Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kerangka Teoritis
2.1.1 Defenisi Intelegensi
Dalam buku mereka yang berjudul Human Ability Spearman dan Wynn
Jones mengemukakan adanya suatu konsepsi lama mengenai sesuatu kekuatan
(power) yang dapat melengkapi akal fikiran manusia dengan gagasan abstrak yang
universal, untuk dijadikan sumber tunggal pengetahuan sejati. Kekuatan demikian
dalam bahasa Yunani disebut nous, sedangkan penggunaan kekuatan termasud
disebut noesis. Kemudian kedua istilah tersebut dalam bahasa Latin dikenal
sebagai intelectus dan intelligentia. Pada gilirannya, dalam bahasa Inggris masing-
masing diterjemahkan sebagai intellect dan intelligence. Ternyata transisi bahasa
tersebut membawa pula perubahan makna. Intelegence, yang dalam bahasa
Indonesia kita sebut intelegensi, semula berarti penggunaan kekuatan intelektual
secara nyata, akan tetapi kemudian diartikan sebagai suatu kekuatan lain
(Spearman dan Jones, 1951 dalam Azwar,1996).
Berbagai defenisi yang dirumuskan oleh para ahli memang menampakkan
adanya pergeseran arah seperti disebutkan oleh spearman dan Jones, namun selalu
mengundang pengertian bahwa intelegensi merupakan kekuatan atau kemampuan
untuk melakukan sesuatu.
Crider (1983) dalam Azwar (1996) mengatakan bahwa intelegensi itu
bagaikan listrik, gampang untuk diukur tapi hampir mustahil untuk didefinisikan.
Didunia ini saat terdapat banyak konsep tentang kecerdasan, dan masing-
masing ahli mengemukakan pendapatnya berbeda-beda tentang kecerdasan.
Dibawah ini akan dijelaskan beberapa pandangan para ahli tentang hakekat
kecerdasaan itu.
Alfred Binet merupakan tokoh perintis pengukuran intelegensi,
menjelaskan bahwa intelegensi merupakan:
1. Kemampuan mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan, artinya
individu mampu menetapkan tujuan untuk dicapainya (goal setting).
2. Kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila dituntut demikian, artinya
individu mampu melakukan penyesuaian diri dalam lingkungan tertentu
(adaptasi).
3. Kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau melakukan auto-kritik, artinya
individu mampu melakukan perubahan atas kesalahan-kesalahan yang telah
diperbuat atau mampu mengevaluasi dirinya sendiri secara objektif (Binet,
1857-1911 dalam Safaria, 2005).
Edward Lee Thorndike (1913) dalam Safaria (2005) memformulasikan
teori tentang intelegensi menjadi tiga bentuk kemampuan, yaitu:
1. Kemampuan Abstraksi, yaitu kemampuan bentuk individu untuk bekerja
dengan menggunakan gagasan dan simbol-simbol.
2. Kemampuan Mekanika, yaitu suatu kemampuan yang dimiliki individu untuk
bekerja dengan menggunakan alat-alat mekanis dan kemampuan melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan aktivitas gerak (sensory motor), dan
3. Kemampuan Sosial, yaitu suatu kemampuan untuk menghadapi orang lain
disekitar diri sendiri dengan cara-cara yang efektif.
Ketiga kemampuan ini tidak terpisahkan secara eksklusif dan juga tidak
selalu berkorelasi satu sama lain dalam diri sendiri. Ada kelompok individu yang
menonjol dalam kemampuan abstrak, dan ada pula kelompok individu yang
menonjol pada kemampuan mekanika (Azwar, 1997 dalam Safaria, 2005).
David Wechsler mendefenisikan intelegensi sebagai keseluruhan
kemampuan individu untuk berfikir dan berdindak secara terarah serta mengolah
dan menguasai lingkungan secara efektif (Wechsler, 1958 dalam Sarwono,
2002). Jadi, intelegensi memang mengandung unsure pikiran atau ratio. Makin
banyak unsure ratio yang harus digunakan dalam suatu tindakan atau tingkah
laku, makin berintelegensi tingkah laku tersebut.
Menurut Piaget intelegensi terutama untuk mengukur kemampuan
verbal,logis-matematis seperti: klasifikasi itu intelegensi oleh Piaget, Simon -
Binet, Terman dalam Azwar (1996) dan banyak ahli lainnya dianggap sebagai
suatu mental skill yang dapat diukur hanya dengan satu macam test yaitu test IQ.
Jadi, dalam hal ini ukuran intelegensi dinyatakan dalam IQ (Inteligence
Quotient).
Howard Gardner (1983) dalam Lwin (2008) mengusulkan bahwa
kecerdasan memiliki tujuh komponen. Dia menamakan ketujuh komponen
tersebut tujuh kecerdasan ganda. Selain kecerdasan linguistik-verbal dan
kecerdasan logis-matematis, kecerdasa lain juga meliputi kecerdasan spasial-
visual, kecerdasan ritmik-musik, kecerdasan kinestik, kecerdasan interpersonal
dan kecerdasan intrapersonal.
Gardner berpendapat bahwa setiap domain intelegensi harus diukur dengan
test dan assesmen sendiri yang berbeda Gardner menolak asumsi, bahwa kognisi
manusia merupakan satu kesatuan dan individu hanya mempunyai kecerdasan
tunggal. Meskipun sebagian besar individu menunjukkan penguasaan seluruh
spectrum kecerdasan, tiap individu memiliki tingkat penguasaan yang berbeda.
Individu memilili beberapa kecerdasan dan kecerdasan-kecerdasan itu bergabung
menjadi satu kesatuan membentuk kemampuan pribadi yang cukup tinggi ( Lwin,
2008).
Gardner sendiri memberikan defenisi tentang kecerdasan sebagai:
1. Kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya
2. Kemampuan untuk mengembangkan masalah baru untuk dipecahkan
3. Kemampuan untuk membuat sesuatu atau melakukan sesuatu yang
bermanfaat didalam kehidupannya (Anonim1, 2010).
Batasan-batasan para ahli tersebut ternyata banyak selaras dengan konsepsi
orang awam. Sternberg menyatakan bahwa banyak orang awam pun tidak saja
menekankan bahwa intelegensi pada aspek kemampuan intelektual (kognitif)
semata akan tetapi mementingkan pula aspek kemampuan sosial yang bersifat
non-kognitif. Sebagai perbandingan, tabel 2.1 memuat ciri-ciri intelegensi
menurut orang awam dan menurut para ahli.
Tabel 2.1. Faktor-Faktor Dasar Dalam Konsepsi Awam Dan Konsepsi Ahli
Mengenai Intelegensi

Awam Ahli

Kemampuan praktis untuk pemecahan Kemampuan memecahkan masalah


masalah

1. Nalar yang baik


1. Mampu menunjukkan pengetahuan
2. Melihat hubungan diantara berbagai
mengenai masalah yang dihadapi
hal
2. Mengambil keputusan tepat
3. Melihat aspek permasalahan secara
3. Menyelesaikan masalah secara
menyeluruh
optimal
4. Pikiran terbuka
4. Menunjukkan pikiran jernih
Kemampuan verbal Intelegensi verbal

1. Berbicara dengan artikulasi yang 1. Kosakata baik


baik dan fasih 2. Membaca penuh dengan
2. Berbicara lancar pemahaman
3. Punya pengetahuan dibidang tertentu 3. Ingin tahu secara intelektual
4. Menunjukkan keingintahuan
Kompetensi social Intelegensi praktis

1. Menerima orang lain seperti adanya 1. Tahu situasi


2. Mengakui kesalahan 2. Tahu cara mencapai tujuan
3. Tertarik pada masalah sosial 3. Sadar terhadap dunia sekeliling
4. Tepat waktu bila berjanji 4. Menunjukkan minat terhadap dunia
luar
(Sternberg, 1981 dalam Azwar, 1996)
Carl Witherington dalam Anonim2 (2010) mengemukakan enam ciri dari
perbuatan yang cerdas, yaitu:
1. Memiliki kemampuan yang cepat dalam bekerja dengan bilangan.
2. Efesiensi dalam berbahasa.
3. Kemampuan mengamati dan menarik kesimpulan dari hasil pengamatan yang
cukup cepat.
4. Kemampuan mengingat yang cukup cepat dan tahan lama.
5. Cepat dalam memahami hubungan.
6. Memiliki daya khayal atau imajinasi yang tinggi.
Menurut Mahmud (2008) ada beberapa ciri dari perilaku cerdas atau
perilaku individu yang memiliki kecerdasan tinggi:
1. Terarah kepada tujuan (purposeful behavior). Perilaku inteligen selalu
mempunyai tujuan dan diarahkan kepada pencapaian tujuan tersebut, tidak
ada perilaku yang sia-sia.
2. Tingkah laku terkoordinasi (organized behavior). Seluruh aktivitas dari
perilaku inteligen selalu terkoordinasi dengan baik. Tidak ada perilaku yang
tidak direncanakan atau tidak terkendali.
3. Sikap jasmaniah yang baik (physical well toned behavior). Perilaku cerdas
didukung oleh sikap jasmaniah yang baik. Seorang siswa yang belajar secara
inteligen, duduk dan baik, menempatkan bahan yang dipelajari dengan baik,
memegang alat tulis dengan baik, dan sebagainya, tidak belajar sambil
tiduran, sambl tengkurap dan lain-lain.
4. Memiliki daya adaptasi yang tinggi (adaptable behavior). Perilaku cerdas
cepat membaca dan menyesuaikan diri dengan lingkungan, tidak banyak
mengeluh atau merasakan hambatan dari lingkungan.
5. Berorientasi kepada sukses (succes oriented behavior). Perilaku cerdas
berorientasi kepada keberhasilan, tidak takut gagal, selalu optimis.
6. Mempunyai motivasi yang tinggi (clearly motivated behavior). Perilaku
cerdas selalu didorong oleh motivasi yang kuat baik yang datangnya dari
dalam dirinya maupun dari luar.
7. Dilakukan dengan cepat (rapid behavior). Perilaku cerdas dilakukan dengan
cepat, karena ia dengan cepat pula dapat memahami situasi atau
permasalahan.
8. Menyangkut kegiatan yang luas (broad behavior). Perilaku cerdas
menyangkut suatu kegiatan yang luas dan kompleks yang membutuhkan
pemahaman dan pemahaman yang mendalam.

2.1.2 Defenisi Interpersonal Intelegensi


Intelegensi interpersonal (interpersonal intelligence/kecerdasan
interpersonal) merupakan salah satu kecerdasan yang dikemukakan oleh Howard
Gardner seorang ahli psikologi kecerdasan terkemuka di Amerika.Teori
intelegensi gandanya( Multiple intelegensi ) telah banyak menjadi acuan dalam
pendidikan anak di seluruh dunia (Safaria,2005).
Intelegensi interpersonal atau bisa juga dikatakan sebagai kecerdasan
sosial, diartikan sebagai kemampuan dan keterampilan seseorang dalam
menciptakan relasi, membangun relasi dan mempertahankan relasi sosialnya
sehingga kedua belah pihak berada dalam situasi menang-menang atau saling
menguntungkan. Dua tokoh dari psikologi intelegensi yang secara tegas
menegaskan adanya sebuah kecerdasan interpersonal itu adalah Thorndike,
dengan menyebutkannya sebagai kecerdasan sosial dan Howard Gardner yang
menyebutnya sebagai kecerdasan interpersonal. Baik kata sosial ataupun
interpersonal hanya istilah penyebutannya saja, namun kedua kata tersebut
menjelaskan hal yang sama yaitu kemampuan untuk menciptakannya,
membangun dan mempertahankan suatu hubungan antar pribadi (sosial) yang
sehat dan saling menguntungkan (Safaria, 2005).
Kecerdasan interpersonal disebut juga people smart. Kecerdasan ini
melibatkan kemampuan untuk memahami dan bekerja dengan orang lain. Gardner
(1983) dalam Safaria (2005) mengemukakan bahwa anak yang mempunyai
intelegensi interpersonal yang tinggi, mempunyai kemampuan dalam
berhubungan dengan orang lain. Anak yang tinggi intelegansi interpersonalnya
akan mampu menjalankan komunikasi yang efektif dengan orang lain, mampu
berempati secara baik, mampu mengembangkan hubungan yang harmonis dengan
orang lain, mereka ini dapat dengan cepat memahami tempramen, sifat dan
kepribadian orang lain, mampu memahami suasa hati, motif dan niat orang lain.
Semua kemampuan ini akan membuat mereka lebih berhasil dalam berinteraksi
dengan orang lain.
Anak yang kurang yang berinteraksi dengan orang lain, serta kurang
mampu diperkenalkan dengan lingkungan diluar lingkungan keluarga akan
menyebabkan informasi yang masuk kedalam konsep pengetahuannya juga akan
berkurang. Bila pengalaman anak kurang, informasi yang masuk juga kurang
maka potensi yang ada pada diri anak tidak mampu diaktialisasikan. Interpersonal
intelegensi bukanlah sesuatu yang ada atau tidak ada ketika seorang anak
dilahirkan melainkan sesuatu yang harus diajarkan dan dibina selama tahap
pendewasaan seorang anak dan jika dibiarkan tanpa diajarkan, mungkin anak akan
mulai berlakukan dengan cara-cara yang tidak bisa diterima oleh masyarakat
secara umum maka disinilah pentingnya orang tua dan guru mengetahui cara
melatih kemampuan interpersonal anak sejak dini ( Lwin, 2008 ).
Anak adalah makhluk sosial. Mereka membutuhkan orang lain untuk
memenuhi kebutuhan sosialnya. Dari interaksi sosialnya mereka dapat memenuhi
kebutuhan akan perhatian, kasih sayang dan cinta. Anak tidak bisa lepas dari
lingkungan sosialnya karena mereka belajar dan berkembang didalamnya (Safaria,
2005).
Intelegensi interpersonal menjadi penting karena pada dasarnya manusia
tidak bisa menyendiri. Banyak kegiatan dalam hidup anak terkait dengan orang
lain. Anak yang gagal mengembangkan intelegensi interpersonalnya, akan banyak
mengalami hambatan dalam dunia sosialnya (Safaria, 2005).
Kecerdasan interpersonal ini merupakan kecerdasan yang lebih bersifat
crystallized menurut konsep yang dikemukakan oleh Cattel (1963) dalam Safaria
(2005). Intelegensi crystallized dapat dipandang sebagai endapan pengalaman
yang terjadi sewaktu intelegensi fluid bercampur dengan apa yang dapat disebut
intelegensi budaya. Intelegensi crystallized akan meningkat kadarnya dalam diri
seseorang seiring dengan bertambahnya pengetahuan, pengalaman dan
keterampilan-keterampilan yang dimiliki oleh individu. Intelegensi fluid
cenderung tidak berubah setelah usia 14 tahun atau 15 tahun, sedangkan
intelegensi crystallized masih dapat terus berkembang usia 30-40 tahunan, bahkan
lebih. Maka jelaslah bahwa kecerdasan interpersonal ini bersifat bisa berubah dan
bisa ditingkatkan. Karena lebih merupakan sebuah proses belajar dari pengalaman
anak-anak sehari, bukan merupakan faktor hereditas. Semua anak bisa kecerdasan
interpersonal yang tinggi.
Ramayulis (1999) dalam Syawaladi (2011) menyatakan bahwa metode
yang tepat untuk pembelajaran pada kecerdasan interpersonal adalah metode kerja
kelompok. Metode kerja kelompok merupakan penyajian materi dengan cara
pemberian tugas-tugas untuk mempelajari sesuatu kepada kelompok-kelompok
belajar yang sudah ditentukan dalam rangka mencapai tujuan, dalam kata lain
anak yang mempunyai intelegensi interpersonal yang tinggi, mempunyai
kepekaan untuk memahami orang lain, pemahaman sosial ini diarahkan kedalam
dirinya untuk kemudian disalurkan menjadi sebuah karya. Maka anak yang
dominan intelegensi interpersonalnya akan lebih mudah menangkap pelajaran bila
dilakukan dengan diskusi kelompok
Intelegensi interpersonal digunakan dalam berkomunikasi, saling
memahami dan berinteraksi dengan orang lain. Orang tinggi interpersonal
intelegensinya adalah mereka yang memperhatikan perbedaan diantara orang lain,
dan dengan cermat dapat mengamati tempramen, suasana hati, motif dan niat
merek. Intelegensi ini sangat penting pada pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan
orang lain seperti para ahli psikoterapi, guru, polisi dan semacamnya
(Azwar,1996).

2.1.3 Dimensi Intelegensi Interpersonal


Berikut ini tiga dimensi intelegensi interpersonal:
1. Social sensivity atau sensivitas sosial, yaitu kemampuan anak untuk mampu
merasakan dan mengamati reaksi-reaksi perubahan orang lain yang
ditunjukkannya baik secara verbal maupun non-verbal. Anak yang memiliki
sensivitas sosial yang tinggi akan mudah memahami dan menyadari adanya
reaksi-reaksi tertentu dari orang lain, entah reaksi tersebut positif ataupun
negatif.
2. Social insight, yaitu kemampuan anak untuk memahami dan mencari
pemecahan masalah yang efektif dalam suatu interaksi sosial, sehingga
masalah-masalah tersebut tidak menghambat apalagi menghancurkankan
relasi sosial yang telah dibangun anak. Tentu saja pemecahan masalah yang
ditawarkan adalah pendekatan menang-menang atau win-win solution.
Didalamnya terdapat juga kemampuan anak dalam memahami situasi sosial
dan etika sosial sehingga anak mampu menyesuaikan dirinya dengan situasi
tersebut. Fondasi dasar dari social insight ini adalah berkembangnya
kesadaran diri anak secara baik. Kesadaran diri yang berkembang ini akan
membuat anak mampu memahami keadaan dirinya baik keadaan internal
maupun eksternal seperti menyadari emosi-emosinya yang sedang muncul
(internal) atau menyadari penampilan cara berpakaiannya sendiri, cara
berbicara dan intonasi suaranya ( eksternal).
3. Social communication atau penguasaan keterampilan komunikasi sosial
merupakan kemampuan individu untuk menggunakan proses komunikasi
dalam menjalan dan membangun hubungan interpersonal yang sehat. Dalam
proses menciptakan, membangun dan mempertahankan relasi sosial, maka
seseorang membutuhkan sarananya. Tentu saja sarana yang digunakan adalah
melalui proses komunikasi, yang mencakup baik komunikasi verbal,
nonverbal maupum komunikasi melalui penampilan fisik. Keterampilan
komunikasi yang harus dikuasai adalah keterampilan mendengarkan efektif,
keterampilan berbicara efektif, keterampilan public speaking dan
keterampilan menulis secara efektif (Anonim, 2010).
Perlu diingat bahwa ketiga dimensi ini merupakan satu kesatuan utuh yang
dan ketiganya saling mengisi satu sama lain. Sehingga jika salah satu dimensi
timpang, maka akan melemahkan dimensi yang lain (Safaria, 2005).
Keterkaitan antar ketiga dimensi intelegensi interpersonal tersebut
diperlihatkan pada gambar 2.1. Berikut:

SOCIAL INSIGHT
KESADARAN DIRI
PEMAHAMAN SITUASI SOSIAL
DAN ETIKA SOSIAL
KETERAMPILA N PEMECAHAN MASALAH

SOCIAL SENSITIVITY

SIKAP EMPATI

SIKAP PROSOSIAL

SOCIAL COMUNICATIONS

KOMUNIKASI EFEKTIF

MENDENGARKAN EFEKTIF

(Sumber : Safaria, 2005)

(Sumber : Safaria, 2005)


Gambar 2.1 Dimensi Intelegensi Interpersonal

2.1.4 Karakteristik Intelegensi Interpersonal


Berikut ini akan dijelaskan karakteristik anak yang memiliki intelegensi
interpersonal yang tinggi yaitu:
1. Mampu mengembangkan dan menciptakan relasi sosial baru secara efektif.
2. Mampu berempati dengan orang lain atau memahami orang lain secara total.
3. Mampu mempertahankan relasi sosialnya secara efektif sehingga tidak
misnah dimakan waktu dan senantiasa berkembang semakin intim/
mendalam/ penuh makna.

4. Mampu menyadari komunikasi verbal maupun non verbal yang dimunculkan


orang lain, atau dengan kata lain sensitif terhadap perubahan situasi sosial dan
tuntutan-tuntutannya. Sehingga anak mampu menyesuaikan dirinya secara
efektif dalam segala macam situasi.
5. Mampu memecahkan masalh yang terjadi dalam relasi sosialnya dengan
pendekatan win-win solution, serta yang paling penting adalah mencegah
munculnya maslah dalam relasi sosialnya.
6. Memiliki keterampilan komunikasi yang mencakup keterampilan
mendengarkan efektif, berbicara efektif dan menulis secara efektif. Termasuk
pula didalamnya mampu menampilkan penampilan fisik (mode busana) yang
sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya (Safaria, 2005).

2.1.5 Cara Mengembangkan Intelegensi Interpersonal


a. Belillah kotak kartu nama, penuhi dengan nama kontak teman, kenalan,
kerabat dan orang lain, dan tetaplah menjalin hubungan dengan mereka.
b. Tetaplah untuk mengenal teman baru setiap harinya (atau dalam seminggu).
c. Bergabunglah dengan kelompok relawan atau kelompok yang berorientasi
memberi pelayanan.
d. Luangkan waktu selama 15 menit setiap hari untuk mempraktekkan
mendengarkan secara aktif dengan sahabat dekat Anda.
e. Saran yang diberikan Bolton untuk meningkatkan kemampuan mendengarkan
secara aktif diantanya:
Menghadapi orang lain dengan penuh perhatian.
Mempertahankan sikap terbuka.
Menghindari gerakan yang menganggu.
Menjalankan kontak mata yang baik.
Menggunakan "kalimat pembuka" yang cocok untuk berkomunikasi.
Memberikan isyarat sederhana dalam komunikasi untuk mendorong
seseorang menyampaikan kisahnya.
Mempertahankan sikap diam yang penuh perhatian ketika orang lain
sedang bicara
Merumuskan kembali pokok pembicaran orang lain.
Tunjukkan empati Anda kepada orang lain.
Dengan ringkas menyarikan inti percakapan.
f. Selenggarakan sebuah pesta dan undanglah sekurang-kurangnya tiga orang
yang tidak begitu Anda kenal.
g. Hadirilah sebuah sesi psikoterapi kelompok atau sesi terapi keluarga secara
teratur.
h. Ambil beran kepemimpinan dalam kelompok Anda.
i. Buatlah kelompok pendukung sendiri.
j. Ikuti sebuah kursus diperguruan tinggi setempat mengenai keterampilan
komunikasi antarpribadi.
k. Bekerjasamalah dengan satu orang atau lebih berdasarkan kesamaan minat.
l. Adakan pertemuan keluarga secara teratur dirumah.
m. Berkomunikasilah dengan orang lain melalui jaringan sosial
n. Adakan sesi sumbang saran secara berkelompok.
o. Kuasi seni perilaku sosial yang wajar dengan membaca buku tentang sopan
santun dan bahaslah hal ini dengan seseorang yang Anda anggap pandai
bersosialisasi.
p. Mulailah percakapan dengan orang -orang ditempat umum.
q. Hadirilah reuni keluarga atau sekolah
r. Mainkanlah pertandingan luar rumah yang tidak kompetitif atau kooperatif
bersama keluarga dan teman.
s. Bergabunglah dengan kelompok yang bertujuan membantu Anda bertemu
dengan orang-orang baru (misalnya kelompok belajar).
t. Tawarkan diri Anda untuk mengajar, membimbing atau membina orang lain
melalui organisasi sukarela atau yang tidak resmi.
u. Luangkan waktu selama 15 menit setiap hari selama satu atau dua minggu
untuk mengamati cara orang lain berinteraksi ditempat umum.
v. Renungkan hubungan Anda dengan orang sekitar Anda.

w. Pelajarilah kehidupan orang terkenal yang mahir bersosialisasi (para


dermawan, pengacara, politikus, pekerja sosial) melalui riwayat hidup, film
dan media lain kemudian belajarlah dengan mengikuti contoh mereka
(Armstrong, 2002).

Carniege dalam Amstrong (2002) mengemukakan beberapa hal pokok


yang dapat menuntun kita menuju efektivitas antarpribadi yang lebih besar:

Jangan mengkritik, menghakimi atau mengeluh.


Beri penghargaan yang jujur dan tulus.
Tunjukkan minat yang tulus terhadap orang lain.
Tersenyumlah.
Buatlah orang lain merasa penting.
Ajukan pertanyaan, jangan memberi perintah langsung.

Johnson (1981) dalam Safaria (2005) mengungkapkan bahwa agar mampu


memulai, mengembangkan dan memelihara hubungan interpersonal serta
komunikasi yang akrab, hangat dan produktif dengan orang lain, anak perlu
diajarkan sejumlah keterampilan dasar berkomunikasi. Keterampilan dasar
tersebut adalah:
1. Anak harus mampu untuk memiliki sikap saling memahami yang
diperolehnya dari beberapa subkemampuan seperti sikap percaya, pembukaan
diri, kesadaran diri dan penerimaan diri.
2. Anak harus mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya secara tepat dan
jelas.
3. Anak harus mampu menunjukkan sikap prososial dan saling mendukung.
4. Anak harus mampu memecahkan konflik dan bentuk-bentuk masalah antar
pribadi dengan cara-cara yang konstruktif.
Komunikasi antar pribadi merupakan unsur yang sangat penting bagi
perkembangan psikologis anak yang sehat. Johnson (1981) dalam Safaria (2005)
menunjukkan beberapa manfaat dari hubungan komunikasi antar pribadi bagi
anak, yaitu:
1. Komunikasi antar pribadi membantu perkembangan intelektual dan sosial
anak.
2. Identitas atau jatidiri anak terbentuk dalam dan lewat komunikasi dengan
orang lain.
3. Dalam rangka memahami realistis disekelilingnya, anak melakukan
pembandingan sosial untuk memperoleh pemahaman akan dunia
sekelilingnya.
4. Kesehatan mental anak sebagian ditentukan oleh kualitas komunikasi atau
hubungan antar pribadi yang terjalin antara anak terutama dengan orang-
orang terdekatnya (significant others).

2.1.6 Defenisi Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya.


Untuk memperoleh pengertian yang objektif tentang belajar terutama
belajar di sekolah, perlu dirumuskan secara jelas pengertian belajar. Pengertian
belajar sudah banyak dikemukakan oleh para ahli psikologi termasuk ahli
psikologi pendidikan.
Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses
perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan
lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan
tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku. Pengertian belajar dapat
didefenisikan sebagai berikut:
Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai
hasil pengalamnya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Perubahan yang terjadi dalam diri seseorang banyak sekali baik sifat
maupun jenisnya karena itu sudah tentu tidak setiap perubahan dalam diri
seseorang merupakan perubahan dalam arti belajar. Kalau tangan seorang anak
menjadi bengkok karena tertabrak mobil, perubahan semacam itu tidak dapat
digolongkan kedalam keadaan arti belajar. Demikian pula perubahan tingkah laku
seseorang yang berada dalam keadaan mabuk, perubahan yang terjadi dalam
aspek-aspek kematangan, pertumbuhan, dan perkembangan tidak termasuk
perubahan dalam pengertian belajar.
Selanjutnya sebagai landasan untuk memberikan pemahaman yang lebih
teoritis beberapa defenisi tentang belajar dapat dilihat pada uraian berikut:
a. Hilgard dan Bower (1975) mengemukakan: "Belajar berhubungan dengan
perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang
disebabkan oleh pengalaman-pengalamannya berulang-ulang dalam situasi,
dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar
kecendrungan respon pembawaan, kelelahan, pengaruh obat, kematangan dan
keadaan-keadaan saat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat dan
sebagainya).
b. Gagne (1997) menyatakan bahwa "belajar terjadi apabila suatu situasi
stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa
sehingga perbuatannya (preformancenya) berubah dari waktu sebelum ia
mengalami situasi tadi".
c. Morgan (1990) mengemukakan "Belajar adalah setiap perubahan yang relatif
menetapkan dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan
atau pengalaman".
d. Witherington (1987) mengemukakan: "Belajar adalah suatu perubahan
didalam kepribadian yang menyatakan sdiri sebagai suatu pola baru daripada
reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian atau suatu
pengertian" (Slameto, 2010).
Belajar dalam pengertian yang paling umum, adalah setiap perubahan
perilaku yang diakibatkan pengalaman atau sebagai hasil interaksi individu
dengan lingkungannya. Oleh karena manusia bersifat dinamis dan terbuka
terhadap berbagai bentuk perubahan yang dapat terjadi pada dirinya dan pada
lingkungan sekitarnya maka proses belajar akan selalu terjadi tanpa henti dalam
kehidupan manusia. Dalam pandangan sebagian ahli psikologi kognitif, proses
belajar bahkan terjadi secara otomatis tanpa memerlukan adanya motivasi (Azwar,
1996)
Dalam pengertian yang lebih spesifik, belajar didefinisikan sebagai
akuisisi atau perolehan pengetahuan dan kecakapan baru. Pengertian inilah yang
merupakan tujuan pendidikan formal disekolah-sekolah atau lembaga-lembaga
pendidikan yang memiliki program terencana, tujuan instruksional yang konkret,
dan diikuti oleh para siswa sebagai suatu kegiatan yang dilakukan secara
sistematis. Dalam hal ini, pengertian prestasi atau keberhasilan belajar dapat
dioperasionalkan dalam bentuk indikator-indikator berupa nilai rapor, indeks
prestasi studi, angka kelulusan, predikat keberhasilan dan semacamnya (Azwar,
1996).
Sementara itu memahami belajar sebagai proses belajar sebagai proses
aktifitas diisyaratkan oleh banyak sekali faktor-faktor. Keberhasilan dalam belajar
dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar itu
tidak lebih adalah sesuatu yang terlibat langsung maupun tidak langsung pada
proses belajar yang dilaksanakan pada situasi yang diinginkan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi belajar banyak belajar jenisnya tetapi tidak dapat digolongkan
saja, yaitu faktor interen (ada dalam diri individu yang sedang belajar) dan faktor
ekstern ( diluar individu) (Slameto, 2010).

a. FAKTOR INTERN
1. Faktor jasmaniah meliputi faktor kesehatan dan cacat tubuh.
2. Faktor psikologis meliputi intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif,
kematangan dan kesiapan.
3. Faktor kelelahan meliputi kelelahan baik secara jasmani (tubuh lunglai) dan
kelelahan rohaniah (bosan).
b. FAKTOR EKSTERN
1. Faktor keluarga meliputi cara orang tua mendidik, relasi antara anggota
keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua dan
latar belakang kebudayaan.
2. Faktor sekolah meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi guru dan
siswa,disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standard pelajaran diatas
ukuran, keadaan gedung, metode belajar serta tugas rumah.
3. Faktor masyarakat meliputi kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media,
teman bergaul, bentuk kehidupan masyarakat dan sebagainya.(Slameto, 2010)

2.1.7 Intelegensi dan Prestasi Belajar


Sesuatu yang wajar apabila dari mereka yang memiliki intelegensi yang
tinggi diharapkan akan dapat diperoleh prestai belajar yang tinggi pula. Salah satu
defenisi intelegensi memang menyebutkan bahwa intelegensi, antara lain
merupakan ability to learn (kemampuan untuk belajar) (Wechsler, 1958; Freeman,
1962 dalam Azwar, 1996). Begitu juga kemudahan dalam belajar disebabkan oleh
tingkat intelegensi yang tinggi yang terbentuk oleh ikatan-ikatan syaraf (neural
bonds) antara stimulus dan respon yang mendapat penguatan (Thorndike dalam
Azwar, 1996).
Pada umumnya orang berpendapat bahwa intelegensi merupakan bekal
potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan
menghasilkan performansi yang optimal. Hal ini didukung oleh fakta bahwa
lembaga-lembaga pendidikan lebih bersedia menerima calon siswa yang
menampakkan indikasi kemampuan intelektual tinggi dari pada yang tidak. Fakta
lain adalah didirikannya lembaga-lembaga pendidikan khusus bagi mereka yang
memiliki hambatan atau kelemahan intelektual. (Azwar, 1996).
Intelegensi besar pengaruhnya terhadap kemajuan belajar. Dalam situasi
yang sama, siswa yang mempunyai tingkat intelegensi yang tinggi akan berhasil
daripada siswa yang mempunyai tingkat intelegensi yang rendah. Walaupun
begitu siswa yang mempunyai tingkat intelegensi yang tinggi belum pasti berhasil
dalam belajarnya. Hal ini disebabkan karena belajar adalah suatu proses yang
kompleks dengan banyak faktor yang mempengaruhinya. Sedangkan intelegensi
adalah satu faktor diantara faktor yang lain. Jika faktor lain itu bersifat
menghambat/berpengaruh negatif terhadap belajar, akhirnya siswa gagal dalam
belajarnya. Siswa yang mempunyai tingkat intelegensi yang normal dapat berhasil
dengan baik dalam belajar, jika ia belajar dengan baik, artinya belajar dengan
menerapkan metode belajar yang efisien dan faktor-faktor yang mempengaruhi
belajar (faktor jasmaniah, psikologi, keluarga, sekolah, masyarakat) memberi
pengaruh yang positif. Jika siswa memiliki intelegensi yang rendah, ia perlu
pendapat pendidikan dilembaga pendidikan khusus.(Slameto, 2010)

Intelegensi sebagai unsur kognitif dianggap memegang peranan yang


cukup penting. Bahkan kadang-kadang timbul anggapan yang menempatkan
intelegensi dalam peranan yang melebihi proporsi yang sebenarnya. Sebagian
orang bahkan menganggap bahwa hasil tes intelegensi yang tinggi merupakan
jaminan kesuksesan dalam belajar sehingga bila terjadi kasus kegagalan belajar
pada anak yang memiliki IQ yang tinggi akan timbul reaksi berlebihan berupa
kehilangan kepercayaan pada institusi yang menggagalkan anak tersebut atau
kehilangan kepercayaan pada pihak yang telah memberikan diagnosa IQnya.
(Azwar, 1996)
Sejalan dengan itu, tidak kurang berbahayanya adalah anggapan bahwa tes
IQ yang rendah merupakan vonis akhir bahwa individu yang bersankutan tidak
mungkin dapat mencapai prestasi yang baik. Hal ini tidak saja merendahkan self-
esteem (harga diri) seseorang akan tetapi dapat menghancurkan pula motivasinya
untuk belajar yang justru menjadi awal dari segala kegagalan yang tidak
seharusnya terjadi.(Azwar, 1996)

2.2 Kerangka Berpikir


Dalam penelitian ini jenis penelitian yang dibuat oleh peneliti adalah
penelitian Deskriptif Korelasi Sebab Akibat dimana yang dikorelasikan adalah
intelegensi interpersonal dengan hasil belajar biologi. Anak yang dominan
intelegensi interpersonalnya akan lebih mudah menangkap pelajaran bila
dilakukan dengan diskusi kelompok (Ramayulis, 1999 dalam Syawaladi, 2011).
Jadi jika dalam suatu pembelajaran biologi diterapkan metode diskusi kelompok,
secara tidak langsung siswa yang memiliki intelegensi interpersonal yang tinggi
akan mendapatkan nilai biologi yang tinggi/baik pula. Demikian pula sebaliknya
siswa yang memiliki tingkat intelegensi yang sedang/rendah akan mendapatkan
nilai yang rendah pula.
Jika dibuat dalam bentuk bagan, maka akan terlihat sebagai berikut:

Pembelajaran Biologi Dengan


Penerapan Metode Diskusi
Kelompok

Siswa

Inteligensi Inteligensi
Interpersonal Interpersonal
Tinggi Sedang/Rendah

Hasil Belajar Hasil Belajar


Biologi Biologi

Tinggi Sedang/Rendah

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir


2.3 Hipotesis
2.3.1 Hipotesis Penelitian
Dalam penilitian ini digunakan teknik korelasi untuk menetapkan
hubungan antara pasangan skor dari sebaran skor yang berbeda dan ingin
mengetahui ada tidaknya hubungan dua pasangan tersebut. Oleh karena itu dalam
penelitian ini terdapat dua macam hipotesis, yakni:
1. Ho (Hipotesis nol): tidak ada hubungan antara intelegensi interpersonal
dengan hasil belajar biologi siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Bangun Purba
Tahun Ajaran 2011/2012.
2. Ha (Hipotesis alternatif): ada hubungan antara intelegensi interpersonal
dengan hasil belajar biologi siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Bangun
Purba Tahun Ajaran 2011/2012.
Menolak Ha jika r = 0.

2.3.2 Hipotesis Statistik


Ho : r = 0
Ha : r 0
Keterangan : r = Nilai rata-rata

Anda mungkin juga menyukai