Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kopi merupakan tanaman perkebunan yang penting di Indonesia. Sejarah

perkopian Indonesia mencatat bahwa kopi pertama kali masuk ke Indonesia

sekitar tahun 1699 yang merupakan jenis kopi arabika (Coffea arabica). Pada

sejak abad ke 18 kopi arabika menjadi andalan utama ekspor Indonesia yang

terkenal dengan nama Java Coffee (Syamsulbahri 1985).

Perkembangan produksi kopi di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 93%

produksinya berasal dari kopi rakyat. Peningkatan produksi dan produktivitas kopi

nasional mencapai 684.076 ton/tahun. Namun demikian, kondisi pengelolaan

usaha tani dalam perkebunan kopi rakyat masih relatif rendah dan mutu hasil

produksi yang kurang memenuhi syarat untuk ekspor (Herman 2010).

Teknologi budidaya dan pengolahan kopi meliputi pemilihan bahan tanam

kopi unggul, pemeliharaan, pemangkasan tanaman dan pemberian penaung,

pengendalian hama dan gulma, pemupukan yang seimbang, pemanenan, serta

pengolahan kopi pasca panen. Pengolahan kopi sangat berperan penting dalam

menentukan kualitas dan cita rasa kopi (Rahardjo, 2012).

Hama dan penyakit penting pada tanaman kopi sangat banyak menyebabkan

kerugian. Sebagaimana dalam usaha pertanian pada umunya, tanaman perkebunan

pun tidak luput dari gangguan hama yang sangat merugikan usaha. Tidak hanya

tanaman di lapangan saja yang dirusaknya, tetapi hasil yang dipungut dan

disimpan tidak luput dari gangguan serangan hama (Kartosaputro 1987).

Adopsi teknologi PHT oleh petani sangat dipengaruhi oleh aspek sosial

ekonomi petani. Dengan alasan terbatasnya modal, masa panen satu tahun sekali,

serta harga jual kopi yang terus turun beberapa tahun terakhir ini, dapat menjadi

1
faktor penghambat adopsi teknologi PHT oleh petani. Untuk mengurangi

hambatan ini, perlu tersedia teknologi PHT yang mudah diterapkan oleh petani,

efektif mengendalikan hama8 penyakit, tidak mahal, menguntungkan usahatani

dan memiliki resiko kegagalan kecil (Saptana 2007).

Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara

pengendalian hama bubuk cabang pada tanaman kopi.

Kegunaan Penulisan

Adapun kegunaan dari penulisan paper ini adalah sebagai salah satu syarat

untuk dapat mengikuti praktikal tes di Laboratorium Dasar Perlindungan Tanaman

Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian,Universitas Sumatera Utara.

2
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Menurut Syamsulbahri (1996) Sistematika tanaman kopi sebagai berikut;

Kingdom : Plantae ; Divisi : Spermatophyta ; Kelas : Dicotyledoneae ;

Ordo : Rubiales ; Famili : Rubiaceae ; Genus : Coffea ; Spesies : Coffea sp.

Tanaman kopi berakar tunggang, lurus ke bawah, pendek dan kuat. Panjang

akar tunggang ini kurang lebih 45 50 cm. selain itu banyak pula akar cabang

samping, dan bercabang merata, masuk ke dalam tanah lebih dalam lagi

(AAK, 1991).

Batang pokok sudah mulai tampak dan tumbuh terus sampai menjadi besar.

Tanman kopi mempunyai beberapa jenis cabang yaitu cabang reproduksi, cabang

primer, cabang sekunder, cabang kipas, cabang pecut, cabang balik dan cabang

air. Cabang primer mempunyai ciri-ciri yaitu arah pertumbuhannya mendatar,

lemah, berfungsi sebagai penghasil bunga karena di setiap ketiak daunnya

terdapat mata atau tunas yang dapat tumbuh menjadi bunga (Najiyati dan Danarti,

2004).

Kopi mempunyai bentuk daun bulat telur, ujungnya agak meruncing sampai

bulat. Daun tersebut tumbuh pada batang, cabang dan ranting yang tersusun

berdampingan. Pada batang atau cabang-cabang yang bentuknya tegak lurus,

susunan daun itu berselang-seling pada ruas-ruas berikutnya, sedangkan daun

tumbuh pada ranting-ranting dan cabang-cabang yang mendatar, pasangan itu

terletak pada bidang yang sama, tidak berselang-seling. Daun dewasa berwarna

hijau tua, sedangkan daun yang masih muda berwarna perunggu (AAK, 1991).

Bunga kopi terbentuk pada ketiak-ketiak daun dari cabang plagiotrop,

masing-masing ketiak dapat menghasilkan 3 4 tandan yang terdiri dari masing-

3
masing tanaman 3 5 kuntum bunga. Jumlah bunga kopi arabika lebih banyak

dari kopi liberika. Pada kondisi optimal jumlah kopi arabika bisa mencapai 6000

8000 per pohon. Mahkota bunga berwarna putih dengan jumlah bunga sebanyak 5

bunga. Kopi arabika bertangkai putik lebih pendek disbanding dengan benang

sarinya. Sehingga kopi arabika menyerbuk sendiri, sedangkan kopi robusta dan

liberika menyerbuk silang (Syamsulbahri, 1996).

Buah terdiri dari daging buah dan biji. Daging buah terdiri atas 3 bagian

lapisan kulit luar (eksocarp), lapisan daging (mesocarp), lapisan kulit tanduk

(endocarp) yang tipis tetapi keras. Buah kopi umumnya mengandung 2 butir biji,

tetapi kadang-kadang hanya mengandung 1 butir atau bahkan tidak berbiji

(hampa) sama sekali (Najiyati dan Danarti, 2004).

Syarat Tumbuh
Iklim

Kopi umumnya tumbuh optimum di daerah yang curah hujannya 2000

3000 mm/tahun. Namun kopi masih tumbuh bahkan di daerah bercurah hujan

1300 2000 mm/tahun. Bahkan daerah bercurah hujan 1000 1300 mm/tahun

pun kopi masih mampu tumbuh baik, asalkan ada usaha untuk mengatasi

kekeringan, misalnya dengan memberinya mulsa dan irigasi yang intensif,

sehingga kadang-kadang kurang ekonomis, dengan suhu sekitar 16oC 21oC

(Najiyati dan Danarti, 2004).

Pohon kopi tidak tahan terhadap guncangan angin kencang, karena angin

akan mempertinggi penguapan air dan dapat merusak tajuk tanaman. Untuk

menahan datangnya angin kencang maka dibutuhkan penanaman pohon pelindung

di antara tanaman kopi (AAK, 1991).

4
Kopi umumnya tidak menyukai sinar matahari langsung dalam jumlah

banyak, tetapi menghendaki sinar matahari yang teratur. Sengatan sinar matahari

langsung dalam jumlah banyak dapat mengganggu keseimbangan proses

fotosintesa terutama dalam musim kemarau. Untuk pembentukan buah, tanaman

kopi menghendaki intensitas cahaya di bawah 1000 foot candle (fc)

(Syamsulbahri, 1996).

Tanah

Secara umum tanaman kopi menghendaki tanah yang gembur, subur dan

kaya bahan organik. Untuk itu tanah di sekitar tanaman harus sering ditambah

dengan pupuk organik agar sistem perakarannya tetap tumbuh baik dan dapat

mengambil unsur hara sebagai mana mestinya (Najiyati dan Danarti, 2004).

Kopi menghendaki tanah yang mempunyai yang mempunyai pH berkisar

antara 5 6,4. Kurang dari angka tersebut kopi juga masih bisa tumbuh, tetapi

kurang bisa menyerap beberapa unsur hara sehingga kadang-kadang perlu

dikapur. Sebaliknya tanaman kopi arabika tidak menghendaki tanah yang agak

basa (pH lebih dari 6,5) oleh karena itu pemberian kapur tidak boleh berlebihan

(Syamsulbahri, 1996).

Akar tanaman kopi mempunyai kebutuhan oksigen yang tinggi, yang berarti

tanah yang drainasenya kurang baik dan tanah liat berat adalah tidak cocok. Sebab

kecuali tanah tersebut sulit ditembus akar, peredaran air dan udara pun akan

menjadi jelek (AAK, 1991).

5
Biologi Hama

Menurut Clarke (1985) klasifikasi hama bubuk cabang adalah

Kingdom: Animalia; Filum : Arthropoda; Kelas: Insecta; Ordo: Coleoptera;

Famili: Scolytidae, Genus: Xylosandrus, Spesies: Xylosandrus sp.

Perkembangan telur hingga imago memerlukan waktu lebih kurang lebih

kurang tiga minggu, lama stadia telur empat hari, larvanya tidak bertungkai dan

berwarna putih, demikian pula pupanya berwarna putih. Perkembangan penggerek

ranting atau bubuk cabang/ranting dari fase telur hingga imago, semuanya

berlangsung didalam ranting atau cabang yang diserangnya (Najiyati, 1990).

Perbandingan antara imago jantan dan betina 1 : 13. Seekor betina bertelur

anatar 30 50 butir (Danarti 1990). Telur diletakan dalam saluran secara

berkelompok antara 8 15 butir setelah serangga masuk kedalam ranting selama 7

8 hari, Serangga betina keluar dari lubang gerekan pada sore hari sekitar jam

16.00 18.00. Imago betina mempunyai sayap dan jarak terbangnya sejauh lebih

kurang 200 m (Najiyati & Danarti, 2004).

Keadaan yang paling sesuai untuk menyerang ranting adalah pada siang

hari, pada suhu antara 26 c 29 c dan kelembaban relatif udara antara 72%

78% (Nano Priyatno 1980). Di Indonesia Hama ini di temukan di Jawa Timur

pada tahun 1977. Akibat gerekannya, ranting-ranting kopi terbelah pada bekas

liang gerekan tedapat cendawan Abrisi xylebori yang berwarna putih

(Kartosaputro, 1987).

Gejala Serangan

Serangan X. morstati dicirikan oleh adanya lubang gerek berdiameter sekitar

1-2 mm pada permukaan ranting tanaman kopi. Lubang gerek ini menuju ke

6
bagian dalam ranting hingga mencapai panjang 20-50 mm. Lubang gerek dibuat

oleh X. morstati betina dewasa sebagai tempat tinggalnya. Setelah menggerek,

serangga betina meletakkan telur dalam lubang tersebut hingga menetas dan

sampai tumbuh dewasa. Larva yang berada di dalam lubang gerek tidak memakan

jaringan tanaman tetapi memakan jamur ambrosia (Fusarium solani) yang tumbuh

dan berkembang dalam lubang gerek. Spora jamur tersebut dibawa oleh X.

morstati betina dewasa sewaktu menggerek lubang. Aktivitas larva ketika makan

jamur tersebut menyebabkan rusaknya jaringan tanaman pada lubang, sehingga

mengakibatkan semakin lebar dan panjangnya lubang gerek (Drizd, 2003).

Hama X. morstati menyelesaikan siklus hidupnya yang mengalami

metamorphosis sempurna, dari telur, larva, pupa dan serangga dewasa di dalam

lubang gerek. Serangga betina dewasa yang telah kawin akan keluar dari lubang

gerek untuk mencari inang baru. Akibat adanya lubang gerek di dalam ranting

menyebabkan terganggunya transportasi nutrisi sehingga ujung ranting layu, daun

menguning, ranting hitam dan dapat menyebabkan kematian ranting. Apabila

serangan berat terjadi pada sebagian besar ranting, maka dapat mengakibatkan

kematian tanaman (Rahayu et al, 2006).

Menurut Lavabre (1959), serangan X. morstati pada tanaman muda

menyebabkan daun-daunnya gugur sehingga pertumbuhan dan pembuahannya

terhambat, sedangkan serangan pada tanama yang telah tua menyebabkan ranting-

rantingnya mengering sehingga hasil kopi menurun.

7
PENGENDALIAN HAMA BUBUK CABANG (Xylosandrus morstati) PADA
TANAMAN KOPI (Coffea Sp.)

Pengendalian Secara Kultur Teknis

pengendalian ini di dasarkan atas pemusnahan sumbersumber investasi

dengan cara memotong ranting-ranting yang terserang. Kebun hendaknya bersih

dari ranting-ranting yang berserakan, karena hal dapat merupakan sumber

investasi hama dan penyakit. Pada waktu melakukan pemangkasan, cabang dan

ranting yang yerserang dikumpulkan, kemudian di bakar (Najiyati & Danarti

1990).

Pengendalian secara kultur teknis yang lain yaitu Penggunaan sistem kopi

multistrata. Menurut Rahayu (2006), Sistem kopi multistrata memiliki keragaman

spesies pohon penaung yang lebih tinggi yaitu berkisar antara 3-9 jenis, bila

dibandingkan dengan kopi naungan sederhana yang hanya memiliki 1-3 jenis.

Nilai indek keragaman jenis pohon penaung pada kopi multistrata berkisar antara

0.7 2.2, sedangkan pada sistem kopi naungan sederhana berkisar antara 0 0.9.

Keragaman pohon penaung dalam sistem agroforestri berbasis kopi

mempengaruhi tingkat serangan X. morstati. Semakin tinggi keragaman pohon

penaung, menyebabkan intensitas serangan hama semakin rendah.

Kerapatan populasi pohon kopi berpengaruh terhadap luas serangan X.

morstati. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil pengamatan bahwa luas serangan X.

morstati pada sistem kopi multistrata dengan populasi 2134 pohon lebih rendah

bila dibandingkan dengan sistem kopi naungan sederhana yang memiliki populasi

2353 pohon, dari beberapa pengamatan bisa dijelaskan bahwa ini berarti intensitas

serangan hama X. morstati dapat dikurangi dengan renggangnya jarak tanam tiap

pohonnya (Ciptadi, 2001).

8
Pengendalian Secara Hayati

Menurut Rahayu (2006) dari pengamatan yang beliau lkukan ditemukan

predator jenis Hymenoptera (Eulophidae, Bombidae, Formicidae), Coleoptera

(Staphylinidae) dan Araneidae pada tanaman selain kopi yaitu gamal, durian,

jengkol, dadap, kayu manis, rambutan dan cengkeh. Hal ini mengindikasikan

bahwa keberadaan pohon penaung berfungsi juga sebagai tempat hidup bagi

berbagai jenis predator hama. Berdasarkan indikasi tersebut, diduga jenis-jenis

predator pada sistem kopi multistrata lebih beragam bila dibandingkan dengan

sistem kopi naungan sederhana.

Menurut Jansen (2005) ditemukan beberapa jenis semut (Formicidae) yang

masuk ke dalam lubang gerek X. morstati dan memakan larva yang ada di

dalamnya. Selain itu juga ditemukan parasit dari famili Eulophidae (Tetrastichus

xylebororum) di dalam lubang gerek. Namun tidak dilakukan pengamatan secara

kuantitatif mengenai jenis spesies dan aktivitas predasi pada kedua sistem yang

diuji.

Belum banyaknya penelitian mengenai jenis-jenis predator yang memangsa

X. morstatipada masing-masing sistem kebun kopi yang dilakukan, menegaskan

belum jelasnya informasi mengenai predator atau musuh alami bagi hama

Xylosandrus morstati ini, sehingga belum dapat diberikan informasi secara pasti

(Wrigley, 1988).

Pengendalian Secara Kimiawi

Pengendalian yang dilakukan untuk hama Xylosandrus morstati secara

kimiawi adalah penggunaan pestisida. Namun penggunaan insektisida ini

memberikan dampak negative yang cukup besar karena kebanyakan insektisida

9
tidak hanya membasmi hama pengganggu tapi terkadang juga dapat membunuh

predator hama tersebut (Kimani, 2002).

Penggunaan insektisida untuk pengendalian hama Xylosandrus morstati

tidak sering dilakukan karena dapat mengganggu kehidupan organisme lain yang

berhabitat di sekitar tempat tanam kopi, misalnya predator bagi Xylosandrus

morstati itu sendiri, dengan penggunaan insektisida maka akan berpengaruh pada

rantai daur hidup di ekosistem tersebut (Le scolyte, 2001).

Penggunaan insektisida kimia yang banyak sisi negatifnya dapat ditekan

serendah mungkin dengan 3 cara . (1) Mengurangi serangan terhadap tanaman

kopi, dengan jalan memberikan peluang bagi hama untuk menyerang pohon

penaungnya, (2) Dapat mempertahankan intensitas cahaya dan suhu yang lebih

rendah, sehingga memberikan kondisi yang optimal bagi tanaman kopi untuk

tumbuh sehat, (3) Memperbanyak jumlah predator bagi X. compactus pada sistem

kopi multistrata (Hanum, 1997).

10

Anda mungkin juga menyukai