Anda di halaman 1dari 22

Landasan Filosofis dan Psikologis dalam Pengembangan Kurikulum

LandasanFilosofis dan Psikologis dalam Pengembangan


Kurikulum
(Sebagai Tugas Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum)

Dosen Mata Kuliah : Drs.Yuniarto Mudjisusatyo, M.Pd.


Disusun oleh : Egia Aloi Tarigan (5143122011)

FAKULTAS TEKNIK
PENDIDIKAN TEKNIK OTOMOTIF
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2014
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur marilah kita panjatkan pada TUHAN YANG MAHA ESA yang telah
menciptakan manusia dan memuliakannya diatas makhluk-makhluk yang lain.
Puji TUHAN berkat rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan
makalah yang singkat ini dengan judul Landasan Filosofis dan Psikologis dalam Pengembangan
Kurikulum. Makalah ini terdiri dari pokok-pokok bahasan materi yang membahas mengenai
Landasan perkembangan kurikulum yakni meliputi landasan filosofis, landasan psikologis, dan
landasan sosial-budaya dalam pengembangan kurikulum. Materi ini disajikan secara ringkas
yang kami ambil dari beberapa sumber referensi terpilih.
Terima kasih kepada BAPAK DRS. YUNIARTO MUDJISUSATYO, M.Pd selaku dosen
mata kuliah Pengembangan Kurikulum, yang telah membimbing saya untuk menyelesaikan
tugas makalah ini. Selain itu saya juga mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman
yang bersedia mempelajari dan memberikan masukan atas makalah ini. Adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini ialah untuk memenuhi tugas mata kuliah yang bersangkutan. Saya
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi saya khususnya, dan bagi kita semua selaku calon
pendidik generasi di masa depan.

Medan ,10 november 2016

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i


DAFTAR ISI..................................................................................................... ii
BAB I ...... PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
BAB II ...... PEMBAHASAN .............................................................................................. 2
A. Landasan Pengembangan Kurikulum.............................................................. 2
B. Landasan Filosofis Pengembangan Kurikulum
a. Pengertian Filosofis........................................................................................... 2
b. Cabang-cabang Filosofis................................................................................... 3
c. Manfaat Filsafat................................................................................................ 4
d. Hubungan Antara Filsafat Dengan Filsafat Pendidikan................................... 4
C. Landasan Psikologis Pengembangan Kurikulum
a. Pengertian Psikologis...................................................................................... 5
b. Bidang-Bidang Psikologi yang Mendasari Kurikulum................................... 5
D. Landasan Sosiologis (Sosial Budaya) dalam
Pengembangan Kurikulum
a. Pengertian Sosiologis.................................................................................... 8
b. Masyarakat dan Kurikulum........................................................................... 9
c. Kebudayaan dan Kurikulum.......................................................................... 11

BAB III . PENUTUP .................................................................................................... 13


DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 14

BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam keseluruhan aspek kehidupan
manusia. Hal itu disebabkan pendidikan berpengaruh langsung terhadap perkembangan manusia,
perkembangan seluruh aspek kepribadian manusia. Kalau bidang-bidang lain seperti ekonomi,
pertanian, arsitektur, dan sebagainya berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi
kepentingan manusia, pendidikan berkaitan langsung dengan pembentukan manusia. Pendidikan
menentukan model manusia yang akan dihasilkan.
Landasan pengembangan kurikulum dapat menjadi titik tolak sekaligus titik sampai. Titik
tolak berarti pengembangan kurikulum dapat didorong oleh pembaharuan tertentu seperti
penemuan teori belajar yang baru dan perubahan tuntutan masyarakat terhadap fungsi sekolah.
Titik sampai berarti urikulum harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat merealisasi
perkembangan tertentu, seperti dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tuntutan-
tuntutan sejarah masa lalu, perbedaan latar belakang murid, nilai-nilai masyarakat, dan tuntutan
kultur terentu.[1]
Adapun landasan-landasan utama dalam pengembangan kurikulum yaitu: landasan
filosofis, landasan psikologis, landasan sosial budaya dan landasan perkembangan ilmu dan
teknologi. Sedangkan pada makalah ini hanya dibahas tentang landasan filosofis, landasan
psikologis serta landasan sosial budaya.
BAB II
Landasan Filosofis dan Psikologis dalam Pengembangan
Kurikulum
AA. Landasan Pengembangan Kurikulum
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan memunyai kedudukan yang cukup sentral dalam
seluru kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat
pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan dan di dalam perkembangan kehidupan
manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dikerjakan sembarangan. Penyusunan kurikulum
membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dsan
penelitian yang mendalam.
Ada beberapa landasan utama dalam pengembangan suatu kurikulum, yaitu landasan
filosofis, landasan psikologis, landasan sosial-budaya, serta perkembangan ilmu dan teknologi.
B. Landasan filosofis Pengembangan Kurikulum
a. Pengertian
Istilah filsafat adalah terjemahan dari bahasa inggris phylosophyyang berasal dari
perpaduan bahasa Yunani philien yang berarti cinta (love) dan sophia (wisdom) yang
berarti kebijaksanaan. Jadi secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau love of
wisdom.[2] Secara operasional filsafat mengandung dua pengertian, yakni sebagai proses
(berfilsafat) dan sebagai hasil berfilsafat (sistem teori atau pemikiran).
Filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai atau cita-cita masyarakat. Filsafat pendidikan
menggambarkan manusia yang ideal yang diharapkan oleh masyarakat. Dengan kata lain, filsafat
pendidikan merupakan pandangan hidup masyarakat. Filsafat pendidikan menjadi landasan untuk
merancang tujuan pendidikan, prinsip-prinsip belajar serta perangkat pengalaman belajar yang
bersifat mendidik. Filsafat pendidikan dipengaruhi oleh dua hal yang pokok yakni:
1) Cita-cita nasional
2) Kebutuhan peserta didik yang hidup di masyarakat
Filsafat pendidikan sebagai suatu pandangan hidup bukan menjadi hiasan lidah belaka,
melainkan harus meresapi tingkah laku semua anggota masyarakat. Nilai-nilai filsafat
pendidikan harus dilaksanakan dalam perilaku sehari-hari. Hal ini menunjukkan pentingnya
filsafat pendidikan sebagai landasan dalam rangka pengembangan kurikulum.
Filsafat pendidikan sebagai sumber tujuan. Secara sederhana dapat ditafsirkan bahwa
filsafat pendidikan adalah hal yang diyakini dan diharapkan oleh seseorang. Filsafat pendidikan
mengandung nilai-nilai atau perbuatan seseorang atau masyarakat. Dalam filsafat pendidikan
terkandung cita-cita tentang model manusia yang diharapkan, sesuai dengan nilai-nilai yang
disetujui oleh individu dan masyarakat. Karena itu, filsafat pendidikan harus dirumuskan
berdasarkan kriteria yang bersifat umum dan objektif.[3] Hopkin dalam bukunya interaction the
Democratic process, mengemukakan kriteria, antara lain:
1. Kejelasan, filsafat atau keyakinan harus jelas dan tidak boleh meragukan.
2. Konsisten dengan kenyataan, berdasarkan penyelididkan yang akurat.
3. Konsisten dengan pengalaman, yang sesuai dengan kehidupan individu.

b. Cabang-cabang Filsafat
Ada tiga cabang besar filasafat, yaitu:
1. Metafisika, yang membahas segala yang ada dalam alam ini dan membahas hakikat
kenyataan atau realitas yang meliputi (1) metafisika umum, dan (2) metafisika khusus yang
meliputi kosmologi (hakikat alam semesta), teologi (hakikat ketuhanan) dan antropologi filsafat
(hakikat manusia).
2. Epistemologi, yang membahas kebenaran dan membahas hakikat pengetahuan (sumber
pengetahuan, metode mencari pengetahuan, kesahihan pengetahuan, dan batas-batas
pengetahuan); dan hakikat penalaran (induktif dan deduktif).
3. Aksiologi, yang membahas hakikat nilai dengan cabang-cabangnya etika (hakikat
kebaikan), dan estetika (hakikat keindahan).

c. Manfaat Filsafat Pendidikan


Filsafat pendidikan pada dasarnya adalah penerapan dari pemikiran-pemikiran filsafat
untuk memecahkan permasalahan pendidikan. Dengan demikian filsafat memiliki manfaat
dan memberikan kontribusi yang besar terutama dalam memberikan kajian sistematis
berkenaan dengan kepentingan pendidikan. Nasution (1982) mengidentifikasi beberapa
manfaat filsafat pendidikan, yaitu:
1. Filsafat pendidikan dapat menentukan arah akan dibawa ke mana anak-anak melalui
pendidikan di sekolah? Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan untuk mendidik anak-anak
ke arah yang dicita-citakan oleh masyarakat, bangsa, dan negara.
2. Dengan adanya tujuan pendidikan yang diwarnai oleh filsafat yang dianut, kita
mendapat gambaran yang jelas tentang hasil yang harus dicapai. Manusia yang
bagaimanakah yang harus diwujudkan melalui usaha-usaha pendidikan itu?
3. Filsafat dan tujuan pendidikan memberi kesatuan yang bulat kepada segala usaha
pendidikan.
4. Tujuan pendidikan memungkinkan si pendidik menilai usahanya, hingga manakah tujuan itu
tercapai.
5. Tujuan pendidikan memberikan motivasi atau dorongan bagi kegiatan-kegiatan
pendidikan.
d. Hubungan Antara Filsafat Dengan Filsafat Pendidikan
Donald Butler (1957) mengatakan, filsafat memberikan arah & metodologi terhadap
praktek pendidikan; praktek pendidikan memberikan bahan bagi pertimbangan filsafat
Brubacher (1950), mengemukakan 4 pandangan tentang hubungan ini :
a. Filsafat merupakan dasar utama dalam filsafat pendidikan
b. Filsafat merupakan bunga, bukan akar pendidikan
c. Filsafat pendidikan berdiri sendiri sebagai disiplin yang mungkin memberi keuntungan dari
kontak dengan filsafat, tetapi kontak tersebut tidak penting
d. Filsafat dan teori pendidikan menjadi satu
John Dewey menyatakan, filsafat dan filsafat pendidikan adalah sama, seperti pendidikan sama
dengan kehidupan

C. Landasan Psikologis Pengembangan Kurikulum


a. Pengertian
Apa yang dimaksud dengan kondisi psikologis itu? Kondisi psikologis merupakan
karakteristik psiko-fisik seseorang sebagai individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk
perilaku dalam interaksi dengan lingkungannya. Prilaku-prilaku tersebut merupakan manifestasi
dari ciri-ciri kehidupannya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, prilaku kognitif,
afektif, dan psikomotor.
Kondisi psikologis setiap individu berbeda, karena perbedaan tahap perkembangannya,
latar belakang sosial-budaya, juga karena perbedaan faktor-faktor yang dibawa dari
kelahirannya. Kondisi ini pun berbeda pula bergantung pada konteks, peranan, dan status
individu diantara individu-individu lainnya. Interaksi yang tercipta dalam situasi pendidikan
harus sesuai dengan kondisi psikologis para peserta didik maupun kondisi pendidiknya.
b. Bidang-Bidang Psikologi yang Mendasari Kurikulum
Peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam proses perkembangan. Tugas
utama yang sesungguhnya dari para pendidik adalah membantu perkembangan peserta didik
secara optimal. Sejak kelahiran sampai menjelang kematian, anak selalu berada dalam proses
perkembangan, perkembangan seluruh aspek kehidupannya. Tanpa pendidikan di sekolah, anak
tetap berkembang, tetapi dengan pendidikna di sekolah tahap perkembangannya menjadi lebih
tinggi dan lebih luas. Apa yang dididikkan dan bagaimana cara mendidiknya, perlu disesuaikan
dengan pola-pola perkembangan anak. Karakteristik perilaku individu pada tahap-tahap
perkembangan, serta pola-pola perkembangan individu menjadi kejian Psikologi Perkembangan.
Jadi, minimal ada dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum, yaitu
Psikologi Perkembangan dan Psikologi Belajar.
1. Psikologi Perkembangan
Psikologi perkembangan membahas perkembangan individu sejak masa konsepsi, yaitu
masa pertemuan spermatozoid dengan sel telur sampai dengan dewasa.[4] Psikologi
perkembangan merupakan cabang dari psikologi yang mempelajari proses perkembangan
individu, baik sebelum maupun setelah kelahiran berikut kematangan perilaku" (J.P.
Chaplin, 1979). Sementara itu Ross Vasta, dkk. (1992) mengemukakan bahwa psikologi
perkembangan adalah "Cabang psikologi yang mempelajari perubahan tingkah laku dan
kemampuan sepanjang proses perkembangan individu dari mulai masa konsepsi sampai
mati".
a. Metode dalam psikologi perkembangan
Pengetahuan tentang perkembangan individu diperoleh melalui studi yang bersifat
longitudinal, cross sectional, psikoanalitik, sosiologik, atau studi kasus. Studi longitudinal
menghimpun informasi tentang perkembangan individu melalui pengamatan dan pengkajian
perkembangan sepanjang masa perkembangan, sejak lahir sampai dengan dewasa, seperti yang
pernah dilakukan oleh Williard C. Olson. Metode cross sectional pernah dilakukan oleh Arnold
Gessel. Ia mempelajari beribu-ribu anak dari berbagai tingkat usia, mencatat ciri-ciri fisik dan
mental, pola-pola perkemmbangan dan kemampuan, serta perilaku mereka. Studi Psikoanalitik
dilakukan oleh Sigmund Freud beserta para pengikutnya. Studi ini ba nyak diarahkan
mempelajari perkembangan anak pada masa-masa sebelumnya, terutama pada masa kanak-kanak
(balita). Menurut mereka pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa balita itu dapat
mengganggu perkembangan pada masa-masa berikutnya. Metode sosiologik digunakan oleh
Robert Huvighurst. Ia mempelajari perkembangan anak dilihat dari tuntutan akan tugas-tugas
yang harus dihadapi dan dilakukan dalam masyarakat. Metode lain yang sering digunakan untuk
mengkaji perkembangan anak adalah studi kasus. Dengan mempelajari kasus-kasus tertentu, para
ahli psikologi perkembangan menarik beberapa kesimpulan tentang pola-pola perkembangan
anak. Studi demikian pernah dilakukan oleh Jean Peaget tentang perkembangan kognitif anak.[5]
b. Teori perkembangan
Ada tiga teori pendekatan tentang perkembangan individu, yaitu pendekatan pentahapan
(stage approach), pendekatan diferrensial (diferential approach), dan pendekatan ipsatif
(ipsative approach). Menurut pendekatan pentahapan, perkembangan individu berjalan melalui
tahap-tahap perkembangan. Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik tertentu yang
berbeda dengan tahap yang lainnya. Pendekatan diferensial melihat bahwa individu memiliki
persamaan dan perbedaan. Atas dasar persamaan dan perbedaan tersebut individu dikategorikan
atas kelompok-kelompok yang berbeda.
Dalam pendekatan pentahapan, dikenal dua variasi. Pertama, pendekatan yang bersifat
menyeluruh mencakup segala segi perkembangan. Kedua, pendekatan yang bersifat khusus
mendeskripsikan salah satu segi atau aspek perkembangan saja.
Dalam pendekatan yang bersifat khusus, kita mengenal pentahapan-pentahapan dari piaget,
kholberg, Erikson, dan sebagainya. Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap perkembangan dari
dari kemampuan kognitif anak. Dalam perkembangan kognitif menurut piaget, yang terpenting
adalah penguasaan dan kategori konsep-konsep. Melalui penguasaan kategori itu, anak mengenal
lingkungan dan memecahkan berbagai problemayang dihadapi dalam lingkungannya.
Ada empat tahap perkembangan kognitif anak menurut piaget, yaitu:
1. Tahap sensorimotor, usia 0-2 tahun
2. Tahap praoperasional, usia 2-4 tahun
3. Tahap Konkret Oprasional, usia 7-11 tahun
4. Tahap Formal Operasional, usia 11-15 tahun
2. Psikologi Belajar
Psikologi Belajar merupakan studi tentang bagaimana individu belajar. Secara sederhana belajar
dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi melalui pengalaman. Segala
perubahan tingkah laku baik yang berbentuk kognitif, afektif, maupun psikomotor dan terjadi
karena proses pengalaman dapat dikatagorikan sebagai perilaku belajar.
Menurut Morris L. Bigge dan Mourice P. Hunt (1980, hlm. 226-227) ada tiga keluarga atau
rumpun teori belajar, yaitu teori disiplin mental, behaviorisme, dan Cognitive Gestalt Field.[6]
1. Menurut rumpun teori mental secara herediter, anak telah memiliki potensi-potensi tertentu.
Belajar merupakan upaya untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut.
2. Menurut rumpun teori belajar behaviorisme, anak atau individu tidak memiliki atau membawa
potensin apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh faktor-faktor yang
berasal dari lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat atau berupa lingkungan manusia, alam,
budaya, religi yang membentuknya). Perkembangan anak menyangkut hal-hal nyata yang dapat
dilihat, diamati.
3. Rumpun ketiga yakni kognitif gestalt field, menyatakan belajar adalah proses mengembangkan
insight atau pemahaman baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman terjadi apabila
individu menemukan vcara baru dalam menggunakan unsur-unsur yang ada dalam lingkungan,
termasuk struktur tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat bahwa belajar itu merupakan perbuatan
yang bertujuan, eksploratif, imajinatif dan kreatif.
D. Landasan Sosiologis (Sosial Budaya) dalam Pengembangan Kurikulum
a. Pengertian
Landasan sosiologis pengembangan kurikulum adalah asumsi-asumsi yang berasal dari
sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum. Mengapa pengembangan
kurikulum harus mengacu pada landasan sosiologis? Anak-anak berasal dari masyarakat,
mendapatkan pendidikan baik informal, formal, maupun non formal dalam lingkungan
masyarakat, dan diarahkan agar mampu terjun dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu
kehidupan masyarakat dan budaya dengan segala karakteristiknya harus menjadi landasan
dan titik tolak dalam melaksanakan pendidikan.
Jika dipandang dari sosiologi, pendidikan adalah proses mempersiapkan individu
agar menjadi warga masyarakat yang diharapkan, pendidikan adalah proses sosialisasi, dan
berdasarkan pandangan antrofologi, pendidikan adalah enkulturasi atau pembudayaan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia-manusia yang lain dan
asing terhadap masyarakatnya, tetapi manusia yang lebih bermutu, mengerti, dan mampu
membangun masyarakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus
disesuaikan dengan kondisi, karakteristik kekayaan, dan perkembangan masyarakat
tersebut.[7] Untuk menjadikan peserta didik agar menjadi warga masyarakat yang
diharapkan maka pendidikan memiliki peranan penting, karena itu kurikulum harus mampu
memfasilitasi peserta didik agar mereka mampu bekerja sama, berinteraksi, menyesuaikan
diri dengan kehidupan di masyarakat dan mampu meningkatkan harkat dan martabatnya
sebagai mahluk yang berbudaya.
Pendidikan adalah proses sosialisasi melalui interaksi insani menuju manusia yang
berbudaya. Dalam konteks inilah anak didik dihadapkan dengan budaya manusia, dibina dan
dikembangkan sesuai dengan nilai budayanya, serta dipupuk kemampuan dirinya menjadi
manusia.
b. Masyarakat dan Kurikulum
Masyarakat adalah suatu kelompok individu yang diorganisasikan mereka sendiri ke
dalam kelompok-kelompok berbeda, atau suatu kelompok individu yang terorganisir yang
berpikir tentang dirinya sebagai suatu yang berbeda dengan kelompok atau masyarakat
lainnya. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri. Dengan demikian, yang
membedakan masyarakat satu dengan masyarakat yang lainnya adalah kebudayaan. Hal ini
mempunyai implikasi bahwa apa yang menjadi keyakinan pemikiran seseorang, dan reaksi
seseorang terhadap lingkungannya sangat tergantung kepada kebudayaan dimana ia hidup.
Menurut Daud Yusuf (1982), terdapat tiga sumber nilai yang ada dalam masyarakat
untuk dikembangkan melalui proses pendidikan, yaitu: logika, estetika, dan etika. Logika
adalah aspek pengetahuan dan penalaran, estetika berkaitan dengan aspek emosi atau
perasaan, dan etika berkaitan dengan aspek nilai. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan adalah
nilai-nilai yang bersumber pada logika (pikiran). Sebagai akibat dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang pada hakikatnya adalah hasil kebudayaan manusia, maka
kehidupan manusia semakin luas, semakin meningkat sehingga tuntutan hidup pun semakin
tinggi.
Pendidikan harus mengantisipasi tuntutan hidup ini sehingga dapat mempersiapkan anak
didik untuk hidup wajar sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat. Dalam konteks inilah
kurikulum sebagai program pendidikan harus dapat menjawab tantangan dan tuntutan
masyarakat. Untuk dapat menjawab tuntutan tersebut bukan hanya pemenuhan dari segi isi
kurikulumnya saja, melainkan juga dari segi pendekatan dan strategi pelaksanaannya. Oleh
karena itu guru sebagai pembina dan pelaksana kurikulum dituntut lebih peka mengantisipasi
perkembangan masyarakat, agar apa yang diberikan kepada siswa relevan dan berguna bagi
kehidupan siswa di masyarakat.
Penerapan teori, prinsip, hukum, dan konsep-konsep yang terdapat dalam semua
ilmu pengetahuan yang ada dalam kurikulum, harus disesuaikan dengan kondisi sosial
budaya masyarakat setempat, sehingga hasil belajar yang dicapai oleh siswa lebih
bermakna dalam hidupnya. Pengembangan kurikulum hendaknya memperhatikan kebutuhan
masyarakat dan perkembangan masyarakat. Tyler (1946), Taba (1963), Tanner dan Tanner
(1984) menyatakan bahwa tuntutan masyarakat adalah salah satu dasar dalam pengembangan
kurikulum. Calhoun, Light, dan Keller (1997) memaparkan tujuh fungsi sosial pendidikan,
yaitu:
1. Mengajar keterampilan.
2. Mentransmisikan budaya.
3. Mendorong adaptasi lingkungan.
4. Membentuk kedisiplinan.
5. Mendorong bekerja berkelompok.
6. Meningkatkan perilaku etik, dan
7. Memilih bakat dan memberi penghargaan prestasi.
Perubahan sosial budaya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam suatu
masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengubah kebutuhan
masyarakat. Kebutuhan masyarakat juga dipengaruhi oleh kondisi masyarakat itu sendiri.
Masyarakat kota berbeda dengan masyarakat desa, masyarakat tradisional berbeda dengan
masyarakat modern. Adanya perbedaan antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya
sebagian besar disebabkan oleh kualitas individu-individu yang menjadi anggota masyarakat
tersebut. Di sisi lain, kebutuhan masyarakat pada umumnya juga berpengaruh terhadap
individu-individu sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu pengembangan kurikulum
yang hanya berdasarkan pada keterampilan dasar saja tidak akan dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat modern yang bersifat teknologis dan mengglobal. Akan tetapi pengembangan
kurikulum juga harus ditekankan pada pengembangan individu dan keterkaitannya dengan
lingkungan sosial setempat.
Berdasarkan uraian di atas, sangatlah penting memperhatikan faktor karakterstik
masyarakat dalam pengembangan kurikulum. Salah satu ciri masyarakat adalah selalu
berkembang. Perkembangan masyarakat dipengaruhi oleh falsafah hidup, nilai-nilai, IPTEK,
dan kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Perkembangan masyarakat menuntut
tersedianya proses pendidikan yang relevan. Untuk terciptanya proses pendidikan yang sesuai
dengan perkembangan masyarakat diperlukan kurikulum yang landasan pengembangannya
memperhatikan faktor perkembangan masyarakat.
c. Kebudayaan dan Kurikulum
Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan ide atau gagasan, cita-cita,
pengetahuan, kepercayaan, cara berpikir, kesenian, dan nilai yang telah disepakati oleh
masyarakat. Daoed Yusuf (1981) mendefinisikan kebudayaan sebagai segenap perwujudan
dan keseluruhan hasil pikiran (logika), kemauan (etika) serta perasaan (estetika) manusia
dalam rangka perkembangan kepribadian manusia, pekembangan hubungan dengan
manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha
Esa. Secara lebih rinci, kebudayaan diwujudkan dalam tiga gejala, yaitu:
a) Ide, konsep, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan lain-lain. Wujud kebudayaan ini bersifat
abstrak yang berada dalam alam pikiran manusia dan warga masyarakat di tempat kebudayaan
itu berada.
b) Kegiatan, yaitu tindakan berpola dari manusia dalam bermasyarakat. Tindakan ini disebut
sistem sosial. Dalam sistem sosial, aktivitas manusia bersifat konkrit, bisa dilihat, dan
diobservasi. Tindakan berpola manusia tentu didasarkan oleh wujud kebudayaan yang
pertama. Artinya, sistem sosial dalam bentuk aktivitas manusia merupakan refleksi dari
ide, konsep, gagasan, nilai, dan norma yang telah dimilikinya.
c) Benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan yang ketiga ini ialah seluruh fisik
perbuatan atau hasil karya manusia di masyarakat. Oleh karena itu wujud kebudayaan
yang ketiga ini adalah produk dari wujud kebudayaan yang pertama dan kedua.
Faktor kebudayaan merupakan bagian yang penting dalam pengembangan kurikulum dengan
pertimbangan:
1) Individu lahir tidak berbudaya, baik dalam hal kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan,
keterampilan, dan sebagainya. Semua itu dapat diperoleh individu melalui interaksi dengan
lingkungan budaya, keluarga, masyarakat sekitar, dan sekolah/lembaga pendidikan. Oleh
karena itu, sekolah/lembaga pendidikan mempunyai tugas khusus untuk memberikan
pengalaman kepada para peserta didik dengan salah satu alat yang disebut kurikulum.
2) Kurikulum pada dasarnya harus mengakomodasi aspek-aspek sosial dan budaya. Aspek
sosiologis adalah yang berkenaan dengan kondisi sosial masyarakat yang sangat beragam,
seperti masyarakat industri, pertanian, nelayan, dan sebagainya. Pendidikan di sekolah pada
dasarnya bertujuan mendidik anggota masyarakat agar dapat hidup berintegrasi, berinteraksi
dan beradaptasi dengan anggota masyarakat lainnya serta meningkatkan kualitas hidupnya
sebagai mahluk berbudaya. Hal ini membawa implikasi bahwa kurikulum sebagai salah satu alat
untuk mencapai tujuan pendidikan harus bermuatan kebudayaan yang bersifat umum seperti:
nilai-nilai, sikap-sikap, pengetahuan, dan kecakapan.

BAB III
KESIMPULAN

Pada prinsipnya ada empat landasan pokok yang harus dijadikan dasar dalam setiap
pengembangan kurikulum, dan sesuai dengan inti pembahasan kami maka dapat disimpulkan
tiga landasan pengembangan kurikulum, yakni sebagai berikut :
1. Landasan Filosofis,
yaitu asumsi-asumsi tentang hakikat realitas, hakikat manusia, hakikat pengetahuan, dan
hakikat nilai yang menjadi titik tolak dalam mengembangkan kurikulum. Asumsi-asumsi
filosofis tersebut berimplikasi pada permusan tujua pendidikan, pengembangan isi atau
materi pendidikan, penentuan strategi, serta pada peranan peserta didik dan peranan
pendidik.
2. Landasan psikologis
adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari psikologi yang dijadikan titik tolak dalam
mengembangkan kurikulum. Ada dua jenis psikologi yang harus menjadi acuan yaitu
psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi perkembangan mempelajari proses
dan karaktersitik perkembangan peserta didik sebagai subjek pendidikan, sedangkan
psikologi belajar mempelajari tingkah laku peserta didik dalam situasi belajar. Ada tiga
jenis teori belajar yang mempunyai pengaru besar dalam pengembangan kurikulum, yaitu
teori belajar kognitif, behavioristik, dan humanistic.
3. Landasan sosial budaya
adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari sosiologi dan antrofologi yang dijadikan titik
tolak dalam mengembangkan kurikulum. Karakterstik sosial budaya di mana peserta didik
hidup berimplikasi pada program pendidikan yang akan dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKA
Hamalik, Oemar. (2001). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara

Mudyahardo, Redja.(2008). Landasan-Landasan Filosofis Pendidikan. Bandung: Fakultas Ilmu


Pendidikan UPI

Soetopo, Hendyat, Soemanto, Wasty. (1993). Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Sukmadinata, Nana Syaodih. (1997). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: Remaja
Rosdakarya

[1] Soetopo, Hendyat, Soemanto, Wasty, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, ( Jakarta: PT Bumi Aksara, 1993).
Hlm. 46

[2] Redja Mudyahardo, Landasan-Landasan Filosofis Pendidikan, (Bandung: Fakultas Ilmu


Pendidikan UPI, 2008) hal.83
[3] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta, Bumi Aksara:2008)hal, 19-20
[4] Nana Syaodih Sukmadinata, Perkembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 1997) hlm. 46
[5] Ibid, hlm. 46-47.
[6] Nana Syaodih Sukmadinata, Perkembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 1997) hlm. 52-55
[7] Nana Syaodih Sukmadinata, Perkembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 1997) hlm. 58

/////////////////
A. LATAR BELAKANG

Dalam proses pengembangan sebuah kurikulum banyak hal yang perlu diperhatikan, diantaranya
landasan dalam pengembangannya. Landasan pengembangan kurikulum diantaranya, landasan
fisiologis, landasan psikologis, landasan sosial dan budaya, maupun landasan filosofis
pengembangan kurikulum. Dari sekian landasan tadi, saya mencoba mengembangkan dan
memaparkan landasan psikologis dalam pengembangan suatu kurikulum.

Kurikulum sebagai suatu program dan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, mempunyai
hubungan dengan proses perubahan perilaku peserta didik. Dalam hal ini kurikulum merupakan
suatu program pendidikan yang berfungsi sebagai alat untuk mengubah perilaku peserta didik
(peserta didik) ke arah yang diharapkan oleh pendidikan. Oleh sebab itu, proses pengembangan
kurikulum perlu memperhatikan asumsiasumsi yang bersumber dalam bidang kajian psikologi.

Landasan psikologis pengembangan kurikulum menuntut kurikulum untuk memperhatikan dan


mempertimbangkan aspek peserta didik dalam pelaksanaan kurikulum sehingga nantinya pada
saat pelaksanaan kurikulum apa yang menjadi tujuan kurikulum akan tercapai secara optimal.
Sehingga unsur psikologis dalam pengembangan kurikulum mutlak perlu diperhatikan.

B. PEMBATASAN MASALAH

Dalam pemaparan makalah ini, beberapa permasalahan yang melatarbelakangi penyusunan


makalah ini, antara lain;

1. Bagaimana unsur psikologis mempengaruhi proses pengembangan kurikulum?

2. Mengapa aspek psikologis perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum?, dan

3. Cabang psikologis apa saja yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum?

4. Apa saja implikasi landasan psikologis pada proses pengembangan maupun pelaksanaan
kurikulum?

C. LANDASAN PSIKOLOGIS PENGEMBANGAN KURIKULUM

Psikologi dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam
hubungan dengan lingkungan[1], pengertian sejenis menyebutkan bahwa psikologi merupakan
suatu ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal dan
pengaruhnya pada perilaku, ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa[2].

Peserta didik merupakan individu yang sedang berada dalam proses perkembangan (fisik,
intelektual, social emosional, moral, dan sebagainya). Tugas utama seorang guru sebagai
pendidik adalah membantu untuk mengoptimalkan perkembangan peserta didiknya berdasarkan
tugastugas perkembangannya.
Dengan menerapkan landasan psikologi dalam proses pengembangan kurikulum diharapkan
dapat diupayakan pendidikan yang dilaksanakan relevan dengan hakikat peserta didik, baik
penyesuaian dari segi materi/bahan yang harus diberikan/dipelajari peserta didik, maupun dari
segi penyampaian dan proses belajar serta penyesuaian dari unsurunsur upaya pendidikan
lainnya.

Pada dasarnya terdapat dua cabang ilmu psikologi yang berkaitan erat dalam proses
pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi
perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan
perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan,
pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu,
serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar
merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi
belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku
individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan
sekaligus mendasari pengembangan kurikulum[3].

Karakteristik perilaku tiap individu pada tiap tingkat perkembangan merupakan kajian yang
terdapat dalam cabang psikologi perkembangan. Oleh sebab itu, dalam pengembangan
kurikulum yang senantiasa berhubungan dengan program pendidikan untuk kepentingan peserta
didik, maka landasan psikologi mutlak harus dijadikan dasar dalam proses pengembangan
kurikulum. Perkembangan yang dialami oleh peserta didik pada umumnya diperoleh melalui
proses belajar. Guru sebagai pendidik harus mengupayakan cara/metode yang lebih baik untuk
melaksanakan proses pembelajaran guna mendapatkan hasil yang optimal, dalam hal ini proses
pembelajaran mutlak diperlukan pemikiran yang mendalam dengan memperhatikan psikologi
belajar.

Psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam hal penentuan isi kurikulum yang
diberikan/dipelajari peserta didik, baik tingkat kedalaman dan keluasan materi, tingkat kesulitan
dan kelayakannya serta manfaatnya yang disesuaikan dengan tahap dan tugas perkembangan
peserta didik. Psikologi belajar memberikan sumbangan terhadap pengembangan kurikulum
terutama berkenaan dengan bagaimana kurikulum itu diberikan kepada peserta didik dan
bagaimana peserta didik harus mempelajarinya, berarti berkenaan dengan strategi pelaksanaan
kurikulum.

1. Psikologi Perkembangan dan Kurikulum

Anak sejak dilahirkan sudah memperlihatkan keunikankeunikan yang berbeda satu sama
lainnya, seperti pernyataan dirinya dalam bentuk tangisan dan gerakangerakan tubuhnya. Hal
ini menggambarkan bahwa sejak lahir anak telah memiliki potensi untuk berkembang. Di dalam
psikologi perkembangan terdapat banyak pandangan ahli berkenaan dengan perkembangan
individu pada tiaptiap fase perkembangan.
Pandangan tentang anak sebagai makhluk yang unik sangat berpengaruh terhadap pengembangan
kurikulum pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi tersendiri, memiliki perbedaan di samping
persamaannya. Implikasi dari hal tersebut terhadap pengembangan kurikulum, antara lain;

1. Tiap anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat, minat, dan
kebutuhannya,

2. Di samping disediakan pembelajaran yang bersifat umum (program inti) yang harus
dipelajari peserta didik di sekolah, disediakan pula pembelajaran pilihan sesuai minat dan
bakat anak,

3. Kurikulum selain menyediakan bahan ajar yang bersifat kejuruan juga menyediakan
bahan ajar yang bersifat akademik,

4. Kurikulum memuat tujuan yang mengandung pengetahuan, nilai/sikap, dan ketrampilan


yang menggambarkan keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan bathin.

Implikasi lain dari pengetahuan tentang anak sebagai peserta didik terhadap proses pembelajaran
(actual curriculum) dapat diuraikan sebagai berikut;

1. Tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara operasional selalu berpusat pada perubahan
tingkah laku anak didik,

2. Bahan/materi pembelajaran yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan, minat dan
perhatian anak, bahan tersebut mudah diterima oleh anak,

3. Strategi pembelajaran yang digunakan harus sesuai dengan tahap perkembangan anak,

4. Media yang digunakan selalu menarik perhatian dan minat anak didik, dan

5. Sistem evaluasi berpadu dalam satu kesatuan yang menyeluruh dan berkesinambungan
dari satu tahap ke tahap berikutnya dan dilaksanakan secara terus menerus.

2. Psikologi Belajar dan Kurikulum

Merupakan suatu cabang ilmu yang mengkaji bagaimana individu belajar. Belajar dapat diartikan
sebagai perubahan perilaku yang terjadi melalui pengalaman. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia belajar berasal dari kata ajar yang berarti suatu petunjuk yang diberikan kepada
orang supaya diketahui/diturut[4]. Segala perubahan perilaku yang trejadi karena proses
pengalaman dapat dikategorikan sebagai perilaku belajar. Perubahan yang terjadi secara
insting/terjadi karena secara kebetulan bukan termasuk belajar.

Psikologi belajar yang berkembang sampai saat ini, pada dasarnya dapat dikelompokan menjadi
3 kelas, antara lain[5] ;

a. Teori disiplin daya/disiplin mental (faculty theory)


Menurut teori ini anak sejak dilahirkan memiliki potensi atau daya tertentu (faculties) yang
masingmasing memiliki fungsi tertentu, seperti potensi/daya mengingat, daya berpikir, daya
mencurahkan pendapat, daya mengamati, daya memecahkan masalah, dan sejenisnya. Potensi
potensi tersebut dapat dilatih agar dapat berfungsi secara optimal,daya berpikir anak sering
dilatih dengan pembelajaran berhitung misalnya, daya mengingat dilatih dengan menghapal
sesuatu. Daya yang telah terlatih dipindahkan ke dalam pembentukan lain. Pemindahan (transfer)
ini mutlak dilakukan melalui latihan (drill), karena itu pengertian pembelajaran dalam konteks
ini melatih anak didik dalam daya-daya itu, cara pembelajaran pada umumnya melalui hafalan
dan latihan-latihan.

b. Behaviorisme

Dalam aliran behaviorisme ini, terdapat 3 rumpun teori yang mencakup teori
koneksionisme/asosiasi, teori kondisioning, dan teori operant conditioning (reinforcement).
Behaviorisme muncul dari adanya pandangan bahwa individu tidak membawa potensi sejak
lahir. Perkembangan individu dipengaruhi oleh lingkungan (keluarga, lembaga pendidikan,
masyarakat. Behaviorisme menganggap bahwa perkembangan individu tidak muncul dari hal
yang bersifat mental, perkembangan hanya menyangkut hal yang bersifat nyata yang dapat
dilihat dan diamati.

Menurut teori ini kehidupan tunduk pada hukum S R (stimulus respon) atau aksi-reaksi.
Menurut teori ini, pada dasarnya belajar merupakan hubungan respon stimulus. Belajar
merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus respon seoptimal mungkin. Tokoh
utama teori ini yaitu Edward L. Thorndike yang memunculkan tiga teori belajar yaitu, law of
readiness, law of exercise, dan law of effect. Menurut hukum kesiapan (readiness) hubungan
antara stimulus dengan respon akan terbentuk bila ada kesiapan pada system syaraf individu.
Hukum latihan/pengulangan (exercise/repetition) stimulus dan respon akan terbentuk apabila
sering dilatih atau diulang ulang. Hukum akibat (effect) menyatakan bahwa hubungan antara
stimulus dan respon akan terjadi apabila ada akibat yang menyenangkan.

c. Organismic/Cognitive Gestalt Field

Menurut teori ini keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian, keseluruhan bukan
kumpulan dari bagian-bagian. Manusia dianggap sebagai makhluk yang melakukan hubungan
timbal balik dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan ini dijalin oleh stimulus dan
respon. Stimulus yang hadir diseleksi menurut tujuannya, kemudian individu melakukan
interaksi dengannya terus-menerus sehingga terjadi suatu proses pembelajaran. Dalam hal ini
guru lebih berperan sebagai pembimbing bukan sumber informasi sebagaimana diungkapkan
dalam pandangan koneksionisme, peserta didik lebih berperan dalam hal proses pembelajaran,
belajar berlangsung berdasarkan pengalaman yaitu kegiatan interaksi antara individu dengan
lingkungannya. Belajar menurut teori ini bukanlah sebatas menghapal tetapi memecahkan
masalah, dan metode belajar yang dipakai adalah metode ilmiah dengan cara anak didik
dihadapkan pada suatu permasalahan yang cara penyelesaiannya diserahkan kepada masing-
masing anak didik yang pada akhirnya peserta didik dibimbing untuk mengambil suatu
kesimpulan bersama dari apa yang telah dipelajari.
Prinsip-prinsip maupun penerapan dari organismic/cognitive gestalt field, antara lain ;

- Belajar berdasarkan keseluruhan

Prinsip ini mempunyai pandangan sebagaimana proses pembelajaran terpadu. Pelajaran yang
yang diberikan kepada peserta didik bersumber pada suatu masalah atau pkok yang luas yang
harus dipecahkan oleh peserta didik, peserta didik mengolah bahan pembelajaran dengan reaksi
seluruh pelajaran oleh keseluruhan jiwanya.

- Belajar adalah pembentukan kepribadian

Anak dipandang sebagai makhluk keseluruhan, anak diimbing untuk mendapat pengetahuan,
sikap, dan ketrampilan secara berimbang. Ia dibina untuk menjadi manusia seutuhnya yang
memiliki keseimbangan lahir dan batin antara pengetahuan dengan sikapnya. Seluruh
kepribadiannya diharapkan utuh melalui program pembelajaran yang terpadu.

- Belajar berkat pemahaman

Belajar merupakan proses pemahaman. Pemahaman mengandung makna penguasaan


pengetahuan, dapat menyelaraskan sikap dan ketrampilannya. Ketrampilan menghubungkan
bagian-bagian pengetahuan untuk diperoleh sesuatu kesimpulan merupakan wujud pemahaman.

- Belajar berdasarkan pengalaman

Proses belajar adalah bekerja, mereaksi, memahami, dan mengalami. Dalam proses pembelajaran
peserta didik harus aktif dengan pengolahan bahan pembelajaran melalui diskusi, Tanya jawab,
kerja kelompok, demonstrasi, survey lapangan, dan sejenisnya

- Belajar adalah proses berkelanjutan

Belajar adalah proses sepanjang masa. Manusia tidak pernah berhenti untuk belajar, hal ini
dilakukan karena faktor kebutuhan. Dalam pelaksanaannnya dianjurkan dalam
pengembangannya kurikulum tidak hanya terpaku pada proses pembelajaran yang ada tetapi
mengembangkan proses pembelajaran yang bersifat ekstra untuk memenuhi kebutuhan peserta
didik. Keberhasilan belajar tidak hanya ditentukan oleh kemampuan anak didik tetapi
menyangkut minat, perhatian, dan kebutuhannya. Dalam kaitan ini motivasi sangat menentukan
dan diperlukan.

D. KESIMPULAN

Pengembangan kurikulum yang ada di Indonesia, saat ini telah banyak mengalami perubahan.
Banyak hal yang dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum di suatu negara termasuk
Indonesia. Diantara landasan pengembangan kurikulum yang perlu dipertimbangkan yaitu
landasan psikologi dalam pengembangan kurikulum.
Dalam pengembangan kurikulum aspek psikologi patut dipertimbangkan, pada proses
pelaksanaan kurikulum faktor psikologi dari pebelajar perlu diperhatikan. Psikologi yang
dimaksud di sini, terdapat dua aspek psikologi antara lain; psikologi perkembangan dan
psikologi belajar.

Psikologi perkembangan memandang aspek kesiapan peserta didik dalam proses pelaksanaan
kurikulum, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum perlu
memandang dan memperhatikan faktor psikologi perkembangan dari tiap-tiap peserta didik.

Psikologi belajar merupakan bagian dari psikologi, yang mengkaji bagaimana seseorang
melakukan kegiatan belajar, cara dia menerima suatu rangsang/informasi sehingga terjadi suatu
proses belajar. Terdapat tiga bagian dari psikologi belajar, antara lain; teori disiplin daya/disiplin
mental (faculty theory), behaviorisme, dan organismic/cognitive gestalt field.

DAFTAR PUSTAKA

Desmita. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2005

http://ahmadsudrajat.wordpress.com/2009/08/pengembangan-kurikulum

http://apadefinisinya.blogspot.com/2008/09/landasan-pengembangan-kurikulum.html

http://zularman.wordpress.com/2007/08/04/psikologi-belajar
Papalia, Diane E., et. al. Human Development. Mc. Graw Hill Companies. 2008

Purwanto, Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktiscet. kedelapanbelas. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya. 2007

Pusat Bahasa Depdiknas. Kamus Besar Bahasa IndonesiaEdisi ketiga, cetakan ketiga. Jakarta:
Balai Pustaka. 2005

Sukarman, Dadang. Pengembangan Kurikulum electronic book Kurikulum dan Teknologi


Pendidikan UPI. Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan UPI. 2007

Syaodih, Nana. Pengembangan Kurikum: Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
1997

[1] Drs. Dadang Sukarman, M.Pd. Pengembangan Kurikulum electronic book Kurikulum dan
Tekhnologi Pendidikan UPI. Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan UPI.
2007, h. 20
[2] KBBI. 2005, h.901

[3] http://apadefinisinya.blogspot.com/2008/09/landasan-pengembangan-kurikulum.html

[4] Op. cit. h, 17

[5] http://zularman.wordpress.com/2007/08/04/psikologibelajar

Anda mungkin juga menyukai