Anda di halaman 1dari 12

KISTA HEPAR

I. Definisi
Dalam pengertian secara histopatologi, kista adalah rongga yang dilapisi sel epitel. Pada kista
terdapat duktus yang terdilatasi yang biasanya disebabkan oleh obstruksi, hiperplasia epitel,
sekresi berlebihan dan distorsi struktural. Sebagian kista timbul dari sisa-sisa epitel ektopik
atau sebagai hasil nekrosis di tengah-tengah massa epitel
(Vaughan, VC., McKay RJ., Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics. Liver and bile
ducts. Philadelphia : W.B. Saunders Company. 2007. h.1131-2)

Penyakit kistik hepar sering diidentifikasi saat laparotomi dan selama pemeriksaan
gejala abdominal yang tidak berhubungan dengan kista. Dalam banyak kasus, penemuan kista
hepar yang tidak terduga baik soliter maupun multipel, tidak memiliki arti klinis bila tidak
bergejala, walaupun kista hepar ini juga dapat diasosiasikan sebagai proses patologis yang
cukup serius.
(Norton, JA., et al. Essential practice ofsurgery : basic science and clinical evidence. Liver.
New York : Springer-Verlag. 2003. h.235-41.)

II. KLASIFIKASI KISTA HEPAR

Kista intrahepatik congenital


Parenkimal
Soliter
Penyakit polikistik hepar
Anak
Dewasa
Fibrosis hepatis congenital
Dilatasi fokal duktus biliaris intrahepatik (Carolis disease)
Kista intrahepatik didapat (acquired)
Inflamatorik
Piogenik
Amebik
Echinococcal (hydatid)
Neoplastik
Benigna
Maligna
Traumatik
Tabel 3. Klasifikasi Kista pada Hepar
(Debas, HT. Gastrointestinal surgery : pathophysiology and management. Liver cyst. San
Fransisco : Springer-Verlag. 2004. h.180-1.)

Kista Intrahepatik Kongenital


Kista ini dapat tunggal, multipel, difus, terlokalisasi, unilokular, atau multilokular.
Kejadian ditemukan kista pada autopsi dilaporkan dalam 0,15% kasus, 1 % pada pemeriksaan
CT-scan. Kista soliter maupun penyakit polikistik hepar lebih banyak ditemukan pada wanita
usia 40 hingga 60 tahun.
Kista non-parasitik soliter biasanya terletak pada lobus kanan hepar. Isi kista berupa
material yang bening, dan memiliki karakteristik tekanan internal yang rendah tidak seperti
kista parasitik yang memiliki tekanan tinggi. Biasanya cairan kista ini berwarna kuning
kecokelatan, yang diduga berasal dari parenkim yang nekrosis. Penyakit polikistik hepar
menunjukkan gambaran honeycomb appearance dengan kavitas yang multipel, dengan lesi
yang tersebar merata di seluruh hepar.
sumber :
1. Schwartz, SI., et al. Principles of surgery 7th ed. Liver. New York : McGraw-Hill. 1999.
h. 1395-405.

2. Baik lesi soliter maupun polikistik tumbuh secara perlahan dan relatif tidak bergejala. Sebuah
massa di kuadran kanan atas yang tidak nyeri adalah keluhan yang paling sering, dan ketika
gejala muncul, biasanya dihubungkan dengan penekanan pada organ yang berdekatan. Nyeri
abdominal yang akut dapat mengikuti komplikasi torsi, hemoragik intrakistik, atau
rupturintraperitoneal. Pemeriksaan klinis dapat mengidentifikasi massa, dan ginjal juga dapat
teraba. Ikterus jarang ditemukan. Fungsi hepar biasanya tidak menunjukkan abnormalitas. CT
scan, USG, dan arteriografi dapat digunakan untuk menentukan posisi intrahepatik dari
massa, dan peritoneoskopi dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis.sumber : Debas, HT.
Gastrointestinal surgery : pathophysiology and management. Liver cyst. San Fransisco :
Springer-Verlag. 2004. h.180-1.

Kista soliter yang asimtomatik dan penyakit polikistik hepar biasanya tidak
membutuhkan penanganan khusus. Kista yang besar, soliter, dan simtomatik dapat ditangani
secara elektif kecuali bila terjadi ruptur, hemoragik intrakistik, atau torsi. Pasien dengan kista
hepar telah dapat ditangani dengan baik melalui percutaneus cathether drainage yang
dikontrol secara radiologik, pada waktu yang bersamaan dengan injeksi cairan yang
menyebabkan sklerosis seperti alkohol. Prosedur ini sering dikaitkan dengan kasus rekurensi.
Resolusi permanen diperoleh melalui operasi yang sederhana dengan pembukaan atap kista
secara luas dan dihubungkan kembali seperti halnya parenkim hepar yang normal. Prosedur
ini dapat dilakukan secara laparoskopik. Pada kasus hemoragik intrakistik yang signifikan,
cystectomy mungkin dibutuhkan. Drainase internal ke intestinum mungkin dibutuhkan hanya
bila terdapat erosi di dalam duktus hepatikus major yang tidak dapat diperbaiki kembali.
sumber :
Schwartz, SI., et al. Principles of surgery 7th ed. Liver. New York : McGraw-Hill. 1999.
h. 1395-405.

Simple Liver Cyst


Simple hepatic cyst muncul dalam jumlah besar dengan ukuran yang bervariasi,
permukaan rata, mengkilat, berwarna biru-keabuan dan sering ditemukan pada lobus kanan.
Dindingnya terdiri atas 3 lapisan : lapisan terdalam menyerupai epitel duktus biliaris, lapisan
tengah yang berupa jaringan ikat padat, dan lapisan luar yang mengandung jaringan ikat
longgar dan duktus biliaris serta pembuluh darah yang terkompresi.
Kista soliter dapat berasal dari duktus yang tumbuh abnormal sebagai akibat dari
hiperplasia inflamatorik atau obstruksi kongenital. Kista ini dapat mengenai semua usia. 90%
dari kista jenis ini unilokular, dan memiliki ukuran yang bervariasi. Sebuah kista yang
mengandung 2,5 liter cairan telah dilaporkan pada pasien berusia 2 tahun.
3. Penyebab dari kista jenis ini tidak diketahui, namun diduga muncul secara congenital. Kista
ini memiliki epitel tipe bilier, dan mungkin berasal dari dilatasi progresif mikrohemartroma
bilier. Kista ini jarang mengandung empedu, hipotesis yang paling diterima adalah kegagalan
mikrohemartroma untuk membentuk hubungan normal dengan saluran empedu. Secara khas,
cairan yang terkandung di dalam kista ini memiliki komposisi elektrolit yang menyerupai
plasma. Empedu, amylase, dan sel darah putih tidak ditemukan. Cairan kista ini disekresikan
secara terus-menerus oleh sel-sel epitel di tepi kista. Karena alasan inilah, aspirasi cairan dari
simple cyst tidak bersifat kuratif.sumber : Norton, JA., et al. Essential practice ofsurgery : basic
science and clinical evidence. Liver. New York : Springer-Verlag. 2003. h.235-41.

Policystic Liver Disease


4. Insidens kista hepar congenital sulit ditentukan oleh karena sebagian besar individu dengan
lesi ini tidak mengeluhkan gejala. Penyakit polikistik ini biasanya disubklasifikasikan sebagai
varian pada anak dan dewasa, karena memiliki perbedaan pada pola pewarisan, status
penampilan dan konsekuensi klinis. Penyakit polikistik pada anak diwariskan secara resesif
autosomal dengan 4 subtipe secara umum : perinatal, neonatal, infantile, dan juvenile. Semua
varian dari polikistik pada anak ini mengenai hepar dan ginjal dengan peningkatan absolut
dari duktus biliaris intrahepatik.sumber : Debas, HT. Gastrointestinal surgery : pathophysiology
and management. Liver cyst. San Fransisco : Springer-Verlag. 2004. h.180-1.

Penyakit polikistik hepar pada orang dewasa diwariskan secara dominan autosomal.
Hepar tampak kistik difus secara makroskopik, walaupun dapat tampak pola yang berbeda
dari penyakit ini, seperti kista yang unilobar dan ukuran kista yang bervariasi. Kista dapat
ditemukan pada lien, pancreas, ovarium, paru-paru, dan ginjal. Insidens meningkat seiring
usia dan lebih sering pada wanita dibandingkan pria.
Prognosis dari penyakit polikistik hepar biasanya bergantung pada penyakit ginjal
yang menyertainya. Kegagalan fungsi hati, ikterus, dan manifestasi hipertensi portal jarang
ditemukan. Tingkat mortalitas dari kista non-parasitik yang ditangani secara operatif
mendekati angka nol.

Kista Intrahepatik Acquired (didapat)

Echinococcal/Kista Hydatid
Kista jenis ini dapat ditemukan di seluruh dunia, terutama di daerah peternakan biri-
biri. Daerah ini termasuk Mediterania (terutama Yunani), Australia, dan New Zealand, serta
negara di Timur Tengah seperti Iran. Infeksi Echinococcal disebabkan oleh Echinococcus
granulosa, yang dapat asimptomatis selama bertahun-tahun dan menunjukkan hasil yang
efektif dengan pembedahan, atau E. multilocularis, yang lebih virulen dan menyebabkan kista
invasif yang multipel dan lebih sulit ditangani secara operatif. Dua pertiga dari kasus kista
echinococcal ditemukan pada hepar, dan 75% di antaranya berlokasi pada lobus kanan.
Pada hepar host intermediate, terbentuk hydatid unilocular yang tumbuh perlahan dan
tidak bergejala selama bertahun-tahun. Dinding hydatid ini memiliki dua lapisan yang terdiri
atas ektokista, yang berupa cangkang fibrous non-selular yang berfungsi proteksi, dan sebuah
endokista, yang merupakan bagian yang aktif dari kista tersebut. Endokista mensekresi cairan
bening yang mengisi kista dan memproduksi kapsul-kapsul (yang dikenal dengan hydatid
sand) dan kista anakan. Selama bertahun-tahun kemudian, hydatid ini membesar dengan
beberapa liter cairan dan kista anakan yang tak terhitung jumlahnya.

Komplikasi dari kista hidatid di antaranya


Ruptur intrabilier, yang mengenai 5% hingga 10% kasus.
Ruptur intraperitoneal, yang sangat jarang namun dapat menyebabkan pembentukan kista
baru pada rongga peritoneal.
Infeksi bakteri sekunde, yang menyebabkan pembentukan abses.
Ekstensi transdiafragmatika ke rongga pleura.

Kista hidatid berukuran besar yang menimbulkan gejala dapat ditangani secara
laparoskopik maupun dengan open surgery. Langkah-langkah manajemen kista ini meliputi :
Isolasi kista dari rongga peritoneal untuk meminimalisasi tumpahan cairan kista.
Aspirasi isi kista sedapat mungkin, dibutuhkan pengalaman yang memadai sebab cairan
dalam kista biasanya bertekanan rendah.
Instilasi agen skolekoidal ke dalam rongga kista seperti cairan saline hipertonik maupun
alkohol.
Eksisi kista hidatid dengan memisahkan kista dari hepar melalui pemisahan di antara
lapisan germinal dan adventitia.
Sebagai alternatif, kista dapat dikeluarkan melalui reseksi hepar, atau bila cukup ekstensif,
dapat dilakukan marsupialisasi dan pengisian dengan omentum.

Kista Neoplastik
Lesi kistik neoplastik hepar, jarang merupakan kistadenoma bilier primer atau
kistadenokarsinoma. Lesi ini lebih sering merupakan metastasis dari tumor kistik dari organ
lain, seperti pancreas atau ovarium, atau sekunder dari degenerasi kistik tumor hepar solid
primer atau metastatik.
Kistadenoma (benigna) atau kistadenokarsinoma (maligna) hepar lebih sering terjadi
pada wanita (lebih dari 75%) dan biasanya muncul sebagai nyeri tumpul dan rasa penuh di
perut bagian atas. Lesi ini biasanya dapat didiagnosis dengan USG dan CT scan, yang
menunjukkan sebuah massa kistik dengan dinding yang tebal bertepi rata dan septa internal.
Sebuah massa solid yang berhubungan dengan dinding kista biasanya dideskripsikan sebagai
komponen maligna yang membutuhkan reseksi yang lebih radikal. Angiografi akan
menunjukkan SOL yang avaskular dan bayangan tumor pada perifer yang disebabkan oleh
proyeksi dinding tumor. Tumor ini tidak berhubungan dengan duktus biliaris, sehingga
cholangiografi preoperatif tidak memiliki nilai diagnostik.
Setelah didiagnosis, sebuah lesi kistik primer hepar dengan gambaran radiografi
berupa kistadenoma harus dieksisi secara utuh walaupun tidak bergejala. Operasi yang
kurang defenitif akan menyebabkan rekurensi tumor, pembesaran, atau infeksi, hingga dapat
bertransformasi menjadi malignansi. Apabila gambaran kista tampak benigna, kadang dapat
dibuang seluruhnya dan memisahkannya dari parenkim hepar. Dinding kista yang menebal di
sekitarnya atau penyebaran pada parenkim hepar di sekitarnya menunjukkan malignansi, dan
eksisi yang lebih lebar dengan evaluasi histologik melalui frozen section harus
dipertimbangkan. Tumor ini, seperti neoplasma kistik di tempat lain, memiliki potensi
malignansi yang cukup rendah dan jarang rekuren bila dieksisi secara adekuat.

Kista Traumatik
Tipe kista hepatis ini dibentuk dari resolusi hematoma subscapular atau
intraparenkimal yang berasal dari trauma abdominal, di mana peristiwa trauma itu sendiri
dapat diingat maupun tidak diingat oleh pasien. Perdarahan di dalam parenkim hepar dapat
timbul pada trauma tumpul maupun tajam. Kista traumatic mengandung darah, empedu, dan
jaringan hepar yang nekrotik. Lapisan epithelial yang sedikit menggambarkan bahwa
sebenarnya kista traumatik adalah pseudokista. Bila riwayat trauma tidak jelas, kista ini
biasanya tidak dapat dibedakan dari kista kongenital soliter, dan memiliki penanganan yang
sama. Pembedahan dianjurkan bagi pasien yang mengeluhkan gejala. Pada saat laparotomi,
kista traumatik biasanya dapat dibedakan dari kista congenital dengan adanya dinding yang
sangat fibrotik dan mengandung hemosiderin. Kista yang simptomatik harus dieksisi secara
utuh apabila dimungkinkan. Apabila sebagian dinding kista tidak dapat direseksi dengan
mudah, evaluasi frozen section harus dilakukan untuk meyakinkan bahwa tidak akan terjadi
proses neoplastik setelahnya. Walaupun kista traumatic dapat terinfeksi sekunder, kista ini
dapat diharapkan memiliki hasil penanganan yang baik.

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium
Pasien dengan kista hepar tidak banyak memerlukan pemeriksaan laboratorium. Hasil
pemeriksaan faal hati seperti transaminase atau alkali fosfatase mungkin sedikit abnormal,
namun kadar bilirubin, prothrombin time (PT) dan activated prothrombin times (APTT)
biasanya berada dalam batas normal.
Pada Polycystic Liver Disease (PCLD), dapat dijumpai abnormalitas yang lebih
banyak pada pemeriksaan fungsi faal hati, namun gagal fungsi hati jarang dijumpai. Tes
fungsi ginjal termasuk kadar urea dan kreatinin darah biasanya abnormal. Pada tumor kistik
hepar, tes fungsi hati juga dapat normal seperti pada simple cyst namun bisa terdapat
abnormalitas pada sebagian pasien.
Terdapat peningkatan kadar Carbohydrate antigen (CA) 19-9 pada sebagian pasien.
Cairan kista dapat diambil untuk pemeriksaan CA 19-9 pada saat pembedahan sebagai
pemeriksaan marker untuk kistadenoma dan kistadenokarsinoma. Pasien dengan abses hepar
dapat dikenal pasti dari gejala klinis. Pada pemeriksaan darah sering ditemukan leukositosis.
Jika terdapat kista hidatid, dijumpai eosinophilia pada sekitar 40% pasien, dan titer
antibody echinococcal positif pada hampir 80% dari pasien. Pemeriksaan immunoassay
enzim (enzyme immunoassay, EIA) dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi spesifik
untuk E. histolytica.
Pemeriksaan histologik dari kista dilakukan dengan tujuan untuk menyingkirkan
kemungkinan suatu keganasan, seperti kistadenokarsinoma. Secara histopatologik kista hepar
yang benigna mengandung cairan yang bersifat serosa dan dindingnya terdiri dari selapis sel
epitel kuboidal dan stroma fibrosa yang tipis.
Sumber :McPhee, SJ., Lingappa, VR., Ganong, WF. Pathophysiology of disease : an
introduction to clinical medicine 4th ed. New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill.
2003. h. 380-92.

Pemeriksaan Radiologik
Sebelum tersedia modalitas pencitraan abdominal secara luas termasuk ultrasonografi
(USG) dan CT scan, kista hepar didiagnosa hanya apabila ia sudah sangat membesar dan bisa
dilihat sebagai massa di abdomen atau sebagai penemuan tidak sengaja saat melakukan
laparotomy. Saat ini, pemeriksaan radiologik sering menemukan lesi yang asimptomatik
secara tidak sengaja. Terdapat beberapa pilihan pemeriksaan radiologik pada pasien dengan
kista hepar, seperti USG yang bersifat non-invasif namun cukup sensitif untuk mendeteksi
kista hepar. CT scan juga sensitif dalam mendeteksi kista hepar, dan hasilnya lebih mudah
untuk diinterpretasikan dibanding USG. MRI, nuclear medicine. scanning dan angiografi
hepatik mempunyai penggunaan yang terbatas dalam mengevaluasi kista hepar.
Secara umum simple cysts mempunyai gambaran radiologik yang tipikal yaitu
mempunyai dinding yang tipis dengan cairan yang berdensitas rendah dan homogenous.
PCLD harus dikonfirmasi dengan USG atau CT scan dengan menemukan kista-kista multiple
pada saat evaluasi.
Kista hidatid bisa diidentifikasi dengan ditemukannya daughter cyst yang terkandung
dalam rongga utama yang berdinding tebal. Kistadenoma dan kistadenokarsinoma umumnya
terlihat multilokuler dan mempunyai septa internal, densitas yang heterogeneus dan dinding
kista yang irregular. Tidak seperti tumor lain pada umumnya, jarang dijumpai kalsifikasi pada
kistadenoma dan kistadenokarsinoma.
Satu masalah yang sering ditemui dalam mengevaluasi pasien dengan lesi kistik pada
hepar adalah untuk membedakan kista neoplasma dan simple cyst. Namun secara umum,
neoplasma kistik mempunyai dinding yang tebal, irregular dan hipervaskular, sedangkan
dinding kista pada simple cyst tipis dan uniform. Simple cyst memiliki tendensi memiliki
bagian interior yang homogenous dan berdensitas rendah, sedangkan neoplasma kistik
biasanya mempunyai bagian interior yang heterogenous dengan septasi-septasi.
sumber :
McPhee, SJ., Lingappa, VR., Ganong, WF. Pathophysiology of disease : an introduction
to clinical medicine 4th ed. New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill. 2003. h. 380-92.

IV. PENATALAKSANAAN

Penanganan Medikamentosa
Pengobatan secara medikamentosa untuk penanganan kista hepar non-parasitik
maupun kista parasitik mempunyai manfaat yang terbatas. Tidak ada terapi konservatif yang
ditemui berhasil untuk menangani kista hepar secara tuntas.
Aspirasi perkutaneous dengan dibantu oleh USG atau CT scan secara teknis mudah
untuk dilaksanakan namun sudah ditinggalkan karena mempunyai kadar rekurensi hampir
100%. Tindakan aspirasi yang dikombinasikan dengan sklerosan dengan menggunakan
alkohol atau bahan lain berhasil pada sebagian pasien namun mempunyai tingkat kegagalan
dan kadar rekurensi yang tinggi. Sklerosis akan berhasil hanya terjadi dekompresi sempurna
dari dinding kista. Hal ini tidak mungkin terjadi jika dinding kista menebal atau pada kista
yang sangat besar. Tidak terdapat pengobatan medikamentosa untuk PCLD dan
kistadenokarsinoma.
Kista hidatid dapat diobati dengan agen antihidatid yaitu albendazole dan
mebendazole, namun biasanya tidak efektif. Obat-obatan ini digunakan sebagai terapi
adjuvan dan tidak dapat menggantikan peran penanganan bedah atau pengobatan perkutaneus
dengan teknik PAIR (Puncture, Aspiration, Injection, Reaspiration). Pengobatan
medikamentosa dimulai 4 hari sebelum pembedahan dan dilanjutkan 1 hingga 3 bulan setelah
operasi sesuai panduan dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organisation, WHO).
sumber
McPhee, SJ., Lingappa, VR., Ganong, WF. Pathophysiology of disease : an introduction
to clinical medicine 4th ed. New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill. 2003. h. 380-92.

Penanganan Operatif
Secara umum tujuan terapi operatif adalah untuk mengeluarkan seluruh lapisan
epithelial kista karena dengan adanya sisa epitel akan menyebabkan terjadinya rekurensi.
Secara ideal, kista direseksi keluar secara utuh tanpa melubangi kavitas kista tersebut. Jika ini
terjadi, kista akan kolaps dan ditemukan kesukaran untuk mengenal secara pasti dan
mengeluarkan lapisan epitel.

1. Teknik PAIR (Puncture, Aspiration, Injection, Reaspiration)


Teknik PAIR untuk penanganan kista hepar dilakukan dengan dibantu oleh USG
atau CT scan yang melibatkan aspirasi isi kista melalui sebuah kanula khusus, diikuti
dengan injeksi agen yang bersifat skolisidal selama 15 menit, kemudian isi kista
direaspirasi lagi. Proses ini diulang hingga hasil aspirasi jernih. Kista kemudian diisi
dengan solusi natrium klorida yang isotonik. Tindakan ini harus diikuti dengan pengobatan
perioperatif dengan obat benzimodazole 4 hari sebelum tindakan hingga 1-3 bulan setelah
tindakan.

2. Marsupialisasi (dekapitasi)
Dekapitasi atau unroofing kista dilakukan dengan cara mengeksisi bagian dari
dinding kista yang melewati permukaan hepar. Eksisi seperti ini menghasilkan permukaan
kista yang lebih dangkal pada bagian kista yang tertinggal hingga cairan yang disekresi
oleh epitel yang masih tertinggal merembes kedalam rongga peritoneal dimana ia
diabsorbsi. Sisa epitel dapat juga diablasi dengan menggunakan sinar koagulator argon
atau elektrokauter. Sebelumnya penanganan kista seperti ini memerlukan tindakan
laparotomi (open unroofing) namun seiring dengan perkembangan alat dan teknik, ia bisa
dilakukan secara laparoskopik.
Gambar 11. Liver Fenestration

Dari hasil penelitian yang dijalankan, didapatkan bahwa unroofing kista secara
laparoskopik mempunyai tingkat morbiditas yang rendah, waktu reokupasi yang lebih
singkat dan bisa kembali ke aktivitas normal lebih cepat dibandingkan open unroofing
secara laparotomi. Faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi terjadi rekurensi dengan
teknik ini adalah deroofing yang adekuat, kista yang terletak dalam atau berada di segmen
posterior dari hepar, penggunaan sinar argon untuk sisa epitel dinding kista, tindakan
omentoplasty untuk cavitas residual, dan tindakan laparoskopi atau laparotomi yang
pernah dilakukan sebelumnya yang menyebabkan timbulnya jaringan fibrosis di hepar.

3. Reseksi Hepar dan Tranplantasi Hati


Prosedur yang lebih radikal seperti reseksi hepar dan transplantasi hati telah
digunakan dalam penanganan kista hepar non-parasitik. Walaupun prosedur ini bisa
mendapatkan hasil terbaik dari segi kadar rekurensi yang sangat rendah, namun ia
mempunyai kadar morbiditas yang tinggi, yang mungkin tidak dapat diterima untuk suatu
penyakit yang benigna. Penelitian Martin dkk. menemukan kadar morbiditas 50% pada 16
pasien yang menjalani prosedur reseksi hepar untuk penanganan kista hepar non-parasitik.
Di antara komplikasi yang terjadi pada tindakan reseksi hepar, termasuk infeksi paru-paru,
efusi pleura, infeksi pada luka operasi, drainase cairan peritoneal dan empedu yang lama
dan hematoma subphrenikus.
Tranplantasi hepar diindikasikan untuk penyakit polikistik dengan simptom yang
menetap setelah pendekatan terapeutik medikamentosa dan operatif yang lain gagal, atau
pada keadaan gagal ginjal.
Reseksi hepar layak untuk diaplikasikan pada pasien dengan kista multipel yang
rekuren atau terdapat kemungkinan suatu tumor kistik hepar. Anatomi segmental hepar
yang pertama dijelaskan oleh Couinaud pada tahun 1957 membagi hepar menjadi delapan
segmen dimana setiap segmen mempunyai cabang arteri hepatikum, vena porta dan traktus
biliaris yang tersendiri. Hal ini memungkinkan untuk mereseksi setiap segmen ini secara
individual apabila diperlukan, dan mengurangi pemotongan tidak perlu dari jaringan hepar
yang normal. Kehilangan darah bisa dikurangi dengan menggunakan teknik oklusi
vaskular (manoeuvre Pringle).
Tujuan dari teknik oklusi vaskular adalah untuk mereseksi hepar dengan perdarahan
seminimal mungkin. Penting untuk diperhatikan bahwa dibutuhkan fungsi hepar residual
yang cukup setelah dilakukan reseksi, untuk mencegah insufisiensi hepatik post-operatif.
Kehilangan darah yang banyak diasosiasikan dengan peningkatan morbiditas peri-operatif.
Dalam prakteknya, lebih mudah untuk mereseksi segmen hepar secara keseluruhan.
Walaupun pemisah antarsegmen tidak dapat terlihat melalui permukaan hepar, segmen
dapat diidentifikasi dengan melakukan oklusi terhadap aliran inflow terhadap segmen yang
dituju, maka akan terjadi iskemik dan akan terlihat pembagian fungsional hepar dari
permukaan.

Gambar 12. Segmentasi hepar menurut Couinaud(9)

Glissons capsule diketahui merupakan kondensasi dari fascia yang mengelilingi


cabang biliovaskular hepar. Couinaud menerangkan bahwa fascia ini berlanjut dari
parenkim hepar hingga segmentasi hepar. Implikasi operatifnya adalah, apabila suplai dari
segmen individual dilakukan dari dalam hepar, ligasi dari fascia ini akan menyebabkan
devaskularisasi segmen. Teknik ini kemudian dipermudah dengan penggunaan stapler.
Beberapa insisi abdominal dapat digunakan untuk reseksi hepar. Insisi subkostal
bilateral memberikan akses yang baik dan biasanya dilakukan dengan memperluas insisi
eksploratif subkostal kanan untuk menjamin tidak terdapat penyakit peritoneal yang tidak
diharapkan. Ekstensi ke arah atas hingga tepi bawah sternum (insisi Mercedes-Benz) juga
dapat dilakukan untuk mendapatkan akses yang lebih lebar.
Setelah dilakukan laparotomi eksplorasi, hepar dimobilisasi dari peritoneal.
Ligamentum falciforme dipisahkan dengan perhatian khusus pada identifikasi lokasi
dimana vena hepatika memasuki vena cava inferior. Ligamentum koronaria dekstra,
dipisahkan untuk mobilisasis lobus kanan hepar. Ligamentum triangulare sinistra
dipisahkan untuk mobilisasi lobus kiri hepar.

Sumber : Heriot AG., Karanjia ND. A review of techniques for liver resection [online]. 2002
[dikutip April 2010]. Tersedia pada URL http://www.rsmpress.co.uk/arcsam.pdf

V. PROGNOSIS
Pasien dengan kista non-parasitik yang menjalani teknik dekapitasi kista secara
laparoskopik untuk kista hepar benigna mengalami kadar penyembuhan lebih dari 90%,
sedangkan pada pasien dengan PCLD (Policystic Liver Disease) mempunyai presentase
kesembuhan yang lebih rendah dengan teknik yang sama. Penanganan yang paling efisien
untuk PCLD dan kista neoplastik adalah dengan reseksi hepar, sedangkan efisiensi
penanganan kista hidatid dengan teknik PAIR berbanding penganan operatif lain masih
kontroversial.

Anda mungkin juga menyukai