Anda di halaman 1dari 156

PEDOMAN DIAGNOSIS DAN TERAPI

RAWAT INAP KAMAR BERSALIN

PUSKESMAS AMBUNTEN

No. Dokumen :
Revisi :
Tangal Berlaku :

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP


DINAS KESEHATAN

PUSKESMAS AMBUNTEN
Jalan Raya Ambunten No. 45 Telpon. 085231444455
E-mail : pusk.ambunten@gmail.com
Kecamatan Ambunten-Kabupaten Sumenep
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayahNya pedoman diagnosa
dan terapi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Semoga pedoman ini dapat dipergunakan untuk menjaga kualitas kamar bersalin puskesmas Ambunten,
sehingga dapat menjamin terciptanya tujuan peningkatan pengetahuan bidan sewbagai tenaga pelayanan
di puskesmas dan meningkatkan kualitas kesehatan seluruh lapisan masyarakat.
DAFTAR ISI
PERSALINAN NORMAL

A. Defenisi
Persalinan menurut Sarwono Prawirohardjo, 2005 adalah proses membuka dan
menipisnya serviks, dan dimana janin dan ketuban turun ke dalam jalan lahir dan didorong
keluar melalui jalan lahir.
Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada
kehamilan cukup bulan (37-42 minggu) lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang
berlangsung dalam 18 jam tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin.
Menurut tuanya kehamilan :
1. Abortus
Pengeluaran buah kehamilan sebelum kehamilan 22 minggu atau bayi dengan berat badan
kurang dari 500 gr.
2. Partus immaturus
Pengeluaran buah kehamilan antara 22 minggu dan 28 minggu atau bayi dengan berat badan
antara 500 gr dan 999 gr.
3. Partus trematurus
Pengeluaran buah kehamilan antara 28 minggu dan 37 minggu atau bayi dengan berat badan
antara 1000 gr dan 2499 gr
4. Partus maturus atau partus aterm
Pengeluaran buah kehamilan antara 37 minggu dan 42 minggu atau bayi dengan berat badan
2500 gram atau lebih
5. Partus postmaturus atau partus serotinus
Pengeluaran buah kehamilan adalah kehamila 42 minggu

Menurut cara persalinan


1. Partus spontan/Biasa
Persalinan yang berlangsung, dengan kekuatan ibu sendiri dan melalui jalan lahir
2. Partus buatan
Persalinan yang dibantu dengan tenaga dari luar, misalnya ekstraksi vakum dan sectio caesarea
(SC)
3. Partus anjuran
Persalinan bila bayi sudah cukup besar untuk hidup diluar, tetapi menimbulkan kesulitan dalam
persalinan dan tidak dimulai dengan sendirinya tetapi baru berlangsung setelah pemecahan
ketuban, pemberian pitocin atau prostaglandin

B. Etiologi (Penyebab) Persalinan


Yang menyebabkan terjadinya persalinan belum diketahui dengan jelas, tetapi banyak
fakta yang memegang peranan dan bekerja sama sehingga terjadi persalinan. Mulanya berupa
kombinasi dari faktor hormon dan faktor mekanis.
Beberapa teori yang dikemukakan ialah :
1. Teori penurunan kadar progesteron
Progesteron menimbulkan relaksasi otot-otot rahim sedangkan estrogen meninggikan kerentanan
otot rahim. Selama kehamilan terdapat keseimbangan antara kadar progesteron dan estrogen di
dalam darah, tetapi pada akhir kehamilan kadar progesteron menurun sehingga timbul his.
2. Teori oxytocin
Pada akhir kehamilan kadar oxytocin bertambah, oleh karena itu, timbul kontraksi otot-otot
rahim.
3. Keregangan otot-otot rahim
Seperti halnya dengan kandung kencing dan lambung, bila dindingnya teregang karena isinya
maka timbul kontraksi untuk mengeluarkan tinja. Demikian pula dengan rahim, maka dengan
majunya kehamilan makin teregang otot-otot rahim sehingga otot-otot makin rentan.
4. Pengaruh janin
Hypofisis dan kelanjar suprenal janin ternyata memegang peranan juga, selain itu, di belakang
serviks terletak ganglion servikale. Bila ganglion ini digeser dan ditekan, oleh kepala janin, maka
akan timbul kontraksi uterus
5. Teori prostagladin
Berdasarkan hasil percobaan menunjukkan prostagladin dari F2 atau E2 yang diberikan secara
intravena dan extra abdominal menimbulkan kontraksi miometrium pada setiap umur kehamilan.

Proses Persalinan Normal


Proses persalinan menurut Sarwono Prawirohardjo 2005 terdiri dari 4 kala yaitu ;

1. Kala I atau kala pembukaan

Dimulai dari his persalinan yang pertama sampai pembukaan serviks menjadi lengkap (10 cm)

2. Kala II atau kala pengeluaran

Dimulai dari pembukaan lengkap sampai lahirnya bayi

3. Kala III atau kala uri

Dimulai dari lahirnya bayi sampai lahirnya plasenta

4. Kala IV atau kala pengawasan

Dimulai setelah placenta lahir dean berakhir 2 jam setelah selesai kala III persalinan
Kala I (kala pembukaan)
Inpartu ditandai dengan keluarnya lendir bercampur darah (bloody show), karena serviks mulai
membuka (dilatasi) dan mendatar (effecement) kala I dibagi dalam 2 fase yaitu :
a. fase laten
berlangsung dalam 7-8 jam pembukaan berlangsung lambat pembukaan 3 cm.
b. Fase aktif
Berlangsung dalam 6 jam dan dibagi menjadi 3 fase :
1) Fase akselerasi
Dalam waktu 2 jam, pembukaan menjadi 4 cm
2) Fase dilatasi maksimal
Dalam waktu 2 jam, pembukaan berlangsung cepat menjadi 9 cm
3) Fase deselerasi
Dalam waktu 2 jam, pembukaan berlangsung lambat menjadi 10 cm atau lengkap
( Sarwono Prawirohardjp, 2005).

Kala II (kala pengeluaran)


Pada kala pengeluaran janin, his menjadi kuat dan lebih cepat kira-kira 2-3 menit sekali, karena
kepala janin sudah masuk keruang panggaul, sehingga pada his dirasakan tekanan pada otot-otot
dasar panggul yang secara reflekstoris menimbulkan rasa mengedan.
Karena ada tekanan pada rektum, ibu juga merasa ingin buang air besar (BAB) dengan tanda
anus terbuka. Pada waktu his, kepala janin mulai kelihatan dalam vulva yang membuka dan
perineum meregang. Dengan his dan kekuatan mengedan yang terpimpin, maka lahirlah kepala
yang diikuti oleh seluruh badan janin. Pada primigravida, kala II berlangsung rata-rata 1,5 2
jam dan pada multigravida - 1 jam.

Kala III (kala pengeluaran uri)


Setelah bayi lahir, uterus keras dengan fundus uteri setinggi pusat. Beberapa saat kemudian,
uterus berkontraksi lagi untuk pelepasan dan pengeluaran uri. Seluruh proses biasanya
berlangsung 20-30 menit setelah bayi lahir. Pengeluaran placenta disertai dengan pengeluaran
darah.

Kala IV (kala pengawasan)


Merupakan kala pengawasan selama 2 jam setelah bayi dan uri lahir. Kala IV sangat bermanfaat
karena berguna untuk mengamati keadaan ibu terutama terhadap bahaya perdarahan postpartum.

C. Gejala (Tanda-tanda Persalinan)

1. Tanda-tanda permulaan terjadinya persalinan

a. Turunnya kepala masuk pintu atas panggul pada primigravida minggu ke- 36.
b. Timbul perasaan sesak dibagian bawah, di atas simpisis pubis dan sering-sering ingin kencing
atau susah kencing (oliguria) karena kandung kemih tertekan oleh bagian terbawah janin.
c. Parut kelihatan lebih melebar karena fundus uteri turun.
d. Terjadinya perasaan sakit di daerah perut dan pinggang karena kontraksi ringan otot rahim dan
tertekannya fleksus yang terletak disekitar serviks (tanda persalinan palsu fase labour).
e. Terjadinya perlukaan serviks yang mulai mendatar dan sekresinya bila bertambah bercampur
darah (bloody show).

2. Tanda-tanda inpartu

a. Rasa sakit karena adanya his yang menjadi lebih kuat, sering teratur.
b. Pengeluaran lendir bercampur darah (bloody show) yang lebih banyak karena robekan-robekan
kecil pada serviks.
c. Dapat disertai pecahnya ketuban dengan sendirinya.
d. Pada pemeriksaan dalam serviks mengalami perubahan dengan terjadi perlukaan serviks,
pendataran serviks, pembukaan serviks.

Faktor-faktor yang berperan dalam persalinan adalah :


1. Kekuatan mendorong keluar/power
Power dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Kekuatan primer
Kontraksi uterus involunter yang memadai dari menandai dimulainya persalinan (his)
His ada 2 yaitu :
1) His pendahuluan/his palsu
Merupakan peningkatan dari kontraksi dari Braxton hicks
2) His persalinan
Merupakan his yang bersifat nyeri yang mungkin disebabkan oleh anoxia dari sel-sel otot-otot
saat kontraksi, tekanan pada ganglia dalam cerviks dan segmen bawah rahim oleh serabut-
serabut otot yang berkontraksi, cerviks yang meregang lurus atau regangan dan tarikan ada
peritoneum saat kontraksi, kontraksi rahim bersifat berkala dan yang diperhatikan dalam his
adalah:
a) Lamanya kontraksi
Kontraksi berlangsung 45 detik sampai 75 detik
b) Kekuatan kontraksi
Menimbulkan naiknya tekanan intrauterin sampai 35 mmHg kekuatan kontraksi secara klinis
ditentukan dengan mencoba apakah jari kita dapat menekan dinding rahim ke dalam
c) Interval antara dua kontraksi
Pada permulaan his timbul sekali dalam 10 menit dan pada kala pengeluaran sekali dalam 2
menit

Menurut faalnya, his dapat dibagi dalam :


1) His pembukaan
His yang menimbulkan pembukaan dari serviks
2) His pengeluaran
His yang mendorong anak keluar dan biasanya disertai dengan keinginan mengejan
3) His pelepasan uri
His yang melepaskan uri
(Sarwono Prawirohardjo,2005).

b. Kekuatan sekunder
Apabila serviks berdilatasi, maka dimulai untuk mendorong yang memperbesar kekuatan
kontraksi involunter (tenaga mengejan). Tenaga mengejan merupakan tenaga yang mendorong
anak keluar selain his, terutama disebabkan oleh kontraksi otot-otot dinding perut yang
mengakibatkan peninggian tekanan intraabdominal. Tenaga mengejan ini hanya efektif jika
pembukaan sudah lengkap dan paling efektif sewaktu kontraksi rahim.

2. Faktor Janin/Kondisi Janin/Passenger


Janin bergerak disepanjang lahir merupakan akibat interalis beberapa faktor yaitu ukuran kepala
janin, persentasi, letak, sikap, posisi janin.

3. Faktor Jalan Lahir


Pada waktu partus akan terjadi perubahan-perubahan pada uterus, serviks, vagina dari dasar
panggul.
D. Penatalaksanaan
1. Kala I
Pengkajian awal
a. Lihat
1) Tanda-tanda perdarahan, mekoneum atau bagian organ yang lahir
2) Warna kulit ibu yang kuning dan kepucatan
b. Tanya
1) Kapan tanggal perkiraan kelahiran
2) Menentukan ibu sudah waktunya melahirkan atau belum
c. Periksa
1) Tanda-tanda penting untuk hipertensi
2) Detak jantung janin untuk bradikardi

Penanganan kala I menurut Sarwono Parwirohardjo 2005


a. Menghadirkan orang yang dianggap penting oleh ibu seperti suami, keluarga pasien/teman
dekat.
Dukungan yang diberikan:
1) Mengusap keringat
2) Menemani jalan-jalan (mobilisasi)
3) Memberikan minum
4) Merubah posisi
5) Memijat/menggosok pinggang
b. Mengatur aktivitas dan posisi ibu
1) Ibu boleh melakukan aktivitas sesuai dengan kesanggupannya
2) Posisi sesuai dengan keinginan ibu tapi tidak dianjurkan posisi tidur terlentang
c. Membimbing ibu untuk rileks sewaktu ada his
Ibu diminta menarik nafas panjang, tahan nafas sebentar kemudian dilepaskan dengan cara
meniup sewaktu his
d. Menjaga privasi ibu
Menggunakan penutup/tirai, tidak menghadirkan orang lain tanpa sepengetahuan dan seizin
pasien.
e. Penjelasan tentang kemajuan persalinan
Menjelaskan perubahan yang terjadi dalam tubuh ibu, serta prosedur yang akan dilaksanakan dan
hasil-hasil pemeriksaan
f. Menjaga kebersihan diri
Membolehkan ibu untuk mandi, menganjurkan ibu untuk basuh sekitar kemaluannya setelah
BAB dan BAK
g. Mengetahui rasa panas
1) Menggunakan kipas angin/AC dalam kamar
2) Menggunakan kipas biasa
3) Menganjurkan ibu untuk mandi
h. Massase
Jika ibu suka, lakukan massase pada pinggang atau mengusap perut dengan lembut
i. Pemberian cukup minum
Untuk memenuhi kebutuhan energi dan mencegah dehidrasi
j. Mempertahankan kandung kemih
Sarankan ibu untuk berkemih sesering mungkin
k. Sentuhan
Disesuaikan dengan keinginan ibu, memberikan sentuhan pada salah satu bagian tubuh yang
bertujuan untuk menguraikan rasa kesendirian ibu selama proses persalinan.

2. Kala II
Selama kala II, petugas kesehatan harus terus memantau :
a. Tenaga atau usaha mengedan dan kontraksi uterus
b. Janin yang penurunan presentasinya dan kembali normal detak jantung bayi setelah kontraksi
c. Kondisi ibu

Penanganan kala II menurut Sarwono Prawirohardjo 2005


a. Memberikan dukungan terus menerus
1) Mendampingi ibu agar merasa nyaman oleh keluarga
2) Menawarkan minum, mengipasi dan memijat
b. Menjaga kebersihan diri
1) Ibu tetap dijaga kebersihannya agar terhindar dari infeksi
2) Bila ada darah lendir atau cairan ketuban segera dibersihkan
c. Mengipasi dan massase
Menambah kenyamanan bagi ibu
d. Memberikan dukungan mental
Untuk mengurangi kecemasan dan ketakutan ibu, dengan cara :
1) Menjaga privasi ibu
2) Penjelasan tentang proses dan kemajuan persalinan
3) Penjelasan tentang prosedur yang akan dilakukan dan keterlibatan ibu
e. Mengatur posisi ibu
Dalam memimpin mengedan dapat dilihat posisi sebagai berikut :
1) Jongkok
2) Menungging
3) Tidur miring
4) Setengah duduk
Posisi tegak ada kaitannya dengan berkurangnya rasa nyeri, mudah mengedan, kurangnya trauma
vagina dan perineum, dan infeksi
f. Menjaga kandung kemih tetap kososng
Anjurkan ibu untuk BAK sesering mungkin, kandung kemih yang penuh dapat menghalangi
turunnya kepala dalam rongga panggul
g. Memberikan cukup minum
Memberi tenaga dan mencegah dehidrasi
h. Memimpin mengedan
Pemimpin ibu mengedan selama his, anjurkan pada ibu untuk mengambil nafas
i. Bernafas selama persalinan
Meminta ibu bernafas lagi selagi kontraksi ketika kepala akan lahir, untuk menjaga agar
perineum meregang pelan dan mengontrol lahirnya kepala dan mencegah robekan.
j. Pemantauan DJJ
Periksa DJJ setelah setiap kontraksi untuk memastikan janin tidak mengalami brakikardi (< 120).
Selama mengedan yang lama, akan terjadi pengurangan aliran darah yang mengandung oksigen
ke janin
k. Melahirkan bayi
1) Menolong kelahiran kepala
2) Periksa tali pusat
3) Melahirkan bahu dan anggota seluruhnya
l. Bayi dikeringkan dan dihangatkan dari kepala sampai seluruh tubuh
Setelah bayi lahir, segera dikeringkan dan diselimuti dengan menggunakan handuk atau
sejenisnya, letakkan pada perut ibu dan berikan bayi untuk disusui
m. Merangsang bayi
1) Biasakan dengan melakukan pengeringan, cukup memberikan bayi rangsangan
2) Dilakukan dengan cara mengusap-usap pada bagian punggung atau menepuk telapak kaki bayi.

3. Kala III
Pengkajian awal menurut Sarwono Prawirohardjo 2005
a. Palpasi uterus menentukan apakah ada bayi yang kedua, jika ada, tunggu sampai bayi kedua
lahir
b. Menilai apakah BBL dalam keadaan stabil, jika tidak bayi segera dirawat

Penanganan kala III


a. Jepit dan gunting tali pusat sedini mungkin
Dengan menjepit tali pusat sedini mungkin akan memulai pelepasan plasenta
b. Memberi oksitosin
Oksitosin merangsang uterus berkontraksi yang juga mempercepat pelepasan plasenta :
1) Oksitosin 10 U IM yang diberikan ketika kelahiran bahu depan bayi jika petugas lebih dari satu
dan pasti hanya ada bayi tunggal
2) Oksitosin 10 U IM diberikan dalam 2 menit setelah kelahiran jika hanya satu orang petugas dan
hanya ada bayi tunggal
3) Oksitosin 10 U IM dapat diulangi/diberi lagi 15 menit jika belum lahir
4) Jika oksitosin tidak tersedia, lakukan dengan rangsangan puting payudara ibu atau berikan ASI
pada bayi guna menghasilkan oksitosin alamiah.
c. Melakukan peregangan tali pusat terkendali atau PTT (Controlled Cord Traction)
PTT mempercepat kelahiran plasenta, begitu sudah terlepas :
1) Satu tangan diletakkan pada corpus uteri tepat di atas simpisis pubis. Selama kontraksi, tangan
mendorong uteri dengan gerakan dorsokranial ke arah belakang dan ke arah kepala ibu
2) Tangan yang satu meregang tali pusat dekat pembukaan vagina dan melakukan tarikan tali pusat
yang terus-menerus dalam tegangan yang sama dengan tangan ke uterus selama kontraksi
3) Saat mulai berkontraksi (uterus menjadi bulat atau tali pusat menjulur) tegangkan tali pusat ke
arah bawah,lakukan tekanan dorso-kranial hingga tali pusat makin menjulur dan korpus uteri
bergerak keatas yang menandakan plasenta telah lepas dan dapat dilahirkan.
PTT dilakukan hanya selama uterus berkontraksi. Tangan pada uterus merasakan kontraksi, ibu
dapat juga memberitahu petugas ketika ia merasakan kontraksi.
d. Massase fundus
Segera setelah placenta dan selaputnya dilahirkan, massase fundus agar menimbulkan kontraksi.
Hal ini dapat mengurangi pengeluaran darah dan mencegah perdarahan post partum

4. Kala IV
Penanganan kala IV menurut Sarwono Prawirohardjo 2005
a. Ikat tali pusat
Jika petugas sendirian dan sedang melakukan management aktif kala III, tali pusat diklem, lalu
digunting dan memberkan oksitosin segera setelah plasenta dan selaputnya lahir, lakukan
massase fundus agar berkontraksi, baru tali pusat diikat dan klem dilepas.
b. Pemeriksaan fundus dan massase
Periksa fundus setiap 15 menit pada jam pertama dan setiap 20-30 menit selama jam kedua
c. Nutrisi dan hidrasi
Anjurkan ibu untuk minum demi mencegah dehidrasi, tawarkan ibu makan-makanan dan
minuman yang disukai

d. Bersihkan ibu
Bersihkan perineum ibu dan kenakan pakaian ibu yang bersih dan kering
e. Istirahat
Biarkan ibu beristirahat karena telah bekerja keras melahirkan bayinya. Bantu ibu pada posisi
yang nyaman
f. Peningkatan hubungan ibu dan bayi
Biarkan bayi berada pada ibu untuk meningkatkan hubungan ibu bayi, sebagai permulaan dengan
menyusui bayinya
g. Memulai menyusui
Bayi sangat siap segera setelah kelahiran. Hal ini sangat tepat untuk memulai memberikan ASI,
menyusui juga membantu uterus berkontraksi
h. Menolong ibu ke kamar mandi
Ibu boleh bangun ke kamar mandi, pastikan ibu dibantu dan selamat karena ibu masih dalam
keadaan lemah atau pusing setelah persalinan. Pastikan ibu sudah BAK dalam 3 jam post partum
i. Mengajari ibu dan anggota keluarga
Ajari ibu atau anggota keluarga tentang :
1) Bagaimana memeriksa fundus dan menimbulkan kontraksi
2) Tanda tanda bahaya bagi ibu dan bayi
KETUBAN PECAH DINI / PROM (Premature Rupture Of The Membrane)

2.1 Pengertian
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum inpartu yaitu bila pembukaan pada
primi kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm. (Prawirohardjo, 2006)

2.2 Etiologi
Penyebab PROM tidak atau masih belum jelas, maka preventif tidak dapat dilakukan, kecuali
dalam usaha menekan infeksi.

2.3 Menurut Ahli,1999. Patogenesis Ketuban Pecah Dini


Tylor dkk, telah menyelidik hal ini. Ternyata ada hubungannya dengan hal-hal berikut :
1. Adanya hipermotilitas rahim yang sudah lama terjadi sebelum ketuban pecah penyakit-
penyakit seperti pielonefritis, sistitis, sevisitis dan vaginitis terdapat bersama-sama
dengan hipermotilitas rahim ini.
2. Selaput ketuban terlalu tipis (kelainan ketuban)
3. Infeksi (Amnionitis atau Khorioamnionitis)
4. Faktor-faktor lain yang merupakan predisposisi ialah : multipara, malposisi, dispoporsi,
servik incompeten dll.
5. Ketuban pecah dini artifisial (amniotomi), dimana ketuban dipecahkan terlalu dini.
Kadang-kadang agak sulit atau meragukan kita apakah ketuban benar sudah pecah atau
belum, apalagi bila pembukaan kanalis cervikalis belum ada atau kecil. Cara menentukannya
adalah dengan :
a. Memeriksa adanya cairan yang berisi mekonium, vernik caseosa, rambut lanugo, atau
bila telah terinfeksi berbau .
b. Inspekulo : lihat dan perhatikan apakah memang air ketuban keluar dari kanalis servisis
dan apakah ada bagian yang sudah pecah.
c. Gunakan kertas lakmus (litmus) :
Bila menjadi biru (basa) air ketuban
Bila menjadi merah (asam) air kemih atau urine
d. Pemeriksaan pH forniks posterior pada PROM pH adalah basa (air ketuban)
e. Pemeriksaan hispatologis air ketuban
f. Aborization dan sitologi air ketuban
Ketuban pecah dini berpengarauh terhadap kehamilan dan persalinan. Jarak antara
pecahnya ketuban dan permulaan dari persalinan disebut periode laten. Makin muda umur
kehamilan makin memanjang periode latennya. Sedangkan lamanya persalinan lebih pendek
dari biasanya, yaitu pada primi 10 jam dan multi 6 jam.
2.4 Menurut Ali, 1999. pengaruh ketuban pecah dini dapat terjadi pada :
1. Terhadap janin
Walaupun ibu belum meanunjukkan gejala-gejala infeksi tetpi janin mungkin sudah
terkena infeksi karena infeksi intrauteri lebih dahulu terjadi (amnionitis, vaskulitis).
Sebelum gejala pada ibu dirasakan. Jadi akan meninggikan mortalitas dan morbilitas
serinatal.
2. Terhadap Ibu
Karena jalan telah terbuka, maka dapat terjadi infeksi intrapartal, apalagi bila terlalu
sering diperiksa dalam. Selain itu juga dapat dijumpai infeksi puerpuralis (nifas),
peritonitis dan septikemia, serta dry- labor. Ibu akan merasa lelah karena berbaring
ditempat tidur, partus akan menjadi lama, maka suhu badan naik, nadi cepat dan
nampaklah gejala-gejala infeksi, hal-hal di atas akan meningkatkan angka kematian dan
angka morbilitas pada ibu

2.5 Prognosis
Ditentukan oleh cara penatalaksanaan dan komplikasi-komplikasi yang mungkin timbul serta
umur dari kehamilan.

2.6 Menurut Ali, 1999. Pentalaksanaan KPD


1. Bila anak belum viabel (< 36 minggu), penderita dianjurkan untuk beristirahat ditempat
tidur dan berikan-berikan obat- obat antibiotika profilaksis, spasmolitika, dan roboransia
dengan tujuan untuk mengundur waktu sampai anak viabel.
2. Bila anak sudah viable (> 36 minggu), lakukan injeksi partus 6-12 jam setelah lag phase
dan berikan antibiotika profilaksis. Pada kasus-kasus tertentu dimana injeksi partus
dengan PGE2 dan atau drips sintosinon gagal maka lakukan tindakan operasi. Jadi pada
KPD penyelesaian persalinan bisa :
- partus spontan
- ekstraksi vakum
- ekstraksi forsep
- embriotomi bila anak sudah meninggal
- seksio sesarea bila ada indikasi obstetrik

2.7 Komplikasi
1. Pada anak : IUFD dan IPFD, asfiksia dan prematuritas
2. Pada Ibu : Partus pandang dan infeksi, atonia uteri, perdarahan post partum atau
infeksi.
Sarwono Prawiro Hardjo. 2006. Buku panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal, Jakarta : YBP SP
PARTUS LAMA
Partus lama masih merupakan suatu masalah di Indonesia karena seperti kita ketahui
bahwa 80 % dari persalinan masih ditolong oleh dukun. Kasus partus lama masih banyak
dijumpai dan keadaan ini memaksa kita untuk berusaha menurunkan angka kematian ibu
maupun anak yang yang paling ideal tentunya bagaimana mencegah terjadinya partus lama
dimana bila suatu persalinan berlangsung lama maka dapat menimbulkan komplikasi-
komplikasi baik terhadap ibu maupun terhadap anak dan dapat meningkatkan kematian ibu
dan anak.
Oleh karena itu diharapkan dengan adanya pembahasan tentang partus lama ini angka
kematian ibu dan janin dapat berkurang.

A. Definisi
Partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primi dan lebih
dari 18 jam pada multi

B. Masalah
Fase laten lebih dari 8 jam
Persalinan telah berlangsung 12 jam atau lebih bayi belum lahir
Dilatasi serviks dikanan ganas waspada pada perslinan fase aktif

C. Etiologi
Sebab- sebab terjadinya partus lama ini adalah multi komplek dan tentunya saja tergantung
pada pengawasan selama hamil pertolongan yang baik dan pelaksanaannya.
Faktor-faktor penyebab antara lain :
Kelainan letak janin
Kelainan-kelainan panggul
Kelainan his
Pimpinan his yang salah
Janin besar atau adanya kelainan kongenital
Primitua
Perut gantung grade multi
Ketuban pecah dini

D. Gejala Klinik
1. Pada Ibu
Gelisah, letih, suhu badan meningkat, berkeringat, nadi cepat, pernafasan cepat di daerah
lokalsering dijumpai oedem vulva, oedem serviks , cairan ketuban berbau, terdapat
mekonium
2. Pada Janin
Denyut jantung janin cepat / hebat / tidak teratur bahkan negatif , air ketuban terdapat
mekonium kental kehijau- kehijauan berbau
Caput succedenum yang besar
Moulage kepala yang hebat
Kematian janin dukun kandungan
Kematian janin intrapartal

E. Penanganan Umum
Nilai secara cepat keadaan umum wanita hamil tersebut termasuk tanda vital dan tingkat
hidrasinya
Apakah ada masalah medik lain/ hal yang mengancam jiwanya
Apakah ia kesulitan ? gelisah jika ya pertimbangan pemberian analgetik, \
Tentukan apakah pasien berada dalam persalinan
Tentukan Keadaan Janin
Periksa denyut jantung janin selama atau segera sesudah his hitung frekuensinya
sekurang-kuramgnya sekali dalam 30 menit selama fase aktif dan tiap 5 menit selama
kala II
Jika terdapat gawat janin, lakukan seksio sesarea, kecuali jika syarafnya dipenuhi
lakukan ekstraksi vacum atau forseps
Jika tidak ada ketuban yang mengalir setelah selaput ketuban pecah, pertimbangkan
adnya indikasi penurunan jumlah air yang mungkin menyebabkan gawat janin
Perbaiki keadaan umum
Memberikan dukungan emosi bila keadaan masih nmemungkinkan anjurkan bebas
bergerak duduk dengan posisi yang berubah(sesuaikan dengan penanganan persalinan
normal)
Berikan cairan baik secara oral atau parenteral dan upayakan buang air kecil (hanya
perlu katerisasi biala memang diperlukan)
Bila penderita merasakan nyeri yang sangat berikan analgetik tramadol/phetidin 25 mg
dinaikkan sampai maksimum 1 mg / cc atau morfin 1o mg IM lakukan pemeriksaan
vaginal untuk menentukan kala persalinan (lihat persalinan normal) lakukan penilaian
frekuensi dan lamanya kontraksi berdasarkan partograf
F. Penilaian Klinik
Pada prinsipnya persalinan lama dapat disebabkan oleh
His tidak efisien (adekuat)
Faktor janin (mal presentasi, mal posisi, janin besar)
Faktor jalan lahir (panggul sempit, kelainan serviks, vagina tumor)
G. Diagnosis Kelainan Partus Lama
Tanda dan Gejala Klinis Diagnosis
Pembukaan serviks tidak Belum inpartu fase labor
membuka (kurang dari 3 cm tidak
didapatkan kontraksi uterus)
Pembukaan serviks tidak Prolonged lathen fase
melewati 3 cm setelah 8 jam
inpartu
Pembukaan serviks melewati
garis waspada partograf Insersi uteri
Frekuensi + lamanya
kontraksi kurang dari 3
kontraksi per 10 menit + Disproporsi sefalopelviks
kurang dari 40 detik
Secondery arrest of dilatation Obstruksi
atau arrest of descent
Secondery arrest of dilatation
+ bagian terendah dengan
caput + , terdapat molase
hipal, edema servik tanda
rupture uteri imminiens, fetal
dan maternal distress Mal presentasi

Kelainan presentasi Kala II lama (Prolonged second stage)


Pembukaan serviks lengkap dan
ingin mengedan tetapi tidak ada
kemajuan penurunan

H. Partus Lama Dapat Merupakan


a) Prolonged lathen fase
- Multi gravida : > 12-14 jam
- Primigravida : > 18- 20 jam
b) Protacted active phase
- Pembukaan serviks maju terapi lambat
- Persalinan dapat terganggu
- Nullipara : < 1,2 cm / jam
- Multipara : < 1,5 cm / jam
Prolonged second stage
Pembukaan serviks lengkap
1 jam kemudian tak ada kemajuan
c) Secondary arrest
Pembukaan serviks tidak ada kemajuan dengan pemeriksaan vaginal toucher 2x
dengan interval 2 jam
I. Batasan Waktu Persalinan
Fase Primipara Multipara
fase laten 8,6 20,6 jam 5,3 14 jam
fase aktif 3- 12 jam 2-5 jam
Akselerasi 1 jam 1 jam
Akselerasi maksimal
3 cm 1,2 cm / jam 6 cm 1,5 cm / jam
Deselerasi 54 menit 3 jam 14- 53 menit
Normal 13 jam
7 jam

Cara Penanganan
Fase Labor
Bila his belum teratur dan portio masih tertutup pasien boleh pulang periksa adanya
infeksi saluran kencing, ketuban pecah dan bila didapati adanya infeksi saluran
kencing obati secara adekuat bila tidak pasien boleh rawat jalan.

Prolonged Laten phase (fase laten yang memanjang)


Bila his berhenti disebut persalinan palsu / belum inpartu bila mana kontraksi makin
teratur dan pembukaan bertambah sampai 3 cm pasien kita sebut masuk fase laten
Kekeliruan melakukan diagnosis persalinanmenjadi fase laten,
Menyebabkan pemberian induksi yang tidak perlu yang biasanya sering gagal hal ini
menyebabkan tindakan operasi secara cesaria yang kurang perlu dan sering
menyebabkan amnionitis.
Apabila ibu berada dalam fase laten lebih dari 8 jam dan tidak adaa kemajuan lakukan
pemeriksaan dengan jalan melakukan pemeriksaan serviks
- Bila tidak ada perubahan penipisan dan pembukaan serviks serta tak didapatkan tanda
gawat janin kaji ulang diagnosisnya kemungkinan ibu belum dalam keadaan inpartu
- Bila di dapatkan perubahan penipisan dan pembukaan serviks, dilakukan drip oxitosin
dengan 5 unit dalam 500 cc dekstrose (NaCl) mulai dari 8 tetes permenit , setiap 30 menit
ditambah 4 tetes sampai his adekuat (maksimum 40 tetes permenit) atau diberikan preparat
prostagladin lakukan penilaian ulang setiap 4 jam. Bila ibu tidak masuk fase aktif setelah
dilakukan pemberian oksitosin lakukan SC.
- Pada daerah prevalensi tinggi, dianjurkan membiarkan ketuban tetap utuh selama
pemberian oksitosin untuk mengurangi kemungkinan terjadinya persalinan HIV
- Bila didapatkan benda amnionitis berikan induksi sehingga oksitosin 5 unit dalam 500 cc
dekstrose / NaCl mulai dengan 8 tetes permenit, setiap 15 menit ditambah 4 tetes sampai
his adekuat (maksimum 40 tetes permenit)/ atau diberikan preparat prostaglandin serta
obati infeksi dengan ampicilin sebagai dosis awal + 1 gr/ IV setiap 6 jam dan gentamicin
2x 80 mg.

Prolonged Aktif fase (fase aktif yang memanjang)


Bila tidak didapatkan adanya CPD atau Obstruksi
Berikan penanggulangan umum yang kemungkinan akan memperbaiki kontraksi dan
mempercepat kemajuan persalinan
Bila ketuban infuk pecahkan ketuban, bila kecapatan pembukaan serviks pada waktu fase
aktif kurang dari 1 cm / jam lakukan penilaian kontraksi uterusnya
- Kontraksi uterus adekuat
Bila kontarksi uterus adekuat ( 3 dalam 10 menit dan lama lebih dari 40 detik)
pertimbangkan adanya CPD, obstruksi, mal posisi / mal presentasi.
- Disproporsi sefalopelvik
CPD terjadi karena bayi terlalu besar / pelvis kecil. Bila dalam persalinan terjadi CPD
akan kita dapatkan persalinan yang macet.
Cara penilaian pelvis yang baik adalah dengan melakukan partus percobaan (trial of
labor)
Kegunaan pelvimetri klinis terbatas
- Bila diagnosis CPD ditegakkan lahirkan dengan SC
- Bila bayi mati lakukan kraniotomi (bila tidak mungkin lakukan SC)
- Obstruksi atau partus macet
Bila ditemukan tanda- tanda obstruksi
Bayi hidup lahirkan dengan SC
Bayi mati lahirkan dengan kratiotomi/ embriotomi
Kontraksi Uterus Tidak Adekuat (Inersia Uteri)
Bila kontraksi uterus tidak adekuat dan dispoporsi atau obstruksi bila disingkirkan penyebab
paling banyak partus lama adalah kontraksi uterus yang tidak adekuat pada multigravida
kontraksi uterus yang tidak adekuat lebih kurang didapatkan dibanding dengan primigravida
sehingga lakukan evaluasi lebih dahulu apakah bisa menyingkirkan faktor disproporsi
sebelum melakukan tindakan oksitosin dan pada multigravida
- Lakukan induksi dengan oksitosin unit dalam 500 cc destrose / NaCl/ prostaglandin
- Evaluasi langsung dengan pemeriksaan vagina setiap 4 jam
Bila garis tindakan dilewati (memotong) lakukan SC
Bila ada kemajuan evaluasi setiap 2 jam
Kala II memanjang (Prolonged Ekpulsif Phase)
Upaya mengedan ibu menambah resiko pada bayi karena mengurangi jumlah oksigen ke
plasenta maka itu sebaiknya dianjurkan mengedan secara spontan, spontan mengedan dan
menahan nafas yang terlalu lama tidak dianjurkan, perhatikan DJJ bradikardi yang lama
mungkin terjadi lilitan tali pusat dalam hal ini lakukan tindakan ekstraksi vakum atau forsep
bila syarat memenuhi
- Bila mal presentasi dan obstruksi bisa disingkirkan berikan oksitosin drip
- Bila pemberian oksitosin drip tidak ada kemajuan dalam 1 jam lahirkan dengan bantuan
vakum / forsep
- Lakukan SC bila persyaratan vakum dan forsep tidak dipenuhi.

Hanifa Wonkosastro. SPOF. 2000. Ilmu Kebidanan, Jakarta: YBP-SP


Ida bagus Gde Manuaba. SPOG.1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan
Prof dr. Rustam Muhtar. MPH. 1998.Sinopsis Obstetri Jilid I, Jakarta : EGC
Sarwono Prawiro Hardjo. 2002. Buku panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal
Dan Neonatal, Jakarta : YBP SP
PLASENTA PREVIA
2.1 Pengertian Placenta Previa.
2.1.1 Plasenta dengan implantasi disekitar segmen bawah rahim, sehingga dapat
menutupi sebagian atau seluruh Osteum Uteri Internum.
( Ida Bagus Gde Manuaba; 1998)
2.1.2 Suatu keadaan dimana insersi plasenta tidak di fundus uteri, melainkan di segmen
bawah rahim (SBR) sehingga menutupi sebagian atau seluruh Osteum uteri
Internum pada kehamilan 28 minggu atau lebih.
( Pedoman Diagnosis dan Terapi ; Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo ; 1994)
2.1.3 Suatu keadaan dimana jaringan plasenta tidak tertanam dalam korpus uteri jauh dari
osteum internum servisis tetapi sangat dekat atau pada Osteum Internum.
( William Obstetri ; 1995)

2.2 Klasifikasi plasenta Previa


Placenta previa dibagi atas 4 menurut derajat penutupan OUI
2.2.1 Placenta Previa Totalis menutupi seluruh Osteum pada pembukaan 4 cm
2.2.2 Placenta Previa Partialis menutupi sebagian Osteum Uteri Internum
2.2.3 Placenta Previa marginalis apabila tepi plasenta berada sekitar pnggir Osteum uteri
Internum
2.2.4 Plasenta Letak rendah bila plasenta sampai dengan 3-4 cm dari OUI

2.3 Etiologi
Penyebab belum diketahui secara jelas, namun dapat dijelaskan :
2.3.1 Mungkin disebabkan vaskularisasi yang berkurang, atau perubahan atrofi pada
desidua akibat persalinan yang lampau sehingga dapat menyebabkan plasenta
previa.
2.3.2 Plasenta yang besar sehingga membentang dan meliputi daerah uterus yang luas,
biasanya terjadi pada janin yang lebih dari satu (kembar).
2.3.3 Zigot tertanam sangat rendah dalam kavum uteri mungkin akan membentuk
plasenta yang pada mulanya sangat berdekatan dengan Ostium Internum Servisis,
yang mana kadang bisa menyebabkan aborsi namun jika kuat tertanam dapat
berakhir dengan plasenta previa.

2.4 Patofisiologi
Umur Penderita Paritas bekas persalinan Mioma malnutrisi
Berulang, SC,
Curratage,
Pasenta manual
Plasenta Previa
2.5 Tanda dan gejala Klinis
2.5.1 Kehamilan 28 minggu / lebih
2.5.2 Perdarahan pervaginan
Sifat : tidak nyeri, darah segar, berulang.
2.5.3 Keadaan umum penderita sesuai dengan banyaknya perdarahan yang terjadi
(anemia dan Syok).
2.5.4 Sering disertai kelainan letak janin
2.5.5 Bagian terendah janin masih tinggi

2.6 Diagnosis dan cara pemeriksaan


Diagnosis plasenta previa ditegakkan berdasarkan pada gejala klinik, pemeriksaan khusus
dan pemeriksaan penunjang.
2.6.1 Anamnesa plasenta previa
2.6.1.1 Terjadi perdarahan pada kehamilan 28 minggu
2.6.1.2 Sifat perdarahan
1 Tanpa rasa sakit, terjadi secara tiba - tiba
2 Tanpa sebab yang jelas
3 Dapat berulang
2.6.1.3 Perdarahan dapat menimbulkan penyulit pada ibu maupun janin dalam
rahim.
2.6.2 Pada inspeksi dijumpai ;
2.6.2.1 perdarahan vagina encer sampai bergumpal
2.6.2.2 Pada perdarahan yang banyak ibu tampak anemis
2.6.3 Pemeriksaan fisik
2.6.3.1 Dijumpai keadaan bervariasi dari keadaan normal sampai syok
2.6.3.2 Kesadaran penderita bervariasi dari kesadaran baik sampai koma
2.6.3.3 Pada pemeriksaan dijumpai :
1 Tekanan darah, nadi dan perrnapasan dalam batas normal
2 Tekanan darah turun, nadi dan pernapasan men ingkat
3 Daerah ujung menjadi dingin
4 Tampak anemis
2.6.4 Pemeriksaan khusus kebidanan
2.6.4.1 Pemeriksaan palpasi abdomen
1 Janin belum cukup bulan, TFU sesuai dengan umur kehamilan
2 Karena plasenta di saegmen bawah rahim, maka dapat dijumpai kelainan
letak janin dalam rahim dan bagian terendah masih tinggi.
2.6.4.2 Pemeriksaan denyut jantung janin
Bervariasi dari yang normal sampai asfiksia dan kematian dalam rahim.
2.6.4.3 Pemeriksaan dalam DSU (Double Set- Up)
Pemeriksaan dalam dilakukan dimeja operasi dan siap untuk segera
mengambil tindakan. Tujuan pemeriksaan dalam untuk :
1 menegakkan diagnosis pasti
2 Mempersiapkan tindakan untuk dilakukan operasi persalinan atau hanya
memecahkan ketuban.
3 Hasil pemeriksaan dalam teraba plasenta sekitar osteum uteri internum.
2.6.5 Pemeriksaan penunjang
2.6.5.1 Pemeriksaan USG
2.6.5.2 Mengurangi pemeriksaan dalam
2.6.5.3 Menegakan Diagnosis
2.6.5.4 Inspekulo : menentukan asal perdarahan untuk menyingkirkan kemungkinan
yang bukan plasenta previa ( trauma, varises vagina, Ca portio, Polip
endoservik, inspekulo dilakukan jika perdarahan sudah berhenti.

2.7 Diferensia diagnosis (diagnosis pembanding)


2.7.1 Solutio plasenta
2.7.2 Kehamilan dengan :
2.7.2.1 Trauma pada vagina
2.7.2.2 Varises yang pecah
2.7.2.3 Ca servik
2.7.2.4 Polip endoservik

2.8 Penyulit
2.8.1 Ibu
2.8.1.1 Anemia dan Syok
2.8.1.2 Retensio Plasenta / Plasenta akreta
2.8.1.3 Infeksi
2.8.1.4 Ruptura Uteri
2.8.2 Janin
2.8.2.1 Asfiksia
2.8.2.2 IUFD
2.8.2.3 Premature

2.9 Penatalaksanaan Placenta Previa


Plasenta previa dengan perdarahan merupakan keadaan darurat kebidanan yang
memerlukan penanganan yang baik: cara :
2.9.1 Langsung seksio tanpa DSU.
Tanpa DSU dengan memperhatikan keadaan umum ibu, perbaiki keadaan umum
ibu dalam waktu relatif cepat, selama menunggu persiapan operasi sampai
memungkinkan untuk dilakukan SC ( atas konsultasi dengan anestesi). Tindakan ini
dilakukan pada :
2.9.1.1 Gawat janin dengan perkiraan berat janin > 1500 gram
2.9.1.2 Perdarahan aktif dan banyak dengan evaluasi bertahap (perdarahan
profuse > 500 cc dalam 30)
2.9.1.3 Hb 6 gram % atau kurang, bayi hidup, EFW 1500 gram, perdarahan
terus
Dalam hal tersebut diatas DSU dapat menyebabkan perdarahan yang
membahayakan keselamatan janin. Selama operasi seksio sesaria, harus ditentukan
apa diagnosisnya yang pasti, apakah : Plasenta previa totalis ataukah plasenta previa
lateralis dan berapa pembukaannya.
2.9.2 Double Set Up dilakukan pada:
Dilakukan pada :
2.9.2.1 Kehamilan aterm
2.9.2.2 Kehamilan premature dengan EFW > 200 gram
2.9.2.3 Perawatan Konservatif yang gagal yakni :
1 Perdarahan masih merembes keluar vagina
2 Perdarahan bercak akan tetapi menyebabkan penurunan Hb > 2 gram%
dengan pemeriksaan serial 3x / tiap 6 jam.
Pada DSU ditentukan
1 Bila plasenta previa totalis , lakukan SC
2 Bila plasenta previa lateralis, lakukan amniotomi
Terminasi dengan SC dilakukan bila
Setelah 12 jam tidak terjadi persalinan dan persyaratan persalinan
pervaginam tidak terpenuhi (VT), terjadi perdarahan lagi, terjadi
gawat janin. Namun jika terjadi persalinan pervaginam dianjurkan
pemberian uterotonik profilaklsis. Bila terjadi retensio plasenta
ingat plasenta akreta dan harus dilakukan penatalaksanaan di OK
dengan plasenta manual atau histerektomi.
3 Bila tidak teraba plasenta saat DSU lakukan inpekulo untuk
melihat asal perdarahan, bila perdarahan berasal dari OUI, tetap
dilakukan amniotomi ( dengan anggapan kemungkinan ada sesuatu
plasenta letak rendah, vasa previa yang pecah). Apabila dalam
inpekulo tidak dijumpai perdarahan, lakukan pemeriksaan USG,
untuk menentukan letak plasenta dan keadaan janin.

2.10 Perawatan Konservatif


2.10.1 Tindakan ini dilakukan pada :
2.10.1.1 Bayi premature (EFW < 2000 gram)
2.10.1.2 DJJ (+)
2.10.1.3 Perdarahan sedikit atau berhenti, bila Hb rendah ( anemis), tidak sesuai
dengan jumlah perdarahan yang keluar pikirkan anemia kronik.
2.10.2 Cara perawatan konservatif
2.10.2.1 Observasi selama 24 jam di kamar bersalin
2.10.2.2 Keadaan umum penderita diperbaiki, transfusi darah diusahakan HB >
10 gram %
2.10.2.3 Diberikan kortikosteroid untuk maturitas paru janin, menjaga
kemungkinan perawatan konservatif gagal. Suntikan diberikan IM 2x
selang 24 jam dengan dosis : Deksametason16 mg/hari atau betametason
12 mg / hari secara IV.
2.10.2.4 Bila perdarahan berhenti asien pindah ruangan bersalin tirah baring
selama 2 hari, lakukan mobilisasi.
2.10.2.5 Observasi Hb setiap hari, T, N ,DJJ, perdarahan setiap 6 jam.
2.10.2.6 Perdarahan konservatif gagal bila terjadi perdarahan berulang (
penanganan aktif).
2.10.2.7 Penderita di pulangkan bila tidak terjadi perdarahan ulang setelah
dilakukan mobilisasi. Sebelum pulang lakukan USG untuk memastikan
letak plasenta dan inspekulo untuk menentukan kelainan pada servik
vagina.
2.10.2.8 Nasehat waktu pulang
1 Istirahat
2 Dilarang koitus / manipulasi vagina
3 MRS bila terjadi perdarahan lagi
4 Periksa ulang (ANC) 1 minggu kemudian.
5 Berdasarkan pemeriksaan USG persalinan direncanakan sebagai
berikut :
Bila plasenta menutupi OUI, tunggu Aterm, kemudian dilakukan
USG ulang. Bila hasil tetap, maka persalinan direncanakan SC.
Bila plasenta di SBR, tapi tidak menutup OUI, ditunggu inpartu,
bila perdarahan lagi DSU.
Bila plasenta letaknya normal ditunggu inpartu, persalinan
diharapkan normal.

Mochtar, Rustam, Sinpsis Obstetri , ECG. Jakarta : 1998.


Manuaba Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan , dan Keluarga Berencana untuk Pendidik
Bidan , Penerbit buku kedokteran, Jakarta : 1998.
Prawirohario, Sarwono, Asuhan Maternal dan Nonatal , YBPSP, Jakata : 2002.
Sastrawinata, Sulaiman, Obstetri Fisiologi , Fakultas kedokteran Universitas Padjajaran
Bandung, Bandung : 1993.
Varney, Helen, Buku Saku Bidan , Penerbit buku kedokteran, Jakarta : 2001.
KONSEP POST DATE
2.2.1 Pengertian
Post date adalah kehamilan yang umur kehamilannya lebih dari 42 minggu.
(Syaifuddin, 2001).
Post date adalah partus yang terjadi 2 minggu atau lebih dari waktu partus yang
diperkirakan. (Sarwono, 1999)
Kehamilan yang lamanya melebihi 42 minggu (294 hari) dihitung dari hari pertama
haid terakhir atau 14 hari setelah perkirakan tanggal persalinan yang dihitung
menurut rumus Neagele dan asumsi siklus haidnya 28 hari (RSUD Dokter
Soetomo, Surabaya, 1994 : 63).
2.2.2 Etiologi
1. Penyebab pasti belum jelas
2. Masalah ibu :
- Serviks yang belum matang
- Kecemasan ibu
- Persalinan traumatis akibat janin besar (20%)
- Angka kejadian seksio sesarea meningkat karena gawat janin distosia, dan
disproporsi sephalo pelvik
- Meningkatnya perdarahan pasca persalinan ketika penggunaan oksitosin untuk
induksi
3. Masalah janin :
- Kelainan pertumbuhan janin
Janin besar dapat menyebabkan distosia bahu, fraktur klavikula,
Pertumbuhan janin terhambat
- Oligohidramnion
Kelainan cairan amnion ini mengakibatkan
Gawat janin
Keluarnya mekoneum
Tali pusatnya tertekan sehingga menyebabkan kematian janin mendadak
Kehamilan lewat waktu berhubungan dengan meningkatnya komplikasi pada
ibu maupun janin. (Saifudin, Abdul Bari, 2000)
4. Faktor hormonal
Terutama hormon progesteron yang tidak cepat turun walaupun kehamilan sudah
cukup bulan, sehingga kepekaan uterus terhadap oksitoxin kurang. Dan yang
paling menentukan adalah produksi prostaglandin kurang yang menyebabkan his
tidak kuat / tidak ada.
5. Faktor herediter
Kehamilan post matur sering dijumpai pada keluarga tertentu
6. Faktor psikologis
Pada kehamilan post matur otot rahim tidak sensitif terhadap rangsangan oksitosin
karena ketegangan psikologis.
7. Kelainan anatomi alat kandungan
2.2.3 Diagnosis dan Pemeriksaan
1. Membuat diagnosis kehamilan post date diperlukan kecermatan dalam menentukan
usia kehamilan yang tepat.
2. Menentukan usia kehamilan secara tepat, terutama bila hari pertama mentruasi
terakhir (HPHT) tidak jelas
3. Riwayat penggunaan obat-obat induksi ovulasi, pemakaian hormonal kontrasepsi
dan saat mulai dirasakannya gerakan janin oleh si ibu (quikening). Pengukuran
tinggi fundus uteri setinggi umbilikus pada kehamilan 20mgg dapat dipakai
sebagai indikator dalam menentukan umur kehamilan.
4. Pemeriksaan USG menjadi gold standar untuk mengkonfirmasi anamnesa dan
pemeriksaan fisik.
(RSUD Dr. Soetomo, 1994 : 63).
2.2.4 Pemeriksaan Penilaian Kesejahteraan Janin
Mulai dikerjakan pada usia kehamilan 41 minggu
Penentuan maturasi janin dengan pemeriksaan cairan ketuban (shake test atau
L/S (Lesitin/ Spingomielin Ratio) harus dikerjakan bila pemeriksaan USG
menunjukkan usia kehamilan 35 minggu
Dilakukan pemeriksaan dalam untuk menentukan skor pelvik menurut cara bishop
Amnioskopi untuk menentukan warna air ketuban (bilamana perlu dilakukan
amniotomi). (RSUD Dr. Soetomo, 1994).
Pemeriksaan ultrasonografi
Pemeriksaan biofisik untuk menilai pernafasan, gerakan janin, cairan ketuban dan
kematangan plasenta. Pemeriksaan derajat kematangan plasenta dan keadaan
cairan amnion. Kantung amnion < 2cm atau indeks cairan amnion < 5cm
merupakan indikasi untuk mengakhiri kehamilan. Perlu dilakukan penilaian adanya
gangguan pertumbuhan janin intra uterine.
Pemeriksaan penampilan jantung janin
1. Tes tanpa kontraksi / non stress test (NST)
Hasil NSt tidak reaktif memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, seperti test
dengan kontraksi atau profil biofisik. NST hendaknya dilakukan seminggu 2
kali.
2. Menilai kematangan serviks biasanya mempergunakan skor bishop yang telah
dimodifikasi. Serviks belum matang bila skor bishop < 5 (Syaifudin, 2000 :
307).
2.2.5 Komplikasi
1. Terhadap janin
a. Anak besar, dapat menyebabkan disproporsi sefalopelvik
b. Oligohidramnion, dapat menyebabkan kompresi tali pusat gawat janin sampai
bayi meninggal
c. Keluarnya mekoneum yang dapat menyebabkan aspirasi mekoneum
(Syaifudin, 2000).
2.2.6 Pencegahan
Konseling antenatal yang baik
Evaluasi ulang umur kehamilan bila ada tanda-tanda berat badan tidak naik,
oligohidramnion, gerak anak menurun. Bila ragu periksa untuk konfirmasi umur
kehamilan dan mencegah komplikasi. (Syaifudin, 2000).
2.2.7 Penatalaksanaan
Pada dasarnya penatalaksanaan post date adalah merencanakan, pengakhiran
kehamilan. Cara mengakhiri kehamilan berdasarkan hasil penilaian kesejahteraan janin
:
1. Bila skor pelvik : matang (>5)
a. Amniotomi : jernih> drip oxytosin
keruh.> seksio sesar
b. Bila skor pelvik belum matang (< 5).> seksio sesar
2. Penilaian kesehatan janin ragu-ragu
a. Bila skor pelvik belum matang (D5 > 5)
Amniotomi : jernih> drip oxytosin
keruh.> seksio sesar
b. Bila skor pelvik belum matang (< 5)
Tirah baring 1 hari kemudian penilaian kesejahteraan di ulang hari berikutnya :
Bila hasilnya jelek> seksi sesar
ragu-ragu.. > seksio sesar
baik.> penilaian kesejahteraan secara Scr.i.> sampai
induksi persalinan memungkinkan (D5 > 5)
3. Penilaian kesejahteraan janin baik
Bila skor pelvik : matang (>5) drip oksitosin tanpa amniotomi
Bila skor pelvik belum matang (D5 < 5)
Tunggu dengan melakukan penilaian janin secara seri, dilakukan NST
sekurang-kurangnya 1x seminggu s/d D5 > 5 untuk dilakukan drip oksitosin.
(RSUD Dr Soetomo Surabaya, 1994 : 64 65).
Pengelolaan intra partum
Pasien tidur miring sebelah kiri
Pergunakan pemantauan elektronik jantung janin
Bila oksitosin bila ditemukan keadaan jantung yang abnormal
Perhatikan jalannya persalinan
Segera setelah lahir, bayi harus segera diperiksa terhadap kemungkinan
hipoglikemi, hipovolemi, hipotermi dan polistemi
Bayi yang mengalami post term dapat dibagi 2 stadium
Stadium I
Kulit menunjukkan kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa kulit
kering, rapuh dan mudah mengelupas
Stadium II
Gejala di atas disertai pewarnaan mekoneum (kehijauan) pada kulit
Stadium III
Terdapat pewarnaan pada kuku, kulit dan tali pusat (Syaifuddin, 2000).

2.3 Konsep Induksi Persalinan


2.3.1 Definisi
Tindakan terhadap ibu hamil untuk merangsang timbulnya kontraksi
(Kapita Selekta Kedokteran, 1998 : 300)
2.3.2 Indikasi
Janin : Post partum, ketuban pecah dini, incompabiliti rhesus
Ibu : IUFD (intra uterine fetal death)
Ibu & Janin : Pre Eklamsia Berat
2.3.3 Kontra indikasi
Disproporsi sefalopelfik
Riwayat sectio caesarea
Mal posisi
Mal presentasi janin
Insufisiensi plasenta
Grande multi
Gemeli
Distensi rahim yang berlebihan (pada hidramnion)
Plasenta previa
(Kapiya Selekta Kedokteran , 1998 : 300)
2.3.4 Metode
Pembedahan yaitu dengan cara stripping (melepaskan / memisahkan kantung ketuban
dengan segmen bawah rahim uterus
Amniotomi (pemecahan kantung ketuban)
Rangsangan listrik
Rangsangan pada puting susu
Medikamentosa yaitu dengan menggunakan oksitoksin , spartein sulfat, prostaglandin,
cairan hipertonik intrauterin
Stipping dapat dilakukan dengan menggunakan ibu jari untuk memisahkan kantung
ketuban dari segmen bawah uterus / dengan memasang kateter folley no 24 melalui
kanalis servikalis di segmen bawah uterus dan balon kateter di isi cairan 10 ml
Amniotomi adalah keberhasilan tergantung pematangan servik (perlunakan,
pembukaan) komplikasi yang dapat terjadi berupa prolaps tali pusat, solusio placenta,
dan infeksi
Induksi persalinan bersifat farmakologi adalah kontraksi yang bersifat ritmik, sedikit
bersifat diuretik, waktu paruh sangat singkat (3 menit) dan awal kerja 5 menit. Syarat
pemberian Oksitoksin adalah :
Kehamilan aterm
Ada kemunduran His
Ukuran panggul normal
Tidak ada disproporsi sefalopelvik
Janin presentasi kepala
Servik sudah matang Induksi persalinan kemungkinan besar akan berhasil bila skor
bishop > 8
Cara pemberian Oksitoksin
Tambahkan dan campurkan 5 IU oksitoksin sintetik ke dalam 500 ml cairan dektrosa
5% berikan cairan melalui infus, dosis 0.5 1.0 MU / menit sampai didapat respon
berupa kontraksi dan relaksasi uterus yang cukup baik. Kontraksi terlalu kuat dengan
relaksasi yang kurang dapat berakibat buruk terhadap janin karena adanya gangguan
sirkulasi uteroplacenter
Skor pelvik menurut Bishop
SKOR 0 1 2 3
Pembukaan servik (cm) 0 12 34 56
Pendataran servik 0 30% 40 50% 60 70% 80%
Penurunan kepala diukur -3 -2 -1,0 +1 , +2
dari hodge III (cm)
Konsistensi serviks Keras sedang Lunak
Posisi serviks Ke Searah sumbu Ke arah
belakang jalan lahir depan

Marjono, Anthonius Budi FKUI, Jakarta, 1992.

Mochtar, Rustam, 1998, Sinopsis Obstetri, Obstetri Operatif, Obstetri Sosial, Edisi 2 Jilid 2,
Jakarta : EGC
Saifudin, Abdul BariB, 2000, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal, Edisi ke I, Jakarta : YBPSP

RSU Soetomo, 1994, Pedoman dan Terapi, Cab / UPF Ikatan Kebidanan dan Pelayanan
Kandungan, Surabaya.

Manuaba, Ida Bagus Gde, 2001, Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi
dan KB, Jakarta : EGC
PRE EKLAMSIA (KERACUNAN KEHAMILAN)
Dr. Suparyanto, M.Kes

Konsep Pre-Eklamsi

1 Pengertian Pre-eklamsia

Preeklamsia dan eklamsia merupakan kumpulan kumpulan gejala yang timbul pada ibu

hamil, bersalin dan dalam masa nifas yang terdiri dari trias : proteinuri, hipertensi,dan edema,

yang kadang-kadang disertai konvulsi sampai koma. Ibu tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda

kelainan-kelainan vaskular atau hipertensi sebelumnya ( Mochtar, 2007).

Preeklamsi adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, proteinuria, dan edema yang

timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke tiga pada kehamilan,

tetapi dapat terjadi sebelumnya misalnya pada mola hidatidosa Prawirohardjo 2005 yang dikutip

oleh Rukiyah (2010).

2 Etiologi

Menurut Mochtar (2007), Etiologi penyakit ini sampai saat ini belum diketahui dengan

pasti. Banyak teori-teori dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan

penyebabnya.oleh karena itu disebut Penyakit teori, namun belum ada yang memberikan

jawaban yang memuaskan. Teori yang sekarang dipakai sebagai penyebab preeklamsia adalah

teori iskemia plasenta. Namun teori ini belum dapat menerangkan semua hal yang bertalian

dengan penyakit ini.

Teori yang dapat diterima haruslah dapat menerangkan : (a) Mengapa frekuensi

menjadi tinggi pada: primigravida, kehamilan ganda, hidramnion,dan molahidatidosa; (b)

Mengapa frekuensi bertambah seiring dengan tuanya kehamilan ,umumnya pada triwulan ke III;

(c)Mengapa terjadi perbaikan keadaan penyakit, bila terjadi kematian janin dalam kandungan;

(d) mengapa frekuensi menjadi lebih rendah pada kehamilan berikutnya; dan (e) Penyebab

timbulnya hipertensi,proteinuria,edema dan konvulsi sampai koma. Dari hal-hal tersebut diatas,

jelaslah bahwa bukan hanya satu faktor, melainkan banyak faktor yang menyebabkan pre-

eklamsia dan eklamsia.

Adapun teori-teori yang dihubungkan dengan terjadinya preeklamsia adalah :

a) Peran prostasiklin dan trombiksan


Pada preeklamsia dan eklamsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskular, sehingga

terjadi penurunan produksi prostsiklin (PGI 2) yang pada kehamilan normal meningkat, aktifasi

pengumpulan dan fibrinolisis, yang kemudian akan digant trombin dan plasmin,trombin akan

mengkonsumsi anti trombin III, sehingga terjadi deposit fibrin. Aktifasi trombosit menyebabkan

pelepasan tromboksan (TXA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan

endotel.

b) Peran faktor imunologis

Menurut Rukiyah (2010), Preeklamsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak

timbu lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat ditererangkan bahwa pada kehamilan

pertama pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang

semakin sempurna pada kehamilan berikutnya. Beberapa data yang mendukung adanya sistem

imun pada penderita PE-E, beberapa wanita dengan PE-E mempunyai komplek imun dalam

serum, beberapa studi juga mendapatkan adanya aktifasi sistem komplemen pada PE-E diikuti

proteinuria.

c) Faktor genetik

Beberapa bukti menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian PE-E antara lain : (1)

preeklamsia hanya terjadi pada manusia; (2) terdapatnya kecenderungan meningkatnya frekuensi

PE-E pada anak-anak dari ibu yang menderita PE-E; (3) kescenderungan meningkatnya

frekuensi PE-E pada anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat PE-E dan bukan pada ipar mereka;

(4) peran renin-angiotensin-aldosteron sistem (RAAS).

Yang jelas preeklamsia merupakan salah satu penyebab kematian pada ibu hamil,

disamping infeksi dan perdarahan, Oleh sebab itu, bila ibu hamil ketahuan beresiko, terutama

sejak awal kehamilan, dokter kebidanan dan kandungan akan memantau lebih ketat kondisi

kehamilan tersebut.

Beberapa penelitian menyebutkan ada beberapa faktor yang dapat menunjang terjadinya

preeklamsia dan eklamsia. Faktor-faktor tersebut antara lain,gizi buruk, kegemukan, dan

gangguan aliran darah kerahim. Faktor resiko terjadinya preeklamsia, preeklamsia umumnya

terjadi pada kehamilan yang pertama kali, kehamilan di usia remaja dan kehamilan pada wanita

diatas usia 40 tahun. Faktor resiko yang lain adalah riwayat tekanan darah tinggi yang kronis
sebelum kehamilan, riwayat mengalami preeklamsia sebelumnya, riwayat preeklamsia pada ibu

atau saudara perempuan, kegemukan,mengandung lebih dari satu orang bayi, riwayat kencing

manis, kelainan ginjal, lupus atau rematoid artritis.

3 Patofisiologi

Menurut Mochtar (2007) Pada preeklamsia terjadi spasme pembuluh darah disertai

dengan retensi garam dan air. Pada biopsi ginjal ditemukan spasme hebat arteriola glomerolus.

Pada beberapa kasus, lumen arteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat dilalui oleh

satu sel darah merah. Jadi jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan

darah akan naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigenasi

jaringan dapat dicukupi.

Sedangkan kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan oleh penimbunan air yang

berlebihan dalam ruangan intertisial belum diketahui penyebabnya, mungkin karena retensi air

dan garam. Proteinuria dapat disebabkan oleh spasme arteriola sehingga terjadi perubahan

glomerolus.

4 Klasifikasi

Menurut Mochtar (2007), Dibagi menjadi dua golongan, yaitu :

1) Pre-eklamsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut

a) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring terlentang: atau

kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih; atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara

pengukuran sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan dengan jarak 1 jam,sebaiknya 6 jam.

b) Edema umum, kaki jari tangan, dan muka, atau kenaikan berat badan 1 kg per minggu.

c) Proteinuria kwantitatif 0,3 gr per liter,kwalitatif 1+ atau 2+ pada urin kateter atau

midstream.

2) Pre-eklamsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut :

a) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.

b) Proteinuria 5gr per liter.

c) Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam.

d) Adanya gangguan serebral, gangguan visus, dan rasa nyeri di epigastrium.

e) Terdapat edema paru dan sianosis.


5 Perubahan Pada Organ-Organ

Menurut Mochtar (2007) pada penderita preeklamasi dapat terjadi perubahan pada

organ-organ, antara lain :

1) Otak

Pada pre-eklamsia aliran darah dan pemakaian oksigen tetap dalam batas-batas normal.

Pada eklamsia, resistensi pembuluh darah meninggi, ini terjadi pula pada pembuluh darah otak.

Edema yang terjadi pada otak dapat menimbulkan kelainan serebral dan gangguan visus, bahkan

pada keadaan lanjut dapat terjadi perdarahan.

2) Plasenta dan rahim

Aliran darah menurun ke plasenta dan menyebabkan gangguan plasenta, sehingga terjadi

gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin. Pada pre-

eklamsia dan eklamsiasering terjadi peningkatan tonus rahim dan kepekaanya terhadap rangsang,

sehingga terjadi partus prematus.

3) Ginjal

Filtrasi glomerolus berkurang oleh karena aliran ke ginjal menurun. Hal ini menyebabkan

filtrasi natrium melalui glomerolus menurun, sebagai akibatnya terjadilah retensi garam dan air.

Filtrasi glomerolus dapat turun sampai 50% dari normal sehingga pada keadaan lanjut dapat

terjadi oliguria dan anuria.

4) Paru-paru

Kematian ibu pada pre-eklamsia dan eklamsia biasanya disebabkan oleh edema paru

yang menimbulkan decompensasi cordis. Bisa pula karena terjadinja aspirasi pnemonia,atau

abses paru.

5) Mata

Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah. Bila terdapat hal-hal

tersebut, maka harus di curigai terjadinya pre eklamsia berat. Pada eklamsia dapat terjadi ablasio

retina yang disebabkan odema intra-okuler dan merupakan salah satu indikasi untuk melakukan

terminasi kehamilan. Gejala lain yang dapat menunjukkan tanda pre-eklamsia berat adalah
adanya skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini disebabkan adanya perubahan peredaran darah

dalam pusat penglihatan di korteks serebri,atau di dalam retina.

6) Keseimbangan air dan elektrolit

Pada pre-eklamsia ringan biasanya tidak dijumpai perubahan yang nyata pada

metabolisme air, elektrolit, kristaloit, dan protein serum. Jadi, tidak terjadi gangguan

keseimbangan elektrolit. Gula darah, kadar natrium bikarbonat dan pH darah berada berada pada

batas normal. Pada pre-eklamsia berat dan eklamsia, kadar gula darah naik sementara, asam

laktat dan asam organik lainya naik,sehingga cadangan alkali akan turun. Keadaan ini biasanya

disebabkan oleh kejang-kejang. Setelah konvulsi selesai zat-zat organik dioksidasi, dan

dilepaskan natrium yang lalu bereaksi dengan karbonik sehingga terbentuk natrium bikarbonat.

Dengan demikian cadangan alkalidapat kembali pulih normal.

Oleh beberapa penulis/ahli kadar asam urat dalam darah dipakai untuk menentukan arah

preeklamsia menjadi baik atau tidak setelah penanganan.

6 Frekuensi

Ada yang melaporkan angka kejadian sebanyak 6% dari seluruh kehamilan, dan 12%

pada kehamilan primigravida. Menurut beberapa penulis lain frekuensi dilaporkan sekitar 3-

10%.

Lebih banyak dijumpai pada primigravida daripada multigravida, terutama primigravida

usia muda.

Faktor-faktor predisposisi untuk terjadinya preeklamsia adalah molahidatidosa, diabetes

melitus, kehamilan ganda, hidrops fetalis, obesitas, dan umur yang lebih dari 35 tahun (Mochtar,

2007).

7 Diagnosis

Menurut Mochtar (2007), Diagnosis ditegakkan berdasarkan :

1) Gambaran klinik : pertambahan berat badan yang berlebihan, edema, hipertensi, dan timbul

proteinuria.

Gejala subjektif : sakit kepala didaerah frontal,nyeri epigastrium; gangguan visus; penglihatan

kabur, skotoma, diplopia; mual dan muntah. Gangguan serebral lainya : Oyong, reflek

meningkat, dan tidak tenang.


2) Pemeriksaan : tekanan darah tinggi, refleks meningkat, dan proteinuria pada pemeriksaan

laboratorium.

.8 Penatalaksanaan
Tujuan dasar penatalaksanaan untuk setiap kehamilan dengan penyulit preeklamsia

adalah :

1) Terminasi kehamilan dengan trauma sekecil mungkin bagi ibu dan janinya.

2) Lahirnya bayi yang kemudian dapat berkembang.

3) Pemulihan sempurna kesehatan ibu

Pada kasus preeklasmia tertentu, terutama pada wanita menjelang atau sudah aterm, tiga

tujuan tersebut dapat terpenuhi oleh induksi persalinan. Dengan demikian, informasi terpenting

yang perlu dimiliki oleh ahli obstetri agar penanganan kehamilan berhasil dan terutama

kehamilan dengan penyulit hipertensi, adalah kepastian usia janin (Cuningham dkk,2005).

Penanganan Preeklamsia ringan menurut Cuningham dkk. (2005), dapat dilakukan

dengan dua cara tergantung gejala yang timbul yakni :

1) Penatalaksanaan rawat jalan pasien preeklamsia ringan, dengan cara : ibu dianjurkan banyak

istirahat (berbaring,tidur/miring), diet : cukup protein, rendah karbohidrat,lemak dan garam;

pemberian sedativa ringan : tablet phenobarbital 3x30 mg atau diazepam 3x2 mg/oral selama 7

hari (atas instruksi dokter); roborantia; kunjungan ulang selama 1 minggu; pemeriksaan

laboratorium: hemoglobin, hematokrit, trombosit, urin lengkap, asam urat darah, fungsi hati,

fungsi ginjal.

2) Penatalaksanaan rawat tinggal pasien preeklamsi ringan berdasarkan kriteria : setelah duan

minggu pengobatan rawat jalan tidak menunjukkan adanya perbaikan dari gejala-gejala

preeklamsia; kenaikan berat badan ibu 1kg atau lebih/minggu selama 2 kali berturut-turut (2

minggu); timbul salah satu atau lebih gejala atau tanda-tanda preeklamsia berat.

Bila setelah satu minggu perawatan diatas tidak ada perbaikan maka preeklamsia ringan

dianggap sebagai preeklamsia berat. Jika dalam perawatan dirumah sakit sudah ada perbaikan

sebelum 1 minggu dan kehamilan masih preterm maka penderita tetap dirawat selama 2 hari lagi

baru dipulangkan. Perawatan lalu disesuaikan dengan perawatan rawat jalan.

Perawatan obstetri pasien preeklamsia menurut Rukiyah (2010) adalah :


1) Kehamilan preterm (kurang 37 minggu) : bila desakan darah mencapai normotensi selama

perawatan, persalinan ditunggu sampai aterm; bila desakan darah turun tetapi belum mencapai

normotensi selama perawtan maka kehamilanya dapat diakhiri pada umur kehamilan 37 minggu

atau lebih.

2) Kehamilan aterm (37 minggu atau lebih) : persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan

atau dipertimbangkan untuk melakukan persalinan paa taksiran tanda persalinan.

3) Cara persalinan : persalinan dapat dilakukan secara spontan bila perlu memperpendek kala II.

Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklamsia berat selama

perawatan maka perawatan dibagi menjadi :

1) Perawatan aktif yaitu kehamilan segera diakhiri atau diterminasi ditambah pengobatan

medicinal.

2) Perawatan konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan ditambah pengobatan medicinal.

2. Konsep Pencegahan Preeklamsi

Menurut Cuningham dkk. (2005), Berbagai strategi telah digunakan sebagai upaya

untuk mencegah preeklamsia. Biasanya strategi-strategi ini mencakup manipulasi diet dan usaha

farmakologis untuk memodifikasi mekanisme patofisiologis yang diperkirakan berperan dalam

terjadinya preeklamsia. Usaha farmakologis mencakup pemakaian aspirin dosis rendah dan

antioksidan.

1 Manipulasi diet

Salah satu usaha paling awal yang ditujukan untuk mencegah preeklamsia adalah

pembatasan asupan garam selama hamil, Knuist dkk. (1998) yang dikutip oleh Cuningham

(2005).

Berdasarkan sebagian besar studi di luar amerika serikat, ditemukan bahwa wanita

dengan diet rendah kalsium secara bermakna beresiko lebih tinggi mengalami hipertensi akibat

kehamilan. Hal ini mendorong dilakukanya paling sedikit 14 uji klinis acak yang menghasilkan

metaanalisis yang memperlihatkan bahwa suplementasi kalsium selama kehamilan menyebabkan

penurunan bermakna tekanan darah serta mencegah preeklamsia. Namun studi yang tampaknya

definitif dilakukan oleh Lavine dkk.,(1997) yang dikutip oleh Cuningham (2005). Studi ini
adalah suatu uji klinis acak yang disponsori oleh the National Institute of Child Health and

Human development. Dalam uji yang menggunakan penyamar-ganda ini,4589 wanita nulipara

sehat dibagi secara acak untuk mendapat 2g suplemen kalsium atau plasebo.

Manipulasi diet lainya untuk mencegah preeklamsia yang telah diteliti adalah

pemberian empat sampai sembilan kapsul yang mengandung minyak ikan setiap hari. Suplemen

harian ini dipilih sebagai upaya untuk memodifikasi keseimbangan prostaglandin yang

diperkirakan berperan dalam patofisiologi preeklamsia.

2 Aspirin dosis rendah

Dengan aspirin 60 mg atau plasebo yang diberikan kepada wanita primigravida peka-

angiotensin pada usia kehamilan 28 minggu. Menurunya insiden preeklamsi pada kelompok

terapi diperkirakan disebabkan oleh supresi selektif sintesis tromboksan oleh trombosit serta

tidak terganggunya produksi prostasiklin. Berdasarkan laporan ini dan laporan lain dengan hasil

serupa, dilakukan uji klinis acak multisentra pada wanita beresiko rendah dan tinggi di amerika

serikat dan negara lain. Uji-uji klinis ini secara konsisten menperlihatkan aspirin dosis rendah

efektif untuk mencegah preeklamsia. Dalam suatu analisis sekunder terhadap uji klinis intervensi

resiko-tinggi, memperlihatkan bahwa pemberian aspirin dosis rendah secara bermakna

menurunkan kadar tromboksan B2 ibu.

3 Antioksidan

Serum wanita hamil normal memiliki mekanisme antioksidan yang berfungsi

mengendalikan peroksidasi lemak yang diperkirakan berperan dalam disfungsi sel endotel pada

preeklamsia. serum wanita dengan preeklamsia memperlihatkan penurunan mencolok aktivitas

antioksidan. Schirif dkk.,(1996) yang dikutip oleh Cuningham (2005), menguji hipotesis bahwa

penurunan aktifitas antioksidan berperan dalam preeklamsia dengan mempelajari konsumsi diet

serta konsentrasi vitamin E dalam plasma pada 42 kehamilan dengan 90 kontrol. Mereka

menemukan kadar vitamin E plasma yang tinggi pada wanita dengan preeklamsia, tetapi

konsumsi vitamin E dalam diet tersebut tidak berkaitan dengan preeklamsia. Mereka

berspekulasi bahwa tingginya kadar vitamin E yang diamati disebabkan oleh respons terhadap

stres oksidatif pada preeklamsia.


Penelitian sistematik pertama yang dirancang untuk menguji hipotesis bahwa terapi

antioksidan untuk wanita hamil akan mengubah cedera sel endotel yang dikaitkan dengan

preeklamsia. Sebanyak 283 wanita hamil 18 sampai 22 minggu yang beresiko preeklamsia dibagi

secara acak untuk mendapat terapi antioksidan atau plasebo. Terapi antioksidan secara bermakna

menurunkan aktivasi sel endotel dan mengisyaratkan bahwa terapi semacam ini mungkin

bermanfaat untuk mencegah preeklamsia. Juga terjadi penurunan bermakna insiden preeklamsia

pada mereka yang mendapat vitamin C dan E dibandingkan dengan kelompok kontrol (17 versus

11 persen,p <0,02).

4 Pemeriksaan antenatal

Pemeriksaan antenatal care yang teratur dan bermutu serta teliti, mengenali tanda-tanda

sedini mungkin (preeklamsi ringan), lalu diberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit

tidak menjadi lebih berat. Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya preeklamsia

kalau ada faktor-faktor predisposisi, memberikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur,

ketenangan, serta pentingnya mengatur diet rendah garam, lemak, serta karbohidrat dan tinggi

protein, juga menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan (Mochtar,2007).

Terapi paling efektif adalah pencegahan. Pada awal perawatan prenatal,identifikasi

wanita hamil yang beresiko tinggi, pengenalan, dan laporan gejala-gejala peringatan fisik

merupakan komponen inti untuk mengoptimalkan hasil pada maternal dan perinatal.

Kemampuan perawat dalam memeriksa faktor-faktor dan gejala-gejala preeklamsia pada klien

tidak dapat terlalu dihrapkan. Perawat dapat melakukan banyak hal dalam tugas pendukung.

Tindakan harus diambil untuk menambah pengetahuan dan akses publik pada perawatan

antenatal. Konseling, penyerahan sumberdaya masyarakat, pengerahan sistem pendukung,

konseling nutrisi dan informasi tentang adaptasi normal pada kehamilan merupakan komponen

pencegahan yang esensial pada perawatan (Bobak, Jensen.2000).

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta

Azwar, Saifuddin.2009. Sikap Manusia Teori Dan Pengukuranya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Bobak, Margaret Duncan. 2000. Perawatan Maternitas dan Ginekologi. Bandung : YIA-PKP

Cuningham, F. Gary.Dkk. 2005. Obstetri Williams. Jakarta : EGC

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2007. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa Data. Jakarta:
Salemba Medika

Machfoedz, Eko Suryani. 2009. Pendidikan Kesehatan Bagian Dari Promosi Kesehatan. Yogyakarta:
Firamaya

Manuaba, I.A Candradinata.Dkk. 2008 . Gawat Darurat Obstetri Ginekologi Dan Obstetri Ginekologi
Social Untuk Profesi Bidan. Jakarta : EGC

Manuaba, I.B Gde. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Jakarta :
EGC

Maulana, D.J Heri. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta : EGC

Mochtar, Rustam. 2007. Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC

Nursalam, Siti Pariani. 2001. Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta : Infomedika

Nursalam.2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba
Medika

Notoatmodjo, Sukidjo. 2010. Metodologi Riset Kesehatan.Jakarta : Rineka Cipta

Notoatmodjo, Sukidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta :


Rineka Cipta

Notoatmodjo,Sukidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka


Cipta

Perry, Potter. 2005. Buku Saku Keterampilan Dan Prosedur Dasar. Jakarta : EGC

Rukiyah, Lia Yulianti. 2010. Asuhan Kebidanan 4 Patologi.Jakarta : TIM

Salmah. Dkk. 2006. Asuhan Kebidanan Antenatal. Jakarta: EGC

Sastrawinata, Sulaiman.Dkk. 2004. Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi. Jakarta : EGC

Syarifudin, Yudhia Fratidhina. 2009. Promosi Kesehatan Untuk Mahasiswa Kebidanan.Jakarta : TIM

Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta

Yulianti, Devi.2005. Buku Saku Manajemen Komplikasi Kehamilan dan Persalinan. Jakarta: EGC

Depkes RI. 2010 Angka Kematian Ibu.www.Google.com. Download 3 November 2011

Ensiklopedia bebas berbahasa 2011, Pengetahuan .www. Wikipedia. Co.Id. download:3 November
2011

IndonesiaMDG_BI. 2007.pdf. www.google.com. Download 3 november 2011

Profil Kesehatan Propinsi Jawa Timur. 2006. www.google.com.Download 3 November 2011


HPP
A. DEFINISI
Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan atau hilangnya darah
500 cc atau lebih yang terjadi setelah anak lahir. Perdarahan dapat terjadi
sebelum, selama, atau sesudah lahirnya plasenta.(3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,15)
Definisi lain menyebutkan Perdarahan Pasca Persalinan adalah
perdarahan 500 cc atau lebih yang terjadi setelah plasenta lahir.(2)
Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian : (4,6,7,8,9,15)
a. Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage)
yang terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir.
b. Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage)
yang terjadi antara 24 jam dan 6 minggu setelah anak lahir.
B. EPIDEMIOLOGI
1. Insiden (7,8)
Angka kejadian perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam
yaitu 5-8 %. Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan
yang berlebihan pada kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada wanita hamil
dilakukan untuk menggantikan darah yang hilang setelah persalinan.
2. Peningkatan angka kematian di Negara berkembang (9)
Di negara kurang berkembang merupakan penyebab utama dari
kematian maternal hal ini disebabkan kurangnya tenaga kesehatan yang
memadai, kurangnya layanan transfusi, kurangnya layanan operasi.
3
C. ETIOLOGI
Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan hemorrhage
postpartum, faktor-faktor yang menyebabkan hemorrhage postpartum adalah
atonia uteri, perlukaan jalan lahir, retensio plasenta, sisa plasenta, kelainan
pembekuan darah.(4,5,7)
1. Tone Dimished : Atonia uteri
Atonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk berkontraksi
dan mengecil sesudah janin keluar dari rahim.
Perdarahan postpartum secara fisiologis di control oleh kontraksi serat-serat
myometrium terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang
mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Atonia uteri terjadi
ketika myometrium tidak dapat berkontraksi. Pada perdarahan karena atonia
uteri, uterus membesar dan lembek pada palpusi. Atonia uteri juga dapat
timbul karena salah penanganan kala III persalinan, dengan memijat uterus
dan mendorongnya kebawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang
sebenarnya bukan terlepas dari uterus. Atonia uteri merupakan penyebab
utama perdarahan postpartum.
Disamping menyebabkan kematian, perdarahan postpartum memperbesar
kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang.
Perdarahan yang banyak bisa menyebabkan Sindroma Sheehan sebagai
akibat nekrosis pada hipofisis pars anterior sehingga terjadi insufiensi
bagian tersebut dengan gejala : astenia, hipotensi, dengan anemia, turunnya
berat badan sampai menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi seksual
dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak,
penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenorea dan kehilangan fungsi
laktasi.
4
Beberapa hal yang dapat mencetuskan terjadinya atonia meliputi : (7,8,10,11,12)
Manipulasi uterus yang berlebihan,
General anestesi (pada persalinan dengan operasi ),
Uterus yang teregang berlebihan :
o Kehamilan kembar
o Fetal macrosomia ( berat janin antara 4500 5000 gram )
o polyhydramnion
Kehamilan lewat waktu,
Portus lama
Grande multipara ( fibrosis otot-otot uterus ),
Anestesi yang dalam
Infeksi uterus ( chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia ),
Plasenta previa,
Solutio plasenta,
2. Tissue
a. Retensio plasenta
b. Sisa plasenta
c. Plasenta acreta dan variasinya.
Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir, hal itu
dinamakan retensio plasenta. Hal ini bisa disebabkan karena : plasenta
belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas akan tetapi belum
dilahirkan.
Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perarahan, tapi apabila
terlepas sebagian maka akan terjadi perdarahan yang merupakan indikasi
untuk mengeluarkannya.
Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena :
- kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta ( plasenta
adhesiva )
5
- Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vilis komalis
menembus desidva sampai miometrium sampai dibawah peritoneum
( plasenta akreta perkreta )
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah
penanganan kala III. Sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian
bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta ( inkarserasio plasenta ).
Sisa plasenta yang tertinggal merupakan penyebab 20-25 % dari kasus
perdarahan postpartum.
Penemuan Ultrasonografi adanya masa uterus yang echogenic mendukung
diagnosa retensio sisa plasenta. Hal ini bisa digunakan jika perdarahan
beberapa jam setelah persalinan ataupun pada late postpartum hemorraghe.
Apabila didapatkan cavum uteri kosong tidak perlu dilakukan dilatasi dan
curettage.
3. Trauma
Sekitar 20% kasus hemorraghe postpartum disebabkan oleh trauma jalan
lahir
a. Ruptur uterus
b. Inversi uterus
c. Perlukaan jalan lahir
d. Vaginal hematom
Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor resiko yang bisa menyebabkan
antara lain grande multipara, malpresentasi, riwayat operasi uterus
sebelumnya, dan persalinan dengan induksi oxytosin. Repture uterus sering
terjadi akibat jaringan parut section secarea sebelumnya.
Laserasi dapat mengenai uterus, cervix, vagina, atau vulva, dan biasanya
terjadi karena persalinan secara operasi ataupun persalinan pervaginam
dengan bayi besar, terminasi kehamilan dengan vacuum atau forcep, walau
begitu laserasi bisa terjadi pada sembarang persalinan. Laserasi pembuluh
6
darah dibawah mukosa vagina dan vulva akan menyebabkan hematom,
perdarahan akan tersamarkan dan dapat menjadi berbahaya karena tidak
akan terdeteksi selama beberapa jam dan bisa menyebabkan terjadinya syok.
Episiotomi dapat menyebabkan perdarahan yang berlebihan jika mengenai
artery atau vena yang besar, jika episitomi luas, jika ada penundaan antara
episitomi dan persalinan, atau jika ada penundaan antara persalinan dan
perbaikan episitomi.
Perdarahan yang terus terjadi ( terutama merah menyala ) dan kontraksi
uterus baik akan mengarah pada perdarahan dari laserasi ataupun episitomi.
Ketika laserasi cervix atau vagina diketahui sebagai penyebab perdarahan
maka repair adalah solusi terbaik.
Pada inversion uteri bagian atas uterus memasuki kovum uteri, sehingga
tundus uteri sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri.
Peristiwa ini terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta
keluar.
Inversio uteri dapat dibagi :
- Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar dari
ruang tersebut.
- Korpus uteri yang terbalik sudah masuk kedalam vagina.
- Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak
diluar vagina.
Tindakan yang dapat menyebabkan inversion uteri ialah perasat crede pada
korpus uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat dengan
plasenta yang belum lepas dari dinding uterus.
Pada penderita dengan syok perdarahan dan fundus uteri tidak ditemukan
pada tempat yang lazim pada kala III atau setelah persalinan selesai.
Pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang lunak diatas servix uteri
atau dalam vagina. Kelainan tersebut dapat menyebabkan keadaan gawat
7
dengan angka kematian tinggi ( 15 70 % ). Reposisi secepat mungkin
memberi harapan yang terbaik untuk keselamatan penderita.
4. Thrombin : Kelainan pembekuan darah
Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit keturunan
ataupun didapat, kelainan pembekuan darah bisa berupa :
Hipofibrinogenemia,
Trombocitopeni,
Idiopathic thrombocytopenic purpura,
HELLP syndrome ( hemolysis, elevated liver enzymes, and low
platelet count ),
Disseminated Intravaskuler Coagulation,
Dilutional coagulopathy bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari 8
unit karena darah donor biasanya tidak fresh sehingga komponen
fibrin dan trombosit sudah rusak.
D. FAKTOR RESIKO
Riwayat hemorraghe postpartum pada persalinan sebelumnya
merupakan faktor resiko paling besar untuk terjadinya hemorraghe postpartum
sehingga segala upaya harus dilakukan untuk menentukan keparahan dan
penyebabnya. Beberapa faktor lain yang perlu kita ketahui karena dapat
menyebabkan terjadinya hemorraghe postpartum : (8,9,11)
1. Grande multipara
2. Perpanjangan persalinan
3. Chorioamnionitis
4. Kehamilan multiple
5. Injeksi Magnesium sulfat
6. Perpanjangan pemberian oxytocin
E. DIAGNOSIS
8
Hemorraghe postpartum digunakan untuk persalinan dengan umur
kehamilan lebih dari 20 minggu, karena apabila umur kehamilan kurang dari 20
minggu disebut sebagai aborsi spontan.(9)
Beberapa gejala yang bisa menunjukkan hemorraghe postpartum :
1. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol
2. Penurunan tekanan darah
3. Peningkatan detak jantung
4. Penurunan hitung sel darah merah ( hematocrit )
5. Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar
perineum
Perdarahan hanyalah gejala, penyebabnya haruslah diketahui dan
ditatalaksana sesuai penyebabnya.(6)
Perdarahan postpartum dapat berupa perdarahan yang hebat dan
menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan
syok. Atau dapat berupa perdarahan yang merembes perlahan-lahan tapi terjadi
terus menerus sehingga akhirnya menjadi banyak dan menyebabkan ibu lemas
ataupun jatuh kedalam syok.(4)
Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan
tekanan darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai terjadi
syok.
Pada perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio
plasenta atau laserasi jalan lahir, bila karena retensio plasenta maka perdarahan
akan berhenti setelah plasenta lahir. Pada perdarahan yang terjadi setelah
plasenta lahir perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta, atau
trauma jalan lahir. Pada pemeriksaan obstretik kontraksi uterus akan lembek
dan membesar jika ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik dilakukan
eksplorasi untuk mengetahui adanya sisa plasenta atau laserasi jalan lahir.
Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa perdarahan
postpartum (4)
9
1. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
2. Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak
3. Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari :
a. Sisa plasenta dan ketuban
b. Robekan rahim
c. Plasenta succenturiata
4. Inspekulo : untuk melihat robekan pada cervix, vagina, dan varises yang
pecah.
5. Pemeriksaan laboratorium : bleeding time, Hb, Clot Observation test dan
lain-lain.
F. PENCEGAHAN DAN MANAJEMEN
1. Pencegahan Perdarahan Postpartum
Perawatan masa kehamilan
Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus
yang disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan
pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin tetapi sudah dimulai
sejak ibu hamil dengan melakukan antenatal care yang baik.
Menangani anemia dalam kehamilan adalah penting, ibu-ibu yang
mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan postpartum sangat
dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit.(4)
Persiapan persalinan (7)
Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb,
golongan darah, dan bila memungkinkan sediakan donor darah dan
dititipkan di bank darah. Pemasangan cateter intravena dengan lobang
yang besar untuk persiapan apabila diperlukan transfusi. Untuk pasien
dengan anemia berat sebaiknya langsung dilakukan transfusi.
10
Sangat dianjurkan pada pasien dengan resiko perdarahan postpartum
untuk menabung darahnya sendiri dan digunakan saat persalinan.
Persalinan (7)
Setelah bayi lahir, lakukan massae uterus dengan arah gerakan circular
atau maju mundur sampai uterus menjadi keras dan berkontraksi
dengan baik. Massae yang berlebihan atau terlalu keras terhadap
uterus sebelum, selama ataupun sesudah lahirnya plasenta bisa
mengganggu kontraksi normal myometrium dan bahkan mempercepat
kontraksi akan menyebabkan kehilangan darah yang berlebihan dan
memicu terjadinya perdarahan postpartum.
Kala tiga dan Kala empat(7,13,14)
Uterotonica dapat diberikan segera sesudah bahu depan
dilahirkan. Study memperlihatkan penurunan insiden perdarahan
postpartum pada pasien yang mendapat oxytocin setelah bahu
depan dilahirkan, tidak didapatkan peningkatan insiden
terjadinya retensio plasenta. Hanya saja lebih baik berhati-hati
pada pasien dengan kecurigaan hamil kembar apabila tidak ada
USG untuk memastikan. Pemberian oxytocin selama kala tiga
terbukti mengurangi volume darah yang hilang dan kejadian
perdarahan postpartum sebesar 40%.
Pada umumnya plasenta akan lepas dengan sendirinya dalam 5
menit setelah bayi lahir. Usaha untuk mempercepat pelepasan
tidak ada untungnya justru dapat menyebabkan kerugian.
Pelepasan plasenta akan terjadi ketika uterus mulai mengecil dan
mengeras, tampak aliran darah yang keluar mendadak dari
vagina, uterus terlihat menonjol ke abdomen, dan tali plasenta
terlihat bergerak keluar dari vagina. Selanjutnya plasenta dapat
dikeluarkan dengan cara menarik tali pusat secra hati-hati.
11
Segera sesudah lahir plasenta diperiksa apakah lengkap atau
tidak. Untuk manual plasenta ada perbedaan pendapat waktu
dilakukannya manual plasenta. Apabila sekarang didapatkan
perdarahan adalah tidak ada alas an untuk menunggu pelepasan
plasenta secara spontan dan manual plasenta harus dilakukan
tanpa ditunda lagi. Jika tidak didapatkan perdarahan, banyak
yang menganjurkan dilakukan manual plasenta 30 menit setelah
bayi lahir. Apabila dalam pemeriksaan plasenta kesan tidak
lengkap, uterus terus di eksplorasi untuk mencari bagian-bagian
kecil dari sisa plasenta.
Lakukan pemeriksaan secara teliti untuk mencari adanya
perlukaan jalan lahir yang dapat menyebabkan perdarahan
dengan penerangan yang cukup. Luka trauma ataupun episiotomi
segera dijahit sesudah didapatkan uterus yang mengeras dan
berkontraksi dengan baik.
2. Manajemen Perdarahan Postpartum
Tujuan utama pertrolongan pada pasien dengan perdarahan postpartum
adalah menemukan dan menghentikan penyebab dari perdarahan secepat
mungkin.(11)
Terapi pada pasien dengan hemorraghe postpartum mempunyai 2 bagian
pokok : (9)
a. Resusitasi dan manajemen yang baik terhadap perdarahan
Pasien dengan hemorraghe postpartum memerlukan penggantian
cairan dan pemeliharaan volume sirkulasi darah ke organ organ
penting. Pantau terus perdarahan, kesadaran dan tanda-tanda vital
pasien.
Pastikan dua kateler intravena ukuran besar (16) untuk memudahkan
pemberian cairan dan darah secara bersamaan apabila diperlukan
resusitasi cairan cepat.
12
Pemberian cairan : berikan normal saline atau ringer lactate
Transfusi darah : bisa berupa whole blood ataupun packed red
cell
Evaluasi pemberian cairan dengan memantau produksi urine
(dikatakan perfusi cairan ke ginjal adekuat bila produksi urin
dalam 1jam 30 cc atau lebih)
b. Manajemen penyebab hemorraghe postpartum
Tentukan penyebab hemorraghe postpartum :
Atonia uteri
Periksa ukuran dan tonus uterus dengan meletakkan satu
tangan di fundus uteri dan lakukan massase untuk
mengeluarkan bekuan darah di uterus dan vagina. Apabila
terus teraba lembek dan tidak berkontraksi dengan baik perlu
dilakukan massase yang lebih keras dan pemberian oxytocin.
Pengosongan kandung kemih bisa mempermudah kontraksi
uterus dan memudahkan tindakan selanjutnya.
Lakukan kompres bimanual apabila perdarahan masih
berlanjut, letakkan satu tangan di belakang fundus uteri dan
tangan yang satunya dimasukkan lewat jalan lahir dan
ditekankan pada fornix anterior.
Pemberian uterotonica jenis lain dianjurkan apabila setelah
pemberian oxytocin dan kompresi bimanual gagal
menghentikan perdarahan, pilihan berikutnya adalah
ergotamine.
Sisa plasenta
Apabila kontraksi uterus jelek atau kembali lembek setelah
kompresi bimanual ataupun massase dihentikan, bersamaan
13
pemberian uterotonica lakukan eksplorasi. Beberapa ahli
menganjurkan eksplorasi secepatnya, akan tetapi hal ini sulit
dilakukan tanpa general anestesi kecuali pasien jatuh dalam
syok. Jangan hentikan pemberian uterotonica selama dilakukan
eksplorasi. Setelah eksplorasi lakukan massase dan kompresi
bimanual ulang tanpa menghentikan pemberian uterotonica.
Pemberian antibiotic spectrum luas setelah tindakan ekslorasi
dan manual removal.
Apabila perdarahan masih berlanjut dan kontraksi uterus tidak
baik bisa dipertimbangkan untuk dilakukan laparatomi.
Pemasangan tamponade uterrovaginal juga cukup berguna
untuk menghentikan perdarahan selama persiapan operasi
Trauma jalan lahir
Perlukaan jalan lahir sebagai penyebab pedarahan apabila
uterus sudah berkontraksi dengan baik tapi perdarahan terus
berlanjut. Lakukan eksplorasi jalan lahir untuk mencari
perlukaan jalan lahir dengan penerangan yang cukup. Lakukan
reparasi penjahitan setelah diketahui sumber perdarahan,
pastikan penjahitan dimulai diatas puncak luka dan berakhir
dibawah dasar luka. Lakukan evaluasi perdarahan setelah
penjahitan selesai.
Hematom jalan lahir bagian bawah biasanya terjadi apabila
terjadi laserasi pembuluh darah dibawah mukosa,
penetalaksanaannya bisa dilakukan incise dan drainase.
Apabila hematom sangat besar curigai sumber hematom karena
pecahnya arteri, cari dan lakukan ligasi untuk menghentikan
perdarahan.
Gangguan pembekuan darah
14
Jika manual eksplorasi telah menyingkirkan adanya rupture
uteri, sisa plasenta dan perlukaan jalan lahir disertai kontraksi
uterus yang baik mak kecurigaan penyebab perdarahan adalah
gangguan pembekuan darah. Lanjutkan dengan pemberian
product darah pengganti ( trombosit,fibrinogen).
Terapi pembedahan
o Laparatomi
Pemilihan jenis irisan vertical ataupun horizontal
(Pfannenstiel) adalah tergantung operator. Begitu masuk
bersihkan darah bebas untuk memudahkan
mengeksplorasiuterus dan jaringan sekitarnya untuk
mencari tempat rupture uteri ataupun hematom. Reparasi
tergantung tebal tipisnya rupture. Pastikan reparasi benarbenar
menghentikan perdarahan dan tidak ada perdarahan
dalam karena hanya akan menyebabkan perdarahan
keluar lewat vagina. Pemasangan drainase apabila perlu.
Apabila setelah pembedahan ditemukan uterus intact dan
tidak ada perlukaan ataupun rupture lakukan kompresi
bimanual disertai pemberian uterotonica.
o Ligasi arteri
Ligasi uteri uterine
Prosedur sederhana dan efektif menghentikan
perdarahan yang berasal dari uterus karena uteri ini
mensuplai 90% darah yang mengalir ke uterus.
Tidak ada gangguan aliran menstruasi dan
kesuburan.
Ligasi arteri ovarii
15
Mudah dilakukan tapi kurang sebanding dengan
hasil yang diberikan
Ligasi arteri iliaca interna
Efektif mengurangi perdarahan yany bersumber
dari semua traktus genetalia dengan mengurangi
tekanan darah dan circulasi darah sekitar pelvis.
Apabila tidak berhasil menghentikan perdarahan,
pilihan berikutnya adalah histerektomi.
o Histerektomi
Merupakan tindakan curative dalam menghentikan
perdarahan yang berasal dari uterus. Total histerektomi
dianggap lebih baik dalam kasus ini walaupun subtotal
histerektomi lebih mudah dilakukan, hal ini disebabkan
subtotal histerektomi tidak begitu efektif menghentikan
perdarahan apabila berasal dari segmen bawah rahim,
servix,fornix vagina.
Referensi pemberian uterotonica : (8)
1. Pitocin
a. Onset in 3 to 5 minutes
b. Intramuscular : 10-20 units
c. Intravenous : 40 units/liter at 250 cc/hour
2. Ergotamine ( Methergine )
a. Dosing : 0.2 mg IM or PO every 6-8 hour
b. Onset in 2 to 5 minutes
c. Kontraindikasi
Hypertensi
16
Pregnancy Induced hypertntion
hypersensitivity
3. Prostaglandin ( Hemabate )
a. Dosing : 0.25 mg Intramuscular or intra myometrium
b. Onset < 5 minutes
c. Administer every 15 minutes to maximum of 2 mg
4. Misoprostol 600 mcg PO or PR
ANEMIA PADA IBU HAMIL

A. Kehamilan

Kehamilan secara alami dapat terjadi dengan terpenuhinya beberapa persyaratan mutlak, antara

lain : sperma suami yang normal, mulut rahim dan rongga rahim yang normal, saluran telur (tubafallopi)

yang intak (bebas dan tidak buntu), indung telur (ovarium) normal, serta pertemuan sel sperma dan sel

telur (ovum) pada saat yang tepat (masa subur) (Prasetyadi, Frans.O.H, 2012 : 19).

Fertilisasi merupakan proses terjadinya pembuahan yaitu saat sel sperma dan sel telur bertemu.

Proses ini adalah salah satu proses biologis yang sangat penting, diawali dengan pelepasan sel telur

(ovulasi) oleh indung telur pada puncak masa subur. Pembuahan dapat terjadi dalam waktu beberapa jam

setelah ovulasi, proses ini terjadi di saluran telur (Prasetyadi, Frans.O.H, 2012 : 20).

Tiga pembagian waktu kehamilan yaitu trimester pertama apabila kehamilan masih berumur 0-12

minggu. Trimester kedua, apabila umur kehamilan lebih dari 12-28 minggu, serta trimester ketiga apabila

umur kehamilan lebih dari 28-40 minggu (Siswosuharjo, Suwignyo, dkk, 2010 : 43).

B. Anemia Pada Ibu Hamil

1. Definisi Anemia Pada ibu Hamil

Menurut WHO (1992) anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin lebih rendah dari

batas normal untuk kelompok orang yang bersangkutan (Tarwoto, dkk, 2007 : 30).

Anemia merupakan suatu keadaan adanya penurunan kadar hemoglobin dibawah nilai normal.

Pada penderita anemia lebih sering disebut dengan kurang darah, kadar sel darah merah dibawah nilai

normal (Rukiyah, Ai Yeyeh, dkk, 2010 : 114).

Anemia adalah kondisi dimana berkurangnya sel darah merah dalam sirkulasi darah atau massa

hemoglobin sehingga tidak mampu memenuhi fungsinya sebagai pembawa oksigen keseluruh jaringan

(Tarwoto, dkk, 2007 : 30).

Ibu hamil dikatakan anemia jika hemoglobin darahnya kurang dari 11gr%. Bahaya anemia pada

ibu hamil tidak saja berpengaruh terhadap keselamatan dirinya, tetapi juga pada janin yang dikandungnya

(Wibisono, Hermawan, dkk, 2009 : 101).

Penyebab paling umum dari anemia pada kehamilan adalah kekurangan zat besi. Hal ini penting

dilakukan pemeriksaan untuk anemia pada kunjungan pertama kehamilan. Bahkan, jika tidak mengalami

anemia pada saat kunjungan pertama, masih mungkin terjadi anemia pada kehamilan lanjutannya

(Proverawati, 2011 : 129).


Anemia juga disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan yang mengandung zat besi atau

adanya gangguan penyerapan zat besi dalam tubuh (Wibisono, Hermawan, dkk, 2009 : 101).

2. Tanda dan gejala anemia pada Ibu Hamil

Bila kadar Hb < 7gr% maka gejala dan tanda anemia akan jelas. Nilai ambang batas yang

digunakan untuk menentukan status anemia ibu hamil berdasarkan kriteria WHO tahun 1972 ditetapkan 3

kategori yaitu:

a. Normal > 11gr%

b. Ringan 8-11gr%

c. Berat <8gr%

(Rukiyah, Ai Yeyeh, dkk, 2010 : 114)

Gejala yang mungkin timbul pada anemia adalah keluhan lemah, pucat dan mudah pingsan

walaupun tekanan darah masih dalam batas normal (Feryanto, Achmad, 2011 : 37).

Menurut Proverawati (2011) banyak gejala anemia selama kehamilan, meliputi:

a. Merasa lelah atau lemah

b. Kulit pucat progresif

c. Denyut jantung cepat

d. Sesak napas

e. Konsentrasi terganggu

3. Penyebab Anemia Pada Ibu Hamil

Menurut Tarwoto,dkk, (2007:13) penyebab anemia secara umum adalah:

a. Kekurangan zat gizi dalam makanan yang dikonsumsi, misalnya faktor kemiskinan.

b. Penyerapan zat besi yang tidak optimal, misalnya karena diare.

c. Kehilangan darah yang disebabkan oleh perdarahan menstruasi yang banyak, perdarahan akibat luka.

Sebagian besar anemia di Indonesia penyebabnya adalah kekuangan zat besi. Zat besi adalah

salah satu unsur gizi yang merupakan komponen pembentuk Hb. Oleh karena itu disebut Anemia Gizi

Besi.

Anemia gizi besi dapat terjadi karena hal-hal berikut ini:

a. Kandungan zat besi dari makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi kebutuhan.

b. Meningkatnya kebutuhan tubuh akan zat besi.

c. Meningkatnya pengeluaran zat besi dari tubuh.

(Feryanto, Achmad, 2011 : 37-38)


4. Patofisiologi Anemia Pada Ibu Hamil

Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan adalah karena perubahan sirkulasi yang

semakin meningkat terhadap plasenta dan pertumbuhan payudara. Volume plasma meningkat 45-65%

pada trimester II kehamilan dan maksimum terjadi pada pada bulan ke-9, menurun sedikit menjelang

aterm serta kembali normal 3 bulan setelah partus (Rukiyah, Ai Yeyeh, dkk, 2010 : 115).

5. Klasifikasi Anemia Dalam Kehamilan

Klasifikasi Anemia Dalam kehamilan menurut Tarwoto,dkk, (2007 : 42-56) adalah sebagai

berikut:

a. Anemia Defesiensi Besi

Anemia defesiensi besi merupakan jenis anemia terbanyak didunia, yang disebabkan oleh suplai besi

kurang dalam tubuh.

b. Anemia Megaloblastik

Anemia yang disebabkan karena defesiensi vitamin B12 dan asam folat.

c. Anemia Aplastik

Terjadi akibat ketidaksanggupan sumsum tulang membentuk sel-sel darah. Kegagalan tersebut

disebabkan kerusakan primer sistem sel yang mengakibatkan anemia.

d. Anemia Hemolitik

Anemia Hemolitik disebabkan karena terjadi peningkatan hemolisis dari eritrosit, sehingga usianya lebih

pendek.

e. Anemia Sel Sabit

Anemia sel sabit adalah anemia hemolitika berat dan pembesaran limpa akibat molekul Hb.

6. Diagnosis Anemia pada kehamilan

Pemeriksaan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat Sahli, yaitu membandingkan secara

visual warna darah dengan alat standar.

a. Alat dan bahan

1. Lancet/jarum penusuk

2. Kapas alkohol dalam tempatnya

3. Bengkok

4. Kapas kering
5. Hb meter

6. Alat pengaduk

7. Aquadest

8. HCl 0,1 n

b. Prosedur kerja

1) Jelaskan prosedur yang dilakukan

2) Cuci tangan

3) Berikan HCl 0,1 n pada tabung Hb meter sebanyak 5 tetes

4) Desinfeksi dengan kapas alkohol pada daerah yang akan dilakukan penusukan pada kapiler di jari tangan

atau tungkai

5) Lakukan penusukan dengan lancet atau jarum pada daerah perifer seperti jari tangan.

6) Setelah darah keluar, usap dengan kapas kering

7) Kemudian ambil darah dengan pengisap pipet sampai garis yang ditentukan

8) Masukkan ke dalam tabung Hb meter dan encerkan dengan aquadest hingga warna sesuai dengan

pembanding Hb meter

9) Baca hasil tunggu 5 menit dengan g % ml darah

10) Cuci tangan setelah prosedur dilakukan

(Hidayat, A.Azis, dkk, 2005 : 269-271)

Setelah dilakukan pengukuran Hb menggunakan Hb Sahli, WHO menetapkan 3 kategori anemia

pada ibu hamil yaitu:

a. Normal > 11 gr%

b. Ringan 8-11 gr%

c. Berat < 8 gr%

(Rukiyah, Ai Yeyeh, 2010 : 114)

Departemen kesehatan menetapkan derajat anemia sebagai berikut:

a. Ringan sekali : Hb 11g/dl-batas normal

b. Ringan : Hb 8g/dl-<11g/dl

c. Sedang : Hb 5g/dl-<8g/dl

d. Berat : < 5g/dl


(Tarwoto, dkk, 2007 : 31)

7. Kadar Hemoglobin Pada Perempuan Dewasa dan Ibu Hamil Menurut WHO

Adapun kadar Hb menurut WHO pada perempuan dewasa dan ibu hamil adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1
Kadar Hemoglobin Pada Perempuan Dewasa dan Ibu Hamil Menurut WHO

Hb Anemia Kurang
Jenis Kelamin Hb Normal
Dari (gr/dl)
13.5-18.5
Lahir (aterm) 13.5
Perempuan dewasa tidak
12.0-15.0 12.0
hamil
Perempuan dewasa
hamil:
Trimester Pertama : 0-12
11.0-14.0 11.0
minggu
Trimester Kedua : 13-28
10.5-14.5 10.5
minggu
Trimester ketiga : 29
11.0-14.0 11.0
aterm
(Tarwoto, 2007:64)

8. Faktor Resiko Anemia Dalam Kehamilan

Tubuh berada pada resiko tinggi untuk menjadi anemia selama kehamilan jika:

a. Mengalami dua kehamilan yang berdekatan

b. Hamil dengan lebih dari satu anak

c. Sering mual dan muntah

d. Tidak mengkonsumsi cukup zat besi

e. Hamil saat masih remaja

f. Kehilangan banyak darah (misalnya dari cedera atau selama operasi)

(Proverawati, Atikah, 2011 : 134)

9. Pengaruh Anemia Pada Kehamilan

Zat besi terutama sangat diperlukan di trimester tiga kehamilan. Wanita hamil cenderung terkena

anemia pada trimester ketiga, karena pada masa ini janin menimbun cadangan zat besi untuk dirinya

sendiri sebagai persediaan bulan pertama sesudah lahir (Sinsin, Lis, 2008 : 65 ).
Tingginya angka kematian ibu berkaitan erat dengan anemia. Anemia juga menyebabkan

rendahnya kemampuan jasmani karena sel-sel tubuh tidak cukup mendapat pasokan oksigen. Pada wanita

hamil anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Resiko kematian

maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah dan angka kematian perinatal meningkat.

Pengaruh anemia pada kehamilan bervariasi dari keluhan yang sangat ringan hingga terjadinya gangguan

kelangsungan kehamilan (Abortus, partus prematurus), gangguan proses persalinan (atonia uteri, partus

lama), gangguan pada masa nifas (daya tahan terhadap infeksi dan stress, produksi ASI rendah) dan

gangguan pada janin (abortus, mikrosomia, BBLR, kematian perinatal) (Rukiyah, Ai Yeyeh, dkk, 2010 :

114-115).

10. Pencegahan Anemia Kehamilan

Nutrisi yang baik adalah cara terbaik untuk mencegah terjadinya anemia jika sedang hamil. Makan

makanan yang tinggi kandungan zat besi (seperti sayuran berdaunan hijau, daging merah dan kacang

tanah) dapat membantu memastikan bahwa tubuh menjaga pasokan besi yang diperlukan untuk berfungsi

dengan baik. Pemberian vitamin untuk memastikan bahwa tubuh memiliki cukup zat besi dan folat.

Pastikan tubuh mendapatkan setidaknya 27 mg zat setiap hari. Jika mengalami anemia selama kehamilan,

biasanya dapat diobati dengan mengambil suplemen zat besi. Pastikan bahwa wanita hamil diperiksa pada

kunjungan pertama kehamilan untuk pemeriksaan anemia (Proverawati, Atikah, 2011 : 137).

11. Pengobatan Anemia Kehamilan

Tablet tambah darah adalah tablet besi folat yang setiap tablet mengandung 200 mg ferro sulfat dan

0,25 mg asam folat. Wanita yang sedang hamil dan menyusui, kebutuhan zat besinya sangat tinggi

sehingga perlu dipersiapkan sedini mungkin semenjak remaja. Minumlah 1 (satu) tablet tambah darah

seminggu sekali dan dianjurkan minum 1 (satu) tablet setiap hari selama haid. Untuk ibu hamil, minumlah

1 (satu) tablet tambah darah paling sedikit selama 90 hari masa kehamilan dan 40 hari setelah melahirkan.

Perawatan diarahkan untuk mengatasi anemia. Transfusi darah biasanya dilakukan untuk setiap

anemia jika gejala yang dialami cukup parah (Proverawati, Atikah, 2011 : 136).

C. Taksiran Berat Badan Janin

1. Pengertian Janin

Masa Embrional, meliputi masa pertumbuhan intrauterin sampai usia kehamilan 8 minggu, ketika

ovum yang dibuahi mengadakan pembelahan menjadi organ-organ yang hampir lengkap sampai terbentuk

struktur yang akan berkembang menjadi bentuk manusia. Misalnya sistem sirkulasi, berlanjut terus

sampai minggu ke-12. Masa fetal meliputi masa pertumbuhan intrauterin antara usia kehamilan minggu
ke 8-12 sampai dengan minggu ke-40 (pada kehamilan normal/aterm), ketika organisme yang telah

memiliki struktur lengkap tersebut mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sampai pada

keadaan yang memungkinkan untuk hidup dan berfungsi di dunia luar (Prasetyadi, Frans.O.H, 2012 : 38).

Pengertian janin yaitu hasil dari konsepsi yang terjadi antara sel sperma dan sel telur yang

tumbuh dan berkembang dalam rahim seorang wanita yang dimulai dari usia 0 s/d 36-40 minggu

(Prasetyadi, Frans.O.H, 2012 : 40).

Pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim sangat dipengaruhi oleh kesehatan ibu. Jika

ibu mengalami anemia selama kehamilan maka berisiko untuk memiliki bayi lahir prematur atau berat

badan bayi lahir rendah (Kusmiyati, Yuni, dkk, 2008 : 38).

Pada bayi baru lahir, yang dikatakan berat badan normal yaitu sekitar 2500-3500 gram apabila

ditemukan berat badan kurang dari 2500 gram maka dikatakan bayi memiliki berat badan lahir rendah

(Hidayat, A.Azis, 2008 : 69).

Salah satu penyebab dari BBLR adalah anemia pada ibu hamil karena kekurangan zat besi.

Kebutuhan zat besi sekitar sekitar 1000 mg selama hamil atau naik sekitar 200-300%. Perkiraan besarnya

zat besi yang perlu ditimbun selama hamil 1.040 mg. Dari jumlah itu, 200 mg zat besi tertahan oleh tubuh

ketika melahirkan dan 840 mg sisanya hilang. Sebanyak 300 mg besi ditransfer ke janin dengan rincian

50-75 mg untuk pembentukan plasenta, 450 mg untuk menambah jumlah sel darah merah dan 200 mg

hilang ketika melahirkan. Kebutuhan zat besi pada trimester pertama relatif lebih sedikit yaitu sekitar 0.8

mg per hari, tetapi pada trimester dua dan trimester tiga meningkat menjadi 6.3 mg perhari (Tarwoto, dkk,

2007 : 65).

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Pada Janin

Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan berat badan janin adalah:

a. Gizi Ibu

Gizi makanan ibu berpengaruh pada pertumbuhan janin. Pengaturan gizi yang baik akan

berpengaruh positif, sedangkan bila kurang baik maka pengaruhnya negatif. Pengaruh ini

tampak jelas pada bayi yang baru lahir dalam hal panjang dan besarnya. Panjang dan besarnya

bayi dalam keadaan normal bila gizi juga baik. Gizi yang berlebihan mengakibatkan bayi terlalu

panjang dan terlalu besar. Bayi yang terlalu panjang dan terlalu besar bisa menyulitkan proses

kelahiran. Sedangkan ibu yang kekurangan gizi, bayinya pendek, kecil, dan kondisi

kesehatannya kurang baik.

b. Aktifitas Fisik
Pada saat hamil ibu tetap perlu melakukan aktifitas fisik, Tetapi terbatas pada aktifitas

ringan. Aktifitas fisik yang berat bisa menyebabkan keguguran kandungan, apalagi bila

dilakukan pada bulan-bulan awal kehamilan. Aktifitas fisik yang berat bisa mengakibatkan

kelelahan, misalnya Ibu hamil yang bekerja terlalu berat disebabkan karena terlalu banyak

aktifitas yang cukup menyita energi dan konsentrasi, besarnya janin akan menyusut atau

berkembangnnya tidak baik. kelelahan dapat menurunkan nafsu makan. Jika nafsu makan

menurun, maka pasokan nutrisi bagi janin dapat terganggu. Perkembangan dan pertumbuhan

bayi yang ada dalam kandugan bisa terganggu dan tidak bisa berkembang sempurna.

c. Penyakit yang di Derita Ibu

Penyakit yang diderita ibu pada saat hamil bisa berakibat negatif kepada janin yang

dikandung. Akibat negatif yang bisa ditimbulkan adalah kematian pada saat di dalam

kandungan atau terbentuknya organ-organ tubuh jari yang tidak sempurna atau cacat.

Penyakit ibu yang bisa menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kematian janin di dalam

kandungan antara lain : kolera, malaria, anemia dan lain-lain.

(http://rosy46nelli.wordpress.com/2009/11/06/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-perkembangan-

janin-dan-individu/)

3. Penentuan Taksiran Berat Badan Janin Berdasarkan Tinggi Fundus Uteri (TFU)

Pada setiap kunjungan ibu hamil dilakukan pemeriksaan menyeluruh. Apabila hasil wawancara atau

temuan fisik mencurigakan, dilakukan pemeriksaan lebih mendalam. Salah satu pemantauan kehamilan

yang dilakukan adalah pengukuran tinggi fundus uteri. Pengukuran TFU dapat membantu

mengidentifikasi faktor-faktor risiko tinggi misalnya pada ibu hamil dengan anemia. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa pengukuran TFU memegang peranan penting dalam pemeriksaan kehamilan

(Koesno, Harni, 2006).

Secara tradisional perkiraan tinggi fundus dilakukan dengan palpasi fundus dan membandingkannya

dengan beberapa patokan antara lain simpisis pubis, umbilikus dan prosesus xipoideus. Cara tersebut

dilakukan dengan atau tanpa memperhitungkan ukuran tubuh ibu. Sebaik-baiknya pemeriksaan tersebut

hasilnya masih kasar dan dilaporkan hasilnya bervariasi (Kusmiyati,Yuni, dkk, 2008 : 51).

Dalam upaya standarisasi perkiraan tinggi fundus uteri, lebih disarankan menggunakan pita ukur

untuk mengukur tinggi fundus dari tepi atas simpisis pubis karena memberikan hasil yang lebih akurat

dan dapat diandalkan. Diketahui bahwa pengukuran dengan menggunakan pita ukur memberikan hasil
yang lebih konsisten antar-individu. Juga telah dibuktikan bahwa teknik ini sangat berguna dinegara

berkembang sebagai alat tapis awal dan dapat dilakukan oleh para dokter dan bidan dengan efisiensi yang

setara (Kusmiyati, Yuni, dkk, 2008 : 51).

Penting untuk diketahui bahwa pita ukur yang digunakan hendaknya terbuat dari bahan yang bisa

mengendur (seperti yang digunakan para penjahit). Kandung kemih hendaknya kosong. Pengukuran

dilakukan dengan menempatkan ujung dari pita ukur pada tepi atas simfisis pubis dan dengan tetap

menjaga pita ukur menempel pada dinding abdomen diukur jaraknya kebagian atas fundus uteri. Ukuran

ini biasanya sesuai dengan umur kehamilan dalam minggu setelah umur kehamilan 28 minggu

(Kusmiyati, Yuni, dkk, 2008 : 51).

Berdasarkan Rumus Johnson Toshack, untuk menghitung Taksiran berat badan janin melalui pengukuran tinggi fundus

adalah sebagai berikut:

TBBJ (Taksiran Berat Badan Janin) = (Tinggi Fundus Uteri (cm) N ) x 155 gram.

Keterangan :

N= 13 bila kepala belum memasuki Pintu Atas Panggul (PAP)

N= 12 bila kepala masih berada di atas spina ischiadika

N= 11 bila kepala sudah melewati Pintu Atas Panggul (PAP)

Misalnya tinggi fundus uteri ibu 28 cm, sementara kepala janin masih belum memasuki PAP. Maka

perhitungannya adalah (28-13)x155=2325 gram. Jadi taksiran berat badan janin yang didapat adalah 2325

gram (http://www.scribd.com/doc/55725594/Rumus-Johnson)

Pengukuran Tinggi Fundus Uteri pada ibu hamil dengan anemia sangat diperlukan untuk mengetahui

berat badan janin sebelum bayi lahir. Menurut Kristiyanasari kekurangan zat besi dapat menimbulkan

gangguan atau hambatan pada pertumbuhan janin . Anemia gizi dapat mengakibatkan kematian janin

didalam kandungan, abortus, cacat bawaan, BBLR, hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas dan

kematian perinatal. Pada ibu hamil yang menderita anemia berat dapat meningkatkan resiko morbiditas

maupu mortalitas ibu dan bayi, kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan Prematur lebih besar.

4. Empat metode pengukuran Tinggi Fundus Uteri

a. Metode I

Menentukan TFU dengan mengkombinasikan hasil pengukuran dari memperkirakan dimana TFU berada

pada setiap minggu kehamilan dihubungkan dengan simpisis pubis wanita, umbilikus dan ujung jari dari

prosesus xifoid dan menggunakan lebar jari pemeriksa sebagai alat ukur.

Ketidak akuratan metode ini:


1) Wanita bervariasi pada jarak simpisis pubis ke prosesus xifoid, lokasi umbilikus diantara 2 titik.

2) Lebar jari pemeriksa bervariasi antara yang gemuk dan yang kurus.

Keuntungan :

a) Digunakan jika tidak ada pita pengukur

b) Jari cukup akurat untuk menentukan perbedaan yang jelas antara perkiraan umur kehamilan dengan

tanggal dan dan dengan temuan hasil pemeriksaan dan untuk mengindikasi perlunya pemeriksaan lebih

lanjut jika ditemukan ketidaksesuaian dan sebab kelainan tersebut.

b. Metode II

Metode ini menggunakan alat ukur Caliper. Caliper digunakan dengan meletakkan satu ujung pada

tepi atas simpisis pubis dan ujung yang lain pada puncak fundus. Kedua ujung diletakkan pada garis

tengah abdominal. Ukuran kemudian dibaca pada skala cm yang terletak ketika 2 ujung caliper bertemu.

Ukuran diperkirakan sama dengan minggu kehamilan setelah sekitar 22-24 minggu. Keuntungan

mengukur dengan cara ini adalah lebih akurat dibandingkan pita pengukur terutama dalam mengukur

TFU setelah 22-24 minggu kehamilan (dibuktikan oleh studi yang dilakukan Engstrom,Mc.Farlin dan

Sitler). Kerugiannya adalah jarang digunakan karena lebih sulit, lebih mahal, kurang praktis dibawa, lebih

susah dibaca, lebih susah digunakan dibandingkan pita pengukur.

c. Metode III

Menggunakan pita pengukur dimulai dari titik nol pita pengukur diletakkan pada tepi atas simfisis

pubis dan pita pengukur ditarik melewati garis tengah abdomen sampai puncak. Hasil dibaca dengan

skala cm.

Keuntungan:

1) Lebih murah, mudah dibawa, mudah dibaca hasilnya, mudah digunakan.

2) Cukup akurat

d. Metoda IV

Menggunakan pita pengukur tapi metode pengukurannya berbeda. Garis nol pita pengukur

diletakkan pada tepi atas simfisis pubis digaris abdominal, tangan yang lain diletakkan didasar fundus,

pita pengukur diletakkan diantara jari telunjuk dan jari tengah, pengukuran dilakukan sampai titik dimana

jari menjepit pita pengukur. Sehingga pita pengukur mengikuti bentuk abdomen hanya sejauh puncaknya

dan kemudian secara relatif lurus ketitik yang ditahan oleh jari-jari pemeriksa, pita tidak melewati slope
anterior dari fundus. Caranya tidak diukur karena tidak melewati slope anterior tapi dihitung secara

matematika sebagai berikut:

1) Sebelum fundus mencapai ketinggian yang sama dengan umbilikus, tambahan 4 cm pada jumlah cm

yang terukur. Jumlah total centimeternya diperkirakan sama dengan jumlah minggu kehamilan

2) Sesudah fundus mencapai tinggi yang sama dengan umbilikus, tambahkan 6 cm pada jumlah cm yang

terukur. Jumlah total centimeternya yang diukur diperkirakan sama dengan jumlah minggu kehamilan.

(http://www.bascommetro.com/2010/04/pengukuran-tinggi-fundus-uteri.html)

5. Kurva Berat Badan Lahir dan Berat Badan Janin Menurut David Hull Derek I. Johnston.

Setelah dilakukan pengukuran tinggi fundus uteri pada ibu hamil trimester III, diperoleh hasil Berat

Badan Janin yang dapat dikonversikan kedalam kurva menurut Hull Derek I. Johnston seperti dibawah

ini:
Hypotermia

2.1.1 Pengertian Hypotermia

Hypotermia adalah kondisi di mana tubuh kita mengalami penurunanan


suhu inti (suhu organ dalam). Hipotermia bisa menyebabkan terjadinya
pembengkakan di seluruh tubuh (Edema Generalisata), menghilangnya reflex
tubuh (areflexia), koma, hingga menghilangnya reaksi pupil mata (sarwono
prawirohardjo, 2006).

Bayi lahir dengan tubuh basah oleh air ketuban. Aliran udara melalui
jendela/pintu yang terbuka akan mempercepat terjadinya penguapan dan bayi
lebih cepat kehilangan panas tubuh. Akibatnya dapat menimbulkan serangan
dingin (cold stress) yang merupakan gejala awal dari hypotermi.

Bayi kedinginan biasanya tidak memperlihatkan gejala menggigil oleh


karena kontrol suhunya belum sempurna. Hal ini menyebabkan gejala awal
hypotermia seringkali tidak terdeteksi oleh ibu/keluarga bayi atau penolong.
Gejala hypotermia terjadi bila suhu tubuh (aksila) bayi turun dibawah 36C,nilai
normal 36,5C 37,5C.

Bila seluruh tubuh bayi teraba dingin, maka bayi sudah mengalami
hypotermi sedang suhu 32C 36C. Disebut hypotermi berat bila suhu tubuh <
32C. Untuk mengukur suhu hypotermi diperlukan termometer ukuran rendah
yang dapat mengukur sampai 25C. Disamping sebagai suatu gejala, hypotermia
dapat merupakan awal penyakit yang berakhir dengan kematian.

Hypotermia dapat terjadi secara cepat pada bayi yang sangat kecil atau
bayi yang diresusitasi (dipisahkan dari ibu), dalam kasus ini suhu dapat cepat
turun < 35C. Hypotermi menyebabkan penyempitan pada pembuluh darah,
yang mengakibatkan terjadinya metabolik anerobik, meningkatkan kebutuhan
oksigen dalam tubuh, yang mengakibatkan hypoksemia dan berlanjut dengan
kematian.

Metode kehilangan panas :

a. Radiasi : kehilangan panas dalam bentuk gelombang elektronik


kepermukaan benda lain yang tidak bersentuhan langsung dengan tubuh.

b. Evaporasi: kehilangan panas ke udara ruangan, dengan cara penguapan


air dari permukaan kulit yang basah atau selaput mukosa.

c. Konduksi : kehilangan panas dari molekul tubuh ke molekul suatu


benda yang lebih dingin yang bersentuhan dengan tubuh. Terjadi jika
neonatus ditempatkan pada permukaan yang dingin dan padat.

d. Konveksi: kehilangan panas dari molekul tubuh atau kulit ke udara


yang disebabkan perpindahan udara.

2.1.2 Faktor Resiko Hypotermia

1. Umur : bayi baru lahir, orang tua.

2. Paparan dingin di luar ruangan : olahraga, memakai baju tipis.


3. Obat dan intoksikan : etanol, phenothiazin, barbiturate, anestesi,
bloker neuromuscular.

4. Hormon : hipoglikemia, hipotiroidisme, kekurangan adrenalin,


hipopituitarisme.

5. Neurologis : stroke, gangguan hipotalamus, Parkinson, dan Cedera


sumsum tulang belakang.

6. Multisistem : malnutrisi, sepsis, shock, gangguan hati dan ginjal.

7. Luka bakar dan kelainan kulit eksfoliatif (mengelupas).

2.1.3 Tanda dan Gejala Hypotermia

A. Gejala pada bayi bisa berupa :

1. Bayi tampak mengantuk.

2. Kulitnya pucat dan dingin.

3. Bayi tidak mau minum/menetek.


4. Bayi tampak lesu/mengantuk terus.

5. Tubuh bayi teraba dingin.

6. Lemah.

7. Menggigil.

8. Dalam keadaan berat, denyut jantung bayi menurun dan tubuh bayi
mengeras (sklerema).

9. Gejala awal hipotermia apabila suhu < 36C atau kedua kaki dan
tangan teraba dingin.

10. Bila seluruh tubuh bayi teraba dingin, maka bayi sudah mengalami
hipotermia sedang (suhu 32C < 36C).

Hipotermia bisa menyebabkan hipoglikemia (kadar gula darah yang


rendah), asidosis metabolik (keasaman darah yang tinggi) dan kematian. Tubuh
dengan cepat menggunakan energi agar tetap hangat, sehingga pada saat
kedinginan bayi memerlukan lebih banyak oksigen. Karena itu, hipotermia bisa
menyebabkan berkurangnya aliran oksigen ke jaringan.

B. Tanda-tanda klinis hipotermia

a. Hypotermia sedang (stress dingin) :


1. Kaki teraba dingin.

2. Kemampuan menghisap lemah.

3. Tangisan lemah.

4. Aktivitas berkurang, latergis.

5. Suhu 32C 37C.

6. Denyut jantung < 100 x/mnt.

7. Kulit berwarna tidak rata atau disebut kutis marmorata

b. Hypotermia berat (cedera dingin):

1. Sama dengan hipotermia sedang.

2. Suhu tubuh < 32C.

3. Bibir dan kuku kebiruan.

4. Pernafasan lambat.
5. Pernafasan tidak teratur.

6. Bunyi jantung lambat.

7. Mungkin timbul hipoglikemi danasidosisi metabolik.

c. Tanda-tanda stadium lanjut hypotermia :

1. Muka, ujung kaki, dan tangan berwarna merah terang.

2. Bagian tubuh lainnya pucat.

3. Kulit mengeras merah dan timbul edema terutama pada


punggung, kaki, dan tangan (sklerema).

Menurut tingkat keparahannya, gejala Klinis hypotermia dibagi menjadi 3 :

1. Mild atau ringan.

Sistem saraf pusat : amnesia, apati, terganggunya


persepsi halusinasi
Cardiovaskular : denyut nadi cepat lalu berangsur
melambat, meningkatnya tekanandarah

Penafasan : nafas cepat lalu berangsur melambat

Saraf dan otot : tubuh mulai gemetar, menurunnya


kemampuan koordinasi otot.

2. Moderate atau sedang.

Sistem saraf pusat : penurunan kesadaran secara


berangsur, pelebaran pupil.

Cardiovaskular : penurunan denyut nadi secara


berangsur.

Pernafasan : hilangnya reflex jalan nafas(seperti batuk,


bersin).

Saraf dan otot : menurunnya reflex, berkurangnya respon


menggigil, mulai munculnya kaku tubuh akibat udara
dingin.

3. Severe atau parah.

Sistem saraf pusat : koma,menurunnya reflex


mata(seperti mengedip).
Cardiovascular : penurunan tekanan darah secara
berangsur, menghilangnya tekanandarah sistolik.

Pernafasan : menurunnya konsumsi oksigen.

Saraf dan otot : tidak adanya gerakan, menghilangnya


reflex perifer.

2.1.4 Pencegahan Hypotermi

1. Membaringkan bayi dalam ruangan suhu > 35C bersama ibunya.

2. Mendekap bayi dengan lekatan kulit ke kulit sesering mungkin.

3. Menunda memandikan bayi sampai dengan 6-24 jam.

4. Bayi dibungkus dengan selimut dan kepalanya ditutup dengan topi.


Jika bayi harusdibiarkan telanjang untuk keperluan observasi
maupun pengobatan, maka bayi harus ditempatkan dibawah cahaya
penghangat.

5. Untuk mencegah hipotermia, semua bayi yang baru lahir harus tetap
berada dalamkeadaan hangat.
6. Di kamar bersalin, bayi segera dibersihkan untuk menghindari
hilangnya panas tubuh.

7. Menimbang berat badan terselimuti, kurangi berat selimut.

8. Menjaga bayi tetap hangat selam pemeriksaan, buka selimut bayi


sebagian-sebagian.

2.1.5 Penatalaksanaan Hypotermia Pada BBL

1. Hypotermia sedang

Ganti pakaian yang dingin dan basah dengan pakaian yang


hangat, memakai topi dan selimuti dengan selimut hangat.

Bila ada ibu hangatkan bayi dengan melakukan kontak kulit


(perawatan bayi lekat).

Bila ibu tidak ada:

Hangatkan kembali bayi dengan alat pemancar panas.


gunakan inkubator dan ruangan hangat.
Periksa suhu alat penghangat dan suhu ruangan, beri ASI
peras dengan menggunakan salah satu alternatif cara
pemberian minum dan sesuaikan pengatur suhu.

Hindari paparan panas yang berlebihan dan posisi bayi yang


lebih sering di ubah.

Anjurkan ibu untuk menyusui bayi lebih sering. Bila bayi tidak
dapat menyusu, berikan susu peras.

Minta ibu untuk mengawasi tanda kegawatdaruratan (misal


gangguan nafas, kejang, tidak sadar) dan segera mencari
pertolongan.

Periksa kadar glukosa darah, bila < 45 mg/dL (tangani


hypoglikemia).

Periksa suhu bayi setiap jam, bila suhu naik minimal 0,5C/jam,
berarti usaha menghangatkan bayi berhasil. Lanjutkan periksa suhu
tiap 2 jam.

Bila suhu tidak naik atau terlalu pelan, kurang 0,5C/jam, cari
tanda sepsis.

2. Hypotermia berat

Segera hangatkan bayi di bawah pemancar panas yang telah


dinyalakan sebelumnya. Gunakan inkubator atau ruangan hangat.
Hindari paparan panas yang berlebihan dan posisi bayi sering
diubah.

Bila bayi dengan gangguan nafas (frekuensi nafas > 60 atau <
30 x/mnt, tarikan dinding dada, merintih saat ekspirasi).

Beri cairan IV sesuai dengan dosis rumatan, dan pipa infus tetap
terpasang dibawah pemancar panas, untuk menghangatkan cairan.

Nilai tanda kegawatan pada bayi.

Ambil sempel darah dan beri antibiotika sesuai dengan yang


disebutkan dalam penanganan kemungkinan sepsis.

Prinsip kesulitan sebagai akibat hipotermia adalah meningkatnya


konsumsi oksigen (terjadi hipoksia), terjadinya metabolik asidosis sebagai
konsekuensi glikolisis anaerobik, dan menurunnya simpanan glikogen dengan
akibat hipoglikemia, hilangnya kalori berdampak dengan turunnya berat badan.

2.2 Hypertermia

2.2.1 Pengertian Hypertermia

Hypertermia adalah peningkatan suhu tubuh di atas titik pengaturan


hipotalamus > 37,5C bila mekanisme pengeluaran panas terganggu (oleh obat
dan penyakit) atau dipengaruhi oleh panas eksternal (lingkungan) atau internal
(metabolik)(sarwono prawirohardjo, 2006). Perpindahan panas karena
lingkungan yang terlalu panas yang dapat mengakibatkan hypertermi sehingga
berbahaya bagi bayi baru lahir.

Sengatan panas (heat stroke) per definisi adalah penyakit berat dengan ciri
temperatur inti > 40Cdisertai kulit panas dan kering serta abnormalitas sistem
saraf pusat seperti delirium, kejang, atau koma yang disebabkan oleh pajanan
panas lingkungan (sengatan panas klasik) atau kegiatan fisik yang berat
(Prawirohardjo, sarwono. 2002). Lingkungan yang terlalu panas juga berbahaya
bagi bayi. Keadaan ini terjadi bila bayi diletakkan dekat dengan sumber panas,
dalam ruangan yang udaranya panas atau terlalu banyak pakaian dan selimut.

Terapi hypertermia pada umumnya tidak menyebabkan kerusakan jaringan


normal/sehat jika suhunya tidak melebihi 43,8C. Tetapi perbedaan karakter
jaringan dapat menimbulkan perbedaan suhu atau efek samping pada jaringan
tubuh yang berbeda-beda

2.2.2 Faktor Resiko Hypertermia

1. Suhu lingkungan.

2. Dehidrasi.

3. Perdarahan intrakranial.

4. Infeksi.
2.2.3 Tanda dan Gejala Hypertermia

Tanda dan gejala hypertermia pada bayi baru lahiradalah:

1. Suhu tubuh bayi > 37,5C.

2. Frekuensi pernafasan bayi > 60x/mnt.

3. Tanda-tanda dehidrasi, yaitu berat badan menurun, turgor kulit kurang,


banyaknya air kemih berkurang, perdarahan intrakranial, heat stroke dan
kematian.

4. Kulit hangat telihat kemerahan atau merah muda pada awalnya dan
kemudian terlihat pucat.

5. Ketidakmampuan neonatus untuk mengeluarkan keringat.

6. Meningkatnya laju metabolik, iritabel/rewel, takikardia dan takipnea.

2.2.4 Penatalaksanaan Hypertermia BBL

1. Bayi dipindahkan ke ruangan yang sejuk dengan suhu kamar sekitar


(26C 28C).

2. Lepaskan sebagian atau seluruh pakaian bayi bila perlu.


3. Periksa suhu aksila bayi setiap satu jam sampai suhu tubuh dalam batas
normal.

4. Tubuh bayi diseka dengan kain basah sampai suhu tubuh bayi normal
(jangan menggunakan air es).

5. Bila suhu sangat tinggi (>39C), bayi dikompres atau dimandikan


selama 10-15 menit dalam air suhu 4C lebih rendah dari suhu tubuh
bayi.jangan menggunakan air dingin atau air yang suhunya lebih rendah
dari 4C dibawah suhu bayi.

6. Berikanlah cairan dextrose : NaCl = 1:4 secara intravena sampai


dehidrasi teratasi.

7. Berikan antibiotika apabila ada infeksi.

2.2.5 Manajemen Lanjutan Suhu Lebih Dari 37,5C

1. Yakinkan bayi mendapat masukan cukup cairan:

Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya.

Bila bayi tidak dapat menyusu, beri ASI peras dengan


salah satu alternatif cara pemberian minum.
Bila terdapat tanda dehidrasi (mata atau ubun-ubun besar
cekung, elastisitas kulit turun, lidah dan membran mukosa
kering), tangani dehidrasi.

Periksa kadar glukose darah, bila < 45mg/dl (2,6


mmol/L) tangani hypoglikemia.

Cari tanda sepsis, sekarang dan ulangi lagi bila suhu


telah mencapai batas normal.

Setelah suhu bayi normal, lakukan perawatan lanjutan


dan pantau bayi selama 12 jam berikutnya, periksa suhu
tubuh bayi setiap 3 jam.

Bila suhu tetap dalam batas normal, dan bayi dapat


minum dengan baik serta tidak ada masalah lain yang
memerlukan perawatan di rumah sakit, bayi dapat
dipulangkan. Nasihati ibu cara menghangatkan bayi di
rumah dan melindungi dari pancaran panas yang
berlebihan.

1.3 Hypoglikemia (kadar glukose darah rendah)

2.3.1 Pengertian Hypoglikemia

Hypoglikemi adalah konsentrasi glukose darah di bawah 40mg/100ml atau


keadaan hasil pengukuran kadar glukose darah kurang dari 45 mg/dL (2.6
mmol/L) (Rosa M Sacharin, 1986). Hypoglikemi merupakan keadaan yang
serius dan keadaan semakin gawat jika anak semakin muda.

Sel otak tidak mampu hidup jika kekurangan glukose. Hypoglikemi dapat
terjadi berkaitan dengan banyak penyakit, misalnya pada neonatus dengan ibu
diabetes dan mengalami Hyperglikemi in utero, atau sebagai komplikasi cidera
dingin. Selama masa menggigil simpanan glikogen tubuh tidak mencukupi,
tetapi jika dihangatkan terjadi peningkatan kebutuhan glikogen. Simpanan
glikogen menurun dan cadangan tidak dapat memenuhi kebutuhan pada
pemanasan.

2.3.2 Patofisiologi

1. Hypoglikemia sering terjadi pada BBLR, karena cadangan glukosa


rendah.

2. Pada ibu DM terjadi transfer glukosa yang berlebihan pada janin


sehingga respon insulin juga meningkat pada janin. Saat lahir di mana
jalur plasenta terputus maka transfer glukosa berhenti sedangkan respon
insulin masih tinggi (transient hiperinsulinism) sehingga terjadi
hypoglikemi.

3. Hypoglikemia dapat menimbulkan kejang yang berakibat terjadinya


hipoksi otak. Bila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan
kerusakan pada susunan saraf pusat bahkan sampai kematian.

4. Kejadian hypoglikemia lebih sering didapat pada bayi dari ibu dengan
diabetes.
5. Glukosa merupakan sumber kalori yang penting untuk ketahanan hidup
selama proses persalinan dan hari-hari pertama pasca lahir.

6. Setiap stress yang terjadi mengurangi cadangan glukosa yang ada


karena meningkatkan penggunaan cadangan glukosa, misalnya pada
asfiksia, hypotermi, hypertermi, gangguan pernapasan.

2.3.3 Faktor Resiko Hypoglikemia Pada BBL

1. Bayi dari ibu dengan diabetes (IDM).

2. Neonatus yang besar untuk masa kehamilan (BMK).

3. Neonatus yang kecil untuk masa kehamilan (KMK).

4. Bayi prematur dan lebih bulan.

5. Neonatus sakit / stres (syndrom gawat nafas,hypotermia).

6. Neonatus puasa.

7. Neonatus dengan polisitemia.

8. Neonatus dengan eritroblastosis.


9. Obat obatan yang dikonsumsi ibu misalnya: steroid, beta
simpatomimetik dan beta blocker.

2.3.4 Type Hypoglikemi

Digolongkan menjadi beberapa jenis yakni:

1. Transisi dini neonatus ( early transitional neonatal ) : ukuran bayi


yang besar ataupun normal yang mengalami kerusakan sistem
produksi pankreas sehingga terjadi hiperinsulin.

2. Hypoglikemi klasik sementara (Classic transient neonatal) : tarjadi


jika bayi mengalami malnutrisi sehingga mengalami kekurangan
cadangan lemak dan glikogen.

3. Sekunder (Scondary) : sebagai suatu respon stress dari neonatus


sehingga terjadi peningkatan metabolisme yang memerlukan banyak
cadangan glikogen.

4. Berulang ( Recurrent) : disebabkan oleh adanya kerusakan


enzimatis, atau metabolisme insulin terganggu.

2.3.5 Penyebab dan Mekanisme Hypoglikemia


1. Berkurangnya persediaan dan menurunnya produksi glukosa.

2. Peningkatan pemakaian glukosa (hiperinsulinisme).

3. Kedua mekanisme tersebut.

4. Lain lain :

a. Berkurangnya simpanan glukosa dan menurunkan produksi


glukosa, neonatus yang mempunyai resiko dengan keadaan ini
adalah :

PJT atau KMK

Bayi prematur atau lebih bulan

Neonatus yang mengalami penundaan pemberian


asupan

Neonatus yng menderita asfiksia perinatal

Neonatus dengan hypotermia dan atau stres dingin

b. Peningkatan pemakaian glukosa (hiperinsulinisme), neonatus


yang beresiko dengan keadaan ini adalah :
IDM BMK (besar masa kehamilan)

Neonatus yang menderita eritroblastosis fetalis


(isoimunisasi RH-berat)

Neonatus dengan syndroma beckwith-wiedemann

Neonatus dengan nesidioblastosis atau adenoma


pankreatik

c. Kedua mekanisme telah disebutkan diatas.

d. Lain lain :

Insufisiensi adrenal

Sepsis

Penyakit penyimpanan glikogen (glycogen storage)

Transfusi tukar

Penyakit jantung kongenital hipopituitarisme


kongenital

Obat untuk ibu: steroid, beta blocker


2.3.6 Tanda dan Gejala

Kasus bisa menunjukan gejala ataupun tidak. Kecurigaan tinggi harus


selalu diterapkan dan selalu antisipasi hypoglikemia pada neonatus dengan faktor
resiko. Tanda dan gejala hypoglokemia pada bayi baru lahir adalah :

1. Tidak tenang, gerakan tidak beraturan (Jitteriness).

2. Sianosis.

3. Kejang atau tremor.

4. Letargi dan menyusui yang buruk.

5. Apnea.

6. Tangisan yang lemah atau bernada tinggi.

7. Hipotermia.

8. RDS
2.3.7 Diagnosis Hypoglikemia Pada Neonatus

1. Untuk mencegah abnormalitas perkembangan syaraf, identifikasi dan


pengobatan tepat waktu untuk hypoglikemia adalah sangat penting.

2. Pemantauan glukosa ditempat tidur adalah tindakan tepat untuk


penapisan dan deteksi awal.

3. Hypoglikemia harus dikonfirmasi oleh nilai serum dari laboratorium


jika memungkinkan.

2.3.8 Penatalaksanaan Hypoglikemia

1. Penatalaksanaan hypoglikemia pada bayi Pada bayi yang beresiko


(BBLR, BMK, bayi dengan ibu DM) perlu dimonitor dalam 3 hari
pertama :

Periksa kadar glukosa saat bayi datang/umur 3 jam.

Ulangi tiap 6 jam selama 24 jam atau sampai pemeriksaan


glukosa normal dalam 2 kali pemeriksaan.
Kadar glukosa 45 mg/dl atau gejala positif tangani
hipoglikemia.

Pemeriksaan kadar glukosa baik, pulangkan setelah 3 hari


penanganan hipoglikemia selesai .

2. Glukose darah < 25 mg/dl (1,1 mmol/L) atau terdapat tanda


hypoglikemia:

Pasang jalur IV jika belum terpasang.

Berikan glukose 10% 2 ml/kg secara IV bolus dalam 5


menit. Jika jalur IV tidak dapat dipasang dengan cepat, berikan
larutan glukose melalui pipa lambung dengan dosis yang sama.

Periksa kadar glukose darah 1 jam setelah bolus glukose


dan kemudian tiap 3 jam:

Jika kadar glukose darah masih kurang 25 mg/dl (1,1


mmol/L), ulangi pemberian bolus glukose seperti
tersebut di atas dan di lanjutkan pemberian infus.

Bila kadar glukose darah 45 mg/dl (2,6 mmol/L) atau


lebih dalam dua kali pemeriksaan berturut-turut, ikuti
petunjuk tentang frekuensi pemeriksaan kadar glukose
darah kembali normal.

Anjurkan ibu untuk menyusui. Bila bayi tidak dapat


menyusu, berikan ASI peras.
Bila kemampuan minum bayi meningkat turunkan
pemberian cairan infus setiap hari secara bertahap. Jangan
menghentikan infus glukose secara tiba-tiba.

3. Glukose darah 25 mg/dl (1,1 mmol/L) 45 mg/dl (2,6 mmol/L) tanpa


tanda hipoglikemia:

Anjurkan ibu menyusui bayinya. Bila bayi tidak dapat


menyusui, berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu
alternatif cara pemberian minum.

Pantau tanda hypoglikemia dan bila dijumpai tanda


tersebut, tangani seperti tersebut diatas.

Periksa kadar glukose darah dalam 3 jam sebelum


pemberian minum berikutnya:

Jika kadar glukose darah < 25 mg/dl (1,1 mmol/L)


atau terdapat tanda hypoglikemia, tangani seperti
tersebut diatas.

Jika kadar glukase darah masih antara 25 45 mg/dl


(1,1 2,6 mmol/L), naikkan frekuensi pemberian
minum ASI atau naikkan volume pemberian minum
dengan menggunakan salah satu alternatif cara
pemberian minum.

Jika kadar glukose darah 45 mg/dl (2,6 mmol/L) atau


lebih lihat tentang frekuensi pemeriksaan kadar glukose
darah dibawah ini.
4. Frekuensi pemeriksaan glukose darah setelah kadar glukose darah
normal

Jika bayi mendapatkan cairan IV, untuk alasan apapun,


lanjutkan pemeriksaan kadar glukose darah setiap 12 jam
selama bayi masih memerlukan infus. Jika kapan saja kadar
glukose darah turun, tangani seperti di atas.

Jika bayi sudah tidak lagi mendapat infus cairan IV,


periksa kadar glukose darah setiap 12 jam sebanyak 2 kali
pemeriksaan:

jika kapan saja kadar glukose darah turun, tangani


seperti tersebut diatas.

Jika kadar glukose darah tetap normal selama waktu


tersebut, maka pengukuran dihentikan.

Pada timbul dibetes mellitus ada rasa haus, penurunan berat badan,
banyak kencing, lesu dan mengompol waktu malam. Gejala gejala ini
tampak selama beberapa minggu. Ketoasidosis yang nampak pada anak harus
diperlakukan sebagai keadaan gawat dan anak harus dirawat dirumah sakit.

Insulin komponen tunggal berisi porsin murni (misalnya Actrapid MC


atau Leo Neutral) diberikan melalui infus pelan menggunakan pompa infus
yang memberikan 2,5 atau 5 unit perjam secara teratur tergantung usia anak.
NaCl 0,9 % diberikan secara intravena sampai gula darah mendekati harga
normal (11 mmo1/1) kemudian diganti dengan NaCl 0,45 % ditambah
Dekstrosa 5 %. Natrium bikarbonat dan garam kalium ditambahkan bila
perlu.
Pada penyembuhan secara bertahap diberikan diet yang sesuai
tergantung usia anak. Insulin diberikan sesuai hasil pemeriksaan air kencing
sebelum makan. Dalam waktu singkat anak makan seperti biasa dan dapat
dimulai dengan insulin long acting sebagai pengobatan pemeliharaan.
ANEMIA PADA IBU HAMIL

A. Kehamilan

Kehamilan secara alami dapat terjadi dengan terpenuhinya beberapa persyaratan mutlak,

antara lain : sperma suami yang normal, mulut rahim dan rongga rahim yang normal, saluran

telur (tubafallopi) yang intak (bebas dan tidak buntu), indung telur (ovarium) normal, serta

pertemuan sel sperma dan sel telur (ovum) pada saat yang tepat (masa subur) (Prasetyadi,

Frans.O.H, 2012 : 19).

Fertilisasi merupakan proses terjadinya pembuahan yaitu saat sel sperma dan sel telur

bertemu. Proses ini adalah salah satu proses biologis yang sangat penting, diawali dengan

pelepasan sel telur (ovulasi) oleh indung telur pada puncak masa subur. Pembuahan dapat terjadi

dalam waktu beberapa jam setelah ovulasi, proses ini terjadi di saluran telur (Prasetyadi,

Frans.O.H, 2012 : 20).

Tiga pembagian waktu kehamilan yaitu trimester pertama apabila kehamilan masih

berumur 0-12 minggu. Trimester kedua, apabila umur kehamilan lebih dari 12-28 minggu, serta

trimester ketiga apabila umur kehamilan lebih dari 28-40 minggu (Siswosuharjo, Suwignyo, dkk,

2010 : 43).

B. Anemia Pada Ibu Hamil

1. Definisi Anemia Pada ibu Hamil

Menurut WHO (1992) anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin lebih

rendah dari batas normal untuk kelompok orang yang bersangkutan (Tarwoto, dkk, 2007 : 30).

Anemia merupakan suatu keadaan adanya penurunan kadar hemoglobin dibawah nilai

normal. Pada penderita anemia lebih sering disebut dengan kurang darah, kadar sel darah merah

dibawah nilai normal (Rukiyah, Ai Yeyeh, dkk, 2010 : 114).

Anemia adalah kondisi dimana berkurangnya sel darah merah dalam sirkulasi darah atau

massa hemoglobin sehingga tidak mampu memenuhi fungsinya sebagai pembawa oksigen

keseluruh jaringan (Tarwoto, dkk, 2007 : 30).


Ibu hamil dikatakan anemia jika hemoglobin darahnya kurang dari 11gr%. Bahaya

anemia pada ibu hamil tidak saja berpengaruh terhadap keselamatan dirinya, tetapi juga pada

janin yang dikandungnya (Wibisono, Hermawan, dkk, 2009 : 101).

Penyebab paling umum dari anemia pada kehamilan adalah kekurangan zat besi. Hal ini

penting dilakukan pemeriksaan untuk anemia pada kunjungan pertama kehamilan. Bahkan, jika

tidak mengalami anemia pada saat kunjungan pertama, masih mungkin terjadi anemia pada

kehamilan lanjutannya (Proverawati, 2011 : 129).

Anemia juga disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan yang mengandung zat besi

atau adanya gangguan penyerapan zat besi dalam tubuh (Wibisono, Hermawan, dkk, 2009 : 101).

2. Tanda dan gejala anemia pada Ibu Hamil

Bila kadar Hb < 7gr% maka gejala dan tanda anemia akan jelas. Nilai ambang batas yang

digunakan untuk menentukan status anemia ibu hamil berdasarkan kriteria WHO tahun 1972

ditetapkan 3 kategori yaitu:

a. Normal > 11gr%

b. Ringan 8-11gr%

c. Berat <8gr%

(Rukiyah, Ai Yeyeh, dkk, 2010 : 114)

Gejala yang mungkin timbul pada anemia adalah keluhan lemah, pucat dan mudah

pingsan walaupun tekanan darah masih dalam batas normal (Feryanto, Achmad, 2011 : 37).

Menurut Proverawati (2011) banyak gejala anemia selama kehamilan, meliputi:

a. Merasa lelah atau lemah

b. Kulit pucat progresif

c. Denyut jantung cepat

d. Sesak napas

e. Konsentrasi terganggu

3. Penyebab Anemia Pada Ibu Hamil

Menurut Tarwoto,dkk, (2007:13) penyebab anemia secara umum adalah:

a. Kekurangan zat gizi dalam makanan yang dikonsumsi, misalnya faktor kemiskinan.
b. Penyerapan zat besi yang tidak optimal, misalnya karena diare.

c. Kehilangan darah yang disebabkan oleh perdarahan menstruasi yang banyak, perdarahan akibat

luka.

Sebagian besar anemia di Indonesia penyebabnya adalah kekuangan zat besi. Zat besi

adalah salah satu unsur gizi yang merupakan komponen pembentuk Hb. Oleh karena itu disebut

Anemia Gizi Besi.

Anemia gizi besi dapat terjadi karena hal-hal berikut ini:

a. Kandungan zat besi dari makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi kebutuhan.

b. Meningkatnya kebutuhan tubuh akan zat besi.

c. Meningkatnya pengeluaran zat besi dari tubuh.

(Feryanto, Achmad, 2011 : 37-38)

4. Patofisiologi Anemia Pada Ibu Hamil

Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan adalah karena perubahan sirkulasi

yang semakin meningkat terhadap plasenta dan pertumbuhan payudara. Volume plasma

meningkat 45-65% pada trimester II kehamilan dan maksimum terjadi pada pada bulan ke-9,

menurun sedikit menjelang aterm serta kembali normal 3 bulan setelah partus (Rukiyah, Ai

Yeyeh, dkk, 2010 : 115).

5. Klasifikasi Anemia Dalam Kehamilan

Klasifikasi Anemia Dalam kehamilan menurut Tarwoto,dkk, (2007 : 42-56) adalah

sebagai berikut:

a. Anemia Defesiensi Besi

Anemia defesiensi besi merupakan jenis anemia terbanyak didunia, yang disebabkan oleh suplai

besi kurang dalam tubuh.

b. Anemia Megaloblastik

Anemia yang disebabkan karena defesiensi vitamin B12 dan asam folat.

c. Anemia Aplastik
Terjadi akibat ketidaksanggupan sumsum tulang membentuk sel-sel darah. Kegagalan tersebut

disebabkan kerusakan primer sistem sel yang mengakibatkan anemia.

d. Anemia Hemolitik

Anemia Hemolitik disebabkan karena terjadi peningkatan hemolisis dari eritrosit, sehingga

usianya lebih pendek.

e. Anemia Sel Sabit

Anemia sel sabit adalah anemia hemolitika berat dan pembesaran limpa akibat molekul Hb.

6. Diagnosis Anemia pada kehamilan

Pemeriksaan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat Sahli, yaitu membandingkan

secara visual warna darah dengan alat standar.

a. Alat dan bahan

1. Lancet/jarum penusuk

2. Kapas alkohol dalam tempatnya

3. Bengkok

4. Kapas kering

5. Hb meter

6. Alat pengaduk

7. Aquadest

8. HCl 0,1 n

b. Prosedur kerja

1) Jelaskan prosedur yang dilakukan

2) Cuci tangan

3) Berikan HCl 0,1 n pada tabung Hb meter sebanyak 5 tetes

4) Desinfeksi dengan kapas alkohol pada daerah yang akan dilakukan penusukan pada kapiler di

jari tangan atau tungkai

5) Lakukan penusukan dengan lancet atau jarum pada daerah perifer seperti jari tangan.

6) Setelah darah keluar, usap dengan kapas kering

7) Kemudian ambil darah dengan pengisap pipet sampai garis yang ditentukan
8) Masukkan ke dalam tabung Hb meter dan encerkan dengan aquadest hingga warna sesuai

dengan pembanding Hb meter

9) Baca hasil tunggu 5 menit dengan g % ml darah

10) Cuci tangan setelah prosedur dilakukan

(Hidayat, A.Azis, dkk, 2005 : 269-271)

Setelah dilakukan pengukuran Hb menggunakan Hb Sahli, WHO menetapkan 3 kategori

anemia pada ibu hamil yaitu:

a. Normal > 11 gr%

b. Ringan 8-11 gr%

c. Berat < 8 gr%

(Rukiyah, Ai Yeyeh, 2010 : 114)

Departemen kesehatan menetapkan derajat anemia sebagai berikut:

a. Ringan sekali : Hb 11g/dl-batas normal

b. Ringan : Hb 8g/dl-<11g/dl

c. Sedang : Hb 5g/dl-<8g/dl

d. Berat : < 5g/dl

(Tarwoto, dkk, 2007 : 31)

7. Kadar Hemoglobin Pada Perempuan Dewasa dan Ibu Hamil Menurut WHO

Adapun kadar Hb menurut WHO pada perempuan dewasa dan ibu hamil adalah sebagai

berikut:

Tabel 2.1
Kadar Hemoglobin Pada Perempuan Dewasa dan Ibu Hamil Menurut WHO

Hb Anemia Kurang
Jenis Kelamin Hb Normal
Dari (gr/dl)
13.5-18.5
Lahir (aterm) 13.5
Perempuan dewasa
12.0-15.0 12.0
tidak hamil
Perempuan dewasa
hamil:
Trimester Pertama : 0- 11.0-14.0 11.0
12 minggu
Trimester Kedua : 13-
10.5-14.5 10.5
28 minggu
Trimester ketiga : 29
11.0-14.0 11.0
aterm
(Tarwoto, 2007:64)

8. Faktor Resiko Anemia Dalam Kehamilan

Tubuh berada pada resiko tinggi untuk menjadi anemia selama kehamilan jika:

a. Mengalami dua kehamilan yang berdekatan

b. Hamil dengan lebih dari satu anak

c. Sering mual dan muntah

d. Tidak mengkonsumsi cukup zat besi

e. Hamil saat masih remaja

f. Kehilangan banyak darah (misalnya dari cedera atau selama operasi)

(Proverawati, Atikah, 2011 : 134)

9. Pengaruh Anemia Pada Kehamilan

Zat besi terutama sangat diperlukan di trimester tiga kehamilan. Wanita hamil cenderung

terkena anemia pada trimester ketiga, karena pada masa ini janin menimbun cadangan zat besi

untuk dirinya sendiri sebagai persediaan bulan pertama sesudah lahir (Sinsin, Lis, 2008 : 65 ).

Tingginya angka kematian ibu berkaitan erat dengan anemia. Anemia juga menyebabkan

rendahnya kemampuan jasmani karena sel-sel tubuh tidak cukup mendapat pasokan oksigen.

Pada wanita hamil anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan.

Resiko kematian maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah dan angka

kematian perinatal meningkat. Pengaruh anemia pada kehamilan bervariasi dari keluhan yang

sangat ringan hingga terjadinya gangguan kelangsungan kehamilan (Abortus, partus prematurus),

gangguan proses persalinan (atonia uteri, partus lama), gangguan pada masa nifas (daya tahan
terhadap infeksi dan stress, produksi ASI rendah) dan gangguan pada janin (abortus,

mikrosomia, BBLR, kematian perinatal) (Rukiyah, Ai Yeyeh, dkk, 2010 : 114-115).

10. Pencegahan Anemia Kehamilan

Nutrisi yang baik adalah cara terbaik untuk mencegah terjadinya anemia jika sedang hamil.

Makan makanan yang tinggi kandungan zat besi (seperti sayuran berdaunan hijau, daging merah

dan kacang tanah) dapat membantu memastikan bahwa tubuh menjaga pasokan besi yang

diperlukan untuk berfungsi dengan baik. Pemberian vitamin untuk memastikan bahwa tubuh

memiliki cukup zat besi dan folat. Pastikan tubuh mendapatkan setidaknya 27 mg zat setiap hari.

Jika mengalami anemia selama kehamilan, biasanya dapat diobati dengan mengambil suplemen

zat besi. Pastikan bahwa wanita hamil diperiksa pada kunjungan pertama kehamilan untuk

pemeriksaan anemia (Proverawati, Atikah, 2011 : 137).

11. Pengobatan Anemia Kehamilan

Tablet tambah darah adalah tablet besi folat yang setiap tablet mengandung 200 mg ferro

sulfat dan 0,25 mg asam folat. Wanita yang sedang hamil dan menyusui, kebutuhan zat besinya

sangat tinggi sehingga perlu dipersiapkan sedini mungkin semenjak remaja. Minumlah 1 (satu)

tablet tambah darah seminggu sekali dan dianjurkan minum 1 (satu) tablet setiap hari selama

haid. Untuk ibu hamil, minumlah 1 (satu) tablet tambah darah paling sedikit selama 90 hari masa

kehamilan dan 40 hari setelah melahirkan.

Perawatan diarahkan untuk mengatasi anemia. Transfusi darah biasanya dilakukan untuk

setiap anemia jika gejala yang dialami cukup parah (Proverawati, Atikah, 2011 : 136).

C. Taksiran Berat Badan Janin

1. Pengertian Janin

Masa Embrional, meliputi masa pertumbuhan intrauterin sampai usia kehamilan 8

minggu, ketika ovum yang dibuahi mengadakan pembelahan menjadi organ-organ yang hampir

lengkap sampai terbentuk struktur yang akan berkembang menjadi bentuk manusia. Misalnya

sistem sirkulasi, berlanjut terus sampai minggu ke-12. Masa fetal meliputi masa pertumbuhan

intrauterin antara usia kehamilan minggu ke 8-12 sampai dengan minggu ke-40 (pada kehamilan

normal/aterm), ketika organisme yang telah memiliki struktur lengkap tersebut mengalami
pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sampai pada keadaan yang memungkinkan untuk

hidup dan berfungsi di dunia luar (Prasetyadi, Frans.O.H, 2012 : 38).

Pengertian janin yaitu hasil dari konsepsi yang terjadi antara sel sperma dan sel telur

yang tumbuh dan berkembang dalam rahim seorang wanita yang dimulai dari usia 0 s/d 36-40

minggu (Prasetyadi, Frans.O.H, 2012 : 40).

Pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim sangat dipengaruhi oleh kesehatan

ibu. Jika ibu mengalami anemia selama kehamilan maka berisiko untuk memiliki bayi lahir

prematur atau berat badan bayi lahir rendah (Kusmiyati, Yuni, dkk, 2008 : 38).

Pada bayi baru lahir, yang dikatakan berat badan normal yaitu sekitar 2500-3500 gram

apabila ditemukan berat badan kurang dari 2500 gram maka dikatakan bayi memiliki berat badan

lahir rendah (Hidayat, A.Azis, 2008 : 69).

Salah satu penyebab dari BBLR adalah anemia pada ibu hamil karena kekurangan zat

besi. Kebutuhan zat besi sekitar sekitar 1000 mg selama hamil atau naik sekitar 200-300%.

Perkiraan besarnya zat besi yang perlu ditimbun selama hamil 1.040 mg. Dari jumlah itu, 200

mg zat besi tertahan oleh tubuh ketika melahirkan dan 840 mg sisanya hilang. Sebanyak 300 mg

besi ditransfer ke janin dengan rincian 50-75 mg untuk pembentukan plasenta, 450 mg untuk

menambah jumlah sel darah merah dan 200 mg hilang ketika melahirkan. Kebutuhan zat besi

pada trimester pertama relatif lebih sedikit yaitu sekitar 0.8 mg per hari, tetapi pada trimester dua

dan trimester tiga meningkat menjadi 6.3 mg perhari (Tarwoto, dkk, 2007 : 65).

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Pada Janin

Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan berat badan janin adalah:

a. Gizi Ibu

Gizi makanan ibu berpengaruh pada pertumbuhan janin. Pengaturan gizi yang baik akan

berpengaruh positif, sedangkan bila kurang baik maka pengaruhnya negatif. Pengaruh ini tampak

jelas pada bayi yang baru lahir dalam hal panjang dan besarnya. Panjang dan besarnya bayi

dalam keadaan normal bila gizi juga baik. Gizi yang berlebihan mengakibatkan bayi terlalu

panjang dan terlalu besar. Bayi yang terlalu panjang dan terlalu besar bisa menyulitkan proses

kelahiran. Sedangkan ibu yang kekurangan gizi, bayinya pendek, kecil, dan kondisi

kesehatannya kurang baik.


b. Aktifitas Fisik

Pada saat hamil ibu tetap perlu melakukan aktifitas fisik, Tetapi terbatas pada aktifitas ringan.

Aktifitas fisik yang berat bisa menyebabkan keguguran kandungan, apalagi bila dilakukan pada

bulan-bulan awal kehamilan. Aktifitas fisik yang berat bisa mengakibatkan kelelahan, misalnya

Ibu hamil yang bekerja terlalu berat disebabkan karena terlalu banyak aktifitas yang cukup

menyita energi dan konsentrasi, besarnya janin akan menyusut atau berkembangnnya tidak baik.

kelelahan dapat menurunkan nafsu makan. Jika nafsu makan menurun, maka pasokan nutrisi

bagi janin dapat terganggu. Perkembangan dan pertumbuhan bayi yang ada dalam kandugan bisa

terganggu dan tidak bisa berkembang sempurna.

c. Penyakit yang di Derita Ibu

Penyakit yang diderita ibu pada saat hamil bisa berakibat negatif kepada janin yang

dikandung. Akibat negatif yang bisa ditimbulkan adalah kematian pada saat di dalam kandungan

atau terbentuknya organ-organ tubuh jari yang tidak sempurna atau cacat.

Penyakit ibu yang bisa menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kematian janin di dalam

kandungan antara lain : kolera, malaria, anemia dan lain-lain.

(http://rosy46nelli.wordpress.com/2009/11/06/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-perkembangan-

janin-dan-individu/)

3. Penentuan Taksiran Berat Badan Janin Berdasarkan Tinggi Fundus Uteri (TFU)

Pada setiap kunjungan ibu hamil dilakukan pemeriksaan menyeluruh. Apabila hasil

wawancara atau temuan fisik mencurigakan, dilakukan pemeriksaan lebih mendalam. Salah satu

pemantauan kehamilan yang dilakukan adalah pengukuran tinggi fundus uteri. Pengukuran TFU

dapat membantu mengidentifikasi faktor-faktor risiko tinggi misalnya pada ibu hamil dengan

anemia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengukuran TFU memegang peranan

penting dalam pemeriksaan kehamilan (Koesno, Harni, 2006).

Secara tradisional perkiraan tinggi fundus dilakukan dengan palpasi fundus dan

membandingkannya dengan beberapa patokan antara lain simpisis pubis, umbilikus dan prosesus

xipoideus. Cara tersebut dilakukan dengan atau tanpa memperhitungkan ukuran tubuh ibu.
Sebaik-baiknya pemeriksaan tersebut hasilnya masih kasar dan dilaporkan hasilnya bervariasi

(Kusmiyati,Yuni, dkk, 2008 : 51).

Dalam upaya standarisasi perkiraan tinggi fundus uteri, lebih disarankan menggunakan pita

ukur untuk mengukur tinggi fundus dari tepi atas simpisis pubis karena memberikan hasil yang

lebih akurat dan dapat diandalkan. Diketahui bahwa pengukuran dengan menggunakan pita ukur

memberikan hasil yang lebih konsisten antar-individu. Juga telah dibuktikan bahwa teknik ini

sangat berguna dinegara berkembang sebagai alat tapis awal dan dapat dilakukan oleh para

dokter dan bidan dengan efisiensi yang setara (Kusmiyati, Yuni, dkk, 2008 : 51).

Penting untuk diketahui bahwa pita ukur yang digunakan hendaknya terbuat dari bahan yang

bisa mengendur (seperti yang digunakan para penjahit). Kandung kemih hendaknya kosong.

Pengukuran dilakukan dengan menempatkan ujung dari pita ukur pada tepi atas simfisis pubis

dan dengan tetap menjaga pita ukur menempel pada dinding abdomen diukur jaraknya kebagian

atas fundus uteri. Ukuran ini biasanya sesuai dengan umur kehamilan dalam minggu setelah

umur kehamilan 28 minggu (Kusmiyati, Yuni, dkk, 2008 : 51).

Berdasarkan Rumus Johnson Toshack, untuk menghitung Taksiran berat badan janin melalui pengukuran

tinggi fundus adalah sebagai berikut:

TBBJ (Taksiran Berat Badan Janin) = (Tinggi Fundus Uteri (cm) N ) x 155 gram.

Keterangan :

N= 13 bila kepala belum memasuki Pintu Atas Panggul (PAP)

N= 12 bila kepala masih berada di atas spina ischiadika

N= 11 bila kepala sudah melewati Pintu Atas Panggul (PAP)

Misalnya tinggi fundus uteri ibu 28 cm, sementara kepala janin masih belum memasuki

PAP. Maka perhitungannya adalah (28-13)x155=2325 gram. Jadi taksiran berat badan janin yang

didapat adalah 2325 gram (http://www.scribd.com/doc/55725594/Rumus-Johnson)

Pengukuran Tinggi Fundus Uteri pada ibu hamil dengan anemia sangat diperlukan untuk

mengetahui berat badan janin sebelum bayi lahir. Menurut Kristiyanasari kekurangan zat besi

dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan janin . Anemia gizi dapat

mengakibatkan kematian janin didalam kandungan, abortus, cacat bawaan, BBLR, hal ini

menyebabkan morbiditas dan mortalitas dan kematian perinatal. Pada ibu hamil yang menderita
anemia berat dapat meningkatkan resiko morbiditas maupu mortalitas ibu dan bayi,

kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan Prematur lebih besar.

4. Empat metode pengukuran Tinggi Fundus Uteri

a. Metode I

Menentukan TFU dengan mengkombinasikan hasil pengukuran dari memperkirakan dimana

TFU berada pada setiap minggu kehamilan dihubungkan dengan simpisis pubis wanita,

umbilikus dan ujung jari dari prosesus xifoid dan menggunakan lebar jari pemeriksa sebagai alat

ukur.

Ketidak akuratan metode ini:

1) Wanita bervariasi pada jarak simpisis pubis ke prosesus xifoid, lokasi umbilikus diantara 2 titik.

2) Lebar jari pemeriksa bervariasi antara yang gemuk dan yang kurus.

Keuntungan :

a) Digunakan jika tidak ada pita pengukur

b) Jari cukup akurat untuk menentukan perbedaan yang jelas antara perkiraan umur kehamilan

dengan tanggal dan dan dengan temuan hasil pemeriksaan dan untuk mengindikasi perlunya

pemeriksaan lebih lanjut jika ditemukan ketidaksesuaian dan sebab kelainan tersebut.

b. Metode II

Metode ini menggunakan alat ukur Caliper. Caliper digunakan dengan meletakkan satu

ujung pada tepi atas simpisis pubis dan ujung yang lain pada puncak fundus. Kedua ujung

diletakkan pada garis tengah abdominal. Ukuran kemudian dibaca pada skala cm yang terletak

ketika 2 ujung caliper bertemu. Ukuran diperkirakan sama dengan minggu kehamilan setelah

sekitar 22-24 minggu. Keuntungan mengukur dengan cara ini adalah lebih akurat dibandingkan

pita pengukur terutama dalam mengukur TFU setelah 22-24 minggu kehamilan (dibuktikan oleh

studi yang dilakukan Engstrom,Mc.Farlin dan Sitler). Kerugiannya adalah jarang digunakan

karena lebih sulit, lebih mahal, kurang praktis dibawa, lebih susah dibaca, lebih susah digunakan

dibandingkan pita pengukur.

c. Metode III
Menggunakan pita pengukur dimulai dari titik nol pita pengukur diletakkan pada tepi atas

simfisis pubis dan pita pengukur ditarik melewati garis tengah abdomen sampai puncak. Hasil

dibaca dengan skala cm.

Keuntungan:

1) Lebih murah, mudah dibawa, mudah dibaca hasilnya, mudah digunakan.

2) Cukup akurat

d. Metoda IV

Menggunakan pita pengukur tapi metode pengukurannya berbeda. Garis nol pita pengukur

diletakkan pada tepi atas simfisis pubis digaris abdominal, tangan yang lain diletakkan didasar

fundus, pita pengukur diletakkan diantara jari telunjuk dan jari tengah, pengukuran dilakukan

sampai titik dimana jari menjepit pita pengukur. Sehingga pita pengukur mengikuti bentuk

abdomen hanya sejauh puncaknya dan kemudian secara relatif lurus ketitik yang ditahan oleh

jari-jari pemeriksa, pita tidak melewati slope anterior dari fundus. Caranya tidak diukur karena

tidak melewati slope anterior tapi dihitung secara matematika sebagai berikut:

1) Sebelum fundus mencapai ketinggian yang sama dengan umbilikus, tambahan 4 cm pada jumlah

cm yang terukur. Jumlah total centimeternya diperkirakan sama dengan jumlah minggu

kehamilan

2) Sesudah fundus mencapai tinggi yang sama dengan umbilikus, tambahkan 6 cm pada jumlah cm

yang terukur. Jumlah total centimeternya yang diukur diperkirakan sama dengan jumlah minggu

kehamilan. (http://www.bascommetro.com/2010/04/pengukuran-tinggi-fundus-uteri.html)

5. Kurva Berat Badan Lahir dan Berat Badan Janin Menurut David Hull Derek I. Johnston.

Setelah dilakukan pengukuran tinggi fundus uteri pada ibu hamil trimester III, diperoleh hasil

Berat Badan Janin yang dapat dikonversikan kedalam kurva menurut Hull Derek I. Johnston

seperti dibawah ini:

Hypotermia
2.1.1 Pengertian Hypotermia

Hypotermia adalah kondisi di mana tubuh kita mengalami penurunanan


suhu inti (suhu organ dalam). Hipotermia bisa menyebabkan terjadinya
pembengkakan di seluruh tubuh (Edema Generalisata), menghilangnya reflex
tubuh (areflexia), koma, hingga menghilangnya reaksi pupil mata (sarwono
prawirohardjo, 2006).

Bayi lahir dengan tubuh basah oleh air ketuban. Aliran udara melalui
jendela/pintu yang terbuka akan mempercepat terjadinya penguapan dan bayi
lebih cepat kehilangan panas tubuh. Akibatnya dapat menimbulkan serangan
dingin (cold stress) yang merupakan gejala awal dari hypotermi.

Bayi kedinginan biasanya tidak memperlihatkan gejala menggigil oleh


karena kontrol suhunya belum sempurna. Hal ini menyebabkan gejala awal
hypotermia seringkali tidak terdeteksi oleh ibu/keluarga bayi atau penolong.
Gejala hypotermia terjadi bila suhu tubuh (aksila) bayi turun dibawah 36C,nilai
normal 36,5C 37,5C.

Bila seluruh tubuh bayi teraba dingin, maka bayi sudah mengalami
hypotermi sedang suhu 32C 36C. Disebut hypotermi berat bila suhu tubuh <
32C. Untuk mengukur suhu hypotermi diperlukan termometer ukuran rendah
yang dapat mengukur sampai 25C. Disamping sebagai suatu gejala, hypotermia
dapat merupakan awal penyakit yang berakhir dengan kematian.

Hypotermia dapat terjadi secara cepat pada bayi yang sangat kecil atau
bayi yang diresusitasi (dipisahkan dari ibu), dalam kasus ini suhu dapat cepat
turun < 35C. Hypotermi menyebabkan penyempitan pada pembuluh darah,
yang mengakibatkan terjadinya metabolik anerobik, meningkatkan kebutuhan
oksigen dalam tubuh, yang mengakibatkan hypoksemia dan berlanjut dengan
kematian.

Metode kehilangan panas :

a. Radiasi : kehilangan panas dalam bentuk gelombang elektronik


kepermukaan benda lain yang tidak bersentuhan langsung dengan tubuh.

b. Evaporasi: kehilangan panas ke udara ruangan, dengan cara penguapan


air dari permukaan kulit yang basah atau selaput mukosa.

c. Konduksi : kehilangan panas dari molekul tubuh ke molekul suatu benda


yang lebih dingin yang bersentuhan dengan tubuh. Terjadi jika neonatus
ditempatkan pada permukaan yang dingin dan padat.

d. Konveksi: kehilangan panas dari molekul tubuh atau kulit ke udara yang
disebabkan perpindahan udara.

2.1.2 Faktor Resiko Hypotermia

1. Umur : bayi baru lahir, orang tua.

2. Paparan dingin di luar ruangan : olahraga, memakai baju tipis.

3. Obat dan intoksikan : etanol, phenothiazin, barbiturate, anestesi,


bloker neuromuscular.
4. Hormon : hipoglikemia, hipotiroidisme, kekurangan adrenalin,
hipopituitarisme.

5. Neurologis : stroke, gangguan hipotalamus, Parkinson, dan Cedera


sumsum tulang belakang.

6. Multisistem : malnutrisi, sepsis, shock, gangguan hati dan ginjal.

7. Luka bakar dan kelainan kulit eksfoliatif (mengelupas).

2.1.3 Tanda dan Gejala Hypotermia

A. Gejala pada bayi bisa berupa :

1. Bayi tampak mengantuk.

2. Kulitnya pucat dan dingin.

3. Bayi tidak mau minum/menetek.

4. Bayi tampak lesu/mengantuk terus.


5. Tubuh bayi teraba dingin.

6. Lemah.

7. Menggigil.

8. Dalam keadaan berat, denyut jantung bayi menurun dan tubuh bayi
mengeras (sklerema).

9. Gejala awal hipotermia apabila suhu < 36C atau kedua kaki dan
tangan teraba dingin.

10. Bila seluruh tubuh bayi teraba dingin, maka bayi sudah mengalami
hipotermia sedang (suhu 32C < 36C).

Hipotermia bisa menyebabkan hipoglikemia (kadar gula darah yang


rendah), asidosis metabolik (keasaman darah yang tinggi) dan kematian. Tubuh
dengan cepat menggunakan energi agar tetap hangat, sehingga pada saat
kedinginan bayi memerlukan lebih banyak oksigen. Karena itu, hipotermia bisa
menyebabkan berkurangnya aliran oksigen ke jaringan.

B. Tanda-tanda klinis hipotermia

a. Hypotermia sedang (stress dingin) :


1. Kaki teraba dingin.

2. Kemampuan menghisap lemah.

3. Tangisan lemah.

4. Aktivitas berkurang, latergis.

5. Suhu 32C 37C.

6. Denyut jantung < 100 x/mnt.

7. Kulit berwarna tidak rata atau disebut kutis marmorata

b. Hypotermia berat (cedera dingin):

1. Sama dengan hipotermia sedang.

2. Suhu tubuh < 32C.

3. Bibir dan kuku kebiruan.

4. Pernafasan lambat.
5. Pernafasan tidak teratur.

6. Bunyi jantung lambat.

7. Mungkin timbul hipoglikemi danasidosisi metabolik.

c. Tanda-tanda stadium lanjut hypotermia :

1. Muka, ujung kaki, dan tangan berwarna merah terang.

2. Bagian tubuh lainnya pucat.

3. Kulit mengeras merah dan timbul edema terutama pada


punggung, kaki, dan tangan (sklerema).

Menurut tingkat keparahannya, gejala Klinis hypotermia dibagi menjadi 3 :

1. Mild atau ringan.

Sistem saraf pusat : amnesia, apati, terganggunya persepsi


halusinasi
Cardiovaskular : denyut nadi cepat lalu berangsur
melambat, meningkatnya tekanandarah

Penafasan : nafas cepat lalu berangsur melambat

Saraf dan otot : tubuh mulai gemetar, menurunnya


kemampuan koordinasi otot.

2. Moderate atau sedang.

Sistem saraf pusat : penurunan kesadaran secara berangsur,


pelebaran pupil.

Cardiovaskular : penurunan denyut nadi secara


berangsur.

Pernafasan : hilangnya reflex jalan nafas(seperti batuk,


bersin).

Saraf dan otot : menurunnya reflex, berkurangnya respon


menggigil, mulai munculnya kaku tubuh akibat udara
dingin.

3. Severe atau parah.

Sistem saraf pusat : koma,menurunnya reflex mata(seperti


mengedip).
Cardiovascular : penurunan tekanan darah secara
berangsur, menghilangnya tekanandarah sistolik.

Pernafasan : menurunnya konsumsi oksigen.

Saraf dan otot : tidak adanya gerakan, menghilangnya


reflex perifer.

2.1.4 Pencegahan Hypotermi

1. Membaringkan bayi dalam ruangan suhu > 35C bersama ibunya.

2. Mendekap bayi dengan lekatan kulit ke kulit sesering mungkin.

3. Menunda memandikan bayi sampai dengan 6-24 jam.

4. Bayi dibungkus dengan selimut dan kepalanya ditutup dengan topi.


Jika bayi harusdibiarkan telanjang untuk keperluan observasi
maupun pengobatan, maka bayi harus ditempatkan dibawah cahaya
penghangat.

5. Untuk mencegah hipotermia, semua bayi yang baru lahir harus tetap
berada dalamkeadaan hangat.
6. Di kamar bersalin, bayi segera dibersihkan untuk menghindari
hilangnya panas tubuh.

7. Menimbang berat badan terselimuti, kurangi berat selimut.

8. Menjaga bayi tetap hangat selam pemeriksaan, buka selimut bayi


sebagian-sebagian.

2.1.5 Penatalaksanaan Hypotermia Pada BBL

1. Hypotermia sedang

Ganti pakaian yang dingin dan basah dengan pakaian yang hangat,
memakai topi dan selimuti dengan selimut hangat.

Bila ada ibu hangatkan bayi dengan melakukan kontak kulit


(perawatan bayi lekat).

Bila ibu tidak ada:

Hangatkan kembali bayi dengan alat pemancar panas.


gunakan inkubator dan ruangan hangat.
Periksa suhu alat penghangat dan suhu ruangan, beri ASI
peras dengan menggunakan salah satu alternatif cara
pemberian minum dan sesuaikan pengatur suhu.

Hindari paparan panas yang berlebihan dan posisi bayi yang


lebih sering di ubah.

Anjurkan ibu untuk menyusui bayi lebih sering. Bila bayi tidak
dapat menyusu, berikan susu peras.

Minta ibu untuk mengawasi tanda kegawatdaruratan (misal


gangguan nafas, kejang, tidak sadar) dan segera mencari
pertolongan.

Periksa kadar glukosa darah, bila < 45 mg/dL (tangani


hypoglikemia).

Periksa suhu bayi setiap jam, bila suhu naik minimal 0,5C/jam,
berarti usaha menghangatkan bayi berhasil. Lanjutkan periksa suhu
tiap 2 jam.

Bila suhu tidak naik atau terlalu pelan, kurang 0,5C/jam, cari
tanda sepsis.

2. Hypotermia berat

Segera hangatkan bayi di bawah pemancar panas yang telah


dinyalakan sebelumnya. Gunakan inkubator atau ruangan hangat.
Hindari paparan panas yang berlebihan dan posisi bayi sering
diubah.

Bila bayi dengan gangguan nafas (frekuensi nafas > 60 atau < 30
x/mnt, tarikan dinding dada, merintih saat ekspirasi).

Beri cairan IV sesuai dengan dosis rumatan, dan pipa infus tetap
terpasang dibawah pemancar panas, untuk menghangatkan cairan.

Nilai tanda kegawatan pada bayi.

Ambil sempel darah dan beri antibiotika sesuai dengan yang


disebutkan dalam penanganan kemungkinan sepsis.

Prinsip kesulitan sebagai akibat hipotermia adalah meningkatnya


konsumsi oksigen (terjadi hipoksia), terjadinya metabolik asidosis sebagai
konsekuensi glikolisis anaerobik, dan menurunnya simpanan glikogen dengan
akibat hipoglikemia, hilangnya kalori berdampak dengan turunnya berat badan.

2.2 Hypertermia

2.2.1 Pengertian Hypertermia

Hypertermia adalah peningkatan suhu tubuh di atas titik pengaturan


hipotalamus > 37,5C bila mekanisme pengeluaran panas terganggu (oleh obat
dan penyakit) atau dipengaruhi oleh panas eksternal (lingkungan) atau internal
(metabolik)(sarwono prawirohardjo, 2006). Perpindahan panas karena
lingkungan yang terlalu panas yang dapat mengakibatkan hypertermi sehingga
berbahaya bagi bayi baru lahir.

Sengatan panas (heat stroke) per definisi adalah penyakit berat dengan ciri
temperatur inti > 40Cdisertai kulit panas dan kering serta abnormalitas sistem
saraf pusat seperti delirium, kejang, atau koma yang disebabkan oleh pajanan
panas lingkungan (sengatan panas klasik) atau kegiatan fisik yang berat
(Prawirohardjo, sarwono. 2002). Lingkungan yang terlalu panas juga berbahaya
bagi bayi. Keadaan ini terjadi bila bayi diletakkan dekat dengan sumber panas,
dalam ruangan yang udaranya panas atau terlalu banyak pakaian dan selimut.

Terapi hypertermia pada umumnya tidak menyebabkan kerusakan jaringan


normal/sehat jika suhunya tidak melebihi 43,8C. Tetapi perbedaan karakter
jaringan dapat menimbulkan perbedaan suhu atau efek samping pada jaringan
tubuh yang berbeda-beda

2.2.2 Faktor Resiko Hypertermia

1. Suhu lingkungan.

2. Dehidrasi.

3. Perdarahan intrakranial.

4. Infeksi.
2.2.3 Tanda dan Gejala Hypertermia

Tanda dan gejala hypertermia pada bayi baru lahiradalah:

1. Suhu tubuh bayi > 37,5C.

2. Frekuensi pernafasan bayi > 60x/mnt.

3. Tanda-tanda dehidrasi, yaitu berat badan menurun, turgor kulit kurang,


banyaknya air kemih berkurang, perdarahan intrakranial, heat stroke dan
kematian.

4. Kulit hangat telihat kemerahan atau merah muda pada awalnya dan
kemudian terlihat pucat.

5. Ketidakmampuan neonatus untuk mengeluarkan keringat.

6. Meningkatnya laju metabolik, iritabel/rewel, takikardia dan takipnea.

2.2.4 Penatalaksanaan Hypertermia BBL

1. Bayi dipindahkan ke ruangan yang sejuk dengan suhu kamar sekitar


(26C 28C).

2. Lepaskan sebagian atau seluruh pakaian bayi bila perlu.


3. Periksa suhu aksila bayi setiap satu jam sampai suhu tubuh dalam batas
normal.

4. Tubuh bayi diseka dengan kain basah sampai suhu tubuh bayi normal
(jangan menggunakan air es).

5. Bila suhu sangat tinggi (>39C), bayi dikompres atau dimandikan selama
10-15 menit dalam air suhu 4C lebih rendah dari suhu tubuh
bayi.jangan menggunakan air dingin atau air yang suhunya lebih rendah
dari 4C dibawah suhu bayi.

6. Berikanlah cairan dextrose : NaCl = 1:4 secara intravena sampai


dehidrasi teratasi.

7. Berikan antibiotika apabila ada infeksi.

2.2.5 Manajemen Lanjutan Suhu Lebih Dari 37,5C

1. Yakinkan bayi mendapat masukan cukup cairan:

Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya.

Bila bayi tidak dapat menyusu, beri ASI peras dengan


salah satu alternatif cara pemberian minum.
Bila terdapat tanda dehidrasi (mata atau ubun-ubun besar
cekung, elastisitas kulit turun, lidah dan membran mukosa
kering), tangani dehidrasi.

Periksa kadar glukose darah, bila < 45mg/dl (2,6 mmol/L)


tangani hypoglikemia.

Cari tanda sepsis, sekarang dan ulangi lagi bila suhu telah
mencapai batas normal.

Setelah suhu bayi normal, lakukan perawatan lanjutan dan


pantau bayi selama 12 jam berikutnya, periksa suhu tubuh
bayi setiap 3 jam.

Bila suhu tetap dalam batas normal, dan bayi dapat minum
dengan baik serta tidak ada masalah lain yang memerlukan
perawatan di rumah sakit, bayi dapat dipulangkan. Nasihati
ibu cara menghangatkan bayi di rumah dan melindungi dari
pancaran panas yang berlebihan.

1.3 Hypoglikemia (kadar glukose darah rendah)

2.3.1 Pengertian Hypoglikemia

Hypoglikemi adalah konsentrasi glukose darah di bawah 40mg/100ml atau


keadaan hasil pengukuran kadar glukose darah kurang dari 45 mg/dL (2.6
mmol/L) (Rosa M Sacharin, 1986). Hypoglikemi merupakan keadaan yang
serius dan keadaan semakin gawat jika anak semakin muda.
Sel otak tidak mampu hidup jika kekurangan glukose. Hypoglikemi dapat
terjadi berkaitan dengan banyak penyakit, misalnya pada neonatus dengan ibu
diabetes dan mengalami Hyperglikemi in utero, atau sebagai komplikasi cidera
dingin. Selama masa menggigil simpanan glikogen tubuh tidak mencukupi,
tetapi jika dihangatkan terjadi peningkatan kebutuhan glikogen. Simpanan
glikogen menurun dan cadangan tidak dapat memenuhi kebutuhan pada
pemanasan.

2.3.2 Patofisiologi

1. Hypoglikemia sering terjadi pada BBLR, karena cadangan glukosa


rendah.

2. Pada ibu DM terjadi transfer glukosa yang berlebihan pada janin


sehingga respon insulin juga meningkat pada janin. Saat lahir di mana
jalur plasenta terputus maka transfer glukosa berhenti sedangkan respon
insulin masih tinggi (transient hiperinsulinism) sehingga terjadi
hypoglikemi.

3. Hypoglikemia dapat menimbulkan kejang yang berakibat terjadinya


hipoksi otak. Bila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan
kerusakan pada susunan saraf pusat bahkan sampai kematian.

4. Kejadian hypoglikemia lebih sering didapat pada bayi dari ibu dengan
diabetes.

5. Glukosa merupakan sumber kalori yang penting untuk ketahanan hidup


selama proses persalinan dan hari-hari pertama pasca lahir.
6. Setiap stress yang terjadi mengurangi cadangan glukosa yang ada
karena meningkatkan penggunaan cadangan glukosa, misalnya pada
asfiksia, hypotermi, hypertermi, gangguan pernapasan.

2.3.3 Faktor Resiko Hypoglikemia Pada BBL

1. Bayi dari ibu dengan diabetes (IDM).

2. Neonatus yang besar untuk masa kehamilan (BMK).

3. Neonatus yang kecil untuk masa kehamilan (KMK).

4. Bayi prematur dan lebih bulan.

5. Neonatus sakit / stres (syndrom gawat nafas,hypotermia).

6. Neonatus puasa.

7. Neonatus dengan polisitemia.

8. Neonatus dengan eritroblastosis.

9. Obat obatan yang dikonsumsi ibu misalnya: steroid, beta


simpatomimetik dan beta blocker.
2.3.4 Type Hypoglikemi

Digolongkan menjadi beberapa jenis yakni:

1. Transisi dini neonatus ( early transitional neonatal ) : ukuran bayi yang


besar ataupun normal yang mengalami kerusakan sistem produksi
pankreas sehingga terjadi hiperinsulin.

2. Hypoglikemi klasik sementara (Classic transient neonatal) : tarjadi jika


bayi mengalami malnutrisi sehingga mengalami kekurangan cadangan
lemak dan glikogen.

3. Sekunder (Scondary) : sebagai suatu respon stress dari neonatus


sehingga terjadi peningkatan metabolisme yang memerlukan banyak
cadangan glikogen.

4. Berulang ( Recurrent) : disebabkan oleh adanya kerusakan enzimatis,


atau metabolisme insulin terganggu.

2.3.5 Penyebab dan Mekanisme Hypoglikemia

1. Berkurangnya persediaan dan menurunnya produksi glukosa.


2. Peningkatan pemakaian glukosa (hiperinsulinisme).

3. Kedua mekanisme tersebut.

4. Lain lain :

a. Berkurangnya simpanan glukosa dan menurunkan produksi


glukosa, neonatus yang mempunyai resiko dengan keadaan ini
adalah :

PJT atau KMK

Bayi prematur atau lebih bulan

Neonatus yang mengalami penundaan pemberian asupan

Neonatus yng menderita asfiksia perinatal

Neonatus dengan hypotermia dan atau stres dingin

b. Peningkatan pemakaian glukosa (hiperinsulinisme), neonatus yang


beresiko dengan keadaan ini adalah :

IDM BMK (besar masa kehamilan)

Neonatus yang menderita eritroblastosis fetalis


(isoimunisasi RH-berat)
Neonatus dengan syndroma beckwith-wiedemann

Neonatus dengan nesidioblastosis atau adenoma


pankreatik

c. Kedua mekanisme telah disebutkan diatas.

d. Lain lain :

Insufisiensi adrenal

Sepsis

Penyakit penyimpanan glikogen (glycogen storage)

Transfusi tukar

Penyakit jantung kongenital hipopituitarisme kongenital

Obat untuk ibu: steroid, beta blocker

2.3.6 Tanda dan Gejala


Kasus bisa menunjukan gejala ataupun tidak. Kecurigaan tinggi harus
selalu diterapkan dan selalu antisipasi hypoglikemia pada neonatus dengan faktor
resiko. Tanda dan gejala hypoglokemia pada bayi baru lahir adalah :

1. Tidak tenang, gerakan tidak beraturan (Jitteriness).

2. Sianosis.

3. Kejang atau tremor.

4. Letargi dan menyusui yang buruk.

5. Apnea.

6. Tangisan yang lemah atau bernada tinggi.

7. Hipotermia.

8. RDS

2.3.7 Diagnosis Hypoglikemia Pada Neonatus

1. Untuk mencegah abnormalitas perkembangan syaraf, identifikasi dan


pengobatan tepat waktu untuk hypoglikemia adalah sangat penting.
2. Pemantauan glukosa ditempat tidur adalah tindakan tepat untuk
penapisan dan deteksi awal.

3. Hypoglikemia harus dikonfirmasi oleh nilai serum dari laboratorium jika


memungkinkan.

2.3.8 Penatalaksanaan Hypoglikemia

1. Penatalaksanaan hypoglikemia pada bayi Pada bayi yang beresiko


(BBLR, BMK, bayi dengan ibu DM) perlu dimonitor dalam 3 hari
pertama :

Periksa kadar glukosa saat bayi datang/umur 3 jam.

Ulangi tiap 6 jam selama 24 jam atau sampai pemeriksaan


glukosa normal dalam 2 kali pemeriksaan.

Kadar glukosa 45 mg/dl atau gejala positif tangani


hipoglikemia.

Pemeriksaan kadar glukosa baik, pulangkan setelah 3 hari


penanganan hipoglikemia selesai .
2. Glukose darah < 25 mg/dl (1,1 mmol/L) atau terdapat tanda
hypoglikemia:

Pasang jalur IV jika belum terpasang.

Berikan glukose 10% 2 ml/kg secara IV bolus dalam 5 menit.


Jika jalur IV tidak dapat dipasang dengan cepat, berikan
larutan glukose melalui pipa lambung dengan dosis yang sama.

Periksa kadar glukose darah 1 jam setelah bolus glukose dan


kemudian tiap 3 jam:

Jika kadar glukose darah masih kurang 25 mg/dl (1,1


mmol/L), ulangi pemberian bolus glukose seperti
tersebut di atas dan di lanjutkan pemberian infus.

Bila kadar glukose darah 45 mg/dl (2,6 mmol/L) atau


lebih dalam dua kali pemeriksaan berturut-turut, ikuti
petunjuk tentang frekuensi pemeriksaan kadar glukose
darah kembali normal.

Anjurkan ibu untuk menyusui. Bila bayi tidak dapat menyusu,


berikan ASI peras.

Bila kemampuan minum bayi meningkat turunkan pemberian


cairan infus setiap hari secara bertahap. Jangan menghentikan
infus glukose secara tiba-tiba.

3. Glukose darah 25 mg/dl (1,1 mmol/L) 45 mg/dl (2,6 mmol/L) tanpa


tanda hipoglikemia:
Anjurkan ibu menyusui bayinya. Bila bayi tidak dapat
menyusui, berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu
alternatif cara pemberian minum.

Pantau tanda hypoglikemia dan bila dijumpai tanda tersebut,


tangani seperti tersebut diatas.

Periksa kadar glukose darah dalam 3 jam sebelum pemberian


minum berikutnya:

Jika kadar glukose darah < 25 mg/dl (1,1 mmol/L) atau


terdapat tanda hypoglikemia, tangani seperti tersebut
diatas.

Jika kadar glukase darah masih antara 25 45 mg/dl


(1,1 2,6 mmol/L), naikkan frekuensi pemberian
minum ASI atau naikkan volume pemberian minum
dengan menggunakan salah satu alternatif cara
pemberian minum.

Jika kadar glukose darah 45 mg/dl (2,6 mmol/L) atau


lebih lihat tentang frekuensi pemeriksaan kadar glukose
darah dibawah ini.

4. Frekuensi pemeriksaan glukose darah setelah kadar glukose darah


normal

Jika bayi mendapatkan cairan IV, untuk alasan apapun,


lanjutkan pemeriksaan kadar glukose darah setiap 12 jam
selama bayi masih memerlukan infus. Jika kapan saja kadar
glukose darah turun, tangani seperti di atas.

Jika bayi sudah tidak lagi mendapat infus cairan IV, periksa
kadar glukose darah setiap 12 jam sebanyak 2 kali
pemeriksaan:

jika kapan saja kadar glukose darah turun, tangani


seperti tersebut diatas.

Jika kadar glukose darah tetap normal selama waktu


tersebut, maka pengukuran dihentikan.

Pada timbul dibetes mellitus ada rasa haus, penurunan berat badan,
banyak kencing, lesu dan mengompol waktu malam. Gejala gejala ini
tampak selama beberapa minggu. Ketoasidosis yang nampak pada anak harus
diperlakukan sebagai keadaan gawat dan anak harus dirawat dirumah sakit.

Insulin komponen tunggal berisi porsin murni (misalnya Actrapid MC


atau Leo Neutral) diberikan melalui infus pelan menggunakan pompa infus
yang memberikan 2,5 atau 5 unit perjam secara teratur tergantung usia anak.
NaCl 0,9 % diberikan secara intravena sampai gula darah mendekati harga
normal (11 mmo1/1) kemudian diganti dengan NaCl 0,45 % ditambah
Dekstrosa 5 %. Natrium bikarbonat dan garam kalium ditambahkan bila
perlu.

Pada penyembuhan secara bertahap diberikan diet yang sesuai


tergantung usia anak. Insulin diberikan sesuai hasil pemeriksaan air kencing
sebelum makan. Dalam waktu singkat anak makan seperti biasa dan dapat
dimulai dengan insulin long acting sebagai pengobatan pemeliharaan.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Saat ini Aborsi menjadi salah satu masalah yang cukup serius, dilihat dari tingginya
angka aborsi yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia sendiri, angka pembunuhan
janin per tahun sudah mencapai 3 juta. Angka yang tidak sedikit mengingat besarnya tingkat
kehamilan di Indonesia. Selain itu, ada yg mengkategorikan aborsi itu pembunuhan. Ada yang
melarang atas nama agama. Ada yang menyatakan bahwa jabang bayi juga punya hak hidup
sehingga harus dipertahankan, dan lain-lain. Aborsi merupakan masalah kesehatan masyarakat
karena memberikan dampak pada kesakitan dan kematian ibu. Sebagaimana diketahui penyebab
utama kematian ibu hamil dan melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklampsia. Namun
sebenarnya aborsi juga merupakan penyebab kematian ibu, hanya saja muncul dalam bentuk
komplikasi perdarahan dan sepsis. Akan tetapi, kematian ibu yang disebabkan komplikasi aborsi
sering tidak muncul dalam laporan kematian, tetapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis.
Hal itu terjadi karena hingga saat ini aborsi masih merupakan masalah kontroversial di
masyarakat. Di satu pihak aborsi dianggap ilegal dan dilarang oleh agama sehingga masyarakat
cenderung menyembunyikan kejadian aborsi, di lain pihak aborsi terjadi di masyarakat. Ini
terbukti dari berita yang ditulis di surat kabar tentang terjadinya aborsi di masyarakat, selain
dengan mudahnya didapatkan jamu dan obat-obatan peluntur serta dukun pijat untuk mereka
yang terlambat datang bulan.
Tidak ada data yang pasti tentang besarnya dampak aborsi terhadap kesehatan ibu, WHO
memperkirakan 10-50% kematian ibu disebabkan oleh aborsi (tergantung kondisi masing-masing
negara). Diperkirakan di seluruh dunia setiap tahun dilakukan 20 juta aborsi tidak aman, 70.000
wanita meninggal akibat aborsi tidak aman, dan 1 dari 8 kematian ibu disebabkan oleh aborsi
tidak aman. Di Asia tenggara, WHO memperkirakan 4,2 juta aborsi dilakukan setiap tahunnya,
di antaranya 750.000 sampai 1,5 juta terjadi di Indonesia. Risiko kematian akibat aborsi tidak
aman di wilayah Asia diperkirakan antara 1 dari 250, negara maju hanya 1 dari 3700. Angka
tersebut memberikan gambaran bahwa masalah aborsi di Indonesia masih cukup besar.
B. Tujuan
1. Melaksanakan pengkajian pada klien dengan abortus imminens
2. Menentukan identifikasi masalah klien
3. Menentukan antisipasi masalah pada klien dengan abortus imminens
4. Menentukan identifikasi kebutuhan segera pada klien dengan abortus imminens
5. Menentukan rencana asuhan kebidanan disertai rasionalisasi dan mengintervensi pada klien
dengan abortus imminens
6. Mengevaluasi klien hasil tindakan yang telah dilakukan pada klien dengan abortus imminens
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Abortus
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang
dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram (Mansjoer, Arief dkk, 2001). Kelaianan
dalam kehamilan ada beberapa macam yaitu, abortus spontan, abortus buatan, dan terapeutik.
Biasanya abortus spontan dikarenakan kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma. Abortus
buatan merupakan pengakhiran kehamilan dengan disengaja sebelum usia kandungan 28
minggu. Pengguguran kandungan buatan karena indikasi medic disebut abortus terapeutik.
Berdasarkan jenisnya abortus dibagi menjadi abortus imminens, insipiens, inkomplet dan
abortus komplet, missed abortion, dan abortus habbitualis.
1. Abortus imminens
Suatu abortus imminens dicurigai bila terdapat pengeluaran darah pervaginam pada
trimester pertama kehamilan. Suatu abortus imminens dapat atau tanpa disertai rasa mulas
ringan, sama dengan pada waktu menstruasi atau nyeri pinggang bawah. Dan perdarahan sering
kali hanya sedikit dan berlangsung beberapa hari atau minggu. Pemeriksaan vagina pada
kelainan ini memperlihatkan tidak ada pembukaan pada serviks. Sementara pemeriksaan dengan
menggunakan real team ultrasound pada panggul menunjukkan ukuran kantong amnion normal,
jantung janin berdenyut, dan kantong amnion kosong, serviks tertutup dan masih terdapat janin
utuh.
2. Abortus insipiens
Merupakan abortus yang tidak dapat dipertahankan lagi ditandai dengan pecahnya
selaput janin dan adanya pembukaan serviks. Terdapat nyeri perut bagian bawah atau nyeri
kholik uterus yang hebat. Pada pemeriksaan vagina memperlihatkan dilatasi ostium serviks
dengan bagian kantong konsepsi menonjol. Hasil pemeriksaan USG mungkin didapatkan denyut
jantung janin masih berdenyut, kantong gestasi kosong, uterus kosong atau perdarahan
subkorionik banyak dibagian bawah.
3. Abortus inkomplet
Merupakan pengeluaran hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan
masih ada sisa yang masih tertinggal dalam uterus. Pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis
terbuka dan jaringan dapat diraba dalam kavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari
ostium uteri ekstrenum. Didapatkan endometrium yang tipis dan irregular.
4. Abortus komplet
Pada abortus ini semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan, ditemukan perdarahan sedikit,
ostium uteri telah menutup, dan uterus sudah mengecil. Tidak ada lagi gejala kehamilan dan
PPtest negative. Pada pemeriksaan USG didapatkan uterus kosong.
5. Missed abortion
Kematian janin berusia sebelum 20 minggu, tetapi janin mati itu tidak dikeluarkan selama
8 minggu atau lebih.
6. Abortus habbitualis
Abortus ini adalah abortus spontan yang terjadi berturut-turut 3x atau lebih. Pada
umumnya tidak sulit untuk hamil, namun kehamilannya berakhir sebelum 28 minggu.

B. Etiologi
1. Penyebab secara umum:
a. Infeksi akut virus, misalnya cacar, rubella, hepatitis - Infeksi bakteri, misalnya streptokokus -
Parasit, misalnya malaria
b. Infeksi kronis sifilis,
- biasanya menyebabkan abortus pada trimester kedua.
- Tuberkulosis paru aktif.
- Keracunan, misalnya keracunan tembaga, timah, air raksa, dll
2. Penyakit kronis, misalnya
a. Hipertensi
b. Nephritis
c. Diabetes
d. Anemia ringan
e. Penyakit jantung
f. Toxemia gravidarum
g. Gangguan fisiologis, misalnya syok, ketakutan
h. Trauma fisik
3. Penyebab yang bersifat local
a. Fibroid, inkompetensia serviks
b. Radang pelvis kronis, endometrtis
c. Retroversi kronis
d. Hubungan seksual yang berlebihan sewaktu hamil sehingga menyebabkan hyperemia dan
abortus
e. Kelaianan alat kandungan
f. Gangguan kelenjar gondok
g. Penyebab dari segi janin/plasenta
h. Kematian janin akibat kelainan bawaan
i. Kelainan kromosom
j. Lingkungan yang kurang sempurna

C. Factor-faktor penyebab terjadinya abortus spontan


1. Factor fetal
Sekitar 2/3 dari abortus spontan pada trimester pertama merupakan anomaly kromosom
dengan setengah dari jumlah tersebut adalah trisomi autosom dan sebagian lagi merupakan
triploidi, tetraploidi, atau monosomi 45X.
2. Factor maternal
a. Factor-faktor endokrin
b. Factor anatomi
c. Factor-faktor imunologi
d. Trombofilia
e. Infeksi
f. Factor-faktor eksogen
g. Gaya hidup seperti merokok dan alkhololisme
h. Radiasi

D. Patofisiologi
Abortus biasanya disertai dengan perdarahan didalam desidua basalis dan perubahan
nekrotik didalam jaringan-jaringan yang berdekatan dengan tempat perdarahan. Ovum yang
terlepas sebagian atau seluruhnya dan mungkin akan menjadi benda asing didalam uterus
sehingga merangsang kontraksi uterus dan mengakibatkan pengeluaran janin.

E. Diagnosis
Abortus dapat diduga bila seorang wanita dalam masa reproduksi mengeluh tentang
perdarahan pervaginam setelah mengalami haid terlambat, sering pula terdapat rasa mulas.
Kecurigaan tersebut dapat diperkuat dengan ditentukannya kehamilan muda pada pemeriksaan
bimanual dan test kehamilan secara biologis ( Galli Mainini) atau imunologi ( Pregnosticon,
Gravindex ) bila mana hala itu dikerjakan. Harus diperhatikan macam dan banyaknya
perdarahan, pembukaan serviks dan adanya jaringan dalam kavum uteri atau vagina.

F. Komplikasi
Komplikasi yang serius kebanyakan terjadi pada fase abortus yang tidak aman walaupun
kadang-kadang di jumpai juga pada abortus spontan. Komplikasi dapat berupa perdarahan,
kegagalan ginjal, infeksi, syok, akibat perdarahan dan infeksi sepsis.
G. Penatalaksanaan
Untuk penatalaksanaan abortus berulang dibutuhkan anamnesis untuk arah mengenai
riwayat suami istri dan pemeriksaan fisik ibu baik secara anatomi maupun laboratorik. Apakah
abortus terjadi pada trimester pertama atau kedua baik untuk diperhatikan. Bila terjadi pada
trimester pertama maka banyak factor yang harus dicari sesuai kemungkinan etiologi atau
mekanisme terjadinya abortus berulang. Bila terjadi pada trimester kedua maka factor-faktor
penyebab lain cenderung pada factor anatomis terjadinya inkompetensia serviks dan adanya
tumor mioma uteri serta infeksi yang berat pada uterus atau serviks.

H. Pengobatan
Setelah didapatkan anamnesa yang maksimum bila sudah terjadi konsepsi baru pada ibu
dengan riwayat abortus berulang maka support psikologis untuk pertumbuhan embrio
intrauterine yang baik perlu diberikan pada ibu. Kenali kemungkinan terjadinya anti fosfolipid
syndrome atau mencegah terjadinya infeksi intauterin.
Pemeriksaan kadar HCG secara periodic pada awal kehamilan dapat membantu
pemantauan kelangsungan kehamilan sampai pemeriksaan USG dapat dikerjakan. Gold standar
untuk monitoring kehamilan dini adalah pemeriksaan USG, dikerjakan setiap 2 minggu sampai
kehamilan ini tidak mengalami abortus. Pada keadaan embrio tidak terdapat keadaan janin maka
perlu segera dilakukan evakuasi serta pemeriksaan kariotik jaringan hasil konsepsi tersebut.
Bila kehamilan kemudian berakhir dengan kegagalan lagi maka pengobatan secara
intensif harus dikerjakan secara bertahap baik perbaikan kromosom, anomaly anatomi, kelaianan
endokrin, enfeksi, factor imunologi, anti fosfolipid syndrome, terapi immunoglobulin atau
imunomodulator perlu diberikan secara berurutan. Hal ini merupakan satu pekerjaan yang besar
dan memerlukan pangamatan yang memadai untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Kasus
Kasus : Pada tanggal 2 desember 2012 Ny. Prita datang ke RSU Kebumen untuk
memeriksakan kehamilannya. Ibu mengeluh keluar flek-flek kecoklatan dari kemaluannya sejak
3 hari yang lalu.Ibu merasa cemas dengan keadaan janinnya. Ibu mengatakan HPHT tanggal 11
juni 2012.

B. Dokumentasi Asuhan Kebidanan

ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU HAMIL PATOLOGI


Ny. P G2 P1 AO Ah1 UMUR 30 TAHUN UK 36+3 MINGGU
DENGAN SOLUTIO PLASENTA
DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN KEBUMEN

No. Register : 201/11/2011


Masuk RS tanggal / jam : 21 januari 2011 / 14.10 WIB
Dirawat di ruang : Poloklinik Kandungan

I. PENGKAJIAN Tanggal : 21januari 2011, jam : 14.10 WIB, Oleh : Bidan


A. DATA SUBJEKTIF
1.Identitas
Ibu Suami
Nama : Ny. P Tn. S
Umur : 30 Tahun 32 Tahun
Agama : Islam Islam
Suku / bangsa : Jawa/ Indonesia Jawa/ Indonesia
Pendidikan : SMA PT
Pekerjaan : IRT PNS/ Guru
Alamat : Perum Pepabri Perum Pepabri
No.Telp : - -
2. Alasan kunjungan
Ibu mengatakan ingin memeriksakan kehamilannya

3. Keluhan utama
Ibu mengatakan hamil anak ke 2 dan mengatakan nyeri pada bagian perut terasa sesak dan kadang
kadang perut terasa tegang

4. Riwayat menstruasi
Menarche : 13 tahun siklus : 28 hari
Lama : 7 hari Teratur : Ya
Sifat darah : Cair Keluhan : Tidak ada

5. Riwayat perkawinan
Status pernikahan : Sah Menikah ke : 1 ( satu )
Lama : 9 tahun Usia menikah pertama kali : 21 Tahun

6. Riwayat obstetri : G2 P1 A0 Ah1


Ham Persalinan Nifas
il Tgg Umur Jenis Penlon komplik J BB lakta komplik
ke- l khamil prsalin g si K lah si asi
n an ir
1 26 Aterm sponta bidan Tidak 32 ya Tidak
des n ada 50 ada
em
ber
200
4
Ham
il ini

7. Riwayat kontrasepsi yang digunakan


No. Jenis Pakai berhenti
kontrasepsi Tgl Ole Temp Keluh Tgl Oleh Temp Alasan
h at an at
Suntik 200 bid bpm Tidak 201 - - Ingin
4 an ada 1 punya
anak

8. Riwayat kehamilan sekarang


a. HPM : 11 mei 2010 HPL : 18 februari 2011 UK : 36+3Minggu
b. ANC pertama umur kehamilan : 6 minggu
c. Kunjungan ANC
Trimester I
Frekuensi :2X
Tempat : BPM
Oleh : Bidan
Keluhan : Mual, muntah
Terapi : B6 , Kalk
Trimester II
Frekuensi :4
Tempat : BPM
Oleh : Bidan
Keluhan : nyeri perut
Terapi : Fe, Kalk, Asmet
Trimester III
Frekuensi : 3 kali
Tempat : rumah sakit
Oleh : dokter
Keluhan : nyeri perut
Terapi : fe, Kalk. Asmet
d. Imunisasi TT
TT1 : Caten
e. Pergerakan janin selama 24 jam (dalam sehari)
Ibu mengatakan merasakan gerakan lebih dari 10 kali dalam 24 jam (dalam sehari)

9. Riwayat kesehatan
a. Penyakit yang pernah/sedang diderita (menular,menurun dan menahun)
Ibu mengatakan tidak pernah menderita penyakit menular seperti, PMS, TBC, Hepatitis,
Penyakit menurun seperti Hipertensi dan Diabetes Militus, Penyakit menahun seperti, Asma,
Jantung, dan ginjal.
b. Penyakit yang pernah/sedang diderita keluarga (menular,menurun dan menahun)
Ibu mengatakan keluarga ibu dan suami tidak pernah menderita penyakit menular seperti, PMS,
TBC, Hepatitis, Penyakit menurun seperti Hipertensi dan Diabetes Militus, Penyakit menahun
seperti, Asma, Jantung, dan ginjal.
c. Riwayat keturunan kembar
Ibu mengatakan keluarga ibu dan suami tidak memiliki riwayat keturunan kembar.
d. Riwayat operasi
Ibu mengatakan tidak memiliki riwayat operasi.
e. Riwayat alergi obat
Ibu mengatakan tidak memiliki alergi terhadap obat apapun

10. Pola pemenuhan kebutuhan sehari-hari


a. Pola nutrisi Sebelum hamil Saat hamil
Makan
Frekuensi : 3 x/hari 4 x/hari
Porsi : 1 piring 1 piring
Jenis : Nasi,sayur,lauk Nasi,sayur,lauk,buah
Pantangan : Tidak ada Tidak ada
Keluhan : Tidak ada Tidak ada
Minum
Frekuensi : 6 x/hari 8 x/hari
porsi : 1 gelas 1 gelas
Jenis : Air putih,air teh Air putih, susu, teh
Pantangan : Tidak ada Tidak ada
Keluhan : Tidak ada Tidak ada
b. Pola eliminasi
BAB
Frekuensi : 1 x/hari 1 x/hari
Konsistensi : Lembek Lembek
Warna : Kuning Kuning
Keluhan : Tidak ada Tidak ada
BAK
Frekuensi : 6 x/hari 8 x/hari
Konsistensi : Cair Cair
Warna : Kuning jernih Kuning jernih
Keluhan : Tidak ada Tidak ada
c. Pola istirahat
Tidur siang
Lama : 1 jam/hari 2 jam/hari
Keluhan : Tidak ada Tidak ada
Tidur malam
Lama : 8 jam/hari 6 jam/hari
Keluhan : Tidak ada Tidak ada
d. Personal hygiene
Mandi : 2 x/hari 2 x/hari
Ganti pakaian : 2 x/hari 2 x/hari
Gosok gigi : 2 x/hari 2 x/hari
Keramas : 3 x/minggu 3 x/minggu
e. Pola seksualitas
Frekuensi : 2 x/minggu 3 x/minggu
Keluhan : Tidak ada Tidak ada
f. Pola aktivitas ( terkait kegiatan fisik, olah raga )
Ibu mengatakan aktivitas ibu sehari-hari mengerjakan pekerjaan rumah, seperti mencuci,
menyapu, dan mengepel.

11. Kebiasaan yang mengganggu kesehatan (merokok, minum jamu ,minuman beralkohol )
Ibu mengatakan tidak pernah merokok, minum jamu dan minum minuman beralkohol.

12. Psikososiospiritual (penerimaan ibu/suami/keluarga terhadap kehamilan, dukungan sosial,


perencanaan persalinan, pemberian ASI, perawatan bayi, kegiatan ibadah, kegiatan sosial, dan
persiapan keuangan ibu dan keluarga)
- Ibu mengatakan senang dengan kehamilannya
- Ibu mengatakan suami dan keluarga mendukung kehamilannya
- Ibu mengatakan hubungan dengan suami, keluarga dan tetangga baik
- Ibu mengatakan patuh menjalankan kegiatan ibadah
- Ibu mengatakan keadaan ekonomi ibu baik

13. Pengetahuan ibu ( tentang kehamilan , persalinan dan nifas )


- Ibu mengatakan belum mengetahui cara minum tablet fe yang benar dan ibu juga belum
mengetahui tentang tanda bahaya kehamilan.
- Ibu mengatakan belum mengetahui tentang persiapan dan proses persalinan.
- Ibu mengatakan belum mengetahui tentang teknik menyusui yang benar.

14. Lingkungan yang berpengaruh


- Ibu mengatakan lingkungan sekitar rumah ibu bersih.
- Ibu mengatakan tidak ada hewan peliharaan.
B. Data Obyektif
1. Pemeriksaan umum
Kesadaran umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Status emosional : Stabil
Tanda vital sign
Tekanan darah : 110/70 mmHg Nadi :80 x/menit
Pernapasan : 21 x/menit Suhu : 37,3 oC
Berat badan sekarang : 64 Kg Tinggi badan : 160 cm
Berat badan sebelum hamil : 53 Kg

2. Pemeriksaan fisik
la : Mesochepalus, tidak oedema, tidak ada massa, tidak ada nyeri tekan.
but : Lurus, bersih, tidak ada ketombe, tidak ada kutu, rambut tidak berminyak.
: Oval, tidak ada oedema, tidak ada cloasma gravidarum.
: Simetris, tidak strabismus, sklera putih, konjungtiva merah muda.
Hidung : Tidak ada sekret, tidak ada polip.
Mulut : Tidak stomatitis, tidak ada karies gigi, lidah bersih.
Telinga : Simetris, tidak ada serumen, pendengaran baik.
: Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, parotis, limfe dan vena jugularis.
Dada : Tidak ada retraksi dinding dada, tidak ada bunyi whezing
Payudara :Simetris, puting menonjol, tidak ada massa, terdapat hiperpigmentasi
puting dan aerola mamae.
en : tidak ada bekas operasi, perut membesar, ada linea nigra, ada striae
Palpasi Leopold
Leopold I : TFU pertengahan px
Bagian fundus teraba bulat, lunak, dan tidak melenting yaitu bokong

eopold II : bagian kanan perut ibu teraba kecil-kecil tidak beraturan yaitu ekstremitas
Bagian kiri perut ibu teraba memanjang seperti papan yaitu punggung
eopold III : bagian bawah perut ibu teraba bulat, keras, dan melenting yaitu kepala
Leopold IV : bagian terendah janin belum masuk panggul
Osborn test : Tidak dilakukan
Mc. Donald : TFU 35 cm
TBJ :(35-11)x155= 3720 gr
Auskultasi DJJ : 140 X/ menit, teratur
Ekstremitas atas : Simetris, tidak polidaktili, tidak oedem, gerakan aktif.
bawah : Simetris, tidak polidaktili, tidak oedem, tidak varises, gerakan aktif.
Reflek patella kanan dan kiri : (+)/(+)
ar : tidak ada keputihan dan tidak gatal
: Tidak hemoroid
panggul (bila perlu) : Tidak dilakukan

3. Pemeriksaan penunjang Tanggal : 21 januari 2011, 14.20 WIB


- Pemeriksaan laboratoriun haemoglobin 11gr %
- USG janin tunggal hidup intrauteri, UK 36+3 minggu
3. Data penunjang
Tidak ada
II. INTERPRETASI DATA
A. Diagnosa Kebidanan
Seorang ibu Ny. P umur 30 tahun G2 P1 A0 Ah1 UK 36+3 minggu janin tunggal, hidup
intrauteri, preskep, puki dengan solutio plasenta
S : - Ibu mengatakan umurnya 30 tahun
- Ibu mengatakan ini kehamilan yang ke dua
- ibu mengatakan belum pernah keguguran.
- Ibu mengatakan HPM tanggal 11 mei 2011
- Ibu mengatakan nyeri pada bagian perut terasa sesak dan kadang kadang perut terasa tegang

O : - KU : Baik
- Kesadaran : compos mentis
- Status emosional : Stabil
-VS : TD : 110/70 mmHg R : 21 x /menit
N : 80 x /menit S : 37,3 0C
- PP Test +
- USG : janin tunggal hidup intrauteri, UK 36+3 minggu, DJJ + kadang-kadang tidak terdengar
- DJJ : 125x/ menit, teratur

B. Masalah
Ketidaknyamanan pada TM III
Data dasar
DS : Ibu mengatakan merasa nyeri dan kadang-kadang perutnya tertekan dan tegang
DO : ibu hamil 36+3 minggu

III. IDENTIFIKASI DIAGNOSA / MASALAH POTENSIAL


Potensial hipoksia pada bayi
Perdaraha pada ibu

IV. ANTISIPASI TINDAKAN SEGERA


Mandiri : Tidak ada
Kolaborasi : dengan dokter SpOG untuk melakukan perawatan lebih lanjut
Rujukan : Tidak ada

V. PERENCANAAN Tanggal : 21 januari 2011 Jam : 14.30 WIB, Oleh : Bidan


1. Jelaskan pada ibu hasil pemeriksaan.
2. Jelaskan tentang keluhan yang dialami ibu.
3. Anjurkan Ibu untuk melahirkan di tenaga kesehatan atau rumah sakit
4. Pemenuhan kebutuhan nutrisi ibu
5. Jelaskan tanda-tanda persalinan
6. dokumentasi

VI. PELAKSANAAN Tanggal : 21 januari 2011, Jam : 14.35 WIB, Oleh : Bidan
1. Menjelaskan pada Ibu hasil pemeriksaannya yaitu :
- KU : Baik
- Tekanan darah : 110/70 mmHg Nadi :80 x/menit
- Pernapasan : 21 x/menit Suhu :37,3 oC
- Berat badan : 64 Kg
- USG : janin tunggal hidup intrauteri, UK 36+3 minggu, DJJ + kadang-kadang tidak terdengar
- DJJ : 125x/menit
2. Menjelaskan tentang keluhan yang dialami Ibu yaitu nyeri pada bagian perut terasa sesak dan
kadang kadang perut terasa tegang di sebabkan karena letak plasenta tidak pada tempatnya.
Cara mengatasinya ibu dapat miring kekiri apabila ibu sedang tidur agar peredaran darah lancar.
3. Menganjurkan Ibu untuk melahirkan di tenaga kesehatan atau rumah sakit supaya apabila terjadi
kegawatdaruratan dapat ditangani dengan cepat.
4. Menganjurkan Ibu untuk tetap makan-makanan yang bergizi menu seimbang misalnya nasi,
ikan, daging, sayur-sayuran hijau, mineral, buah dan susu.
5. Menjelaskan tanda-tanda-tanda persalinan seperti sakit dari punggung menjalar ke perut, keluar
lendir bercampur darah, kenceng-kenceng teratur durasinya semakin lama.
6. Melakukan pendokumentasian.

VII. EVALUASI Tanggal : 21 januari 2011, Jam : 14.50 WIB, Oleh : Bidan

1. Ibu mengerti dengan hasil pemeriksaannya.


2. Ibu mengerti dengan keluhan yang dialaminya.
3. Ibu bersedia melahirkan ditenaga kesehatan atau rumah sakit.
4. Ibu bersedia makan-makanan yang bergizi
5. Ibu sudah mengerti tentang tanda-tanda persalinan dan ibu mengerti harus menghubungi tenaga
kesehatan
6. Pendokumentasian telah dilakukan.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang
dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram Penyebab secara umum : Infeksi akut
virus, misalnya cacar, rubella, hepatitis - Infeksi bakteri, misalnya streptokokus - Parasit,
misalnya malaria.
Abortus biasanya disertai dengan perdarahan , tergantung jenis abortus yang dialami dan
penyebabnya. Mulai dari bercak bercak,perdarahan ringan, sedang, berat (hasil konsepsi
keluar). Penanganan sementara biasanya dirujuk dan di USG kemudian dilanjutkan dengan
Pemberian terapi oleh dokter.
]
B. Saran
1. Bagi para Tenaga kesehatan atau Bidan, bila menemukan khasus seperti diatas, segera
melakukan penanganan segera, atau merujuk BUMIL, ke instasi kesehatan yang lebih tinggi atau
berkualitas
2. Bagi para Bumil, dianjurkan untuk lebih berhati-hati dalam menjaga kehamilan,apalagi pada
kehamilan usia mudah, dan juga unutk lebih sering melakukan ANC.
DAFTAR PUSTAKA

Bastein, Ronald. 2011. From http://www.slideshare.net/ronaldbasten/bab-i-aborsi, akses 1 Oktober 2012


Sujiyatini dkk. 2009. Asuhan Patologi Kebidanan Plus Contoh Asuhan Kebidanan. Yogyakarta. Nuha
Medika
Diposting oleh Nurul Mauliana di 03.07
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:

Posting Komentar
2.1 Definisi Perdarahan Post Partum

Yang dimaksud dengan perdarahan post partum adalah perdarahan yang terjadi dalam 24
jam setelah persalinan berlangsung.

Perdarahan post partum adalah pendarahan yang berlangsung lebih dari 500-600 ml
selama 24 jam setelah anak lahir. Termasuk perdarahan karena retensio plasenta. (Prof. Dr.
Rustam Mochtar, MPH, 1998)

Haemoragic Post Partum (HPP) adalah hilangnya darah lebih dari 500-600 ml dalam 24
jam pertama setelah lahirnya bayi (Williams, 1998).

2.2 Klasifikasi

Perdarahan post partum terbagi menjadi 2 :

a. Perdarahan post partum primer

Perdarahan post partum terjadi dalam 24 jam pertama.

Penyebabnya : Antonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta dan robekan jalan lahir, terbanyak
dalam 2 jam pertama.

b. Perdarahan post partumsekunder

Perdarahan post partum terjadi setelah 24 jam pertama.

Penyebabnya : robekan jalan lahir, dan sisa plasenta atau membrane.

2.3 Epidemiologi

Perdarahan karena kontraksi rahim yang lemah setelah anak lahir meningkat insidennya
pada kehamilan dengan pembesaran rahim yang berlebihan seperti pada kehamilan dengan
pembesaran rahim, hidramnion, anak terlalu besar ataupun pada rahim yang melemah daya
kontraksinya seperti pada grande multipara, interval kehamilan yang pendek atau pada
kehamilan usia lanjut, induksi partus dengan oksitosin, his yang terlalu kuat sehingga anak
dilahirkan terlalu cepat dan sebagainya.

Perdarahan post partum dini jarang disebabkan oleh retensi potongan plasenta yang kecil,
tetapi plasenta tersisa sering menyebabkan perdarahan pada akhir masa nifas. Kadang-
kadang plasenta tidak segera terlepas bidang obstetric membuat batas-batas durasi kala 3
secara agak ketat sebagai upaya untuk medefinisikan retensio plasenta sehingga perdarahan
akibat terlalu lambatnya pemindahan plasenta dapat dikurangi.Combs dan Laros meneliti
12.275 persalina pervaginam tunggal dan melaporkan median durasi kala 3 adalah 6 menit
dan 3,3 % berlangsung lebih dari 30 menit. Beberapa tindakan untuk mengatasi perdarahan,
termasuk kuretase atau tranfusi, meningkat pada kala 3 yang mendekati 30 menit atau lebih.
(yayanakhyar.com,2008).

Efek perdarahan banyak bergantung pada volume darah pada sebelum hamil dan derajat
anemia saat kehamilan. Gambaran perdarahan postpartum dapat mengecohkan adalah nadi
dan tekanan darah yang masih dalam batas normal sampai terjadi kehilangan darah yang
sangat banyak.

2.1 Diagnosa

Untuk membuat diagnosis perdarahan postpartum perlu diperhatikan ada perdarahan


yang menimbulkan hipotensi dan anemi. Apabila hal ini dibiarkan berlangsung terus, pasien
akan jatuh dalam keadaan syok. Perdarahan postpartum tidak hanya terjadi pada mereka yang
mempunyai predisposisi, tetapi pada setiap persalinan kemungkinan untuk terjadinya
perdarahan postpartum selalu ada.

Menghentikan perdarahan lebih dini akan memberikan prognosis lebih baik. Pada
umumnya bila terdapat perdarahan yang lebih dari normal, apalagi telah menyebabkan
perubahan tanda vital (seperti kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak
nafas, serta tensi < 90 mmHg dan nadi > 100/menit), maka penanganan harus segera
dilakukan .

Perdarahan yang terjadi dapat deras atau merembes. perdarahan yang deras biasanya akan
segera menarik perhatian, sehingga cepat ditangani sedangkan perdarahan yang merembes
karena kurang nampak sering kali tidak mendapat perhatian. Perdarahan yang bersifat
merembes bila berlangsung lama akan mengakibatkan kehilangan darah yang banyak. Untuk
menentukan jumlah perdarahan, maka darah yang keluar setelah uri lahir ditampung dan
dicatat.

Kadang-kadang perdarahan terjadi tidak keluar dari vagina, tetapi menumpuk di vagina
dan di dalam uterus. Keadaan ini biasanya diketahui karena adanya kenaikan fundus uteri
setelahn uri keluar. Untuk menentukan etiologi dari perdarahan postpartum diperlukan
pemeriksaan lengkap yang meliputi anamnesis, pemeriksaan umum, pemeriksaan abdomen
dan pemeriksaan dalam.
Pada atonia uteri terjadi kegagalan kontraksi uterus, sehingga pada palpasi abdomen
uterus didapatkan membesar dan lembek. Sedangkan pada laserasi jalan lahir uterus
berkontraksi dengan baik sehingga pada palpasi teraba uterus yang keras. Dengan
pemeriksaan dalam dilakukan eksplorasi vagina, uterus dan pemeriksaan inspekulo. Dengan
cara ini dapat ditentukan adanya robekan dari serviks, vagina, hematoma dan adanya sisa-
sisa plasenta.

2.2 Faktor-Faktor Penyebab

Penyebab utama perdarahan baik secara primer maupun skunder :

1. Grandemultipara

2. Jarak persalinan pendek kurang dari 2 tahun

3. Persalinan yang dilakukan dengan tindakan

4. Pertolongan kala uri sebelum waktunya

5. Pertolongan persalinan oleh dukun

6. Persalinan dengan tindakan paksa

7. Persalinan dengan narkosa

Penyebab utama perdarahan post partum primer :

Atonia uteri 50-60%

Retensio plasenta 16-17%

Sisa plasenta 23-24%

Laserasi jalan lahir 4-5 %

1. Atonia uteri

a. Konsep dasar
Atonia uteri (relaksasi otot uterus) adalah uteri tidak nerkontraksi dalam 15 detik
setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir). (Depkes Jakarta : 2002).

Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot miometrium uterus untuk


berkontraksi dan memendek hal ini merupakan penyebab perdarahan postpartum yang
paling penting dan biasa terjadi segera setelah bayi lahir hingga 4 jam setelah persalinan.
Atonia uteri dapat menyebabkan perdarahan hebat dan dapat mengarah pada terjadinya
syok hipovolemik.

Atonia uteri merupakan penyebab utama terjadinya perdarahan pasca persalinan.


Pada atonia uteri, uterus gagal berkontraksi dengan baik setelah persalinan.

Overdistensi uterus, baik absolute maupun relative, merupakan faktor resiko mayor
terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh kehamilan ganda,
janin makrosomia, polihidramnion atau abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat),
kelainan struktur uterus atau kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat
akumulasi darah diuterus baik sebelum maupun sesudah plasenta lahir.

Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan karena persalinan


normal atau persalinan dengan tenaga besar, terutama bila mendapatkan stimulasi. Hal
ini dapat pula terjadi sebagai akibat dari inhibisi kontraksi yang disebabkan karena obat-
obatan, seperti agent anastesi terhalogenisasi, nitrat, obat-obatan anti implantasi
nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik dan nifedipin. Penyebab lain yaitu
plasenta letak rendah, toksin bakteri (korioamnionitis, endomiometritis, septicemia),
hipoksia akibat hipoperfusi atau uterus Couvilaire pada abruption plasenta dan
hipotermia akibat resusitasi massif. Data terbaru menyebutkan bahwa grandemultiparitas
bukan merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya perdarahan postpartum.

b. Etiologi

Penyebab tersering kejadian pada ibu dengan atonia uteri antara lain,

Overdistensi uterus seperti: gemeli, makrosomia, polihidramnion atau paritas


tinggi.

Umur yang terlalu muda atau terlalu tua.

Multipara dengan jarak kelahiran pendek.

Partus lama atau partus terlantar.


Malnutrisi.

Dapat juga karena salah penanganan dalam usaha melahirkan plasenta, sedangkan
sebelumnya belum terlepas dari uterus.

Grandemultipara ; uterus yang terlau regang (hidramnion, hamil ganda, anak besar
(BB>4000 gr), kelainan uterus (uterus bikornis, mioma uteri, bekas oprasi), partus lama
(exhausted mother), partus presipitatus, hipertensi dalam kehamilan (gestosis), infeksi
uterus, anemia berat, penggunaan oksitosin yang berlebihan dalam persalinan (induksi
partus), riwayat perdarahan pascapersalinan sebelumnya atau riwayat plasenta manual,
pimpinan kala 3 yang salah, dengan memijit-mijit dan mendorong-dorong uterus
sebelum plasenta terlepas, IUFD yang sudah lama, penyakit hati, emboli air ketuban
(koagulopati), tindakan operatif dengan anastesi umum yang terlalu dalam.

c. Manifestasi klinis

Tanda dan gejala yang khas pada atonia uteri jika kita menemukan: uterus tidak
berkontraksi dan lembek, perdarahan segera setelah anak lahir (postpartum primer).

d. Pencegahan Atonia Uteri

Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan
pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai
terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam
persalinan,anemia,dan kebutuhan transfusi darah.

Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang
cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti
egometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada
menejemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif
protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip
100-150 cc/jam.

Analog sintenik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai
uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan postpartum dini. Karbetosin
merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit
dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di Canada membandingkan antara
pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi
sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibandingkan oksitosin.
2. Retensio Plasenta

a. Konsep dasar

Retensio plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam


setelah kelahiran bayi. Pada beberapa kasus dapat terjadi retensio plasenta (habitual
retensio plasenta). Plasenta harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan bahaya
perdarahan, infeksi karena sebagai benda mati, dapat terjadi plasenta inkarserata, dapat
terjadi polip plasenta dan terjadi degerasi ganas korio karsinoma. Sewaktu suatu bagian
plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka uterus tidak berkontraksi secara efektif
dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan. Gejala dan tanda yang bisa ditemui
adalah pendarahan segera, uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus uteri tidak berkurang.
(Prawirohardjo, 2005).

Plasenta tertahan jika tidak dilahirkan dalam 30 menit setelah janin lahir. Plasenta
mungkin terlepas tetapi terperangkap oleh serviks, terlepas sebagian, secara patologis
melekat (plasenta akreta, inkreta, perkreta) (David, 2007).

Retensio plasenta adalah plasenta yang tidak terpisah dan menimbulkan hemorrhage
yang tidak tampak, dan juga didasari pada lamanya waktu yang terlalu antara kelahiran
bayi dan keluarnya plasenta yang diharapkan. Beberapa ahli klinik menangani setelah 5
menit. Kebanyakan bidan akan menunggu satu setengah jam bagi plasenta untuk keluar
sebelum menyebutnya tertahan. (Varneys, 2007)

b. Jenis-Jenis Retensio Plasenta

1. Plasenta Adhesiva

adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan
kegagalan mekanisme separasi fisiologis.

2. Plasenta Akreta

adalah implantasi jonjot korion plasetita hingga memasuki sebagian lapisan


miornetrium.

3. Plasenta Inkreta

adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai / memasuki


miornetrium.

4. Plasenta Perlireta
adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga
mencapai lapisan serosa dinding uterus.

5. Plaserita Inkarserata

adalah tertahannya plasenta di dalam kavum utrri disebabkan oleh kontriksi


osteuni uteri.

3. Robekan Jalan Lahir

Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang bervariasi
banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus dievaluasi yaitu sumber dan
jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi. Sumber perdarahan dapat berasal dari perineum,
vagina, serviks, dan robekan uterus (ruptura uteri). Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma
dan robekan jalan lahir dengan perdarahan bersifat arterill atau pecahnya pembuluh darah vena.
Untuk dapat menetapkan sumber perdarahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan dalam dan
pemeriksaan spekulum setelah sumber perdarahan diketahui dengan pasti, perdarahan dihentikan
dengan melakukan ligasi.

Perdarahan pada robekan jalan lahir banyak dijumpai pada pertolongan persalinan oleh dukun
karena tanpa dijahit. Bidan diharapkan melaksanakan pertolongan persalinan secara legeartis
ditengah masyarakat melalui polindes, sehingga berangsur-angsur peranan dukun makin
berkurang. Bidan dengan pengetahuan medisnya dapat memilah-milah hamil dengan resiko
tinggi, resiko rawan atau resiko tinggi, dan mengarahkan pertolongan pada kehamilan dengan
resiko rendah. Pertolongan persalinan dengan resiko rendah mempunyai komplikasi ringan
sehingga dapat menurunkan angka kematian ibu maupun perinatal. Dengan demikian komplikasi
robekan jalan lahir yang dapat menimbulkan perdarahan akan semakin berkurang.

Robekan jalan lahir bersumber dari berbagai organ diantaranya vagina, perineum, porsio,
servik dan uterus. Ciri yang khas dari robekan jalan lahir yaitu kontraksi uterus kuat, keras dan
mengecil, perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir. Perdarahan ini terus-menerus setelah
dilakukan masase atau pemberian uterotonika langsung mengeras tapi perdarahan tidak
berkurang. Dalam keadaan apapun, robekan jlan lahir harus dapat diminimalkan karena tak
jarang perdarahan terjadi karena robekan dan ini menimbulkan akibat yang fatal seperti
terjadinya syok.

Penanganan rupture perineum dan robekan dinding vagina (dilakukan oleh yang sudah
berpengalaman terutama dokter Kandungan).
a. Robekan Perineum

1. Konsep dasar

Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang
juga pada persalinan berikutnya. Namun hal ini dapat dihindarkan atau dukurangi
dengan jalan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan
cepat. dan adanya robekan perineum ini dibagi menjadi: robekan perineum derajat 1,
robekan perineum derajat 2, 3 dan 4.

2. Deerajat laserasi jalan lahir adalah sebagai berikut:

Derajat I : mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum.

Derajat II : mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot perineum.

Derajat III : mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot perineum, otot
spingter ani eksterna.

Derajat IV : mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot perineum, otot
spingter ani eksterna, dinding rectum anterior.

Robekan perineum yang melebihi derajat satu harus dijahit. Hal ini dapat dilakukan sebelum
plasenta lahir, tetapi apabila ada kemungkinan plasenta harus dikeluarkan secara manual, lebih
baik tindakan itu ditunda sampai menunggu plasenta lahir. Dengan penderita berbaring secara
litotomi dilakukan pembersihan luka dengan cairan antiseptic dan luas robekan ditentukan
dengan seksama (Sumarah,2009).

Pada robekan perineum derajat dua setelah diberi anastesi local otot-otot diafragmaurognitalis
dihubungkan di garis tengah dengan jahitan dan kemudian luka pada vagina dan kulit perineum
ditutup dengan mengikitsertakan jaringan-jaringan. (Sumara,2009).

Menjahit robekan perineum derajat 3 harus dilakukan dengan teliti, mula-mula dinding depan
rectum yang robek dijahit, kemudian fasia prarektal ditutup, dan muskulus sfingter ani aksternus
yang robek dijahit. Selanjutnya dilakukan penutupan robekan seperti pada robekan perineum
derajat 2. Untuk mendapatkan hasil yang baik pada robekan perineum total perlu tindakan
penanganan pasca pembedahan yang sempurna (Sumarah,2009).

Penderita diberi makanan yang tidak mengandung selulosa dan mulai hari ke-2 diberi
paraffinum liquidum sesendeok makan 2 kali sehari dan jika perlu pada hari ke-6 diberi klisma
minyak (Sumarah,2009).
b. Robekan Vagina

Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak sering
dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi sebagai
akibat ekstraksi dengan cunam. Terlebih apabila kepala janin harus diputar. Robekan
terdapat pada dinding lateral dan bahu terlihat pada pemeriksaan speculum. Perdarahan
biasanya banyak, tetapi mudah diatasi dengan jahitan. Kadang-kadang robekan atas
vagina terjadi sebagai akibat menjalarnya uterine terputus, timbul banyak perdarahan
yang membahayakan jiwa penderita. Apabila perdarahan itu sukar dikuasai dari bawah,
terpaksa dilakukan laparatomin dan ligamentum latum dibuka untuk menghentikan
perdarahan, jika hal yang terakhir ini tidak berhasil, arteria hipogastrika yang terakhir
perlu diikat.

c. Robekan Serviks

1. Konsep dasar

Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks sehingga serviks seorang multipara


berbeda dari yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan serviks yang luas
menimbulakn perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi
perdarahan yang tidak mau berhenti, meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus
sudah berkontraksi dengan baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya
robekan serviks uteri. Dalam keadaan ini serviks harus diperiksa dengan speculum.
Pemeriksaan juga harus dilakukan secara rutin setelah tindakan obstetric yang sulit.

Apabila ada robekan servik perlu ditarik keluar dengan beberapa cunam ovum,
supaya batasan antara robekan dapat dilihat dengan baik. Jahitan pertama dilakukan pada
ujung atas luka, baru kemudian dilakukan jahitan uterus kebawah. Apabila serviks kaku
dan his kuat, seviks uteri mengalami tekanan kuat oleh kepala janin sedangkan
pembukaan sudah maju. Akibat tekanan kuat dan lama ialah pelepasan sebagian serviks
atau pelepasan serviks secara sekuler. Pelepasan ini dapat dihindari dengan tindakan
seksio sesarea jika diketahui ada distosia servikalis. Apabila sudah terjadi pelepasan
serviks biasanya tidak dibutuhkan pengobatan hanya jika ada perdarahan, tempat
perdarahan dijahit. Jika bagian serviks yang terlepas masih berhubungan dengan jaringan
lain sebaiknya hubungan itu diputuskan (Sumarah, 2009).

Robekan yang kecil-kecil selalu terjadi pada persalinan. Oleh karena itu, robekan
yang harus mendapat perhatian krita akan robekan yang dalam, yang kadang-kadang
sampai ke vornik. Robekan biasanya terdapat dipinggir samping servik bahkan kadang-
kadang sampai ke segmen bawah rahim dan membuka parametrium. Robekan yang
sedemikian dapat membuka pembuluh-pembuluh darah yang besar dan menimbulkan
perdarahan yang hebat. Robekan semacam ini biasanya terjadi pada persalinan buatan,
ekstraksi dengan forsep ekstraksi pada letak sunsang, versi dan ekstraksi,dekapitasi,
pervorasi, dan kraniokasiterutama jika dilakukan pada pembukaan yang belum lengkap.
Robekan ini jika tidak dijahit selain menimbulkan perdarahan juga dapat menjadi
penyebab servisitis, parametritis, dan mungkin juga terjadi pembesaran karsinoma
servik, kadang-kadang menimbulkan perdarahan nifas yang lambat (obstertri patologi
Unpad, edisi 2, 2005).

Perdarahan pascapersalinan pada uterus yang berkontraksi baik harus memaksa kita
untuk memeriksa servik uteri dengan pemeriksaan speculum sebagai profilaksis
sebaiknya semua persalinan buatan yang sulit menjadi indikasi untuk pemeriksaan
speculum. (obstertri patologi Unpad, edisi 2, 2005).

Robekan servik harus dijahit jika berdarah atau lebih besar dari 1 cm. kadang-kadang
bibir depan servik tertekan antara kepala anak dan simpisis, terjadi nekrosis dan terlepas.
(obstertri patologi Unpad, edisi 2, 2005).

Adakalanya porsio kesuluruhannya telepas, bagian yang terlepas itu merupakan


cincin (circular detachment) ini terutama terjadi pada primi tua. (obstertri patologi
Unpad, edisi 2, 2005).

2. Diagnosa

Jika perdarahan postpartum pada uterus yang berkontraksi baik harus dilakukan
pemeriksaan serviks secara inspekulo. Sebagai profilaksis sebaiknya semua
persalinan buatan yang sulit menjadi indikasi untuk pemeriksaan inspekulo.

3. Etiologi

Etiologi robekan serviks yaitu partus presipitatus, trauma karena pemakaian alat
seperti cunam, vakum ekstraktor, melahirkan kepala janin dengan letak sungsang
secara paksa padahal pembukaan serviks uteri belum lengkap, partus lama dimana
telah terjadi serviks oetem sehingga jaringan servik sudah menjadi rapuh dan mudah
robek.

d. Robekan Uteri (rupture uteri)

1. Konsep dasar

Faktor predisposisi yang menyebabkan rupture uteri yaitu multiparitas hal ini
disebabkan karena dinding perut yang lembek dengan kedudukan uterus dalam posisi
antefleksi sehingga terjadi kelainan letak dan posisi janin, janin sering lebih besar,
sehingga dapat menimbulkan CPD, pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan
yang tidak tepat, kelainan letak dan implantasi plasenta umpamanya pada plasenta
akreta, plasenta inkreta atau perkreta, kelainan bentuk uterus, hidramnion.

2. Jenis

Jenis-jenis rupture uteri yaitu meliputi:

Rupture uteri spontan : terjadi pada keadaan dimana terdapat rintangan pada
waktu pada waktu persalinan yaitu pada kelainan letak dan persentasi janin,
panggul sempit, kelainan panggul, tumor jalan lahir.

Rupture uteri traumatic : terjadi karena ada dorongan pada uterus misalnya
fundus akibat melahirkan anak pervaginam seperti ekstraksi, penggunaan
cunam, manual plasenta.

Rupture uteri jaringan parut : terjadi karena bekas operasi sebelumnya pada
uterus seperti bekas SC.

Pembagian jenis menurut anatomic (rupture uteri kompilt) : dimana dinding


uterus robek, lapisan serosa (peritoneum) robek sehingga janin dapat berada
dalam rongga perut dan rupture uteri inkomplit :dinding uterus robek sedangkan
lapisan serosa tetap utuh.

3. Gejala
His kuat dan terus menerus, rasa nyeri perut yang hebat diperut bagian bawah,
nyeri waktu ditekan, gelisah atau seperti nadi dan pernapasan cepat, cincin van Bedl
setinggi. Setelah terjadi rupture uteri dijumpai gejala syok (akral dan ekstremitas
dingin, nadi melemah, kadang hilang kesadaran), perdarahan (bisa keluar dari vagina
atau dalam rongga perut), pucat, nadi cepat dan halus, pernapasan cepat dan dangkal
terkanan darah turun pada palpasi sering bagian bawah janin teraba lngsung dibawah
dinding perut dan nyeri tekan dan dibagian bawah teraba bagian uterus kira-kira
sebesar kepala bayi. Umumnya janin sudah meninggal.

4. Sisa Plasenta

Sisa plasenta merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam uterus yang dapat menimbulkan
perdarahan post partum primer atau perdarahan post partum sekunder. Sewaktu suatu bagian
plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif
dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan. Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah
perdarahan segera, uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang.

Apabila kontraksi uterus jelek atau kembali lembek setelah kompresi bimanual ataupun
massase dihentikan, bersamaan pemberian uterotonica lakukan eksplorasi. Beberapa ahli
menganjurkan eksplorasi secepatnya, akan tetapi hal ini sulitdilakukan tanpa general anestesi
kecuali pasien jatuh dalam syok. Jangan hentikan pemberian uterotonica selama dilakukan
eksplorasi. Setelah eksplorasi lakukan massase dan kompresi bimanual ulang tanpa
menghentikan pemberian uterotonica. Pemberian antibiotic spectrum luas setelah tindakan
ekslorasi dan manual removal.

Apabila perdarahan masih berlanjut dan kontraksi uterus tidak baik bisa dipertimbangkan untuk
dilakukan laparatomi. Pemasangan tamponade uterrovaginal juga cukup berguna untuk
menghentikan perdarahan selama persiapan operasi

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda


Langganan: Posting Komentar (Atom)

Anda mungkin juga menyukai