Pluralisme Agama Dalam Perspektif Kristen
Pluralisme Agama Dalam Perspektif Kristen
1
melaju. Ada banyak faktor yang mendorong orang untuk mengadopsi pluralisme agama.
Beberapa faktor yang signifikan adalah:
1. Iklim demokrasi
Dalam iklim demokrasi, kata toleransi memegang peranan penting. Sejak kecil di negara
ini kita diajar untuk saling menghormati kemajemukan suku, bahasa dan agama. Berbeda-
beda tetapi satu jua. Begitulah motto yang mendorong banyak orang untuk berpikir
bahwa semua perbedaan yang ada pada dasarnya bersifat tidak hakiki. Beranjak dari sini,
kemudian toleransi terhadap keberadaan penganut agama lain dan agama-agama lain
mulai berkembang menjadi penyamarataan semua agama. Bukankah semua agama
mengajarkan kebaikan? Jadi, tidak masalah Anda menganut yang mana!
2. Pragmatisme
Dalam konteks Indonesia maupun dunia yang penuh dengan konflik horisontal antar
pemeluk agama, keharmonisan merupakan tema yang digemakan dimana-mana. Aksi-
aksi fanatik dari pemeluk agama yang bersifat destruktif dan tidak berguna bagi nilai-
nilai kemanusiaan membuat banyak orang menjadi muak. Dalam konteks ini,
pragmatisme bertumbuh subur. Banyak orang mulai tertarik pada ide bahwa menganut
pluralisme agama (menjadi pluralis) akan lebih baik daripada seorang penganut agama
tertentu yang fanatik. Akhirnya, orang-orang ini terdorong untuk meyakini bahwa
keharmonisan dan kerukunan lebih mungkin dicapai dengan mempercayai pluralisme
agama daripada percaya bahwa hanya agama tertentu yang benar. Yang terakhir ini tentu
berbahaya bagi keharmonisan masyarakat. Begitulah pola pikir kaum pragmatis.
3. Relativisme
Kebenaran itu relatif, tergantung siapa yang melihatnya. Ini adalah pandangan yang
populer, sehingga seorang tukang sapu pun memahaminya. Dalam era postmodern ini
penganut relativisme percaya bahwa agama-agama yang ada juga bersifat relatif. Masing-
masing agama benar menurut penganutnya-komunitasnya. Kita tidak berhak menghakimi
iman orang lain. Akhirnya, kita selayaknya berkata agamamu benar menurutmu,
agamaku benar menurutku. Kita sama-sama benar. Relativisme agama seolah-olah ingin
membawa prinsip win-win solution ke dalam area kebenaran.
2
4. Perenialisme
Mengutip Komarudin Hidayat, filsafat perennial adalah kepercayaan bahwa Kebenaran
Mutlak (The Truth) hanyalah satu, tidak terbagi, tetapi dari Yang Satu ini memancar
berbagai kebenaran (truths). Sederhananya, Allah itu satu, tetapi masing-masing agama
meresponinya dan membahasakannya secara berbeda-beda, maka muncullah banyak
agama. Hakekat dari semua agama adalah sama, hanya tampilan luarnya yang berbeda.
3
kemurnian, kemurahan hati, kedamaian batin dan ketenangan, sukacita yang
memancar.
4
membedakan antara relativisme dalam hal selera (enak/tidak enak, cantik/tidak cantik),
opini (UK Petra akan semakin maju/mundur) dan sudut pandang (ekonomi, sosiologi)
dengan kemutlakan kebenaran. Kebenaran itu mutlak, sedangkan selera, opini dan sudut
pandang memang relatif.
5
keselamatan bukan hasil perilaku etika atau moralitas tertentu tetapi kebenaran Allah di
dalam karya penebusan Yesus Kristus di kayu salib yang kita terima secara cuma-cuma
melalui iman (Roma 3:28-30; 10: 9-10; Mat. 26:28). Keselamatan dalam konsep Kristen
juga berbeda dengan keselamatan dalam Islam karena Al Quran menyatakan bahwa
keselamatan adalah hasil sinergi antara iman dan amal manusia (Q.S.Al Baqarah 25).
Kesimpulan
Pluralisme agama dalam pengetian teologi-filosofi memiliki banyak kelemahan dalam
logika dan konsistensi teologi. Selain itu berdasarkan epistemologi Alkitab, kita harus
menolak pandangan semua agama menuju pada Allah dan semua agama
menyelamatkan. Orang Kristen perlu berani mengakui perkataan Yesus "Akulah jalan
dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak
melalui Aku. Sikap demikian bukanlah fanatik tetapi konsisten. Fanatik adalah
mempercayai sesuatu atau seseorang tanpa bersikap kritis terhadapnya. Seseorang yang
belum pernah belajar semua agama tetapi terburu-buru mengatakan semua agama pada
dasarnya sama justru adalah orang yang fanatik terhadap pluralisme agama. Akhirnya,
tentu saja kita perlu menerima pluralisme agama secara sosial, tetapi pluralisme agama
dalam kategori teologi-filosofi harus kita tolak dengan tegas.
6
7