Anda di halaman 1dari 31

KEANEKARAGAMAN SPESIES DAN TEKNIK APLIKASINYA

MAKALAH
Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Biodiversitas
yang dibimbing oleh Desi Kartikasari, M.Si

Oleh
Iis Nurrahmawati (17208153041)
Mayudha Prayuga (17208153060)
Rika Santica Devi (17208153067)
Risqi Khoirurohmah (17208153069)

JURUSAN TADRIS BIOLOGI


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
April 2017
KATA PENGANTAR

Tiada kata yang pantas pertama kali diucapan selain ucapan syukur kepada
ALLAH SWT dengan ucapan Alhamdulillahirrabilaalamin yang mana kita telah
diberi nikmat yang luar biasa dan dengan petunjuknya sehingga kita dapat
menyelesaikan makalah tepat dengan waktunya. Shalawat serta salam tidak lupa
kami ucapkan kepada baginda nabi Muhammad SAW. serta para keluarga,
sahabat, tabiin dan para pengikutnya dan dengan itu kita selalu menantikan
syafaatnya kelak di hari pembalasan.
Pada kesempatan yang sangat baik ini kami menyusun sebuah makalah
yang berjudul Keanekaragaman Spesies dan Teknik Aplikasinya.
Sebelumnya kami mengucapkan terimakasih kepada.
1. Rektor IAIN Tulungagung Dr. Maftukhin, M.Pd yang telah memberikan
kesempatan kepada kami untuk belajar di kampus tercinta ini.
2. Dosen matakuliah Biodiversitas Ibu Desi Kartikasari, M.S.i yang telah
memberikan kepercayaan kepada kami untuk menyusun makalah ini.
3. Teman-teman yang ikut membantu dalam pembuatan makalah ini. Dengan
amanat itu kami akan memberikan hasil yang terbaik untuk makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak untuk mengevaluasi makalah ini. Penyusun
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semuanya.

Tulungagung, April 2016

Tim penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2
BAB II : PEMBAHASAN 3
A. Keanekaragaman Spesies 3
B. Negara Megadiversitas 5
C. Kriteria negara megadiversitas 6
D. Wilayah dengan keanekaragaman tinggi....................................... 8
E. Gradien keanekaragaman hayati.................................................... 11
F. Faktor penentu gradien keanekaragaman hayati............................. 11
G.Teori biogeografi pulau................................................................... 14
H.Teknik pencuplikan dan analisis keanekaragaman spesies............. 15
BAB III : PENUTUP 28
A. Kesimpulan 28
B. Saran 28
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

Pada Bab I ini diuraikan 1) latar belakang, 2) rumusan masalah, dan 3)


tujuan penulisan yang dipaparkan dibawah ini.

A. Latar Belakang
Keanekaragaman Spesies (Diversity Species) adalah variasi keanegaragaman
spesies baik tumbuhan, hewan dan organisme yang hidup di suatu ekosistem atau
tempat tertentu. Perbedaan keanekaragaman spesies merupakan ciri suatu
komunitas yang paling mencolok. Kecenderungan tingginya kekayaan spesies
tumbuhan di wilayah tropis juga dikuti oleh spesies hewan misalnya mamalia.
Negara atau wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi
dibandingkan luas daratan yang dimilikinya disebut Negara Megadiversitas.
Konsep Negara megadiversitas dekat hubungannya dengan istilah pusat
keanekaragaman yang merupakan area dengan keanekaragaman hayati tinggi
yang merupakan tempat dengan kekayaan spesies dan endermisme yang tinggi.
Ada beberapa kriteria untuk menentukan suatu area atau Negara dianggap
sebagai Negara megadiversitas. Para ahli menggunakan pendekatan yang berbeda
beda. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut. Kekayaan spesies, endemisme,
habitat, Adanya ekosistem hutan tropis, keragaman budaya. Wilayah tropis
diketahui memiliki keanekaragaman spesies yang sangat tinggi. Beragam
serangga kanopi telah didapatkan dari wilayah ini sebagai contoh di suatu wilayah
pada garis 60 lintang utara terdapat 10 spesies semut dan meningkat menjadi
2000 di wilayah tropis. Ekoton merupakan daerah perbatasan antar dua habitat,
misalnya batas anatara hutan dengan padang rumput. Daerah ini mendukung
spesies di kedua tipe habitat, baik yang berasal dari hutan maupun padang rumput,
sehingga jumlah spesies yang berada di dalamnya lebih banyak. keanekaragaman
spesies di dasar samudra jauh lebih tinggi dibandingkan perkiraan sebelumnya.
Sebagai contoh sampel dari 233 lokasi pada kedalaman antara 1500-2500
mengandung 798 spesies dari 171 famili.
Analisis keanekaragaman spesies memerlukan data tentang spesies yang
dianalisis. Ada dua data yang sangat diperlukan yaitu, jumlah kekayaan jenis
(Species richness) dan kerapatan (density) atau kelimpahan (abundance) Untuk

1
2

memperoleh data kekayaan jenis bisa dilakukan metode yang cukup sederhana
misalnya eksplorasi dengan cara menjelajahi habitat dari jenis- jenis yang akan
dianalisis. Untuk menentukan kerapatan (density) atau kelimpahan (abundance)
ada berbagai metode yang digunakan. Pengukuran kelimpahan hewan dan
tumbuhan sebenarnya tidak ada perbedaan prinsip, namun teknik pengukurannya
bisa menggunakan metode yang beragam.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah disajikan sebagai
berikut.
1) Apa yang dimaksud dengan keanekaragaman spesies?
2) Apa yang dimaksud Negara megadiversitas?
3) Bagaimana kriteria Negara megadiversitas?
4) Wilayah apa saja yang memiliki keanekaragaman tinggi?
5) Bagaimana gradient keanekaragaman hayati?
6) Apa saja faktor penentu gradient keanekaragaman hayati?
7) Bagaimana teori biogeografi pulau?
8) Bagaimana cara teknik pencuplikan dan analisis keanekaragaman spesies?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijabarkan di atas maka tujuan
penulisan pada makalah ini sebagai berikut.
1) Menjelaskan maksud keanekaragaman spesies
2) Menjelaskan maksud Negara megadiversitas
3) Menjelaskan kriteria Negara megadiversitas
4) Menjelaskan wilayah yang memiliki keanekaragaman tinggi
5) Menjelaskan gradient keanekaragaman hayati
6) Menjelaskan faktor penentu gradient keanekaragaman hayati
7) Menjelaskan teori biogeografi pulau
8) Menjelaskan bagaimana cara teknik pencuplikan dan analisis
keanekaragaman spesies
BAB II
PEMBAHASAN

A. Keanekaragaman Spesies
Keanekaragaman spesies adalah variasi keanegaragaman spesies baik
tumbuhan, hewan dan organisme yang hidup di suatu ekosistem atau tempat
tertentu.
Komunitas satu dengan yang lainnya dapat dibedakan dari jumlah spesies
yang dimiliki. Perbedaan keanekaragaman spesies merupakan ciri suatu
komunitas yang paling mencolok. Hal ini menimbulkan satu pertanyaan
fundamental mengapa beberapa komunitas memiliki jumlah spesies yang lebih
tinggi. Sebagai perbandingan, Brazil yang memiliki tingkat kekayaan
tumbuhan tertinggi 50.000 spesies dan Indonesia yang berada ditingkat nomor
3 dengan kekayaan tumbuhan 37.000 spesies merupakan Negara yang terletak
di wilayah tropis, sedangkan Afrika Selatan, Inggris, dan Australia yang
berada di kawasan temperata hanya memiliki jumlah spesies tumbuhan yang
berkisar antara 15.000 hingga 23.420 spesies1.
Kecenderungan tingginya kekayaan spesies tumbuhan di wilayah tropis
juga dikuti oleh spesies hewan misalnya mamalia. Brazil yang memiliki
tingkat kekayaan mamalia tertinggi 524 spesies, dan Indonesia yang berada di
peringkat ke dua (514 spesies) merupakan Negara yang terletak pada wilayah
tropis sedangkan Inggris, Australia, dan Argentina, yang berada di kawasan
temperata hanya memiliki jumlah spesies mamalia yang berkisar antara 255
hingga 428 spesies.

1
Amin S. Leksono, Keanekaragaman Hayati, (Malang: UB Press,), hal. 43

3
4

Perbandingan Keanekaragaman spesies dunia2

Gambar 1.1 Kekayaan jumlah spesies tumbuhan di wilayah tropis dan temperata

2
Ibid., hal. 44-45
5

Gambar 1.2 Kekayaan jumlah spesies mamalia di wilayah tropis dan temperata

B. Negara Megadiversitas
Negara atau wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang
tinggi dibandingkan luas daratan yang dimilikinya disebut Negara
Megadiversitas istilah ini pertama kali dikenalkan oleh Mettermicr dkk (1997)
6

yang menitik beratkan pada kekayaan primata3. Dalam perkembangan istilah


ini kemudian digunakan untuk penyebutan kekayaan seluruh tingkatan
keanekaragaman hayati termasuk ekosistem dan beberapa kelompok
organisme. Konsep Negara megadiversitas dekat hubungannya dengan istilah
pusat keanekaragaman yang merupakan area dengan keanekaragaman hayati
tinggi yang merupakan tempat dengan kekayaan spesies dan endermisme yang
tinggi.

C. Kriteria Negara Megadiversitas


Ada beberapa kriteria untuk menentukan suatu area atau Negara dianggap
sebagai Negara megadiversitas. Para ahli menggunakan pendekatan yang
berbeda beda. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut.
Kekayaan spesies
Kekayaan spesies yang menjadi dasar penentuan Negara
megadiversitas adalah kekayaan spesies tumbuhan serta empat kelompok
hewan vertebrata yaitu: amfibi, reptil, burung dan mamalia. Kekayaan
spesies organisme tersebut, terutama kekayaan spesies tumbuhan dapat
dihubungkan dengan kekayaan organisme lain. Misalnya kekayaan spesies
serangga ditentukan oleh kekayaan spesies tumbuhan karena 50%
serangga merupakan herbivora (pemakan tumbuhan). Jika datanya tersedia
maka kekayaan spesies yang lain (misalnya invertebrate) juga berharga
untuk masuk menjadi kriteria.
Konsentrasi endemisme
Konsentrasi endemisme dihitung dari presentasi spesies endemik
tehadap total spesies yang dimiliki oleh suatu Negara atau area. Kriteria ini
juga didasarkan pada spesies organisme yang sudah dikenal seperti kriteria
pertama.
Keragaman habitat
Keragaman habitat ditentukan dari variasi ekosistem yang ada di suatu
Negara. Biasanya variasi ini ditentukan dari vegetasi tumbuhan yang ada.
Kriteria ini mirip dengan konsep keanekaragaman beta yang diukur dari
turnover spasial suatu spesies dengan habitat tetangga. Keanekaragama
3
Ibid., hal. 45
7

beta yang lebih tinggi sering merupakan hasil dari interogenitas kondisi
ekologi
Adanya ekosistem hutan tropis
Keberadaan ekosistem hutan tropis terutama hutan hujan menjadi
kriteria tersendiri untuk menentukan Negara megadiversitas hal ini
disebabkan karena hutan hujan tropis merupakan ekosistem daratan yang
memiliki kekayaan spesies tertinggi. Penentuan kriteria ini bersifat
kualitatif tanpa adanya pengukuran kuantitatif.
Ada tidaknya ekosistem laut
Keberadaan ekosistem lautan menjadi kriteria tersendiri mengingat
ekosistem lautan mengandung kekayaan spesies yang sangat tinggi. Dari
33 fila hewan yang dikenal 28 diantaranya ada di lautan dan 13 bersifat
ekslusif. Dibandingkan dengan ekosistem daratan yang hanya ditempati
oleh 10 fila dan hanya satu yang endemik di daratan. Selain itu lautan juga
merupakan habitat ikan, menjadi kriteria tambahan.
Keragaman budaya
Kriteria ini ditunjukan pada keragaman kelompok etnik (pengguna
bahasa daerah tertentu) yang ada di suatu Negara. Hal ini didasarkan pada
hubungan yang kuat anatara keanekaragaman hayati dengan
keanekaragaman budaya. Dimensi kultural yang berbeda di suatu Negara
telah memainkan peran penting dalam menjaga, mengelola dan
menghargai kekayaan keanekargaman hayati di lingkungan tempat
tinggalnya.
Dari kriteria di atas maka Indonesia tergolong Negara megadiversitas
yang memiliki kekayaan hayati sangat tinggi. Dengan kekayaan yang
tinggi itu, Indonesia menempati urutan ke dua Negara megadiversitas
dengan skor 40 setelah brazil dengan skor 48. Skor ini dihitung dengan
kriteria keragaman tumbuhan, amfibi, reptil, burung, mamalia, beserta
tingkat endemisme kelima kelompok organisme tersebut ditambah dengan
keragaman spesies ikan air tawar, kupu kupu dan kumbang harimau
(Famili Cicindelidae).
Tabel 1.1 Rangking 12 megadiversitas berdasarkan kekayaan spesies
dan tingkat endemisme.
No. Negara Skor Total
8

Kekayaan Spesies Endemisme


1 Brazil 30 18 48
2 Indonesia 18 22 40
3 Kolombia 26 10 36
4 Australia 5 16 21
5 Meksiko 8 7 15
6 Madagaskar 2 12 14
7 Peru 9 3 12
8 Cina 7 2 9
9 Filiphina 0 8 8
10 India 4 4 8
11 Ekuador 5 0 5
12 Venezuela 3 0 3

Diantara ke 12 negara megadiversitas yang ada di table 1.1 Indonesia


merupakan Negara terkaya dalam endemisme. Hutan hujan tropis di
Indonesia merupakan Negara terkaya dalam endemisme. Hutan hujan
tropis di Indonesia diperkirakan menyimpan 37.000 spesies tumbuhan dan
14.800-18.500 spesies di antaranya adalah endemic, sejumlah 100 spesies
amfibi, 150 reptil 397 burung dan 201 spesies mamalia endemik di
Indonesia.

D. Wilayah dengan keanekaragaman tinggi


Konsentrasi keanekaragaman gen, spesies dan ekosistem secara spesial
dapat diketahui dari data hot spot (titik panas) keanekaragaman hayati4.
Sebagai contoh, sejumlah 110.000 (44%) tumbuhan berpembuluh dan 35%
seluruh spesies vertebrata berada 26 hot spot keanekaragaman hayati yang
hanya meliputi 1,4% luas daratan. Dua hot spot tersebut terdapat di Indonesia
yaitu kawasan paparan sunda dan kawasan Wallacea. Sebagian besar
organisme yang ada didaerah hot spot belum banyak di teliti oleh para ahli,
Karena distribusi para ahli tidak sesuai dengan distribusi spesies, di Inggris
terdapat lebih banyak botani dibandingkan jumlah spesies tumbuhan
berbunga. Hal ini kontras terdapat Negara hot spot, Brazil yang memiliki
50000 spesies tumbuhan hanya memiliki 200 ahli botani, dan jumlah ini masih
lebih besar dibandingkan dengan botaniawan di Indonesia.

4
Buku bu desi, hal. 48
9

Gambar 1.3 Titik panas keanekaragaman hayati global yang diidentifikasi oleh
conversation International. Sebagian berada di wilayah tropis, timur tengah,
kepulauan dan jalur pantai yang memiliki penghalang fisik sehingga
meningkatkan spesiasi

Secara umum terdapat tiga wilayah dengan keanekaragaman tinggi yaitu


tropika, ekoton dan dasar samudara.
Kecenderungan keanekaragaman secara latitude
Jumlah spesies cenderung makin menurun seiring dengan
pertambahan bentang latitudinal, posisi latitudinal berhubungan
dengan jumlah faktor-faktor ekologi. Kecenderungan peningkatan
keanekaragaman spesies kearah wilayah equatorial, hampir terjadi
pada semua kelompok organisme.
Wilayah tropis diketahui memiliki keanekaragaman spesies yang
sangat tinggi. Beragam serangga kanopi telah didapatkan dari wilayah
ini sebagai contoh di suatu wilayah pada garis 60 lintang utara
terdapat 10 spesies semut dan meningkat menjadi 2000 di wilayah
tropis. Kemungkinan terdapat sepuluh juta spesies arthopoda yang
tinggal di kanopi hutan tropis. Selain arthopoda, jumlah spesies
tumbuhan juga lebih besar di wilayah tropis. Hutan hujan tropis
memiliki jumlah spesies yang sangat banyak berbeda dengan hutan
temperata dan kutub yang miskin spesies. Sebagai contoh plot
10

berukuran 6,6 ha di hutan tropis Borneo mengandung 711 spesies


pohon, sedangkan di hutan gugur daun Amerika mengandung 10
sampai dengan 15 spesies dalam 2 ha area perbandingan yang lebih
ekstrim lagi di seluruh Eropa utara hanya terdapat 50 spesies pohon.
Kecenderungan yang sama terjadi pada ekosistem lautan sebagai
contoh di daerah Artik, terdapat 100 spesies Tunikata sedangkan
temperata dan tropis masing-masing memiliki 400 dan 600 spesies.
Hal ini yng serupa juga terjadi pada kekayaan genera dan famili
Bivalvia.
Keanekaragaman di ekoton
Ekoton merupakan daerah perbatasan antar dua habitat, misalnya
batas anatara hutan dengan padang rumput. Daerah ini mendukung
spesies di kedua tipe habitat, baik yang berasal dari hutan maupun
padang rumput, sehingga jumlah spesies yang berada di dalamnya
lebih banyak. Hal ini terjadi karena efek tepi yaitu adanya peningkatan
keanekaragaman di daerah tepi atau perbatasan. Umumnya didaerah
ekoton jumlah spesiesnya bisa lebih dari jumlah spesies di dua habitat,
karena ekoton menjadi area transisi. Selain mendukung spesies di dua
habitat yang berbeda, ekoton juga memiliki spesies tersendiri yang
khas sehingga meningkat kan keanekaragaman jenisnya. Situasi seperti
ini terjadi baik di ekosistem daratan maupun lautan.
Keanekaragaman di dasar samudra
Selama ini dasar samudra dianggap memiliki keanekaragaman
rendah. Asumsi tersebut ternyata tidak tepat. Grassle (1991)
melaporkan bahwa keanekaragaman spesies di dasar samudra jauh
lebih tinggi dibandingkan perkiraan sebelumnya. Sebagai contoh
sampel dari 233 lokasi pada kedalaman antara 1500-2500 mengandung
798 spesies dari 171 famili.
Hal yang lebih menarik perhatian ahli adalah adanya fakta bahwa
semakin ditingkatkan usaha pencupilikan jumlah spesies yang
didapatkan masih terus bertambah. Hal ini menunjukkan bahwa
sampling yang dilakukan masih berada di bawah jumlah spesies yang
11

sesungguhnya. Jelaslah bahwa dasar samudra tidaklah ekosistem


guruan pasirnya daratan, sehingga pembuangan limbah ke wilayah ini
tidak bisa dikatakan tidak memiliki damapak terhadap organisme.

E. Gradien Keanekaragaman Hayati


Spesiasi dan hipotesis keanekaragaman spesies tropika
Ekspansi tumbuh-tumbuhan terutama munculnya angiospermae
pada masa cretaceous serta jaman glasiasi menyebabkan proses
spesiasi berkembang dengan baik. Munculnya Angiospemae diikuti
dengan berkembangnya secara pesat jumlah serangga terutama
kumbang yang mendapatkan relung baru dan mengalami evolusi
divergen. Pola yang sama di tunjukan oleh burung finches yang di teliti
oleh Darwin di kepulauan Galapagos.
Glasiasi menyebabkan pemisahan kepulauan sehingga
menyebabkan isolasi geografis5. Diduga spesiasi banyak berkembang
pada tipe vegetasi huatan. Spesies padang rumput relative tidak banyak
mengalami pola pemisahan ini.

F. Faktor penentu gradient keanekaragaman hayati


Adanya gradiasi jumlah spesies dari tropis ke kutub mungkin disebabkan
oleh delapan faktor yang saling terkait. Perbedaan tersebut tidak bisa hanya di
jelaskan dari satu faktor, melainkan harus dijelaskan dengan berbagai
penyebab yang saling berhubungan. Beberapa faktor saling berinteraksi
melalui sejarah evolusi dan waktu ekologi untuk menghasilkan kumpulan
spesies yang kita lihat pada saat ini. Menurut Krebs (2000), faktor tersebut
antara lain:
Faktor sejarah
Faktor ini dikemukakan oleh ahli zoogeografi dan paleontologis
yang memiliki dua komponen. Yang pertama, organisme di iklim tropis
berevolusi lebih cepat dibandingkan di daerah temperata. Hal ini
disebabkan karena kondisi lingkungan yang konstan dan

5
Amin S. Leksono, Ekologi, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hal. 157
12

menguntungkan bagi sebagian besar organisme, serta relatif bebas dari


gangguan bencana. Yang kedua, wilayah tropis berumur lebih tua
sehingga spesies yang ada di wilayah tersebut telah berkembang lebih
lama.
Pada awal era mesosoikum semua daratan saling berhubungan dan
membentuk satu masa wilayah yang luas yang disebut sebagai pangea.
Pangea terpisah mulai zaman membentuk dua kawasan yang besar
lauresia di sebelah utara dan Gondwana di belahan selatan. Super
benua Lauresia pada awalnya terdiri dari massa daratan yang
membentuk Asia, Eropa, dan Amerika Latin, sedangkan super
Gondwana adalah cikal bakal bagi Amerika selatan, Afrika, Arab.
India, dan Australia. Sepanjang sejarahnya, lempeng continental ini
terus bergerak sampai terbentuknya dunia dalam posisi modern saat
ini. Adanya pemisahan benua menyebabkan Negara Negara di amerika
latin (Brazil, Kolombia, Equador), Afrika (Kongo) dan asia Tenggara
(Indonesia) memiliki kekayaan yang sangat ekstreem, namun juga
terdapat beberapa spesies yang umum karena adanya sejarah
pemisahan benua.
Pemisahan benua menguntungkan posisi Indonesia yang berada di
perbatasan antara Lauraasia dan Gondwana. Kawasan bagian barat
Indonesia, yaitu pulau Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Bali dan pulau
pulau kecil disekitarnya merupakan bagian dari lempeng Eurasia
(Lempeng Sunda) dari super benua Laurasia yang telah mengalami
evolusi geologis yang terpisah dan berbeda dengan kawasan lain dalam
wilayah Indonesia. Daerah ini secara Geologis selamanya dipisahkan
dari Irian dan Australia oleh lautan yang dalam dan dangkal. Irian
dengan Australia adalah bagian dari super benua Gondwana. Lempeng
sangat besar ini terdiri atas Antartika, Australia, India, amerika Selatan,
Selandia Baru dan kaledonia Baru.
Pemisahan daratan menjadi fragmen pula pula kecil menyebabkan
isolaso geografis termasuk pemisahan benua, pembentukan gunung
dan perubahan permukaan laut. Dengan adanya isolasi maka spesies di
13

tempat tempat terisolir tersebut mengalami evolusi radiatif, sehingga


memiliki spesies spesies khas yang sebagian besar endemic.
Heterogenitas Spasial
Faktor fisik/lingkungan yang semakin heterogen menyebabkan
komunitas tumbuhan dan hewan yang ada juga lebih kompleks. Faktor
ini dapat dikategorikan dalam skala kecil maupun skala luas. Relief
topografi merupakan salah satu aspek heterogenitas spasial ini.
Kompetisi
Menurut teori ini, kompetisi di tropis jarang terjadi dibandingkan
di temperata. Kompetisi menyebabkan spesialisasi. Tumbuhan dan
hewan didaerah tropis memiliki pola kebutuhan habitat yang terbatas
di tropis, hal ini menyebabkan terjadinya keanekaragaman antar habitat
yang tinggi. Hewan juga memiliki pola makan yang terbatas di
habitatnya, hal ini menyebabkan terjadinya keanekaragaman antar
habitat yang tinggi
Predasi
Predator dan parasit di daerah tropis lebih banyak dibandingkan
daerah temperata. Keduanya menekan populasi mangsa sehingga
mengurangi kompetisi antar mangsa. Berkurangnya kompetisi
memungkinkan masuknya predator baru di habitat tersebut. Adanya
tekanan dari predator dan parasitoid juga mencegah adanya dominasi
suatu spesies atau kelompok spesies.
Iklim dan variasi musiman
Penyebab lain tingginya keanekaragaman spesies di wilayah tropis
adalah kareana stabilitas iklim. Semakin stabil parameter iklim dan
makin sesuai iklim tersebut dengan kebutuhan organisme
menyebabkan makin banyak spesies yang ada (Laju kepunahan
rendah). Sesuai dengan pendapat ini, maka daerah dengan iklim yang
stabil akan mendukung proses evolusi kearah adaptasi dan spesialisasi
yang lebih baik. Hal ini akan menyebabkan relung yang lebih sempit
dan lebih banyak spesies yang menempati unit ruang dalam habitat.
Produktivitas
14

Di beberapa belahan dunia, produktivitas semakin meningkat


seiring dengan tingginya curah hujan, ketersediaan energi matahari dan
siklus hara. Wilayah tropis memiliki produktivitas yang tinggi
dibandingkan temperata karena alasan ini. Semakin tinggi
produktivitas maka akan meningkatkan keanekaragaman. Hal ini
berkaitan dengan energy pada piramida makanan. Tingginya
produktifitas menyediakan sumber daya yang berlimpah bagi beragam
spesies.
Gangguan
Gangguan menyebabkan ketidakseimbangan komunitas, jika
gangguan sering terjadi maka, spesies banyak yang punah kalau laju
peningkatan jumlahnya rendah. Jika gangguan jarang terjadi maka
system akan mengarah pada kesetimbangan kompetitif dan spesies
yang memeliki kemampuan kompetisi rendah akan hilang. Dengan
demikian maka gangguan dengan intensitas keduanya akan
mendukung keanekaragaman spesies yang tinggi. Hipotesis seperti ini
dikenal dengan istilah hipotesis gangguan intermediet.

G. Teori biogeografi Pulau


Pada Tahun 1961 Mac Arthur dan Wilson mempublikasikan hipotesis baru
mengenai pola kekayaan spesies di kepulauan. Teori ini dikenal dengan teori
kesetimbangan biografi kepulauan. Teori ini menyatakan bahwa sedikit
jumlahnya spesies di kepulauan bukan disebabkan oleh waktu yang terbatas
bagi spesies untuk menyebar, tapi oleh kesetimbangan yang terjadi di semua
kepulauan.
Jumlah spesies merupakan hasil dari dua proses yaitu kolonisasi dan
kepunahan. Di wilayah kepulauan, spesies berimigrasi dari pulau besar
terdekat. Makin lama jumlah spesies baru yang datang ke kepulauan makin
menurun, karena sudah terwakili oleh spesies yang sama yang telah datang
sebelumnya. Disisi lain laju kepunahan makin lama makin meningkat karena
keterbatasan sumber daya. Kedua proses ini suatu ketika akan sampai pada
15

satu titik pertemuan. Pada titik ini laju imigrasi sama dengan laju kepunahan
dan jumlah spesies berada pada kesetimbangan

H. Teknik Pencuplikan dan Analisis Keanekaragaman Spesies


Analisis keanekaragaman spesies memerlukan data tentang spesies yang
dianalisis. Ada dua data yang sangat diperlukan yaitu, jumlah kekayaan jenis
(Species richness) dan kerapatan (density) atau kelimpahan (abundance).
Untuk memperoleh data kekayaan jenis bisa dilakukan metode yang cukup
sederhana misalnya eksplorasi dengan cara menjelajahi habitat dari jenis- jenis
yang akan dianalisis.6
Untuk menentukan kerapatan (density) atau kelimpahan (abundance) ada
berbagai metode yang digunakan. Pengukuran kelimpahan hewan dan
tumbuhan sebenarnya tidak ada perbedaan prinsip, namun teknik
pengukurannya bisa menggunakan metode yang beragam. Seringkali satu
metode bersifat spesifik untuk kelompok organisme tertentu. Sebagai contoh:
metode kuadrat lebih sesuai digunakan untuk mengukur kerapatan populasi
tumbuhan atau hewan sesil seperti hewan koral, namun metode ini tidak sesuai
untuk mengukur kepadatan populasi burung atau hewan yang memiliki
mobilitas tinggi lainnya.
Secara umum terdapat dua data kerapatan yang dapat diperoleh yaitu:
Kerapatan absolut (jumlah individu per satuan luas atau volume),
Kerapatan relatif (Perbandingan kerapatan populasi di dua habitat yang
berbeda).
a) Pengukuran Kerapatan Absolut
Dua cara bisa dilakukan untuk mengukur densitas absolut suatu
populasi yaitu dengan cara menghitung langsung (sensus atau dengan
metode pencuplikan (sampling).
Penghitungan langsung (sensus)
Cara mengetahui jumlah organisme yang ada dalam suatu area
adalah dengan menghitung langsung organisme yang tinggal dalam
area tempat hidupnya. Contoh yang paling mudah adalah sensus pada
manusia atau sensus penduduk. Sensus langsung juga bisa dilakukan
6
Amin S. Leksono, Keanekaragaman Hayati, .hal. 55
16

untuk menghitung populasi tumbuhan dan hewan. Pohon dan tiang


dengan mudah dihitung jumlah individu du area tertenu, misalnya
tumbuhan yang ada di kebun raya atau di ruang terbuka hijau.
Beberapa hewan juga dapat dihitung secra langsung, misalnya banteng
atau rusa di padang rumput yang seluruh areanya dapat diamati dengan
jelas.
Cara pengukuran dengan metode pencuplikan (sampling)
Pengukuran kerapatan dengan metode pencuplikan harus
memperhatikan tingkat keterwakilan dari area yang diteliti. Oleh
karena itu jumlah, ukuran, dan lokasi pencuplikan sangat penting
diperhatikan. Ada beberapa metode yang bisa digunakan untuk
melakukan pencuplikan yaitu, metode dengan menggunakan plot
(petak contoh) dan metode tanpa plot. Salah satu contoh metode
dengan menggunakan petak contoh adalah metode kudrat.
Meode kuadrat dilakukan dengan membuat beberapa plot sebagai
daerah unitu-unit pencuplikan. Metode kuadrat umumnya digunakan
untuk mengukur kerapatan pohon dan tiang, misalnya yang ada di
kebun atau agroforestri; kerapatan semak dan rumput; serta kerapatan
hewan baik invertebrata maupun vertebrata. Kuadrat yang dilaukan
bisa berupa bujur sangkar, persegi panjang maupun lingkaran. Pada
praktiknya dilapang kuadrat dapat dibentik dengan lempeng logam,
kayu, tali rafia, atau dengan menggunkan alat-alat lain yang memiliki
rinsip sama misalnya, penggunaan jala surber untuk mencuplik bentos
di sugai dangkal, penggunaan tray untuk menangkap arthropoda
dengan teknik pengasapan.
Misalnya daerah yang akan dicari populasinya telah diketahui
luasnya (A), kemudian luas petak telah diukur (Q), jumlah individu di
semua kuadrat telah dihitung (P), maka densitas populasi (D) dapat
diekstrapolasi dengan rumus sebagai berikut:

(Pers. 2.1)
D = densitas populasi hewan yang diduga pada daerah tertentu
17

A = luas daerah yang akan dicari populasinya


P = jumlah individu yang ditemukan pada semua unit daerah
pencuplikan
Q = jumlah luas daerah pencuplikan
Contoh:
Jika kita mencuplik serangga tanah dengan metde kuadrat pada
area seluas 1000 m2, menggunakan 20 kuadrat masing-masing
berukuran 20 m2, mendapatkan total 40 ekor belalang hijau, maka kita
bisa mengekstapolasi ukuran populasinya adalah:

per 1000 m2

b) Analisis keanekaragaman spesies


Indeks keanekaragaman spesies
Setelah data kerapatan atau kelimpahan diperoleh maka langkah
selanjutnya adalah menganalisis data tersebut. Untuk mendapatkan
informasi keanekaragaman spesies, terdapat beberapa cara analisis
yang ada. Cara yang paling sederhana adalah pengukuran jumlah total
spesies atau yang dikenal sebagai kekayaan spesies (S). Kelebihan
teknik ini adalah metode penelitian bisa dilakukan dengan
penjelajahan, dan untuk spesies tertentu, misalnya inventarisasi spesies
yang dilindungi, yang estimasi populasi populasi sulit dilakukan, jalan
keluar untuk menghitung bisa menggunakan cara ini. Kekurangan data
ini adalah indeks kekayaan spesies tidak bisa digunakan sebagai indeks
untuk membandingkan dua komunitas karena nilai S tergantung pada
ukuran sampel. Oleh karena itu para ahli mengajukan indeks lain yang
didasarkan pada hubugan antara S dan jumlah keseluruhan individu.
Ada dua indeks yang cukup terkenal untuk menguur tingkat kekayaan
yaitu indeks Margalef (1958) dan Mnhinick (1964). Indeks Margalef
menggunakan persamaan, sebagai berikut:
R1 = (S-1) / ln(n) (Pers. 2.2)
18

Sedangkan indeks Maenhinick menggunakan persamaan:

R2-S / (Pers. 2.3)

Indeks kekayaan spesies di atasa memiliki kelemahan. Indeks


Menhinick misalkan jika memiliki data seperti tabel 2.1 maka terlihat
antara komunitas A dan B memiliki tingkat kekayaan spesies yang
sama. Hal ini disebabkan indeks Menhinick tergantung ukuran sampel.
Indek ini memiliki asumsi bahwa data jumlah spesies adalah fungsi
dari n, sehingga nilai R2 sangat tergantung ukuran S dan n.

Tabel 2.1. perbandingan nilai indeks-indeks Margalef (R1) indeks


Menhinick (R2) pada tiga komunitas (A, B, dan C)
Komunitas S N R1 R2
Komunitas A 30 100 6.3 3
Komunitas B 15 25 4.3 3
Komunitas C 10 25 2.8 2

Keungguan cara penghitungan di atas adalah sederhana dan mudah.


Sedangkan kekurangannya menggambarkan kondisi sebaran spesies,
karena tergantung pada ukuran sampel.

c) Rarefaction
Untuk mengatasi masalah perbedaan ukuran sampel, maka Hulber
(1971) mengembangkan suatu teknik yang dikenal sebagai rarefaction,
yaitu suatu teknik untuk menstandarisasi dan membandingkan kekayaan
spesies yang dihitung dari sampel yang berukuran berbeda, sehingga nilai
kekayaan spesies yang diharapkan bisa diestimasi dari ukuran sampel yang
sama7. Rarefaction memungkinkan perhitugan kekayaan spesies dan
membuat kurva rarefaction. Kurva ini dibentuk dengan memplotkan
jumlah spesies sebagai fungsi dari jumlah individu yang tercuplik. Teknik
ini digunakan ketika jumlah individu dan spesies pada beberapa komunitas
berbeda tajam. Contoh, di tiga lokasi ditemukan komunitas kumbang

7
Ibid., hal. 58
19

dengan jumlah bervariasi, lokasi A terdiri dari 208 spesies, 817 individu;
lokasi B terdiri dari 180 spesies, 516 individu; lokasi C terdiri dari 123
spesies, 514 individu. Dengan menggunakan analisis rarefaction
didapatkan tiga kurva. Kekayaaan spesies yang diharapkan pada lokasi A,
jika jumlah individunya sama dengan jumlah individu di lokasi C (jumlah
individu terkecil diantara tiga lokasi), maka diperoleh nilai Rexp = 160.

Gambar 2.1 Rarefaction untuk mengestimasi nilai S yang diharapkan jika kondisi
komunitas yang berbeda memiliki jumlah individu yang sama. Data di
atas merupakan komunitas kumbang kanopi di Kazawa, jepang.

Keunggulan teknik rarefaction adalah bisa membandingkan sembarang


komunitas dengan beragam ukuran sampel dan bisa melakukan estimasi
jumlah individu maupun spesies di berbagai habitat. Pendugaan dapat
dilakukan karena setiap akan membentuk suatu kurva sigmoid,
persamaannya mengikuti rumus persamaan kurva sigmoid. Kelemahan
dari pengukuran ini adalah teknik penghitungannya sulit dan hanya
menggambarkan perbandingan spesies dan individu. Oleh karenanya
pengukuran ini kurang dapat memberikan informasi ekologi yang
memadai.
20

Contoh: teknik pencuplikan dan analisis keanekaragaman spesies


Tabel 2.2. spesies dan jumlah individu kumbang yang dicuplik dengan
perangkap bejana berwarna dari omunitas berbeda di
hutan Kakuma, Kanazawa
Spesies Komunitas A Komunitas B
Spesies 1 7 2
Spesies 2 6 2
Spesies 3 6 2
Spesies 4 5 1
Spesies 5 5 5
Euops konoi 7 4
Podabrus malthinoides 5 25
Total 41 41

Dari data di atas nampak dua komunitas memiliki jumlah spesies dan
individu yang sama, namun distribusi spesies pada komunitas A hampir
seragam, sedangkan komunitas B didominasi oleh spesies Podabrus
malthinoides. Kita mungkin menginginkan komunitas A dan B berbeda.
Jika hanya mengacu pada jumlah jenis maupun jumlah individu maka
perbedaan seecara fungsional tidak akan terlihat. Komunitas A di atas
memiliki tigkat perataan yang tinggi. Kita mendefinisikan perataan sebagai
tingkat sebaran individu antara spesies-spesies.
Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk menentukan struktur
komunitas8. Semakin banyak jumlah spesies dengan jumlah individu yang
sama atau mendekati, maka semakin tinggi tingkat heterogenitasnya.
Sebaliknya, jika jumlah spesies sangat sedikit, dan terdapat perbedaan
jumlah individu yang besar antar spesies, maka semakin rendah
heterogenitas suatu komunitas. Keanekaragaman yang rendah
menggambarkan dominasi suatu spesies.
Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk melihat komunitas
yang kompleks. Semakin tinggi tingkat keanekaragaman seakin kompleks
interaksi yang mungkin terjadi antar spesies.
Ada beberapa indeks yang bisa digunakan untuk mengukur tingkat
heterogenitas suatu komunitas:

8
Ibid., hal. 60
21

Indeks Simpson
Salah satu indeks untuk mengukur tingkat perataan yang
dikemukakan oleh Simpson. Indeks ini menghitung berdasarkan
rumus:

D= (Pers. 2.4)

Nilai indeks Simpson untuk komunitas A dan B dari data yang


disajikan pada tabel 12.1 adalah sebagai berikut:
Untuk komunitas A,

D= = 6,86

Dengan cara yang sama komunitas B didapatkan hasil D = 2,47


Indeks Shannon-Weaner
Pengukuran keanekaragaman dengan Indeks Shannon-Weaner
didasarkan pada ketidakpastian. Rumusnya adalah sebagai berikut:

H =

H = indeks keanekaragaman Shannon-Weaner


s = jumlah spesies dalam komunitas
pi = proporsi spesies ke-i terhadap jumlah total
Rumus indeks Shannon-Weaner bisa menggunakan faktor pengali
log2, log10, maupun ln.
Nilai indeks Shannon-Weaner untuk komunitas A dan B dari data
yang disajikan pada tabel 2.2 adalah sebagai berikut:
Untuk komunitas A:

H=

Dengan cara yang sama komunitas B didapatkan nilai 0,57.

Nilai H maks
22

Nilai H maks menunjukan suatu informasi lain tentang


keanekaragaman spesies pada kondisi equitability maksimum. Rumus
nilai H maks adalah:
H maks = log2S (Pers. 2.6)
Nilai H maks untuk komunitas A dan B dari data yang disajikan
pada tabel 2.2 adalah 0,85.
Pada umumnya keanekaragaman spesies di suatu habitat tidak
pernah mencapai maksimum karena equitability semua spesies jarang
bisa sama. Maka dengan demikian equitability suatu spesies dapat
ditentukan dari rasio H dengan H maks.
E = H/H maks (Pers. 2.7)
Nilai indeks equitability untuk komunitas A dan B dari data yang
disajikan tabel 2.2 adalah sebagai berikut:
E untuk komunitas A = 0,99, komunitas B = 0,67.
Kelebihan indeks Shannon-Weaner dan Simson adalah indeks ini
bisa diterima secara luas dan digunakan untuk menganalisis
keanekaragaman spesies di berbagai penelitian. Akan tetapi, semua
indeks pasti memiliki kekurangan sehingga untuk menggambarkan
sebaran individu pada setiap spesies dapat dilakukan dengan teknik
lain9. Dengan memplotkan jumlah individu sebagai fungsi dari
rangking dari spesies maka didapatkan kurva rangking spesies. Dengan
menggunakan data yang sama pada gambar 2.1., maka kurva rangking
spesies untuk lokasi A memiliki kecenderungan kurva yang lebih
landai dibandingkan lokasi B dan C (Gambar 2.2). pada posisi
rangking saatu hingga 125, spesies pada lokasi A memiliki jumlah
individu yang lebih tinggi.

9
Ibid., hal. 62
23

Gambar 2.2. kurva rangking spesies kumbang kanopi pada tiga lokasi yang berbeda
di Kazawa Jepang.
d) Hubungan antara kelimpahan dan keanekaragaman
Kajian keanekaragaman spesies memerlukan ukuran sampel tertentu.
Metode sampling sangat tergantung pada ukuran sampel yang diperoleh.
Untuk kelompok hewan vertebrata atau tumbuhan, sampling lengkap bisa
dilakukan. Sebaliknya, sampel beberapa hewan invertebrata sangat sulit
menentukan keterwakilannya dari komunitas yang diobservasi10.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, dikembangkan berbagai
metode analisis yaitu model broken stick, analisis niche pre-emption dan
analisis log-normal.
Model niche pre-emption
Model niche pre-emption didasarkan pada sumber daya yang
dimanfaatkan oleh spesies. Spesies dominan memanfaatkan sumber
daya dengan porsi yang paling besar, kemudian disusul spesies yang
lainnya. Selanjutnya kelimpahan spesies diurutkan berdasarkan
rangking dan bentuk derean. Urutan ini jika diplotkan melawan
logaritma nilai penting, maka akan diperoleh garis lurus. Model ini
dikembangkan oleh May (1975).
10
Ibid., hal. 63
24

Model broken-stick
Model analisis broken-stick dikembangkan oleh Mac Arthur
(1957). Model ini didasarkan pada serangkaian hipotesis tentang cara
spesies dalam komunitas memanfaat sumber daya yang ada, dan
menguji hipotesis dengan membandingkan kelimpahan spesies yang
teramati dengan kelimpahan yang diharapkan.
Model log-normal
Model ini pertama kali ditemukan oleh Preston (1948) dan
dikembangkan oleh Sugihara (1980). Pada banyak komunitas yang
diamati, grafik jumlah spesies sebagai fungsi dari jumlah individu per
spesies akan membentuk kurva log-normal. Dari sampel spesies yang
didapatkan, masing-masing spesies dimaskkan ke dalam kelas oktaf
berdasarkan log jumlah individu masing-masing spesies. Kurva yang
terbentuk akan mengikuti rumus sebagai berikut:
Nr = N0e-(1/2)(r/s)
N0 = jumlah spesies pada kelas paling berlimpah
S = standart deviasi
Nr = jumlah spesies yang memiliki kelas otaf lebih tinggi atau
lebih rendah
25

Gambar 2.3. Kurva log-normal spesies-jumlah spesies sebagai fungsi kelas


kelimpahan geometrik. Masing-masing oktaf mewakili sebuah
kelimpahan (n) yang memiliki individu 2n.

Jika kita mengetahui jumlah spesies dalam kelas paling berlimpah


(N0) dan standart deviasinya (s) maka kita dapat menentukan total
jumlah spesies:
N = N0(2s2)0,5
Pada beberapa kasus pencuplikan, grafik yang diperoleh bergeser
ke kanan yang berarti pencuplikan hanya mewakili spesies yang
berlimpah saja. Hal ini terjadi jika pencuplikan tidak cukup. Jika usaha
pencuplikan ditingkatkan maka kurva yang lebih tepat dapat
ditunjukkan.
Sejumlah takson seperti diatom, arthropoda tanah, burung, dan
mamalia sesuai dengan kurva log-normal ini. Kesesuaian ini
menunjukkan dua keperluan yaitu: adanya prinsip umum yang
mengarisbawahi komunitas dan kekayaan spesies dapat diduga dengan
lebih tepat.

e) Estimasi jumlah spesies di suatu komunitas


Selain indeks di atas, terdapat indeks lain yang menghubungkan kurva
rangking kelimpahan yang merupakan grafik rangking mulai dari spesies
yang paling berlimpah hingga spesies yang paling jarang. Namun berbeda
dengan kurva jumlah individu vs rangking, pada grafik ini data disajikan
dalam bentuk kurva jumlah spesies versus jumlah individu pada skala
logaritmik yang biasanya menghasilkan distribusi normal. Pada kasus
tertentu, lingkungan yang di sampling terlalu beragam. Misalnya pada
ekosistem terumbu karang atau pada ekosistem hutan hujan tropis yang
kaya spesies. Hasil pencuplikan menjadi kurang representatif karena bisa
bersifat undersampled underrepresentative (hasil cuplikan jauh di bawah
kekayaan spesies yang sebenarnya). Bentuk kurva di atas bisa berubah,
26

misalnya karena banyak singleton yang menyebabkan puncak kurva terlalu


ke kiri dan jika sampling tambahan dilakukan maka kurva akan bergeser
ke kanan.
Komunitas terumbu karang dan arthropoda kanopi yang memiliki
kekayaan spesies tinggi yang memungkinkan terjadinya undersampled.
Penggunaan estimator dapat membantu mengektrapolasi jumlah spesies.
Jumlah spesies yang tidak tercuplik pada kasus pencuplikan dapat
diestimasi secara kasar dengan beberapa estimator. Salah satu estimator
yang sering digunakan adalah estimator Chao.
Sestimator = S0 + F12/2F2
Dimana F1 adalah jumlah singleton dan F2 adalah jumlah dublet.
Dengan menggunakan data yang sama pada gambar 2.1., kita bisa
menduga ukuran spesies yang diharapkan ada jikaa usaha pencuplikan
ditambah. Dari nilai rasio ukuran spesies yang diharapkan dan jumlah
spesies yang diperoleh diketahui bahwa pencuplikan di semua lokasi
bersifat undersampled. Lokasi B memiliki tingkat undersampled tertinggi
dengan rasio kekayaan spesies yang diharapkan dua kali lipat dari yang
diperoleh.

Tabel 2.3. Jumlah spesies, singleton dan dublet komunitas kumbang


kanopi di Kanazawa Jepang
Komunitas Jumlah Jumlah Jumlah Sestimate Sestimate/S0
spesies singleton dublet
(F1) (F2)
A 208 94 41 316 1.5
B 180 103 29 363 2.0
C 123 64 22 216 1.8

Selain estimator Chao, ada juga estimator lain yang dikembangkan


berdasarkan presentase total spesies yang diwakili oleh satu sampel.
Estimator ini disebut estimator penutup Good, dengan persamaan
penutupan = 1 (jumlah individu / total jumlah individu).
27

Indeks Jackknife
Estimator ini hampir sama dengan estimator Chao, yaitu dengan
mempertimbangkan spesies jarang yang disebut oleh Jackknife sebagai
spesies unik11. Pengertian spesies unik mengacu pada spesies yang
hanya muncul pada satu kuadrat.
S = s + (n-1/n)k, dimana S = estimasi kekayaan spesies Jackknife
S = kekayaan spesies yang tercuplik
n = jumlah total kuadrat yang digunakan
k = jumlah spesies yang hanya muncul pada 1 kuadrat

11
Ibid., hal. 66
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Keragaman spesies merupakan kekayaan variasi individu pada tingkat spesies.
Biasanya pada negara dengan keragaman spesies tinggi disebut dengan negara
megadiversitas. Kriterianya meliputi kekayaan spesies, konsentrasi endemisme,
keragaman habitat, ada atau tidaknya hutan tropis, dan keragaman budaya.
Pembagian keragaman tertinggi dimiliki oleh Brazil dan terendah dimiliki
Venezuela.
Gradien keanekaragaman spesies diketahui meliputi spasiasi dan hipotesis
keanekargaman tropika. Keanekaragaman spesies dipengaruhi oleh faktor
diantaranta karena sejarah, heterogenitas spasial, kompeisi dll yang menyebabkan
gradien keragaman hayati. Dalam menganalisis pencuplikan keragaman spesies
dapat dilakukan menggunakan beragam teknik, salah satunya menggunakan
metode kuadrat.
B. Saran
Bagi lembaga penyelenggara: lebih banyak lagi dalam menyediakan literatur
yang mudah dipahami dengan bahasa yang tersusun secara sistematis dan efisien
ketika dibaca, sehingga tidak menimbulkan ketidakbergunaan waktu yang
digunakan untuk memahami hanya satu teks buku.
Bagi penulis: menjadi karya yang selanjutnya menjadi referensi dan terus
diperbarui dalam rangka mencapai kebenaran yang mendekati nilai yang
signifikan.

DAFTAR PUSTAKA

Leksono, S. Amin. 2007. Ekologi. Malang: Bayumedia Publishing.


Leksono, S. Amin. Keanekaragaman Hayati. Malang: UB Press.

28

Anda mungkin juga menyukai