Surveilans
Epidemiologi
Prinsip, Aplikasi, Manajemen Penyelenggaraan dan
Evaluasi Sistem Surveilans
Sholah Imari
Kata
Pengant
ar
Surveilans epidemiologi
merupakan salah satu aplikasi
epidemiologi yang melakukan
kajian terus menerus secara
sistematis terhadap penyakit
atau masalah kesehatan dan
faktor-faktor yang
mempengaruhinya dengan
cara mengumpulkan data,
mengolah dan
memanfaatkannya untuk
kepentingan manajemen
program dan SKDKLB serta
inisiasi dilakukan serangkaian
penelitian
Surveilans epidemiologi
diselenggarakan pada dan
mendukung program
kesehatan di semua tingkat
pemerintahan, rumah sakit,
puskesmas dan unit-unit
pelayanan lain. Buku
Surveilans Epidemiologi ini,
banyak membahas pikiran
dibalik rumusan Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor
1116/MENKES/SK/VIII/2003
tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem
Surveilans Epidemiologi
Kesehatan dan kebutuhan
melengkapi referensi bagi
mahasiswa pascasarjana
epidemiologi lapangan (Field
Epidemiology Training
Pragram) serta praktisi
epidemiologi.
Buku Surveilans
Epidemiologi telah diupayakan
memenuhi harapan banyak
pihak, tetapi terasa masih
belum lengkap, dan oleh karena
itu, besar harapan mendapat
banyak sumbangsih pemikiran
dan perbaikan agar buku ini
dapat menjadi referensi dan
bermanfaat dalam
penyelenggaraan surveilans.
Terimakasih
disampaikan kepada Direktur
Jenderal PP&PL, Kementerian
Kesehatan RI beserta staf,
WHO perwakilan Indonesia,
BBTKLPPM Jakarta,
BBTKLPPM Yogyakarta, rekan-
rekan pembimbing di UI, UGM
dan pembimbing lapangan,
mahasiswa dan alumni FETP,
rekan-rekan Perhimpunan Ahli
Epidemiologi Indonesia, dan
semua pihak yang telah
memberikan kesempatan,
sumbangan pemikiran, data,
dan dukungun lainnya
sehingga dapat
terselesaikannya buku ini.
Jakarta, 30
Oktober 2011
Sholah Imari
Surveilans Epidemiologi
Daftar Isi
KATA PENGANTAR...........................................................................................................II
DAFTAR ISI ......................................................................................................................III
I. PENDAHULUAN.....................................................................................................1
II. PENGERTIAN.........................................................................................................3
VII...............................................................................................................................EVALUASI
SISTEM SURVEILANS EPIDEMIOLOGI ............................................................143
1. Masalah Kesehatan, Program dan Surveilans ........................................................................144
2. Realisasi Penyelenggaraan Sistem Surveilans ......................................................................144
1) Manfaat Surveilans Terhadap Upaya Program ................................................................................144
2). Unjuk Kerja Penyelenggaraan Sistem Surveilans..........................................................................145
3). Manajemen Penyelenggaraan Surveilans......................................................................................148
3. Evaluasi Konsep Sistem Surveilans ........................................................................................ 149
I. Pendahuluan
II. Pengertian
Agent penyakit bisa dalam bentuk bakteri, virus, protozoa, binatang, kimia, atau bentuk
fisik tertentu, tetapi setiap agen penyakit tersebut diuraikan dalam tipe, subtype, potensi
mutasi genetic, perkembangbiakan, siklus hidup didalam dan diluar tubuh manusia, cara-
cara penularan, resistensi terhadap obat dan lain sebagainya.
Distribusi penyakit adalah mencakup distibusi agen penyakit dan distribusi penderita
yang digambarkan dalam bentuk epidemiologi deskriptif menurut ciri-ciri waktu, tempat
dan orang, baik dalam angka absolut atau dalam bentuk rate (angka kesakitan/insidence
rate, angka kematian/mortality rate, case fatality rate, dan sebagainya).
Contoh :
Berdasarkan pengertian tersebut, maka sasaran surveilans demam
berdarah dengue adalah terhadap agen penyebab timbulnya demam
berdarah, terhadap penderita, terhadap distribusi agen dan distribusi
penderita serta terhadap faktor atau kondisi yang mempengaruhi muncul dan
terjadinya perubahan-perubahan agen, penderita dan distribusi keduanya
tersebut.
Pengertian analisis banyak ditawarkan, dan selalu terjadi perdebatan. Berbeda dengan
rumusan Kementerian Kesehatan Indonesia, WHO membuat rumusan surveilans
kesehatan masyarakat (public health surveillance) sebagai kegiatan pengumpulan,
analisis dan interpretasi data yang terkait dengan kesehatan, yang dilakukan secara
sistematis dan terus menerus, dan dimanfaatkan untuk perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi upaya kesehatan masyarakat.
Surveilans dapat dimanfaatkan untuk :
1. Sistem peringatan dini adanya kedaruratan kesehatan masyarakat
2. Dokumen dampak intervensi, atau laporan kinerja dalam mencapai tujuan, dan
3. Memantau dan mengklarifikasi masalah kesehatan, menentukan prioritas dan
merumuskan kebijakan dan strategi kesehatan masyarakat
Bagaimanapun, analisis menjadi bagian sangat penting dari proses kegiatan
surveilans. Analisis mencakup aspek cukup luas dan komplek diantara ketersediaan data
dan informasi yang memadai dan tepat waktu, kemampuan individu atau suatu unit
surveilans menguasai dan memanfaatkan metode analisis surveilans, penguasaan
individu atau unit surveilans terhadap ilmu penyakit dan faktor-faktor yang berpengaruh
Gambar1
Proses Analisis
Serangkain Data
dianalisis
Pada umumnya, para ahli melihat proses surveilans adalah serangkaian data yang
diperoleh melalui proses pengumpulan dan pengolahan data, yang telah disajikan dalam
bentuk atau tampilan data yang bisa dianalisis, baik berupa tampilan teks, tabel, grafik,
atau peta. Proses pengumpulan dan pengolahan data tersebut merupakan upaya
komplek dan memenuhi kaidah-kaidah tertentu. Bahkan, ahli membagi jenis-jenis
surveilans menurut cara-cara pengumpulan dan pengolahan datanya.
Salah satu proses surveilans yang sangat penting adalah pada proses analisis-
interpretasi dari serangkaian data tersebut diatas. Proses interpretasi terletak pada otak
masing-masing individu yang tentunya dipengaruhi oleh penguasaan metode analisis
dan keterampilannya memanfaatkan metode itu, luasnya wawasan perikehidupan
penduduk dan lingkungan dimana penduduk yang akan dianalisis itu tinggal, luasnya
wawasan terhadap permasalahan yang akan dianalisis, terutama dari berbagai hasil-
hasil penelitian dan referensi terkait. Pengaruh proses interpretasi juga
Contoh
Seorang ahli mobil diminta melakukan analisis terhadap serangkaian data
distribusi dan perkembangan penyakit leptospirosis, sangat besar
kemungkinannya menghasilkan informasi yang tidak tepat
Surveilans - Navigator
Untuk lebih memahami pengertian surveilans dan program, dapat digambarkan
hubungan antara navigator dan nakhoda kapal yang sedang melaksanakan perjalanan
ditengah laut lepas. Secara sederhana tugas navigator adalah pada satu sisi ia terus
menerus memantau posisi bintang di langit, dan mengukur kuatnya angin serta
gelombang laut, sementara pada sisi lain ia harus terus menerus memberi informasi
akurat pada nakhoda agar kapal dapat melakukan langkah-langkah tertentu dan kearah
mana kapal harus melaju agar selamat menuju pelabuhan tepat waktu
Terdapat beberapa kunci tindakan navigator :
Navigator dan nakhoda serta semua anak buah kapal bersama penumpang mempunyai
tujuan menuju pelabuhan dengan selamat dan tepat waktu. Tujuan nakhoda kapal
adalah pegang kendali agar kapal bergerak menuju sasaran dengan kecepatan
tertentu, tujuan navigator memberikan informasi status kondisi kapal, arah kapal dan
ancaman terhadap kapal sehingga kapal melaju tepat waktu sesuai keperl uan
Situasi saat ini adalah kapal berada di tengah laut lepas dalam perjalanan menuju
pelabuhan. Laut lepas mengandung makna berada dalam suatu kondisi yang jauh
dari daratan, adanya bahaya laut, angin badai, gelombang besar dan semua kondisi
yang mempengaruhinya. Kapal berada di laut lepas juga mengandung makna kondisi
kapal, penumpang dan tentunya nakhoda - navigator itu sendiri.
Navigator terus menerus memantau posisi bintang dan mengukur kuatnya angin dan
gelombang berarti terus menerus tiada henti sedetikpun, atau jika berhenti, ia
pastikan telah diganti navigator lain untuk bertugas. Saat berhenti melakukan
tugasnya, navigator kehilangan informasi posisi kapal dan laut, dan itu
membahayakan pencapaian tujuan menuju pelabuhan dengan selamat dan tepat
waktu.
Navigator memantau posisi bintang lebih tepat diartikan sebagai melakukan analisis
ketepatan arah kapal dan jarak ke pelabuhan tujuan berdasarkan tanda-tanda alam
sebagai informasi kunci.
Navigator mengukur kuatnya angin serta gelombang laut lebih diartikan sebagai
melakukan analisis kemungkinan adanya kekuatan dan bahaya yang
mempengaruhi kapal untuk mencapai pelabuhan. Kekuatan dan ancaman bahaya
kapal juga diperoleh dari laporan kondisi kapal, kondisi penumpang dan juga kondisi
anak buah kapal.
Memantau (analisis) juga mengandung makna bahwa navigator adalah seorang
profesional navigasi kapal yang memiliki ilmu navigasi kapal, berpengalaman,
terlatih, terampil serta mempunyai dedikasi terhadap tugasnya dengan penuh
tanggungjawab. Seseorang yang tidak professional navigasi, tidak mungkin dapat
melakukan analisis navigasi yang baik, dan orang yang tidak profesional ini bisa jadi
akan memberikan informasi yang justru menyesatkan.
Memantau (analisis) juga mengandung makna memahami seluk beluk kondisi
lingkungan laut pada rute perjalanannya yang dilaluinya, baik karena pernah bolak
balik lewat rute dimaksud, cerita dari orang lain, referensi tentang laut pada rute
perjalanannya dan informasi dari meteorologi dan geofisika tentang cuaca. Laut,
dalam pengertian ini, adalah laut itu sendiri, disertai kemungkinan adanya karang,
lokasi arus air laut yang deras, tinggi gelombang dan sebagainya.
Navigator terus menerus memberi informasi akurat pada nakhoda kearah mana kapal
harus melaju agar selamat menuju pelabuhan laut tepat waktu mengandung
pengertian cukup luas :
1. Navigator menyadari____adanya___bahaya__dan___atau_
adanya hambatan
tercapaianya tujuan apabila nakhoda kapal tidak mendapat informasi tentang
posisi kapal, dan kondisi laut yang berpengaruh terhadap keselamatan kapal serta
tindakan yang perlu dilakukan.
2. Navigator menyadari bahwa nakhoda kapal adalah orang penting yang akan
menentukan tindakan yang dilakukan kapal untuk mencapai tujuan perjalanan
3. Navigator menyadari bahwa nakhoda kapal akan mengetahui maksud dari setiap
informasi yang ia berikan padanya
4. Navigator menyadari bahwa setiap etape perjalanan, kondisi kapal dan laut bisa
berbeda, dulu tidak ada masalah, sekarang bisa menjadi masalah. Oleh karena
itu, navigator menyadari perlunya memberikaninformasi secara terus menerus
kepada nakhoda kapal, baik berkala maupun pada saat terjadi situasi yang perlu
segera diinformasikan
5. Navigator terus menerus melakukan evaluasi terhadap respon nakhoda setelah
informasi ia berikan, jika setelah diinformasikan tentang keharusan perubahan
arah kapal, ternyata kapal tidak bergerak pada arah yang diinformasikannya,
maka navigator mengingatkan kembali situasi kapal dan laut serta tindakan yang
seharusnya dilakukan si nakhoda kapal, navigator harus melakukan komunikasi
dengan semua pihak dan penuh tanggungjawab terhadap risiko yang
dihadapi kapal untuk mencapai tujuan perjalanan
pengumpulan data yang dilakukan oleh staf navigator, laporan pengelola bandara,
atau dari badan meteorologi geofisika dan lain sebagainya. Semua data diolah dan
dilakukan analisis-interpretasi dan ditarik kesimpulan tentang kemungkinan adanya
konsisi yang mempengaruhi perjalanan kapal.
Sebelum kapal berangkat, navigator sudah memberikan informasi yang diperlukan
bagi nakhoda kapal.
Sampai waktu akan lepas jangkar, navigator tiada berhenti secara terus menerus dan
sistematis memantau (analisis) perkembangan situasi, dan jika perlu dilaporkan
kepada nakhoda kapal, misalnya informasi kemungkinan adanya gangguan selama
perjalanan.
Saat ini tugas navigator telah lebih canggih dengan sarana pendukung yang memadai,
peta, radar, GPS (geo position system) dan komputer serta sarana komunikasi, tetapi
bagaimana pun juga surveilans memang layaknya navigator kapal yang dipenuhi dengan
semua anggota masyarakat yang bergerak menapaki kehidupan bermasyarakat.
Surveilans berada diujung gelombang besar yang menentukan kemana program
kesehatan itu akan melaju menuju masyarakat sehat, merata dan berkeadilan
Seseuai dengan komponen sistem surveilans tersebut diatas, berikut fokus bahasan
meliputi :
1. Mekanisme Kerja Surveilans
2. Rumusan Tujuan
3. Indikator Kinerja
4. Identifikasi Kasus
1.
Mekanisme Kerja Surveilans
Rumusan mekanisme kerja surveilans tersebut tidak berbeda jauh dengan rumusan
WHO : (1) Mengidentifikasi, menetapkan batasan atau definisi serta ukuran masalah
kesehatan yang menjadi fokus surveilans, (2) mengumpulkan dan mengolah data
masalah kesehatan tersebut (juga bisa termasuk faktor-faktor yang terkait), (3) analisis
dan interpretasi data surveilans tersebut dan (4) medistribusikan data dan hasil
interpretasinya kepada penanggungjawab program penanggulangan masalah
kesehatan, dan (5) monitor dan evaluasi berkala pemanfaatan dan kualitas surveilans
untuk perbaikan penyelenggaraan surveilans. Surveilans masalah kesehatan tidak
termasuk tindakan penanggulangan masalah kesehatan
2. Tujuan
2. peningkatan kewaspadaan serta respon kejadian luar biasa yang cepat dan tepat
Contoh
Distribusi penyakit DBD menurut Kabupaten/Kota berdasarkan angka
kesakitan (stratifikasi daerah), dapat membantu program menentukan
daerah prioritas yang perlu segera dilakukan upaya penanggulangan.
Distribusi penyakit DBD menurut waktu dan daerah dapat membantu program
melakukan evaluasi efektifitas tindakan pengendalian vektor yang sudah dilakukan.
Contoh :
Progran Pengendalian Pnemonia
Tujuan program :
Menurunkan risiko kematian anak yang menderita pnemonia
Contoh :
Program Pengendalian Demam Berdarah
Dengue (DBD) Tujuan program :
1. menurunnya insiden demam berdarah kurang dari 50 kasus per
100.000 penduduk di setiap kabupaten/kota
Contoh :
3. Indikator Kinerja
Sebagai suatu kegiatan yang diselenggarakan secara sistematis dan terus menerus,
maka disamping adanya tujuan yang jelas dan terukur, juga diperlukan adanya indikator
kinerja yang jelas dan terukur.
dari semua rumah sakit atau hanya sebagian rumah sakit (kelengkapan laporan),
seberapa akurat kasus DBD itu sesuai dengan definisi yang telah ditetapkan
(keakuratasn pengisian variabel), dsb. Kelengkapan laporan dan keakuratan
pengisian variabel merupakan indikator kinerja untuk mengukur mutu laporan
yang menyatakan angka kesakitan DBD di Jakarta. Ini yang disebut indikator
kinerja-surveilans DBD
Indikator Kinerja Surveilans DBD adalah setiap rumah sakit yang merawat
anak mengirimkan laporan bulanan data kesakitan DBD (semua atau 100%)
dengan kelengkapan laporan per RS lebih dari 80% per tahun
- Kabupaten Bogor memiliki 4 rumah sakit yang merawat anak (kasus DBD),
oleh karena itu, surveilans perlu menganalisis daftar absensi pelaporan
rumah sakit tersebut selama setahun kegiatan untuk mengukur besarnya
kelengkapan laporan per RS.
Tabel 1
Daftar Absensi Laporan Bulanan Data Kesakitan Rumah Sakit
Kabupaten Bogor, 2010
Laporan Bulan Yang Diterima
Nama RS
Realisasi Seharusnya %
RS Sumber Sehat 6 12 50%
RS Sehat 10 12 83%
RSUD Bogor 11 12 92%
RS Harapan 12 12 100
Total (6+10+11+12) %
=39 4x12=4 82%
Sumber : (Data Contoh) 8
- Pada absensi laporan bulanan data kesakitan tersebut diatas, RS. Sumber
Sehat hanya melaporkan 50% dari jumlah laporan seharusnya, sementara
RS yang lain telah mencapai kelengkapan laporan >80%. Sehingga, sesuai
dengan indikator kinerja (surveilans) yang diharapkan, maka pernyataan
angka kesakitan DBD Kabupaten Bogor sebesar 40 per 100.000 populasi
tersebut adalah tidak dipercaya kebenarannya
Contoh : Surveilans AFP (acute flaccid paralysis) dan Virus Polio Liar
Tujuan program eradikasi polio adalah tercapainya Indonesia bebas polio
Indikator kinerja program eradikasi polio adalah cakupan imunisasi tinggi dan
merata, dan setiap adanya transmisi virus polio liar baru dapat dihentikan
dalam waktu kurang dari 1 tahun sejak ditemukan
Tujuan surveilans AFP dan virus polio liar adalah terdeteksi dini adanya
virus polio liar Indikator kinerja surveilans AFP dan virus polio liar:
2. AFP rate non polio ditemukan minimal 2 per 100.000 anak berusia
kurang dari 15 tahun per tahun per Provinsi
- Pada tahun 2010, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur melaporkan bahwa di
Wilayah Jawa Timur tidak ditemukan adanya virus polio liar. Oleh karena
itu, dari sisi program eradikasi polio dapat dinyatakan Jawa Timur aman
- Jika :
1. kelengkapan laporan mingguan rumah sakit cukup baik lebih dari 80%
per tahun per kabupaten/kota selama tahun 2010, dan
2. AFP rate non polio lebih dari 2 per 100.000 anak berusia kurang dari 15
tahun di setiap Kabupaten/Kota, dan
3. lebih dari 80 % spesimen tinja setiap kasus telah diambil dan dikelola
cukup baik (adekuat),
maka pernyataan tidak ada virus polio liar di wilayah Jawa Timur adalah dipercaya
- Sebaliknya jika terdapat kelengkapan laporan mingguan rumah sakit kurang dari 80 %
per tahun pada salah satu Kabupaten/Kota, maka pernyataan tidak ada virus polio liar di
.
wilayah Jawa Timur adalah tidak dipercaya
- Hal yang sama jika salah satu indikator kinerja tidak terpenuhi, maka
pernyataan tidak ada virus polio liar di wilyah Jawa Timur adalah tidak
dipercaya.
Kelengkapan laporan selalu mengukur jumlah laporan yang diterima dari pelapor (unit)
dibanding dengan jumlah laporan yang harusnya diterima.
Kelengkapan laporan adalah sebagai salah satu indikator kinerja (surveilans) yang
paling sering digunakan, baik itu ditingkat nasional, provinsi maupun di
kabupaten/kota, bahkan juga digunakan pada indikator kinerja (surveilans) di unit-
unit pelayanan dan di masyarakat sebagai laporan kelurahan, desa, atau kelompok-
kelompok masyarakat.
Kelengkapan laporan, merupakan metode pengukuran kinerja yang paling sederhana,
dan jika dirumuskan dengan tepat, dapat member dukungan pengukuran kinerja
surveilans yang tepat, dan dapat memberi manfaat untuk mengidentifikasi adanya
permasalah kinerja surveilans lebih fokus dan tepat waktu.
Rumusan kelengkapan laporan yang baik adalah kelengkapan laporan unit sumber
data awal (unit pelayanan), tetapi pada penyelenggaraan sistem surveilans nasional
dan provinsi lebih sering berdasarkan pada kelengkapan laporan unit pengumpul data
(Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Dinas Kesehatan Provinsi)
Tabel 2
Data Kasus DBD Provinsi Banten, tahun 2010
Kelengkapan
No. Kab/Kota Angka Kesakitan Laporan Kab/Kota
per 100.000 pop per tahun *)
1. Tangerang 74.2 11/12 (92%)
2. Kota Tangerang 187,8 10/12 (83%)
3 Kota Tangerang
Selatan 64.0 12/12 (100%)
.......
Nasional % . %
Sumber Data : contoh simulasi
*) 11/12 adalah dilaporkan sebanyak 11 laporan dari 12 laporan seharusnya
kesakitan DBD Kota Tangerang Selatan sebesar 64,0 kasus per 100.000
populasi, adalah belum sepenuhnya dapat dipercaya .
Gambar2
Alur Laporan Kasus DBD RS
Untuk mendapatkan data kelengkapan laporan yang baik, seringkali, disamping data
Tabel 3
Data Kasus DBD Provinsi Banten, Tahun 2010
Angka Kelengkapan Kelengkapan
No. Kabupaten/ Kesakitan Laporan Bulanan laporan RS
Kota /100.000 Kab/Kota
populasi /tahun /tahun *)
Tangerang 74.2 11/12 (92%) 6 RS, 47/65 (72%)
1.
2. Kota Tangerang 187,8 10/12 (83%) 6 RS, 60/72 (83%)
3. Kota Tangerang
64.0 12/12 (100%) 4 RS, 44/48 (92%)
Selatan
..............
Nasional .% ..% ..%
Sumber : (contoh simulasi)
*) adalah jumlah RS yang ada, jumlah laporan yang diterima/jumlah laporan seharusnya dari
semua RS yang ada (% kelengkapan laporan RS per tahun)
Tabel 4
Laporan Bulanan Data Kesakitan DBD Rumah Sakit, Prov Banten, 2010
BULAN LAPORAN ___________________________________________________________________________
Kab/ Jml Jumlah Lap Jumlah Lap RS
Kode RS Sakit Jml RS Penduduk Angka
Grafik 3
Angka Kesakitan DBD (Data Rumah
Provinsi Banten, 2010
Contoh.
Pada Laporan Bulanan Data Kasus DBD, laporan kasus DBD dibuat dan dikirimkan
oleh Rumah Sakit ke Dinas Kesehatan Kab/Kota dilaksanakan bulanan. Pada
pemantauan ketat di Puskesmas dan Kab/Kota, seringkali perekaman dan
pelaporannya dilakukan setiap minggu.
Tabel 5
Data Kasus DBD Kota Tangerang, 2010
Berdasarkan Laporan Bulanan Data Kesakitan Rumah Sakit
BULAN LAPORAN
Kode RS Jan Feb Mar
Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
RS-KTS1 15 30 40 40 41 11 10 3 8 2 8 22
RS-KTS2 1 2 5 8 5 2 2 1 1 x 2 2
RS-KTS3 8 15 7 36 21 6 5 2 6 3 4 13
RS-KTS4 7 9 23 15 20 8 2 x x 1 3 7
Total 31 56 75 99 87 27 19 6 15 6 17 44
Kelengkapan
10
Laporan Per 100 100 100 100 100 100 100 75 75 75 100
0
Bulan (%)
Pada Data Kasus DBD Kota Tangerang, menurut bulan kejadian dan kelengkapan laporannya, menunj
ukkan kelengkapan laporan Kabupaten / Kota sebesar 100%
(tidak ada laporan yang tidak dibuat oleh Dinas Kesehatan Kota tangerang Selatan),
tetapi apabila dicermati kelengkapan laporan Rumah Sakit, terdapat RSKTS2 tidak
melapor pada bulan Oktober dan RS-KTS3 tidak melapor pada bulan Agustus dan
Grafik 4
Data Kasus DBD
Kota Tangerang Selatan, 2010
J a n Fe b M a r A p r M e i J u n J u l A g s S e p O k t N o v D e s
BULAN
Sumber Data (contoh simulasi) L apo ran Kasus
100
80
75
60
50
40
25
20
0 0
Ketepatan waktu laporan merupakan indikator kinerja kedua yang paling sering
digunakan. Ketepatan waktu laporan adalah tersedianya data surveilans pada unit
yang memanfaatkan data tersebut tepat waktu pada saat data tersebut dipergunakan.
Secara operasional, ketepatan waktu laporan serti diartikan sebagai tanggal waktu
laporan harus sudah diterima. Misal, laporan bulanan data kesakitan Puskesmas
diterima di Dinas Kesehatan Kota selambat-lambatnya tanggal 5 bulan berikutnya.
Pelaporan dan atau penggabungan data pada periode waktu yang bukan seharusnya,
dapat mengacaukan pola kurva dari data surveilans yang akan dianalisis. Oleh karena
itu, data surveilans sebaiknya dikirimkan selalu tepat waktu, jika terlambat, jangan
digabungkan dengan data surveilans waktu berikutnya, tetapi tetap dikirim sebagai
data surveilans periode waktu yang seharusnya.
Unit Sumber Data, misalnya Rumah Sakit atau puskesmas, mendapat kasus
berdasarkan data kunjungan berobat, atau kunjungan lain, dan kemudian diperiksa
dan didiagnosis oleh dokter. Oleh karena itu, terdapat makna keakuratan : keakuratan
data sebagai ketapatan diagnosis, dan keakuratan data sebagai ketepatan jumlah
kasus yang diidentifikasi, direkam dan dilaporkan oelh sumber data (misal Rumah
Sakit)
Indikator Kinerja Surveilans untuk Tingkat Provinsi (cermati perbedaan dengan Tingkat
kabupaten/Kota) adalah sebagai berikut :
Indikator Investasi (Tenaga dan Sarana)
Tenaga : 1 tenaga epidemiolog ahli (S2)
2 tenaga epidemiolog ahli (S1)
2 tenaga epidemiolog terampil
1 tenaga dokter umum
Indikator Proses : Kelengkapan laporan unit pelapor dan sumber data awal sebesar 80 %
atau lebih
Ketepatan laporan unit pelapor dan sumber data awal sebesar 80 % atau
lebih
Penerbitan buletin kajian epidemiologi sebesar 12 kali atau lebih setahun
Umpanbalik sebesar 80 % atau lebih
4. Identifikasi kasus
Reliabilitas
Definisi operasional kasus adalah alat untuk menentukan suatu diagnosis, baik
berdasarkan gambaran klinis, dan atau dukungan pemeriksaan lainnya. Reliabilitas
adalah konsistensi suatu definisi operasional kasus ketika digunakan untuk menetapkan
kasus atau bukan kasus, baik oleh petugas yang sama pada waktu berbeda (konsistensi
intra petugas), atau antara satu petugas dengan petugas lain (konsistensi antar petugas)
Untuk menjaga reliabilitas, maka perlu ada pedoman, prosedur operasional standar,
pelatihan, dan monitoring-evaluasi penerapan definisi operasional kasus
Contoh
Definisi operasional (DO) kasus campak adalah demam, bercak merah disertai dengan
salah satu gejala diare, mata merah conjunctivitis atau batuk
Pada DO kasus campak tersebut, pengertian demam bisa berbeda satu petugas dengan
petugas lain. Pada saat ditemukan kasus oleh petugas A di Puskesmas, dengan hasil
perabaan dahi menunjukkan demam, ditemukan bercak kemerahan dan batuk, maka
sesuai dengan DO kasus campak tersebut dimasukkan sebagai kasus campak. Tetapi
pada saat kasus yang sama tersebut datang ke petugas B, ia menyebut bukan kasus
campak, karena pada perabaan dahi dinyatakan suhu normal, atau tidak demam.
Pengukuran suhu oleh satu petugas bisa berbeda-beda metodenya, misalnya satu saat
petugas mengukur suhu badan pada ketiak, saat lain mengukur suhu badan pada mulut,
tetapi pengukuran dengan alat yang sama bisa dihasilkan simpulan yang berbeda, baik
karena cara menggunakan alat, maupun interpretasinya.
ditetapkan sebagai kasus dan bukan kasus dengan alat yang lebih canggih atau disebut
gold standard
Validitas merupakan karakter definisi operasional kasus yang sangat penting.
Pembahasan lebih luas pada bahasan atribut surveilans
Contoh :
Siatuasi kasus Campak
1. Seseorang yang menderita campak, maka kemungkinan berobat, sebagian tidak
berobat. Sebagian besar berobat ke Puskesmas dan sebagian yang lain ke Rumah
Sakit.
2. Pencarian pengobatan terkendala jarak, dimana kasus-kasus dekat
Puskesmas/Rumah Sakit akan punya peluang berobat lebih besar dibanding
kasus-kasus campak yang jauh dari Puskesams/Rumah Sakit.
3. Program pengendalian campak dengan melaksanakan imunisasi pada anak usia 9-
11 bulan. Imunisasi juga dilakukan pada anak Sekolah Dasar kelas 1 (booster).
Imunisasi khusus juga dilaksanakan pada anak 1-4 tahun yang dilaksanakan secara
massal.
4. Program memerlukan informasi, daerah manakah yang banyak kasus campak ?
pada usia berapakah paling sering terjadi kasus campak ? Apakah program
imunisasi berhasil menurunkan angka kesakitan campak ?
Pada Gambar berikut merupakan skema jenis surveilans, alur pelaporan dan
distribusi informasi Serveilans Terpadu Penyakit
Gambar5
Surveilans Terpadu Penyakit (STP)
Kementerian
Kesehatan 1. Mengolah
SKD Data STP
Profil Distrib 2. Analisis
(tahun usi KLB Dinas dan
) Data Rekomen
ke Kesehatan dasi
Provin Provinsi 3. Umpan
Balik
Dinas
Kesehatan
1) Sederhana
membutuhkan biaya cukup besar, tingkat partisipasi berisiko rendah dan rentang kendali
operasional sulit.
Secara umum, definisi operasional yang sederhana, akan cenderung menimbulkan
sensitifitas dan spesifitas rendah, tetapi definisi operasional yang ketat atau sulit
menimbulkan tingkat partisipasi rendah, butuh alat, pelatihan dan tenaga yang
memerlukan anggaran tidak sedikit
Beberapa ukuran yang dapat digunakan untuk menentukan kesederhanaan sistem
surveilans (Klaucke cs dalam Principles hal 177):
1. Jumlah dan jenis informasi yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis sesuai
definisi operasional kasus
2. Jumlah dan jenis sumber data
3. Cara-cara untuk mengirimkan informasi adanya kasus dan pengiriman data
4. Pelatihan staff
5. Jenis dan kompleksitas melakukan analisis data
6. Jumlah sarana pendukung (paket sistem komputerisasi)
7. Cara-cara mempublikasikan laporan
8. Banyaknya waktu yang digunakan untuk melaksanakan sistem surveilans
9. Besarnya sumberdaya yang diperlukan (biaya dan sarana), semakin komplek
semakin mahal.
2) Fleksibelitas
Fleksibel dapat diartikan bahwa variasi data dan informasi dapat selalu sesuai atau
mampu beradaptasi dengan kebutuhan variasi data dan informasi yang diperlukan.
Telah dibangun sistem surveilans terpadu penyakit berbasis data kesakitan Puskesmas
dan Rumah Sakit secara nasional dengan kelompok umur <1 tahun, 1-4 tahun, 5-14
tahun, 15-44 tahun dan 45 tahun lebih. Fleksibelitas sistem surveilans menjadi
terkendala berat ketika terapat keinginan merekam dan melakukan analisis terhadap
perkembangan penyakit dengan distribusi umur <7 hari, <28 hari, <9 bulan, terutama
jika sumber data merekam data dalam bentuk data agegat sejak awal merekam data.
Jika sistem harus menampung keinginan tersebut, maka terjadi perubahan varibel
yang memerlukan perubahan pedoman, pelatihan, dan mengganti semua formulir-
formulir dan sistem komputerisasinya
Perubahan variasi data pada sistem surveilans yang dibangun secara nasional akan
tidak mudah diterapkan karena banyaknya tingkat penyelenggara surveilans yang
terlibat. Hal tersebut dikarenakan memerlukan pedoman, pelatihan, dan supervisi,
memerlukan perubahan format, perubahan peralatan dan sebagainya. Sementara,
anggaran untuk melakukan perubahan itu perlu direncanakan dalam rencana tahunan,
atau bahkan lima tahunan.
Sistem surveilans berskala nasional, sebaiknya diatur agar data terekam individual
dan lebih detail saat direkam di sumber data, dan dikirimkan ke unit surveilans hanya
variabel data yang diperlukan. Semakin detail data yang direkam akan berdampak
semakin berat beban perekaman data di sumber data, dan ini dapat berakibat semakin
rendah tingkat partisipasi perekaman dan pelaporan data yang diperlukan.
Fleksibilitas juga dimaksudkan kemudahan sistem surveilans yang ada untuk
menghadapi munculnya penyakit baru, misalnya, ketika terjadi ancaman pandemi
influenza ganas, ancaman loncatan tipe virus influenza A H5N1, maka sistem deteksi dini
dapat direalisasikan dengan menumpang pada sistem pemantauan wilayah setempat
kasus potensi KLB yang masih aktif.
3) Partisipasi
Sistem surveilans yang baik jika dapat diterima oleh semua pihak terkait dengan
penyelenggaraan sistem surveilans, baik unit kerja maupun oleh orang-orang yang
bertugas dalam penyelenggaraan sistem surveilans, baik unit sumber data, unit
surveilans, dan program terkait
Beberapa variabel yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat partisipasi sebagai
berikut :
1. Adanya ketetapan manajer puncak dalam suatu keputusan formal, misal,
keputusan menteri, keputusan Gubernur atau kepala Dinas Kesehatan, keputusan
Kepala Rumah Sakit, yang memastikan bentuk desain dan struktur surveilans
serta unit atau orang-orang yang bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan
surveilans
2. Dibentuknya unit pelaksana, kelompok kerja atau petugas yang
bertanggungjawab sesuai peran terhadap penyelenggaraan surveilans yang
ditetapkan dalam suatu keputusan formal
3. Terdapatnya rencana kerja pelaksanaan sistem surveilans dan anggaran sesuai
dengan peran dalam penyelenggaraan surveilans
4. Besarnya jumlah kelengkapan laporan dan laporan-laporan yang dikirimkan tepat
waktu
5. Pada unit sumberdata surveilans dapat diukur 1. keterlibatan dokter, perawat,
petugas laboratorium dan unit-unit yang terlibat dalam identifikasi kasus,
perekaman dan pelaporan, 2. Kelengkapan isi formulir isian, baik dalam
penetapan kasus maupun variabel-variabel yang diperlukan lainnya dan 3.
Perbandingan jumlah kasus terekam dalam dokumen rekam data surveilans
dibanding dengan jumlah kasus-kasus yang telah terdaftar, teridentifikasi atau
tercatat di register
Pengukuran dapat dilakukan kuantitatif, kualitatif atau melalui penelitian khusus
sesuai dengan jenis pengukuran yang dinilai.
4) Sensitifitas
Contoh
Definisi operasional kasus campak adalah orang yang tinggal di kota A, menderita
sakit dan datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala demam tinggi dan
adanya bercak merah dengan salah satu gejala/tanda batuk, pilek, atau mata
merah. Definisi operasional kasus campak ini diuji dengan gold standar diagnosis
campak dengan uji urin ditemukan virus campak
Tabel 6
Sensitifitas, Spesifitas dan Nilai Duga Positif
DO Kasus Campak (unit pelayanan) dg Uji Urin (+) Virus
Campak
BUKAN
KASUS
positif
(a+b) =
DO kasus KASUS palsu
(X1)
campak (b)
unit benar
(c+d) =
pelayanan negatif
(X2)
(d)
(b+d) = Total
(Y2)
Tabel 7
Perbandingan Tingkat Sensitivitas dan
Spesifisitas Pada Pemeriksaan Influenza A Dengan
Menggunakan Rapid Tes Dan Real Time-Reverse Transcriptase
PCR
Rrt-PCR- NS
Infl. A (+) Infl. A (-) Jumlah
SD Bioline Infl. A (+) 20 2 22
Rapid Tes- NS Infl. A () 66 330 396
86 332 418
Sensititas 23,25%
Spesifisitas 99,39%
Nilai Duga Positif (PVD)=90,9%
(Diah Shinta Kartikasari, 2008)
Contoh
Definisi operasional kasus campak adalah orang yang tinggal di kota A, menderita
sakit dan datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala demam tinggi dan
adanya bercak merah dengan salah satu gejala/tanda batuk, pilek, atau mata
merah. Definisi operasional kasus campak ini diuji dengan gold standar diagnosis
campak uji urin ditemukan virus campak
Tabel 8
Sensitifitas, Spesifitas dan Nilai Duga Positif
DO Kasus Campak (populasi) dg Uji Urin (+) Virus Campak
Konfirmasi
(gold standard)
BUKAN
KASUS
KASUS
benar positif
(a+b) =
KASUS postif palsu
(X1)
(a) (b)
DO kasus
negatif benar
Campak BUKAN (c+d) =
palsu negatif
(populasi) KASUS (X2)
(c) (d)
Tidak
P? Q? ?
diperiksa
(a+c+P) (b+d+Q) Total
= (Y1 ?) = (Y2) ? Populasi
Catatan
P dan Q adalah populasi yang tidak datang ke unit pelayanan, sehingga
tidak diperiksa, dan tidak dapat ditentukan sbg kasus atau bukan kasus
Tabel 9
Sensitifitas dan Spesifisitas serta Nilai Duga Positif
Sisstem Deteksi Masalah Kesehatan masyarakat/KLB
BUKAN
KLB
positif
(a+b) =
Sistem Deteksi KLB palsu
(X1)
Masalah Kesehat- (b)
an Masyarakat dan benar
(c+d) =
KLB DBD negatif
(X2)
(d)
(b+d) = Total
(Y2)
Contoh
gambaran epidemiologi kasus campak berdasarkan laporan bulanan data kesakitan
Puskesmas
Tabel 10
Distribusi Kasus Campak Menurut Umur
Kecamatan Situadi, 2010
Incidence Case
Umur
Populasi Kasus Meninggal Rate fatality rate Prioritas
(tahun)
(10.000) (100)
<1 1250 10 1 80.0 10.0 3
1-4 5000 98 20 186.0 20 1
5-14 9000 120 2 133.3 1.8 2
15250 228 23 149,5 10.0
Sumber : Laporan Bulanan Data Kesakitan Puskesmas, 2010 (simulasi)
Puskesmas Kecamatan Situadi selama tahun 2010 telah datang berobat 228 orang
sakit yang berdasarkan definisi operasional kasus campak ditetapkan sebagai kasus
campak, sebagian dengan sakit berat dan dirujuk ke RS, 23 orang diantaranya
diketahui kemudian meninggal dunia.
Kumpulan kasus-kasus campak, disusun dalam kelompok kasus menurut umur dan
meninggal menurut umur. Kemudian masing-masing kelompok umur disusun
kembali berdasarkan ukuran epidemiologi incidence rate dan case fatality rate.
Berdasarkan ukuran epidemiologi incidence rate dan case fatality rate inilah
ditetapkan beratnya masalah kesehatan berdasarkan kelompok umur.
Dari tabel ini dapat kita pahami, sensitifitas untuk identifikasi masalah kesehatan
dapat dipengaruhi banyak hal :
1. Sensitifitas identifikasi kasus yang datang ke unit pelayanan
2. Jumlah dan jenis kelompok kasus yang datang ke unit pelayanan
3. Jumlah kasus dengan dokumen akurat, terutama variabel-variabel yang
diperlukan
4. Jumlah kasus yang direkam dan dilaporkan
5. Jumlah dan jenis sumber data (Puskesmas, Rumah Sakit, dsb)
6. Metode analisis epidemiologi
7. Ketepatan waktu analisis dan rekomendasi
Bagaimanapun, suatu sistem surveilans dengan sensitifitas, spesifitas dan nilai duga
positif tidak berubah-ubah, sangat berguna untuk mengidentifikasi dan memetakan
masalah kesehatan masyarakat secara terus menerus. Pada surveilans pemantauan
wilayah setempat penyakit potensial wabah mingguan (PWS kasus mingguan),
merupakan contoh penyelenggaraan sistem surveilans, dimana sensitifitas relatif
tidak mengalami perubahan.
Grafik 6
PWS Campak Mingguan
Puskesmas Situadi, 2010
Kasus 0 1 0 1 1 6 14 20 17
Meninggal 0 0 0 0 0 0 1 4 1
Pada kurva mingguan kasus campak berdasarkan PWS campak mingguan Puskesmas
Situadi, 2010 terlihat peningkatan kasus pada minggu 17-20, 2010. Walaupun tidak
diketahui jumlah kasus campak yang ada di masyarakat, tetapi peningkatan jumlah
kasus pada minggu-minggu tersebut mengindikasikan adanya peningkatan jumlah
kasus campak yang ada di masyarakat pada minggu-minggu yang sama, sehingga
investigasi lebih luas dapat dilakukan.
Pada situasi ini, sensitifitas bisa berubah, karena perhatian masyarakat meningkat,
sehingga keinginan penderita campak untuk berobat relatif juga bertambah,
Sensitifitas juga berubah jika perhatian petugas lebih serius dan lebih aktif mencari
kasus tambahan, misal mengaktifkan Puskesmas Keliling ke desa-desa. Seringkali,
pada situasi KLB, definisi operasional kasus yang semula lebih ketat, menjadi lebih
dilonggarkan, misalnya semula kasus campak adalah demam tinggi dengan bercak
kemerahan dan salah satu gejala batuk, pilek atau mata merah, berubah menjadi
demam dengan bercak kemerahan saja, sehingga lebih banyak kasus yang
dimasukkan sebagai kasus campak.
Pada penyelenggaraan sistem surveilans dalam wilayah lebih luas dan periode waktu bertahun-
tahun, rentan mengalami perubahan faktor-faktor yang
Gambar7
Distribusi Kasus Campak
Kota Bila-bila, 2006-2010
Pada grafik ini, besarnya angka kesakitan campak pada populasi tidak dapat
diketahui, karena kasus-kasus campak adalah kasus yang berkunjung ke unit
pelayanan. Bagaimanapun juga, pada grafik tersebut dapat ditunjukkan
kecenderungan jumlah kasus campak dari waktu ke waktu yang dapat
menggambarkan kecenderungan jumlah kasus campak di masyarakat menurut
variabel umur
Pada kurva Distribusi Kasus Campak, Kota Bila-bila, 2006-2010, kurva angka
kesakitan campak pada usia 1-4 tahun menunjukkan penurunan secara konsisten
dari tahun ketahun, sementara kurva angka kesakitan campak pada usia <1 tahun
dan usia 5-14 tahun juga menunjukkan penurunan, tetapi lebih landai dibanding
kecepatan penurunan angka kesakitan campak pada usia 1-4 tahun. Berdasarkan
kurva pada grafik ini, dapat ditarik interpretasi, bahwa di masyarakat juga terjadi
penurunan angka kesakitan campak yang sama, walaupun besarnya angka
kesakitan campak di masyarakat tidak diketahui.
Penambahan jumlah unit pelayanan di kota Bila-Bila tentunya akan meningkatkan
jumlah penderita yang berobat relatif lebih banyak tahun akhir dibandingkan tahun
awal, oleh karena itu, penurunan angka kesakitan campak pada kurva tersebut diatas
(pasive case detection), sebenarnya yang terjadi di masyarakat adalah terjadi
penurunan angka kesakitan campak lebih besar. Asumsi ini sangat penting.
Faktor yang mengganggu konsistensi sensitifitas identifikasi masalah kesehatan
masyarakat adalah konsistensi kelengkapan laporan unit-unit sumber data (unit
pelayanan kesehatan). Oleh karena itu, pada penyelenggaraan sistem surveilans
dengan unit sumber data sangat banyak, seringkali juga dikembangkan satu sistem
surveilans dengan unit sumber data terbatas, tetapi dipantau sangat ketat, untuk
mempertahankan konsistensi sensitifitas, terutama kelengkapan laporannya.
Kemudian secara teratur, kedua sistem itu dibandingkan, dan jika terdapat perbedaan
pola kurva, maka segera dilakukan kajian dan kemungkinan adanya perbaikan
kinerja atau sistem.
Contoh
2 Sistem Surveilans Untuk Menjaga Sensitifitas Identifikasi Masalah Kesehatan Pada
Sistem Surveilans Terpadu Penyakit (Kepmenkes 1479), dikembangkan STP
berbasis data kesakitan bulanan Rumah Sakit dan juga STP berbasis data kesakitan
bulanan Rumah Sakit Sentinel .
STP basis sentinel, jumlahnya sumber data awal sangat dibatasi, dipantau sangat
ketat, dan memperkuat kerjasama semua pihak agar dapat mencapai kinerja sistem
surveilans yang sangat berkualitas.
G r a fi k 8
Data Kasus DBD
R S , P o v i n s i , J a w a Te h , 2 0 1 0
400
300
200
100
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
BULA
N Sumber : STP, 2010 (simulasi)
Pada analisis kecenderungan penyakit DBD di wilayah Provinsi berdasarkan data kesakitan bulanan
RS, seringkali menunjukkan hasil analisis yang diragukan,
karena indikator kinerja tidak menunjukkan kinerja yang baik (kelengkapan laporan
rendah). Untuk menguji apakah pola kurva masih cukup sensitif untuk identifikasi
masalah kesehatan masyarakat, maka pola kurva kasus DBD RS se Provinsi
dibandingkan dengan pola kurva kasus DBD RS sentinel
Sensitifitas sistem identifikasi masalah kesehatan masyarakat dengan menggunakan
memanfaatkan dua sistem surveilans sebagaimana tersebut diatas, seringkali
dibangun secara formal. Pada STP DBD RS tersebut diatas memanfaatkan STP
DBD sentinel sebagai kontrol, dan juga dengan STP berbqasis data KLB. Pada cara
terakhir ini, jika laporan KLB meningkat, apalagi dengan jumlah kasus DBD cukup
banyak dan disertai kematian, tentunya kurva kasus berbasis laporan RS juga
meningkat.
Predictive Value Positive adalah seberapa besar penderita yang terdeteksi atau telah
didiagnosis sebagai kasus (definisi operasional kasus) itu benar sebagai kasus, atau
dalam tabel ..............tersebut diatas PVP = a/(a+b)
Contoh :
Berdasarkan prosedur identifikasi kasus yang telah dirumuskan, sistem surveilans
malaria menemukan 1000 penderita malaria, dan telah mendapat tindakan
pengobatan. Program pengendalian malaria dengan distribusi kelambu berinsektisida
diintensifkan dengan dukungan APBN, daerah-daerah dimana 1000 penderita tersebut
diatas bertempat tinggal mendapat prioritas distribusi kelambu ini.
Jika PDV rendah, misalnya 60% saja, maka dari 1000 penderita yang terdeteksi, sebenarnya banyak
yang bukan penderita malaria. Pada kasus ini ada 600 orang (60%)
yang benar sebagai malaria, dan 400 orang adalah bukan menderita sakit malaria. Ini
berarti banyak orang yang tidak sakit malaria, tetapi diberikan obat malaria. Demikian
juga dengan penambahan budget APBN untuk pengadaan kelambu, kemudian kelambu
diberikan pada kelompok populasi yang salah, karena analisis distribusi kasus tidak
benar
Jika sensitiftas prosedur identifikasi kasus juga rendah, misalnya hanya 30% saja, maka
terlalu banyak penderita malaria yang tidak diobati karena dinyatakan sebagai bukan
kasus malaria (pada kasus ini sebesar 70% dari seluruh populasi yang sebenarnya sakit),
sebaliknya jika spesifitasnya rendah, misalnya 60% saja, maka terlalu banyak orang
sehat yang dinyatakan sakit dan diobati (pada ksus ini sebesar 40% dari seluruh populasi
yang sebenarnya sehat)
Untuk mendapatkan hasil yang baik, biasanya suatu definisi operasional dibuat
berlapis, dimana kasus-kasus pertama kali diidentifikasi dengan definisi operasional
yang memiliki sensitifitas tinggi, tetapi spesifitasnya rendah, sehingga semua kasus
dapat diidentifikasi sebagai kasus, tetapi disini banyak yang bukan kasus juga
dinyatakan sebagai kasus. Kemudian, langkah kedua, kasus-kasus yang ditemukan
dengan definisi operasional kasus pertama tadi, diuji kembali dengan definisi
operasional kasus kedua, dimana definisi operasional kedua ini memiliki spesifitas yang
tinggi, sehingga dapat mengeluarkan kasus-kasus yang sebenarnya bukan kasus
Contoh :
Surveilans AFP dan Surveilans virus polio liar
Untuk menemukan penderita polio aktif, maka pertama-tama semua anak yang
menderita lumpuh layuh akut ditetapkan sebagai kasus AFP (suspek polio), kemudian
pada kasus-kasus AFP ini diperiksa tinjanya untuk menentukan apakah kasus ini kasus
polio atau bukan.
Definisi operasional kasus AFP, yaitu seseorang yang menderita lumpuh layuh akut.
Definisi operasional ini dapat memasukkan semua anak yang menderita lumpuh layuh
akut, termasuk kasus polio yang menunjukkan gejala lumpuh layuh akut. Definisi
operasional kasus AFP ini memiliki sensifitas yang sangat tinggi terhadap kasus polio,
artinya jika ada kasus lumpuh karena polio pasti dapat terdeteksi, tetapi definisi
operasional ini memiliki spesifitas rendah, karena terlalu banyaknya kasus lumpuh
layuh akut yang bukan polio yang juga dimasukkan sebagai kasus AFP (suspek polio)
Kemudian setiap kasus AFP ini ditemukan, kasus AFP ini segera diperiksa dengan uji
virus polio pada tinjanya, jika hasilnya positif, maka dimasukkan sebagai polio, jika
negatif maka dimasukkan bukan polio. Uji virus polio pada tinja, memiliki spesifisitas
yang sangat tinggi artinya dapat menentukan bukan polio untuk disingkirkan sebagai
bukan polio
Jika kita hanya menerapkan uji virus polio pada tinja semua orang, maka
membutuhkan biaya yang luar biasa banyaknya untuk mendapatkan penderita polio
yang jumlahnya sangat sedikit, atau bahkan mungkin tidak ada di populasi. Oleh karena
itu, kedua metode ini menjadikan satu definsi operasional kasus gabungan dengan
sensitifitas dan spesifitas tinggi
Cara ini banyak diterapkan diberbagai program, seperti pada deteksi kasus TBC,
deteksi kasus malaria, dan sebagainya.
6) Representatif
Data surveilans diperoleh bukan berdasar pada desain studi atau pemilihan secara
acak (random), sehingga bisa menjadi tidak representatif terhadap kejadian-kejadian di
populasi. Hal ini perlu dikenali dengan cermat, terutama pada saat identifikasi kasus,
perekaman dan pengumpulan data.
Sistem surveilans yang representatif adalah kemampuan menunjukkan tingkat
keakuratan yang tinggi dalam menggambarkan kejadian-kejadian kesehatan atau obyek
surveilans lain secara terus menerus pada suatu populasi, termasuk distribusinya
menurut karakteristik orang dan tempat.
Secara teoritis representatif diukur dengan membandingkan antara kejadiankejadian
kesehatan yang dilaporkan dengan semua kejadian-kejadian kesehatan yang ada di
populasi, tetapi pada prakteknya tidak mudah melakukannya. Representatif sistem
surveilans dapat diuji dengan menyelenggarakan penelitian khusus untuk itu
dengan mengambil sejumlah sampel populasi. Adanya bias, juga dapat mempengaruhi
representatif sistem surveilans
Representatif bukan berarti jumlah kasus sama persis, representatif lebih berarti
mewakili atau dapat menggambarkan situasi di populasi dengan tepat. Representatif
kejadian kesehatan tertentu dapat ditunjukkan dengan tepat berdasarkan analisis
kejadian-kejadian kesehatan atau obyek surveilans lainnya yang telah teridentifikasi
dengan karakteristiknya menurut waktu, tempat dan orang.
Beberapa hal terkait dengan representasi data surveilans sebagai berikut (Gail cs):
(1) Data surveilans dihimpun terus menerus dari waktu ke waktu, dan perhatian,
kemampuan dan kualitas pengumpulan data bisa berubah-ubah. Ini berakibat pada
tidak konsistennya data yang dikumpulkan, sehingga analisis berdasarkan pola
kurva kasus tidak menjadi tidak tepat
(2) Pada surveilans berbasis data unit pelayanan kesehatan (misal berbasis data
bulanan rumah sakit) merupakan pengumpulan data pasif. Metode ini menimbulkan
keadaan tidak representatif terhadap kejadian di populasi, antara lain :
a. Kasus-kasus yang memiliki akses ke pelayanan lebih mudah, akan lebih banyak
yang datang ke pelayanan kesehatan dibandingkan yang jauh.
b. Kualitas pengumpulan data bisa berbeda-beda antar sumber data (misal
Puskesmas, rumah sakit dsb), sehingga representasi data surveilans antar daerah
juga berbeda
Contoh Kelengkapan Data Surveilans dan Pengaruhnya Terhadap Hasil Analisis
Gambar9
Insidens Tifus Perut Menu rut Bulan
Data RS di Kota A dan B, 2006-2009
16
0
Tabel 13
Kelengkapan Laporan Rumah Sakit kota A dan kota B
TAHUN
KOTA 2006 2007 2008 2009
Kota A 40% 60% 100% 100%
Kota B 40% 50% 100% 40%
Idealnya data kasus diare yang dirawat di Rumah Sakit merupakan representasi
dari data kasus diare populasi, tetapi karena budaya masyarakat yang lebih
cenderung memperhatikan kesehatan anak laki-laki dibanding anak perempuan,
maka upaya mencari pengobatan pada anak laki-laki yang menderita sakit diare
akan lebih tinggi dibanding pada anak perempuan. Ini berakibat, rate kasus diare
berdasarkan jenis kelamin berbeda antara di unit pelayanan dan populasi.
P E R K E M B A N G A N K A S U S KO TA B A R U , 2 0 0 0 -
2010
12
0
60
30
0
2000 2005 2010
TAHU
Puskesmas/ N Sumber data :
simulasi
RS
f. Ketelitian petugas, alat dan tatacara identifikasi kasus di unit pelayanan dapat
berpengaruh terhadap jumlah kasus yang direkam
g. Hal yang sama akan terjadi, apabila data surveilans diperoleh berdasarkan laporan berjenjang.
h. Karakteristik populasi (jenis kelamin, umur, status sosial-ekonomi, lokasi geografis, dsb)
i. Riwayat alamiah kejadian-kejadian kesehatan (periode laten, beratnya sakit,
sistem pelayanan kesehatan)
7) Ketepatan Waktu
Tepat waktu dapat diartikan bahwa data dan informasi surveilans tersebut tersedia
saat diperlukan. Makna tersedia lebih tepat diartikan data dan informasi yang ada telah
dapat diambil keputusan untuk dilakukan tindakan.
Penyelenggara surveilans, biasanya akan membuat aturan agar tenggat waktu
dipenuhi :
a. pelaporan data dari sumber data awal terlaporkan secara berjenjang sampai pada
unit surveilans
b. data di unit surveilans terekam dan terolah dalam tabel, grafik dan peta
c. tabel, grafik dan tabel telah dianalisis dan ditarik kesimpulan serta disampaikan
pada unit program yang memerlukan
Pada saat ini, kemampuan teknologi informasi sudah dapat membagi data dari saat
data direkam oleh sumber data awal, diterima oleh unit-unit penerima laporan serta
diolah oleh unit surveilans, terjadi dalam satu saat yang sama, jumlah dan kualitas data
yang sama, dan lebih detail. Bahkan umpan balik dan koreksi atau perbaikan data dapat
segera dilakukan.
Ketepatan waktu dapat diuji melalui evaluasi kebutuhan data dan informasi saat
perencanaan, saat melakukan kajian SKD-KLB, atau melakukan evaluasi kelengkapan
dan ketepatan laporan
Sumber data surveilans adalah tempat dimana data primer diambil dan direkam
sebagai data dasar surveilans epidemiologi, sering disebut sebagai unit perekam data.
Sumber data yang sering digunakan adalah Puskesmas, Rumah Sakit dan Laboratorium,
terutama untuk mendapatkan data kesakitan dan pelayanan kesehatan. Sumber data
lain terdapat juga di masyarakat, misalnya Posyandu, untuk mendapatkan data
penimbangan anak balita sebagai bagian dari sistem surveilans perkembangan gizi.
Sumber data penelitian adalah paling ideal, tetapi mahal dan sulit, misalnya berdasarkan
penelitian secara berkala, SKRT, RISKESDAS dsb.
Variabel data surveilans adalah jenis data dengan karakteristik tertentu
yang akan direkam, misalnya identitas kasus, diagnosis penyakit, tanggal
berobat, usia dan tempat tinggal. Untuk mendapatkan informasi sesuai
variabel data yang diharapkan memerlukan jenis dan kualitas tenaga yang
sesuai agar validitas data (sensitivitas dan spesivitas) dapat lebih baik,
sehingga analisisnya lebih tepat, terutama dalam menegakkan diagnosis
penyakit.
Gambar 12
Pada saat data diperoleh pertama kali di Unit Perekam Data, sebagian besar data
bentuknya adalah data individu yang terekam dalam Kartu Perekaman (Kartu Rawat
penderita), atau tersusun dalam daftar kasus (Tabel Registrasi), kemudian dirubah
menjadi data kelompok atau agregat.
Gambar 13
Kartu
Wawancara - Perekaman
Pemeriksaan Kode : ...
Nama : ....
Umur : ..
Sex : ...
Diagnosis : ...
.........
.........
1.............................. ..................
....
......... .... ..................
2 ........ ....
Perekaman
Secara manual, data individu dihitung dengan cara melidi berdasarkan variabel yang
diperlukan, terutama menurut waktu mingguan, bulanan atau tahunan. Pengelompokan
umum lain adalah pengelompokan menurut umur dan jenis kelamin.
Unit Perekam Data yang tidak merekam data seluruhnya, disebut kelengkapan data
rendah, atau tidak hati-hati dan cermat, disebut tidak akurat, akan menjadikan kualitas
data rendah, dan hasil analisis menjadi tidak benar, sehingga Unit Perekam Data seperti
itu justru akan menjerumuskan program pada langkah yang tidak tepat dalam
menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat.
Perekaman data tidak boleh terlalu komplek, sulit, atau rumit, sehingga kelengkapan
dan keakuratannya rendah. Apabila terlalu komplek diperlukan adanya latihan khusus
bagi petugas pada Unit Perekam Data
Kelengkapan laporan Unit Perekam Data selalu menadi indikator penting surveilans,
dan oleh karena itu, Unit Perekam Data yang tidak mengirimkan laporannya harus
diingatkan, asistensi dan supervisi dengan ketat, bahkan seringkali, unit surveilans
FETP Kementerian Kesehatan RI-WHO | 85
Surveilans Epidemiologi
secara aktif mendatangi setiap Unit Perekam Data dan merekam data sendiri dari
register harian, tentunya pada jumlah data dengan variabel data yang tidak terlalu
banyak.
Unit Perekam Data dapat dibagi menjadi 2 bagian besar : Unit Perekam Data yang
dibangun dan dilaksanakan atas acuan penyelenggara surveilans, atau mendapatkan
data yang berasal sistem perekaman data yang diselenggarakan oleh instansi lain.
Unit Perekam Data yang dibangun dan dilaksanakan atas acuan penyelenggara
surveilans, memiliki pengaturan sendiri, antara lain rumusan definisi operasional kasus,
pengaturan tentang petugas yang merekam, prosedur memindahkan data dalam tabulasi
manual atau elektronik (komputer), pengolahan dan tampilan dalam tabel, grafik maupun
petanya, bahkan juga desain analisisnya, mengikuti acuan yang ditetapkan
penyelenggara surveilans.
Unit Perekam Data yang dibangun dan dilaksanakan oleh instansi lain, diatur oleh
masing-masing penyelenggara sistem informasi terkait. Pada Unit Perekam Data ini,
perlu dikenali definisi operasional kasus, tatacara perekaman dan petugas-petugas yang
melaksanakan kegiatan perekaman dan pengolahan data.
Sumber data surveilans yang diperoleh dari sistem yang diselenggarakan oleh instansi
tertentu amtara lain:.
1. Data kesakitan puskesmas dan rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan lain
2. Data rawat inap rumah sakit
3. Data kematian puskemas dan rumah sakit
4. Data kependudukan (demografi) dari BPS (Biro Pusat statistik)
5. Data laboratorium
6. Data metrologi dan geofisika
7. Data cakupan program
8. Data lingkunagn : air dan sanitasi, cemaran,
9. Data survei : riskesdas, SKRT, SDKI dsb
10. Data penelitian
11.
FETP Kementerian Kesehatan RI-WHO | 86
Surveilans Epidemiologi
Laporan KLB
Surveilans Epidemiologi
12. Laporan Penyelidikan KLB penyakit, keracunan atau kejadian kesehatan lain
13. Data hewan penular penyakit dan vektor
14. Data sektor lain
15. Data penggunaan obat, vaksin, serum
Data kesakitan rawat inap rumah sakit, misalnya, direkam dengan variabel diagnosis
saat masuk, diagnosis saat keluar dengan definisi operasional diagnosis berdasarkan
code ICD X sesuai perkembangan peng-code-an.
Data kesakitan rawat jalan Puskemas (Indonesia), misalnya, direkam dengan variabel
diagnosis yang ditetapkan definsi operasionalnya oleh Menteri Kesehatan dengan aturan
berskala nasional
Menyamakan definisi operasional kasus atau diagnosis penyakit berskala nasional
adalah sangat penting, terutama untuk membuat perbandingan masalah kesehatan antar
wilayah di indonesia.
Dengan memanfaatkan teknologi komputer, perekaman data individu dan manipulasi
menjadi berbagai bentuk data agregat, bisa berlangsung cepat, terutama untuk data
besar dan kompleks.
Gambar 14
Pengumpulan dan Pelaporan
Kartu TABEL MASTER
Perekama No. Kode Nama Sex Umur
n Diagnosis 1...................................
2......................................................
Kode : ...
Nama : ....
Umur : ..
Sex : ... TABEL MELIDI
Diagnosis : ... No. Diagnosis Umur1 Umur 2 Umur 3 Sex-L Sex-P
......... 1. Pnemonia 11 1111. 1111 1111 1111
111 1111 1111 1111
G RAFI
K/MAP TABEL ANALISIS/LAPORAN
ANALISIS No. Diagnosis Umur1 Umur 2 Umur 3 Sex-
L Sex-P 1. Pnemonia 2 8 10 10
KIRIM 10
LAPORAN
Penyajian data surveilans dibuat dalam bentuk teks, tabel, grafik dan peta. Pada
dasarnya cara penyajian apapun, pada prinsipnya, memenuhi kaidah komunikasi yang
baik agar orang yang membaca penyajian tersebut menerima pesan dan dapat menarik
kesimpulan tertentu serta melakukan respon yang tepat. Prinsip tersebut harus terus
menjadi dasar untuk menentukan cara mana yang tepat utk menyajikan data su rvei
lans.
Setiap bentuk penyajian punya maksud dan masing-masing mempunyai aturan agar
pesan dapat disampaikan dengan benar.
Grafik Peta
Grafik Histogram-Poligon Peta Sebaran (Spot map)
Grafik Balok Peta Risiko (Area Map)
Grafik Garis Peta Absolut
Tabel
Tabel terdiri dari judul, baris dan kolom. Setiap kolom memiliki judul kolom, setiap baris
mempunyai judul baris. Ruang data adalah ruang persimpangan kolom dan baris yang
berisi data tertentu berdasarkan ketentuan yang ditulis dlam judul kolom dan judul baris.
Pada contoh tabel dibawah ini, ruang data yang berisi angka 20 adalah data
berdasarkan keterangan baris (laku0laki) dan judul kolom terkait (jumlh penderita)
Tabel 17 JUDUL
JUMLAH PENDUDUK,TABEL
JML SAKIT DAN JML. MENINGGAL
Apa,
DESA SEKARTAJI, TANGKRANG, 2010
Dimana
JENIS POP JUMLAH JUMLAH
KELAMI PENDERI MENINGGA JUDUL
N TA L KOLOM
LAKI-LAKI 2000 20
2
PEREMPUAN 2500 10
3
TOTAL 4500 30
5
TABEL 18
KEJADIAN KERACUNAN PESTA KEBUN
PT. NADIA CONSULTATION, TANGERANG, JANUARI 2010
JUML % ANGKA
JUMLAH
STATUS AH KEJADIAN (ATTACK
TAMU SAKIT
TAMU RATE)
MAKAN UBI
300 30 10 %
REBUS
TIDAK
MAKAN UBI 50 1 2%
REBUS
TOTAL 350 31 8,9%
G rafi k
Sama dengan tabel, secara umum, grafik harus memiliki judul, keterangan dan
sumber data. Kalau pada data, dibagi menjadi kolom dan baris, maka pada grafik dibagi
menjadi variabel horisontal dan variabel vertikal. Ruang data adalah pada persimpangan
antara variabel horisontal dan variabel vertikal.
Gambar 15
Kurva Epidemi Campak, Kota Atas Angin, 2011
Grafik Garis
Biasanya menunjukkan pola perkembangan menurut waktu dan kecenderungan
menurut waktu, dan oleh karena itu, variabel horisontal adalah waktu dan variabel
vertikal jumlah kejadian. Pertemuan antara varibel horisontal (garis vertikal) dan dan
variabel vertikal (garis mendatar) merupakan status kejadian yang digambarkan sebagai
titik pertemuan koordinat
Contoh :
Distribusi DBD Bulanan, Kota Atas Angin, 2010-2011
Pertemuan koordinat pada titik B merupakan status kejadian dengan jumlah
kasus 60 (variabel vertikal) pada bulan Juni 2010 (variabel horisontal).
Tepatnya, titik B sebenarnya merupakan status kejadian rata-rata selama
bulan Juni. Status kejadian antara bulan Mei dan Juni digambarkan dengan
garis antara A ke B.
Bentuk kurva antara Januari Desember membentuk pola yang sama setiap
tahun yang perlu dibuktikn dengan kurva setiap tahun.
Arah status kejadian dari A ke B menunjukkan kecenderungan status kejadian
menurun, meningkat atau menetap. Kecenderungan, biasanya diperuntukkan
pada dugaan status kejadian waktu kedepan atau masa yang akan datang.
Grafi k 17
Distribusi Kasus DBD Menurut Bulan
Kota Mahalaya, 2010-2011
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr
BULAN
GRAFIK GARIS
Grafik Balok
Pada umumnya digunakan untuk membandingkan beberapa kejadian antar
kelompok. Karena adanya keinginan untuk membandingkan antar kelompok, maka
kelompok-kelompok yang akan diperbandingkan itu benar-benar telah sebanding. Cara
membandingkan yang paling praktis adalah menjadikan bentuk datanya dalam rate
(jumlah kejadian dibagi dengan jumlah populasi berisiko).
Seringkali, bentuk grafik bar digunakan untuk menggantikan bentuk grafik garis.
Gambar 18
Attack Rate Campak Menurut Gol.Umur
Kota Atas Angin, 2011
Peta
Secara umum dibagi 2 jenis penyajian dalam peta : spot map dan area map.
Spot Map adalah sebaran kasus sesuai dengan letaknya sesuai koordinat di bumi, tidak
dipengaruhi oleh besarnya populasi berisiko. Sebaran Spot Map seperti ini lebih
dimanfaatkan untuk memberi gambaran hubungan dengan lokasi-lokasi tertentu,
misalnya dengan letak kantin, letak sungai dan sebagainya.
Sedang pada Area Map dimana kasus-kasus dipengaruhi oleh populasi berisiko menurut
tempat tertentu sebagai attack rate lebih dimanfaatkan untuk membandingkan antar
tempat kerja berdasarkan risikonya menjadi sakit (kasus)
Contoh :
KLB Diare Kota maju, Desember 2010
KLB diare terjadi di Kota Maju yang diperkirakan karena kolera. Total
seluruhnya berjumlah 57 kasus dengan attack rate 1.2 per 1000 penduduk.
Ditengah Kota Maju mengalir sungai yang membelah kecamatan B dan
sebagian kecamatan A dan E. Berdasarkan Kecamatan dapat diketahui jumlah
kasus dan attack rate lebih terperinci.
Tabel 19
Distribusi Kasus Diare Berdasarkan Kecamatan
KLB Diare Kota Maju, Desember 2010
Kecamatan Populasi Kasus Attack Rate/1000
A 12.000 6 0.5
B 18.000 32 1.7
C 5.000 4 0.8
D 3.000 9 3
E 8.000 6 0.8
Total 46.000 57 1.2
Spot Map kasus diare pada KLB diare di Kota Maju dibuat berdasarkan titik
koordinat kasus di bumi dimana kasus tinggal. Terlihat sebagian besar kasus
berada pada sepanjang sungai yang membelah kecamatan B.
Pada Area Map, attack rate tertinggi adalah kecamatan D, walaupun pada
sebaran kasus terlihat kecamatan B yang banyak kasus. Hal ini disebabkan
karena kecamatan B, sebagai ibukota Kota Maju berpenduduk sangat padat,
jauh dibanding kecamatan D.
4) Pengiriman Data
Pada umumnya, pengiriman data surveilans dalam bentuk data agregat, karena
biasanya daftar kasus dan sarana yang harus dikirimkan menjadi sangat besar, baik ke
Kab/Kota, Provinsi maupun ke Pusat
Cara-cara pengiriman data dengan merubahnya menjadi data digital dapat meringkas
data besar dalam file kecil, kemudian data dipindahkan dalam alat penyimpan data
flashdisk atau cakram (cd atau dvd). Pengiriman data digital sekarang sudah
menggunakan jaringan maya, baik file yang telah direkam dikirim menggunakan surat
elektronik (e-mail) atau menggunakan perekaman data sekaligus mengirimkannya (on-
line).
Data yang terekam dalam file kecil, bisa dikirim dengan menggunakan handphone
(HP) dalam bentuk SMS, bahkan pengiriman data lewat SMS-HP juga bisa dengan
sistem SMS gateway dan terekam langsung dalam komputer penerima laporan.
Dengan kemajuan teknologi seperti itu, tidak semestinya lagi metode pengiriman data
nasional dilakukan secara berjenjang dari Puskesmas/rumah sakit ke Dinas Kesehatan
kab/Kota, dari Dinas Kesehatan Kab/Kota ke Dinas Kesehatan Provinsi dan seterusnya
berjenjang dikirim ke Pusat, kemudian umpan balik juga dilakukan berjenjang.
Pengiriman data dari unit pelayanan sebagai sumber data awal semestinya langsung
pada Dinas Kesehatan Kab/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi dan ke Pusat sekaligus. Ini
membutuhkan biaya cukup besar untuk pengadaan alat dan pelatihan, tetapi akan
mendapatkan efisiensi jumlah tenaga, kecepatan, keakuratan, detail dan lebih banyak
informasi yang diperoleh. Manajemen dan organisasi menjadi lebih ramping, sehingga
kendali penyelenggara surveilans menjadi lebih baik.
1) Tehnik analisis
Kunci mekanisme surveilans adalah pada analisis. Pada dasarnya analisis surveilans
adalah menarik kesimpulan dari serangkaian data atau informasi, sehingga pengaruh
dari status orang yang melakukan analisis adalah sangat kuat, termasuk pengaruh
subyektifitas orang tersebut.
Pengaruh proses analisis pada serangkaian data surveilans antara lain : penguasaan
terhadap strategi analisis data surveilans/epidemiologi, keterampilan dan pengalaman,
serta penguasaan ilmu pengetahuan, hasil penelitian, informasi lain yang terkait dengan
masalah data yang dianalisis.
Gambar 22
Proses Analisis
D ATA INFORMASI
I N T E R P R E TA S I survei lans
( t a b e l , g r a fi k ,
peta)
Pada analisis, data dan tampilannya berpengaruh terhadap proses dan hasil analisis.
Analisis pada data dalam bentuk data yang belum ditata dalam bentuk yang mudah
dianalisis, akan menyulitkan proses analisis.
2) Tampilan AnalisisTabel
Tabel sederhana dengan 2-3 variabel akan mudah dicermati dan dilakukan penarikan
kesimpulan (interpretasi)
Tabel 20
Jumlah Kasus DBD Basis Rumah Sakit Sentinel Mingguan
Indonesia, 2010
Rumah Sakit Jumlah Kasus/Meninggal Pada Minggu Ke
10 11 12 13 14 15 16
RS A, Jakarta 20/1 30/2 20/4 80/6 100/5 120/2 70/0
RS B, Medan 10/0 8/0 5/0 8/1 10/0 12/0 5/0
RS C, Denpasar 50/5 40/2 80/3 50/1 30/0 20/0 12/0
Sumber : contoh
Tabel 21
Incidence Rate dan Case Fatality Rate DBD
Provinsi Jakarta, Yogya dan Bali, 2007-2010_________
Incidence Rate per
Provinsi 100.000 populasi/Tahun CFR (%)/Tahun
2007____2008____2009____2010 2010 2010 2010 2010
Jakarta 74.7 317.1 313.4 66.1 0.27 0.09 0.11 0.16
Yogya 78.1 61.7 63.9 70.4 1.06 0.99 0.68 0.82
Bali 392.6 181.3 167.4 118.4 0.22 0.3 0.15 0.39
Sumber : Ditjen PPPL, Kementerian Kesehatan
(1) Sama dengan tampilan tabel, tampilan grafik garis dan grafik balok sederhana
dengan 2-3 variabel lebih mudah digunakan untuk melakukan proses analisis.
Pada histogram, interval variabel waktu perlu dicari interval yang tepat, sehingga
dapat terlihat bentuk kurva yang dapat dianalisis, secara umum interval yang baik
berkisar antara 1/8 -1/4 masa inkubasi
(2) Jika terdapat banyak variabel yang akan dianalisis, sebaiknya dibagi dalam
beberapa grafik, sehingga menjadi lebih sederhana, dan mudah ditarik
kesimpulan.
(3) Jika ingin membandingkan 2 data dengan variabel yang sama, buatlah kedua
rangkaian data tersebut sebanding,
300.00
200.00
100.00
0.00
2007 2008 2009 2010
TAHUN
Sumber : Ditjen PPPL, KEMENKES
Gam bar 24
Incidence Rate & CFR DBD Inscidence rate & CFR DBD
Prov. J akarta, 2007-2010 Pr o v. B a l i , 2 0 0 7 - 2 0 1 0
TAHUN TAH UN
I N SI DE N S C FR
Sumbe r : Di tj e n PPP L, KE M E N KE S
Bentuk peta yang sering digunakan adalah bentuk spot map dan area map, baik
dalam bentuk tunggal untuk menjelaskan distribusi kasus menurut wilayah pada suatu
lokasi kejadian dan menurut daerah menurut karakteristik geografi dan adminstrasi
pemerintahan, maupun dalam bentuk serial waktu untuk mencermati perkembangan
sebaran kasus
Spot Map
Setiap kasus, sesuai letak pada koordinat di bumi, diletakkan pada peta. Waktu
kapan kasus diletakkan pada lokasi sesuai koordinat di bumi, tergantung kebutuhan
analisis, misalnya saat kasus tertular (kontak) suatu penyakit menular, saat makan
makanan yang diperkirakan mengandung bahan racun, saat mulai sakit, atau saat
berobat
(1) Pada satu peta spot map, akan dapat diketahui sebaran kasus pada suatu
wilayah, sebaran semacam ini dapat dimanfaatkan dalam melakukan analisis
hubungan terjadinya kasus dengan letak sesuatu, misalnya sungai, gedung,
aktivitas pesta yang diduga terdapat kuman penyakit menular, atau orang yang
menderita penyakit menular tertentu, atau gedung, pabrik yang berdampak
timbulnya cemaran udara dengan bahan polutan, bakteri, virus, kimia, atau
limbah.
(2) Seringkali dibuat serial spot map, sehingga akan dapat diketahui perkembangan
sebaran kasus dari waktu ke waktu, terutama untuk penyakit menular propagated
source : mulai terjadinya sebaran, perkembangan dan perluasan, berakhirnya
sebaran
Contoh :
Spot Map Kasus KLB Diare Kolera dengan serial waktu 2 mingguan. Terlihat
kejadian KLB dapat ditanggulangi, tetapi tidak bisa serentak, karena hanya
daerah-daerah berjangkit yang segera dtanggulangi, sementara daerah-
daerah tetangga yang kemungkinan terjangkit tidak melakukan antisipasi dan
kesiapsiagaan yang baik.
Gam bar 25
S e b a r a n K a s u s Pa d a K L B D i a r e Ko l e r a ( S p o t M a p )
Ke c a m a t a n B a r u , 2 0 1 0
Area Map
Berbeda dengan spot map, area map adalah membagi daerah berdasarkan attack
rate. Sama dengan spot map, area map dapat dimanfaatkan dalam area map tunggal,
atau serial sesuai kebutuhan analisis.
Attack rate lebih dimanfaatkan untuk analisis risiko terkait dengan wilayah dan
populasi berisiko. Jika populasi tetap, misalnya desa, kabupaten, maka populasi berisiko
adalah jumlah penduduk yang relatif tetap. Apabila populasi tidak tetap, misalnya wilayah
pengungsian, perpindahan penduduk transmigrasi, perjlanan haji, lebaran, maka attack
rate dihitung dengan jumlah populasi yang berbeda-beda sesuai jumlah populasi saat
attack rate dihitung..
Gam bar 26
Attack
Rate / 1.000
penduduk
0
0 .1 -2 4
25 -4 9
50
le bi h
5) Seculer trend
Menyusun data kejadian dalam grafik garis menurut perode waktu lama (beberapa
tahun) sehingga dapat diketahui pola kejadian dalam jangka panjang
Contoh :
Seculer trend demam berdarah dengue Indonesia
Terjadi peningkatan jumlah kasus (insidens) dari tahun ke tahun, baik karena
jumlah daerah berjangkit maupun peningkatan insidens rate setiap daerah.
Pola jangka panjang demam berdarah dengue Indonesia membentuk model
kurva seperti kelompok pola A, kemudian membentuk kelompok pola B
dengan pola yang sama tetapi dengan periode semakin pendek, dan pada
kelompok C, sudah tidak jelas lagi puncak-puncak kurva.
Jika ada upaya penanggulangan yang mampu menurunkan insidens secara
nyata dan pada daerah yang cukup luas, bisa jadi pola itu berubah, menjadi
tidak normal, seperti pada tahun 1998.
Gambar27
INSIDENS & CFR DENGUE Per TAHUN
INDONESIA 1968-2010 (s/d Juni)
Menyusun data dalam bentuk grafik garis berdasarkan periode waktu mingguan atau
bulanan, sehingga dapat diketahui pola kurva berulang dari periode waktu tertentu
secara teratur.
Contoh
Data DBD dilaporkan secara teratur dari Rumah Sakit dan disusun dalam grafik
Distribusi DBD Bulanan selama 3 tahun terakhir. Dari grafik dapat diketahui
adanya pola kurva yang khas dan berulang setiap tahun, dimana kasus DBD
akan tinggi pada bulan November Mei, dan rendah pada bulan April-Oktober.
Berdasarkan pola itu, dapat diambil beberapa keputusan penting :
Gambar 28
Distribusi DBD Bulanan
Kota Atas Angin, 2009-2011
18
12
2009
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
S um b e r : Di n k e s Ata s An g i n , 2 0 11 Bulan
Penyakit menular dan beberapa penyakit lainnya, cenderung membuat pola tahunan
secara periodik karena pengaruh yang berulang, misal pengaruh musim, lebaran,
kenaikan kelas dan sebagainya.
Pengaruh musim di setiap kawasan berbeda intensitas dan waktunya, sehingga
dengan membandingkan pola periodik musiman antar daerah dapat dimanfaatkan untuk
memperkirakan kecenderungan kawasan lain.
Contoh :
Kota A di kawasan A dan Kota B di kawasan B. Periode kasus DBD kota A meningkat
antara bulan September ke Desember, ini lebih lambat dari periode kasus DBD Kota B
pada bulan Januari ke Juni (lebih awal), sehingga besar masalah kota B dapat
menjadi peringatan bagi kawasan di Kota A, misalnya tingginya insidens, CFR
dan adanya tipe virus yang berubah atau muncul tipe baru.
Metode ini juga bisa digunakan untuk melakukan pemantauan pada satu
kawasan luas dengan mencermati pola kurva surveilans yang ada pada satu
rumah sakit (sentinel)
Gambar29
Distribusi DBD Bulanan (Rate) Kota-kota di Indonesia, 2009
Kota
A
Kota
B
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Su m b e r : D in k e s At a s An gi n , 2 0 11 Bulan
Dalam upaya mendeteksi dini adanya kasus potensi KLB atau adanya KLB sedini
mungkin seringkali data kasus dihimpun harian atau mingguan kemudian dibuat kurva
Pemantauan Wilayah Setempat harian atau Mingguan.
Contoh :
PWS Mingguan Kasus DBD Meninggal dari Rumah Sakit
Pemantauan kasus DBD meninggal menunjukkan seriusnya persoalan yang dihadapi
masyarakat dalam menghadapi perkembangan DBD di suatu wilayah. Oleh karena itu
adanya satu kasus DBD meninggal dan atau terjadinya banyak kasus DBD meninggal
perlu diselidiki lebih luas.
Pemantauan wilayah setempat dapat dibuat dengan menampilkan semua kurva dari
masing-masing rumah sakit, tetapi hal ini dapat berakibat tampilan grafik menjadi ruwet,
sehingga sulit dianalisis. Kombinasi tampilan grafik garis total kasus atau kasus kunci
dan tampilan tabel perkembangan kasus dari waktu ke waktu dari masing-masing rumah
sakit dapat menyederhanakan teknik analisis.
Gambar 30
Distribusi Kasus DBD Mingguan (PWS)
3 RS Sentinel, Provinsi Atas Jawa, 2011
BULAN
Sumber : Dinkes Atas Jawa, 2011 (simulasi)
Biasanya grafik garis pada kejadian kesakitan dan kematian ditampilkan sebagai data
absolut (jumlah kasus). Ini disebabkan karena jumlah populasi berisiko dari waktu ke
waktu adalah sama.
Jika jumlah populasi berisiko dari waktu ke waktu berubah, seperti pada
pengungsian, jamaah haji, maka menggunakan data absolut jumlah kasus menjadi tidak
cocok, karena tidak dapat diperbandingkan antar waktu. Agar dapat dibandingkan
antar waktu, maka digunakan rate kasus per hari per konstanta, misal per 1000 populasi.
Contoh :
Rate Pnemonia anak berumur <5th menurut minggu, pada Pengungsi Bencana 2008.
Jumlah pengungsi berubah dari waktu ke waktu, sehingga pada kondisi pengungsian
yang sama, tentunya jumlah kasus juga meningkat seiring meningkatnya pengungsi.
Untuk membandingkan antar waktu, maka status kasus pada waktu tertentu dihitung
dalam rate rata-rata harian dalam seminggu :
Rate adalah jumlah kasus seminggu dibagi jumlah populasi seminggu X konstanta
atau
Rate minggu ke 4 = (K1-7):7 hari dibagi (P1+P7):2 kali 10.000 pop <5th =
jumlah kasus per hari per 10.000 populasi <5th
Tabel 22
Menghitung Jumlah Kasus dan Populai
Rata-rata per hari dalam Seminggu
Hari pada Populasi Pnemon
minggu ke 4 <5th ia <5th
Ha ri-1 P1 K1
Hari-2 P2 K2
Hari-3 P3 K3
Hari-4 P4 K4
Hari-5 P5 K5
Hari-6 P6 K6
Hari-7 P7 K7
Total P1-7 K1-7
Gambar 31
Rate Pnemonia Balita Menurut Minggu
Pengungsi, Bencana Kota X, 2011
4
0
3
0
2
0
1
0
Pada operasional Haji, jumlah jamaah haji yang datang dan pulang ke dan dari Arab
Saudi juga bertahap, sehingga bentuk penyajian datanya dalam bentuk rate.
Gambar 32
Rate Jamaah Haji Meninggal
Pada Operasional Haji, 1427-
1429H
MINGGU OPERASIONAL
Sumber : Operasional Haji 1429 H
Perbandingan kurva data absolut dengan data dalam bentuk rate dapat juga terjadi
pada analisis kecenderungan perkembangan kasus campak menurut golongan umur,
seperti grafik dibawah ini
Gambar 33
J u m l a h C a m p a k M e n u r u t U m u r Ra t e C a m p a k M e n u r u t U m u r
Pro v i n s i B a l i , 2 0 0 2 - 2 0 0 6 Pro v i n s i B a l i , 2 0 0 2 - 2 0 0 6
600
2002
2003 2004 2005 2006 2002 2003 2004 2005 2006
TAHUN TAHUN
Bentuk kedua kurva hampir sama karena populasi berisiko adalah tidak berubah,
artinya perbandingan antar waktu tidak ada masalah.
Pada kurva absolut kasus, menunjukkan kurva campak 5-14 tahun berada pada
status kejadian sangat tinggi dibanding kelompok lain, sementara pada kurva rate kasus
menurut umur terlihat kurva campak 5-14 tahun berada pada status kejadian lebih
rendah dibanding kelompok umur yang lain
Hal yang sama bisa terjadi pada perbandingan antar wilayah dengan populasi yang
berbeda.
Gambar 34
KLB Polio, Indonesia, 2005
Sejak ditemukannya virus polio liar di Sukabumi, beberapa seri mopping up (MU) dan
Pekan Imunisasi Nasional (NID) telah dilakukan, surveilans AFP dan virus polio liar
diperketat, sehingga keberhasilan upaya menghentikan transmisi virus polio liar dapat
diketahui.
13 April 06,
VPL (+)
from contact
specimen
Aceh
Wee k
Total WPV cases Mop-Up Area Non Mop-Up Area Compatible (2006)
Pola kurva DBD setiap tahun sama, dengan kecenderungan secara nasional semakin
meluas dan jumlah kasus semakin banyak. Pola kurva teratur dengan jumlah kasus
sama atau meningkat jelas menunjukkan upaya pencegahan DBD tidak berjalan efektif
menurunkan insiden DBD.
Pada upaya pencegahan yang berhasil efektip yang dilakukan jauh hari sebelum
terjadinya peningkatan kasus periodik, dapat menurunkan puncak kurva dan bentuk
kurva semakin landai.
Gambar 36
Distribusi DBD
Bulanan
U
paya
pencegah
an tidak
Gambar 37
Distribusi Pnemonia
Bulanan Kota Atas
Angin, 2009-2011
8. Penyebarluasan Informasi
Data yang ada pada tabel master atau bank data dapat diolah dan kemudian diatur
dalam tampilan tabel sederhana, grafik dan peta. Tabel, grafik dan peta yang telah
dibuat pada kegiatan pengolahan data surveilans ini, dapat dianalisis lebih lanjut
dengan membandingkan dengan data surveilans epidemiologi yang lain, termasuk
data faktor risiko yang berkaitan, data demografi, data geografi serta literatur tentang
penyakit yang dianalisis.
Analisis seperti ini membutuhkan kecerdasan, pengetahuan dan teknik analisis, serta
keterampilan melakukan analisis lanjut.
Hasil dari analisis seperti ini adalah suatu penarikan kesimpulan yang memberi makna
terhadap tabel, grafik dan peta terhadap segala kondisi yang berhubungan dengannya,
termasuk kekurangan dan kelemahan data yang dianalisis, dan inilah yang disebut
sebagai evidance base.
Distribusi tabel, grafik dan peta sebaiknya dilakukan secara berkala, dan pada
keadaan khusus. Distribusi secara berkala dapat dilakukan melalui Buletin
Epidemiologi, atau Laporan Khusus Berkala, tanpa memberikan komentar apapun
terhadap tampilan.
Pada kenyataannya, laporan dalam bentuk tabel, grafik dan peta adalah yang paling
sering dilakukan dan didistribusikan secara luas, oleh karena itu, unit surveilans yang
hebat adalah justru ketika mampu membuat analisis dan dituangkan dalam tabel,
grafik dan peta analisis
Hasil kerja surveilans adalah tersedianya informasi epidemiologi yang terbagi dalam
hasil analisis sederhana dan hasil analisis lanjut. Informasi epidemiologi tersebut perlu
disampaikan kepada berbagai pihak yang memerlukan
5) Petugas yang melakukan analisis lanjut terlibat dalam rapat program atau
penyusunan perencanaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi program.
V. Aplikasi Surveilans
c. Surveilans Sentinel,
d. Studi Epidemiologi,
Studi Epidem iologi adalah penyelenggaraan surveilans epidem iologi pada periode
tertentu serta populasi dan atau wilayah tertentu untuk mengetahui lebih mendalam
gambaran epidemiologi penyakit, permasalahan dan atau faktor risiko kesehatan
a. Surveilans Aktif
Surveilans aktif adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi, dimana unit
surveilans mengumpulkan data dengan cara secara aktif mendatangi unit pelayanan
kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya.
b. Surveilans Pasif
Surveilans pasif adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi, dimana unit
surveilans mengumpulkan data dengan cara menerima data tersebut dari unit
pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya.
c. Surveilans Pasif-Aktif
a. Pola Kedaruratan,
adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada ketentuan yang berlaku untuk
penanggulangan KLB, wabah atau bencana
Setiap laporan disertakan data total kunjungan berobat setiap jenis penyakit dan
total kunjungan berobat atau total kunjungan pelayanan.
Setiap laporan disertai data kelengkapan dan ketepatan waktu laporan sumber data
surveilans, kelengkapan dan ketepatan laporan surveilans Kabupaten/Kota (terdiri
dari kelengkapan dan ketepatan laporan unit pelayanan Puskesmas, Rumah Sakit
dan Laboratorium), dan kelengkapan dan ketepatan laporan surveilans Propinsi dan
Nasional
(1) Pada dasarnya, surveilans ini adalah pengumpulan data pasif atau disebut
surveilans pasif. Kasus adalah populasi yang menderita sakit dan berkunjung
untuk berobat ke unit pelayan
(2) Kasus yang berobat adalah terseleksi oleh keinginan penderita dan keluarganya
untuk berobat, terpengaruh oleh perbedaan jangkauan pelayanan, daya tarik atau
agresifitas unit pelayanan. Bagaimanapun, kondisi ini tidak berubah dengan cepat,
kecuali adanya peristiwa khusus
(3) Surveilans berbasis data kesakitan unit pelayanan, tidak dapat mengukur insidens
FETP Kementerian Kesehatan RI-WHO | 129
Surveilans Epidemiologi
kasus pada populasi, sehingga perlu berhati-hati pada waktu analisis dengan
membandingkan antar wilayah. Insidens dibuat berdasarkan kasus yang datang ke
unit pelayanan saja (jumlah kasus di RS per jumlah penduduk)
(4) Sistem surveilans berbasis unit pelayanan seperti ini terutama
dimanfaatkan dalam analisis kecenderungan perkembangan penyakit
(pendekatan tehnik sentinel) dan deteksi dini penyakit, cluster dan KLB
(5) Pada program pengendalian penyakit dengan metode kuratif atau tindakan pada
individu kasus, seperti pada program pengobatan pneumonia, program pelayanan
medik hipertensi, diabetes mellitus dsb, maka sistem surveilans berbasis unit
pelayanan dapat sekaligus dimanfaatkan untuk mengukur besarnya cakupan
pelayanan pengobatan atau tindakan medis tersebut.
Tabel 23
SURVEILANS TERPADU PENYAKIT BERBASIS PUSKESMAS SENTINEL
(KASUS BARU)
Propinsi : Tahun :
Kabupaten : Bulan :
Puskesmas : Jumlah kun jungan :
Golongan Umur (tahun)
No.
Jenis Penyakit 0-7hr 8-28hr <1 1-4 5-9 10-14 15-19 20-44 45-54 55-59 60-69 70+ Laki-lak
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
1 Kolera
2 Diare
3 Diare Berdarah
4 Tifus Perut Klinis
5 Tifus perut/kultur(+)
6 TBC paru BTA(+)
7 Tersangka TBC Paru
8 Kusta PB
9 Kusta MB
10 Campak
11 Difteri
12 Batuk Rejan
13 Tetanus
14 Hepatitis Klinis
15 Malaria Vvivax
16 Malaria Falsifarum
17 Malaria Mix
Demam berdarah
18
dengue
19 Demam dengue
20 Pneumonia
21 Sifilis
22 Gonorrhoe
23 Frambusia
24 Filariasis
25 Influenza
26 Hipertensi
27 Diabetes Melitus
Laporan Awal/Perbaikan (lingkari pilihan) ......../ ................../
Jumlah Puskesmas Pemabntu yang ada bulan laporan : ............................................. Kepala Puskesmas
Jumlah Puskesmas Pembantu melapor bulan laporan : .................(.....%)
Jumlah Puskesmas Pembantu melapor tepat waktu bulan laporan :..................(......%)
----------------------------------------------
FETP Kementerian Kesehatan RI-WHO | 130
Surveilans Epidemiologi
NIP .........................................
Tabel 24
SURVEILANS TERPADU PENYAKIT BERBASIS LABORATORIUM
(KASUS BARU)
HASIL PEM ERIKSAAN LABORATORI UM BERDASARKAN PENYAKIT
Propinsi : ................................ Tahun :.........
Kabupaten :................................ Bulan : .........
Jumlah kunjung an : ..................................................................
No Golongan Umur (tahun)
Jenis Penyakit 0-7hr 8-28hr <1 1-4 5-9 10-14 15-19 20-44 45-54 55-59 60-69 7
+ - + - + - + - + - + - + - + - + - + - + - +
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
1 Kolera
Tifus perut f
2
Widal/kultue(+)
3 Difteri
4 Hepatitis
5 Malaria Vivax
Malaria
6
falsifarum
7 Malaria Mix
8 Enterivirus
Tabel 25
SURVEILANS TERPADU PENYAKIT BERBASIS KLB
NIP
Untuk mengetahui adanya ancaman KLB, maka dilakukan kajian secara terus menerus
dan sistematis terhadap berbagai jenis penyakit berpotensi KLB. Ini merupakan
aplikasi surveilans penyakit berpotensi KLB, dengan menggunakan bahan kajian
antara lain :
a. data surveilans epidemiologi penyakit berpotensi KLB (laporan KLB/wabah dan
hasil penyelidikan KLB, data epidemiologi KLB dan upaya penanggulangannya,
surveilans terpadu penyakit berbasis KLB, sistem peringatan dini-KLB di rumah
sakit).
b. kerentanan masyarakat, antara lain status gizi dan imunisasi,
c. kerentanan lingkungan, musim, kemarau, gagal panen
d.
kerentanan pelayanan kesehatan,
e. ancaman penyebaran penyakit berpotensi KLB dari daerah atau negara lain, serta
f. sumber data lain dalam jejaring surveilans epidemiologi (antara lain data
Surveilans Terpadu Penyakit, data Surveilans Khusus Penyakit Berpotensi KLB,
data cakupan program, data lingkungan pemukiman dan perilaku, pertanian,
meteorologi geofisika, informasi masyarakat sebagai laporan kewaspadaan KLB)
1. Kajian dan peringatan kewaspadaan dini KLB dilaksanakan secara teratur, setidak-
tidaknya setiap bulan disemua jenjang pelaksana SKD-KLB, terutama di Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi dan Kementerian
Kesehatan.
2. Terselenggaranya deteksi dini (PWS) KLB penyakit berpotensi KLB prioritas di
Puskesmas, Rumah Sakit dan laboratorium.
3. Kegiatan penyelidikan dan penanggulangan KLB yang cepat dan tepat terlaksana
kurang dari 24 jam sejak teridentifikasi adanya KLB atau dugaan KLB.
4. Tidak terjadi KLB yang besar dan berkepanjangan.
1) Pengertian
Surveilans AFP adalah pengamatan atau surveilans yang dilakukan terhadap kasus-
kasus kelumpuhan yang sifatnya layuh (flaccid) seperti kelumpuhan pada poliomielitis,
pada anak berusia <15 tahun, dalam upaya untuk menemukan secara dini adanya
transmisi virus polio liar. Surveilans AFP ini merupakan salah satu strategi eradikasi
polio, yaitu : imunisasi rutin, imunisasi tambahan, surveilans AFP dan pengamanan VPL
di laboratorium.
Untuk menemukan secara dini adanya transmisi virus polio liar, maka setiap kasus AFP
diambil tinjanya dan diperiksa di laboratorium polio nasional untuk mengidentifikasi
kemungkiann ada tidaknya virus polio liar atau vaksin sabin (VDPV). Oleh karena itu,
surveilans untuk mendeteksi adanya transmisi virus polio liar merupakan gabungan
surveilans AFP dan surveilans virus polio liar.
Surveilans AFP dan virus polio liar diselenggarakan dengan tujuan mengidentifikasi
daerah risiko tinggi transmisi virus polio liar, VDPV dan daerah dengan kinerja surveilans
rendah; disamping untuk memantau kemajuan program eradikasi polio, dan
membuktikan Indonesia bebas polio
3) Kegiatan surveilans
4) Indikator Kinerja
1. Nop polio AFP rate >= 2 per 100.000 anak berusia <15 tahun pertahun
2. Kelengkapan laporan mingguan Puskesmas dan RS >90 %
3. Ketepatan waktu pelaporan mingguan Puskesmas dan RS > 80 %
4. Spesimen adekuat >80%
Gam bar 38
N o n Po l i o A F P R a t e * & Pe r c e n t a g e A d e q u a t e S p e c i m e n b y M o n t h
In d on e si a, Jan u ary 2005- p re se n t
* Annualized non-polio AFP rate by month in Indonesia, cases with pending lab results are included as non-polio for the purpose of analysis
Gam bar 39
No case/report
No case/report
NP AFP rate < 1
Adeq. Spec
NP AFP rate 1-
Adeq . Spec 60-
1,99 NP AFP
79% Adeq. Spec
rate >=2
>=80%
Surveilans di daerah berjangkit KLB dan daerah-daerah yang berisiko terjadi KLB
dilaksanakan lebih intensif untuk mengetahui perkembangan penyakit menurut waktu
dan tempat dan dimanfaatkan untuk mendukung upaya penanggulangan yang sedang
dilaksanakan, meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
a. Menghimpun data kasus baru pada kunjungan berobat di pos-pos kesehatan dan
unit-unit kesehatan lainnya (surveilans pasif), menghimpun data kedalam tabel,
grafik dan pemetaan dan melakukan analisis kecenderungan KLB dari waktu ke
waktu dan analisis data menurut tempat, RT, RW, desa dan kelompok-kelompok
masyarakat tertentu lainnya.
b.Memanfaatkan data yang diperoleh melalui kegiatan penyelidikan epidemiologi
lapangan sebagai sumber data penting surveilans pada situasi KLB ini
KKP merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Pusat di Kementerian Kesehatan,
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, mempunyai
tugas melaksanakan pencegahan masuk dan keluarnya penyakit, penyakit potensial
wabah, surveilans epidemiologi, kekarantinaan, pengendalian dampak kesehatan
lingkungan, pelayanan kesehatan, pengawasan OMKABA serta
pengamanan terhadap penyakit baru dan penyakit yang muncul kembali, bioterorisme,
unsur biologi, kimia dan pengamanan radiasi di wilayah kerja bandara, pelabuhan, dan
lintas batas darat negara (Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 356/MENKES/PER/IV/2008
tentang Organisasi dan Tatakerja Kantor Kesehatan Pelabuhan)
Dalam upaya melaksanakan pencegahan masuk dan keluarnya penyakit, penyakit
potensial wabah, KKP dapat menerapkan konsep SKD-KLB, dimana peran surveilans
menjadi salah satu pilar penting mendukung terlaksananya SKD-KLB di lingkungan kerja
KKP. SKD-KLB dibahas pada bahasan tersendiri, pada bahasan ini lebih fokus pada
aplikasinya di KKP, dimana KLB adalah penyakit dan penyakit potensial wabah.
Secara umum kegiatan SKD-KLB (penyakit dan penyakit potensial wabah) di lingkungan
KKP meliputi
1. Kajian epidemiologi secara terus menerus dan sistematis untuk
mengidentifikasi ancaman KLB
Kajian epidemiologi bersumber pada :
(1) Kesepakatan internasional tentang penyakit lintas batas negara yang perlu
diwaspadai dan tindakan kebandaraan yang harus dilakukan
(2) Perkembangan penyakit berbagai negara potensi menular ke Indonesia
(3) Perkembangan penyakit di Indonesia punya potensi menular ke negara lain
(4) Surveilans basis data kunjungan orang, barang dan alat angkut
(5) Surveilans basis data kesakitan Klinik KKP dan klinik bandara lainnya
(6) Surveilans basis data lingkungan di lingkungan KKP
(7) Jejaring surveilans KKP
Contoh
Secara operasional, kajian dilakukan oleh para ahli di lingkungan KKP dan atau
bersama unit atau lembaga lain sesuai dengan bentuk jejaring surveilans yang
dibangun KKP. Beberapa contoh kajian yang dapat mempengaruhi keputusan
tentang prioritas penyakit yang perlu didukung dengan peningkatan kewaspadaan
dan kesiapsiagaan yang tinggi.
(1) IHR, 2005 menetapkan daftar penyakit yang memerlukan kewaspadaan dan
respon. Daftar penyakit tersebut masuk sebagai penyakit PHEIC
(2) Perkembangan penyakit sapi gila di Amerika dan ancaman penyebaran produk
pangan terkait ke Indonesia
(3) Ancaman pandemi influenza dengan banyaknya kasus-kasus H5N1 pada
unggas dan manusia di Indonesia
(4) Banyaknya orang-orang dari daerah Amerika Selatan yang datang ke Indonesia,
melalui berbgai bandara udara, sementara Amerika Selatan adalah endemis
Yelow fever
(5) Data klinik bandara menunjukkan banyaknya penderita influenza yang berobat,
sehingga risiko penularan menjadi cukup tinggi antar orang di bandara
(6) Jumlah kantin dan restoran cukup banyak, tetapi higiene sanitasi pangan
sesuai standar dilaksanakan hanya oleh 40 % restauran saja, sehingga rawan
terjadinya keracunan pangan
Kajian dilakukan secara terus menerus dengan intensitas yang harus terjaga tetap
tinggi. Penyakit dan penyakit potensial KLB bisa muncul sebagai kejadian baru dan
tak terduga. Sekali kajian berhenti, maka identifikasi ancaman KLB menjadi terhenti
juga, dan KKP tidak menyadari adanya ancaman KLB yang harus menjadi prioritas
sistem kewaspadaan dini dan kesiapsiagaan di KKP.
(b) memeriksa cluster penyakit menular dan potensi menyebar masuk atau
keluar negara
(c) memriksa cluster keracunan pangan, terutama terkait dengan kantin
atau restoran di lingkungan bandara
(d) respon terhadap ancaman penularan penyakit menular
(2) Sistem deteksi dini KLB dan respon di lingkungan wilayah KKP
(a) setiap petugas kesehatan di lingkungan kerja KKP memantau setiap
pengunjung kemungkinan adanya penderita penyakit menular,
terutama penyakit menular prioritas, dan kejadian keracunan
(b) respon terhadap dugaan penderita penyakit menular dan
keracunan,dan keracunan
(c)respon terhadap risiko penularan kepada petugas, antar pengunjung
dan dengan masyarakat di lingkunagn wilayah KKP
2) Melaksanakan sistem deteksi dini kondisi rentan KLB
(a) memantau kondisi lingkungan atau faktor risiko lainnya rentan penularan
penyakit menular, misalnya adanya vektor penular penyakit, sanitasi
makanan dan sanitasi lingkungan dan sebagainya
(b) respon perbaikan dan atau antisipasi kondisi rentan KLB
Jika ada dugaan KLB, harus dilakukan penyelidikan epidemiologi dan tindakan
penanggulangan seperlunya
Berdasarkan data, surveilans dan kajian ini, BTKLPPM dapat menerapkan SKDKLB
dengan melakukan kajian terus menerus situasi DBD di daerah regionalnya, dan
memberikan data dan informasi sebagai bagian dari peringatan dini kepada
berbagai pihak untuk melakukan langkah-langkah penanggulangn dan
kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan terjadinya peningkatan kasus DBD dan
KLB
a. Peringatan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota antar daerah di
daerah regionalnya
b. Peringatan Rumah Sakit
c. Peringatan Sekolah, kelompok khusus lain dan masyarakat luas, baik langsung
maupunm elalui media
d. Jejaring nasional DBD
Gambar 40
Penyelenggaraan Sistem Surveilans
Man ajemen
Monitor &
Penyelenggar Evaluasi
aan Indikator
Sistem
Kerangka Konsep
Mekanisme
Kerja
Surveilans
Pengumpulan
Data
Pengolahan
Data
Studi
Pada penyelenggaraan suatu sistem surveilans, tujuan menjadi salah satu elemen
atau komponen utama yang tidak dapat ditinggalkan. Sistem surveilans epidemiologi
yang baik selalu memiliki tujuan penyelenggaraan yang jelas, realistis dan terukur.
Contoh :
1. tujuan penyelenggaraan surveilans DBD untuk mengetahui kecenderungan KLB
berdasarkan wilayah dan golongan umur sebagai bagian dari SKD-respon KLB
DBD,
2. tujuan surveilans penanggulangan penyakit TB untuk mengetahui adanya
resistensi obat DOT dsb.
Tujuan surveilans yang jelas, realistis dan terukur, dapat mengarahkan semua
mekanisme kerja surveilans menuju pencapaian tujuan surveilans tersebut. Surveilans
dengan tujuan yang tidak jelas, atau bahkan tidak memiliki tujuan apapun, maka sistem
surveilans yang dibangun tidak efektip dan tidak efisien, dan semestinya tidak perlu
diselenggarakan.
Pada umumnya tujuan penyelenggaraan surveilans adalah tersedianya data dan
informasi epidemiologi yang dapat dimanfaatkan untuk :
1. Sumber informasi penting dalam proses manajemen kesehatan, baik
perencanaan, pelaksanaan, maupun pada proses pemantauan, dan evaluasi
program kesehatan
2. Peningkatan kewaspadaan serta respon kejadian luar biasa penyakit, keracunan
dan bencana yang cepat dan tepat
dengan konsep surveilans yang akan diterapkan, atribut surveilans, sumber daya yang
ada, dan pemanfaatannya, serta sudah terfikirkan besar pengaruh dari data dan
informasi yang dihasilkan surveilans terhadap kinerja program kesehatan. Tujuan
penyelenggaraan surveilans yang mendukung program kesehatan tertentu, harus sesuai
dengan tujuan dan indikator kinerja program kesehatan tersebut.
Gambar41
Penguatan Kinerja Surveilans
Mutu kepustakaan
(penelitian, kajian, data
statistik)
Jejaring
surveilans
Pedoman,
pelatihan, pen
Meningkatk
an
pemahama
n surveilans
bagi semua
Manajemen Penyelenggaraan Surveilans
peraturan, advokasi, pedoman sistem surveilans yang sesuai;
rencana kerja, tim kerja, pelaksanaan manajerial, supervisi;
monitor-evaluasi, pemanfaatan teknologi, dsb
Pada konsep surveilans sebagai proses analisis terus menerus, maka dapat
dipahami upaya penguatan kienrja surveilans bukan hanya penguatan manajemen
pengumpulan dan pengolahan data, tetapi lebih komplek
Di Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten terdapat satu unit
teknis atau kelompok kerja, baik struktural maupun fungsional, yang bertugas sebagai
pusat kendali kegiatan surveilans epidemiologi di setiap tingkat. Setiap program
kesehatan yang baik, selalu menetapkan satu unit surveilans untuk menunjang
programnya.
Dalam organisasi modern, manajer puncak selalu didukung oleh sekelompok tenaga
profesional yang tergabung dalam unit intelejen dan bertugas mempelajari dan
menyelidiki setiap peluang untuk keunggulan organisasi. Unit seperti inilah ang dimaksud
subagai unit teknis surveilans di setiap program kesehatan, baik di pusat maupun di
daerah.
Di Kementerian Kesehatan terdapat satu unit struktural, Subdirektorat Surveilans
Epidemiologi dan Penanggulangan KLB, Ditjen PP&P, yang secara khusus
melaksanakan tugas pokok surveilans. Demikian juga di Unit Pelaksana Teknis
B/BTKLPPM dan Kantor Kesehatan Pelabuhan, Ditjen PP&PL. Di beberapa Dinas
Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kbaupaten/Kota juga membentuk unit
struktural yang melaksanakan tugas pokok surveilans.
Bagaimanapun juga, Unit Teknis Surveilans, baik secara struktural maupun
fungsional, merupakan unit khusus di setiap program kesehatan. Pada program
pengendalian DBD, perlu membentuk unit khusus surveilans DBD, baik di pusat maupun
di daerah dan di unit-unit pelayanan rumah sakit, puskesmas dan laboratorium.
Standar Ketenagaan
Sebagai sebuah unit teknis, program surveilans memerlukan sumber daya manusia
dan didukung peralatan yang memadai. Secara umum, sumber daya manusia yang
diperlukan adalah :
Tenaga ahli epidemiologi (S2 dan S1)
Tenaga ahli medis dokter, perawat, dokter hewan
Tenaga ahli sanitasi atau kesehatan lingkungan
Tenaga laboratorium
Tenaga ahli informasi dan komputer
Sebagai acuan, Kementerian Kesehatan menetapkan jenis dan jumlah tenaga yang
menjadi anggota Unit Teknis Surveilans pada masing-masing program kesehatan
(Pedoman Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Kesehatan) sebagai berikut :
Propi nsi
1 tenaga epidemiolog ahli (S2)
2 tenaga epidemiolog ahli (S1)
2 tenaga epidemiolog terampil
1 tenaga dokter umum
Kabupaten/Kota
1 tenaga epidemiolog ahli (S2)
2 tenaga epidemiolog ahli (S1) atau terampil
1 tenaga dokter umum
Rumah Sakit
1 tenaga epidemiolog ahli
1 tenaga epidemiolog
terampil Puskesmas
1 tenaga epidemiolog terampil
FETP Kementerian Kesehatan RI-WHO | 155
Surveilans Epidemiologi
berdasarkan feeling atau desakan politik serta kurang berbasis evidance kesehatan
masyarakat.
Surveilans epidemiologi bagi profesional memiliki kemampuan menjalankan kegiatan
surveilans secara terus menerus dan sistematis, tetapi juga mempunyai kemampuan
pengembangan konsep dan pedoman, pendekatan sistem, analisis lanjut, penelitian, dan
kemampuan memberikan konsultasi
Sementara surveilans epidemiologi bagi pelaksana harian memiliki kemampuan
perekaman, pengolahan, analisis sederhana dan distribusi informasi epidemiologi.
Pada kenyataannya, ketiga jenis tenaga tersebut merupakan satu tim surveilans
epidemiologi. Satu jenis tenaga lemah, tidak cukup jumlah dan kualitasnya, serta tidak
cukup waktu kerjanya, maka tim teknis tersebut tidak akan menunjukkan kinerja yang
baik.
2. Pelatihan
7. Ad vokasi
12. Kepustakaan
Sampai saat sekarang, masih terdapat manajer program kesehatan yang memahami
bahwa surveilans epidemiologi adalah merupakan sebagian terkecil dari program dan
cukup ditangani secara sambilan oleh tenaga program. Surveilans epidemiologi seperti
itu tentunya akan menjadi prioritas kedua setelah semua kebutuhan program dipenuhi
dan surveilans epidemiologi tidak akan memberikan kinerja terbaiknya untuk mendukung
program
Untuk mendapat kinerja surveilans epidemiologi, maka kegiatan surveilans
epidemiologi harus menjadi suatu aktivitas manajemen yang didukung oleh
tenaga profesional, bersifat purna waktu, terus menerus, dukungan komitmen
dan anggaran yang memadai. Kegiatan surveilans epidemiologi harus menjadi
satu paket program kerja khusus, memiliki rencana kerja yang jelas, terukur,
realisitis, dan dipastikan dapat memberikan manfaat terhadap keberhasilan
program.
Rencana kerja surveilans disusun untuk jangka panjang 5 tahun atau lebih, dan jangka pendek
tahunan. Rencana kerja jangka panjang lebih bersifat antisipatif
Rencana kerja dapat disusun sesuai dengan metode dan tatacara yang sesuai untuk
masing-masing unit kerja. Dibawah ini, disampaikan contoh tabel rencana kerja tahunan
sederhana.
Tabel 26
Rencana Kerja Tahunan Surveilans Kabupaten, 2012
Konsep indikator kinerja (surveilans) telah dibahas cukup luas pada bahasan
sebelumnya. Pada bahasan ini, lebih berorientasi aplikatif, dimana indikator kinerja
sebagai bagian penting dari manajemen penyelenggaraan sistem surveilans.
Sebagai suatu program yang memiliki tujuan yang jelas dan terukur, memiliki konsep
dan kegiatan dalam mencapai tujuan, maka penyelenggaraan sistem surveilans
semestinya dapat diukur tingkat kinerjanya. Pada umumnya, tingkat kinerja surveilans
diukur berdasarkan indikator kinerja surveilans yang telah ditetapkan sebelumnya.
Berbeda dengan indikator kinerja program, indikator kinerja surveilans lebih
dimanfaatkan untuk menunjukkan kualitas mekanisme kerja surveilans, sehingga data
dan informasi yang dipublikasi oleh sistem surveilans dapat dipertanggungjawabkan.
Disamping diukur berdasarkan pada sejumlah informasi epidemiologi yang dihasilkan
(keluaran), kinerja penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi dapat diukur dari
jumlah dan variasi investasi sebagai modal utama penyelenggaraan sistem surveilans
(masukan), antara lain, sumber daya manusia sebagai tenaga profesional yang terampil,
berdedikasi, dan bertanggungjawab, adanya pedoman, sarana dan prasarana, serta
anggaran biaya yang memadai. Kinerja surveilans juga dapat diukur berdasarkan
kuantitas dan kualitas kegiatan yang dilakukan (proses).
Setiap sistem surveilans epidemiologi akan memiliki indikator yang berbeda-beda,
tetapi secara umum terdapat beberapa model perumusan indikator kinerja yang paling
sering digunakan dalam penyelenggaraan sistem surveilans :
Kelengkapan laporan merupakan indikator kinerja penting, karena indikator ini sangat
besar pengaruhnya terhadap validitas dan reliabilitas data dan informasi su rvei lans.
Sebagian besar para penyelenggara surveilans, mengukur kelengkapan laporan
adalah kelengkapan dokumen data surveilans yang diterima dari pelapor terakhir,
kelengkapan laporan sebaiknya juga berdasar pada kelengkapan data pelapor paling
awal, misal laporan Puskesmas, Rumah Sakit dan laboratorium.
Secara umum kelengkapan laporan dihitung berdasarkan jumlah dokumen data
surveilans yang diterima, sebagaian penyelenggara surveilans, merumuskan
kelengkapan laporan berdasar pada jumlah dokumen data surveilans yang terisi lengkap
sesuai standar yang telah ditetapkan.
Gambar42
Evaluasi Sistem Surveilans
Besar masalah
Terpenuhinya Tujuan,
kesehatan
( G a w a t - M e n d e s a k)
Kegiatan, Indikator
Kinerja,
Sumber Daya
Perlunya Penyelenggaraan
Penyelenggara
an sistem surveilans
epidemiologi
Program Terpenuhinya Kriteria
Penanggulanga Komponen Sistem
n Surveilans
dan Atribut Sistem
Konsep Sistem
Surveilans
Surveilans mempunyai tujuan yang jelas dan terukur. Sebagian besar tujuan
surveilans selalu terkait dengan intervensi program masalah kesehatan tertentu. Oleh
karena itu, tujuan surveilans selalu terkait dengan tujuan intervensi program.
Sasaran evaluasi :
1) Mengkaji dengan cermat tujuan surveilans dan tujuan intervensi program serta
kuatnya hubungan keduanya (pedoman, wawancara)
2) Mengkaji dengan cermat gambaran epidemiologi masalah kesehatan yang
ditangani program tersebut (pedoman, wawancara/kualitatif, data kuantitatif)
(1) Gambaran klinis penyakit, beratnya sakit, risiko kematian dan KLB, beratnya
cara-cara pengobatan dan upaya-upaya pencegahan serta hilangnya waktu
prod u ktivitas
(2) Gambaran upaya penanggulangan dan realisasinya, ada tidaknya dukungan
peraturan perundangan, besarnya anggaran biaya, keberhasilan program
diukur dengan indikator kinerja program
(3) Gambaran epidemiologi penyakit : jumlah kasus dan angka kesakitan serta
angka kematian, pola kurva dan pemetaan berdasarkan karakteristik tempat
dan orang (kuantitatif)
Sasaran Evaluasi :
(1) Mengkaji laporan tahunan program, terutama pada bagian : identifikasi masalah
kesehatan menurut karakteritik epidemiologi (waktu, tempat dan orang),
pencapaian indikator kinerja program serta bagaimana menggunakan data
Contoh :
Kota telah berhasil menyediakan air minum berkualitas bagi
masyarakat sebesar 70 %. Ukuran 70 % tersebut adalah prosentase
jumlah air yang diperiksa dan memenuhi syarat diantara jumlah air
minum yang diperiksa, bukan dintara seluruh air minum yang
disediakan pada seluruh anggota masyarakat
Upaya pengendalian DBD telah berhasil menurunkan case fatality rate
(CFR) kurang dari 0.5 %. Kalau jumlah penderita DBD meningkat
sangat tajam, maka jumlah penderita DBD yang meninggal juga akan
tinggi, walaupun CFR rendah.
Sasaran evaluasi
(1) Mengkaji pedoman surveilans, baik tertulis atau penjelasan para pengelola program.
FETP Kementerian Kesehatan RI-WHO | 168
Surveilans Epidemiologi
(2) Wawancara, observasi dan dokumentasi di sumber data dan unit surveilans untuk
mencermati konsistensi pedoman dan aplikasinya di lapangan
Wawancara
(a) Membahas bersama petugas tentang pokok bahasan yang dibahas dengan unit
sumber data
(b) Membahas bersama petugas bagaimana data diterima, disimpan dan dikeluarkan
(tata aturan penyimpanan dokumen), diolah menjadi tabel master
(c) Membahas bersama petugas, bagaimana indikator kinerja surveilans diperoleh,
diolah dan dimanfaatkan untuk mengontrol berjalannya sistem yang baik (internal),
setidak-tidaknya kelengkapan laporan, ketepatan waktu dan absensi serta umpan
bali k
(d) Membahas bersama petugas, bagaimana cara-cara dan contoh identifikasi
kesalahan pengisian dokumen laporan oleh sumber data, misal persalinan usia <1 th
ada 20, BTA(+) pada balita, dsb, identifikasi pengertian jumlah data nol dengan data
tidak dilaporkan. Bahas juga bagaimana kesalahan-kesalahan tersebut diperbaiki
(e) Membahas bersama petugas, bagaimana data yang telah diolah dalam tabel
master, diolah kembali menjadi data dalam format analisis (tabel, grafik dan peta),
apakah data dalam format analisis ini sesuai dengan tujuan surveilans (pedoman)
(f) Membahas bersama petugas, kepada siapa (sasaran) dan bagaimana (format)
distribusi data (publikasi). Bahas, apakah format dan data dimaksud sesuai dengan
kebutuhan informasi untuk program, baik manajemen program maupun SKD-KLB
(g) Membahas bersama petugas, bagaimana data dan informasi epidemiologi
dimanfaatkan program
(h) Membahas bersama petugas, bagaimana data yang telah dihimpun dalam tabel
laporan itu dikirim ke unit surveilans yang lain (misaln, Dari Dinas Kesehatan Kota ke
Dinas Kesehatan Provinsi dan Ke Ditjen PPPL, Kementerian Kesehatan).
Doku mentasi
(a) Sejauh mungkin mengumpulkan dan menelaah semua dokumen terkait dengan
pembahasan penyelenggaraan sistem surveilans
(b) Mendokumentasikan kelengkapan laporan dan ketepatan laporan dari sumber data,
buat tabel, grafik (dalam 1-3 tahun) dan peta analisis kelengkapan laporan.
Identifikasi peluang pemanfaatannya untuk mengontrol kinerja surveilans
(c) Mengkaji dan mendokumentasikan kecocokan jumlah laporan yang diterima dari unit
sumber data, dengan jumlah kasus yang dimanfaatkan dalam analisis, baik bulanan
maupun tahunan (%)
(d) Mengkaji dan mendokumentasikan jumlah laporan yang dikirim kepada unit yang
memerlukan, terutama pada pusat kendali sistem surveilans di
Kabupaten/Kota/Provinsi/Kementerian Kesehatan, setidak-setidaknya dalam 3 tahun
terakhir (%), di setiap sasaran distribusi informasi.
(a) Mengidentifikasi adanya aturan yang jelas dalam pedoman tentang upaya-
upaya untuk memperkuat kinerja surveilans
(b) Mengkaji upaya-upaya memperkuat kinerja surveilans tersebut dan menilai
apakah upaya-upaya tersebut telah sesuai dengan konsep manajerial
penyelenggaraan sistem surveilans yang baik
(c) Memperkirakan besar anggaran yang telah dialokasikan untuk mendukung
upaya-upaya memeperkuat kinerja surveilans, termasuk tatacara pengelolaan
nya
(d) Mempelajari kelengkapan jenis dan jumlah pedoman, alat dan formulir
pelaporan dan tersedia pada tempatnya
(e) Mempelajari rencana kerja strategis, rencana kerja tahunan dan rencana kerja
bulanan
(f) Mempelajari jenis dan frekuensi pertemuan-pertemuan manajerial atau
evaluasi kinerja surveilans
(g) Mempelajari pelaksanaan supervisi, terutama lokasi, frekuensi dan kualifikasi
petugas yang melakukan supervisi
(h) Mempelajari ketersediaan dan pengelolaan biaya operasional dan biaya kerja
di unit surveilans dan unit sumber data
(i) Identifikasi upaya penguatan kinerja surveilans yang lain pada masing-masing
unit surveilans
VII. Kepustakaan
Jakarta, 2011
5. CDC, NCEH and EPHS. Surveillance System Outputs : Form and Content of Reports
& Alerts, Concencus Statement of of Environmental Public Health Surveillance.
Workshop 3 CDC, NCEH and EPHS, June 1996
6. CDC, NCEH and EPHS. Surveillance System Process : Data collection and analysis,
Concencus Statement of of Environmental Public Health Surveillance. Workshop 2
CDC, NCEH and EPHS, March 1996.
7. CDC, NCEH and EPHS. Surveillance System Structure, Concencus Statement of of
Environmental Public Health Surveillance. Workshop 1 CDC, NCEH and EPHS,
January 1996
8. Departemen Dalam Negeri RI. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 73 Tahun
2009 tentang Tatacara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah. (www.depdagri .go. id/produk-hukum/2009/07/1 3/keputusan-mendagri-no-
72-tah u n-2009)
9. Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Soisal RI. Pedoman Umum Kegiatan
Surveilans. Edisi 1. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial. Tahun
2000.
10. Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 11
16/MENKES/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans
Epidemiologi Kesehatan. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, tahun 2004
21. Max Rukmarata. Intelejen Kompetitif (alih bahasa). Simon & Schuster (Asia) Ptc.
Ltd. 1998
22. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/MENKES/SK/VIII/ 2004
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa
(KLB)
23. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 356/MENKES/PER/IV/2008 tentang Organisasi dan
Tatakerja Kantor Kesehatan Pelabuhan
24. Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
25. Pius Weraman. Dasar Surveilans Kesehatan Masyarakat. Gramata Publishing.
Jakarta, 2010
26. SEAR. Integrated Diseases Surveillance in South East Asia Region. SEAR, 2002
(draft)
27. Steven M. Teutsch and R. Elliott Chuschill. Principles and Practice of Public Health
Surveillance. 2nd Ed.Oxford University Press, 2000.
28. U.S. Departement of Health and Humam Services. Principles of Epidemiology in
Public Health Practice. 3rd Ed, Atlanta, GA, (http://www.cdc.gov/training/
products/ss1000/ss1000-ol.pdf)
29. WHO. Public Health Surveillance. (http://www.who.int/topics/public_health
surveillance/en/)