Anda di halaman 1dari 54

TUGAS PSIKOLOGI INDUSTRY

ANALISIS JABATAN, SELEKSI KERJA DAN MOTIVASI


KERJA

Oleh :

Kelompok 2

1. Happy Syamsiar R. U (0514040100)


2. Khoirun Nisa (0514040109)
3. Rinaldi Sam Prabowo (0514040113)
4. Herlambang Syafian A. (0514040114)
5. Ardhana Suswantoro (6513040093)

K3 VI D

TEKNIK KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

POLITEKNIK PERKAPALAN NEGERI SURABAYA

A. Analisis Jabatan
1. Pengertian analisis jabatan
Analisa jabatan adalah suatu kegiatan untuk mencatat, mempelajari
dan menyimpulkan keterangan-keterangan atau fakta-fakta yang
berhubungan dengan masing-masing JABATAN secara sistematis dan
teratur, yaitu :
a. Apa yang dilakukan pekerja pada jabatan tersebut
b. Apa wewenang dan tanggung jawabnya
c. Mengapa pekerjaan tersebut harus dilakukan
d. Bagaimana cara melakukannya
e. Alat-alat dan bahan-bahan yang digunakan dalam melaksanakan
pekerjaannya . Besarnya upah dan lamanya jam bekerja
f. Pendidikan, pengalaman dan latihan yang dibutuhkan
g. Keterampilan, sikap dan kemampuan yang diperlukan untuk
melakukan pekerjaan tersebut
h. Dan lain-lain

Informasi tersebut di atas bisa diperoleh dari beberapa sumber


yaitu :
1. Pekerjaan itu sendiri dan buku catatan harian
2. Pekerja yang bersangkutan
3. Orang yang pernah melaksanakan pekerjaan itu
4. Atasan langsung dari pekerja yang bersangkutan

2. Pengertian evaluasi jabatan


Evaluasi jabatan atau penilaian jabatan adalah suatu proses yang
sistematis dan teratur dalam menentukan nilai suatu jabatan, relatif
terhadap jabatan-jabatan lain yang ada dalam satu perusahaan.
Tujuan utama dari proses ini adalah untuk menentukan tingkat upah
yang tepat dan adil diantara jabatan-jabatan yang ada.

3. Metode analisis jabatan


Metode-metode analisis pekerjaan yang paling umum digunakan
menurut Mondy (2008:98), sebagai berikut:
1. Kuesioner
Kuesioner biasanya digunakan dengan cepat dan ekonomis.
Analisis jabatan bisa memberikan kuesioner terstruktur kepada
para karyawan, yang mengidentifikasikan tugas-tugas yang
mereka jalankan.
2. Observasi
Ketika menggunakan metode observasi, analis pekerjaan
mengamati karyawan dalam menjalankan tugas-tugas pekerjaan
dan mencatat hasil observasinya. Metode ini digunakan terutama
untuk mengumpulkan informasi mengenai pekerjaan-pekerjaan
yang menekankan keterampilan manual, seperti operator mesiN.
3. Wawancara
Analis mewawancarai karyawan dahulu untuk
membantunya mendeskripsikan tugas-tugas yang dikerjakan.
Kemudian, analis menghubungi supervisor untuk memperoleh
informasi tambahan dalam rangka memeriksa ketepatan informasi
yang diperoleh dari karyawan dan mengklarifikasi hal-hal tertentu.
4. Catatan Karyawan
Informasi analisis jabatan dikumpulkan dengan meminta
para karyawan mendeskripsikan aktivitas kerja mereka sehari-hari
dalam sebuah buku harian atau log.
5. Kombinasi Metode
Kombinasi dari berbagai metode seringkali lebih tepat.
Dalam menganalisis pekerjaan-pekerjaan klerikal dan
administratif, analis mungkin menggunakan kuesioner didukung
dengan wawancara dan observasi terbatas. Analis harus
menggunakan kombinasi beberapa teknik yang dibutuhkan untuk
menghasilkan deskripsi/spesifikasi pekerjaan yang akurat.

1. Elemen deskripsi jabatan


Terdapat 8 elemen deskripsi jabatan atau hal-hal yang perlu
dicantumkan dalam Uraian Jabatan pada umumnya meliputi :
a. Identifikasi Jabatan, yang berisi informasi tentang nama jabatan,
bagian dan nomor kode jabatan dalam suatu perusahaan
b. lkhtisar Jabatan, yang berisi penjelasan singkat tentang jabatan
tersebut; yang juga memberikan suatu definisi singkat yang
berguna sebagai tambahan atas informasi pada identifikasi jabatan,
apabila nama jabatan tidak cukup jelas
c. Tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Bagian ini adalah
merupakan inti dari Uraian Jahatan dan merupakan bagian yang
paling sulit untuk dituliskan secara tepat. Untuk itu, bisa dimulai
menyusunnya dengan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan
tentang apa dan mengapa suatu pekerjaan dilaksanakan, dan
bagaimana cara melaksanakannya
d. Pengawasan yang harus dilakukan dan yang diterima. Bagian ini
menjelaskan nama-nama jabatan yang ada diatas dan di bawah
jabatan ini, dan tingkat pengawasan yang terlibat
e. Hubungan dengan jabatan lain. Bagian ini menjelaskan hubungan
vertikal dan horizontal jabatan ini dengan jabatan-jabatan lainnya
dalam hubungannya dengan jalur promosi, aliran serta prosedur
kerja
f. Mesin, peralatan dan bahan-bahan yang digunakan
g. Kondisi kerja, yang menjelaskan tentang kondisi fisik lingkungan
kerja dari suatu jabatan. Misalnya panas, dingin, berdebu, ketal,
bising dan lain-lain terutama kondisi kerja yang berbahaya
h. Komentar tambahan untuk melengkapi penjelasan di atas

2. Spesifikasi jabatan
Spesifikasi jabatan adalah persyaratan minimal yang harus dipenuhi
oleh orang yang menduduki suatu jabatan, agar ia dapat melaksanakan
tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik. Spesifikasi jabatan
ini dapat disusun secara bersama-sama dengan Uraian Jabatan, tetapi dapat
juga di susun secara terpisah.
Beberapa hal yang pada umumnya dimasukkan dalam Spesifikasi
Jabatan adalah:
a. Persyaratan pendidikan, latihan dan pengalaman kerja
b. Persyaratan pengetahuan dan keterampilan
c. Persyaratan fisik dan mental
d. Persyaratan umur dan jenis kelamin

3. Metode evaluasi jabatan


1. Metode Non-Kuantitatif
a) Metode Penentuan Peringkat (Ranking Method)
Metode Penentuan Peringkat ini adalah metode yang
paling sederhana diantara metode-metode penilaian jabatan
yang lain, yang hanya cocok untuk diterapkan pada
perusahaan kecil dengan jumlah jabatan yang sedikit.
Penilaian terhadap jabatan dilakukan oleh suatu Team
Penilai yang khusus dibentuk, yang biasanya terdiri dari
orang-orang dalam perusahaan dengan dibantu oleh
konsultan ahli dalam bidang ini.
Dasar yang dipakai dalam menentukan nilai ini
adalah hasil Analisa Jabatan (yaitu Uraian Jabatan dan
Spesifikasi Jabatan). Bilamana hasil analisa jabatan ini
tidak ada, maka team penilai menentukan peringkat dari
masing-masing jabatan tersebut berdasarkan interprestasi
mereka terhadap kondisi dari masing-masing pekerjaan
(tercakup di sini antara lain keadaan tingkat kesulitan dan
volume pekerjaan, besarnya tanggung jawab yang harus
dipikul, pengawasan yang dilakukan/yang diterima, latihan
dan pengalaman yang dibutuhkan serta kondisi kerja).
Teknik-Teknik Penentuan Peringkat
Teknik I :
o Team berunding untuk menentukan jabatan
tertinggi dan jabatan terendah (sebagai batas atas
dan batas bawah)
o Jabatan-jabatan lain kemudian dinilai dan
ditempatkan/ diurutkan diantara dua batas ini.
Teknik II :
o Perbandingan dilakukan secara berpasangan (Paired
Comparison).
o Setiap jabatan diperbandingkan sepasang-sepasang
dengan semua jabatan lain.
Teknik III :
o Masing-masing anggota team penilai membaut
urutan dari semua jabatan, kemudian hasilnya
dirata-ratakan
Teknik IV :
o Menggunakan peta struktur orgarusasi sebagai
acuan
o Dalam hal ini urutan jabatan disesuikan dengan
hierarki dalam peta struktur organisasi

b) Metode Klasifikasi (Grade/Classification Method)


Metode ini merupakan perbaikan dari Metode
Penentuan Peringkat. Di sini team penilai memulai
kegiatannya sebagai berikut:
1. Menetapkan beberapa kelas / tingkatan jabatan
2. Team merumuskan ciri dari masing-masing kelas
atau tingkatan jabatan tersebut secara lengkap.
3. Team memasukkan setiap jabatan yang ada pada
kelas yang sesuai dengan cara mencocokkan ciri
kelas / tingkatan dengan interprestasi mereka
tentang ciri masing-masing jabatan (seperti tingkat
kesulitannya, besarnya tanggung jawab, latihan dan
pengalaman yang dibutuhkan dan sebagainya.

2. Metode Kuantitatif
a) Metode Perbandingan Faktor (Factor Comparison
Method)
Metode ini sudah digolongkan ke dalam metode
kuanitatif, karena sudah berusaha untuk memberikan nilai
kuantitatif pada masing-masing jabatan (bukan hanya
peringkat ataupun kelas / tingkatan).
Langkah-langkah penentuan nilai relative
1. Mengidentifikasi dan mendefinisikan faktor-faktor (dan
sub faktornya, kalau ada ) dari setiap jabatan yang akan
di nilai.
Contoh:
FAKTOR SUB FAKTOR
1. Keterampilan 2. Pendidikan
3. Inisiatif
(skill)
4. Pengalaman
2. Usaha 5. Usaha fisik
6. Usaha mental
3. Tanggung Jawab 7. T.J atas pekerja
8. T.J atas uang
(T.J)
8. T.J atas peralatan
9. T.J atas bahan
4. Kondisi Kerja 10. Lingkungan Kerja
11. Resiko Kerja

2. Memilih beberapa jabatan sebagai "Jabatan Kunci" (Key


Jobs) yaitu jabatan-jabatan yang :
Populer (ada [ada setiap perusahaan )
Upahnya telah sesuai
Terdefinisi ( tugas-tugasnya ) dengan
jelas

3. Team penilai melakukan penilaian terhadap faktor-faktor


dan sub faktor dari jabatan-jabatan kunci tadi, dan
menyusunnya berdasarkan peningkat.
Contoh:
PERINGKAT DARI MASING-MASING
JABATAN FAKTOR
KUNCI KONDISI
SKILL USAHA T.J
KERJA
A 1 3 1 3
B 2 2 2 2
C 3 1 3 1

4. Menyusun alokasi tingkat upah yang sesuai setiap faktor


dalam jabatan jabatan kunci tadi
PERINGKAT DARI MASING-MASING
JABATAN FAKTOR
KUNCI KONDISI
SKILL USAHA T.J
KERJA
1 40 30 20 10
2 25 20 15 6
3 10 10 10 2

Dengan ini maka struktur upah untuk masing-masing


jabatan kunci sudah dapat dihitung.

5. Penilaian terhadap faktor-faktor (dan sub faktor) dari


jabatan-jabatan yang lain dapat dilakukan dengan cara
membandingkannya terhadap faktor-faktor (sub faktor)
dari jabatan kunci.

b) Metode Sistem angka (Point System Method)


Metode ini adalah metode penilaian jabatan yang paling
banyak dipakai oleh perusahaan-perusahaan, sebab termasuk
metode yang paling teliti dan akurat (walaupun
pelaksanaannya cukup rumit) Langkah-langkah Metode
Sistem Angka:
1. Memilih faktor-faktor jabatan, yaitu ciri-ciri jabatan
yang dianggap perlu di bayar oleh perusahaan.
Contoh: Ketampanan wajah, bukan faktor yang perlu
dinilai/dibayar oleh perusahaan bagi jabatan pengali
sumur.
Banyaknya faktor yang digunakan, bervariasi
tergantung pada kondisi perusahaan. Untuk pekerja
langsung dan untuk tingkat manajemen, faktornya juga
berbeda. Pemilihan faktor ini dilakukan oleh team
penilai. Adapun contoh-contoh faktor penilaian dapat
dilihat sebagai berikut.
Faktor-faktor dan sub faktornya rang biasa dinilai,
antara lain:
A. PENDIDlKAN
A.1. Pendidikan Formal
A.2. Kursus/Latihan
A.3. Pengalaman

B. KETERAMPILAN
B.1. Keterainpilan Fisik
B.2. Keterampilan Mental
B.3. Keterampilan Bahasa
B.4. Keterampilan Analisis
B.5. Keterampilan Tangan (dexterity)
B.6. Keterampilan Sosiaf (bergaul)
B.7. Keterampilan untuk mengambil keputusan
C. USAHA
C.1. Usaha Fisik
C.2. Usaha Mental
D. TANGGUNG JAWAB
D.1. Tanggung jawab atas Ruang
D.2. Tanggungjawab atas Peralatan
D.3. Tanggungjawab atas bahan
D.4. Tanggungjawab atas Keamanan/Keselamatan
Kerja
D.5. Tanggungjawab atas Rahasia Perusahaan

E. KONDISI KERJA
E.1. lingkungan kerja
E.2. Resiko Mengalami Kecelakaan Kerja

2. Menyusun definisi dan derajat dari masing-masing


faktor (dan sub faktornya). Defenisi faktor dan sub
faktor yang dibuat haruslah jelas, mudah dimengerti dan
tidak mempunyai arti ganda. Derajat faktor juga harus
dirumuskan dengan jelas dan tidak bertumpang tindih.
Jumlah derajat diusahakan minimum, dengan syarat
dapat membedakan secara adil setiap jabatan yang
dinilai

3. Menentukan bobot relatif dari masing-masing faktor


dan sub faktor. Dibuat berdasarkan kesepakatan antara
anggota team penilai dan pimpinan perusahaan.
Penentuan bobot ini boleh dikatakan bersifat subyektif.

B. Recruitmen Tenaga Kerja


1. Pengertian Recruitmen Tenaga Kerja
Menurut Mangkunegara(2009:33) yang mengatakan bahwa
Rekrutmen merupakan penarikan suatu proses atau tindakan yang
dilakukan oleh perusahaan untuk mendapatkan tambahan pegawai yang
melalui tahapan yang mencakup identifikasi dan evaluasi sumber-
sumber penarikan pegawai, menentukan kebutuhan pegawai yang
diperlukan perusahaan, proses seleksi, penempatan, dan orientasi
pegawai.
Menurut Mathis and Jakson, perekrutan adalah proses
mengumpulkan sejumlah pelamar yang berkualifikasi bagus untuk
pekerjaan didalam organisasi atau perusahaan. Dalam arti kata,
merupakan penarikan (recruitment) adalah sebagai proses pencarian dan
pemikatan calon karyawan (pelamar) yang mampu untuk melamar
sebagai karyawan (Handoko,2001:69)
Schuler dan Youngblood (dalam Sukamti,1989:133) rekrut
(recruitmen) adalah serentetan kegiatan dan proses yang digunakan
untuk mendapatkan secara sah orang-orang yang tepat dan dalam
jumlah yang cukup. Pada tepat dan waktu yang tepat sedemikian
sehingga orang dan organisasi dapat memilih satu dengan lainnya
sesuai dengan keinginan mereka dalam jangka waktu pendek dan
panjang.
Secara umum, Rekrutmen adalah proses mencari, menemukan,
mengajak dan menetapkan sejumlah orang dari dalam maupun dari luar
perusahaan sebagai calon tenaga kerja dengan karakteristik tertentu
seperti yang telah ditetapkan dalam perencanaan sumber daya manusia.

Macam-macam Recruitmen

1. Rekrutmen Internal
Penarikan tenaga kerja yang berasal dari sumber internal
dilakukan dengan cara memberdayakan pegawai yang sudah ada.
Misalnya melalui rotasi, transfer, promosi, demosi, mutasi, kerja
lembur, atau memberi tugas baru sebagai tambahan di luar tugas
lama yang tetap menjadi kewajibannya. Di samping itu, bisa juga
dilakukan dengan mengubah status kepegawaiannya dari tenaga
paruh waktu atau honorer menjadi tenaga kontrak atau bahkan
menjadi pegawai tetap, atau dengan memberdayakan kembali
pegawai yang sudah dipensiun.
2. Rekrutmen Eksternal
Penarikan tenaga kerja dari sumber eksternal dilakukan
dengan merekrut pegawai dari luar perusahaan. Misalnya melalui
penerimaan lamaran secara terbuka (opened application), bekerja
sama dengan lembaga pendidikan yang dapat merekomendasikan
lulusan terbaiknya, memasang iklan lowongan kerja, menggunakan
jasa biro atau agen tenaga kerja, memanfaatkan anggota keluarga
pegawai, rekomendasi dari serikat pekerja dan/atau dari pegawai
yang sudah ada.

2. Tujuan Recruitment Tenaga Kerja


1. Menyediakan sekumpulan calon tenaga kerja/karyawan yang
memenuhi syarat
2. Agar konsisten dengan strategi, wawasan dan nilai perusahaan
3. Untuk membantu mengurangi kemungkinan keluarnya karyawan
yang belum lama bekerja
4. Untuk mengkoordinasikan upaya perekrutan dengan program seleksi
dan pelatihan
5. Untuk memenuhi tanggungjawab perusahaan dalam upaya
menciptakan kesempatan kerja

Penarikan pegawai dari sumber eksternal bertujuan untuk:

a. Menciptakan suasana baru di lingkungan kerja, sehingga terbuka


peluang tumbuhnya gagasan/ide baru yang konstruktif.
b. Mengurangi timbulnya persaingan negatif antar pegawai yang
sudah ada.
c. Menghindari kolusi dan nepotisme yang berlebihan.
d. Mendapatkan calon pegawai yang lebih kompetitif.
e. Penarikan pegawai dari sumber internal bertujuan untuk:
f. Meningkatkan morale (semangat) tenaga kerja yang sudah ada
g. Memelihara kesetiaan pegawai
h. Memotivasi pegawai dengan terpeliharanya iklim kerja kondusif
i. Memberi penghargaan atas pegawai yang berprestasi

3. Metode-Metode Rekrutmen Tenaga Kerja


Metode yang diterapkan pada proses rekrutmen akan berpengaruh
sangat besar terhadap banyaknya lamaran yang masuk ke dalam
perusahaan. Metode calon karyawan baru, dibagi menjad metode
terbuka dan metode tertutup.
1. Metode Terbuka
Metode terbuka adalah dimana rekrutmen diinformasikan
secara luas dengan memasang iklan pada media masa baik cetak
atau elektronik, ataupun dengan cara dari mulut ke mulut (kabar
orang lain) agar tersebar ke masyarakat luas. Dengan metode
terbuka ini diharapkan dapat menarik banyak lamaran yang masuk,
sehingga kesempatan untuk mendapatkan karyawan
yang qualified menjadi lebih besar.
2. Metode Tertutup
Metode tertutup yaitu dimana rekrutmen diinformasikan
kepada para karyawan atau orang tertentu saja. Akibatnya lamaran
yang masuk relatif sedikit, sehingga kesempatan untuk
mendapatkan karyawan yang baik akan semakin sulit.

4. Penggunaan Formulir Lamaran Kerja dalam Recruitment Kerja


Formulir lamaran adalah catatan permanen dari kualifikasi pelamar
untuk suatu pekerjaan. Disamping itu, untuk penyediaan informasi yang
diperlukan untuk suatu proses penyelesaian, surat lamaran juga
diserahkankepada dinas penempatan tenaga kerja sebagai laporan.
Tujuan menggunakan formulir lamaran:
1. Membantu dalam wawancara
2. Menjaring informasi yang belum lengkap
3. Memudahkan informasi
4. Alat memeriksa informasi sebelumnya
Evaluasi formulir lamaran kerja:
1. Kecocokan dengan syarat-syarat pekerjaan
2. Petunjuk-petunjuk mengenai kepribadian
3. Pengetahuan, kemampuan dan sikap
4. Memeriksa referensi dan latar belakang, dimaksudkan untuk
mengetahui kebenaran dan fakta-fakta yang diberikan
pelamar.

5. Penggunaan Wawancara dalam Recruitment Kerja


Wawancara pekerjaan merupakan sarana untuk bertukar informasi
antara pelamar dan pewawancara berkaitan dengan kesesuaian dan
minat pelamar dalam pekerjaan yang akan diisi. Informasi yang tersedia
dalam lamaran pelamar pekerjaan dapat diperiksa lebih mendalam
dalam wawancara, dan informasi lain yang relevan terhadap kualifikasi
pelamar dapat diperoleh.
Permasalahan seringkali terjadi sebagai metode seleksi, wawancara
merupakan hal yang problematik. Penelitian memperlihatkan bahwa
wawancara memiliki reliabilitas test-retest yang baik (dua kali
pewawancara yang sama) dan reliabilitas konsistensi internal yang baik,
tetapi reliabilitas inter-rater yang rendah (antara rater/penilai saling
berbeda satu sama lainnyab).
Alasan rendahnya reliabilitas penilai adalah wawancara cenderung
menjadi tidak terstruktur dan subyektif. Sejumlah permasalahan
dihasilkan dari sifat wawancara pekerjaan yang tidak
terstruktur,meliputi
Kesalahan penilai
Pewawancara yang banyak bicara menghambat
pengumpulan informasi yang berhubungan dengan
pekerjaan
Variasi pertanyaan yang diajukan kepada pelamar selama
wawancara
Pewawancara mengajukan pertanyaan trik
Pewawancara mengajukan pertanyaan yang tidak tepat
yang berhubungan dengan ras, agama, jenis kelamin, asal
negara, dan usia pelamar.

Teknik Wawancara Kerja

Dua teknik wawancara yang biasa dipergunakan perusahaan dalam


melakukan wawancara kerja adalah wawancara kerja tradisional dan
wawancara kerja behavioral. Dalam prakteknya perusahaan seringkali
mengkombinasikan kedua teknik ini untuk memperoleh data yang lebih
akurat.Wawancara kerja tradisional menggunakan pertanyaan-
pertanyaan terbuka seperti mengapa anda ingin bekerja di perusahaan
ini, dan apa kelebihan dan kekurangan anda. Kesuksesan atau
kegagalan dalam wawancara tradisional akan sangat tergantung pada
kemampuan si pelamar dalam berkomunikasi menjawab pertanyaan-
pertanyaan, daripada kebenaran atau isi dari jawaban yang diberikan.
Wawancara kerja behavioral didasarkan pada teori bahwa
performance (kinerja) di masa lalu merupakan indikator terbaik untuk
meramalkan perilaku pelamar di masa mendatang (baca: ketika
bekerja). Wawancara kerja dengan teknik ini sangat sering digunakan
untuk merekrut karyawan pada level managerial atau oleh perusahaan
yang dalam operasionalnya sangat mengutamakan masalah-masalah
kepribadian.

Tahap-tahap proses wawancara meliputi persiapan pewawancara,


pengarahan atau penciptaan hubungan, pertukaran informasi, terminasi
dan evaluasi. Setiap tahap harus dijalani agar wawancara berhasil.

Persiapan pewawancara. Kegiatan persiapan ini mencakup


penentuan sasaran wawancara, pengembangan berbagai pertanyaan
spesifik yang akan diajukan dalam proses wawancara, penetapan
tipe wawancara dan format pertanyaan, serta pengenalan awal
tentang pelamar dengan mempelajari blanko lamaran. Disamping
itu, pewawancara harus mampu menjelaskan tugas-tugas pekerjaan,
standar prestasi, upah dan tunjangan-tunjangan lain, dan bidang-
bidang pekerjaan lainnya.
Pengarahan. Setelah wawancara dimulai, pewawancara perlu
menciptakan hubungan yang relaks dengan pelamar dan suasana
yang enak. Tanda kondisi ini pewawancara mungkin tidak
memperoleh gambaran yang lengkap dan jelas tentang potensi
pelamar.
Pertukaran Informasi. Inti proses wawancara adalah pertukaran
informasi. Untuk membantu menciptakan hubungan, banyak
pewawancara mulai dengan bertanya kepada pelamar bila ada
pertanyaan-pertanyaan yang ingin diajukan. Ini menimbulkan
komunikasi dua arah dan memungkinkan pewawancara mulai
untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pelamar.
Terminasi. Bila waktu wawancara yang tersedia habis,
pewawancara perlu memberi isyarat bahwa wawancara akan segera
diakhiri, dalam hal ini sekali lagi komunikasi non verbal sangat
berguna.
Evaluasi. Segera setelah wawacara berakhir, pewawancara harus
mencatat jawaban-jawaban tertentu dan kesan-kesan umum
mengenai pelamar. Penilaian ini dapat menggunakan catatan yang
telah disiapkan secara standar. Penggunaan catatan atau daftar
standar akan meningkatkan reliabilitas wawancara sebagai teknik
seleksi.

6. Penggunaan Tes dalam Recruitment Kerja


Tes-tes penerimaan sangat berguna untuk mendapatkan informasi
yang relatif obyektif tentang pelamar yang dapat dibandingkan dengan
para pelamar lainnya dan para karyawan sekarang. Tes-tes penerimaan
merupakan berbagai peralatan bantu yang menilai kemungkinan
padunya antara kemampuan, pengalaman dan kepribadian pelamar dan
persyaratan jabatan. Agar tes dapat meloloskan para pelamar yang tepat,
maka ia harus valid. Validitas berarti bahwa skor-skor tes mempunyai
hubungan yang berarti (signifikan) dengan prestasi kerja atau dengan
kriteria-kriteria relevan lainnya.
Ada bermacam-macam jenis tes penerimaan. Setiap tipe tes
mempunyai kegunaan yang terbatas, dan mempunyai tujuan yang
berbeda. Secara ringkas, berbagai tipe tes dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Tes-tes Psikologis (Psychological Test)
Test kecerdasan (intelligence test) : Yang menguji kemampuan
mental pelamar dalam hal daya pikir secara menyeluruh dan
logis.
Test kepribadian (personality test) : Dimana hasilnya akan
mencerminkan kesediaan bekerja sama, sifat kepemimpinan
dan unsur-unsur kepribadian lainnya. Tes kepribadian
mengukur beberapa hal, seperti kecenderungan emosi atau
keterbukaan, kemampuan berinteraksi social, kepercayaan dan
kejujuran
Test bakat (aptitude test) : Yang mengukur kemampuan
potensial pelamar yang dapat dikembangkan. Tes bakat
(aptitude) dipakai untuk menilai kapasitas seseorang untuk
belajar.
Test minat (interest test) : Yang mengatur antusiasme pelamar
terhadap suatu jenis pekerjaan. Tes minat umumnya dirancang
untuk mengukur preferensi atau pilihan kegiatan individual
dan dapat juga untuk memperkirakan jenis pekerjaan atau
jabatan apa yang yang akan cocok diambil
Tes prestasi (achievement test) : Yang mengukur kemampuan
pelamar sekarang. Tes prestasi dipakai untuk mengetahui
derajat seseorang yang telah belajar.

2. Tes-tes Pengetahuan (Knowledge Tests) : Yaitu bentuk tes yang


menguji informasi atau pengetahuan yang dimiliki para pelamar.
Pengetahuan yang diujikan harus sesuai dengan kebutuhan untuk
melaksanakan pekerjaan.
3. Performance Tests : Yaitu bentuk tes yang mengukur kemampuan
para pelamar untuk melaksanakan beberapa bagian pekerjaan yang
akan dipegangnya. Sebagai contoh, tes mengetik untuk calon
pengetik. Selain harus feasible penggunaan tes juga harus
fleksibel. Hasil tes tidak selalu merupakan langkah pertama atau
terakhir dalam proses seleksi. Akhirnya, tes penerimaan hanya
merupakan suatu teknis di antara berbagai teknik yang digunakan
dalam proses seleksi, karena tes hanya dapat dilakukan terhadap
faktor-faktor yang bisa diuji secara mudah. Hal-hal yang tidak
dapat diukur melalui pengujian mungkin sama pentingnya.

5.1 Motivasi Kerja dan Job Performance

5.1.1 Pengertian ,tujuan, sikap, etos dan mitos kerja

a) Pengertian dan Tujuan Kerja

`Kerja adalah kegiatan melakukan sesuatu; yang dilakukan


(KBBI,). Kerja merupakan sesuatu yang dikeluarkan oleh
seseorang sebagai profesi, sengaja dilakukan untuk mendapatkan
penghasilan. Kerja dapat juga di artikan sebagai pengeluaran energi
untuk kegiatan yang dibutuhkan oleh seseorang untuk mencapai
tujuan tertentu. Menurut Dr. Franz Von Magnis di dalam Anogara
(2009 : 11), pekerjaan adalah kegiatan yang direncanakan.
Sedangkan Hegel di dalam Anogara (2009 : 12) menambahkan
bahwa inti pekerjaan adalah kesadaran manusia.

b) Sikap Kerja

Sikap kerja adalah sikap seseorang terhadap pekerjaanya yang


mencerminkan pengalaman yang menyenangkan dan tidak
menyenangkan dalam pekerjaanya serta harapan-harapanya
terhadap pengalaman masa depan (Kenneth, 1992 : 129).

c) Etos Kerja

Etos kerja adalah sikap yang muncul atas kehendak dan


kesadaran sendiri yang didasari oleh sistem orientasi nilai budaya
terhadap kerja (Sukardewi, 2013:3). Etos berasal dari bahasa
Yunani, yaitu ethos yang artinya sikap, kepribadian, watak,
karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki
oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Etos
dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem
nilai yang diyakininya (Tasmara, 2002:15).

d) Mitos Kerja

Menganggap kesuksesan adalah sesuatu yang mudah diperoleh


tanpa usaha. Melihat pencapaian akhir seseorang tanpa menelusuri
jerih payah yang dilaluinya.

5.1.2 Pengertian Motivas Kerja dan Job Performance

1. Motivasi Kerja
Motivasi sebagai proses yang menjelaskan intensitas, arah
dan ketekunan usaha untuk mencapai suatu tujuan.( Robbins dan
Judge : 2007).

Selanjutnya, motivasi sebagai proses mempengaruhi atau


mendorong dari luar terhadap seseorang atau kelompok kerja agar
mereka mau melaksanakan sesuatu yang telah ditetapkan.
Motivasi juga dapat diartikan sebagai dorongan (driving force)
dimaksudkan sebagai desakan yang alami untuk memuaskan dan
memperahankan kehidupan (Samsudin : 2005)

Mangkunegara (2005,61) menyatakan : motivasi terbentuk


dari sikap (attitude) karyawan dalam menghadapi situasi kerja di
perusahaan (situation). Motivasi merupakan kondisi atau energi
yang menggerakkan diri karyawan yang terarah atau tertuju untuk
mencapai tujuan organisasi perusahaan. Sikap mental karyawan
yang pro dan positif terhadap situasi kerja itulah yang memperkuat
motivasi kerjanya untuk mencapai kinerja maksimal.

Berdasarkan pengertian di atas, maka motivasi merupakan


respon pegawai terhadap sejumlah pernyataan mengenai
keseluruhan usaha yang timbul dari dalam diri pegawai agar
tumbuh dorongan untuk bekerja dan tujuan yang dikehendaki oleh
pegawai tercapai.

2. Job Performance

Kinerja adalah penampilan hasil karya personil baik


kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi. Kinerja dapat
merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja personil.
Penampilan hasil karya tidak terbatas kepada personil yang
memangku jabatan fungsional maupun struktural, tetapi juga
kepada keseluruhan jajaran personil di dalam organisasi.( Ilyas :
2001)

Kinerja (job performance) adalah hasil yang dicapai oleh


seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang
bersangkutan.( Menurut Asad : 2003).

3. Mengukur Job Performance

Untuk mengukur job performance, masalah yang paling


pokok adalah menetapkan kriterianya. Menurut Jessup & Jessup
(1975), yang pertama diperlukan dalam hal ini adalah ukuran
mengenai sukses, dan bagian-bagian mana yang dianggap penting
sekali dalam suatu pekerjaan. Usaha untuk menentukan ukuran
tentang sukses ini amatlah sulit, karena seringkali pekerjaan itu
begitu kompleks sehingga sulit ada ikuran output yang pasti. Hal
seperti ini terutama terdapat pada jabatan-jabatan yang bersifat
administrative. Kesulitan dalam menentukan dasar ukuran ini
merupakan masalah sensitive di kalangan ahli psikologi industri,
dan terkenal dengan the criterion problem (Maier, 1965;
Wexley & Yukl, 1977).

Menurut Bellows (1961), beberapa syarat criteria yang baik


ialah apabila lebih reliable, realistis, representative dan bisa
predictable. Dalam hal ini dikatakan oleh Maier (1965) bahwa
yang umum dianggap sebagai criteria antara lain ialah : kualitas,
kuantitas, waktu yang dipakai, jabatan yang dipegang, absensi, dan
keselamatan dalam menjalankan tugas pekerjaan. Dikatakan
selanjutnya bahwa dimensi mana yang lebih penting, adalah
berbeda antara pekerjaan yang satu dengan yang lainnya.

Kalau criteria untuk suatu pekerjaan sudah ditetapkan,


maka langkah berikutnya dalam mengukur performance adalah
mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan hal tersebut
dari seseorang selama periode tertentu. Dengan membandingkan
hasil ini terhadap standard yang dibuat untuk periode waktu yang
bersangkutan, akan didapatkan level of performance seseorang.

Untuk memudahkan pengukuran performance kerja ini


Maier (1965) membagi pekerjaan menjadi dua jenis, yaitu :

a) Pekerjaan produksi, dimana secara kuantitatif orang bisa


membuat suatu standard yang objektif.

b) Pekerjaan yang non produksi, dimana penentuan sukses


tidaknya seseorang di dalam tugas biasanya didapat
melalui human judgments atau pertimbangan subjektif.

Untuk jenis pertama, hasil produksi seseorang bisa


langsung dihitung, dan mutunya dapat dinilai pula melalui
pengujian hasil. Sedangkan untuk jenis kedua, ada beberapa cara
yang lazim ditempuh, antara lain melalui penilaian (rating) oleh
atasan, rating oleh teman (peer rating) dan juga self rating. Karena
cara yang demikian ini lebih bersifat subjektif, maka sedapat
mungkin diusahakan adanya standard yang objektif itu, dan kalau
sudah tidak memungkinkan barulah ke langkah yang kedua.

Secara ringkasnya dapatlah dikatakan bahwa pengukuran


tentang job performance itu tergantung kepada jenis pekerjaannya
dan tujuan dari organisasi perusahaan yang bersangkutan. Kedua
hal ini menentukan apa criteria sukses yang berlaku untuk jabatan
itu, serta dimensi-dimensi mana dari pekerjaan itu yang dianggap
lebih penting.

5.1.3 Hubungan Job Performance dan Motivasi Kerja

1. Goal Theory

Dikatakan oleh Wexley & Yukl (1977, hal 85)


bahwa another motivation theory that explains employee
behavior in terms of consciouns mental processes is goal
theory. Teori ini dikemukakan oleh Locke (1968) dari dasar teori
Lewins (1935). Locke berpendapat bahwa tingkah laku manusia
banyak didasarkan untuk mencapai suatu tujuan. Teori yang lain
dikemukakan oleh Georgopoulos (1975) yang disebut path goal
theory. Menurut beliau, performance adalah fungsi
dari facilitating procces dan inhibiting process.

Prinsip dasarnya adalah kalau seseorang melihat


bahwa performance yang tinggi itu merupakan jalur (path) untuk
memuaskan needs (goal) tertentu, maka ia akan berhak mengikuti
jalur tersebut sebagai fungsi dari level of needs yang
bersangkutan (facilitating process). Kalau digambarkan sebagai
berikut :

Namun demikian, apakah proses tersebut akan


melahirkan performance adalah tergantung dari tingkat
kebebasan (level of freedom) yang ada pada jalur itu. Apabila tidak
ada hambatan yang berarti (inhibiting process) maka
dihasilkan performance, dan sebaliknya jika pada jalur itu banyak
hambatannya.
Disamping itu, apabila individu melihat bahwa berproduksi
rendah (low producer) itu justru merupakan jalur untuk menuju
tujuan etrtentu misalnya agar bisa diterima teman-teman
sekerjanya, maka ia cenderung menjadi low producer. Adapun
syarat agar suatu jalur (path) dipilih ialah apabila level neednya
cukup tinggi, tujuannya cukup menonjol, dan bila pada saat itu
tidak ada jalur lain yang lebih efektif serta ekonomis.
Kesimpulan dari teori ini bahwa performance kerja itu
adalah fungsi dari motivasi untuk berproduksi dengan level
tertentu. Motivasinya ditentukan needs yang mendasari tujuan yang
bersangkutan dan merupakan alat (instrumentality) dari tingkah
laku produktif itu terhadap tujuan yang diinginkan.

2. Teori Attribusi atau Expectancy Theory

Pertama kali dikemukakan oleh Heider (1958), (yang


dikutip dari Anderson & Butzin, 1974). Pendekatan teori aatribusi
mengenai performance kerja dirumuskan sebagai berikut :

P=MxA

Keterangan : P = performance

M = motivation

A = ability

Konsep ini akhirnya menjadi sangat populer dan sering


sekali dikutip oleh ahli-ahli lainnya dalam pembicaraan mereka
tentang performance, seperti misalnya, oleh Maier (1965), lawler
dan Porter (1967) dan Vroom (1964). Berpijak dari formula di atas,
menurut teori ini performance adalah hasil interaksi
antara motivation dengan ability (kemampuan dasar). Dengan
demikian, orang yang tinggi motivasinya tetapi
memiliki ability yang rendah akan
menghasilkan performance yang rendah. Begitu pula halnya
dengan orang yang sebenarnya berability tinggi tetapi rendah
motivasinya.
Atas dasar ini Vroom (1064) menyarankan agar karyawan
yang akan ditraining (diupgrade, dilatih) haruslah orang yang
bermotivasi tinggi, sedangkan karyawan yang perlu dimotivasi
adalah mereka yang berability tinggi.
Kalau dibandingkan dengan teori yang terdahulu (path goal
theory), maka teori ini jauh lebih lengkap, karena ditambahkannya
fungsi ability di dalam proses
terjadinya performance. Perkembangan teori inipun cukup pesat
dan sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan teori-teori
tentang motivasi maupun teori tentang ability itu sendiri.
Pada waktu sekarang ini, rumusan aljabar kognitif di atas
sudah banyak sekali variasinya. Variasi-variasi yang ada terutama
mengikuti perkembangan teori Expectancy tentang motivasi.
Mengapa demikian? Oleh karena motivasi merupakan komponen
penting dari teori ini, seperti tampak pada rumusan di atas. Dari
berbagai variasi-variasi maka ada tiga macam model yang
dianggap penting untuk dikemukakan, yaitu :
1. Model Vroomian (1964)
Model ini diwarnai pendapat dari Vroom (1964)
tentang motivasi dan ability. Menurut model
ini performance kerja seseorang (P) merupakan fungsi
dari interaksi perkalian antara Motivasi (M)
dan Ability (Kecakapan = K). Sehingga rumusnya
ialah:
P = f ( M x K)
Alasan dari hubungan perkalian ini ialah jika
seseorang rendah pada salah satu komponennya maka
prestasi kerjanya pasti akan rendah pula. Dengan kata
lain apabila performance kerja (prestasi kerja)
seseorang rendah, maka ini dapat merupakan hasil dari
motivasi yang rendah, atau kemampuannya tidak baik,
atau hasil kedua komponen (motivasi) dan
(kemampuan) yang rendah.
Menurut vroom tinggi rendahnya motivasi
seseorang tenaga kerja ditentukan oleh interaksi
perkalian dari tiga komponen, yaitu : Valence (nilai-
nilai), Instrumentality (I = alat) dan Expectancy (E =
harapan).
Catatan : Menurut teori Expectancy yang
dikemukakan oleh Wahba and House, (1974), dikutip
oleh Wexley & Yukl, (1977), hal 82, mengenai
komponen dari motivasi, adalah :
1. Outcome
2. Valence
3. Expectancy
Dikatakan bahwa outcome ini sebagai : is any
potential need related consequence of behavior,
misalnya yang berhubungan dengan pay increase,
promotion, recognatio, co-worker acceptance,
fatique dan accidents. Sedangkan yang dimaksudkan
dengan valence menurut pendapat ini : is the degree to
which it is desirable or undesirable. Adapun
mengenai Expectancy dimaksudkan sebagai : is the
perceived probility that in will infact occur if a given
behavior alternatif is chosen.
Kembali pada teori dari Vroom maka rumusnya
adalah:
M=VxIxE
Dengan bekerja maka setiap orang akan
merasakan akibat-akibatnya. Setiap orang mempunyai
sasaran-sasaran pribadi yang ia harapkan dapat ia capai
sebagai akibat dari prestasi kerja yang ia berikan.
Akibat-akibat ini jelas akan mempunyai
nilai (valence) yang berbeda-beda bagi setiap individu,
dimana nilainya bisa positif maupun negatif.
Perusahaan sebagai suatu organizational
behavior mempunyai harapan-harapan terhadap
produktivitas setiap tenaga kerjanya, misalnya
mengharapkan prestasi kerja yang optimal. Kalau
seseorang tenaga kerja bisa berprestasi kerja sesuai
dengan yang diharapkan oleh perusahaan, seberapa
jauh sasaran pribadi karyawan tersebut bisa dipenuhi?
Dengan kata lain, sejauh mana atau sebesar
bagaimanakah dapat diharapkan oleh tenaga kerja
bahwa prestasinya akan memberikan akibat-akibat
yang diharapkannya? Dalam hal ini kemungkinan
tercapainya sasaran-sasaran pribadi satu persatu
melalui tercapainya produktivitas yang diharapkan oleh
perusahaan ini, dinamakan oleh Vroom
sebagai Instrumentality.
Jika misalnya prestasi kerja yang tinggi itu
merupakan outputnya seseorang tenaga kerja, sejauh
mana kemungkinan yang dirasakan oleh tenaga kerja
bahwa tenaga yang akan diberikan dan usaha yang akan
dilakukan dapat membuahkan prestasi kerja sesuai
dengan yang diharapkan oleh perusahaan dari dia?
Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang
berhubungan dengan dimaksudkan Vroom
tentang Expectancy (harapan).
Jika seseorang karyawan mempunyai harapan
yang besar dapat berprestasi tinggi, dan jika ia
menduga bahwa dengan tercapainya prestasi yang
tinggi ia akan merasakan akibat-akibat yang
diharapkan, maka ia akan mempunyai motivasi yang
tinggi untuk bekerja. Sebaliknya jika karyawan merasa
yakin bahwa ia tidak akan dapat mencapai prestasi
kerja sesuai dengan yang diharapkan perusahaan
daripadanya maka ia akan kurang motivasinya untuk
bekerja.
Selanjutnya tentang ability (kemampuan),
menurut pendapat Vroom (1964) adalah semua non
motivational attributes yang dimiliki oleh individu
untuk melaksanakan suatu tugas.
Jadi ability merupakan suatu potensi untuk melakukan
sesuatu. Dengan kata lain, ability adalah what one can
do dan bukanlah what he does do. Dikatakan
selanjutnya, bahwa ability itu ditentukan oleh tiga hal :
1. Kondisi serisoris dan kognitif
2. Pengetahuan tentang cara response yang benar
3. Kemampuan untuk melaksanakan respon tersebut

2. Model Lowler dan Porter (1967)


Kedua ahli ini mengemukakan variasi yang sedikit
berbeda dari rumusan P = M x A yang telah dibahas di
muka. Adapun rumusan yang diusulkan oleh Lawler
dan Porter adalah sebagai berikut :
Performance = Effort x Abilities x Role Perceptions
Keterangan :
Effort adalah banyaknya energi yang
dikeluarkan seseoarng dalam situasi tertentu
Ability adalah karakteristik individuil
seperti intelegensi, manual skill, traits yang
merupakan kekuatan potensial seseorang untuk
berbuat dan sifatnya relatif stabil
Role Perceptions adalah kesesuaian
antara effort yang dilakukan seseorang dengan
pandangan evaluator atau atasan langsung
tentang Job requierementnya.

Hal yang baru ditambahkan pada model ini


adalah Role Perceptions, yang dikatakannya sebagai
jenis aktivitas tingkah laku yang dirasakan subjek
paling cocok untuk dilakukan agar dapat sukses,
dinamikanya mengikuti perubahan situasi, berperan
sebagai penentu arah dari effort, dan merupakan
moderator atas korelasi
antara effort dengan performance.
Menurut lawler dan Porter (1967), effort ditentukan
oleh dua hal, yaitu : value or rewards (ini kira-kira
sama dengan istilah valensi dari Vroom)
dan instrumentality of effort (persepsi individu tentang
besarnya peluang bahwa rewards itu bergantung
pada effort.
Menurut Lawler dan Porter, langkah-langkah dalam
menghitung ramalan performance individu adalah
pertama diukur dahulu value of rewards. Caranya ialah
meminta subjek meranking beberapa rewards yang
potensial, atau memintanya merangking
beberapa rewards tertentu. Selanjutnya diukur persepsi
subjek tentang sejauh mana rewards itu bergantung
pada effort yang akan dilakukannya. hasilyang akan
dilakukannya. Hasil perkalian dua skor dari pengukuran
ini adalah skor effort. Setelah itu dibuat pengukuran
atas ability dan ketepatan dari Role Perceptions. Kalau
skor effort itu bergerak dari angka nol (tidak ada effort)
sampai dengan sepuluh (effort yang maksimum), dan
begitu pula halnya dengan ability. Kemudian Role
Perceptions dinyatakan dalam nol persen (completely
inaccuratei) sampai dengan seratus persen (completely
accuratei), maka hasil perkaliannya itu
adalah performance yang diharapkan dari individu
tertentu dalam situasi tertentu.

3. Model Aderson dan Butzin (1974)


Pada mulanya Anderson dan Butzin mempersoalkan
rumusan P = M x A, sejauh mana kebenaran dari model
perkalian (multiplicative) antara motivasi
dan ability tersebut. Lalu mereka mulai menguji dengan
mengadakan penelitian-penelitian, apakah model
perkalian tersebut lebih baik dan tepat hasilnya bila
dibandingkan dengan model tambahan (additive).
Ternyata mereka menemukan bahwa model
perkalian itu tidaklah lebih baik daripada model
tambahan, karena sama-sama mempunyai kelemahan
tertentu. Akhirnya mereka mengajukan formula baru
yang menggunakan perkalian dan tambahan sekaligus,
yang rumusnya sebagai berikut:
Future performance = [past performance +
(motivation x ability)]
Semua teori job performance dimana di dalamnya
melibatkan motivasi individu adalah bersifat
perhitungan tentang
kemungkinan achievement seseorang, sehingga
bukanlah pengukuran tentang performance yang sudah
ada. Oleh sebab itu formula yang sudah diajukan di
muka tidaklah biasa untuk
mengukur performance dalam rangka penilaian jabatan.
Namun demikian, apabila telah didapat
skor performance yang sebenarnya, kemudian dimiliki
pula skor ability atau motivasinya, maka akan dapat
diterka level dari salah satu yang lain (motivasi
atau abilitynya itu) yang belum diketahui, dengan
menggunakan formula diatas.

5.2 Teori Kebutuhan


5.2.1 Konsep Teori Tata Tingkat Kebutuhan (Need Hierarchy Theory)
Maslow
Menurut Abraham Maslow, manusia memiliki lima tingkat
kebutuhan hidup yang akan selalu berusaha untuk dipenuhi sepanjang
masa hidupnya. Lima tingkatan yang dapat membedakan setiap
manusia dari sisi kesejahteraan hidupnya, teori yang telah resmi di
akui dalam dunia psikologi.
Kebutuhan tersebut berjenjang dari yang paling mendesak hingga
yang akan muncul dengan sendirinya saat kebutuhan sebelumnya telah
dipenuhi. Setiap orang pasti akan melalui tingkatan-tingkatan itu, dan
dengan serius berusaha untuk memenuhinya, namun hanya sedikit
yang mampu mencapai tingkatan tertinggi dari piramida ini.
Lima tingkat kebutuhan dasar menurut teori Maslow adalah

sebagai berikut (disusun dari yang paling rendah).


1. Kebutuhan Fisiologis/ Dasar
Pada tingkat yang paling bawah, terdapat kebutuhan yang
bersifat fisiologis yang ditandai dengan kekurangan (defisit)
sesuatu dalam tubuh orang yang bersangkutan. Contoh dari
kebutuhan Fisiologis ini adalah: Sandang / pakaian, pangan /
makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang
air besar, buang air kecil, bernafas, seks, dan lain sebagainya.
Kebutuhan ini juga dinamakan juga kebutuhan dasar (basic
needs) yang jika tidak dipenuhi dalam keadaan sangat ekstrim
(misalnya: sangat kelaparan) bisa manusia yang bersangkutan
kehilangan kendali akan atas perilakunya sendiri (agresif, tidak
malu, tidak punya pertimbangan pada orang lain, dan
sebagainya) karena seluruh kapasitas manusia tersebut
dikerahkan dan dipusatkan hanya untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya itu (menghilangkan rasa laparnya).
2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan
Segera setelah kebutuhan dasariah terpuaskan, muncullah
apa yang digambarkan Maslow sebagai kebutuhan akan rasa
aman atau keselamatan (safety needs) Kebutuhan ini
menampilkan diri dalam kategori kebutuhan akan kemantapan,
perlindungan, kebebasan dari rasa takut, cemas dan kekalutan;
kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas, dan
sebagainya. Kebutuhan ini dapat kita amati pada seorang anak.
Biasanya seorang anak membutuhkan suatu dunia atau
lingkungan yang dapat diramalkan. Seorang anak menyukai
konsistensi dan kerutinan sampai batas-batas tertentu. Jika hal-
hal itu tidak ditemukan maka ia akan menjadi cemas dan
merasa tidak aman. Orang yang merasa tidak aman memiliki
kebutuhan akan keteraturan dan stabilitas serta akan berusaha
keras menghindari hal-hal yang bersifat asing dan tidak
diharapkan.
Sama halnya dengan anak-anak, orang dewasa pun bila
merasa tidak aman (neurotik) bertingkah sama seperti anak-
anak yang tidak aman. Maslow menguraikan bahwa orang
dewasa yang merasa tidak aman akan bertingkah laku seakan-
akan selalu dalam keadaan terancam bencana besar. Seorang
yang yang tidak aman memiliki kebutuhan akan keteraturan
dan stabilitas secara berlebihan serta akan berusaha keras
menghindari hal-hal yang bersifat asing dan yang tidak
diharapkannya.
Kebutuhan akan rasa aman dan keselamatan inilah yang
mendorong manusia membuat peraturan, undang-undang,
mengembangkan kepercayaan, membuat sistem asuransi,
pensiun, dan sebagainya. Menurut Maslow, sama halnya
dengan basic neeeds, ketidakterpenuhan akan safety needs ini
akan mempengaruhi pandangan seseorang tentang dunianya
dan pada gilirannya akan cenderung kearah yang makin
negatif.
3. Kebutuhan Sosial.
Setelah terpuaskan kebutuhan akan rasa aman, maka
kebutuhan sosial yang mencakup kebutuhan akan rasa
memiliki-dimiliki, saling percaya, cinta, dan kasih sayang
(belongingness and love needs) akan menjadi motivator
penting bagi perilaku. Pada tingkat kebutuhan ini, dan belum
pernah sebelumnya, orang akan sangat merasakan tiadanya
sahabat, kekasih, isteri, suami, atau anak-anak. Ia haus akan
relasi yang penuh arti dan penuh kasih dengan orang lain pada
umumnya. Ia membutuhkan terutama tempat (peranan) di
tengah kelompok atau lingkungannya, dan akan berusaha keras
untuk mencapai dan mempertahankannya. Orang di posisi
kebutuhan ini bahkan mungkin telah lupa bahwa tatkala masih
memuaskan kebutuhan akan makanan, ia pernah meremehkan
cinta sebagai hal yang tidak nyata, tidak perlu, dan tidak
penting. Sekarang ia akan sangat merasakan perihnya rasa
kesepian itu, pengucilan sosial, penolakan, tiadanya
keramahan, dan keadaan yang tak menentu.
Maslow tidak menyamakan cinta dengan seks (yang
merupakan kebutuhan fisiologis). Menurutnya seks merupakan
cara untuk mengekspresikan kebutuhan akan cinta. Maslow
menyebutkan bahwa kegagakan untuk memuaskan kebutuhan
akan cinta merupakan penyebab dasar dari ketidakmampuan
menyesuaikan diri secara emosional.
4. Kebutuhan Penghargaan
Menurut Maslow, semua orang dalam masyarakat (kecuali
beberapa kasus yang patologis) mempunyai kebutuhan atau
menginginkan penilaian terhadap dirinya yang mantap,
mempunyai dasar yang kuat, dan biasanya bermutu tinggi, akan
rasa hormat diri atau harga diri (estem needs). Karenanya,
Maslow membedakan kebutuhan ini menjadi kebutuhan akan
penghargaan secara internal dan eksternal. Yang pertama
(internal) mencakup kebutuhan akan harga diri, kepercayaan
diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi,
ketidaktergantungan, dan kebebasan (kemerdekaan). Yang
kedua (eksternal) menyangkut penghargaan dari orang lain,
prestise, pengakuan, penerimaan, ketenaran, martabat,
perhatian, kedudukan, apresiasi atau nama baik. Orang yang
memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri. Dengan
demikian ia akan lebih berpotensi dan produktif. Sebaliknya
harga diri yang kurang akan menyebabkan rasa rendah diri,
rasa tidak berdaya, bahkan rasa putus asa serta perilaku yang
neurotik. Kebebasan atau kemerdekaan pada tingkat kebutuhan
ini adalah kebutuhan akan rasa ketidakterikatan oleh hal-hal
yang menghambat perwujudan diri. Kebutuhan ini tidak bisa
ditukar dengan sebungkus nasi goreng atau sejumlah uang
karena kebutuhan akan hal-hal itu telah terpuaskan.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Menurut Maslow, setiap orang harus berkembang sepenuh
kemampuannya. Kebutuhan manusia untuk bertumbuh,
berkembang, dan menggunakan kemampuannya disebut
Maslow sebagai aktualisasi diri (self actualization) . Maslow
juga menyebut aktualisasi diri sebagai hasrat untuk makin
menjadi diri sepenuh kemampuan sendiri, menjadi apa menurut
kemampuan yang dimiliki. Kebutuhan akan aktualisasi diri ini
biasanya muncul setelah kebutuhan akan cinta dan akan
penghargaan terpuaskan secara memadai.
Maslow menguraikan bahwa kebutuhan akan aktualisasi
diri merupakan kelompok meta-needs yang didalamnya
mencakup 17 meta kebutuhan yang tidak tersusun secara
hierarki, melainkan saling mengisi. Jika berbagai meta-
needs tidak terpenuhi, maka akan terjadi meta-patologi seperti:
apatisme, kebosanan, putus asa, tidak punya rasa humor lagi,
keterasingan, mementingkan diri sendiri, kehilangan selera dan
sebagainya.
Ke 17 meta-kebutuhan tersebut menurut Maslow adalah: 1.
Kebenaran, 2. Kebaikan, 3. Keindahan/kecantikan, 4.
keseluruhan (kesatuan/integrasi), 5. Dikhotomi-Transendensi,
6. Berkehidupan (berproses, berubah tetapi pada esensinya, 7.
Keunikan, 8. Kesempurnaan (perfeksi), 9. Keniscayaan, 10.
Penyelesaian, 11. Keadilan, 12. Keteraturan, 13.
Kesederhanaan, 14. Kekayaan (banyak variasi, majemik, tidak
ada yang tersembunyi, semua sama penting), 15. Tanpa susah
payah (santai, tidak tegang), 16. Bermain (fun, rekreasi,
humor), 17. Mencukupi diri sendiri.

5.2.2 Teori Kebutuhan Edwards


Menurut Edwards (1959), yang dikutip oleh ruch (1972),
kebutuhan-kebutuhan yang dapat mempengaruhi motivasi individu,
diklasifikasikan menjadi lima belas kebutuhan (intrinsik) yang tampak
pada manusia dengan kekuatan yang berbeda-beda, yaitu:
1. Achievement, kebutuhan untuk berbuat lebih baik dari pada
orang lain yang mendorong individu untuk menyelesaikan
tugas lebih sukses, untuk mencapai prestasi yang tinggi.
2. Deference, kebutuhan mengikuti pendapat orang lain,
mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan, memuji-muji
orang lain, menyesuaikan diri dengan adat kebiasaan;
3. Order, kebutuhan untuk membuat rencana-rencana yang
teratur, yang berhubungan dengan kerapian, mengorganisasi
secara detail terhadap pekerjaannya, melakukan kebiasaan
sehari-hari secara teratur.
4. Exhibition, kebutuhan untuk menarik perhatian orang lain,
berusaha untuk menjadi pusat perhatian. Tindakan dan cara
bicaranya, menyebabkan dirinya diperhatikan orang lain;
5. Autonomy, kebutuhan untuk mandiri tidak mau bergantung
kepada orang lain atau tidak mau diperintah orang lain;
6. Affilation, kebutuhan untuk mandiri tidak mau bergantung
kepada orang lain, setia terhadap temennya, berpartisipasi
dalam kelompoknya, suka menulis surat kepada teman-
temannya atau para pelanggannya.
7. Intraception, kebutuhan untuk memahami perasaan orang lain,
mengetahui tingkah laku orang lain;
8. Succorance, kebutuhan untuk mendapatkan bantuan orang lain,
simpati, atau juga mendapatkan kasih sayang (afeksi) dari
orang lain;
9. Dominance, kebutuhan untuk bertahan pada pendapatnya,
menguasai, memimpin, menasehati, orang lain;
10. Abasement, kebutuhan ada kesalahan, merasa perlu diberi
hukuman apabila tindakannya keliru;
11. Nurturance, kebutuhan untuk membantu atau menolong orang
lain apabila mereka dalam kesusahan, bersikap simpati, dan
berbuat baik terhadap orang lain;
12. Charge, kebutuhan untuk membuat pembaharuan-pmbaharuan,
tidak menyukai hal-hal yang bersifat rutin,senang bepergian,
membuat pertemuan dengan orang lain;
13. Endurance, kebutuhan yang menyebabkan individu bertahan
pada suatu pekerjaan sampai selesai, tidak suka di ganggu
apabila sedang bekera;
14. Heterosexsuality, kebutuhan yang mendorong aktivitas sosial
individu dalam mendekati lawan jenisnya, mencintai lawan
jenisnya, ingin di anggap menarik oleh lawan jenisnya;
15. Aggression, kebutuhan untuk mengkritik pendapat orang lain,
membantah penadapat orang lain, menyalahkan orang lain;
senang terhadap kekerasan.

5.3 TEORI MOTIVASI


Salah satu aspek penting dalam perusahaan untuk meningkatkan atau
menjaga etos kerja para karyawan agar tetap gigih dan giat dalam bekerja
guna meningkatkan atau menjaga produktifitas kerja yaitu dengan
memberikan motivasi (daya perangsang) bagi para karyawan supaya
kegairahan bekerja para karyawan tidak menurun. Kegairahan para pekerja
tersebut sangat dibutuhkan suatu perusahaan karena dengan semangat yang
tinggi para karyawan dapat bekerja dengan segala daya dan upaya yang
mereka miliki (tidak setengah-setengah) sehingga produktifitasnya maksimal
dan memungkinkan terwujutnya tujuan yang ingin dicapai.
Menurut George R. dan Leslie W. (dalam bukunya Matutina. dkk ,
1993) mengatakan bahwa motivasi adalah getting a person to exert a
high degree of effort . yang artinya motivasi membuat seseorang bekerja
lebih berprestasi. Sedang Ravianto (1986) dalam bukunya ada beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi motivasi kinerja, yaitu atasan, rekan, sarana
fisik, kebijaksanaan dan peraturan, imbalan jasa uang, jenis pekerjaan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motivasi pada dasarnya adalah
kondisi mental yang mendorong dilakukannya suatu tindakan (action atau
activities) dan memberikan kekuatan yang mengarah kepada pencapaian
kebutuhan, memberi kepuasan ataupun mengurangi ketidak seimbangan.
Berikut adalah macam-macam teori yang digunakan dalam teori motivasi :

1. Teori Tiga Motif Sosial (D. McClelland)


David McClelland (Robbins, 2001 : 173) dalam teorinya Mc.Clellands
Achievment Motivation Theory atau teori motivasi prestasi McClelland
juga digunakan untuk mendukung hipotesa yang akan dikemukakan dalam
penelitian ini. Dalam teorinya McClelland mengemukakan bahwa individu
mempunyai cadangan energi potensial, bagaimana energi ini dilepaskan
dan dikembangkan tergantung pada kekuatan atau dorongan motivasi
individu dan situasi serta peluang yang tersedia.
Teori ini memfokuskan pada tiga kebutuhan yaitu kebutuhan akan
prestasi (achiefment), kebutuhan kekuasaan (power), dan kebutuhan
afiliasi.
Model motivasi ini ditemukan diberbagai lini organisasi, baik staf
maupun manajer. Beberapa karyawan memiliki karakter yang merupakan
perpaduan dari model motivasi tersebut.
a. Kebutuhan akan prestasi (n-ACH)
Kebutuhan akan prestasi merupakan dorongan untuk mengungguli,
berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, bergulat untuk
sukses. Kebutuhan ini pada hirarki Maslow terletak antara kebutuhan
akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Ciri-ciri
inidividu yang menunjukkan orientasi tinggi antara lain bersedia
menerima resiko yang relatif tinggi, keinginan untuk mendapatkan
umpan balik tentang hasil kerja mereka, keinginan mendapatkan
ta5tasinya tersebut.
b. Kebutuhan akan kekuasaan (n-pow)
Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat
orang lain berperilaku dalam suatu cara dimana orang-orang itu
tanpa dipaksa tidak akan berperilaku demikian atau suatu bentuk
ekspresi dari individu untuk mengendalikan dan mempengaruhi
orang lain. Kebutuhan ini pada teori Maslow terletak antara
kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri.
McClelland menyatakan bahwa kebutuhan akan kekuasaan sangat
berhubungan dengan kebutuhan untuk mencapai suatu posisi
kepemimpinan.
n-pow adalah motivasi terhadap kekuasaan. Karyawan memiliki
motivasi untuk berpengaruh terhadap lingkungannya, memiliki
karakter kuat untuk memimpin dan memiliki ide-ide untuk menang.
Ada juga motivasi untuk peningkatan status dan prestise pribadi.
c. Kebutuhan untuk berafiliasi atau bersahabat (n-affil)
Kebutuhan akan Afiliasi adalah hasrat untuk berhubungan antar
pribadi yang ramah dan akrab. Individu merefleksikan keinginan
untuk mempunyai hubungan yang erat, kooperatif dan penuh sikap
persahabatan dengan pihak lain. Individu yang mempunyai
kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil dalam pekerjaan
yang memerlukan interaksi sosial yang tinggi.
McClelland mengatakan bahwa kebanyakan orang memiliki
kombinasi karakteristik tersebut, akibatnya akan mempengaruhi
perilaku karyawan dalam bekerja atau mengelola organisasi.
Karakteristik dan sikap motivasi prestasi ala Mcclelland:
a) Pencapaian adalah lebih penting daripada materi.
b) Mencapai tujuan atau tugas memberikan kepuasan pribadi
yang lebih besar daripada menerima pujian atau pengakuan.
c) Umpan balik sangat penting, karena merupakan ukuran
sukses (umpan balik yang diandalkan, kuantitatif dan
faktual).

2. Teori Dua Faktor (Frederick Herzberg)


Frederick Herzberg (1923-2000), adalah seorang ahli psikolog klinis dan
dianggap sebagai salah satu pemikir besar dalam bidang manajemen dan
teori motivasi. Frederick I Herzberg dilahirkan di Massachusetts pada 18
April 1923. Sejak sarjana telah bekerja di City College of New York. Lalu
tahun 1972, menjadi Profesor Manajemen di Universitas Utah College of
Business. Hezberg meninggal di Salt Lake City, 18 Januari 2000.

Teori Dua Faktor Hezberg

Frederick Herzberg (Hasibuan, 1990 : 177) mengemukakan teori motivasi


berdasar teori dua faktor yaitu faktor higiene dan motivator. Dia membagi
kebutuhan Maslow menjadi dua bagian yaitu kebutuhan tingkat rendah
(fisik, rasa aman, dan sosial) dan kebutuhan tingkat tinggi (prestise dan
aktualisasi diri) serta mengemukakan bahwa cara terbaik untuk memotivasi
individu adalah dengan memenuhi kebutuhan tingkat tingginya.
Menurut Hezberg, faktor-faktor seperti kebijakan, administrasi
perusahaan, dan gaji yang memadai dalam suatu pekerjaan akan
menentramkan karyawan. Bila faktor-faktor ini tidak memadai maka orang-
orang tidak akan terpuaskan (Robbins,2001:170).
Menurut hasil penelitian Herzberg ada tiga hal penting yang harus
diperhatikan dalam memotivasi bawahan (Hasibuan, 1990 : 176) yaitu :
a. Hal-hal yang mendorong karyawan adalah pekerjaan yang menantang
yang mencakup perasaan berprestasi, bertanggung jawab, kemajuan,
dapat menikmati pekerjaan itu sendiri dan adanya pengakuan atas
semua itu.
b. Hal-hal yang mengecewakan karyawan adalah terutama pada faktor
yang bersifat embel-embel saja dalam pekerjaan, peraturan pekerjaan,
penerangan, istirahat dan lain-lain sejenisnya.
c. Karyawan akan kecewa bila peluang untuk berprestasi terbatas. Mereka
akan menjadi sensitif pada lingkungannya serta mulai mencari-cari
kesalahan.

Herzberg menyatakan bahwa orang dalam melaksanakan pekerjaannya


dipengaruhi oleh dua faktor yang merupakan kebutuhan, yaitu :

1. Maintenance Factors adalah faktor-faktor pemeliharaan yang


berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin memperoleh
ketentraman badaniah. Kebutuhan kesehatan ini merupakan
kebutuhan yang berlangsung terus-menerus, karena kebutuhan ini
akan kembali pada titik nol setelah dipenuhi.
2. Motivation Factors adalah faktor motivator yang menyangkut
kebutuhan psikologis seseorang yaitu perasaan sempurna dalam
melakukan pekerjaan. Factor motivasi ini berhubungan dengan
penghargaan terhadap pribadi yang berkaitan langsung denagn
pekerjaan.

3. Teori E-R-G ( Clayton Alderfer)


Alderfer (1972) mengemukakan tiga kategori kebutuhan. Kebutuhan
tersebut adalah ;
a. Eksistence (E) atau Eksistensi
Meliputi kebutuhan fisiologis sepeerti lapar, rasa haus, seks,
kebutuhan materi, dan lingkungan kerja yang menyenangkan.
b. Relatedness (R) atau keterkaitan
Menyangkut hubungan dengan orang-orang yang penting
bagi kita, seperti anggota keluarga, sahabat, dan penyelia di tempat
kerja.
c. Growth (G) atau pertumbuhan
Meliputi kenginginan kita untuk produktif dan kreatif
dengan mengerahkan segenap kesanggupan kita.

Alderfer menyatakan bahwa :


Pertama : bila kebutuhan akan eksistensi tidak terpenuhi,
pengaruhnya mungkin kuat, namun kategori-kategori kebutuhan lainnya
mungkin masih penting dalam mengarahkan perilaku untuk mencapai
tujuan.
Kedua : meskipun suatu kebutuhan terpenenuhi, kebutuhan dapat
berlangsung terus sebagai pengaruh kuat dalam keputusan.
Jadi secara umum mekanisme kebutuhan dapat dikatakan sebagai berikut :

Frustration Regression
Satisfaction Progression

4. Teori Motivasi Proses (Process Theory)


Teori ini berusaha agar setiap pekerja giat sesuai dengan harapan
organisasi perusahaan. Daya penggeraknya adalah harapan akan diperoleh
si pekerja. Dalam hal ini teori motivasi proses yang dikenal seperti :
Teori Harapan (Expectancy Theory), komponennya adalah: Harapan,
Nilai (Value), dan Pertautan (Instrumentality).
Teori Keadilan (Equity Theory), hal ini didasarkan tindakan keadilan
diseluruh lapisan serta obyektif di dalam lingkungan perusahaannya.
Teori Pengukuhan (Reinfocement Theory), hal ini didasarkan pada
hubungan sebab-akibat dari pelaku dengan pemberian kompensasi.
Beberapa tokoh yang mendukung teori ini adalah:
1. Equity Theory (S. Adams)
2. Expectancy Theory ( Victor
Vroom)
3. Goal Setting Theory (Edwin
Locke)
4. Reinforcement Theory ( B.F.
Skinner)
5. X Y Theory (Mc Gregor)

5. Teori Keadilan
Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk
menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan
organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang
pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak
memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar
Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan
tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Dalam menumbuhkan suatu persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya
menggunakan empat macam hal sebagai pembanding, hal itu antara lain :
Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak
diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan,
keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya;
Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang
kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang
bersangkutan sendiri;
Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di
kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis;
Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan
jenis imbalan yang pada nantinya akan menjadi hak dari para
pegawai yang bersangkutan.

6. Teori Harapan
Victor Vroom (1964) mengembangkan sebuah teori motivasi berdasarkan
kebutuhan infernal, tiga asumsi pokok Vroom dari teorinya adalah sebagai
berikut:
1. Setiap individu percaya bahwa bila ia berprilaku dengan cara tertentu,
ia akan memperoleh hal tertentu. Ini disebut sebuah harapan hasil
(outcome expectancy) sebagai penilaian subjektif seseorang atas
kemungkinan bahwa suatu hasil tertentu akan muncul dari tindakan
orang tersebut.
2. Setiap hasil mempunyai nilai, atau daya tarik bagi orang tertentu. Ini
disebut valensi (valence) sebagai nilai yang orang berikan kepada
suatu hasil yang diharapkan.
3. Setiap hasil berkaitan dengan suatu persepsi mengenai seberapa sulit
mencapai hasil tersebut. Ini disebut harapan usaha (effort expectancy)
sebagai kemungkinan bahwa usaha seseorang akan menghasilkan
pencapaian suatu tujuan tertentu.
Motivasi dijelaskan dengan mengkombinasikan ketiga prinsip ini. Orang
akan termotivasi bila ia percaya bahwa :
1. Suatu perilaku
tertentu akan menghasilkan hasil tertentu
3. Hasil tersebut punya nilai positif baginya
4. Hasil tersebut dapat dicapai dengan usaha yang dilakukan
seseorang
Dengan kata lain Motivasi, dalam teori harapan adalah keputusan untuk
mencurahkan usaha.

Praktek Motivasional : Goal Setting

1. Pengertian Teknik Goal Setting


Teori Goal Setting dikemukakan oleh Edwin Locke. Teori ini mengatakan
bahwa kita akan bergerak jika kita memiliki tujuan yang jelas dan pasti. Dari
teori ini muncul bahwa seseorang akan memiliki motivasi yang tinggi jika dia
memiliki tujuan yang jelas. Sehingga muncul apa yang disebut dengan Goal
Setting (penetapan tujuan) yang merupakan bagian dari tahapan konseling
Behaviorisme.
Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki
empat macam mekanisme motivasional yakni :
a. Tujuan tujuan mengarahkan perhatian;
b. Tujuan tujuan mengatur upaya;
c. Tujuan tujuan meningkatkan persistensi;
d. Tujuan tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan.
Teori ini juga mengungkapkan kuat lemahnya tingkah laku manusia
ditentukan oleh sifat tujuan yang hendak dicapai. Kecenderungan manusia
untuk berjuang lebih keras mencapai suatu tujuan, apabila tujuan itu jelas,
dipahami dan bermanfaat. Makin kabur atau makin sulit dipahami suatu
tujuan, akan makin besar keengganan untuk bertingkah laku.
Penetapan tujuan seperti halnya individu, kita menetapkan tujuan dan
kemudian bekerja untuk menyelesaikan tujuan tersebut. Orientasi terhadap
tujuan menetukan prilaku kita. Locke mengemukakan bahwa penetapan tujuan
adalah proses kognitif dari keperluan praktis. Pandangan Locke ialah bahwa
maksud dan tujuan individu yang didasari adalah determinan utama prilaku.
Salah satu dari karakteristik prilaku yang mempunyai tujuan tersebut terus
berlangsung sampai prilaku itu mencapai penyelesaiannya, yaitu sekali orang
memulai sesuatu (misalkan pekerjaan) ia terus terdorong sampai tercapainya
tujuan. Berikut uraian tentang penetapan tujuan:
a. Tujuan adalah subjek suatu tindakan
b. Keterincian tujuan (goal specifity) ialah tingkat presisi kuantitatif/kejelasan tujuan
tersebut
c. Kesukaran tujuan (goal difficulty) ialah tingkat keahlian atau tingkat prestasi yang
dicari
d. Intensitas tujuan (goal intensity) ialah menyangkut proses penetapan tujuan atau
menentukan bagaimana mencapai tujuan tersebut
e. Komitmen tujuan (goal commitment) ialah kadar usaha yang dilakukan untuk
mencapai suatu tujuan
Teori ini digunakan pada individu menetapkan sasaran pribadi terhadap
motivasi yang ingin dicapai. Sasaran sasaran pribadi memiliki nilai
kepentingan harapan pribadi (valence) yang berbeda beda. Contohnya ada
seorang anak yang menetapkan tujuan agar nilai fisikanya naik sebesar 30
point.

2. Tahapan dalam Goal Setting


Indikator dalam tahapan goal setting, yaitu sebagai berikut :
a) Mengungkapkan kembali pernyataan konseli tentang tujuan yang ingin
dicapai.
b) Mempertegas tujuan yang ingin dicapai.
c) Memberikan kepercayaan dan menyakinkan konseli bahwa konselor benar
benar ingin membantu konseli mencapai tujuan.
d) Membantu konseli memandang masalahnnya dengan memperhatikan
hambatan yang dihadapi untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai.
e) Merinci tujuan menjadi sub tujuan yang berurutan dan operasional.

3. Kelebihan dan Kelemahan Goal Setting


Kelebihan dari Goal Setting
Dengan memfokuskan pada perilaku khusus bahwa klien dapat berubah,
konselor dapat membantu klien ke arah pengertian yang lebih baik
terhadap apa yang harus dilakukan sebagai bagian dari proses konseling.
Dengan menitik beratkan pada tingkah laku khusus, memudahkan dalam
menentukan criteria keberhasilan proses konseling.
Memberikan peluang pada konselor untuk dapat menggunakan berbagai
teknik khusus guna menghasilkan perubahan perilaku.

Kekurangan dari Goal Setting

Keengganan untuk bertingkah laku sehingga goal settingyang telah dibuat


tidak tercapai. Kuat lemahnya tingkah laku manusia ditentukan oleh sifat
tujuan yang hendak dicapai. Kecenderungan manusia untuk berjuang lebih
keras mencapai suatu tujuan, apabila tujuan itu jelas, dipahami dan
bermanfaat. Makin kabur atau makin sulit dipahami suatu tujuan, akan
makin besar keengganan untuk bertingkah laku.
4. Contoh Kasus
Rasional Manusia dalam hidupnya selalu mengalami perkembangan mulai
dari kanak kanak sampai masa dewasa dan akhirnya mati. Dalam
perkembangannya ini tidak lepas dari yang namanya masalah. Ada beberapa
orang yang dapat mengatasi masalahnya sendiri, namun banyak orang yang
tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri sehingga memerlukan bantuan
seorang ahli yakni konselor. Permasalahan yang membutuhkan bantuan
seorang ahli biasanya dikategorikan sebagai masalah sedang sampai yang
berat. Individu yang mendapat perhatian utama dalam layanan bimbingan dan
konseling ialah individu yang mengalami hambatan dalam melaksanakan
tugas perkembangan. Misalkan saja, tugas perkembangan yang harus
dilaksanakan pada usia dewasa dini. Pada usia dewasa dini, memilih
pasangan atau istilahnya pacaran termasuk tugas perkembangan yang harus
dilaksanakan. Jika salah satu dari tugas perkembangan ini tidak dilaksanakan
maka dapat menghambat tugas perkembangan selanjutnya. Namun dalam
memilih pasangan (pacar) haruslah berdasarkan kriteria yang tepat bukan
hanya sekedar melihat dari segi fisiknya saja yakni berdasarkan ketampanan
atau kecantikan serta bukan hanya sekedar karena rasa belas kasihan semata,
karena hal ini akan berdampak buruk bagi yang menjalaninya. Orang tua juga
harus menjadi pertimbangan kita dalam memilih pasangan (pacar), karena
orangtua tahu mana yang baik yang dapat dijadikan pacar kita dan mana yang
buruk yang tidak pantas menjadi pacar kita. Jika pacar yang kita pilih tidak
sesuai dengan orangtua, maka dapat menimbulkan konflik bagi diri kita
sendiri. Seperti kasus, konseli (Bunga) mengalami konflik dalam berpacaran.
Bunga tidak dapat bersikap tegas untuk dapat memilih antara larangan orang
tua atau tetap memilih berpacaran dengan A. Bunga memilih pacar yang tidak
direstui oleh kedua orangtuanya karena pacar Bunga berasal dari keluarga
yang berantakan.
Pacar Bunga sebut saja A memiliki kebiasaan minum-minuman keras.
Bukan hanya itu, pacar Bunga yakni A adalah orang yang posessif(selalu
ingin memiliki) dan over protected (terlalu melindungi). Bunga merasa
bingung untuk bersikap tegas, apakah dia akan memutuskan sang pacar
karena tidak direstui oleh orangtua atau tetap menjalin hubungan karena
apabila ia putus dengan pacarnya, pacarnya mengancam akan kembali ke hal
hal yang negatif. Oleh karena itu, Bunga perlu mendapat penanganan
dengan pendekatan Behavior dengan Teknik Assertive Training yang disertai
dengan penetapan tujuan (Goal Setting).
Bunga adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Dia seorang gadis yang
periang dan cerewet. Kegiatannya setiap hari hanya kuliah. Bunga
mempunyai banyak teman, namun hanya sebatas pada teman perempuan. Di
kos Bunga termasuk anak yang rajin. Di sela sela waktunya, dia lebih suka
mengisinya dengan membersihkan kamarnya serta mengerjakan pekerjaan
kos seperti mencuci, menyetrika dan tak kalah penting yakni selalu menonton
sinetron Korea tiap sore hari sambil menuggu waktu maghrib. Apabila tidak
ada tugas kuliah, Bunga selalu membaca komik atau novel. Bunga bukan tipe
gadis yang dapat menyembunyikan perasaannya dengan baik. Jika dia
mempunyai permasalahan selalu tampak dari raut wajahnya. Jika sedang ada
masalah terutama dengan pacarnya dia lebih suka mengurung diri di kamar
dan menangis. Namun setelah perasaannya lumayan membaik, dia pasti
menceritakannya kepada temannya.
Teknik assertive training digunakan untuk orang-orang yang tidak mampu
mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung, menunjukkan
kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk
mendahuluinya, memiliki kesulitan untuk mengatakan tidak, mengalami
kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon respon positif lainnya,
dan merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan perasaan dan pikiran
pikiran sendiri.
Oleh karena itu, Bunga perlu mendapat penanganan dengan pendekatan
Behavior dengan Teknik Assertive Training. Pendekatan Behavioristik
dengan Teknik Assertive Training dipilih untuk menangani kasus Bunga, agar
Bunga mampu berperilaku tegas untuk dapat memilih antara putus dengan
sang pacar karena tidak direstui oleh orangtua atau tetap menjalin hubungan
(berpacaran) dengan pacarnya karena takut apabila putus dengan A, maka A
akan kembali ke kebiasaan kebiasaannya yang negatif yakni minum
minuman keras.
Ketercapaian tujuan konseling Tujuan dari konseling Behavior dengan
teknik Assertive Training ini adalah agar konseli mampu bersikap tegas.
Semula konseli mengalami konflik, ia bingung mau memilih yang mana.
Orang tua konseli tidak menyetujui konseli berpacaran dengan A. Sedangkan
konseli takut kalau seandainya konseli putus dengan A, maka A mengancam
untuk kembali minum-minuman keras dan tidak melaksanakan sholat.
Padahal sebenarnya, konseli sudah tidak ingin menjalin hubungan dengan A
karena A terlalu protected dan posessif. Namun konseli takut untuk
mengatakan putus pada A. Konseli juga merasa tidak enak karena sudah
mengenal akrab keluarga A.
Setelah melaksanakan konseling, konseli yang awalnya belum bisa
berperilaku tegas untuk mengatakan putus pada pacarnya maka setelah
konselor memberikan model akhirnya konseli mampu mengatakan secara
tegas perasaan yang selama ini dipendamnya. Sebagai contoh pada proses
konseling, Konselor : Apakah kamu mampu mengucapkan kata putus pada
pacar kamu tanpa ada rasa belas kasihan lagi ? Konseli : Ya, saya berjanji
akan mengatakan putus hubungan pacaran tanpa ada rasa kasihan. Saya akan
berjanji bahwa saya sanggup dan mampu untuk bersikap tegas pada pacar
saya. Konselor : Apa kamu yakin bisa benar benar mengucapkan kata
kata putus pada pacar kamu setelah proses konseling ini usai ? Konseli : Ya,
saya yakin pasti bisa. Saya sudah tidak akan menunda nunda untuk
mengatakan putus lagi. Pada proses konseling yang kedua, konselor
mengevaluasi hasil pertemuan sebelumnya. Konseli mengatakan bahwa ia
telah memutuskan A dan sekarang perasaan konseli lega, bahkan sangat lega.
Konseli merasa sudah tidak ada beban dan perasaan takut serta rasa
tertekannya kini telah hilang. Jadi tujuan dari konseling Behavior dengan
teknik Assertive Training telah tercapai.
Kesenjangan antara tuntutan teori dan praktek Pada teori, untuk dapat
membuat konseli lebih terbuka dan sukarela mengungkapkan
permasalahannya maka dibutuhkan membina hubungan baik yang banyak.
Dari sudut teori tentang hasil analisis mengenai kasus ini dimulai dari
Tahap Assesment, diperlukan untuk memperoleh informasi model mana yang
akan dipilih sesuai dengan tingkah laku yang ingin dirubah. Konseli awalnya
masih malu untuk menceritakan permasalahannya tapi setelah konselor
meyakinkan konseli akhirnya konseli mau menceritakan permasalahannya.
Konselor mendapat informasi yang lengkap dari konseli karena konseli
anaknya cerewet jadi konseli dengan terbuka menceritakannya. Tahap Goal
setting, pada tahap ini konselor dan konseli menyusun perangkat untuk
merumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam konseling. Biasanya tujuan ini
memberi motivasi dalam mengubah tingkah laku konseli dan menjadi
pedoman teknik mana yang akan dipakai. Konselor menanyakan kepada
konseli tujuan yang ingin dicapai dari proses konseling ini. Konseli
menjawab bahwa tujuan yang ingin dicapai dari konseling ini adalah
keberanian untuk berkata tegas pada pacarnya, konseli ingin putus darinya.
Konselor merasa bahwa tujuan yang diharapkan konseli memang terbaik bagi
konseli. Tahap Technique implementation,yaitu menentukan strategi belajar
yang akan dipakai dalam mencapai tingkah laku yang ingin diubah. Konselor
menggunakan teknik assertive training sebagai teknik yang digunakan untuk
memecahkan permasalahan konseli yang tidak bisa berkata tegas pada
pacarnya. Teknik menggunakanrole playing atau bermain peran. Semula
konseli berperan sebagai dirinya dan konselor berperan sebagai pacar konseli,
namun konseli masih belum bisa untuk mengeluarkan segala perasaan dan
emosinya. Kemudian konselor dan konseli bertukar peran, konselor jadi
konseli dan konseli jadi pacar konseli. konselor meluapkan segala yang
dirasakan konseli, segala emosi, dan harapan konseli kepada konseli yang
berperan sebagai pacarnya. Setelah itu, konselor melatih konseli untuk
berkata tegas dengan berbagai kata-kata yang harus ditepati klien untuk
dilaksanakan. Technique implementation ini tepat digunakan untuk konseli
dengan permasalahan yang tidak dapat berkata tegas. Konselor dapat
mengetahuinya dari kasus di atas dengan konseli dapat mengambil keputusan
untuk memutuskan pacarnya. Tahap Evaluation Termination, Evaluasi
disini yakni konselor melihat apa yang telah diperbuat oleh konseli,
keefektifan konseling dan teknik yang digunakan. Sedangkan termination
adalah berhenti untuk melihat apakah konseli bertindak tepat.
Konselor melakukan evaluasi pada pertemuan ke-2. Konselor memantau
yang telah dilaksanakan konseli. Konseli menceritakan bahwa dirinya telah
mengungkapkan segala emosi yang selama ini dipendam tanpa memikirkan
rasa kasihan lagi pada pacarnya. Konselor merasa proses yang dilakukan telah
berhasil sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai konseli. Pengalaman
konselor merasa senang karena telah berhasil membantu konseli sehingga
tujuan yang diharapkan konseli dapat tercapai. Konselor menjadi dapat
menerapkan penggunaan teknik assertive training pada konseli yang tidak
dapat berkata tidak.

Praktek Motivasional : Work Redesign

1. The Job Characteristic Model


The five core job dimensions:
a. Skill variety : mengacu pada sejauh mana pekerjaan
mengharuskan seseorang untuk memanfaaatkan berapa keterampilan
tingkat tinggi.
b. Task identify : mengacu pada sejauh mana seseorang bertanggung
jawab menyelesaikan sebagian pekerjaan yang dapat diidentifikasi dari
awal sampai akhir.
c. Task significance : mengacu pada apakah pekerjaan seseorang secara
substansial mempengaruhi pekerjaan, kesehatan, atau kesejahteraan
orang lain.
d. Autonomy : mengacu pada sejauh mana seseorang memiliki
kebebasan untuk memutuskan bagaimana melakukan tugas tugasnya.
e. Feedback : mengacu pada sejauh mana seseorang belajar
bagaimana efektifitas mereka saat berada di tempat kerja.

2. Bagaimana Pekerjaan Dirancang Ulang?


Merancang ulang atau redesign pekerjaan mengacu pada perubahan
pekerjaan yang meningkatkan kualitas kerja atau produktivitas. Redesign
pekerjaan merupakan cara untuk memperluas pekerjaan karyawan dengan
merancang ulang aspek-aspek tertentu yang berkaitan dengan ruang
lungkup dan kedalaman dari apa yang seorang karyawan lakukan dan
bertanggung jawab di organisasi. Dengan demikian pada dasarnya
manager mencegah karyawan kehilangan motivasi dan minat dalam
pekerjaan mereka. Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk mendesign
ulang pekerjaan keryawan, antara lain:
a. Job enrichment
Menyediakan karyawan dengan banyak tugas yang harus dilakuakan
sebagai bagian dari pekerjaan mereka, serta tanggung jawab dan
wewenang yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas
tambahan. Agar dapat meningkatkan motivasi, job enrichment yang
diberikan kepada karyawan merupakan tugas-tugas tambahan yang
sesuai dengan keterampilan, pengetahuan dan kemampuan yang
dimiliki.
b. Job enlargement
Strategi redesign pekerjaan yang hanya meningkatkan tugas pekerjaan
tertentu untuk memotivasi pekerja. Pada dasarnya bukan seorang
karyawan mengulangi langkah yang sama pada setiap produk namun
nereka melakukan beberapa tugas pada satu item. Karyawan yang akan
diberikan job enlargement, perlu dilatih ulang dalam bidang baru untuk
memahami bagaimana masing-masing bidang pekerjaan,
c. Job rotation
Strategi redesign pekerjaan akhir yang menetapkan pekerja untuk
pekerjaan alternative secara sementara. Job rotation berguna dan
memotivasi dalam beberapa cara. Pertama, menyediakan karyawan
dengan sesuatu yang baru untuk belajar dan melakukan sesuatu
melampaui apa yang biasa mereka lakukan. Kedua, menyediakan
karyawan dengan perspektif yang lebih luas tentang bagaimana
organisasi beroperasi secara keseluruhan. Ketiga, meningkatkan
pemahaman karyawan tentang apa yang rekan kerjanya lakukan , yang
mengarah ke tingkat yang lebih tinggi untuk menghormati apa yang
orang lain lakukan. Terakhir, menawarkan kesempatan kepada
karyawan untuk menambah keterampilan, yang meningkatkan nilai
mereka bagi organisasi mereka.

Praktek Motivasional : Organizational Beharor Modification

1. Pengertian Organizational Beharor


Modification
Adalah program dimana seorang manager mengidentifikasi perilaku
karyawannya yang berhubungan dengan kinerja, kemudian menerpakan
strategi intervensi untuk memperkuat perilaku yang diinginkan dan
melemahkan perilaku yang tidak diinginkan.

2. Langkah-langkah dalam Organizational


Beharor Modification
Identifikasi perilaku sasaran
Manager mengidentifikasi perilaku yang diinginkan dan tidak diinginkan
dari sudut pandang organisasi. Perilaku kritis dapat diindentikasi oleh
orang yang paling dekat dengan pekerjaan seperti atasan langsung atau
pemegang pekerjaan. Beberpa perilaku yang sangat mempengaruhi
prestasi kerja, misalknya absesnsi atau kehadiran, keterlambatan atau
ketepatan, keluhan atau kritik yang membangun.
Pengukuran perilaku
Menghitung berapa kali perilaku tersebut terjadi dalam kondisi yang ada.
Hal ini juga dapat memberikan wawasan tentang keadaan yang terkait
dengan setiap perilaku kritis.
Identifikasi konsekuensi perilaku melalui analisis fungsional
Untuk menganalisis pola-pola perilaku yang membutuhkan modifikasi
lanjutan. Konsekuensi kontingen perilaku berdampak pada perilaku
berikutnya, maka analisis fungsional harus memastikan bahwa
konsekuensi kontingen diidentifikasi. Analisis fungsional sering
mengungkapkan bahwa ada banyak kontinjensi bersaing untuk setiap
perilaku organisasi.
Pengembangan strategi intervensi
Stategi intervensi yaitu strategi untuk memperkuat perilaku yang
diinginkan dan melemahkan perilaku tidak diinginkan. Ada dua strategi:
Penguatan positif
Hal yang diinginkan meningkat bila diikuti stimulus yang
mendukung. Bentuk-bentuk penguatan positif adalah berupa
hadiah, perilaku, atau penghargaan,
Hukuman atau penguatan negatif
Digunakan untuk mengurangi perilaku yang disfungsional. Strategi
ini tidak boleh digunakan sendiri, tetapi selalu dikombinasikan
dengan penguatan positif. Karena bila karyawan di tekan, dapat
memungkinkan muncul hal-hal yang tidak diinginkan. Selain itu,
sulit bagi seorang supervisor untuk beralih peran dari seorang
punisher ke rainforcer positif. Brntuk-bentuk penguatan negative
antara lain: menunda atau tidak memberi penghargaan,
memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak
senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa, dll)
Evaluasi
Mengungkapkan apakah perilaku yang tidak diinginkan telah digantikan
oleh perilaku yang diinginkan. Hal ini juga akan mengungkapkan jika
karyawan telah mengalami perubahan permanen dalam perilaku. Untuk
mengevaluasi keberhasilan program organizational beharor modification,
manager dapat melakukan penilaian peningkatan kerja, omset, absensi,
keterlambatan, dll.

Praktek Motivasional : Reward System

1. Definisi
a) Definisi Reward (penghargaan)
Imbalan adalah jumlah pembayaran yang diterima dan tingkat
kesesuaian antara pembayaran tersebut dengan pekerjaan yang dilakukan.
(Prof. Dr. FX. Suwarto, M.S.) Penghargaan (reward) adalah sebuah bentuk
apresiasi kepada suatu prestasi tertentu yang diberikan, baik oleh dan dari
perorangan ataupun suatu lembaga yang biasanya diberikan dalam bentuk
material atau ucapan. Dalam organisasi ada istilah insentif, yang
merupakan suatu penghargaan dalam bentuk material atau non material
yang diberikan oleh pihak pimpinan organisasi perusahaan kepada
karyawan agar mereka bekerja dengan menjadikan modal motivasi yang
tinggi dan berprestasi dalam mencapai tujuan-tujuan perusahaan atau
organisasi.
Imbalan intrinsic adalah imbalan yang merupakan bagian dari
pekerjaan itu sendiri, imbalan tersebut mencakup rasa penyelesaian,
prestasi, otonomi dan pertumbuhan, maksudnya kemampuan untuk
memulai atau menyelesaikan suatu proyek pekerjaan merupakan hal yang
penting bagi sejumlah individu. (Prof. Dr. FX. Suwarto, M.S.)
Imbalan ekstrinsik adalah imbalan yang berasal dari pekerjaan.
Imbalan tersebut mencakup: uang, status, promosi dan rasa hormat.
Imbalan uang (Financial reward: Fringe Benefits) adalah imbalan
ekstrinsik yang utama, dan secara umum diakui bahwa uang adalah
pendorong utama, namun jika karyawan tidak melihat adanya hubungan
antara prestasi dengan kenaikan yang pantas, uang tidak akan menjadi
motivator yang kuat sehingga perlu diciptakan system penilaian prestasi
yang jelas.
Tunjangan utama dari kebanyakan organisasi adalah program
pensiun, biaya opname, dan sebagainya.
Status adalah imbalan antar pribadi (Interpersonal reward) yaitu
dengan menugaskan individu pada pekerjaan yang berwibawa.
Rasa hormat/pengakuan adalah penggunaan manajerial atas
pengakuan atau penghargaan melibatkan pengetahuan manajer tentang
pelaksanaan pekerjaan yang baik
Promosi adalah perpindahan seorang karyawan dari satu tempat/
jabatan ke tempat/jabatan lain yang lebih tinggi.
b) Definisi Hukuman (Punishment)
Hukuman (punishment) adalah sebuah cara untuk mengarahkan
sebuah tingkah laku agar sesuai dengan tingkah laku yang berlaku secara
umum. Dalam hal ini, hukuman diberikan ketika sebuah tingkah laku yang
tidak diharapkan ditampilkan oleh orang yang bersangkutan atau orang
yang bersangkutan tidak memberikan respon atau tidak menampilkan
sebuah tingkah laku yang diharapkan.
E.L. Thorndike (Reward and punishment in animal learning,
Contemporary psychological monograph, 1883, 8, no. 9) mengemukakan
bahwa hukuman memaksakan dampaknya atas perilaku dengan
melemahkan hubungan antara stimulus dan tanggapan selanjutnya ia
meninjau ulang tentang pernyataanya tersebut. Ia membantah bahwa
bilamana hukuman nampak melemakan tanggapan, hal itu merupakan
dampak tidak langsung.
Dalam menjalankan organisasi diperlukan sebuah aturan dan
hukum yang berfungsi sebagai alat pengendali agar kinerja pada organisasi
tersebut dapat berjalan dengan baik. Jika aturan dan hukum dalam suatu
organisasi tidak berjalan baik maka akan terjadi konflik kepentingan baik
antar individu maupun antar organisasi.
Pada beberapa kondisi tertentu, penggunaan hukuman dapat lebih
efektif untuk merubah perilaku pegawai, yaitu dengan
mempertimbangkan: Waktu, Intensitas, Jadwal, Klarifikasi, dan
Impersonalitas (tidak bersifat pribadi).
2. Penghargaan (Reward) dan
Hukuman (Punishment) dalam Organisasi
Dalam berorganisai misalnya, pemberlakuan metode Reward And
Punishment merupakan hal yang penting untuk membentuk pribadi dari warga
organisasi tersebut. Jika Punishment menghasilkan efek jera, maka Reward
akan menghasilkan efek sebaliknya yaitu ketauladanan, untuk membuat
Reward dan Punishment dapat berjalan denga baik diperlukan nya konsistensi
yang dapat menjamin bahwa reward yang diberikan haruslah bersifat konkrit
(bermanfaat), dan Punishment yang diberikan bersifat keras dan tidak pandang
bulu.
Secara teori, penerapan reward dan punishment secara konsekuen dapat
membawa pengaruh positif, antara lain:
Mekanisme dan sistem kerja di Suatu Organisai menjadi lebih baik, karena
adanya tolak ukur kinerja yang jelas.
Kinerja individu dalam suatu Organisasi semakin meningkat, karena
adanya sistem pengawasan yang obyektif dan tepat sasaran.
Adaya kepastian indikator kinerja yang menjadi ukuran kuantitatif maupun
kualitatif tingkat pencapaian kinerja para individu organisasi.

Pada dasarnya keduanya sama-sama dibutuhkan dalam memotivasi


seseorang, termasuk dalam memotivasi para pegawai dalam meningkatkan
kinerjanya. Keduanya merupakan reaksi dari seorang pimpinan terhadap
kinerja dan produktivitas yang telah ditunjukkan oleh bawahannya; hukuman
untuk perbuatan jahat dan ganjaran untuk perbuatan baik. Melihat dari
fungsinya itu, seolah keduanya berlawanan, tetapi pada hakekatnya sama-sama
bertujuan agar seseorang menjadi lebih baik, termasuk dalam memotivasi para
pegawai dalam bekerja.

3. Tujuan Penghargaan (Reward)


dan Hukuman (Punishment)
Ada tiga fungsi atau tujuan penting dari penghargaan yang berperan besar
bagi pembentukan tingkah laku yang diharapkan:
Memperkuat motivasi untuk memacu diri agar mencapai prestasi
Memberikan tanda bagi seseorang yang memiliki kemampuan
lebih
Bersifat Universal

Ada tiga fungsi atau tujuan penting dari hukuman yang berperan besar
bagi pembentukan tingkah laku yang diharapkan:
Membatasi perilaku. Hukuman menghalangi terjadinya
pengulangan tingkah laku yang tidak diharapkan.
Bersifat mendidik.
Memperkuat motivasi untuk menghindarkan diri dari tingkah laku
yang tidak diharapkan

DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. FX. Suwarto, M.S. . 2011.Perilaku Keorganisasian : Universitas Atma
Jaya Yogyakarta
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, M.P.A.2002 .Kiat Meningkatkan Produktivitas
Kerja .Jakarta :Rineka Cipta

http://hairulamry.page.tl/%3Cscript-type-g-hidden-g-%3E-Proses-Pelaksanaan-
Rekruitmen,-Seleksi,-Dan-Penempatan-Karyawan%3C-s-script%3E.htm

https://irrineayu.wordpress.com/2015/03/22/rekrutmen-karyawan-definisi-tujuan-
proses-dan-kendala-rekrutmen/

http://rinaldi-pakuli-pata-rekrutmen-ppe-oi.blogspot.co.id/2013/03/program-
rekrutmen-seleksi-dan-penempatan.html
http://percikcahaya.blogspot.co.id/2011/05/metode-dan-teknik-rekrutmen.html
http://imadeyudierawan.blogspot.co.id/2010/08/metode-rekruitmen.html
https://shelmi.wordpress.com/2008/10/25/proses-seleksi/
http://www.kajianpustaka.com/2012/10/metode-prosedur-seleksi-penerimaan-
karyawan.html
http://www.praswck.com/teori-kebutuhan-abraham-maslow
https://budishia.wordpress.com/2009/12/29/teori-kebutuhan-menurut-maslow/
http://kulpulan-materi.blogspot.co.id/2012/12/teori-teori-lain-dalam-
meningkatkan.html
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:R4Mdx-
O4ruAJ:www.slideshare.net/YuRiCocengtempe/teori-penetapan-tujuan-goal-
setting/
http://culiscyiang.blogspot.co.id/2012/06/teknik-goal-setting.html
http://fourthing.wordpress.com/2012/11/11/reward-and-punishment/
http://elqorni.wordpress.com/2009/03/21/teori-motivasi-dalam-manajemen-sdm/
http://aiyyprabowo.blogspot.com/2011/12/teori-motivasi-david-c-mcclelland.html
http://kuliahkomunikasi.blogspot.com/2008/11/teori-motivasi-mcclelland-teori-
dua.html
http://rajapresentasi.com/2009/03/teori-hirarki-motivasi-dari-abraham-maslow/
http://catatankuliahdigital.blogspot.com/2009/09/teori-teori-motivasi.html
http://tutorialkuliah.blogspot.com/2009/10/tugas-kuliah-teori-x-douglas-
mcgregor.html

Anda mungkin juga menyukai