, semakib bertambah bila batuk atau
membungkuk
b. Kejang
c. Tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial: pandangan kabur, mual,
muntah, penurunan fungsi pendengaran, perubahan tanda-tanda vital,
afasia.
d. Perubahan kepribadian
e. Gangguan memori
f. Gangguan alam perasaan
Menurut Brunner dan Studdarth (2000) gejala-gejala yang ditimbulkan pada
klien dengan craniotomy antara lain:
a. Penurunan kesadaran, nyeri kepala hebat, dan pusing
b. Bila hematoma semakin meluas akan timbul gejala deserbrasi dan
gangguan tanda vital an fungsi pernafasan.
c. Terjadinya peningkatan TIK setelah pembedahan ditandai dengan muntah
proyektil, pusing, dan peningkatan tanda-tanda vital.
E. Komplikasi
a. Edema serebral
b. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral
c. Syok hipovolemik
d. Hydrocephalus
e. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
f. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis
g. Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi.
Bahaya besar trombo phlebitis timbul bila darah tersebut lepas dari
dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke
paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki
post operasi, ambulatif dini.
h. Infeksi
i. Infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi. Organisme
yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapylococus aureus,
organisme garam positif stapylococus mengakibatkan pernanahan, untuk
menghindari infeksi luka yang paling penting adalah perawatan luka
dengan memperhatikan aseptic dan antiseptic.
j. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau
eviserasi. Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi
luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab
dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu
pembedahan.
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan post craniotomy
meliputi hal-hal yang dibawah ini:
a. Pemeriksaan tengkorak dengan sinar X, CT scan atau MRI dapat dengan
cermat mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler,
dan perubahan jaringan otak. Untuk mengetahui adanya infark/iskemia
jangan dilakukan pada 24-72 jam setelah injuri.
b. Angiografi serebral
Menunjukkan anomaly sirkulasi cerebral, seperti: perubahan jaringan otak
sekunder menjadi oedema, perdarahan, trauma.
c. EEG berkala
Electroencephalogram (EEG) adalah suatu test untuk mendeteksi
kelainan aktivitas elektrik otak.
d. Foto rontgen, mendeteksi perdarahan struktur tulang (fraktur) perubahan
struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
e. PET (Post Emission Tomograph), mendeteksi perubahan aktivitas
metabolism otak
f. Kadar Elektrolit, untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
peningkatan tekanan intracranial
g. Skrining toksikologi, untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.
h. Analisa Gas Darah
Adalah suatu test diagnostic untuk menentukan status respirasi. Status
respirsi dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah
oksigenasi dan status asam basa.
G. Penatalaksanaan
Adapun penatalaksanaan post operasi craniotomy mencakup:
a. Mengurangi edema serebral
Pemberian manitol, yang meningkatkan osmolalitas serum dan menarik
air bebas dari area otak. Cairan ini kemudian disekresikan melalui
dieresis osmotic. Deksametason dapat diberikan melalui intravena setiap
6 jam selama 24 jam sampai 72 jam, selanjutnya dosisnya dikurangi
secara bertahap.
b. Meredakan nyeri dan mencegah kejang
Asetaminofen biasanya diberikan selama suhu diatas 37,5 C dan untuk
nyeri. Sering kali pasien mengalami sakit kepala setelah craniotomy,
biasanya sebagai akibat saraf kulit kepala diregangkan dan diiritsi selama
pembedahan. Kodein diberikan lewat parenteral, biasanya cukup untuk
menghilangkan sakit kepala.
c. Memantau TIK. Kateter ventrikel atau beberapa tipe drainase sering
dipasang pada pasien yang menjalani pembedahan untuk tumor fossa
posterior.
Penatalaksanaan Pokok:
a. Perbaiki dan jaga jalan nafas
b. Yakinkan bahwa ventilasi dan oksigenasi adekuat
c. Lakukan pembedahan segera jika terdapat tanda-tanda penting dari
hematoma (< 4 jam )
d. Pertahankan normovolemik dan normotensi untuk mempertahankan
aliran darah ke serebral.
e. Terapi cedera cepat jika terjadi peningkatan TIK dan ulangi CT Scan jika
terjadi kemunduruan secara klinis.
f. Terapi cedera-cedera lainnya dengan tepat
g. Awasi adanya komplikasi-komplikasi sistemik.
- Pendarahann sistem pencernaan
- DIC
- Edema paru neurogenik
- Abnormallitas hormone endokrin
h. Perawatan Secara Umum:
- Baringkan pasien dengan posisi kepala ditinggikan 15 - 30 ganti
posisi secara berkala
- Observasi GCS/respon pupil tiap jam
- Lakukan suction minimal 1 kali tiap shift dan sesuai kebutuhan
- Beri analgesic sesuai kebutuhan
- Berikan nutrisi yang adekuat
- Hilangkan infeksi
- Profilaksis untuk kejang
i. Ventilasi
- Mode control SIM V dengan RR yang dibutuhkan untuk memberi
dukungan secara penuh. Tujuan diberikan ventilator: PO2 > 80
mmHg, PCO2 < 35 mmHg
- Hiperventilasi (PCO2 < 35)
- Acute: menurunnya aliran darah serebral, menurunnya tekanan darah
intracranial
- 4-8 jam: ditoleransi
- > 8 jam: berulang, meningkatnya tekanan intracranial jika PCO2
meningkat
- Kronik: akibatnya sangat buruk karena hal tersebut mengakibatkan
menurunnya aliran darah serebral.
- PEEP: kadar rendah, tidak disukai karena dapat meningkatkan
tekanan intracranial
- Gunakan 10 cm H2O jika : paru-paru colaps, FIO2 50%
- Hindari penggunaan PEEP > 0 cm H2O tanpa dilakukan monitoring
tekanan intracranial
- Dapat menaikkan pemberian sedative atau lognocain sebelum suction
dilakukan
j. Sirkulasi
- Peratahankan tekanan darah dalam batas normal
- Pertahankan normovolemik = jangan batasi cairan kecuali terjadi
SIADH
- Hindari pemberian dextrose pada terapi cairan
- Kontrol tekanan darah
- Tekanan Perfusi Serebral (CPP)
CPP = MAP-ICP
- Hasil yang diharapkan CPP > 60
- Jika tekanan intrakranial pasien tidak diketahui pertahankan MAP 90
mmHg.
H. Pengkajian Primer
a. Airway
Perlu dikaji apakah ada sumbatan/benda asing, massa leher, tonsil yang
membesar yang dapat menghambat jalan napas pasien.
b. Breathing
Kaji apakah terjadi perubahan pola nafas, adanya bunyi napas tambahan,
stridor, tersedak, ronkhi, mengi, positif.
c. Circulation
Pantau adanya perubahan tekanan darah atau perubahan frekuensi
jantung dan klasifikasi perdarahan yang terjadi.
d. Disability
Yang dikaji adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Dalam
mengkaji dapat menggunakan GCS maupun AVPU. Biasanya pasien
mengalami kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,
vertigo, sirkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstremitas.
perubahan dalam penglihatan, gangguan pengecapan dan juga
penciuman. Selain itu juga kehilangan penginderaan seperti pengecapan,
penciuman, pendengaran, sangat sensitif terhadap sentuhan dan getaran,
kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi
tubuh
e. Exposure
Kaji adanya jejas atau luka lain di seluruh tubuh pasien, ukur suhu tubuh
pasien.
I. Pengkajian Sekunder
a. Pemeriksaan Fisik Head to Toe
Periksa adanya lesi, perdarahan, laserasi, memar, maupun hematom.
Observasi adanya gigi yang tanggal maupun gigi palsu. Cek adanya
fraktur pada daerah servikal, dada, pelvis, tulang belakang, dan
ekstremitas.
b. Aktivitas / istirahat
Dikaji apakah pasien mengalami gangguan/keluhan dalam melakukan
aktivitasnya saat menderita suatu penyakit (dalam hal ini adalah setelah
didiagnosa mengalami alergi) atau saat menjalani perawatan di RS.
c. Sirkulasi
Riwayat penyakit jantung, polisitemia, hipotensi postural, hipertensi
arterial, frekuensi nadi yang bervariasi, disritmia, perubahan irama EKG,
Bruits pada arteri karotis, femoralis, iliaka yang abnormal
d. Integritas Ego
Perasaan tidak berdaya, putus asa, emosi yang labil, kesulitan untuk
mengekspresikan diri
e. Eliminasi
Perubahan pola berkemih seperti inkontinensia urin, anuria, distensi
abdomen, bising usus
f. Makanan/cairan
Kemampuan untuk makan/menelan, perubahan nafsu makan, mual
muntah, kehilangan sensasi pada lidah, pipi, tenggorokan, disfagia,
adanya riwayat DM, penngkatan lemak dalam darah, obesitas.
g. Neurosensori
Lima area pengkajian neurologik yaitu:
1. Fungsi serebral meliputi status mental, fungsi intelektual, daya pikir,
status emosional, persepsi, kemampuan motorik, kemampuan
bahasa.
2. Fungsi syaraf cranial meliputi nervus cranial I sampai XII
3. Fungsi sensori meliputi sensasi taktil, sensasi nyeri dan suhu, vibrasi
dan propiosepsi, merasakan posisi, dan integrasi sensasi
4. Fungsi motorik meliputi ukuran otot, tonus otot, kekuatan otot,
keseimbangan dan koordinasi
5. Fungsi Refleks meliputi refleks brakoiradialis, patella, ankle, kontraksi
abdominal, dan babinski.
h. Nyeri / kenyamanan
Dikaji kondisi pasien yang berhubungan dengan gejala-gejala
penyakitnya, misalnya pasien merasa nyeri di perut bagian kanan atas
(dikaji dengan PQRST : faktor penyebabnya, kualitas/kuantitasnya, lokasi,
lamanya dan skala nyeri)
i. Keamanan
Dikaji apakah pasien merasa cemas akan setiap tindakan keperawatan
yang diberikan kepadanya, dan apakah pasien merasa lebih aman saat
ditemani keluarganya selama di RS
j. Interaksi social
Masalah bicara, ketidakmampuan dalam berkomunikasi
K. Rencana Keperawatan
Denizot, Y., Armas, R., Durand, K., Robert, S., JacquesMoreau, J., dan Caire, F.
2009. Analysis of Several PLA2 mRNA in HumanMeningiomas. Artikel
Online: Hindawi Publishing Corporation Mediators of Inflammation Volume
2009, Article ID 689430, 8 pages
Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis, Edisi: Pertama. Jakarta: EGC
Harsono. 2000. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 2. Jakarta: FKUI
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Pierce dan Borley. 2006. Ilmu Bedah, Edisi 3. Jakarta: Penerbit Erlangga
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit, Edisi:
6 Volume 2. Jakarta: EGC
LAPORAN PENDAHULUAN
MENINGIOMA
RSUD KRATON PEKALONGAN
Disusun Oleh: