Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Asam-Basa


Konsentrasi Ion Hydrogen dan pH
Pada kebanyakan cairan, molekul air secara reversible memisahkan diri
dengan ion hydrogen dan hydroksida:
H2O H+ + OH-
Proses ini dikenal sebagai disosiasi konstan, KW:
Kw = [H+] + OH- = 10-14
Konsentrasi air tidak digunakan karena hasilnya tidak signifikan dan
sudah konstan. Oleh karena itu dengan pemberian [H+] atau [OH-]
konsentrasi ion lainnya dapat dihitung
Contoh: Jika [H+] = 10-8 nEq/L, maka [OH-] = 10-14 + 10-8 = 10-6 nEq/L.
Nilai normal [H+] pada arteri adalah 40 nEq/L atau 40 x 10 -9 mol/L.
Konsentrasi ion hidrogen sering dikenal sebagai pH, pH dari suatu larutan
didefinisikan sebagai logaritma negatif (basa 10) dari [H+]. pH normal arteri
adalah log (40 x 10-9) = 7,40. Konsentrasi ion hidrogen yang sesuai dalam
kehidupan adalah antara 16 dan 160 nEq/L (pH 6,8 7,8).

Gambar 1. Hubungan antara pH dan [H+]


Seperti disosiasi konstan lainnya, KW dipengaruhi oleh suhu. Oleh
karena itu titik elektronetralitas untuk air terjadi pada pH 7,0 dengan suhu 25

2
o
C atau pada pH 6,8 dan suhu 37 oC; Perubahan yang terjadi karena
perubahan suhu menjadi penting selama hipotermi.
Karena cairan fisiologis adalah larutan biasa yang kompleks, Faktor lain
yang mempengaruhi penguraian dari air menjadi H + dan OH- adalah SID,
PCO2, dan ATOT.

2.1.1 Asam dan Basa


Asam dikenal sebagai bahan kimia yang berperan sebagai donor
proton [H+], sedangkan basa berperan sebagai penerima proton (definisi
Bronsted-Lowry). Pada larutan fisiologis, lebih baik menggunakan
definisi dari Arrhenius: Asam adalah senyawa yang terdiri dari hidrogen
dan bereaksi dengan air untuh menghasilkan ion hydrogen. Basa adalah
komponen yang menghasilkan ion hidroksida dari air. Dengan
menggunakan definisi ini, SID menjadi sama pentingnya seperti ion-ion
lain dalam larutan (kation dan anion) yang akan mempengaruhi
disosiasi konstan dari air, dan konsentrasi ion hidrogen. Asam kuat
merupakan substansi yang mudah dan hampir irreversibel yang dapat
memberikan H+ dan dapat meningkatkan [H+], sedangkan basa kuat
berikatan kuat dengan H+ dan menurunkan [H+]. Sebaliknya asam
lemah memberikan H+ secara reversibel; keduanya punya efek yang
sedikit terhadap [H+]. Senyawa biologis termasuk asam lemah atau basa
lemah.
Untuk larutan yang mengandung asam lemah HA
HA H+ + A-
dengan disosiasi konstan K dapat digambarkan seperti :

Bentuk logaritma negatif menghasilkan persamaan yang dikenal


dengan persamaan Henderson-Hasselbach:

Dari persamaan ini dapat dilihat bahwa pH dari larutan ini


berhubungan dengan rasio antara anion yang terdisosiasi dengan asam

3
yang tidak terdisosiasi. Yang menjadi masalah dalam perhitungan ini
adalah bahwa secara fenomenal Pengukuran pH dan bikarbonat, dan
kemudian variabel yang lainnya dapat dimanipulasi secara matematis.
Perhitungan ini dapat diukur dengan baik dengan air murni
konsentrasi [H+] harus sama dengan [OH-]. Tetapi larutan fisiologis,
walaupun larutan biasa, jauh lebih kompleks. Meskipun pada larutan
yang kompleks, [H+] dapat diperkirakan dengan menggunakan tiga
variabel : SID, PCO2, dan konsentrasi total asam lemah [ATOT].

2.1.2 Perbedaan Ion Kuat


SID adalah jumlah dari seluruh komponen kuat, baik yang
terdisosiasi secara lengkap atau hampir lengkap, Kation (Na +, K+, Ca2+,
Mg2+) dikurangi anion kuat (Cl-, laktat-, dan lain-lain). Walaupun kita
dapat menghitung SID, karena hukum elektronetralitas harus
diperhatikan, maka jika ada SID, ion lain yang tidak terhitung harus
ada. PCO2 adalah variabel yang dapat berdiri sendiri dengan asumsi
ventilasi tetap berlanjut. Basa konjugasi dari HA adalah A- dan biasanya
sebagian besar terdiri dari foafat dan protein yang tidak berubah
terhadap kedua variabel lainnya. A- ditambah AH adalah variabel yang
berdiri sendiri karena nilainya tidak ditentukan oleh variabel yang lain.
Perlu dicatat bahwa [H+] bukanlah ion kuat ( air tidak berdisosiasi
secara lengkap), tetapi hal itu dapat terjadi atau dapat berespon terhadap
setiap perubahan SID, PCO2, atau ATOT sesuai dengan hukum
elektronetralitas dan keutuhan dari massa. Ion kuat tidak dapat dibuat
untuk mancapai elektronetralitas, tetapi ion hidrogen dibuat atau
dipakai berdasarkan perubahan pada disosiasi air.

2.1.3 Pasangan Konjugasi dan Buffer


Seperti yang telah dibahas diatas, ketika asam lemah HA berada
dalam larutan, HA dapat berperan sebagai asam dengan melepas H+ dan
A- dapat berperan sebagai basa dengan menangkap H+. Oleh karena itu

4
A- sering disebut basa terkonjugasi dari HA. Konsep yang sama dapat
diterapkan untuk basa lemah, dimana
B + H+ BH+
Oleh karena itu, BH+ merupakan asam terkonjugasi dari B.
Buffer adalah larutan yang terdiri dari asam lemah dan basa
terkonjugasi atau basa lemah dan asam terkonjugasi. Buffer
meminimalisasikan setiap perubahan konsentrasi [H+] dengan cara
mudah menerima atau melepaskan ion hidrogen. Sehingga buffer sangat
efisien dalam meminimalisasi perubahan [H+] larutan (contoh, [A-] =
[HA]) ketika pH = pK. Terlebih lagi, pasangan konjugasi harus berada
dalam jumlah yang signifikan dalam suatu larutan agar dapat berperan
sebagai buffer yang efektif.

2.2 Gangguan Klinis


Pengertian yang jelas tentang gangguan asam basa dan kompensasi dari
respon fisiologis membutuhkan terminologi yang baik. Kata -osis disini
digunakan untuk menyebutkan proses patologis yang mengubah pH arteri.
Oleh karena itu, gangguan yang dikarenakan penurunan pH disebut asidosis,
sedangkan yang dikarenakan peningkatan pH disebut alkalosis. Jika suatu
gangguan terutama mempengaruhi [HCO3], maka disebut metabolik. Jika
gangguan terutama mempengaruhi PaCO2, maka disebut respiratorik. Respon
kompensasi sekunder harus sesuai dengan nama sebenarnya dan tidak diikuti
dengan kata -osis. Mungkin seseorang akan mengarah ke metabolik
asidosis dengan kompensasi respiratorik.
Disorder Primary Change Compensatory Response
Respiratory
Acidosis PaCO2 HCO3
Alkalosis PaCO2 HCO3
Metabolic
Acidosis HCO3 PaCO2
Alkalosis HCO3 PaCO2

5
Jika hanya satu proses patologis yang terjadi, gangguan asam basa
dianggap sederhana. Adanya dua atau lebih proses primer merupakan indikasi
terjadinya gangguan asam basa campuran.
Kata -emia digunakan untuk menunjukkan efek dari semua proses
primer dan respon kompensasi fisiologis dari pH darah arteri. Karena pH
normal darah arteri orang dewasa 7,35-7,45, pada keadaan asidemia pH
<7,35, sedangkan pada alkalemia yang signifikan pH >7,45.

2.3 Mekanisme Kompensasi


Respon fisiologis terhadap perubahan [H+] terdiri dari tiga fase:
1. Buffering kimia yang segera,
2. Kompensasi respiratorik,
3. Kompensasi yang lebih lambat, tetapi lebih efektif yaitu respon
kompensasi ginjal yang hasilnya dapat mendekati pH normal arteri
meskipun proses patologis masih berlangsung.

2.3.1 Buffer Tubuh


Secara fisiologis buffer yang utama di manusia termasuk antara
lain bikarbonat (H2CO3 / HCO3-), Hemoglobin (HbH/Hb-), protein
intraseluler (PrH/Pr-), fosfat (H2PO4-/HPO42-), dan ammonia
(NH3/NH4+). Efektifitas dari keseluruhan buffer ini pada kompartemen
cairan yang berbeda tergantung dari konsentrasinya. Bikarbonat adalah
buffer yang sangat penting di kompartemen cairan ekstraseluler.
Hemoglobin, yang terikat erat dalam sel darah merah, juga berfungsi
sebagai buffer yang penting di dalam darah. Protein yang lainnya
mungkin juga mempunyai pengaruh utama sebagai buffer pada
kompartemen cairan intraseluler. Fosfat dan ammonia merupakan buffer
urin yang utama.
Penyanggaan dari kompartemen ekstraseluler dapat terpenuhi
dengan pertukaran H+ ekstraseluler dengan Na+ dan Ca2+ dari tulang dan
bisa juga dengan pertukaran antara H + ekstraseluler dengan K+
intraseluler. Asam yang berlebih juga dapat menyebabkan
demineralisasi tulang dan pelepasan senyawa alkali (CaCO3 dan

6
CaHPO4). Alkali berlebih (NaHCO3) dapat meningkatkan deposit
karbonat pada tulang.
Penyanggaan oleh bikarbonat plasma dapat terjadi segera
meskipun bikarbonat interstisial membutuhkan waktu 15-20 menit.
Sebaliknya, penyanggaan dengan protein intreseluler dan tulang
berlangsung lambat (2-4 jam). Lebih dari 50-60% asam berlebih
mungkin dapat disangga oleh sistem penyangga dati tulang dan
intraseluler.

2.3.2 Buffer Bikarbonat


Meskipun dalam pengertian yang jelas bahwa buffer bikarbonat
terdiri dari H2CO3 dan HCO3-, tekanan CO2 (PaCO2) dapat
menggantikan H2CO3, karena:

Hidrasi dari CO2 ini dikatalisasi oleh karbonik anhidrase. Jika


penyesuaian ini dibuat dalam disosiasi konstan untuk buffer bikarbonat
dan jika koefisien kelarutan untuk CO2 (0,03 mEq/L) dipakai, maka
persamaan Henderson-Hesselbach dapat ditulis sebagai berikut:

dimana pK = 6,1.
Jika pK tidak mendekati pH normal arteri 7,4 maka bikarbonat
tidak dapat dikatakan sebagai buffer ekstraseluler yang efisien. Sistem
bikarbonat, bagaimanapun, penting karena dua alasan: (1) Bikarbonat
(HCO3-) berada dalam konsentrasi yang tinggi alam cairan ekstraseluler,
(2) Lebih penting lagi, PaCO2 dan [HCO3-] plasma diatur oleh paru-paru
dan ginjal secara terus-menerus. Kemampuan dari kedua organ ini
untuk mengubah rasio [HCO3-]/ PaCO2 menyebabkan kedua organ ini
memiliki pengaruh penting terhadap pH arteri.

7
Cara yang praktis dan lebih sederhana dari persamaan Henderson-
Hesselbach untuk buffer bikarbonat adalah:

Persamaan ini sangat berguna secara klinis karena pH dapat


dengan mudah diubah ke [H+]. Dikatakan untuk pH dibawah 7,40, [H +]
meningkat 1,25 nEq/L untuk setiapp penurunan pH sebesar 0,01; Untuk
pH diatas 7,40, [H+] menurun sebesar 0,8 nEq/L untuk setiap
peningkatan pH sebesar 0,01.
pH (H+) nEq/L
6.80 158
6.90 126
7.00 100
7.10 79
7.20 63
7.30 50
7.40 40
7.50 32
7.60 25
7.70 20

Contoh: Jika pH arteri = 7,28 dan PaCO2 = 24 mmHg, berapakah


[HCO3-] plasma?

Karenanya,

Seharusnya buffer bikarbonat efektif untuk melawan metabolik


tetapi tidak untuk melawan gangguan asam basa respirasi. Jika 3 mEq/L
asam kuat nonvolatil seperti HCl ditambahkan ke dalam cairan
ekstraseluler, reaksi berikutnya:

8
Tercatat bahwa HCO3- bereaksi dengan H+ untuk memproduksi
CO2. Selebihnya, CO2 secara normal dieliminasi oleh paru-paru
sehingga PaCO2 tidak berubah. Sebagai konsekwensi, [H +] = 24 x 40
21 = 45,7 nEq/L dan pH = 7,34. Selanjutnya penurunan pada [HCO 3-]
mempengaruhi jumlah dari asam nonvolatil yang ditambahkan.

Secara kontras, peningkatan tekanan CO 2 (asam volatil) memiliki


efek yang minimal pada [HCO3-]. Jika, untuk contoh, PaCO2 meningkat
dari 40 ke 80 mmHg, CO 2 yang terlarut meningkat hanya dari 1,2
mEq/L ke 2,2 mEq/L. Selebihnya, keseimbangan konstan untuk hidrasi
dari CO2 meningkat secara minimal dan membawa reaksi ke arah kiri.

Jika asumsi yang sebenarnya dibuat bahwa [HCO 3-] tidak


berubah, kemudian

Oleh karena meningkat sebanyak 40 nEq/L dan karena HCO 3-


diproduksi dalam rasio 1:1 dengan H+, [HCO3-] juga meningkat
sebanyak 40 nEq/L. Karena [HCO3-] ekstraseluler juga meningkat
secara nyata dari 24 mEq/L menjadi 24.000040 mEq/L. Oleh karena itu,
buffer bikarbonat tidak efektif melawan peningkatan PaCO 2 dan
perubahan dalam [HCO3-] tidak mempengaruhi keparahan dari asidosis
respiratorik.

2.3.3 Hemoglobin Sebagai Buffer


Hemoglobin kaya akan histidin, yang merupakan buffer efektif
dari pH 5,7 sampai 7,7 (pKa 6,8). Hemoglobin merupakan buffer
nonkarbonik yang paling penting pada cairan ekstraseluler. Secara
sederhana, hemoglobin dapat dipikirkan sebagai keberadaan sel darah
merah dalam keseimbangan sebagai asam lemah (HHb) dan garam
kalium (KHb). Berbeda dengan buffer bikarbonat, hemogloin dapat

9
dipakai sebagai buffer untuk asam karbonik (CO2) dan nonkarbonik
(nonvolatil):

2.3.4 Kompensasi Paru-Paru


Perubahan pada ventilasi alveolar bertanggung jawab untuk
kompensasi paru dari PaCO2 yang diperantarai oleh kemoreseptor pada
batang otak. Reseptor ini berespon terhadap perubahan pada pH cairan
serebrospinal. Ventilasi permenit meningkat 1-4 L/menit untuk setiap
peningkatan 1 mmHg PaCO2. Faktanya, paru-paru bertanggung jawab
untuk mengeliminasi kira-kira 15 mEq karbondioksida yang diproduksi
setiap hari sebagai produk metabolisme karbohidrat dan lemak. Respon
kompensasi paru juga penting dalam pertahanan melawan perubahan
pada pH selama gangguan metabolik.

A. Kompensasi Paru-Paru Selama Asidosis Metabolik


Penurunan pH darah arteri menstimulasi pusat pernafasan di
medulla. Hasil dari peningkatan ventilasi aleolar akan menurunkan
PaCO2 dan cenderung menormalkan pH arteri. Respon paru terhadap
PaCO2 yang rendah terjadi secara cepat tetapi mungkin tidak mencapai
keadaan yang diinginkan sampai 12-24 jam; pH tidak pernah mencapai
normal.PaCO2 secara normal turun 1-1,5 mmHg dibawah 40 mmHg
untuk setiap penurunan [HCO3-] plasma sebesar 1 mEq/L.

B. Kompensasi Paru-Paru Selama Alkalosis Metabolik


Peningkatan pH darah arteri akan menekan pusat pernafasan.
Hasilnya hipoventilasi alveolar cenderung menaikkan PaCO 2 dan
mengembalikan pH arteri menjadi normal. Respon paru terhadap
alkalosis metabolik secara umum sulit diprediksi dibandingkan respon
terhadap asidosis matabolik. Hipoksemia, sebagai akibat dari
hipoventilasi yang progresif, biasanya mengaktifkan axygen-sensitive
chemoreceptor; kemudian menstimulasi ventilasi dan membatasi respon

10
kompensasi paru. Konsekwensinya, PaCO2 biasanya tidak pernah naik
diatas 55 mmHg pada respon terhadap alkalosis metabolik. Secara
umum, PaCO2 dapat diharapkan meningkat sebesar 0,25-1 mmHg untuk
setiap peningkatan [HCO3-] sebesar 1 mEq/L.

2.3.5 Kompensasi Ginjal


Kemampuan ginjal untuk mengatur jumlah reabsorbsi HCO3-
yang terfiltrasi dari cairan tubulus, membentuk HCO 3- yang baru, dan
mengeliminasi H+ dalam bentuk asam yang dapat dititrasi dan ion
ammonia menyebabkan mereka memberi pengaruh utama terhadap pH
selama gangguan asam basa baik metabolik dan respiratorik.
Pada kenyataannya, ginjal bertanggung jawab untuk
mengeliminasi sekitar 1 mEq/kg/hari dari asam sulfat, asam fosfat, dan
sebagian asam organik yang teroksidasi yang normalnya oleh
metabolisme dari protein yang berasal dari makanan dan dari dalam
tubuh (endogen), nukleoprotein, dan fosfat organik (fosfoprotein dan
fosfolipid). Metablisme nukleoprotein juga menghasilkan asam urat.
Pembakaran tidak sempurna dari asam lemak dan glukosa akan
menghasilkan asam keton dan asam laktat. Alkali endogen dihasilkan
selama metabolisme beberapa asam amino anionik (glutamat dan
aspartat) dan senyawa organik lainnya (sitrat, asetat, dan laktat), tetapi
jumlahnya tidak mencukupi untuk mengimbangi produksi asam
endogen.

A. Kompensasi Ginjal Selama Asidosis


Respon ginjal terhadap keadaan asam terdiri dari 3 langkah: (1)
Peningkatan reabsorbsi HCO3- yang terfiltrasi, (2) Peningkatan ekskresi
asam yang dapat dicairkan, (3) Peningkatan produksi ammonia.
Meskipun mekanisme ini dapat diaktifkan segera, efeknya secara umum
tidak muncul dalam 12-24 jam dan mungkin belum maksimal setelah
lebih dari 5 hari.
1. Meningkatkan Reabsorbsi Dari HCO3-

11
CO2 didalam sel tubulus ginjal berikatan dengan air dan
membentuk karbonat anhidrase. Asam karbonat (H 2CO3) terbentuk
dengan cepat dan terdisosiasi menjadi H+ dan HCO3-. Kemudian ion
bikarbonat masuk ke aliran darah sementara ion H + disekresi ke
dalam tubulus ginjal, dimana H+ bereaksi dengan HCO3- yang
terfiltrasi untuk membentuk H2CO3. Karbonik anhidrase menempel
ke dinding lumen dan mengkalisasi peruabhan H2CO3 menjadi CO2
dan H2O. Kemudian CO2 dapat berdifusi kembali kedalam sel
tubulus ginjal ntuk menggantikan CO2 yang sudah terpakai. Tubulus
proksimal secara normal mereabsorbsi 80-90% bikarbonat yang
terfiltrasi bersamaan dengan sodium, sedangkan tubulus distal
bertanggung jawab hanya 10-20%. Tidak seperti pompa H+ pada
tubulus proksimal, pompa H+ di tubulus distal tidak bersamaan
dengan reabsorbsi sodium, dan memiliki kemampuan mengatur
gradien H+ antara cairan tubulus dan sel tubulus. pH urine dapat
menurun sampai 4,4 (Bandingkan dengan pH plasma yaitu 7,4).

2. Meningkatkan Ekskresi Asam Yang Dapat Dicairkan


Setelah seluruh HCO3- di dalam cairan tubulus kembali lagi ke
dalam darah, H+ yang disekrasi ke dalam lumen dapat berikatan
dengan HPO42- membentuk H2PO4- yang tidak dapat direabsorbsi
karena muatannya dan dieliminasi melalui urine. Hasil akhirnya
adalah H+ diekskresi dari tubuh dalam bentuk H 2PO4-, dan HCO3-
dapat masuk ke aliran darah. Dengan pK 6,8, H2PO4-/ HPO42- secara
normal merupakan buffer urine. Ketika pH urine mencapai 4,4,
semua fosfat mencapai tubulus distal dalam bentuk H2PO4- dan ion
HPO42- sudah tidak dapat lagi mengeliminasi H+.

12
Gambar 2. Formatiom of titratable acid in urine

3. Meningkatkan Pembentukan Ammonia


Setelah reabsorbsi lengkap HCO3- dan penggunaan dari buffer
fosfat, NH3/NH4+ menjadi bufer urine yang sangat penting.
Deaminasi glutamin didalam mitokondria di sel tubulus proksimal
merupakan sumber utama untuk produksi NH3 di ginjal. Keadaan
asam dalam darah (acidemis) menyebabkan peningkatan produksi
NH3 ginjal. Ammonia yang terbentuk kemudian dapat melewati
membran sel luminal dan masuk ke cairan tubulus, kemudian
bereaksi dengan H+ membentuk NH4+. Tidak seperti NH3, NH4+ tidak
dapat penetrasi ke membran luminal dan terperangkap didalam
tubulus. Sehingga NH4+ di urine efektif untuk mengeliminasi H+.

13
Gambar 3. Formation of ammonia in urine

B. Kompensasi Ginjal Selama Alkalosis


Jumlah HCO3- yang banyak secara normal difiltrasi dan kadang-
kadang direabsorbsi karen aginjal butuh akskresi bikarbonat dalam
jumlah banyak jika dibutuhkan. Sebagai haslnya, ginnjal sangat efektif
dalam proteksi terhadap keadaan metabolik alkalosis yang secara umu
terjadi karena defisiensi sodium atau mineralokortikoid berlebih.
Deplesi dari sodium akan menurunkan volume cairan ekstraseluler dan
meningkatkan reabsorbsi Na+ dari tubulus proksimal ginjal. Untuk
mempertahankan keadaan netral, ion Na+ membawa ion Cl- saat
melewati membran. Karena jumlah ion Cl - menurun (<10 mEq/L di
urine), maka HCO3- harus direabsorbsi. Sebagai tambahan, peningkatan
sekresi H+ sebagai pengganti untuk meningkatkan reabsorbsi Na +
membutuhkan pembentukan HCO3- yang berkelanjutan dengan
metabolik alkalosis. Sama halnya, peningkatan aktivitas
mineralokortikoid meningkatkan reabsorbsi Na+ yang diperantarai oleh
hormon aldosterone sebagai pengganti ntuk sekresi ion H+ di tubulus
distal, dan akhirnya peningkatan pementukan HCO3- dapat menjadi
pencetus atau memperberat metabolik alkalosis. Metabolik alkalosis

14
biasanya berhubungan dengan peningkatan aktivitas mineralokortikoid
meskipun tidak terjadi deplesi dari sodium dan klorida.

Base Excess
Base Excess adalah jumlah assam atau basa yang harus
ditambahkan ke dalam darah agar pHnya kembali menjadi 7,4 dan
PaCO2 menjadi 40 mmHh pada keadaan saturasi O2 maksimal dan suhu
37 oC. Ditambah lagi, pemberian ini hanya berlaku untuk buffer yang
nonkarbonik di darah. Singkatnya, base excess menggambarkan tentang
komponen metabolisme dari gangguan asam asa. Nilai positif
menandakan keadaan metabolisme alkalosis, sedangkan nilai negatif
menandakan metabolisme asidosis. Base excess biasanya dalam bentuk
grafik atau secara elektronik dari normogram yang dikembabngkan oleh
Siggaard-Anderson dan membutuhkan penghitungan konsentrasi
hemoglobin.

2.4 Asidosis
EFEK FISIOLOGIS TERHADAP ACIDEMIA
[H+] diregulasi secara ketat dalam batas nanomol/L (36-43 nmol/L)
karena ion H+ memiliki kepadatan muatan yang tinggi dan medan listrik yang
las yang dapat mempengaruhi kekuatan ikatan hidrogen yang secara fisiologis
terdapat pada hampir semua biokimia. Reaksi biokimia sangat sensitif akan
perubahan [H+]. Keseluruhan efek akhir dari acidemia yang terlihat pada

15
pasien menunjukkan keseimbangan antara efek secara langsung dan aktivasi
simpatis ginjal. Dengan keadaan asidosis yang memburuk (pH < 7,20), efek
depresi secara langsung sangat dominan. Depresi otot jantung dan otot polos
secara langsung menyebabkan penurunan kontraksi jantung dan resistensi
pembuluh perifer, dan pada akhirnya menyebabkan hipotensi tang progresif.
Asidosis yang berat menyebabkan hipoksia jaringan disamping menyebabkan
affinitas hemoglobin terhadap oksigen bergeser ke arah kanan. Jantung dan
otot polos pembuluh darah menjadi kurang responsif terhadap katekolamin
eksogen dan endogen, dan ambang fibrilasi ventrikel menurun. Hiperkalemia
yang progresif sebagai akibat dari K+ yang keluar dari sel sebagai pengganti
untuk H+ ekstraseluler juga sangat potensial untuk menyebabkan kematian.
[K+] plasma meningkat sampai kira-kira 0,6 mEq/L untuk setiap penurunan
pH sebesar 0,10. Depresi sistem saraf pusat lebih sering terjadi pada respirasi
asidosis dibandingkan metabolik asidosis. Pengaruh ini, seringkali disebut
Narkosis CO2, mungkin sebagai hasil dari hipertensi sekunder intrakranial
untuk meningkatkan aliran darah otak (Cerebral Blood Flow) dan asidosis
intrasel yang berat. Tidak seperti CO2, ion H+ tidak mudah penetrasi melalui
sawar darah otak.

2.4.1 Asidosis Respiratorik


Asidosis respiratorik digambarkan sebagai peningkatan PaCO2
primer. Peningkatan ini berdasar pada reaksi:

ke arah kanan akan menyebabkan peningkatan [H+] dan


menurunkan pH arteri. Sesuai dengan reaksi diatas, [HCO 3-] sedikit
sekali terpengaruh. PaCO2 menggambarkan keseimbangan antara
produksi CO2 dan pembuangan CO2:

Produksi karbondioksida berasal dari metabolisme lemak dan


karbohidrat. Aktivitas otot, Suhu tubuh, dan aktivitas hormon tiroid
mempunyai pengaruh besar terhadap produksi CO2. Karena produksi

16
CO2 tidak dapat dinilai di bawah banyak keadaan, maka asidosis
respiratorik biasanya disebabkan hipoventilasi alveolar. Pada pasien
dengan kapasitas yang terbatas untuk meningkatkan ventilasi alveolar,
bagaimanapun juga, peningkatan produksi CO 2 dapat menjadi pencetus
asidosis respiratorik.
Causes of Respiratory Acidosis
Alveolar Hypoventilation
Central nervous system depression
Drug-induced
Sleep disorder
Obesity hypoventilation (Pickwickian) syndrome
Cerebral ischemic
Cerebral trauma
Neuromuscular disorders
Myopathies
Neuropathies
Chest Wall Abnormalities
Flail Chest
Kyphoscoliosis
Pleural abnormalities
Pneumothorax
Pleural effusion
Airway obstruction
Upper airway
o Foreign body
o Tumor
o Laryngospasm
o Sleep disorder
Lower airway
o Severe asthma
o Chronic Obstructive Pulmonary Disease
o Tumor
Parenchymal lung disease
Pulmonary edema
o Cardiogenic
o Noncardiogenic
Pulmonary emboli
Pneumonia

17
Aspiration
Interstitial lung disease
Ventilator malfunction
Increased CO2 production
Large caloric loads
Malignant hyperthermia
Intensive Shivering
Prolonged seizure activity
Thyroid storm
Extensive thermal injury (burns)

A. Asidosis Respiratorik Akut


Respon kompensasi terhadap peningkatan PaCO 2 secara akut
(6-12 jam) adalah terbatas. Sistem penyangga yang berperan secara
primer dilakukan oleh hemoglobin dan pertukaran H+ ekstraseluler
dengan Na+ dan K+ dari tulang dan kompartemen cairan interstisial.
Respon ginjal untuk mempertahankan bikarbonat dalam jumlah lebih
sangat terbatas pada keadaan yang akut. Sebagai hasilnya, [HCO 3-]
plasma meningkat hanya sekitar 1 mEq/L untuk setiap peningkatan
10 mmHg dari PaCO2 di bawah 40 mmHg.
B. Asidosis Respiratorik Kronis
Kompensasi ginjal yang maksimal menandakan terjadinya
asidosis respiratorik kronis. Kompensasi ginjal dapat dinilai hanya
setelah 12-24 jam dan mungkin mencapai maksimal setelah 3-5 hari.
Selama waktu itu, peningkatan PaCO2 yang bertahan sejak lama
menyebabkan kompensasi ginjal yang maksimal. Selama asidosis
respiratorik kronis, [HCO3-] plasma meningkat sekitar 4 mEq/L
untuk setiap peningkatan 10 mmHg dari PaCO2 dibawah 40 mmHg.

Penanganan Asidosis Respiratorik


Asidosis respiratorik diterapi dengan mengembalikan
ketidakseimbangan antara produksi CO2 dan ventilasi alveolar. Pada
kebanyakan kasus, terapi ini dilakukan dengan meningkatkan
ventilasi alveolar. Ukuran yang ditujukan pada penurunan produksi

18
CO2 sangat berguna hanya pada kasus-kasus yang spesifik (seperti,
dantrolene untuk hipertermi berat, paralisis otot untuk tetanus,
medikasi antitiroid untuk krisis tiroid, dan penurunan asupan kalori).
Penantian yang tepat yang ditujukan untuk meningkatkan ventilasi
alveolar termasuk bronkhodilatasi, pengembalian keadaan narkosis,
pemberian stimulan pernafasan (doxapram), atau meningkatkan
kemampuan pengembangan paru (diuresis). Asidosis yang moderat
sampai berat (pH < 7,20), narkosis CO2, dan kelelahan otot
pernafasan yang tiba-tiba merupakan indikasi untuk pemasangan
ventilator. Peningkatan konsentrasi oksigen inspirasi juga
diperlukan, karena hipoksemia yang menetap biasa terjadi. NaHCO 3
intravenous sangat jarang terjadi kecuali pH < 7.10 dan HCO 3- < 15
mEq /L. Terapi sodium bikarbonat akan meningkatkan PaCO2 :

Buffer yang tidak menghasilkan CO2 seperti carbicarb, atau


tromethamine, (THAM) bisa digunakan sebagai alternatif tetapi
tidak terbukti keuntungannya. Carbicarb adalah campuran dari 0,3 M
sodium bikarbonat dan 0,3 M sodium carbonat, buffering dengan
campuran ini terutama memproduksi sodium bikarbonat bila
dibandingkan dengan CO2.
Pasien dengan dasar kronik asidosis respiratorik memerlukan
pertimbangan khusus. Ketika pasien dengan dengan kegagalan
ventilasi akut, terapi yang harus dicapai dengan mengembalikan
PaCO2 ke normal. Mengembalikan nilai normal PaCO 2 pasien
kenilai 40 mmHg akan memberikan hasil alkalosis. Terapi oksigen
harus diperhatikan, karena kemampuan resipiratori pada pasien ini
sudah terbiasa dalam keadaan hipoksemi, bukan PaCO 2 atau
meningkatkan kemampuan death space. Sehingga menormalisasikan
PaCO2 atau relatif hiperoksia akan memicu terjadinya hipoventilasi.

2.4.2 Asidosis Metabolik

19
Asidosis metabolik didefinisikan sebagai penurunan primer dari
HCO3-. Proses patologis akan menghasilkan asidosis metabolik melalui
salah satu dari tiga mekanisme sebagai berikut:
1. Konsumsi HCO3- dengan asam kuat nonvolatil,
2. Eksresi Renal atau gastrointestinal dari bikarbonat,
3. Pengenceran cepat dari kompartemen cairan ekstraseluler dengan
cairan bebas bikarbonat .
Penurunan dari plasma (HCO3-) tanpa diikuti dengan reduksi
PaCO2 akan menurunkan pH arteri. Reaksi kompensasi pulmonal dalam
asidosis metabolik sederhana tidak akan menurunkan PaCO 2 sampai
tingkat yang dapat menormalkan pH tapi kompensasi hanya berupa
hiperventali yang jelas (Kussmaul).
Catat bahwa diferensial diagnosis yang menyebabkan asidosis
metabolik dapat diketahui melalui perhitungan anion gap.
Causes of Metabolic Acidosis
Increased anion gap
Incrased production of endogenous nonvolatile acids
Renal failure
Ketoacidosis
o Diabetic
o Starvation
Lactic acidosis
Mixed
o Nonketotic hyperosmolar coma
o Alcoholic
Inborn errors of metabolism
Ingestion of toxin
Salicylate
Methanol
Ethylene glycol
Paraldehyde
Toluene
Sulfur
Rhabdomyolisis
Normal anion gap (hyperchloremic)
Increased gastrointestinal losses of HCO3-

20
Diarrhea
Anion exchange resins (cholestyramine)
Ingestion of CaCl2, MgCl2
Fistula (pancreatic, biliary, or small bowel)
Ureterosigmoidostomy or obstructed ileal loop
Increased renal losses of HCO3-
Renal tubular acidosis
Carbonic anhydrase inhibitors
Hypoaldosteronism
Dilutional
Large amount of bicarbonate-free fluids
Total parenteral nutrition (Cl- salt of amino acids)
Increased intake of chloride-containing acids
Ammonium chloride
Lysine hydrochloride
Arginine hydrochloride

Anion Gap
Anion gap di plasma biasanya didefinisikan sebagai perbedaan
antara ukuran mayor kation dan anion.

Atau

Beberapa klinis memasukan kalium plasma dalam perhitungkan


menggunakan nilai normal,

Pada dasarnya, anion gap tidak dapat muncul karena tubuh selalu
mempertahankan keseimbangan elektrolit; jumlah anion sama dengan
jumlah kation. Jadi,

Kation yang tidak terukur termasuk K +, Ca2+, dan Mg2+,


sedangkan anion yang tidak terukur termasuk semua anion organic

21
(termasuk proteinplasma), fosfat dan sulfat. Albumin plasma normalnya
menggambarkan fraksi terbesar anion gap (sekitar 11 mEq/l). Anion gap
turun 2,5 mEq/l setiap reduksi albumin plasma 1 g/dl. Proses apapun
yang meningkatkan anion tidak terukur atau menurunkan kation tidak
terukur akan meningkatkan anion gap. Sebaliknya, proses apapun yang
menurunkan anion tidak terukur akan menurunkan anion gap.
Elevasi ringan anion gap plasma hingga 20 mEq/l tidak
membantu diagnosis selama asidosis, tetapi nilai > 30 mEq/l biasanya
mengindikasikan adanya asidosis dengan anion gap tinggi (below).
Alkalosis metabolic juga dapat menyebabkan anion gap yang tinggi
karena penurunan volume elstraseluler, peningkatan pertukaran
albumin, dan peningkatan produksi laktat sebagai kompensasi. Anion
gap plasma yang rrendah mungkin disertai hipoalbumin, intoksikasi
bromida atau lithium dan multiple myeloma.

Asidosis Metabolik Dengan Anion Gap Tinggi


Asidosis metebolik dengan anion gap tinggi ditandai dengan
meningkatnya asam nonvolatile kuat. Asam ini dilepaskan dari H + dan
menggambarkan anion; H+ membutuhkan HCO3- untuk menghasilkan
CO2, dimana anionnya (basa konjugasi) berakumulasi dan
menggantiikan HCO3- dalam cairan ekstraseluler (anion gap tinggi).
Asam non volatile dapat dihasilkan atau digunakan (ingested) secara
endogen.
A. Kegagalan Ekskresi Asam Non Volatile Endogen
Asam organik yang dihasilkan secara endogen normalnya
dikeluarakanb oleh ginjal lewat urin. GFR < 20 ml/menit (gagal
ginjal) identik dengan asidosis metabolik yang progresif yang
berasal dari akumulasi asam asam tersebut.

B. Peningkatan Produksi Asam Non Volatile Endogen


Hipoksia jaringan yang berat diikuti hipoksemia, hipoperfusi
(iskemia) atau ketidakmampuan menggunakan O2 (keracunan

22
sianida) dapat m,enyebabkan asidosis laktat. Asam laktat yang
merupakan hasil akhir metabolisme glukosa secara anaerob
(glikolisis) secara cepat berakumulasi dalam kodisi kondisi
tersebut. Penrunan penggunaan laktat oleh hepar penggeluaran
yang sedikit oleh ginjal tidak begitu bertangguang jawab atas
terjadinya asidoss metabolik; penyebabnya termasuk hipoperfusi,
alakoholisme, dan penyakit hepar. Kadar laktat dapat dengan
mudah diukur dan normalnya 0,3 1,3 mEq/l. Asidosis disebabkan
oleh D-lactic acid yang tidak dikenali oleh enzim - lactat
dehydogenase (dan tidak diukur dalam pemeriksaan rutin), dapat
ditemukan pada pasien dengan short bowel syndromes; D-lactic
acid dibentuk oleh bakteri colon dari makanan yang mengandung
glukosa dan gandum dan diabsorbsi seccara sistemik. Kekurangan
insulin yang absolut atau relatif dapat menimbulkan hiperglikemia
dan ketoasidosis yang progresif yang berasal dari akumulasi -
hidroksibutirat dan asam asetat. Ketoasidosis juga dapat terlihat
dalam keadaan kelaparan dan kecanduan alkohol. Patofisiologi
asidosis sering berhubungan dengan intoksikasi alkohol dan koma
non ketotik hiperosmolar dan sangat kompleks dan dapat disertai
pembentukan laktat, keto dan asam tidak dikenal lainnya. Beberapa
gangguan metabolik bawaan sejak lahir , seperti maple syrup urine
disease, methylmalonic aciduria, propionic acidemia dan isovalleric
acidemia, menyebabkan asidosis metabolik dengan anion gap
tinggi sebagai hasil akumulasi asam amino abnormal.

C. Penggunaan Asam Non Volatile Eksogen


Penggunaan salisilat dalam jumlah besar sering menyebabkan
asidosis metabolik. Asam salisilat sebagaimana asam intermediate
lainnya secara cepat berakumulasi dan menimbulkan asidosis
dengan anion gap. Karena salisilat juga menstimulasi langsung
pernafasan, pada kebanyakan orang dewasa asidosis metabolik
disertai asidosis respiratorik. Penggunaan metanol (methyl alcohol)

23
sering menyebabkan asidosis dan gangguan penglihatan (retinitis).
Gejala gejalanya baru muncul setelah oksidasi lambat metanol
oleh enzim alcohol dehydrogenase untuk membentuk asam
glikolat. Asam glikolat, penyebab utama asidosis, lebih lanjut dapat
tersimpan di ginjal dan menyebabkan gagal ginjal.

Asidosis Metabolik Dengan Anion Gap Normal


Asidosis metabolik dengan anion gap normal biasanya ditandai
dengan hiperkloremia. Konsentrasi CL- di plasma meningkat,
menggantikan ion HCO-3 yang hilang. Perhitungan anion gap dalam
urin dapat mewbantu diagnosis asidosis dengan anion gap normal.
Anion gap urin = ([Na+] + [K+]) [Cl-]
Anion gap urin normalnya positif atau mendekati nol. Kation urin
tidak terukur yang utama adalah NH4+, yang seharusnya meningkat
(bersamaan dengan Cl-) selama asidosis metabolik, pada akhirnya
mengahasilkan anion gap negatif. Kegagalan sekresi H+ atau NH4+,
sebagaimana terjadi pada gagal ginjal atau asidosis tubulus ginjal,
menghasilkan anion gap urin positif daripada asidosis metabolic
A. Peningkatan Pelepasan HCO3- Gastrointestinal
Diare merupakan penyebab tersering asidosis
metabolikmhiperkloremik. Cairan diare mengandung HCO3- 20
50 mEq/l. Usus halus, saluran empedu dan cairan pakreas kaya
akan HCO3-. Kehilangan cairan ini dalam jumlah besar dapat
menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik. Pasien dengan
uterosigmoidostomies dan ileal loops yang terlalu panjang atau
dengan obstrksi parsial dapat mengakibatkansidosis metabolik
hiperkloremik. supan yang mengandung klorida sebagai pengganti
anion resin (cholestyramine) atau jumlah kalsium yang banyak atau
magnesium klorida bisa menunjukkan peningkatan absorbsi klorida
dan kehilangan ion bikarbonat. Resin yang tdak dapat direabsorbsi
mengikat ion bikarbonat, sedangkan kalsium dan magnesium

24
berikatan dengan bikarbonat untuk membentuk garam yang tidak
larut di dalam usus.

B. Peningkatan Pelepasan HCO3- Ginjal


Pengeluaran HCO3- dari ginjal bisa terjadi karena kegagalan
reabsorbsi HCO3- yang tersaring atau untuk mensekresi jumlah ion
H+ yang adekuat dalam bentuk asssam yang dapat diencerkan atau
ion amonium. Kelainan ini ditemuklan pada pasien yang
mnegkonsumsi carbonic anhydrase inhibitor seperti asetolamid dan
pada pasien yang mempunyai asidosis tubulus ginjal.
Asidosis tubulus ginjal meningkatkan kelompok dengan
kelainan nonazotemik dengan sekresi H+ oleh tubulus ginjal,
menyebabkan Ph urin yang terlalu tinggi untuk asidemia sistemik.
Kelainan ini mungkin disebabkan oleh kelainan primer di ginjal
atau mungkin oleh kelainan sekunder akibat penyakit stemik.
Tempat terjadinya kelainan sekresi H+ mungkin di tubulus ginjal
distal atau proksimal. Hipoaldosteronisme hiporeninemia biasanya
selalu mengarah ke tipe -4 asidosis tubulus ginjal. Dengan asidosis
tubulus distal ginjal, kelainan terjaadi pada tempat dimana hampir
semua HCO3- yang terfiltrasi telah direabsorbsi. Sebagai hasilnya,
terjadi kegagalan pengasaman urin, dimana jumlah asam yang
diekskresi lebih rendah dibanding jumlah asam yang diproduksi.
Kelainan ini seringkali berhubungan dengan hipokalemia,
demineralisasi tulang, nefrolitiasis dan nefrokalsinosis. Terapi
lcali (NaHCO3 1 3 mEq/kkg/hari) biasanya cukup untuk
memperbaiki efek samping efek samping tersebut. Dengan
asidosis tubulus ginjal proksimal kurang dari biasanya, gangguan
sekresi H+ di tubulus proksimal menyebabkan pembuangan HCO3-
yang Herat. Kelainan serupa pada reabsorbsi di tubulus untuk zat
yang lain seperti glucosa, asam amino, atau fosfat sering terjadi.
Asidosisi hioperkloremi terjadi pada penurunan volume dan

25
hipokalemia. Penangananya termasuk pemberian lcali (sebanyak
10 25 mEq/kg/hari) dan suplemen potasium.

C. Penyebab Lain Terjadinya Asidosis Hiperkloremi


Asidosis hiperkloremi akibat pengenceran dapat terjadi ketika
volume ekstraseluler meningkat secara cepat dengan pemberian
cairan bikarbonat bebas seperti normal saline. HCO 3- plasma
menurun sesuai jumlah cairan infus yang diberikan sebagaimana
kadar HCO3- ekstraseluler diencerkan. Cairan infus asam amino
(parenteral hyperalimentation) mengandung kation organik yang
lebih banyak daripada anion organik dan dapat menyebabkan
asidosis metabolik karena klorida pada umumnya digunakan
sebagai anion untuk asam amino kationik. Akhirnya kelebihan
kuantitas dari asam yang mengandung klorida seperti amonium
klorida atau arginin hidroklorida (biasanya diberikan untuk
menangani alkalosis metabolik) dapat menyebabkan acidosis
metabolik hypercloremic.

Penanganan asidosis metabolik


Beberapa pemeriksaan umum dapat dilakukan untuk mengetahui
seberapa parah asidemia yang terjadi hingga penyebabnya dapat
diatasi..Respirasi harus dikontrol bila perlu: PaCO 2 serendah 30s dapat
digunakan untuk mengembalikan PH kebali normal. Jika PH arterial
tetap di bawah 7,20, terapi alkali , biasanya digunakan NaHCO 3 (dalam
larutan 7,5 % biasanya diperlukan. PaCO 3 mungkin akan sedikit
meningkat seiring dengan penggunaan HCO3- oleh senyawa asam
(memperlihatkan perlunya pengendalian respirasi pada asidemia yang
berat). Jumlah NaHCO3 yang diberikan ditentukan secara empiris
sebesar 1 mEq/kg atau dengan menghitung base excess dan bikarbonat.
Pada beberapa kasus, analisa gas darah serial diperlukan untuk
menghindari komplikasi misalnya kelebihan alkali atau overload

26
sodium. Dan untuk mengevaluasi terapi yang diberikan.peningkatan PH
arterial > 7,25 biasanya cukup untuk mengetahui efek samping dari
asidemia. Asidemia yang refrakter mungkin memerlukan hemodialisis
dengan dialisat bikarbonat.
Penggunaan rutin NaHCO3 dalam jumlah banyak dalam
penanganan henti jantung dan low flow states tidak lagi
direkomendasikan. Asidosis seluler paradoksik dapat muncul , biasanya
pada saat eliminasi CO2 terganggu. Karena CO2 yang telah terbentuk
memasuki sel sementara ion bikarbonatnya belum. Peningkatan buffer
yang tidak meningkatkan CO2 secara teoritis merupakan keadaan yang
terpilih, tapi tidak terbukti secara klinik.
Terapi spesifik untuk ketoasidodis diabetikum termasuk perbaikan
defisit cairan yang telah terjadi sebagai akibat dari diuresis osmotic
hiperglikemik dilanjutkan dengan penanganan insulin, potassium, fosfat
dan magnesium. Penanganan asidosis laktat harus diarahkan pertama
kali untuk mengembalikan oksigenasi yang adekuat dan perfusi
jaringan. Alkalinisasi urin oleh NaHCO3 untuk PH yang lebih besar dari
7 meningkatkan eliminasi salisilat untuk keadaan keracunan salisilat.
Infus etanol (IV 8-10 mL/Kg 10% etanol dalam larutan D5 dalam 30
menit dibarengi dengan infuse kontinum sebesar 0,15 mL/kg/jam untuk
mencapai kadar etanol dalam darah 100-130 mg/dL) adalah indikasi
untuk keadaan keracunan methanol atau etilen glikol. Etanol
berkompetisi dengan alkohol dehidrogenase dan menurunkan
pembentukan asam dari methanol glikolik dan asam oksalat dari etilen
glikol.

Bikarbonat Space
Bikarbonat Space adalah volume HCO3 yang akan didistribusikan
saat diberikan intra vena. Walaupun secara teoritis harus
menyeimbangkan dengan ruang cairan ekstraseluler (25% dari berat
badan), dalam kenyataannya dapat sebesar 25%-60% tergantung derajat

27
keparahan dan lamanya sidosis terjadi. Variasi ini setidaknya berkaitan
dengan jumlah buffer tulang dan intraseluler yang telah ada.
Contoh menghitung jumlah NaHCO3 yang diperlukan untuk
menghitung defisit basa (BD) -10mEq/L pada seorang laki-laki 70
tahun dengan bikarbonat space diperkirakan sebesar 30%:

dalam prakteknya, hanya 50% dari dosis yang telah dihitung (105 mEq)
biasa diberikan, setelahnya dilakukan pengukuran AGD.

Pertimbangan anestesi pada pasien dengan asidosis


Asidosis dapat membangkitkan efek depresan pada sebagian
besar sedatif dan obat anestesi pada SSP dan peredaran darah. Karena
sebagian besar opioid adalah basa lemah, asidosis dapat meningkatkan
fraksi obat dalam bentuk tak terioniasasi dan mempermudah penetrasi
ke dalam otak. Peningkatan sedasi dan deprsi dari refleks pernafasan
dapat menjadi predisposisi terjadinya aspirasi paru. Efek Depresi
sirkulasi obat anestesi voltil dan intravena dapat ditingkatkan. Obat-
obatan yang meningkatkan tonos simpastis dapat meningkatkan
keadaan depresi sirkulasi dalam keadaan asidosis. Halotan lebih
aritmigenik dalam keadaan asidosis. Suksinilkolin sebaiknya dihindari
pada pasien asidosis dengan hiperkalemia untuk mencegah peningkatan
K+ plasma. Asidosis respirasi menginduksi blokade neuromuskular non
depolarize.
Untuk mengimbangi ion Na+ yang direabsorpsi, peningkatan
sekresi H+ harus digunakan untuk menjaga netralitas electrn. Sebagai
akibatnya, ion HCO3- yang telah diekresi akan direabsorpsi
mengakibatkan alkalosis metabolik. Secara fisiologis, maintenance
volume cairan ekstraseluler lebih prioritas dari balance asam-basa.
Karena sekresi ion K+ dapat menjaga netralitas electrn, sekresi
potasium juga ditingkatkan. Hipokalemi meningkatkan sekresi H + dan
reabsorpsi HCO3- dan juga menyebabkan asidosis metabolik.

28
Konsentrasi klorida urin selama alkalosis metabolik sensitif klorida
biasanya rendah (< 10mEq/L). Terapi diuretik adalah penyebab yang
paling umum alkalosis metabolik sensitif klorida. Diuretik seperti
furosemide, asam etakrinat, dan tiazid meningkatkan sekresi Na +, Cl-,
dan K+, mengakibatkan penurunan kadar NaCl, hipokalemi, dan
biasanya alkalosis metabolik sedang. Sekret gastrik mengandung ion H +
sebesar 25-100mEq/L, Na+ sebesar 40-160mEq/L, K+ sekitar 15 mEq/L
dan ion Cl- sebesar 200mEq/L. muntah atau kehilangan cairan gaster
melaui suction nasogastrik dapat berakibat alkalosis metabolik,
penurunan volume ekstraseluler, dan hipokalemia. Normalisasi cepat
dari PaCO2 setelah [HCO3-] plasma telah meningkat pada asidosis
respiratoris kronik pada alkalosis metabolik. Infant diberikan intake
yang mengandung Na+ tanpa klorida pada yang telah mengalami
alkalosis metabolik karena peningkatan sekresi H+ atau K+ yang harus
diimbangi dengan absorpsi sodium.

2.5 Alkalosis
2.5.1 Efek Fisiologis Alkalosis
Alkalosis meningkatkan afinitas Hb terhadap oksigen dan
pergeseran kurva disosiasi ke kiri, menyebabkan Hb lebih sulit
melepaskan oksigen ke jaringan. Pertukaran H+ keluar sel dengan K+
ekstraseluler yang masuk ke dalam sel menyebabkan hipokalemia.
Alkalosis meningkatkan jumlah binding site kalsium pada protein
plasma, menurunkan ionisasi plasma, sehingga menyebabkan depresi
sirkulasi dan iritabilitas neuromuscular. Alkalosis respiratori
menurunkan cerebral blood flow, meningkatkan resistensi vascular
sistemik dan presipitasi vasospasme koroner. Pada pulmonal, alkalosis
respiratori meningkatkan tonus otot polos bronkus (bronkokonstriksi)
namun menurunkan rsistensi vascular pulmonal.

2.5.2 Alkalosis Respiratori


Alkalosis respiratori didefenisikan sebagai menurunnya PaCO2
secara primer. Mekanismenya adalah abnormalitas peningkatan

29
ventilasi alveolar relative terhadap produksi CO2. [HCO3-] plasma
biasanya turun 2 mEq/L untuk setiap penurunan 10 mmHg secara akut
PaCO2 dibawah 40 mmHg. Perbedaan antara alkalosis respiratori akut
dan kronis tidak selalu ada, karena respon kompensasialkalosis sedikit
bervariasi; [HCO3-] plasma menurun 2-5 mEq/L untuk setiap penurunan
10 mmHg PaCO2 dibawah 40 mmHg.
Penyebab alkalosis respiratorik
Central Stimulation
Pain
Anxiety
Ischemic
Stroke
Tumor
Infection
Fever
Drug induced
Salicylates
Progesterone (Pregnancy)
Analeptics (doxapram)
Peripheral Stimullation
Hypoxemia
High altitude
Pulmonary disease
Conestive heart disease
Noncardiogenic pulmonary edema
Asthma
Pulmonaru embolism
Severe anemia
Unknow Mechanism
Sepsis
Metabolic encephalopathies
Iatrogenic
Ventilator induced

Penanganan Alkalosis Respiratori


Koreksi yang paling mendasari adalah satu-satunya treatment
alkalosis respiratori. Alkalemia berat (pH arteri >7,6), pemberian asam

30
hidroklorida intravena, arginin klorida atau ammonium klorida dapat
diindikasikan.

2.5.3 Alkalosis Metabolik


Alkalosis metabolic adalah peningkatan primer [HCO3-] plasma.
Kasus alkalosis metabolik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) yang
berhubungan dengan defisiensi NaCl dan deplesi cairan ekstraseluler,
kadang disebut chloride sensitive, (2) yang berhubungan dengan
peningkatan aktivitas mineralokortikoid, desibut dengan chloride
resistent.
Penyebab alkalosis metabolic
Chloride-sensitive
Gastrointestinal
Vomiting
Gastric drainage
Chloride diarrhea
Villous adenoma
Renal
Diuretics
Posthypercapnic
Low chloride intake
Sweat
Cystic Fibrosis
Chloride-resistant
Increased mineralocorticoid activity
Primary hyperaldosteronism
Edematous disorder (secondary hyperaldosteronism)
Cushings syndrome
Licorice ingestion
Bartters syndrome
Severe hypokalemia
Miscellaneous
Massive blood transfusion
Acetat containing colloid solutions

31
Alkaline administration with renal insufficiency
Alkali therapy
Combined antacid and cation exchange resin therapy
Hypercalcemia
Milk Alkali syndrome
Boen metastase
Sodium penicillins
Glucose feeding after starvation
A. Alkalosis Metabolik Resisten Klorida
Peningkatan aktivitas mineralokortikoid biasanya berakibat
alkalosis metabolik meskipun tidak ada kaitannya dengan penurunan
volume ekstraseluler. Peningkatan tak terkendali aktivitas
mineralokortikoid menyebabkan retensi sodium dan peningkatan
volume ekstraseluler. Peningkatan sekresi H+ dan K+ mengambil
bagian untuk menyeimbangkan reabsorpsi sodium yang telah
ditingkatkan oleh aktivitas mineralokortikoid., menghasilkan
alkalosis metabolik dan hipokalemia. Konsentrasi klorida urin
biasanya lebih dari 20 mEq/L pada kasus seperti ini.

B. Alkalosis Metabolik dengan penyebab lain


Alkalosis metabolik jarang ditemui pada pasien yang diberikan
NaHCO3 bahkan pada dosis yang besar kecuali ada gangguan pada
ekresi HCO3-. Pemberian produk darah dalam jumlah yang besar dan
plasma protein yang mengandung koloid biasanya berakibat
alkalosis metabolik. Sitrat, laktat, dan asetat yang terkandung dalam
cairan ini dikonversi oleh hepar menjadi HCO3-. Pasien yang
mendapat penisilin sodium dosis tinggi, biasanya carbenicillin dapat
berakibat alkalosis metabolik. Karena penisilin berperan sebagai
anion nonabsorbable dalam tubulus renalis, peningkatan sekresi H+
dan K+ harus diimbangi dengan absorpsi sodium. Untuk alasan yang
tidak jelas, hiperkalsemi karana sebab nonparatiroid (milk-alkali
sndrome dan metastase tulang) juga sering berkaitan dengan
alkalosis metabolik. Patofisiologi alkalosis karena refeeding juga
belum diketahui.

32
Penanganan Alkalosis Metabolik
Seperti kelainan asam basa lainnya, perbaikan alkalosis metabolik
tak pernah selesai kecuali penyebab utama telah ditangani. Saat
ventilasi dikontrol, componen respirasi yang menyebabkan alkalemia
harus dikoreksi dengan menurunkan minute ventilation untuk
normalisasi PaCO2. Penanganan terpilih untuk alkalosis metabolik
sensitif klorida dalah pemberian saline IV dan potasium/KCl. Terapi
blokade H2- berguna bila penyebabnya adalah kehilangan cairan gaster.
Asetazolamide dapat berguna pada pasien yang edematous. Alkalosis
dikaitkan dengan peningkatan aktivitas mineralokortikoid memberikan
respon yang baik dengan pemberian antagosis
aldosteron/spironolactone. Pada keadaan pH arterial lebih dari 7,60,
penanganan dengan hydrochlorida IV (0,1 mol/L), amonium klorida
(0,1mol/L), arginine hidrokorida atau hemodialisa harus
dipertimbangkan.

Pertimbangan Anestesi pada pasien dengan alkalemia


Alkalosis respiratori sepertinya meningkatkan durasi depresi
pernafasan yang diinduksi dengan opioid. Iskemi serebral dapat muncul
karena adanya penurunan cerebral blood flow selama alkalosis
respiratori, terutama saat hipotensi. Kombinasi dari alkalemia dan
hipokalemia dapat mempresipitasi aritmia atrium dan ventrikel yang
berat. Potensiasi blokade neuromuskular non depolarizing ditemukan
pada alkalemia, tapi lebih dikarenakan adanya hipokalemia yang terjadi
bersamaan.

Penanganan Metabolisme Alkalosis


Seperti dengan gangguan asam basa lainnya, koreksi metabolisme
alkalosis tidak pernah lengkap sampai gangguan dasar dirawat. Kapan
ventilasi dikendalikan, pernapasan apapun yang mendukung alkalemia
harus dikoreksi dengan menurunkan waktu ventilasi menit menjadi

33
PaCO2 normal. Penanganan metabolisme alkalosis pada chloride-
sensitive adalah dari ion bersifat garam (NaCl) kedalam pembuluh
darah dan kalium (KCl). H2-blocker therapy bermanfaat ketika
hilangnya cairan lambung berlebihan merupakan suatu faktor.
Acetazolamide boleh juga bermanfaat pada pasien edematous. Alkalosis
terasosiasi dengan peningkatan langsung dalam aktivitas
mineralocorticoid yang siap bereaksi terhadap aldosterone lawan
(spironolactone). Ketika pH darah arteri lebih besar dari 7.60,
penanganan dengan asam hydrochloric (0.1 mol/L), ammonium klorid
(0.1 mol/L), arginine hydrochloride, atau hemodialysis ke dalam
pembuluh darah harus dipertimbangkan.

Pertimbangan Anesthetic pada Pasien dengan Alkalemia


Alkalosis Pernapasan tampak untuk memperpanjang jangka waktu
dari tekanan pernapasan opioid-induced; efek ini boleh diakibatkan oleh
peningkatan protein yang mengikat opioids. Cerebral Ischemia ditandai
dengan pengurangan dalam aliran darah cerebral selama Alkalosis
Pernapasan, terutama sekali selama hypotension. Kombinasi alkalemia dan
hypokalemia dapat mempercepat atrial dan ventricular arrhythmias.
Potensi dari nondepolarizing neuromuscular blokade dilaporkan dengan
alkalemia tetapi mungkin lebih secara langsung serentak berhubungan
dengan hypokalemia.

2.6 Diagnosa Gangguan Asam-Basa


Interpretasi status asam basa dari analisis gas darah membutuhkan
pendekatan sistematis. Rekomendasinya adalah sebagai berikut :
1. Memeriksa pH arteri ; apakah terdapat asidemia atau alkalemia?
2. Memeriksa PaCO2 ; apakah perubahan PaCO2 sesuai dengan komponen
respiratori?
3. Jika perubahan PaCO2 tidak menjelaskan perubahan pH arteri, apakah
perubahan [HCO3-] mengindikasikan komponen metabolik?
4. Buat diagnosis tentative.
5. Bandingkan perubahan [HCO3-] dengan perubahan PaCO2. Apakah
terdapat kompensasi? Karena pH arteri berhubungan dengan rasio PaCO2

34
dan [HCO3-], dimana kompensasi pulmonal maupun renalis selalu terjadi
perubahan PaCO2 dan [HCO3-] yang searah. Perubahan yang berlawanan
arah mengindikasikan gangguan asam basa campuran.
6. Jika mekanisme kompensasi yang terjadi lebih atau kurang dari yang
diharapkan, maka terjadi gangguan asam basa campuran.
7. Hitung gap anion plasma pada kasus asidosis metabolik.
8. Ukur konsentrasi klorida urin pada kasus alkalosis metabolik.
Pendekatan alternatif yang cepat namun kurang tepat adalah dengan
menghubungkan perubahan pH dengan perubahan CO2 dan HCO3-. pada
gangguan respiratori, setiap perubahan 10 mmHg CO2 akan menyebabkan
perubahan pH arteri 0,08 U dengan arah yang berlawanan. Selama gangguan
metabolik, setiap perubahan 6 mEq HCO 3- juga merubah pH arteri 0,1 dengan
arah yang sama. Jika perubahan pH melebihi atau kurang dari yang
diprediksikan, maka mungkin terjadi gangguan asam basa campuran.
Normal Compensatory Response in Acid-Base Disturbances
Disturbance Response Expected Change
Respiratory acidosis
Acute [HCO3-] 1 mEq/L/10 mmHg increase in PaCO2
-
Chronic [HCO3 ] 4 mEq/L/10 mmHg increase in PaCO2
Respiratory alkalosis
Acute [HCO3-] 2 mEq/L/10 mmHg decrease in PaCO2
-
Chronic [HCO3 ] 4 mEq/L/10 mmHg decrease in PaCO2
Metabolic acidosis PaCO2 1.2 x the decrease in [HCO3-]
Metabolic alkalosis PaCO2 0.7 x the increase in [HCO3-]

A. Pengukuran Tekanan Gas Darah dan pH darah


Nilai yang didapat dari pengukuran gas darah rutin meliputi tekanan
oksigen dan karbondioksida (PO2 dan PCO2), pH, [HCO3-], base excess,
hemoglobin, dan persentasi saturasi oksigen. Seharusnya hanya PO 2, PCO2
dan pH yang diukur. Hemoglobin dan persentase saturasi oksigen diukur
dengan cooximeter. [HCO3-] diukur dengan menggunakan persamaan
Henderson-Hasselbalch dan base excess dari nomogram Siggaard-
Andersen.
1. Sumber Sampel dan Pengumpulannya
Sampel darah arteri adalah yang paling sering digunakan secara
klinis, walaupun darah vena atau kapiler dapat digunakan jika sampel

35
terbatas. Tekanan oksigen pada darah vena (normal 40 mmHg)
menggambarkan ekstraksi jaringan bukan fungsi pulmonal. PCO2 vena
biasanya 4-6 mmHg lebih tinggi dari PaCO 2. Konsekuensinya, pH
darah vena 0,05 U lebih rendah dari pH darah arteri. Walaupun begitu,
darah vena sering digunakan dalam menentukan status asam basa.
Darah kapiler merepresentasikan campuran darah arteri dan vena, dan
nilai yang didapat merefleksikan hal tersebut. Sampel biasanya
dikumpulkan pada syringe heparin dan harus dianalisis segera.
Gelembung udara harus ditiadakan, sampel ditutup dan diletakkan di
atas es untuk mencegah ambilan udara dari sel darah atau kehilangan
udara ke atmosfer. Walaupun heparin sangat asam, jumlah haparin yang
berlebihan dalam syringe hanya menurunkan pH secara minimal namun
menurunkan PCO2 sebanding dengan persentase dilusinya, serta
memiliki efek bervariasi terhadap PO2.

2. Koreksi Suhu
Perubahan pada suhu mempengaruhi PCO2 dan PO2 secara
langsung serta pH secara tidak langsung. Turunnya suhu menurnunkan
tekanan parsial gas pada larutan- walaupun total gas content tidak
berubah- karena kelarutan sebanding dengan suhu. Baik PCO2 dan PO2
turun selama keadaan hipotermia, namun pH meningkat karena suhu
tidak mengubah [HCO3-]: PaCO2 menurnu, namun [HCO3-] tidak
berubah. Karena tekanan gas darah dan pH selalu diukur pada suhu 37
C, terdapat kontroversi apakan pengukuran nilai harus disesuaikan
dengan suhu pasien sebenarnya. Nilai normal pada suhu selain 37 oC
tidak diketahui. Banyak klinisi menggunakan pengukuran pada suhu 37
o
C, mengabaikan suhu pasien yang sebenarnya.

B. Pengukuran pH
Ketika logam diletakkan pada larutan garam, tendensi logam untuk
berionisasi ke dalam larutan menyebabkan logam bermuatan negatif. Jika
dua logam yang berbeda (elektroda) dan larutan garamnya dipisahkan oleh

36
partisi berpori (bisa terjadi pertukaran muatan), tendensi salah satu logam
untuk larut ke dalam larutan dibandingkan logam yang lain menyebabkan
adanya sebuah gaya elektromotive antara dua elektroda. Untuk mengukur
pH, elektroda perak/ perak klorida dan elektroda merkuri/ merkuri klorida
(calomel) adalah yang paling sering digunakan. Elektroda perak kontak
dengan larutan uji melalui gelas yang sensitif terhadap pH. Elektroda
calomel berhadapan dengan larutan uji melalui larutan potassium klorida
dan porous plug. Gaya elektromotive berkembang antara dua elektroda
adalah sebanding dengan [H+].

C. Pengukuran Karbondioksida
Modifikasi sistem elektroda pH dapat digunakan untuk mengukur
PCO2. pada sistem ini, (elektroda Severinghaus), dua elektroda dipisahkan
oleh larutan sodium bikarbonat dan potasium klorida. Sampel uji kontak
dengan larutan bikarbonat melalui membran teflon yang tipis yang
menyebabkan keseimbangan CO2 antara keduanya. Hasilnya, pH larutan
bikarbonat merefleksikan PCO2 pada larutan uji.

D. Pengukuran Oksigen
PO2 paling sering diukur secara polarografis menggunakan elektroda
Clark. Pada sistem ini, hubungan platinum dengan perak/ perak klorida
melalui larutan elektrolit (NaCl dan KCl) sampel uji dipisahkan dari
larutan elektrolit melalui membran yang menyebabkan oksigen brdifuis
secara bebas. Ketika voltase negatif ditambahkan pada elektroda platinum,
listrik yang mengalir antara dua elektroda secara langsung berhubungan
dengan PO2. pada prosesnya, molekul oksigen menangkap elektron dari
katoda dan bereaksi dengan air membentuk ion hidroksida.

37

Anda mungkin juga menyukai