Disusun Oleh:
Hasna Luthfiyyan F 155040201111215
Moh. Fathur Rizqi 155040201111221
Ivan Fardiansyah 155040201111255
Rokibatun Daniyah 155040201111256
Kelas: O
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan
Makalah Survey Tanah dan Evaluasi Lahan, makalah ini membahas tentang
Pasca Suevey Tanah. Makalah ini diharapkan mampu menjadi bahan tinjauan
serta meningkatkan pemahaman terhadap materi yang telah disampaikan.
Terimakasih kami sampaikan kepada berbagai pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini. Makalah ini masih banyak kekurangan sehingga
diharapkan untuk memberikan kritik dan saran bagi penyusun. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak khususnya bagi penyusun.
Tim Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.2 Tujuan.............................................................................................................1
1.3 Manfaat..........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
3.1 Kesimpulan..................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................16
2
BAB I PENDAHULUAN
1
BAB II PEMBAHASAN
Menurut Rayes (2007), Penanganan data setelah pengamatan lapangan terdiri dari:
1. Penanganan awal contoh tanah yang akan dianalisis (pra-analisis).
2. Analisis contoh tanah di laboratorium.
3. Klasifikasi-ulang tanah berdasarkan data hasil analisis laboratorium.
4. Pembuatan peta tanah final serta legenda peta
5. Melakukan evaluasi lahan dan pembuatan peta evaluasi lahan.
6. Penyusunan laporan akhir.
Data-data hasil pengamatan di lapangan harus ditangani secara sistematis
agar lebih mudah dalam melakukan kompilasi data. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, bahwa setelah selesai melakukan deskripsi minipit di lapangan, akan
langsung dilakukan klasifikasi tanah pada kategori yang telah ditentukan
(seri/famili/subgroup) dan nama taksa tanah tersebut harus tercatat pada setiap
kartu minipit. Karena setiap survei tanah selalu terdiri dari beberapa regu, maka
keragaman di antara regu-regu tersebut akan selalu ada, terutama dalam penamaan
tanah. Oleh karena itu sebelum dilakukan proses lebih lanjut, perlu dilakukan
penyeragaman dan pemilahan tanah-tanah yang memiliki taksa yang sama.
(Rayes, 2007)
2
3. Data diarsip dan dijaga agar selalu siap saat digunakan
2.1.2 Penamaan / Klasifikasi Tanah
Klasifikasi tanah adalah cara mengumpulkan dan mengelompokkan tanah
berdasarkan kesamaan dan kemiripan sifat dan ciri-ciri tanah, kemudian diberi
nama agar mudah diingat dan dibedakan antara tanah yang satu dengan lainnya.
Setiap jenis tanah memiliki sifat dan ciri yang spesifik, potensi dan kendala untuk
penggunaan tertentu (Subardja, 2014).
Tujuan dari klasifikasi tanah adalah:
1. Menata ataupun lebih mengorganisasi tanah.
2. Mengetahui sebuah hubungan antara individu dengan tanah.
3. Lebih memudahkan mengingat berbagai macam sifat tanah menurut
penggolongannya.
4. Mengelompokkan berbagai tanah.
tersebut.
Macam Sistem Klasifikasi Tanah
1. Pusat Penelitian Tanah Bogor
Sistem Klasifikasi Tanah yang digunakan oleh Pusat Penelitian Tanah
Bogor adalah sistem yang dikembangkan oleh Dudal- Soepraptohardjo (1957),
sistem tersebut sebenarnya mirip dengan sistem yang berkembang di AS oleh
Baldwin, Kellogdan Thorp (1938) : Thorn dan Smith (1949) dengan beberapa
modifika.
Sistem klasifikasi tanah oleh Dudal dan Soepraptohardjo (1957) direvisi
oleh Soepraptohardjo (1961), dan Suhardjo dan Soepraptohardjo (1981).
Kemudian Suhardjo et al. (1983) untuk keperluan survei dan pemetaan tanah
mendukung Proyek Transmigrasi di luar Jawa. Sistem klasifikasi tanah terakhir
3
telah disesuaikan dengan perkembangan ilmu tanah di Indonesia yang banyak
dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tanah dunia.
Pada tahun 1974 dan 1975, mulai diperkenalkan sistem klasifikasi tanah
dunia, yaitu Soil Unit dari FAO/UNESCO (1974) dan Soil Taxonomy dari
USDA (1975). Praktis sejak tahun 1975 berkembang tiga sistem klasifikasi tanah
di Indonesia. Sistem Soil Taxonomy dinilai oleh para pakar memiliki banyak
kelebihan, sehingga lebih banyak dipelajari dan dipromosikan oleh para peneliti
dan staf pengajar perguruan tinggi lulusan dari Amerika Serikat dan Eropa untuk
diterapkan pada kegiatan pemetaan tanah di Indonesia.
Gencarnya promosi Penggunaan Soil Taxonomy di lembaga lembaga
penelitian dan perguruan tinggi serta kebutuhan mendesak untuk tujuan survei dan
pemetaan tanah, maka pada Kongres Nasional V Himpunan Ilmu Tanah Indonesia
di Medan tahun 1989 telah memutuskan penggunaan Soil Taxonomy sebagai
sistem klasifikasi tanah yang formal digunakan secara nasional untuk keperluan
survei dan pemetaan tanah, pendidikan ilmu tanah di pe guruan tinggi dan
praktek-praktek pertanian di Indonesia (Hardjowigeno 193).
Secara besar-besaran penggunaan klasifikasi Taksonomi Tanah melalui
kegiatan survei dan pemetaan tanah tingkat tinjau P. Sumatera (Proyek LREP-I,
1986-1990) dan pemetaan tanah tingkat semidetil di daerah pengembangan di 18
provinsi di luar P. Sumatera (Proyek LREP-II, 1992-1996), serta kegiatan-
kegiatan survei dan pemetaan tanah sampai saat ini. Dalam Kongres Nasional
Himpunan Ilmu Tanah 2011 di Surakarta, para pakar telah sepakat untuk
menggunakan kembali Sistem Klasifikasi Tanah Nasional dan secara bertahap
sistem tersebut disempurnakan untuk memenuhi kebutuhan pengguna sesuai
dengan kondisi sumberdaya tanah yang ada dan perkembangan IPTEK tanah di
Indonesia.
2. FAO/UNESCO (1974)
Sistem klasifikasi tanah FAO atau lebih dikenal dengan satuan tanah FAO
dibangun tahun 1974 dalam rangka penyusunan peta tanah dunia skala
4
1:5.000.000 oleh Sistem ini dikembangkan dengan dua kategori yaitu satuan tanah
(soil units) dan sub-unit yang setara dengan Jenis Tanah dan Macam Tanah
menurut sistem klasifikasi tanah nasional. Dalam sistem ini, pengklasifikasian
tanah menggunakan horison penciri. Nama dan kriteria horison penciri sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tanah di dunia, dan
sebagian merujuk kepada sistem Taksonomi Tanah. Nama-nama tanah diambil
terutama dari nama-nama tanah Rusia serta Eropa Barat, Canada dan Amerika
Serikat, dan beberapa nama baru yang dikembangkan untuk tujuan khusus agar
dapat menampung dan mewadahi semua jenis tanah di dunia.
Sistem ini dibangun dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi tanah
dan potensi penggunaannya terkait dengan pertanian khususnya dalam pemenuhan
kebutuhan pangan dunia. Dalam sistem ini dikenal nama-nama tanah yang
umumnya juga sudah dikenal di Indonesia, antara lain Gleysol, Regosol, Lithosol,
Renzina, Andosol, Podzol. Nama tanah lainnya yang agak asing diantaranya
adalah Solonetz, Yermosol, Xerolsol, Kastanozem, Chernozem, Phaeozem, dan
lain sebagainya. Dalam perkembangannya, sistem FAO ini ikut mewarnai sistem
klasifikasi tanah nasional.
3. USDA = Soil Taxonomy (USDA, 1975; Soil Survey Satff, 1999; 2003).
Sistem Soil Taxonomy merupakan sistem klasifikasi tanah yang
dibangun oleh para pakar ilmu tanah dunia, secara komprehensif, sistematik dan
menggunakan pendekatan morfometrik (kuantitatif). Sistem ini menuntut data
yang lengkap dengan metode analisis yang baku. Tata nama dibuat dari bahasa
Latin dan atau Inggris. Revisi buku panduan dilakukan sangat cepat hampir setiap
dua tahun sekali. Kondisi ini menghambat perluasan penggunaan sistem tersebut
serta menyulitkan pengguna data. Versi terakhir dari publikasi buku kunci
taksonomi tanah Keys to Soil Taxonomy adalah Edisi-12 tahun 2014.
Klasifikasi tanah dibagi dalam enam kategori, yaitu Ordo, Sub-Ordo, Great group,
Sub-Group, Famili dan Seri (Soil Survey Staff 2010). Secara umum taksonomi
tanah juga membagi tanah berdasarkan asal bahan induknya menjadi dua bagian,
yaitu tanah organik (Histosol) dan tanah-tanah mineral. Di Indonesia telah
diinventarisir sebanyak 10 Ordo tanah dari 12 Ordo tanah yang ada di dunia,
5
yaitu: Histosol, Entisol, Inceptisol, Andisol, Mollisol, Vertisol, Alfisol, Ultisol,
Spodosol, Oxisol. Hanya dua Ordo tanah yang tidak dijumpai di Indonesia yaitu:
Aridisol, tanah pada daerah iklim sangat kering (aridik), dan Gelisol, tanah pada
daerah sangat dingin (gelik,es).
Untuk memudahkan penggunaan sistem klasifikasi Taksonomi Tanah di
Indonesia, para peneliti dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat telah
mengalih6 bahasakan buku Keys to Soil Taxonomy ke dalam bahasa Indonesia.
Alih bahasa ini terwujud melalui kerjasama internasional yang menangani
masalah klasifikasi termasuk klasifikasi tanah tropika. Buku pertama yang
dialihbahasakan adalah Keys to Soil Taxonomy edisi keempat (Soil Survey Staff
1990), selanjutnya Keys to Soil Taxonomy edisi kedelapan (Soil Survey Staff
1998) dialihbahasakan menjadi Kunci Taksonomi Tanah Edisi Kedua (Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat 1999). Buku ini berbentuk buku saku yang
sangat praktis untuk digunakan di lapangan.
6
morfologi tanah dan proses pembentukannya (genesis). Faktor pembentuknya
terutama bahan induk tanah yang mempunyai pengaruh sangat dominan terhadap
sifat dan jenis tanah yang terbentuk. Dalam perkembangannya Suhardjo dan
Soepraptohardjo (1981) dan Staf
Peneliti Pusat Penelitian Tanah (1983) menyusun klasifikasi tanah khusus untuk
mendukung Proyek Transmigrasi di luar Jawa. Sistem ini disusun menggunakan
pendekatan semi-morfometrik, yaitu peralihan dari morfogenesis ke morfometrik.
7
Soepraptohardjo (1981) menggunakan nama-nama atau istilah dari sifat atau
horison penciri dari Sistem Taksonomi Tanah USDA dan atau Unit Tanah
FAO/UNESCO. Sifatsifat tersebut tetap dilanjutkan dipakai dalam klasifikasi
tanah nasional dengan berbagai revisi dan penyesuaian.
3 Horison Penciri
Horison penciri yang digunakan dalam penetapan klasifikasi tanah terdiri
dari horison A (horison atas, epipedon) dan horison B (horison bawah
permukaan). Horison A merupakan lapisan tanah permukaan setebal 25 cm atau
kurang, berwarna lebih gelap dibanding horison di bawahnya, dan banyak
dipengaruhi oleh aktivitas biologi. Beberapa epipedon yang umum ditemukan dan
memiliki sifat-sifat penciri sebagai berikut:
1. Okrik : Ketebalan 18 cm atau berwarna cerah (value/chroma > 3).
2. Umbrik : Ketebalan 18 cm, berwarna gelap (value/chroma 3), kadar C
organik > 2,5%, atau 0,6% lebih tinggi dari horison C, dan Kejenuhan
Basa (KB) < 50%.
3. Molik : Ketebalan 18 cm, berwarna gelap (value/chroma 3), kadar C organik
2,5% atau 0,6% lebih tinggi dari horison C, dan KB 50%.
4. Histik : Bahan tanah organik dengan ketebalan 20-60 cm, mengandung 75%
serat-serat spagnum atau ketebalan 20-60 cm dan berat volume (lembab)
< 0,1 gr/cm3, atau ketebalan 20-40 cm; atau horison Ap dengan ketebalan
sampai 25 cm, kadar C organik 16% jika kadar liat > 60%, atau 8%
tanpa kadar liat, atau 8 ditambah (persentase liat dibagi 7,5) persen atau
lebih jika fraksi liat kurang dari 60%.
8
3. Argilik :
- Jika horison A mempunyai kadar liat 15%, maka kenaikan liat horison
B adalah 3% secara absolut (misal: 10% + 3% = 13%).
- Jika horison A mempunyai kadar liat 15-40%, maka kadar liat horison B
adalah 1,2 kali horison A (misal: 30% + 6% = 36%).
- Jika horison A mempunyai kadar liat > 40%, maka kenaikan liat horison
B adalah 8% secara absolut (misal: 40% + 8% = 48%).
4. Natrik : Mengalami akumulasi liat dengan kandungan Na tinggi (15%).
5. Kandik : Mempunyai KTKliat < 16 cmol(+)/kg, dan KTK efektif 12
cmol(+)/kg, dan memiliki salah satu dari sifat-sifat berikut:
- Jika horison A mempunyai kadar liat 20%, maka kenaikan liat horison
Badalah 4% secara absolut (misal: 20% + 4% = 24%).
- Jika horison A mempunyai kadar liat 20-40%, maka kadar liat horison B
adalah 1,2 kali horison A (misal: 30% + 6% = 36%).
- Jika horison A mempunyai kadar liat > 40%, maka kenaikan liat horison
B adalah 8% secara absolut (misal: 40% + 8% = 48%).
6. Albik : Mengalami pencucian liat dan unsur lainnya dari horison A (eluviasi),
warna kelabu putih.
7. Sulfurik : Ketebalan 15 cm, mengandung asam sulfat, pH 3,5.
8. Sulfidik : Ketebalan 15 cm, mengandung pirit 1,46%, pH buih (H2O2) < 2,5.
9. Spodik : Ketebalan > 2,5 cm tersementasi kontinyu oleh senyawa komplek
organikbesi atau organik-aluminium, berpasir atau berlempung kasar.
10. Kalkarik : Mengandung bahan kapur, membuih jika ditetesi larutan HCl 15%.
11. Kalsik : Ketebalan 15 cm, mengandung kalsium karbonat (CaCO3) 15%,
atau 5% lebih tinggi dari horison C.
12. Gipsik : Ketebalan 15 cm, mengandung senyawa gipsum (MgCO3) 5%
lebih tinggi dari horison C.
13. Duripan : Tersementasi Si kontinyu secara lateral, padas keras, tidak pecah
jika direndam dalam air.
14. Fragipan : Ketebalan 15 cm, horison tersementasi Si, padas tidak keras,
pecah jika direndam dalam air.
9
15. Plintik : Mengandung kongkresi dan kerikil besi > 5% berdasarkan volume.
16. Vertik : Mempunyai rekahan selebar >1 cm sedalam 50 cm.
17. Ortoksik : Mempunyai KTK liat 16 < 24 cmol(+)/kg.
10
11
Tabel diperoleh dari (Subardja, Djadja et all. 2014).
12
Menurut Esrawan (1981), dalam manalisis laboraturium untuk hasil survey
tanah ada dua macam yaitu:
1. Macam analisis tanah untuk keperluan klasifikasi berdasarkan Soil Taxonomy
a. Analisis Umum: Untuk semua horison pada semua propil
1.Tekstur
2. C-Organik, N-Total, C/N
3. KTK
4. Basa Tukar
5. pH (H2O) dan pH (KCL) (1:1 atau 1:25)
6. AL-Terekstrak 1 N KCL
7. H+ -BaCL2-Inethanolamine
8. Fe2O2 terekstrak CBD
b. Analisis Khusus: Untuk propil tertentu dalam memenuhi persyaratan Soil
Taxonomy
c. Analisis Khusus: Untuk horison tertentu dalam memenuhi persyaratan Soil
Taxonomy
2. Macam analisis tanah untuk tujuan khusus
a. Sifat fisik dan kerekayasaan
1. Infiltrasi
2. Permeabilitas
3. Air tersedia
4. Daya tahan / bearing capacity
5. Sifat kerekayasaan lainnya
b. Sifat Kimia tanah
1. Salinitas, alkalinitas
2. pH tanah segar, tanah yang dikeringkan, atau tanah yang dioksidasi
3. Zat toksik
4. Sifat-sifat berkaitan dengan kesuburan tanah dengan pengestrak berlain-
lainan
5. Eh
c. Sifat kimia air, air setempat dan yang masuk
13
1. Bahan padatan
2. Garam larut (EC, SAR)
3. Zat Toksik
4. pH
14
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kegiatan pasca survey tanah adalah melakukan analisis hasil survey tanah
agar didapatkan hasil yang tepat dan sesuai dengan teori. Data-data hasil
pengamatan di lapangan harus ditangani secara sistematis agar lebih mudah dalam
melakukan kompilasi data. Data hasil kompilasi dapat digunakan dalam
pembuatan klasifikasi tanah dan pembuatan kisaran sifat tanah. Setelah
pembuatan klasifikasi dan pembuatan kisaran sifat tanah akan dapat menghasilkan
peta tanah. Beberapa karakteristik penting peta tanah yang harus diperhatikan
adalah kemudahan dibaca (map legibility), batasan ukuran minimal dan tekstur
peta.
15
DAFTAR PUSTAKA
16